Anda di halaman 1dari 12

JURNAL PRAKTIKUM

TEKNOLOGI FORMULASI SEDIAAN NON STERIL

(SEDIAAN SUSPENSI)

Oleh:

Nama : Muhammad Nanda Aprilianto

NIM : 171200211

Kelas : A2C

Kelompok :3

Dosen Pengampu:

PROGRAM STUDI FARMASIL KLINIS

INSTITUT ILMU KESEHATAN MEDIKA PERSADA BALI

DENPASAR

2019
I. TUJUAN PRAKTIKUM
Mengetahui dan menguasai pembuatan sediaan suspensi

II. DASAR TEORI


1. Pengertian Suspensi
Suspensi adalah sediaan yang mengandung bahan obat padat dalam bentuk
halus dan tidak larut, terdispersi dalam cairan pembawa. Zat yang terdispersi harus
halus dan tidak boleh cepat mengendap. Jika dikocok perlahan-lahan endapan harus
segera terdispersi kembali. Suspensi dapat mengandung zat tambahan untuk menjamin
stabilitas suspensi. Kekentalan suspensi tidak boleh terlalu tinggi agar sediaan mudah
dikocok dan dituang. Partikel-partikelnya mempunyai diameter yang sebagian besar
lebih dari 0,1 mikron (Anief, 2000).
Suspensi yang baik harus tetap homogen, paling tidak selama waktu yang
dibutuhkan untuk penuangan dan pemberian dosis setelah wadahnya dikocok. Secara
tradisional, jenis-jenis suspensi farmasi tertentu diberikan tanda-tanda secara terpisah,
seperti mucilago, magma, gel, dan kadang-kadang aerosol; juga termasuk di dalamnya
serbuk kering yang ditambah pembawa pada waktu hendak diberikan pada pasien
(Lachman et al., 1989).
Berdasarkan pemakaiannya, sediaan suspensi dapat digolongkan sebagai
berikut:
a. Suspensi oral : Bisa berupa bentuk suspensi jadi ataupun suspensi rekonstitusi
(Saptaning, Agustina R. 2013).
b. Suspensi topikal : Sediaan cair yang mengandung partikel yang terdispersi dalam
pembawa cair dan ditujukan untuk penggunaan pada kulit. Suspensi ini diberi etiket
sebagai "lotio" Lotio dapat pula berbentuk larutan atau emulsi, dalam formula
sering ditambahkan etanol 90% untuk mempercepat proses pengeringan dan
memberikan efek pendinginan. Selain itu, suspensi jenis ini dapat juga ditambahkan
gliserol untuk menjaga kelembapan kulit. Karakteristik lotion harus mudah
menyebar pada area kulit pada waktu dipakai tetapi tidak mudah mengalir dan harus
cepat kering untuk membentuk lapisan pelindung. Contoh: Calamini Lotio
(Formula Formularium Nasional) (Depkes RI. 1978).
c. Suspensi tetes telinga : Sediaan cair yang mengandung partikel halus dan ditujukan
untuk diteteskan ke dalam telinga. Menurut Fl Edisi III, sebagai bahan pensuspensi
dalam suspensi tetes telinga digunakan sorbitan, polisorbat, atau surfaktan lainnya
yang cocok (Depkes RI. 1979).
d. Suspensi oftalmik : Sediaan cair steril yang mengandung partikel dan terdispersi
dalam cairan pembawa untuk pemakaian pada mata. Obat untuk suspensi ini harus
dalam bentuk partikel halus/termikronisasi karena bila tidak, dapat menimbulkan
iritasi atau menimbulkan goresan pada kornea mata. Contoh: Obat tetes mata
dengan isi bahan obat steroid, CENDO CORTHON (Saptaning, Agustina R. 2013).
e. Suspensi untuk injeksi : Sediaan berupa suspensi serbuk dalam medium cair yang
sesuai, tetapi tidak disuntikkan secara intravena atau ke dalam larutan spinal karena
dapat menyebabkan terjadinya penyumbatan vena (Saptaning, Agustina R. 2013).
f. Suspensi injeksi terkonstitusi Merupakan sediaan padat kering dengan bahan
pembawa yang sesuai untuk membentuk cairan dan memenuhi semua persyaratan
untuk suspensi steril sefelah penambahan bahan pembawa yang sesuai (Saptaning,
Agustina R. 2013).
g. Suspensi untuk lavement : Contohnya adalah lavement dengan bahan obat
lodoform (Mempunyai takaran maksimum khusus lavement sesuai dengan
Pharmacope Belanda edisi V) dalam cairan medium mucilago amyli (Depkes RI.
1979).

