Anda di halaman 1dari 17

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

“GERD”

Oleh
DEVI SELINDIA
003.20.064

Preseptor Klinik Preseptor Akademik

(Ns. Yanti Sinaga, S.Kep) (Ns. Rizki Sari Utami S, Kep, M.Kep)

PROGRAM STUDI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN AWAL BROS BATAM
2021

1
GERD

A. Pengertian

Gastroesophageal reflux disease (GERD) adalah suatu keadaan patologis sebagai


akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus dengan berbagai gejala yang
timbul akibat keterlibatan esofagus, laring, dan saluran nafas (Ricky & Bogi 2019)

GERD dapat didefinisikan sebagai gangguan ketika isi lambung mengalami


refluks secara berulang ke dalam esofagus sehingga muncul gejala dan/atau komplikasi
yang mengganggu (Nusi, 2015)

Pengelompokkan ke dalam penyakit GERD awalnya adalah berdasarkan dari


gejala dispepsia fungsional yang dikeluhkan pasien pada masa itu kemudian penderita
gejala dispepsia fungsional yang mengalami refluks dan terdapat rasa sangat panas di
belakang dada , dapat dikelompokkan ke dalam penyakit GERD (Irvinia, dkk, 2019)

B. Penyebab dan Faktor Predisposisi


GERD disebabkan karena kelemahan atau kegagalan relaksasi dari Lower
Esophageal Sphincter (LES) atau otot yang berbentuk cincin yang bertugas mengatur
proses buka-tutup pintu / klep saluran kerongkongan yang menghubungkan esophagus
bawah dengan lambung, klep ini normalnya akan menutup saluran kerongkongan
setelah makanan turun ke lambung, bila otot ini lemah klep ini akan tetap terbuka
sehingga asam lambung akan naik kembali ke kerongkongan
GERD bisa dibagi menjadi tipe erosif dan non-erosif. Beberapa faktor risiko
terjadinya refluks gastroesofageal antara lain:

• Obesitas, usia lebih dari 40 tahun


• Wanita, ras (India lebih sering mengalami GERD)
• Hiatal hernia
• Kehamilan
• Merokok
• Diabetes
• Asma

2
• Riwayat keluarga dengan GERD
• Scleroderma
• Pada sebagian orang, makanan dapat memicu terjadinya refluks gastroesofageal,
seperti bawang, saos tomat, mint, minuman berkarbonasi, coklat, kafein, makanan
pedas, makanan berlemak, alkohol, ataupun porsi makan yang terlalu besar
• Beberapa obat dan suplemen diet pun dapat memperburuk gejala refluks
gastroesofageal, dalam hal ini obat-obatan yang mengganggu kerja otot sfinter
esofagus bagian bawah, seperti sedatif, penenang, antidepresan, calcium channel
blockers, dan narkotika. Termasuk juga penggunaan rutin beberapa jenis antibiotika
dan non steroidalanti-inflammatory drugs (NSAIDs) dapat meningkatkan
kemungkinan terjadinya inflamasi esofagus.(Ricky&Bogi,2019)

C. Manifestasi Klinis
Gejala klinik yang khas dari GERD adalah nyeri/rasa tidak enak di epigastrium
atau retrosternal bagian bawah, berikut gejala lainnya :
• Rasa nyeri biasanya di deskripsikan sebagai rasa terbakar (heartburn).
• Disfagia, kesulitan menelan makanan bisa timbul jika sudah terjadi ulse-rasi
esofagus yangberat
• Mual atau regurgitasi, dan rasa pahit di lidah.
• Kadang-kadang timbul rasa tidak enak retros-temal yang mirip dengan keluhan pada
serangan angina pektoris.
• Gejala ekstra esophageal yang atipik dan sangat bervariasi mulai dari nyeri dada
non-kardiak (non-cardiac chestpain/NCCP), suara serak, laringitis, erosi gigi,batuk
kronik, bronkiektasis, atau asma. (Suzana, Dkk,2016).

