Anda di halaman 1dari 5

TUGAS ESSAY

BLOK DIGESTIF II

DISUSUN OLEH:

Nama : Yuni Asmilawati


NIM : 019.06.0094
Kelas :B

Dosen: dr. I Gusti Putu Winangun, Sp. PD, FINASIM

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR

MATARAM

2020/2021

1|Page
GERD
Penyakit refluks gastroesofageal (GERD) adalah suatu keadaan patologis sebagai
refluks kandungan lambung ke dalam esofagus, dengan berbagai gejala yang timbul akibat
keterlibatan esofagus, faring, laring dan saluran nafas. Telah diketahui bahwa refluks
kandungan lambung ke esofagus maupun ekstraesofagus, dapat menyebabkan komplikasi
yang berat seperti striktur, Barrett’s esofagus bahkan adenoma karsinoma di kardia dan
esofagus. Banyak ahli yang menggunakan istilah esofagitis refluks, yang merupakan keadaan
terbanyak penyakit refluks gastroesofageal.. Beberapa faktor risiko terjadinya refluks
gastroesofageal antara lain: obesitas, usia lebih dari 40 tahun, wanita, ras (India lebih sering
mengalami GERD), hiatal hernia, kehamilan, merokok, diabetes, asma, riwayat keluarga
dengan GERD, status ekonomi lebih tinggi, dan skleroderma. Pada sebagian orang, makanan
dapat memicu terjadinya refluks gastroesofageal, seperti minuman berkarbonasi, coklat,
kafein, makanan pedas, makanan berlemak, alkohol, ataupun porsi makan yang terlalu besar.
Beberapa obat dan suplemen diet pun dapat memperburuk gejala refluks gastroesofageal,
dalam hal ini obat-obatan yang mengganggu kerja otot sfinter esofagus bagian bawah, seperti
sedatif, penenang, antidepresan, calcium channel blockers, dan narkotika. Termasuk juga
penggunaan rutin beberapa jenis antibiotika dan non steroidal anti-inflammatory drugs
(NSAIDs) dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya inflamasi esofagus.

Gastroesofagus refluks paling banyak terjadi pada bayi sehat berumur 4 bulan, dengan
> 1x episode regurgitasi, pada umur 6-7 bulan, gejala berkurang dari 61% menjadi 21%.
Hanya 5% bayi berumur 12 bulan yang masih mengalami GERD. Keadaan ini umum
ditemukan pada populasi di negara-negara Barat, namun dilaporkan relatif rendah
insidensinya di negara-negara Asia-Afrika. Di Indonesia belum ada data epidemiologi
mengenai penyakit ini, namun di Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta didapatkan kasus esofagitis sebanyak 22,8%
dari semua pasien yang menjalani pemeriksaan endoskopi atas indikasi dispepsia.

Penyakit refluks gastroesofageal (GERD) bersifat multifaktorial. Esofagitis dapat


terjadi sebagai akibat dari refluks gastroesofageal apabila: 1) terjadi kontak dalam waktu
yang cukup lama antara bahan refluksat dengan mukosa esofagus, 2) teradi penurunan
resistensi jaringan mukosa esofagus, walaupun waktu kontak antara bahan refluksat dengan
esofagus tidak cukup lama. Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi
(high pressure zone) yang dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal sphincter (LES). Pada

2|Page
individu normal, pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada saat terjadinya aliran antegrad
yang terjadi pada saat menelan, atau aliran retrograd yang terjadi pada saat sendawa atau
muntah. Aliran balik dari gaster ke esofagus melalui LES hanya terjadi apabila tonus LES
tidak ada atau sangat rendah (<3 mmHg).

Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui tiga mekanisme, 1)


Refluks spontan pada saat relaksasi LES yang tidak adekuat, 2) aliran retrograd yang
mendahului kembalinya tonus LES setelah menelan, 3) meningkatnya tekanan intra abdomen.
Dengan demikian dapat diterangkan bahwa patogenesis terjadinya GERD menyangkut
keseimbangan antara faktor defensif dari esofagus dan faktor ofensif dari bahan refluksat.
Sebagaian besar pasien GERD ternyata mempunyai tonus LES yang normal. Faktor-faktor
yang dapat menurunkan tonus LES: 1) adanya hiatus hernia, 2) panjang LES (makin pendek
LES, makin rendah tonusnya), 3) obat-obatan seperti antikolinergik, beta adrenergik,
theofilin, opiat dan lain-lain, 4) faktor hormonal.

Tanda dan gejala khas GERD adalah regurgitasi dan heartburn. Regurgitasi
merupakan suatu keadaan refluks yang terjadi sesaat setelah makan, ditandai rasa asam dan
pahit di lidah. Heartburn adalah suatu rasa terbakar di daerah epigastrium yang dapat disertai
nyeri dan pedih. Dalam bahasa awam, heartburn sering dikenal dengan istilah rasa panas di
ulu hati yang terasa hingga ke daerah dada. Kedua gejala ini umumnya dirasakan saat setelah
makan atau saat berbaring. Gejala lain GERD adalah kembung, mual, cepat kenyang,
bersendawa, hipersalivasi,berat badan turun atau persentil menurun, disfagia hingga
odinofagia. Disfagia umumnya akibat striktur atau keganasan Barrett’s esophagus.
Sedangkan odinofagia atau rasa sakit saat menelan umumnya akibat ulserasi berat atau pada
kasus infeksi. Nyeri dada non-kardiak, batuk kronik, asma, mengi, apnea (henti napas sesaat)
berulang dan laringitis merupakan gejala ekstraesofageal penderita GERD.