2. Keuntungan dan Kerugian Sediaan Suspensi


a. Keuntungan
1. baik digunakan untuk orang yang sulit mengkonsumsi tablet, pil, kapsul.
terutama untuk anak-anak
2. memiliki homogenitas yang cukup tinggi
3. lebih mudah di absorpsi daripada tablet, karna luas permukaan kontak dengan
permukaan saluran cerna tinggi
4. dapat menutupi rasa tidak enak/pahit dari obat
5. dapat mengurangi penguraian zat aktif yang tidak stabil dalam air
b. Kerugian
1. memiliki kestabilan yang rendah
2. jika terbentuk caking maka akan sulit terdispersi kembali, sehingga
homogenisitasnya menjadi buruk
3. alirang yang terlalu kental menyebabkan sediaan sulit untuk dituang
4. ketepatan dosis lebih rendah dibandingkan sediaan larutan
5. suspensi harus dilakukan pengocokan sebelum digunakan
6. pada saat penyimpanan kemungkinan perubahan sistem dispersi akan
meningkat apabila terjadi perubahan temperatur pada tempat penyimpanan

3. Stabilitas Suspensi
Salah satu masalah yang dihadapi dalam proses pembuatan suspensi adalah cara
memperlambat penimbunan partikel serta menjaga homogenitas partikel. Cara tersebut
merupakan salah satu tindakan untuk menjaga stabilitas suspensi (Syamsuni, 2006).
a. Ukuran Partikel
Ukuran partikel erat hubungannya dengan luas penampang partikel tersebut
serta daya tekan ke atas dari cairan suspensi itu. Hubungan antara ukuran partikel
merupakan perbandingan terbalik dengan luas penampangnya. Sedangkan antara
luas penampang dengan daya tekan ke atas terdapat hubungan linier. Artinya,
semakin kecil ukuran partikel, semakin besar luas penampangnya (dalam volume
yang sama). Sedangkan semakin besar luas penampang partikel, daya tekan ke atas
cairan akan semakin besar, akibatnya memperlambat gerakan partikel untuk
mengendap sehingga untuk memperlambat gerakan partikel tersebut dapat
dilakukan dengan memperkecil ukuran partikel (Syamsuni, 2006).
b. Kekentalan (Viskositas)
Kekentalan suatu cairan mempengaruhi pula kecepatan aliran cairan
tersebut, semakin kental suatu cairan, kecepatan alirannya semakin turun atau
semakin kecil. Kecepatan aliran dari cairan tersebut akan mempengaruhi pula
gerakan turun partikel yang terdapat didalamnya. Dengan demikian, dengan
menambah kekentalan atau viskositas cairan, gerakan turun partikel yang
dikandungnya akan diperlambat. Perlu diingat bahwa kekentalan suspensi tidak
boleh terlalu tinggi agar sediaan mudah dikocok dan dituang (Syamsuni, 2006).
c. Jumlah Partikel
Jika di dalam sutu ruangan terdapat partikel dalam jumlah besar, maka
partikel akan sulit melakukan gerakan bebas karena sering terjadi benturan antara
partikel tersebut. Oleh benturan ini akan menyebabkan terbentuknya endapan zat
tersebut, oleh karena itu semakin besar konsentrasi partikel makin besar
kemungkinannya terjadi endapan partikel dalam waktu yang singkat (Syamsuni,
2006).
d. Sifat atau Muatan Partikel
Suatu suspensi kemungkinan besar terdiri atas beberapa macam campuran
bahan yang sifatnya tidak selalu sama. Dengan demikian, ada kemungkinan terjadi
interaksi antar bahan yang menghasilkan bahan yang sukar larut dalam cairan
tersebut. Karena sifat bahan tersebut sudah merupakan sifat alam, kita tidak dapat
mempengaruhinya. Stabilitas suspensi didefinisikan sebagai kondisi suspensi
dimana partikel tidak mengalami agregasi dan tetap terdistribusi merata. Jika
partikel mengendap, partikel tersebut akan mudah tersuspensi kembali dengan
pengocokan ringan. Partikel yang mengendap ada kemungkinan dapatsaling
melekat oleh suatu kekuatan untuk membentuk agregasi dan selanjutnya
membentuk compacted cake, peristiwa itu disebut “caking (Syamsuni, 2006).
Caking adalah agregat padat yang terjadi oleh pertumbuhan atau
penggabungan kristal dalam endapan. Terjadinya setiap tipe aglomerat, baik flokul
atau agregat dianggap sebagai ukuran kecenderungan sistem untuk mencapai
keadaan yang lebih stabil termodinamik (Anief, 2007).