D. Anatomi Fisiologis
Lambung Merupakan organ otot berongga yang besar dan berbentuk seperti kacang
kedelai. Terdiri dari 3 bagian, yaitu :
a. Kardia
b. Fundus
c. Antrum
Makanan masuk ke dalam lambung dari kerongkongan melalui otot berbentuk cincin
(sfinter), yang bisa membuka dan menutup. Dalam keadaan normal, sfinter menghalangi
masuknya kembali isi lambung ke dalam kerongkongan.Lambung berfungsi sebagai

3
gudang makanan, yang berkontraksi secara ritmik untuk mencampur makanan dengan
enzim-enzim. Sel-sel yang melapisi lambung menghasilkan 3 zat penting :
a. Lendir Lendir melindungi sel-sel lambung dari kerusakan oleh asam lambung.
Setiap kelainan pada lapisan lendir ini, bisa menyebabkan kerusakan yang
mengarah kepada terbentuknya tukak lambung.
b. Asam klorida (HCl) Asam klorida menciptakan suasana yang sangat asam, yang
diperlukan oleh pepsin guna memecah protein. Keasaman lambung yang tinggi
juga berperan sebagai penghalang terhadap infeksi dengan cara membunuh
berbagai bakteri.
c. Prekursor pepsin (enzim yang memecahkan protein) (Asmadi,2008)

E. Patofisiologi
Mekanisme terjadinya GERD masih dalam perdebatan diantaranya transient
lower esophageal spinchter relaxation (TLESR), hipotensif dari lower esophageal
sphincter (LES) dan pergerakan retrograd dari isi lambung atau duodenum ke dalam
esophagus. TLESR memerankan peran besar pada refluks gastroesofageal abnormal.
Penjelasan lebih lanjut yaitu GERD dapat dihasilkan dari gangguan barrier anti-refluks,
yang tersusun dari LES dan krura diafragmatika. Relaksasi krura dan LES adalah
fisiologi normal ketika proses menelan. Relaksasi yang tidak di inisiasi oleh proses
menelan disebut transient lower esophageal relaxations (TLESRs). Ketika kejadian ini
berlangsung lebih lama atau lebih sering maka akan menghasilkan refluks asam
lambung melewati esophagogastric junction (EGJ), yang kadang-kadang diikuti oleh
gas (bersendawa.

Patofisiologi penyakit refluks gastroesofageal merupakan proses yang kompleks


dan multifaktorial. Pemahaman tentang patofisiologi gastroesophageal reflux disease
(GERD) juga terus mengalami perkembangan. Secara garis besar, GERD terjadi karena
masuknya konten dari gaster ke dalam esofagus atau refluks gastroesofageal (RGE)
yang berlangsung secara kronis. Refluks merupakan salah satu proses yang secara
fisiologi dapat terjadi, akan tetapi sistem gastrointestinal memiliki mekanisme anti-
refluks yang sangat baik. Gangguan mekanisme anti-refluks ini dapat menyebabkan
RGE yang berlangsung secara kronis. Hal ini terjadi karena beberapa faktor, di
antaranya paparan konten gaster, masalah sfingter esofagus, gangguan motilitas
gastrointestinal, hipersensitivitas esofagus, hernia hiatus, kelainan mukosa.

4
F. Pathway
Terlampir

G. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Nonfarmakologi
Penatalaksanaan GERD tanpa obat yang saat ini direkomendasikan karena
didasari oleh bukti penelitian yang cukup antara lain:
a. Menurunkan berat badan bagi pasien yang overweight (kelebihan berat badan)
atau yang baru saja mengalami peningkatan berat badan, serta
b. Menaikkan posisi kepala pada saat tidur dan tidak makan 2-3 jam sebelum
waktu tidur malam untuk pasien yang mengalami gejala refluks di malam hari
(nocturnal GERD).
c. Berhenti merokok dan menghindari konsumsi makanan yang dapat memicu
gejala GERD (contoh: coklat, jeruk, kopi, makanan berlemak, makanan
pedas,minuman berkarbonasi, dan alkohol).
2. Penatalaksanaan Farmakologi
Obat - obat yang digunakan dalam penatalaksanaan GERD antara lain :
golongan penghambat pompa proton (proton pump inhibitor s, PPIs ) dan
penghambat H2 [H2 blockers atau antagonis reseptor H2 ( H2-receptor antagonists,
H2RAs)
a. Penghambat Pompa Proton dan Antagonis Reseptor H2
Obat-obat dari golongan penghambat pompa proton bekerja dengan cara
memblok pompa proton (H+,K+-ATPase) yang terdapat di membran sel
parietal lambung sehingga menghambat sekresi asam lambung oleh sel parietal
secara irreversibel. Penghambat pompa proton merupakan prodrug yang tidak
stabil dalam suasana asam. Setelah diabsorpsi dari usus, golongan ini
dimetabolisme menjadi bentuk aktifnya yang berikatan dengan pompa proton
jenis obatnya yaitu Esomeprazole, Lansoprazole, Omeprazole, Pantoprazole,
Rabeprazole. Sementara itu, obat-obat dari golongan antagonis reseptor H2
bekerja dengan cara memblok reseptor histamin di membran sel parietal
lambung. Selain hormon gastrin dan asetilkolin, histamin adalah salah satu
senyawa yang menstimulasi H+,K+-ATPase untuk mensekresi asam lambung,
jenis obatnya yaitu Famotidine dan Ranitidine.

5
b. Prokinetik
Obat-obat prokinetik, dalam hal inimetoclopramide, bekerja dengan
meningkat-kan kekuatan sfingter esofagus bagianbawah, peristaltis esofagus,
dan memper-cepat pengosongan lambung
c. Terapi Pemeliharaan
Tanpa terapi pemeliharaan, risiko kekambuhan diperkirakan 60-80% dalam
satu tahun. Berdasarkan penelitian, terapi yang paling efektif mencegah
kekambuhan adalah PPIs full dose, diikuti oleh PPIs lowdose, dan terakhir
H2RAs.7 Terapi pemeliharaan diberikan kepada pasien GERD yang tetap
mengalami gejala setelah PPIs dihentikan dan kepada pasien yang mengalami
komplikasi, termasuk esofagitis erosif dan esofagus Barret. Terapi
pemeliharaan PPIs diberikan dalam dosis terkecil yang masih efektif, termasuk
diberikan sesuai permintaan / kebutuhan (on demand) atau terapi intermittent.
(Syilvi 2018)

H. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan serial rontgen foto saluran makan atas dengan kontras, monitoring pH
esopha-gus, endoskopi, skintigrafi dengan nuklir, dan manometri esophagus.Beberapa
jenis pemeriksaan cukup invasif, sehingga tidak disarankan untuk dilakukan tanpa
adanya indikasi khusus. Pemeriksaan yang dapat dilakukan di antaranya sebagai
berikut:
1. Uji Inhibitor Pompa Proton / Proton Pump Inhibitor (PPI) Trial
Uji PPI merupakan salah satu metode diagnostik yang paling mudah
dilakukan dan tidak invasif. Uji PPI umumnya dilakukan pada pasien-pasien
GERD tanpa tanda bahaya atau risiko esofagus Barret. Uji PPI ini dilakukan
dengan pemberian PPI selama 2 minggu tanpa dilakukan endoskopi terlebih
dahulu. Bila didapatkan perbaikan klinis dengan pemberian PPI dan gejala kembali
setelah terapi dihentikan, maka diagnosis GERD dapat ditegakkan. Uji PPI ini
merupakan salah satu metode diagnostik yang dianjurkan pada konsensus nasional
di Indonesia tahun 2014, akan tetapi studi terbaru di Inggris menunjukkan bahwa
uji PPI memiliki sensitifitas 71% dan spesifisitas hanya 44%. Hal ini membuat
penegakan diagnosis GERD berdasarkan uji PPI saja harus dipertanyakan karena
berisiko untuk penyalahgunaan/overuse PPI dan overdiagnosis GERD.

6
2. Pemantauan pH (pH-Metri)
Pemantauan/monitoring pH adalah salah satu metode diagnostik GERD yang
paling baik dan cukup sederhana. Pemeriksaan ini merupakan salah satu
pemeriksaan yang disarankan dalam konsensus nasional di Indonesia, terutama
pada pasien dengan memiliki gejala ekstraesofageal sebelum terapi PPI atau pasien
yang gagal terapi PPI. Pengukuran pH dapat dilakukan dalam 24 jam atau 48 jam
(bila tersedia) dengan atau tanpa terapi supresi asam lambung. Konsensus Lyon
tahun 2018 merekomendasikan untuk melakukan pH metri tanpa terapi PPI
terutama pada pasien-pasien yang belum pernah didiagnosis GERD sebelumnya.
Apabila pasien sudah pernah terbukti GERD atau memiliki komplikasi dari GERD,
pH-metri dilakukan dengan dosis PPI 2x lebih banyak. Pasien-pasien dengan
GERD akan menunjukkan perbaikan pH bila diberikan terapi PPI.

3. Endoskopi dan Histopatologi


Endoskopi saluran gastrointestinal atas dan pemeriksaan histopatologi
merupakan pemeriksaan baku emas untuk GERD dengan komplikasi.
Histopatologi juga dapat menunjukkan metaplasia, displasia, atau malignansi.
Pemeriksaan dengan endoskopi merupakan prosedur yang invasif, sehingga
pemeriksaan ini sebaiknya tidak dilakukan bila tidak terdapat indikasi.
Pemeriksaan ini sebaiknya hanya dilakukan pada pasien-pasien yang memiliki
gejala bahaya/alarm symptoms.
4. Tes Barium
Pemeriksaan dengan barium saat ini sudah tidak rutin dilakukan karena tidak
sensitif untuk diagnosis GERD. Namun demikian, pemeriksaan ini lebih unggul
bila dicurigai adanya stenosis esofagus, hernia hiatus, striktur, dan disfagia.
Pemeriksaan ini biasanya dilakukan untuk evaluasi disfagia pasca operasi
antirefluks bersamaan dengan endoskopi.
5. Pemeriksaan Lain
Banyak modalitas diagnostik lain yang dapat dilakukan, di antaranya
manometri esofagus dan tes bilitec. Pemeriksaan ini lebih ditujukan untuk evaluasi
komplikasi GERD, bukan untuk diagnosis GERD secara rutin. Jika terdapat
kecurigaan infeksi Helicobacter pylori, dapat dilakukan urea breath test atau
biopsi menggunakan endoskopi.

7
I. Pengkajian Fokus
1. Data biografi : di dapat melalui wawancara meliputi identitas pasien (umur
,jenis kelamin) dan penanggung jawab, pengumpulan data seperti keluhan utama
yang dirasakan pasien, pola makan (diet), perokok, alkoholik, minum kopi,
penggunaan obat-obatan tertentu.
2. Riwayat kesehatan : meliputi riwayat kesehatan keluarga adanya penyakit
keturunan atau tidak, riwayat penyakit sekarang riwayat penyakit yang dialami
saat ini adanya alergi obat atau makanan.
3. Riwayat penyakit dahulu : meliputi apakah pasien tersebut pernah opname atau
tidak sebelumnya penyakit apa yang pernah diderita sebelumnya.
4. Riwayat psikososial pasien : biasanya ada rasa stress , kecemayang sangat tinggi
yang dialami pasien menegnai kegawatan pada saat krisis.
5. Pola fungsi kesehatan
1) Pola nutrisi : makan, minum, porsi , keluhan Gejala : Nafsu makan
menurun, adanya penurunan berat badan, mual, muntah.
2) Pola eliminasi : seperti buang air kecil, buang air besar yang meliputi
frekuensi, warna, konsisisten dan keluhan yang dirasakan.Gejala : BAB
berwarna hitam ,lembek
3) Pola kebersihan diri : Pola ini membahas tentang kebersihan kulit,
kebersihan rambut, telinga, mata, mulut, kuku.
4) Pola pemeriksaan dan pemeliharaan kesehatan.
5) Pola kognitif- persepsi sensori : Keadaan mental yang di alami, berbica,
bahasa, ansietas, pendengaran, penglihatan normal atau tidak.
6) Pola konsep diri : meliputi identitas diri, ideal diri, harga diri, gambaran
diri.
7) Pola koping dan nilai keyakinan.