Diagnosis GERD ditegakkan berdasarkan gejala klasik dari hasil anamnesis dan
pengisian kuesioner, serta berdasarkan hasil uji terapi PPI (Proton Pump Inhibitor). Adapun
beberapa pemeriksaan penunjang yang dilakukan saat ini untuk membantu mendukung
diagnosa GERD:
- Endoskopi saluran cerna bagian atas: Merupakan standar baku penegakkan diagnosis
GERD dengan spesifisitas 90-95%, tetapi memiliki sensitivitas yang rendah. Hal ini
karena sekitar 70% pasien GERD memiliki mukosa esofagus yang normal. Diagnosis

3|Page
ditegakkan dengan adanya mucosal break pada esofagus (esofagitis refluks). Endoskopi
juga dapat mencari kelainan seperti striktur, esofagus Barret atau keganasan.
- Esofagiografi dengan barium: Umumnya hanya tampak kelainan gambaran radiologi
pada esofagitis berat, berupa penebalan dinding, lipat mukosa, penyempitan lumen, dan
adanya ulkus esofagus. Pemeriksaan ini sudah tidak direkomendasikan karena kurang
sensitif. Dari pemeriksaan dengan bubur barium dapat dibuat gradasi refluks atas 5
derajat, yaitu derajat:
 Refluks hanya sampai di distal esofagus.
 Refluks sampai di atas karina tetapi belum sampai sevikal esofagus.
 Refluks sampai servikal esofagus.
 Refluks sampai di servikal dan disertai dilatasi dari bagian kardia lambung.
 Refluks dengan aspirasi paru.
- Pemantauan pH esofagus: Mengukur pH 24 jam dengan cara menempatkan
mikroelektroda pada distal esofagus. Tes dikerjakan bila endoskopi normal tapi ada
kecurigaan refluks (NERD). Refluks gastroesofageal ditegakkan apabila pada jarak 5 cm
diatas LES didapatkan Ph< 4.
- Tes Bernstein: Merupakan tes provokatif yang dilakukan dengan memasang selang
transnasal untuk memberikan larutan HCl 0,1 M pada distal esofagus selama < 1jam. Tes
ini akan menilai sensitivitas mukosa esofagus dan umumnya dilakukan sebagai pelengkap
pemeriksaan pH-metri 24 jam. Tes dianggap positif jika larutan menimbulkan keluhan
nyeri dada.

Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada kasus GERD dapat berupa non
farmakologi dan farmakologi. Penatalaksanaan non farmakologi dilakukakn dengan
modifikasi gaya hidup seperti: Menghindari menggunakan baju yang ketat (tekanan
intraabdominal), menghindari makanan yang dapat menstimulasi asam lambung (coklat,
teh, peppermint, kopi dan minuman bersoda), menghindari obat-obat yang dapat
menurunkan tonus LES (antikolinergik, teofilin, diazepam, opiate, antagonis kalsium,
agonis beta adrenergic, progesteron), modifikasi berat badan (pada pasien obesitas),
berhenti merokok dan kebiasaan mengkonsumsi alkohol, membiasakan makan tidak
terlalu kenyang dan makan malam maksimal 3 jam sebelum tidur. Sedangkan secara
farmakologi dapat diberikan: 1) lini pertama pengobatan GERD adalah proton pump
inhibitor (PPI), karena menunjukkan sensitivitas yang tinggi, dengan dosis tunggal per
oral pada pagi hari sebelum makan selama 2-4 minggu, 2) Antasida, golongan obat ini

4|Page
cukup efektif dan aman dalam menghilangkan gejala GERD tetapi tidak menyembuhkan
lesi esofagitis. Selain sebagai buffer terhadap HCl, obat ini dapat memperkuat tekanan
sfingter esofagus bagian bawah, 3) Antagonis reseptor H2, dapat diberikan sebagai
penekan sekresi asam. Selain itu, obat-obat yang dapat diberikan lainnya seperti
domperidon, cisapride, metoklopramid, sukralfat dan obat-obatan prokinetik.

Komplikasi yang dapat terjadi apabila GERD tidak segera diatasi menyebabkan
komplikasi esofagus yaitu, esofagitis erosif, Barret’s esofagus (dapat berkembang
menjadi adenokarsinoma) dan striktur esofagus. Pada komplikasi ekstraesofagus dapat
berkaitan dengan regurgitasi dan aspirasi lambung, meliputi asma, laringitis kronis,
stenosis laring, stenosis trakea, pneumonia berulang, sinusitis kronis serta erosi gigi.
Sedangkan untuk prognosis GERD sebagian besar yang mendapatkan farmakoterapi
memiliki prognosis bai/dubia ad bonam, meskipun kekambuhan dapat terjadi setelah obat
dihentikan. Oleh karena itu, terapi pemeliharaan jangka panjang tetap diperlukan.

Referensi Penunjang
Tanto, Christ, dkk. 2016. Kapita Selekta Kedokteran, Ed:5 , Jilid II Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia.

Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. 2014 . Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam. Edisi 6. Jakarta: Interna Publishing.

Syam AF, Aulia C, Renaldi K, Simadibrata M, Abdullah M, Tedjasaputra TR. 2013.

Revisi Konsensus Nasional Penalatalaksanaan Penyakit Refluks Gastoesofageal. Jakarta:

Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia.

5|Page

Anda mungkin juga menyukai