4. Sistem Pembentukan Suspensi


a. Sistem Deflokulasi
Partikel deflokulasi mengendap perlahan-lahan dan akhirnya membentuk
sedimen, akan terjadi agregasi dan akhirnya terbentuk cake yang keras dan sukar
tersuspensi kembali (Syamsuni, 2006).
Pada sistem deflokulasi partikel suspensi tetap dalam keadaan terpisah satu
dengan yang lain dan bila terjadi sedimentasi telah sempurna, partikel-partikel akan
membentuk rangkaian yang terbungkus dan berdekatan serta partikel yang lebih
kecil akan mengisi antara partikel yang lebih besar. Partikel yang berada dibawah
sedimen lama-kelamaan akan tertekan karena berat dari partikel diatasnya dan
partikel-partikel akan lebih rapat. Untuk mensuspensikan atau mendispersi kembali
diperlukan mengatasi enersi rintangan yang tinggi. Karena sulit terdispers kembali
dengan pengocokan ringan, maka partikel tetap saling tarik-menarik yang kuat dan
membentuk cake yang keras (Anief, 2006).
b. Sistem Flokulasi
Dalam sistem flokulasi, partikel flokulasi terikat lemah, cepat mengendap
dan pada penyimpanan tidak terjadi cake dan mudah tersuspensi kembali
(Syamsuni, 2006).
Dalam sistem flokulasi, partikel terflokulasi adalah terikat lemah, cepat
mengenap dan mudah tersuspensi kembali dan tidak membentuk cake. Sedangkan
pada sistem deflokulasi, partikel terdeflokulasi mengenap perlahan-lahan dan
akhirnya membentuk sedimen dan terjadi agregasi dan selanjutnya cake yang keras
terjadi dan sukar tersuspensi kembali. Pada sistem flokulasi biasanya mencegah
pemisahan yang tergantung pada kadar partikel padat dan derajat flokulasinya dan
pada waktu sistem flokulasi kelihatan kasar akibat terjadinya flokul. Dalam sistem
deflokulasi, partikel terdispersi baik dan mengenap sendiri dan lebih lambat
daripada sistem flokulasi tetapi partikel deflokulasi dapat membentuk sedimen atau
cake yang sukar terdispersi kembali (Anief, 2006).

III. ALAT DAN BAHAN


1. Alat
a. Cawan porselen
b. Sudip
c. Mortar dan stamper
d. Gelas ukur
e. Beaker glass
f. Batang pengaduk
2. Bahan
a. Paracetamol
b. Etanol
c. Propilen glikol
d. Sirup simplex
e. Asam benzoate
f. CMC
g. Pewarna
h. Essense