Pengkajian Fisik

1. Data Subyektif
a) Keadaan umum, tampak kesakitan pada pemeriksaan fisik terdapat nyeri
tekan di kwadran epigastrik.
Tanda-tanda vital
• B1 (Breath) : Takhipnea

8
• B2 (Blood) : Takikardi, hipotensi, distritmia, nadi perifer lemah, pengisian
perifer lambat, warna kulit pucat.
• B3 (Brain) : Sakit kepala, kelemahan, tingkat kesadaran dapat terganggu,
disorientasi, nyeri epigastrum.
• B4 (Bladder) : Oliguria, gangguan keseimbangan cairan.
• B5 (Bowel) : Anemia, anoreksia, mual, muntah, nyeri ulu hati, tidak toleran
terhadap makanan pedas.
• B6 (Bone) : Kelelahan, kelemahan.

b) Kesadaran : Tingkat kesadaran dapat terganggu, rentak dari cenderung


tidur, disorientasi/ bingung, sampai koma (tergantung pada volume
sirkulasi/ oksigenasi).
2. Data Objektif
a. Kepala dan muka : Wajah pucat dan sayu (kekurangan nutrisi), wajah
berkerut.
b. Mata : Mata cekung (penurunan cairan tubuh), anemis (penurunan
oksigen ke jaringan), konjungtiva pucat dan kering.
c. Mulut dan faring : Mukosa bibir kering (peurunan cairan intrasel
mukosa) bibir pecah-pecah, lidah kotor, bau mulut tidak sedap
(penurunan hidrasi bibir dan personal hygiene).
d. Abdomen Inspeksi : Keadaan kulit : warna, elastisitas, kering, lembab,
besar dan bentuk abdomen rata atau menonjol. Jika pasien melipat lutut
sampai dada sering merubah posisi, menandakan pasien nyeri. Auskultasi
: Distensi bunyi usus sering hiperaktif selama perdarahan,dan hipoaktif
setelah perdarahan. Perkusi : Pada penderita gastritis suara abdomen yang
ditemukan
hypertimpani (bising usus meningkat). (4) Palpasi : Pada pasien gastritis
dinding abdomen tegang. Terdapat nyeri
tekan pada region epigastik (terjadi karena distruksi asam
lambung)(Doengoes,2000).
e. Integumen : Warna kulit pucat, sianosis (tergantung pada jumlah
kehilangan darah), kelemahan kulit/ membrane mukosa berkeringan

9
(menunjukkan status syok, nyeri akut, respon psikologik) (Doengoes,
2000).
f. Pemeriksaan penunjang,
• Pemeriksaan darah laboratorium
• Endoskopi
• Histopatologi
• Analisa gaster
• gastroscopi

J. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan iritasi gastrium atau pengecilan kelenjar gastric ditandai
dengan Ansietas krisis situasional
2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan pemasukan cairan dan elektrolit
yang kurang ditandai dengan muntah
3. Intoleransi Aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik ditandai dengan lemah,
lesu
K. Perencanaan Keperawatan
No Diagnosa SLKI SIKI Rasional
Keperawatan
1 Nyeri Setelah dilakukan Observasi : Observasi :
asuhan keperawatan
berhubungan 1. Identifikasi lokasi, 1. Focus pada penyebab nyeri
selama 1 x 7 jam
dengan iritasi diharapkan nyeri karakteristik, durasi, dan manajemennya
menurun dengan
gastrium atau frekuensi, kualitas, 2. Untuk mengetahui tingkat
kriteria hasil :
pengecilan Tingkat nyeri intensitas nyeri atau rentang nyeri pasien
1. Melaporkan keluhan
kelenjar gastric 2. Identifikasi skala nyeri Terapeutik
nyeri menurun
ditandai dengan 2. Tidak tampak Membantu klien dalam
ekspresi meringis
Ansietas krisis Terapeutik mengurangi kecemasan nyeri
3. Tidak gelisah
situasional 4. Tidak kesulitan tidur Berikan teknik
5. Frekuensi nadi
nonfarmakologis untuk Pasien mampu mengontrol
normal
Kontrol nyeri mengurangi nyeri nyeri tanpa bantuan obat
1. Melaporkan nyeri
Ajarkan teknik relaksasi Edukasi
terkontrol
2. Mampu mengenali nafas dalam Pasien mengetahui terapi apa
onset nyeri
yang diberikan dan termasuk
3. Mampu mengenali
10
penyebab nyeri Edukasi efek samping yang mungkin
4. Mampu
Jelaskan efek terapi dan ditimbulkan dari pengobatan
menggunakan
teknik non efek samping obat tersebut
farmakologis
Kolaborasi
5. Keluhan nyeri
berkurang Pemberian analgetik dapat
memblok nyeri pada susunan
saraf pusat
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian
dosis dan analgesic sesuai
indikasi
2 Kekurangan Setelah dilakukan Observasi Observasi
asuhan keperawatan
volume cairan Periksa tanda dan gejala
selama diharapkan Memperbaiki kebutuhan
berhubungan dengan kriteria hasil : hipovolemia elektrolit
1. Asupan cairan
dengan Monitor intake dan output
meningkat Terapeutik
pemasukan 2. Output urin cairan
meningkat Memonitor cairan input dan
cairan dan 3. Dehidrasi menurun output
elektrolit yang 4. Asupan makan Terapeutik
meningkat Menjaga kenyamanan posisi
kurang ditandai 1. Hitung kebutuhan
5. Turgor kulit membaik
cairan
dengan 6. Tanda tanda vital Membantu meningkatkan
2. Berikan posisi
membaik asupan cairan
muntah, modified
trendelenburg
3. Berikan asupan
Edukasi
cairan oral
Mengganti cairan yang
hilang

Edukasi Mengurangi terjadinya


1. Anjurkan kelemahan, pusing
memperbanyak
asupan cairan oral
2. Anjurkan
menghindari Kolaborasi
perubahan posisi
mendadak Mengganti cairan elektrolit
yang mengalami penurunan
Kolaborasi
Menambah asupan nutrisi
1. Kolaborasi
pemberian cairan Memberikan informasi

11
IV issotonis (mis. tentang keseimbangan
cairan NaCl, RL) cairan.
2. Kolaborasi
pemberian cairan Menunjukkan kehilangan
IV hipotonis (mis. cairan berlebihan atau
glukosa 2,5%, NaCl dehidrasi.
0,4%)
3. Kolaborasi Indikator cairan status
pemberian cairan nutrisi.
koloid (mis.
albumin, Mengontrol mual dan
plasmanate) muntah pada keadaan akut
4. Kolaborasi
pemberian produk
darah

3 Intoleransi Setelah dilakukan Manajemen Energi Manajemen Energi


asuhan keperawatan
Aktivitas
selama jam diharapkan
1. Identifkasi gangguan
berhubungan dengan kriteria hasil : 1. Mengetahui tingkat
fungsi tubuh yang
2. Frekuensi nadi (5)
dengan mengakibatkan kelelahan pasien
3. saturasi oksigen (5)
kelelahan
kelemahan fisik 4. keluhan lelah (5) 2. Pasien akan merasa lebih
2. Monitor kelelahan fisik
5. dipsnea saat
ditandai dengan dan emosional diperhatikan oleh keluarga
aktifitas
3. Monitor pola dan jam
lemah, lesu Terapi Relaksasi
tidur
4. Monitor lokasi dan 1. Pasien akan lebih nyaman
ketidaknyamanan
2. Pasien akan lebih tenang
selama melakukan
aktivitas dan tidak tegang
3. Pasien mampu secara
mandiri dalam pemenuhan
Terapeutik aktivitasnya

• Sediakan
lingkungan nyaman
dan rendah stimulus
(mis. cahaya, suara,
kunjungan)
• Lakukan rentang
gerak pasif dan/atau
aktif
• Berikan aktivitas
distraksi yang

12
menyenangkan
• Fasilitas duduk di
sisi tempat tidur,
jika tidak dapat
berpindah atau
berjalan

Edukasi

• Anjurkan tirah
baring
• Anjurkan
melakukan aktivitas
secara bertahap
• Anjurkan
menghubungi
perawat jika tanda
dan gejala
kelelahan tidak
berkurang
• Ajarkan strategi
koping untuk
mengurangi
kelelahan

Kolaborasi

• Kolaborasi dengan
ahli gizi tentang
cara meningkatkan
asupan makanan

13
L. Referensi

Brunner & Suddart.2015. Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 Vol. 2. Jakarta: EGC

Hadi, S.2015. Gastroenterologi Edisi 4. Bandung: Alumni

Price & Wilson.2015. Patofisiologi, Edisi 4, Jakarta: EGC

Suryono Slamet, et al.2015. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 2. Jakarta: FKUI

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan
Indikator Diagnostik Edisi 1. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI

Warpadji Sarwono, et al.2015. Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta: FKUI

Ricky; Bogi (2019). Analisis Faktor Risiko Gastroesofageal Refluks di RSUD Saiful Anwar
Malang. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia Vol 6 No. 2. Juni 2019. Malang

Irvinia; DKK (2019) Profil Penderita Gastro Esophageal Reflux Disease (Gerd) Dan Non-
Erosive Reflux Disease (Nerd) Di Rsud Dr. Soetomo Surabaya. Majalah Biomorfologi
Volume 29 Nomor 1, Januari 2019, Surabaya

Suzana; DKK (2016), Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Keberhasilan Terapi GERD
J.KedoktMeditekVolume22,No.60 Sept-Des2016 Ukrida, Jakarta

http://repository.ubaya.ac.id/21354/1/RASIONAL%20Vol%2011%20No%201.pdf

PPNI, T. P. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI): Definisi


dan Indikator Diagnostik ((cetakan III) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.

PPNI, T. P. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI): Definisi


dan Tindakan Keperawatan ((cetakan II) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.

PPNI, T. P. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI): Definisi dan


Kreteria Hasil Keperawatan ((cetakan II) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.

14
FORMAT PENILAIAN LAPORAN PENDAHULUAN KMB

Waktu (hari/tanggal/tahun) :

Nama Ko-Ners : Devi Selindia

NIM : 003.20.64

Judul Kasus : Ca Mammae

Ruangan Dinas : Pandoria

No KOMPONEN NILAI % KETERANGAN


(NILAI)
1 Etiologi 10
2 Patosiologi 10
3 Gejalah Klinis 10
4 Diagnosa keperawatan 10
5 Peta analisis data dan masalah 45
keperawatan
6 Intervensi keperawatan 10
7 Referensi/Daftar Pustaka 5
Total 100

............. , (......./......./.......)

` Preseptor

(...........................................................)

15
PATHWAY GERD
Obat - obatan, Hormonal,
Pendeknya LES, Infeksi H. Hernia Heatus Pengosongan Lambung Obesitas
Pylori dan korpus pedominas lambat, dilatasi lambung
gastritis

Tekanan intra
Bagian dari lambung atas Transient LES
Kekuatan lower abdomen meningkat
yang terhubung dengan Relaxation
Esophageal Sphincter
esophagus akan mendorong
(LES) menurun
ke atas melalui diafragma

Penurunan tekanan
penghambat refluks

Aliran retrograde yang mendahului


kembalinya tonus LES setelah Refluks spontan saat relaksasi
LES tidak adekuat
menelan

Aliran asam lambung ke Sumber :


www.perawatkitasatu.com esofagus

Kontak asam lambung dan mukosa


esophagus dalam waktu lama dan/atau
berulang
GERD

Waktu & ResikoAs


Perubahan Informasi Kerusakan Mukosa Esofagus
Frekkontak Regurgitasi pirasi
status keluarga kurang
mukosa dgn
kesehatana
asam meningkat
Respon Refluk ke Air way
Rangsang Medola Oblongata
peradangan lokal
Ansietas Kurang Metaplasia
Pengetahuan epitel Peradanga
Inflamasi saluran
Hipersaliva nafas n Pita
Disfagia, Nyeri Peradanga
Barret Desease Odinofagia Epigastrik nEsofageal

Anoreksia Pola Nafas Hambatan


Tak Efektif komunikasi
PK Gangguan Inefektif Nyeri PK
Keganasan verbal
Intake menurun Menelan breast Perdarahan
feeding

defisit Ketidakseimbangan Keterlambata


volume nutrisi kurang dari ntumbuh
cairan kebutuhan kembang

Anda mungkin juga menyukai