Anda di halaman 1dari 14

JURNAL PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI II

GASTROESOFAGUS REFLUX DISEASE (GERD)

Oleh:

Nama : Muhammad Nanda Aprilianto

NIM : 171200211

Kelas : A2C

Kelompok :4

Tanggal Praktikum : Senin, 21 Oktober 2019

Dosen Pengampu : Ida Bagus Nyoman Maharjana., S.Farm., M.Farm-Klin., Apt

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS

INSTITUT ILMU KESEHATAN MEDIKA PERSADA BALI

DENPASAR

2019
DAFTAR ISI

1.1. Tujuan Praktikum .......................................................................................... 3


1.2. Dasar Teori .................................................................................................... 3
1.2.1. Definisi GERD .................................................................................... 3
1.2.2. Patofisiologi GERD ............................................................................ 4
1.2.3. Klasifikasi GERD ............................................................................... 5
1.2.4. Tanda dan Gejala GERD .................................................................... 6
1.2.5. Faktor Resiko ...................................................................................... 6
1.2.6. Diagnosis GERD ................................................................................ 7
1.2.7. Penatalaksanaan GERD ...................................................................... 7
1.3. Alat dan Bahan ............................................................................................. 11
1.4. Kasus ............................................................................................................ 11

DAFTAR PUSTAKA

2
GASTROESOFAGUS REFLUX DISEASE (GERD)

1.1. TUJUAN PRAKTIKUM


1. Mengetahui definisi GERD
2. Mengeahui patofisiologi GERD
3. Mengetahui tatalaksana GERD (farmakologi & non farmakologi)
4. Dapat menyelesaikan kasus terkait GERD secara mandiri dengan menggunakan
metode SOAP

1.2. DASAR TEORI


1.2.1. DEFINISI GERD
Definisi GERD menurut Konsensus Nasional Penatalaksanaan Penyakit Refluks
Gastroesofageal di Indonesia tahun 2013 adalah suatu gangguan berupa isi lambung
mengalami refluks berulang ke dalam esofagus, menyebabkan gejala dan/atau
komplikasi yang mengganggu. GERD adalah suatu keadaan patologis akibat refluks
kandungan lambung ke dalam esofagus dengan berbagai gejala akibat keterlibatan
esofagus, faring, laring dan saluran napas. Sedangkan menurut American College of
Gastroenterology, GERD adalah kondisi fisik di mana asam dari perut mengalir ke
belakang ke esophagus. Gastroesophageal reflux disease (GERD) merupakan suatu
keadaan melemahnya Lower Esophageal Sphincter (LES) yang mengakibatkan
terjadinya refluks cairan asam lambung ke dalam esofagus. Jadi, GERD adalah suatu
keadaan patologis di mana cairan asam lambung mengalami refluks sehingga masuk
ke dalam esofagus dan menyebabkan gejala.
Pada individu sehat, peristiwa fisiologis ini terjadi beberapa kali dalam sehari.
GER menyebabkan terjadinya GERD jika refluks esophagus telah menyebabkan
timbulnya gejala-gejala, kerusakan mukosa atau keduanya. Apabila mukosa esofagus
yang telah rusak terpapar asam lambung secara terus-menerus, maka akan terjadi
inflamasi esofagus (esofagitis) yang berkembang menjadi ulserasi (erosive
esophagitis). Gejala refluks parah yang disertai dengan endoskopi yang normal
didefinisikan sebagai GERD simtomatis, nonerosive reflux disease (NERD), atau

3
endoscopy negative reflux disease (ENRD). Dengan demikian, GERD merujuk pada
esofagitis yang telah ditentukan melalui endoskopi atau penyakit refluks dengan hasil
endoskopi negatif (ENRD). Pasien dengan gejala refluks yang belum dapat ditelusuri
diperlakukan sebagai pasien dengan uninvestigated dyspepsia (Philip O, et al., 2013).

1.2.2. PATOFISIOLOGI GERD


Patosiologi GERD terjadi akibat adanya ketidakseimbangan antara faktor ofensif
dan defensif dari sistem pertahanan esofagus dan bahan refluksat lambung. Yang
termasuk faktor defensif sistem pertahanan esofagus adalah LES, mekanisme bersihan
esofagus, dan epitel esofagus. LES merupakan strukur anatomi berbentuk sudut yang
memisahkan esofagus dengan lambung. Pada keadaan normal, tekanan LES akan
menurun saat menelan sehingga terjadi aliran antegrade dari esofagus ke lambung.
Pada GERD, fungsi LES terganggu dan menyebabkan terjadinya aliran retrograde dari
lambung ke esofagus. Terganggunya fungsi LES pada GERD disebabkan oleh
turunnya tekanan LES akibat penggunaan obat-obatan, makanan, faktor hormonal, atau
kelainan struktural. Mekanisme bersihan esofagus merupakan kemampuan esofagus
membersihkan dirinya dari bahan refluksat lambung; termasuk faktor gravitasi, gaya
peristaltik esofagus, bersihan saliva, dan bikarbonat dalam saliva. Pada GERD,
mekanisme bersihan esofagus terganggu sehingga bahan refluksat lambung akan
kontak ke dalam esofagus; makin lama kontak antara bahan refluksat lambung dan
esofagus, maka risiko esofagitis akan makin tinggi. Selain itu, refluks malam hari pun
akan meningkatkan risiko esofagitis lebih besar. Hal ini karena tidak adanya gaya
gravitasi saat berbaring. Mekanisme ketahanan epitel esofagus terdiri dari membran
sel, intercellular junction yang membatasi difusi ion H+ ke dalam jaringan esofagus,
aliran darah esofagus yang menyuplai nutrien-oksigen dan bikarbonat serta
mengeluarkan ion H+ dan CO2 , sel esofagus mempunyai kemampuan mentransport
ion H+ dan Cl- intraseluler dengan Na+ dan bikarbonat ekstraseluler. Sedangkan yang
termasuk faktor ofensif adalah peningkatan asam lambung, dilatasi lambung atau
obstruksi gastric outlet, distensi lambung dan pengosongan lambung yang terlambat,
tekanan intragastrik dan intraabdomen yang meningkat. Beberapa keadaan yang

4
mempengaruhi tekanan intraabdomen antara lain hamil, obesitas, dan pakaian terlalu
ketat.

1.2.3. KLASIFIKASI GERD


Berdasarkan lokalisasi gejalanya, GERD dibagi menjadi dua, yaitu sindrom
esofageal dan esktraesofageal. Sindrom esofageal merupakan refluks esofageal yang
disertai dengan atau tanpa adanya lesi struktural. Gejala klinis sindrom esofageal tanpa
lesi struktural berupa heartburn dan regurgitasi, serta nyeri dada non-kardiak.
Sedangkan pada sindrom esofageal disertai lesi struktural, berupa refluks esofagitis,
striktur refluks, Barret’s esophagus, adenokarsinoma esofagus. Sindrom
ekstraesofageal biasanya terjadi akibat refluks gastroesofageal jangka panjang.
(Monica dan Budianto, 2017).
Sistem klasifikasi Los Angeles (LA) menyebabkan perubahan mukosa minimal
yang terkait dengan penyakit refluks. Kemajuan terbaru dalam teknologi endoskopik
telah memungkinkan visualisasi perubahan ini. Namun, signifikansi klinis dan
keakuratan penemuan ini perlu divalidasi secara ketat sebelum memasukkannya ke
dalam sistem klasifikasi, berikut klasifikasi Los Angeles dari endoskopi GERD (Sami,
S.S dan Ragunath, K. 2013):
Grade A Satu atau lebih ulser mukosa esophagus dengan diameter
< 5 mm

Grade B Ulser mukosa esophagus > 5 mm tetapi tidak saling


berhubungan

Grade C Ulser mukosa esophagus yang tidak mengelilingi seluruh


lumen

Grade D Ulser mukosa esophagus mengelilingi seluruh lumen


esophagus

Tabel 1. Klasifikasi GERD menurut Los Angeles

5
1.2.4. TANDA DAN GEJALA GERD
Tanda dan gejala khas GERD adalah regurgitasi dan hearburn. Regurgitasi
merupakan suatu keadaan refluks yang terjadi sesaat setelah makan, ditandai rasa asam
dan pahit di lidah. Heartburn adalah suatu rasa terbakar di daerah epigastrium yang
dapat disertai nyeri dan pedih. Dalam bahasa awam, heartburn sering dikenal dengan
istilah rasa panas di ulu hati yang terasa hingga ke daerah dada. Kedua gejala ini
umumnya dirasakan saat setelah makan atau saat berbaring. Gejala lain GERD adalah
kembung, mual, cepat kenyang, bersendawa, hipersalivasi, disfagia hingga odinofagia.
Disfagia umumnya akibat striktur atau keganasan Barrett’s esophagus. Sedangkan
odinofagia atau rasa sakit saat menelan umumnya akibat ulserasi berat atau pada kasus
infeksi. Nyeri dada nonkardiak, batuk kronik, asma, dan laringitis merupakan gejala
ekstraesofageal penderita GERD (Monica dan Budianto, 2017).

1.2.5. FAKTOR RESIKO


Penyebab GERD dikaitkan dengan faktor-faktor yang meningkatkan frekuensi
atau durasi GER yang menyebabkan meningkatnya kontak refluxate asam dengan
mukosa esophageal. Faktor risiko terkait dengan GERD meliputi faktor diet dan gaya
hidup, obat-obatan, dan kondisi medis dan bedah tertentu. Faktor-faktor ini dapat
memicu gejala dengan menurunkan tekanan LES (mis., Nitrat, progesteron, makanan
tinggi lemak, mint, coklat) atau memiliki efek iritasi langsung esofagus (misalnya,
jeruk, tomat, bifosfonat)(Koda-Kimble, 2013)
Beberapa faktor risiko GERD adalah:
1. Obat-obatan, seperti teofilin, antikolinergik, beta adrenergik, nitrat, calciumchannel
blocker.
2. Makanan, seperti cokelat, makanan berlemak, kopi, alkohol, dan rokok.
3. Hormon, umumnya terjadi pada wanita hamil dan menopause. Pada wanita hamil,
menurunnya tekanan LES terjadi akibat peningkatan kadar progesteron. Sedangkan
pada wanita menopause, menurunnya tekanan LES terjadi akibat terapi hormon
estrogen.

6
4. Struktural, umumnya berkaitan dengan hiatus hernia. Selain hiatus hernia, panjang
LES yang < 3 cm juga memiliki pengaruh terhadap terjadinya GERD.
5. Indeks Massa Tubuh (IMT); semakin tinggi nilai IMT, maka risiko terjadinya
GERD juga semakin tinggi (Monica dan Budianto, 2017).

1.2.6. DIAGNOSIS
Berdasarkan Guidelines for the Diagnosis and Management of Gastroesophageal
Reflux Disease yang dikeluarkan oleh American College of Gastroenterology tahun
1995 dan revisi tahun 2013, diagnosis GERD dapat ditegakkan berdasarkan (Monica
et al, 2017) :
a. Empirical Therapy
b. Use of Endoscopy
c. Ambulatory Reflux Monitoring
d. Esophageal Manometry (lebih direkomendasikan untuk evaluasi preoperasi untuk
eksklusi kelainan motilitas yang jarang seperti achalasia atau aperistaltik yang
berhubungan dengan suatu kelainan, misalnya skleroderma)

1.2.7. TATALAKSANA TERAPI GERD


Tujuan dari manajemen terapi GERD adalah
- Mengurangi gejala
- Meningkatkan proses penyembuhan esophagus dengan menurunkan frekuensi dan
durasi refluks esophagus
- Mencegah terjadinya serangan ulang, dan menghindari komplikasi jangka Panjang

1. Terapi Farmakologi
Obat-obat yang digunakan dalam penatalaksanaan GERD antara lain:
a. Antasida
Antasida bekerja dengan cara memberikan efek sitoprotektif, menetralisir
asam lambung, dan menstimulasi ketahanan mukosa lambung. Aluminium dalam
antasida berguna untuk menekan H.pylori dan meningkatkan pertahanan

7
mukosa. Antasida juga mengandung magnesium yang seharusnya tidak
digunakan pada pasien dengan klirens kreatinin kurang dari 30 ml/menit karena
ekskresi magnesium diganggu sehingga menyebabkan toksisitas (Lullmann, et
al., 2000).
Antasid berguna hanya untuk menghilangkan gejala ringan yang terkait
dengan GERD. Karena durasi kerja yang pendek dan ketidakmampuan untuk
menyembuhkan esofagitis, ini bukan pilihan mengobati GERD sedang sampai
berat (Kimble, Koda., 2013).
b. Antagonis Reseptor Histamin 2 (H2RA)
H2 bloker bekerja melalui blokade reseptor Histamin H2 pada sel parietal,
sehingga mengurangi sekresi asam lambung. H2 reseptor antagonis menghambat
secara kompetitif dan selektif kerja dari histamin di reseptor H2 pada sel parietal,
sehingga menurunkan sekresi asam lambung (Lullmann, et al., 2000).
H2RA efektif dalam mengobati pasien dengan penyakit ringan sampai
sedang GERD, namun tingkat respons bervariasi dengan tingkat keparahan
penyakit, dosis obat, dan durasi terapi (Kimble, Koda., 2013).
c. Proton Pump Inhibitor (PPI)
Obat-obat dari golongan penghambat pompa proton (PPI) bekerja dengan
cara memblok pompa proton (H+, K+, -ATPase) yang terdapat di membran sel
parietal lambung sehingga menghambat sekresi asam lambung oleh sel parietal
secara irreversibel. PPI hanya menghambat pompa proton yang aktif mensekresi
asam sehingga paling efektif jika diberikan 30-60 menit sebelum makan
(Lullmann, et al., 2000).
PPI adalah obat pilihan untuk pasien gejala GERD yang parah dan
esofagitis karena lebih cepat menghilangkan gejala dan penyembuhan esofagus
dari pada H2RA (Kimble, Koda., 2013).

8
Berikut table tatalaksana terapi menggunaan obat PPI (NICE, 2014):
PPI Full Standard Low Dose (On- Double Dose
Dose Demand Dose)
Esomeprazole 20 mg1 1x sehari Tidak tersedia 40mg3 1x sehari

Lansoprazole 30 mg 1x sehari 15 mg 1x sehari 30mg2 2x sehari

Omeprazole 20 mg 1x sehari 10mg2 1x sehari 40 mg 1x sehari

Pantoprazole 40 mg 1x sehari 20 mg 1x sehari 40mg2 2x sehari

Rabeprazole 20 mg 1 x sehari 10 mg 1x sehari 20mg2 2x sehari

1
Lebih rendah dari dosis awal berlisensi untuk esomeprazol di GORD,
yaitu 40 mg, namun dianggap setara dengan dosis PPI lainnya. Saat
melakukan meta-analisis efek doserelated, esomeprazol berkolom NICE
20 mg sebagai setara dosis penuh dengan omeprazol 20 mg.

2
Dosis off-label untuk GORD.

3
40 mg direkomendasikan sebagai dosis ganda esomeprazol karena dosis
20 mg dianggap setara dengan omeprazol 20 mg.

Tabel Tatalaksana terapi PPI

d. Prokinetik
Dua agen prokinetik, metoklopramid dan bethanekol, efektif dalam
pengelolaan GERD. Kedua obat tersebut meningkatkan tekanan LES dan
merangsang motilitas saluran pencernaan bagian atas tanpa mengubah sekresi
asam lambung. Meskipun obat ini dapat memberikan kelegaan gejala, namun
tidak efektif dalam penyembuhan esofagitis erosif kecuali jika dikombinasikan
dengan H2RA atau PPI. Prokinetik tidak banyak digunakan untuk mengobati
GERD karena tidak seefektif perawatan lainnya dan terkait dengan banyak efek
samping (sedasi, kegelisahan, ekstrapiramidal gejala, dan lainnya). Prokinetik
disediakan untuk pasien yang tidak tahan terhadap pilihan pengobatan lain yang

9
tersedia atau yang memiliki pengosongan lambung yang tertunda (Kimble,
Koda., 2013).
e. Sucralfat
Mekanisme kerja sukralfat adalah sukralfat bereaksi dengan asam
hidroklorik dalam lambung membentuk sebuah cross-linked yang memiliki
konsistensi kental seperti bahan perekat yang mampu bereaksi sebagai buffer
asam untuk waktu yang lama, yaitu 6-8 jam setelah diminum dalam dosis
tunggal. Sukralfat membentuk kompleks ulser adheren dengan eksudat protein
seperti albumin dan fibrinogen pada sisi ulser dan melindunginya dari serangan
asam, membentuk barier viskos pada permukaan mukosa di lambung dan
duodenum, serta menghambat aktivitas pepsin dan membentuk ikatan garam
dengan empedu. Perlindungan fisik atau kompleks itu besifat melindungi
permukaan ulkus dan mencegah kerusakan lebih lanjut oleh asam, pepsin dan
empedu. Sukralfat sebaiknya dikonsumsi pada saat perut kosong untuk mencegah
ikatan dengan protein dan fosfat (Hasanah, 2007).

2. Terapi Non Farmkologi


- Meninggikan kepala saat tidur (sekitar 6-8 inchi) untuk meningkatkan clearens
esophagus.
- Menghindari makanan yang kemungkinan dapat mempengaruhi tekanan
sphincter esophagus bagian bawah seperti coklat, alcohol, peppermint, dan
makanan berlemak.
- Menghindari makanan yang efeknya dapat mengiritasi mukosa esofagus seperti
makanan pedas, jus jeruk, jus tomat dan kopi.
- Makan dalam porsi yang kecil dan menghindari makan sebelum tidur untuk
menurunkan volume gastric, minimal makan 3 jam sebelum tidur.
- Berhenti merokok untuk menurunkan tekanan Lower Esophageal Sphincter
(LES).
- Hindari penggunaan pakaian yang terlalu ketat.

10
- Hindari obat-obat yang dapat memicu refluks (seperti: Calcium Channel Blocker,
β- Blockers, Nitrates, Theophylline).
- Menghindari obat-obat yang secara langsung dapat mengiritasi mukosa
gastroesophagus (seperti: Bisphosphonates, Tetracyclines, Quinidine, Potassium
Chloride, Iron Salts, Aspirin, Nonsteroidal Antiinflammatory Drugs).
- Pada wanita hamil dengan GERD dianjurkan pasien untuk mengangkat kepala
tempat tidur, menghindari posisi membungkuk atau membungkuk; makan kecil,
sering makan; dan menahan diri untuk tidak menelan makanan (kecuali cairan)
dalam waktu 3 jam sebelum tidur (Patti, M.G., 2017).
- Menurunkan berat badan bila penderita obesitas atau menjaga berat badan sesuai
dengan IMT ideal.

1.3. ALAT DAN BAHAN


1. Alat
a. Form SOAP.
b. Form Medication Record.
c. Catatan Minum Obat.
d. Kalkulator Scientific.
e. Laptop dan koneksi internet.

2. Bahan
a. Text Book
b. Data nilai normal laboraturium.
c. Evidence terkait (Journal, Systematic Review, Meta Analysis).

1.4. STUDI KASUS


Tn M MRS 30 Agustus 2017 sore hari, kemudian tanggal 1 September 2017 pagi
direview oleh apoteker. Usia pasien 36 tahun, jenis kelamin laki-laki. Tidak ada riwayat
alergi obat. Saat MRS (30 Agustus 2017). Pasien mengeluh nyeri perut sebelah kanan

11
sudah kurang lebih selama 1 bulan, badan terasa panas sejak 26 Agustus 2017, kepala
pusing, setiap kali makan perut terasa sakit.

Tanda-tanda vital pasien ditmapilkan pada tabel berikut.


parameter 30/8 31/8 1/9
Suhu 36,9 36,6 36,5
RR (kali/menit) 18
Nadi (kali/menit) 90 60 76
Tekanan darah (mmHg) 120/80 120/80 120/80
Endoskopi 

Hasil pemeriksaan endoskopi menunjukkan GERD grade A dengan menggunakan LA


classification, adanya duodenal polip dan gastritis erosive. Berikut adalah hasil
pemeriksaan laboratorium pada tanggal 31 Agustus 2017

12
Diagnosis: GERD LA Classification grade A, gastritis Erosiva. Pasien rencana KRS 1
September 2017. Berikut adalah catatan pengobatan pasien pada tanggal 30 dan 31
Agustus 2017

13
DAFTAR PUSTAKA

Hasanah, A. N. 2007. Evaluasi Penggunaan Obat Antipeptik Ulser Pada Penderita Rawat
Tinggal Di Rumah Sakit Advent Bandung. Bandung: Fakultas Farmasi Universitas
Padjajaran.
Koda-Kimble MA, Young LD, Alldredge B.K., Corelli R.L., Ernst M.E., Gugliemo B.J.,
Jacobson P.A., Kradjan WA, Williams BR. 2010. Applied Therapeutics: The Clinical
Use of Drugs. 10th ed. Philadelphia: Lippincott Williams &Wilkins
Lullmann, et al., 2000. Color Atlas of Pharmacology 2nd ed. New York : Thieme Stuttgart.
Monica Djaja Saputra, Budianto Widi, 2017, Diagnosis dan Tatalaksana Gastroesophageal
Refux Disease(GERD) di Pusat Pelayanan Kesehatan Primer. CDK-252/ vol. 44. Hal
329-332
Philip, O., Lauren, B., Gerson, MD., and Marcelo, F. 2013. Guidelines for the Diagnosis and
Management Therapy of Gastroesophageal Reflux Disease. The American Journal of
Gastroenterology. Available at : http://s3.gi.org/patients/pdfs/UnderstandGERD.pdf
Sami, S.S dan Ragunath, K. 2013. The Los Angeles Classification of Gastroesophageal
Reflux Disease. Notinggham : University Nottingham

Anda mungkin juga menyukai