IV. PEMERIAN BAHAN


1. Paracetamol
a. Pemerian: hablur atau serbuk hablur putih, tidak berbau, rasa pahit
b. Kelarutan: larut dalam 70 bagian air, dalam 7 bagian etanol (95%) P, dalam 13
bagian aseton P, dalam 40 bagian gliserol P dan dalam 9 bagian Propielnnglikol P,
larut dalam larutan alkali hidroksida.
c. Penyimpanan: wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya
d. Khasiat: analgetikum dan antipiretikum
(FI III, 1979)
2. Etanol
a. Pemerian: cairan tak berwarna, jernih, mudah menguap danmudah bergerak, bau
khas, rasa panas, mudah terbakar dengan memberikan nyala biru yang tidak
berasap.
b. Kelarutan: sangat mudah larut dalam air, dalam kloroform P dan dalam eter P
c. Penyimpanan: dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari cahaya, ditempat sejuk,
jauh dari nyala api
d. Khasiat: zat tambahan
(FI III, 1979)
3. PG
a. Pemerian: cairan kental, jernih, tidak berwarna, tidak berbau, rasa agak manis,
higroskopis
b. Kelarutan: dapat campur dengan air, dengan etanol (95%) P dan dengan kloroform
P, larut dalam 6 bagian eter P, tidak dapat campur dengan eter minyaktanah P dan
dengan minyak lemak.
c. Penyimpanan: wadah tertutup baik
d. Khasiat: zat tambahan, pelarut
(FI III, 1979)

4. Sirup simplex
a. Pemerian: cairan jernih, tidak berwarna
b. Kelarutan: Larut dalam air, mudah larut dalam air mendidih ;sukar larut dalam
etanol ; tidak larut dalam kloroform dan eter.
c. Penyimpanan: tertutup rapat
d. Khasiat: zat tambahan
(FI III, 1979)

5. Asam benzoate
a. Pemerian: hablur halus dan ringan, tidak berwarna, tidak berbau
b. Kelarutan: larut dalam lebih kurang 350 bagian air, dalam lebih kurang 3 bagian
etanol (95%) P, dalam 8 bagian kloroform P dan dalam 3 bagian eter P
c. Penyimpanan: wadah tertutup baik
d. Khasiat: aniseptikum ekstern, antijamur
(FI III, 1979)

6. CMC Na
a. Pemerian: Serbuk berwarna putih, tidak berasa, bergranul.
b. Kelarutan: Mudah terdispersi dalam air membentuk larutan koloidal; tidak larut
dalam etanol, dalam eter dan dalam pelarut organik lain.
c. Penyimanan: wadah tertutup rapat
d. Khasiat: Emulsifying agent, bahan pengental, suspending agent, bahan penolong
tablet, peningkat viskositas.
(FI III, 1979)
V. CARA KERJA
Botol dikalibrasi 60ml

Timbang parasetamol, masukkan dalam beaker glass + etanol, aduk ad larut + PG +


asam benzoate + aduk ad larut

Taburkan CMC di atas air, biarkan sampai mengembang, aduk.

No. 2 + No. 3 + pewarna aduk ad homogen

Tambahkan air ad tanda kalibrasi + essense

VI. PERHITUNGAN BAHAN

R/ Paracetamol 120mg/5ml
Etanol 5ml
PG 5,5ml
Sirup Simplex 40%
Asam benzoate 0,1%
CMC 1%
Pewarna 0,1%
Essense qs
Aqua ad 60ml

60
1. Paracetamol : 𝑥120 = 1,4 𝑔
5

2. Etanol : 5 ml
3. PG : 5,5 ml
40
4. Sirup simplex : 100 𝑥60 = 24 𝑚𝑙
0,1
5. Asam Benzoat : 100 𝑥60 = 60 𝑚𝑔
1
6. CMC : 100 𝑥60 = 600 𝑚𝑔
0,1
7. Pewarna : 100 𝑥60 = 60 𝑚𝑔

8. Essense : qs
9. Aqua ad : 60 ml
VII. HASIL PENGAMATAN
DAFTAR PUSTAKA

Anief, M, 2000, Farmasetika, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta

DepKes RI, 1979, Farmakope Indonesia, Edisi III, Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
Jakarta.

Lachman, L., Schwartz, J.B., and Lieberman H.A., 1989, Pharmaceutical Dosage Forms., Tablets,
2nd Ed, 492, Marcell Dekker Inc., New York.

Syamsuni H.A., 2006, Ilmu Resep, EGC, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai