Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN RESMI

PRAKTIKUM TEKNOLOGI SEDIAAN SEMI SOLID


PEMBUATAN DAN EVALUASI SALEP

Tanggal Percobaan : Senin, 26 April & 3 Mei 2021


Kelompok/Kelas : 7/B

Disusun Oleh :
Dika Nurhafizha 22010317140032
Ericasyifa Salsabila 22010319130053
Tenri Iola Daffinna Izzati 22010319140077
Alyalifah Balqis Setiawan 22010319140081
Putri Nourma Gupita 22010319140086

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2021
PERCOBAAN IV
PEMBUATAN DAN EVALUASI SALEP

I. Tujuan
Mahasiswa dapat mengetahui tata cara pembuatan salep dan mengevaluasi
sediaan salep.

II. Tinjauan Pustaka


2.1 Salep
Salep adalah sediaan setengah padat yang mudah dioleskan dan
digunakan sebagai obat luar. Bahan obat harus larut atau terdispersi
homogen dalam dasar atau basis salep yang cocok (Depkes RI, 1995).
Salep dapat mengandung obat atau tidak mengandung obat disebut
dengan basis salep (Ansel, 1989).
Untuk memperoleh salep yang baik, salep harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut (Martin, 1993):
1. Stabil
Salep harus stabil selama masih digunakan untuk
mengobati. Oleh karena itu, bebas inkompatibilitas, stabil pada
suhu kamar dan kelembaban yang ada dalam kamar.
2. Lunak
Salep banyak digunakan untuk kulit teriritasi, inflamasi dan
dibuat sedemikian sehingga semua zat keadaan yang halus dan
seluruh produk harus lunak dan homogen.
3. Mudah dipakai
Kebanyakan keadaan salep adalah mudah digunakan,
kecuali sediaan salep yang dalam keadaan sangat kaku (keras) atau
sangat encer. Salep tipe emulsi umumnya paling mudah
dihilangkan dari kulit.
4. Dasar salep yang cocok
Dasar salep harus dapat bercampur secara fisika dan kimia
dengan obat yang dikandungnya. Dasar salep tidak boleh merusak
atau menghambat aksi terapi dari obatnya pada daerah yang
diobati. Selain itu dasar salep perlu dipilih untuk maksud dapat
membentuk lapisan film penutup atau yang dapat mudah dicuci
sesuai yang diperlukan.

2.2 Dasar Salep


Salep terdiri dari basis salep yang dapat berupa sistem sederhana
atau dari komposisi yang lebih kompleks bersama bahan aktif atau
kombinasi bahan aktif (Voigt, 1984). Basis salep merupakan bagian
terbesar dari bentuk sediaan salep. Berdasarkan hasil dari berbagai
penelitian, ternyata basis salep mempunyai pengaruh yang besar
terhadap efektivitas obat yang dibawanya (Barry, 1983).
Dalam sediaan salep, komposisi basis merupakan hal yang penting
karena akan mempengaruhi kecepatan pelepasan obat dari basisnya.
Dasar salep umumnya bertendensi memperlambat atau menghambat
absorpsi obat menembus epidermis dan permukaan mukosa sehingga
secara tidak langsung akan mempengaruhi khasiat dari obat yang
dikandungnya (Barry, 1983).
Pemilihan basis salep yang dipakai dalam formulasi sediaan salep
tergantung faktor-faktor berikut (Ansel, 1989):
1. Laju pelepasan yang diinginkan bahan obat dari basis salep.
2. Keinginan peningkatan absorbsi obat dari basis salep.
3. Kelayakan melindungi lembab dari kulit oleh basis salep.
4. Kekentalan atau viskositas dari basis salep.
Setiap salep mempunyai basis yang bermacam-macam dan
mempunyai sifat hidrofil dan hidrofob. Basis salep memiliki daya
sebar yang baik dan menjamin pelepasan bahan obat yang memuaskan
(Voigt, 1984).
Berdasarkan komposisinya, dasar salep dapat digolongkan sebagai
berikut (Ansel, 1989):
1. Dasar salep hidrokarbon
Dasar salep hidrokarbon (dasar salep berlemak) bebas air,
preparat yang berair mungkin dapat dicampurkan hanya dalam
jumlah sedikit saja, bila lebih minyak sukar bercampur. Kerjanya
sebagai bahan penutup saja. Tidak mengering atau tidak ada
perubahan dengan berjalannya waktu. Dasar salep hidrokarbon
yaitu Vaselinum, Jelene, minyak tumbuh-tumbuhan.
2. Dasar salep absorpsi
Dasar salep absorpsi dapat dibagi menjadi dua tipe, yaitu:
a. Memungkinkan pencampuran larutan berair, hasil dari
pembentukan emulsi air dan minyak (misalnya: Petrolatum
Hidrofilik dan Lanolin Anhidrida)
b. Telah menjadi emulsi air minyak (dasar emulsi),
memungkinkan bercampurnya sedikit penambahan jumlah
larutan berair (misalnya: Lanolin dan Cold Cream). Dasar
salep ini berguna sebagai emolien walaupun tidak
menyediakan derajat penutupan seperti yang dihasilkan dasar
salep berlemak. Seperti dasar salep berlemak, dasar salep
absorpsi tidak mudah dihilangkan dari kulit oleh pencucian
air.
3. Dasar salep yang dapat dibersihkan dengan air
Dasar salep yang dapat dibersihkan dengan air merupakan
emulsi minyak dalam air yang dapat dicuci dari kulit dan pakaian
dengan air. Atas dasar ini bahan tersebut sering dikatakan sebagai
bahan dasar salep “tercuci air”. Contoh dasar salep ini adalah
vanishing cream.
4. Dasar salep yang dapat larut dalam air
Tidak seperti dasar salep yang tidak larut dalam air, yang
mengandung kedua-duanya, komponen yang larut maupun yang
tidak larut dalam air, dasar yang larut dalam air hanya
mengandung komponen yang larut dalam air. Tetapi, seperti dasar
salep yang dapat dibersihkan dengan air basis yang dapat dicuci
dengan air. Basis yang larut dalam air biasanya disebut sebagai
greaseless karena tidak mengandung bahan berlemak. Contoh
dasar salep ini adalah PGA atau campuran PEG.

2.3 Kelebihan dan Kekurangan Salep


2.3.1 Kelebihan Salep
1. Dapat diatur daya penetrasi dengan memodifikasi
basisnya.
2. Kontak sediaan dengan kulit lebih lama.
3. Lebih sedikit mengandung air sehingga sulit ditumbuhi
bakteri.
4. Lebih mudah digunakan tanpa alat bantu.
(Ansel, 2008).
2.3.2 Kekurangan Salep
1. Terjadi tengik terutama untuk sediaan dengan basis lemak
tak jenuh.
2. Terbentuk kristal atau keluarnya fase padat dan basisnya.
3. Terjadi perubahan warna.
4. Kekurangan basis hidrokarbon: Sifatnya yang berminyak
dapat meninggalkan noda pada pakaian serta sulit dicuci
hingga sulit dibersihkan dari permukaan kulit.
5. Kekurangan basis absorpsi: Kurang tepat bila di pakai
sebagai pendukung bahan bahanantibiotik dan bahan
bahan kurang stabil dengan adanya air Mempunyai sifat
hidrofil atau dapat mengikat air.
(Ansel, 2008).

2.4 Teknik Pembuatan Salep


2.4.1 Metode Pencampuran
Metode ini dilakukan dengan mencampurkan
komponen salep dengan segala cara sampai sediaan
terbentuk homogen. Pada skala kecil, pencampuran dapat
dilakukan dengan menggunakan mortar dan stamper atau
menggunakan sudip dan lempeng salep (gelas yang besar
atau porselin). Beberapa lempeng salep dari gelas adalah
gelas penggiling supaya dapat lebih hancur pada proses
penggerusan. Kelebihan metode ini yaitu mudah dan
nyaman dilaksanakan karena tidak perlu menggunakan
panas dalam mencampur bahan. Metode ini juga lebih
cocok digunakan oleh bahan termolabil karena
kestabilannya tidak terganggu oleh panas. Sedangkan,
kelemahan metode ini yaitu sulit dalam pencampuran bahan
karena wujud bahan yang berbeda sehingga sulit
dihomogenkan (Ansel, 1989).
2.4.2 Metode Peleburan
Metode ini dilakukan dengan meleburkan
komponen bersama-sama dan didinginkan dengan
pengadukan konstan hingga mengental. Komponen yang
tidak dilebur biasanya ditambahkan pada cairan yang
sedang mengental setelah didinginkan. Bahan yang mudah
menguap ditambahkan terakhir bila temperature dari
campuran telah cukup rendah sehingga tidak menyebabkan
penguraian atau penguapan dari komponen tersebut. Ada
pula bahan-bahan yang ditambahkan pada campuran yang
membeku dalam bentuk larutan, yang lain penambahan
sebagai serbuk tidak larut biasanya digerus dengan sebagian
dasar salep. Dalam skala kecil, metode peleburan dilakukan
menggunakan cawan porselin atau gelas piala. Kelebihan
metode ini yaitu mudah dalam menghomogenkan bahan
karena dibantu oleh panas sehingga bahan-bahan yang
dicampur berubah wujud menjadi cair. Sedangkan,
kelemahan metode ini yaitu sulit dan tidak nyaman dalam
pengerjaan karena memerlukan panas dan diperlukan bahan
lebih banyak karena menghindari penguapan bahan ketika
dilakukan pemanasan. Selain itu, metode ini juga kurang
cocok digunakan untuk bahan yang termolabil karena dapat
merusak zat aktif yang diinginkan (Ansel, 1989).

2.5 Jenis Evaluasi Salep


2.5.1 Uji Organoleptik
Penilaian organoleptik yang juga disebut sebagai
penilaian indera atau penilaian sensori merupakan suatu
cara penilaian yang sudah sangat lama dikenal dan masih
sangat umum digunakan. Metode penelitian ini banyak
digunakan karena dapat dilaksanakan dengan cepat dan
langsung. Dalam beberapa hal, penelitian dengan indera
bahkan memiliki ketelitian yang lebih baik dibandingkan
dengan alat ukur yang paling sensitif. Penerapan penelitian
organoleptis pada prakteknya disebut sebagai uji
organoleptik yang dilakukan dengan prosedur tertentu.
Dalam uji organoleptik, indera yang berperan adalah indera
penglihatan, penciuman, pengecapan, peraba, dan
pendengaran. Pengujian organoleptik meliputi warna,
penampilan, bentuk, warna, rasa, dan tekstur (Kartika,
1988).
Pemeriksaan sediaan salep meliputi bentuk, warna,
dan bau yang diamati secara visual. Spesifikasi dari
pengujian ini adalah salep sedapat mungkin mendekati
dengan spesifikasi sediaan yang telah ditentukan selama
formulasi pada panduan formularium. Spesifikasi-
spesifikasi tersebut meliputi adanya konsistensi lembut,
homogenitas sediaan, dan daya sebar salep yang merata
(Khopkar, 1990).
2.5.2 Uji Homogenitas
Homogenitas sediaan salep dapat ditentukan
berdasarkan jumlah partikel maupun distribusi ukuran
partikelnya. Untuk hasil yang lebih akurat, dapat digunakan
mikroskop. Akan tetapi, homogenitas juga dapat ditentukan
secara visual. Pemeriksaan homogenitas dilakukan dengan
mengambil beberapa gram salep, kemudian dioleskan pada
kaca objek yang telah bersih dan kering, sehingga
membentuk suatu lapisan yang tipis. Salep dikatakan
homogen apabila salep memiliki tekstur yang tampak rata
dan tidak menggumpal (Khopkar, 1990).
2.5.3 Uji Daya Lekat
Uji daya lekat salep dilakukan untuk mengetahui
kemampuan salep melekat pada tempat aplikasinya. Daya
lekat basis berhubungan dengan lamanya kontak antara
basis dengan kulit, dan kenyamanan penggunaan basis.
Basis yang baik mampu menjamin waktu kontak yang
efektif dengan kulit sehingga tujuan tercapai, dimana
persyaratan daya lekat yang baik untuk sediaan topikal
adalah lebih dari 4 detik. (Betageri dan Prabhu, 2012).
Uji daya lekat dilakukan dengan menimbang 0,5
gram salep kemudian dioleskan pada kaca objek kemudian
ditutup dengan tutup objek pada alat uji daya lekat. Setelah
itu, ditambahkan beban 500 gram. Diamkan selama 1
menit. Setelah 1 menit, beban diturunkan dengan menarik
tuasnya. Kemudian, diamati waktu yang dibutuhkan beban
tersebut untuk dapat memisahkan kedua kaca tersebut
(Ulaen et al, 2012).
2.5.4 Uji Daya Proteksi
Pengujian daya proteksi dilakukan untuk
mengetahui kemampuan sediaan melindungi kulit dari
pengaruh luar, dalam hal ini yang digunakan sebagai
parameter adalah cairan yang bersifat basa. Diambil kertas
saring (10x10cm) dibasahi dengan indikator fenolftalein
dan dikeringkan. Di oleskan salep pada kertas saring seperti
lazimnya orang memakai salep. Diambil kertas saring lagi,
ukuran 2,5 cm x 2,5. Ditempelkan kertas saring yang lebih
kecil diatas kertas saring yang lebih besar. Teteskan KOH
0,1 N pada kertas saring yang lebih kecil. Diamati
timbulnya noda kemerahan pada kertas saring yang lebih
besar. 5, 10, 15, 30, 45, 60 detik. Jika tidak ada noda merah
berarti sediaan salep dapat memberikan proteksi terhadap
cairan (Septiana, 2019).
2.5.5 Uji Daya Sebar
Daya sebar adalah kemampuan penyebaran salep
pada kulit. Pengujian ini ditujukan untuk mengetahui
kecepatan penyebaran salep pada kulit. Uji daya sebar
dilakukan dengan cara timbang 0,5 gram sediaan salep,
letakkan di tengah alat uji daya sebar. Ditimbang terlebih
dahulu penutup pada ekstensometer, dan ditutup selama 1
menit. Ukur diameter yang menyebar dengan mengambil
panjang rata-rata diameter dari beberapa sisi. Ditambahkan
beban 50 gram, diamkan selama 1 menit dan catat diameter
sediaan yang menyebar seperti sebelumnya. Diameter
penyebaran diukur saat sediaan berhenti menyebar (dengan
waktu tertentu secara teratur) (Voigt, 1994).
Menurut Voight (1994), uji daya sebar bertujuan
untuk mengetahui kemampuan salep agar mudah
diaplikasikan atau digunakan. Pengujian ini dilakukan
untuk mengetahui kelunakan massa salep sehingga dapat
diketahui kemudahan pengolesan sediaan salep saat
dioleskan pada kulit. Daya sebar salep dapat menentukan
adsorpsi pada tempat pemakaian, semakin baik daya
sebarnya maka semakin banyak salep yang diabsorbsi.
Diameter penyebaran salep yang baik antara 5-7 cm.
Menurut Hasyim (2012), suatu basis salep sebaiknya
memiliki daya sebar yang baik untuk menjamin pemberian
obat yang memuaskan. Perbedaan daya sebar sangat
berpengaruh terhadap kecepatan difusi zat aktif dalam
melewati membran. Semakin luas membran tempat sediaan
menyebar maka koefisien difusi semakin besar yang
mengakibatkan difusi obat pun semakin meningkat,
sehingga semakin besar daya sebar suatu sediaan maka
semakin baik pula kualitas suatu sediaan salep.
III. Metode
3.1 Alat
a. Cawan porselen
b. Mortir dan stamper
c. Gelas ukur
d. Alat pemanas
e. Batang pengaduk
f. Pot salep
g. Gelas objek
h. Timbangan analitik
i. Stopwatch
j. Ekstensometer
k. Penggaris
l. Beban 50 gram
m. Beban 500 gram

3.2 Bahan
a. Asam salisilat
b. Vaselin
c. Cera flava
d. PEG 4000
e. PEG 400
f. Kertas saring
g. Indikator PP
3.3 Formula Bahan

Nama Bahan R1 R2 R3 R4 R5
Asam 25 mg 25 mg 25 mg 25 mg 25 mg
salisilat
Vaselin 4975 mg 4700 mg 2500 mg - -
Cera flava - 275 mg 2475 mg - -
PEG 4000 - - - 2775 1375
mg mg
PEG 400 - - - 2200 3600
mg mg

3.4 Cara Kerja


3.4.1 Pembuatan Salep
Bahan Sesuai Formula
― Ditimbang sebanyak dua kali untuk setiap
formula.
― Dilakukan pembuatan basis salep dengan teknik
peleburan dengan cara memasukkan basis sesuai
formula (vaselin/vaselin-cera flava/PEG 4000-
PEG 400) ke dalam cawan porselen, kemudian
dipanaskan di atas penangas air hingga melebur.
― Diiaduk hingga tercampur, kemudian diamkan
hingga dingin.
― Dimasukkan asam salisilat ke dalam mortir,
ditambahkan alkohol 2 tetes.
― Dimasukkan basis yang sudah dibuat, diaduk
hingga merata.
― Dimasukkan salep ke dalam pot salep dan
dilakukan evaluasi sediaan.

Hasil
3.4.2 Evaluasi Salep
a. Uji Organoleptik

Hasil sediaan salep dari praktikum sebelumnya

― Dilakukan pengamatan tekstur, warna, dan bau


dengan panca indera. Untuk tekstur memiliki
kekentalan yang cukup kental, untuk warna
berwarna putih, dan untuk bau tidak berbau.

Hasil

b. Uji Homogentitas

Hasil sediaan salep dari praktikum sebelumnya

Gelas Objek

― Diambil sedikit sediaan salep dan diletakkan


pada gelas objek.
― Diratakan sediaan salep dengan gelas objek
yang lainnya.
― Dilihat apakah masih terlihat partikel-partikel
kecil atau tidak.

Hasil
c. Uji Daya Lekat

Hasil sediaan salep dari praktikum sebelumnya

Alat Uji Daya Lekat

― Ditimbang sediaan sebanyak 0,5 gram dan


diletakkan pada gelas objek.
― Ditutup sediaan dengan gelas objek lainnya.
― Ditambahkan beban sebanyak 500 gram di
atas sediaan, lalu didiamkan selama 1 menit.
― Diangkat beban dan dibersihkan sisa sisa
sediaan pada sisi gelas objek.
― Dipasang gelas objek pada alat uji daya lekat
dan dipastikan beban dalam keadaan disangga.
― Setelah terpasang, ditarik tuas untuk
menurunkan bebannya dan dicatat waktu
sampai gelas objek terlepas.

Hasil
d. Uji Daya Proteksi

Hasil sediaan salep dari praktikum sebelumnya

Kertas Saring

― Disiapkan kertas saring 10x10 cm yang


diletakkan diatas cawan porselen.
― Diteteskan indikator PP ke kertas saring secara
merata menggunakan pipet tetes.
― Dikeringkan kertas saring ke dalam oven.
― Kertas saring yang telah dikeringkan diambil
dari oven.
― Dioleskan sediaan salep ke kertas saring yang
telah dikeringkan (ukuran 10x10 cm)
menggunakan tangan yang sudah memakai
sarung tangan lateks.
― Ditempelkan kertas saring berukuran 2,5x2,5
cm diatas kertas saring yang besar (ukuran
10x10 cm) sebanyak 9 buah.
― Diteteskan larutan KOH 0,1 N diatas kertas
saring berukuran 2,5x2,5 cm menggunakan
pipet tetes.
― Diamati ada tidaknya noda merah yang timbul
pada detik ke 5, 10, 15, 30, 45, dan 60.

Hasil
e. Uji Daya Sebar

Hasil sediaan salep dari praktikum sebelumnya

Alat Uji Daya Sebar

― Ditimbang terlebih dahulu penutup kaca


ekstensometer, kemudian dicatat hasil
penimbangannya.
― Ditimbang sediaan salep sebanyak 0,5 gram
kemudian diletakkan sediaan salep di tengah
alat uji daya sebar atau ekstensometer
menggunakan sendok tanduk.
― Diletakkan penutup kaca pada ekstensometer
dan ditunggu selama 1 menit.
― Sediaan yang menyebar diukur menggunakan
penggaris dari beberapa sisi.
― Dihitung rata-rata diameternya.
― Ditambahkan beban 50 gram dan ditunggu
selama 1 menit.
― Diukur diameter sediaan salep yang menyebar
dari beberapa sisi menggunakan penggaris dan
dihitung rata-ratanya.
― Ditambahkan lagi beban sebanyak 50 gram
dan ditunggu selama 1 menit.
― Diukur diameter sediaan yang menyebar dari
beberapa sisi menggunakan penggaris dan
dihitung rata-ratanya.

Hasil
IV. Data Pengamatan

No. Nama Uji Hasil Evaluasi Syarat


Penerimaan

1. Uji Setelah Pembuatan Spesifikasi


Organoleptis F1 spesifikasi
a. Bentuk : Setengah Padat tersebut meliputi
b. Bau : Seperti vaselin adanya
c. Warna : Putih konsistensi
F2 lembut,
a. Bentuk : Setengah Padat homogenitas
b. Bau : Seperti vaselin sediaan, dan daya
c. Warna : Putih sebar salep yang
F3 merata (Khopkar,
a. Bentuk : Setengah Padat 1990).
b. Bau : Seperti cera flava
c. Warna : Kekuningan
F4
a. Bentuk : Setengah Padat
b. Bau : Seperti PEG
c. Warna : Putih
F5
a. Bentuk : Setengah Padat
b. Bau : Seperti PEG
c. Warna : Putih

Setelah Penyimpanan
F1
a. Bentuk : Setengah Padat
b. Bau : Tidak tengik
c. Warna : Tidak berubah
F2
a. Bentuk : Setengah Padat
b. Bau : Tidak tengik
c. Warna : Tidak berubah
F3
a. Bentuk : Setengah Padat
b. Bau : Tidak tengik
c. Warna : Tidak berubah
F4
a. Bentuk : Setengah Padat
b. Bau : Tengik
c. Warna : Berubah menjadi
merah muda
F5
a. Bentuk : Setengah Padat
b. Bau : Tengik
c. Warna : Berubah menjadi
merah muda

2. Uji F1 : Partikel tidak merata Salep dikatakan


Homogenitas F2 : Patikel tidak merata homogen apabila
F3 : Patikel tidak merata salep memiliki
F4 : Cukup merata tekstur yang
F5 : Patikel tidak merata tampak rata dan
tidak
menggumpal
(Khopkar, 1990).

3 Uji Daya F1 : 2,41 detik Daya lekat yang


Lekat F2 : 3,47 detik baik untuk
F3 : ≥ 4 detik sediaan topikal
F4 : ≥ 4 detik adalah lebih dari 4
F5 : 2,80 detik detik. (Betageri
dan Prabhu,
2012).

4 Uji Daya F1 : Tidak ada noda kemerahan Jika tidak ada


Proteksi F2 : Tidak ada noda kemerahan noda merah
F3 : Tidak ada noda kemerahan berarti sediaan
F4 : Tidak ada noda kemerahan salep dapat
F5 : Tidak ada noda kemerahan memberikan
proteksi terhadap
cairan (Septiana.,
2019).

5 Uji Daya F1 : Diameter


Sebar Menit 1 = 2,3; 2,5; 2,6 = 2,47 penyebaran salep
Menit 2 = 2,7; 3; 2,9 = 2,87 yang baik antara
Menit 3 = 3,2; 3, 2;3 = 3,13 5-7 cm (Voight,
F2 : 1994).
Menit 1 = 2,1; 1,7; 1,9 = 1,9
Menit 2 = 2,5; 2,2; 2,1 = 2,27
Menit 3 = 2,8; 2,3; 2,5 = 2,53
F3 :
Menit 1 = 2,1; 2,3; 2 = 2,13
Menit 2 = 2,3; 2,2; 2,3 = 2,67
Menit 3 = 2,5; 2,2; 2,1 = 2,27
F4 :
Menit 1 = 2; 2; 1,9 = 1,97
Menit 2 = 2,2; 2,1; 2 = 2,1
Menit 3 = 2,3; 2,1; 2 = 2,13
F5 :
Menit 1 = 2,5; 2,4; 2,5 = 2,47
Menit 2 = 2,7; 2,7; 2,6 = 2,67
Menit 3 = 2,8; 2,9; 2,8 = 2,83
Keterangan :
Menit 1  beban penutup
Menit 2  beban 50 gram
Menit 3  beban 100 gram
V. Pembahasan
Telah dilakukan Praktikum Teknologi Cair-Semi Padat secara online pada
hari Senin, 26 April & 3 Mei 2021 pukul 13.00 - 16.00 WIB dengan judul
“Pembuatan dan Evaluasi Salep” melalui platform Microsoft Teams. Tujuan
dari praktikum ini adalah agar mahasiswa dapat mengetahui tata cara
pembuatan salep dan mengevaluasi sediaan salep.
5.1 Pembuatan Salep
Pembuatan salep pada praktikum ini digunakan metode peleburan.
Hal ini dikarenakan basis salep yaitu vaselin, cera flava, PEG 4000 dan
PEG 400 dileburkan terlebih dahulu pada waterbath dan dicampurkan
dengan bahan aktifnya, yaitu asam salisilat sesudah basis mendingin.
Menurut Ansel (1989), metode peleburan dilakukan dengan meleburkan
komponen bersama-sama dan didinginkan dengan pengadukan konstan
hingga mengental. Komponen yang tidak dilebur biasanya ditambahkan
pada cairan yang sedang mengental setelah didinginkan.
Langkah kerja pertama yang dilakukan yaitu diletakkan basis salep
pada cawan porselen, lalu dileburkan basis salep pada cawan porselen
hingga meleleh sempurna menggunakan waterbath dan bantuan pengaduk
gelas. Penentuan urutan peleburan bahan berdasarkan titik lebur tertinggi
dari bahan salep, dimana setiap bahan diketahui memiliki titik lebur yang
berbeda. Oleh karena itu, bahan dengan titik lebur paling tinggi akan
dileburkan terlebih dahulu, kemudian setelah itu baru komponen lain
ditambahkan ke dalam cairan panas leburan tersebut. Menurut Ansel
(1989), dalam proses peleburan basis perlu diperhatikan titik lebur dan
konsistensi zatnya, tidak boleh terlalu tinggi ataupun terlalu rendah karena
jika terlalu tinggi basis bisa rusak/menguap dan jika terlalu rendah nanti
hasilnya tidak meleleh secara merata dan menyebabkan ketidak
homogenan. Setelah itu, dimasukkan asam salisilat ke dalam mortir dan
diteteskan kurang lebih 2 tetes alkohol menggunakan pipet tetes.
Selanjutnya digerus hingga homogen dengan pengadukan secara searah.
Dilanjutkan dengan penambahan basis yang sudah dilelehkan ke dalam
mortir berisi asam salisilat secara sedikit demi sedikit diiringi pengadukan
secara cepat hingga homogen. Menurut Voight (1994), lama pengadukan
pada proses pembuatan tidak boleh terlalu pendek atau terlalu lama, jika
terlalu pendek maka partikel belum dalam ukuran kecil sehingga
kestabilan akan terganggu dan kemungkinan bahan belum tercampur
merata. Sedangkan jika terlalu lama maka dapat menyebabkan terjadinya
tumbukan antar globula basis yang bersifat minyak. Menurut Ansel
(1989), teknik pengadukan yang baik dalam menghasilkan salep yang
berkualitas yaitu dilakukan pengadukan kuat, cepat, dan searah dengan
jarum jam, dimana tujuan dari pengadukan kuat dan cepat yaitu agar
komponen bahan pada formulasi salep tercampur secara merata dan
homogen. Pengadukan yang lemah dapat menyebabkan basis
menggumpal atau kembali menjadi bentuk semula dan sulit untuk
tercampur dengan komponen lain. Menurut Khopkar (1990), salep yang
sudah homogen ditandai dengan bahan bahan sudah tercampur sempurna
dan menghasilkan warna yang bercampur homogen, serta tidak adanya
partikel partikel yang bergerinjal (sediaan salep halus). Langkah kerja
selanjutnya yaitu dibersihkan tepi tepi krim pada mortir menggunakan
sendok tanduk, kemudian diaduk kembali. Setelah itu, dimasukkan
campuran ke dalam pot salep berwarna bening. Dilakukan langkah yang
sama untuk setiap formula pada percobaan ini.
Fungsi dari masing-masing bahan sebagai berikut. Menurut Voigt
(1994), Vaselin album adalah campuran yang dimurnikan dari
hidrokarbon setengah padat. Vaselin album diperoleh dari vaselin kuning
yang telah dipucatkan warnanya dengan asam sulfat. Jika dalam resep
tertulis vaselin, maka yang dimaksud adalah vaselin album. Pemeriannya
berwarna putih atau kekuningan pucat yang dapat melebur pada
temperatur antara 38°C dan 60°C. Vaselin album merupakan jenis dasar
salep senyawa hidrokarbon, dengan tujuan pemakaian untuk emolient
(melunakkan kulit) dan untuk pelindung atau pengobatan pada permukaan
kulit (Anonim, 1995).
Menurut Rowe (2009), PEG 400 merupakan cairan kental jernih
dan tidak berwarna, sedangkan PEG 4000 berupa serbuk licin putih.
Apabila lebih banyak cairan maka viskositasnya semakin menurun,
sehingga mengurangi daya lekat salep. Maka untuk meningkatkan daya
lekat, PEG 4000 dapat diberikan lebih banyak untuk meningkatkan daya
lekat salep dari pada PEG 400 yang diberi dalam jumlah kecil.
Menurut Depkes RI (1979), parafin cair merupakan cairan kental
tidak berwarna. Menurut Astuti dkk (2007), asam salisilat merupakan
senyawa yang berkhasiat sebagai fungisidal dan bakteriostatis lemah.
Asam salisilat bersifat sukar larut dalam air. Sedangkan pada basis yang
dipilih vaselin sebagai basis bersifat hidrokarbon, cera flava sebagai basis
bersifat serap anhydrous. Menurut Astuti dkk (2007), apabila asam
salisilat diformulasikan sebagai sediaan topikal, maka pemilihan dasar
salep merupakan hal yang sangat penting karena akan menentukan efek
terapi asam salisilat. Dasar salep yang digunakan dalam suatu sediaan
dapat mempengaruhi pelepasan bahan aktif dari sediaan salep.
Basis yang digunakan pada tiap formula berbeda. Formula I
menggunakan vaselin sebagai basis. Menurut Syamsuni (2006)
penggunaan vaselin dimaksudkan sebagai dasar salep hidrokarbon yang
dapat memperpanjang kontak antara bahan obat dengan kulit. Formula II
dan III menggunakan vaselin dan cera flava dengan jumlah yang berbeda
sebagai basis. Menurut Syamsuni (2006) campuran antara vaselin dan
cera flava juga merupakan dasar salep hidrokarbon yang dapat
memperpanjang kontak antara bahan obat dengan kulit. Sedangkan pada
formula IV dan V menggunakan PEG 4000 dan PEG 400 sebagai basis.
Menurut Muryani (2007) campuran PEG 4000 dan PEG 400 dimaksudkan
sebagai dasar salep yang larut dalam air yang dapat memperpanjang
waktu salep untuk melekat pada kulit karena konsistensi PEG 4000 yang
lebih padat.

5.2 Evaluasi Salep


5.2.1 Uji Organoleptik
Menurut Sayuti (2015), uji organoleptis bertujuan untuk
mengetahui kestabilan fisik dari sediaan salep dari sebelum dan
sesudah penyimpanan untuk mengetahui ada tidaknya perubahan
yang terjadi selama penyimpanan. Menurut Sana et al (2012),
prinsip uji organoleptis adalah dengan mengukur daya penerimaan
suatu sediaan karena uji ini berperan penting dalam penerapan
mutu dan dapat memberikan terhadap kebusukan, kemunduran
mutu, maupun kerusakan produk lainnya.
Langkah kerja yang dilakukan pada uji organoleptis adalah
sediaan salep yang telah dibuat diamati bentuk, bau, dan warna
setelah pembuatan dan setelah penyimpanan dengan menggunakan
panca indra. Bentuk, bau, dan warna yang dihasilkan dicatat
hasilnya dan dibandingkan hasil uji organoleptis setelah pembuatan
dan setelah penyimpanan apakah sudah sesuai dengan standar
formulasi atau tidak. Hasil uji organoleptis setelah pembuatan salep
pada formula I dan II adalah sama yaitu salep berbentuk setengah
padat, berbau seperti vaselin, dan berwarna putih. Sedangkan hasil
uji organoleptis pada formula IV dan V juga menunjukkan
kesamaan dimana salep berbentuk setengah padat, berbau seperti
PEG, dan berwarna putih. Pada formula III hasil organoleptis yang
didapatkan adalah salep berbentuk setengah padat, berbau seperti
cera flava, dan berwarna kekuningan. Bentuk sediaan salep pada
kelima formula telah sesuai dengan pendapat dari Farmakope
Indonesia III (1979), salep adalah sediaan setengah padat yang
mudah dioleskan dan digunakan sebagai obat luar. Bau yang
dihasilkan sesuai dengan basis yang digunakan pada masing-
masing formula yaitu pada formula I dan II berbau seperti vaselin,
pada formula IV dan V berbau seperti PEG, dan pada formula III
berbau seperti cera flava. Warna yang dihasilkan juga sesuai
dengan basis yang digunakan yaitu pada formula I dan II berwarna
putih yang sesuai dengan Farmakope Indonesia IV (1995), vaselin
berwarna putih, bening, dan tidak bercahaya. Pada formula III
berwarna kekuningan yang sesuai dengan Farmakope Indonesia III
(1979), cera flava merupakan zat padat berwarna coklat
kekuningan seperti madu. Pada formula IV dan V berwarna putih
yang sesuai dengan Farmakope Indonesia III (1979), PEG
berbentuk serbuk licin berwarna putih atau potongan putih gading.
Hasil uji organoleptis setelah penyimpanan salep didapatkan
hasil pada formula I, II, dan III menunjukkan kesamaan yaitu salep
berbentuk setengah padat, tidak berbau tengik, dan warna tidak
berubah. Sedangkan pada formula IV dan V juga menunjukkan
kesamaan yaitu salep berbentuk setengah padat, berbau tengik, dan
warna berubah menjadi merah muda. Hasil pengamatan
organoleptis setelah penyimpanan pada formula I, II, dan III tidak
menunjukkan adanya perubahan bentuk, bau, dan warna sedangkan
pada formula IV dan V menunjukkan adanya perubahan bau dan
warna salep. Hal ini dikarenakan perbedaan dari masing-masing
basis dimana pada formula I, II, dan III merupakan basis
hidrokarbon sedangkan pada formula IV dan V menggunakan basis
water soluble. Dimungkinkan bahwa salep yang menggunakan
basis hidrokarbon lebih awet daripada salep yang menggunakan
basis water soluble sehingga pada formula IV dan V terjadi
perubahan bau menjadi tengik dan warna berubah menjadi merah
muda. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sediaan salep
pada formula I, II, dan III telah memenuhi persyaratan uji
organoleptis sedangkan pada formula IV dan V tidak memenuhi
persyaratan uji organoleptis karena menurut Hernani (2012),
kriteria penerimaan uji organoleptis salep yang harus dipenuhi
adalah memiliki bentuk setengah padat, warna harus sesuai dengan
spesifikasi pada saat pembuatan awal salep dan baunya tidak
tengik.
5.2.2 Uji Homogenitas
Menurut Khopkar (1990), uji homogenitas sediaan salep
bertujuan untuk mengetahui sediaan salep tersebar secara merata
atau tidak dan ditentukan berdasarkan distribusi ukuran partikel.
Menurut Hernani et al. (2012), uji homogenitas akan
mempengaruhi kepuasan dan penerimaan sediaan karena salep
yang homogen akan memberikan tekstur yang lembut dan halus di
kulit sehingga dapat menarik konsumen. Menurut Fenny (2008),
prinsip dari uji homogenitas salep adalah apabila dioleskan pada
sekeping kaca atau bahan transparan lain, maka harus
menunjukkan susunan yang homogen.
Langkah pertama yang dilakukan pada uji homogenitas yaitu
dengan disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan terlebih
dahulu. Kemudian, diambil gelas objek yang telah bersih, lalu
diambil salep dalam jumlah sedikit dengan menggunakan sendok
tanduk untuk selanjutnya dioleskan pada kaca objek. Selanjutnya,
diambil kaca objek yang lain untuk meratakan salep pada hampir
seluruh permukaan kaca dan diamati apakah terdapat partikel atau
globul yang tidak merata. Langkah kerja ini dilakukan berulang
pada formulasi 1 hingga formulasi 5. Menurut Hernani et al.
(2012), pengujian homogenitas dilakukan dengan cara salep
dioleskan pada sekeping kaca lalu diamati, apabila warna salep
yang dihasilkan merata dan tidak terdapat butir-butir halus pada
sediaan, maka salep dapat dikatakan homogen.
Hasil yang didapatkan pada percobaan ini yaitu pada formula 1,
formula 2, formula 3, dan formula 5 menunjukkan partikel pada
salep yang dihasilkan tidak merata, sedangkan pada formula 4
menunjukkan bahwa partikel pada salep yang dihasilkan cukup
merata. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa formula 4
merupakan formulasi salep paling baik diantara formula yang lain,
namun salep yang dihasilkan pada kelima formula tersebut tidak
sesuai dengan literatur, dimana menurut Hernani et al. (2012),
salep dikatakan homogen apabila warna dari salep merata dan juga
ditunjukkan dengan tidak adanya butiran kasar.
Partikel salep yang tidak merata disebabkan oleh kesalahan pada
proses pembuatan salep, yaitu kecepatan dan waktu pengadukan.
Menurut Voight (1994), lama pengadukan pada proses pembuatan
tidak boleh terlalu pendek atau terlalu lama, jika terlalu pendek
maka partikel belum dalam ukuran kecil sehingga kestabilan akan
terganggu dan kemungkinan bahan belum tercampur merata.
Menurut Ansel (1989), teknik pengadukan yang baik dalam
menghasilkan salep yang berkualitas yaitu dilakukan pengadukan
kuat, cepat, dan searah dengan jarum jam, dimana tujuan dari
pengadukan kuat dan cepat yaitu agar komponen bahan pada
formulasi salep tercampur secara merata dan homogen.
Pengadukan yang lemah dapat menyebabkan basis menggumpal
atau kembali menjadi bentuk semula dan sulit untuk tercampur
dengan komponen lain. Solusi agar partikel salep yang dihasilkan
merata adalah saat melakukan pengadukan perlu diperhatikan
waktu selama pengadukan tidak boleh terlalu cepat, serta kecepatan
pengadukan tidak boleh lemah dan lambat karena hal tersebut
dapat menyebabkan tidak meratanya partikel salep yang dihasilkan.
5.2.3 Uji Daya Lekat
Uji daya lekat dilakukan pada percobaan ini untuk mengetahui
berapa lama waktu yang dibutuhkan oleh salep untuk melekat di
kulit. Menurut Yunita (2016), pengujian daya lekat bertujuan untuk
mengetahui waktu yang dibutuhkan oleh salep untuk melekat di
kulit dengan prinsip uji mengukur lama waktu melekatnya salep.
Langkah kerja yang dilakukan pada uji ini yang pertama
ditimbang sediaan salep sebanyak 0,5 gram dan diletakkan pada
gelas objek, kemudian ditutup sediaan dengan gelas objek lainnya.
Selanjutnya ditambahkan beban sebanyak 500 gram di atas
sediaan, lalu didiamkan selama 1 menit. Menurut Rachmalia et al.,
(2016) digunakan beban 500 gram adalah untuk membuktikan daya
lekat yang baik untuk memungkinkan salep tidak mudah lepas pada
saat digunakan/dipakai dan semakin lama melekat pada kulit,
sehingga dapat menghasilkan efek yang diinginkan. Setelah itu
beban diangkat dan dibersihkan sisa-sisa sediaan pada sisi gelas
objek, kemudian dipasang gelas objek pada alat uji daya lekat dan
dipastikan beban dalam keadaan disangga. Setelah terpasang,
ditarik tuas untuk menurunkan bebannya dan dicatat waktu sampai
gelas objek terlepas.
Berdasarkan data pengamatan yang dihasilkan, waktu yang
dibutuhkan untuk salep melekat pada alat uji daya lekat pada
formula 1 selama 2,41 detik, pada formula 2 selama 3,47 detik,
pada formula 3 selama ≥ 4 detik, pada formula 4 selama ≥ 4 detik,
dan pada formula 5 selama 2,80 detik. Menurut Betageri dan
Prabhu (2012), daya lekat salep yang baik yaitu lebih dari 4 detik.
Dapat disimpulkan bahwa dari kelima formula tersebut, formula
yang memenuhi kriteria penerimaan dan sesuai dengan literatur
adalah formula ke 4 dan 5 karena waktu yang diperlukan salep
untuk melekat lebih dari 4 detik. Untuk formula 1, 2, dan 3
menunjukkan hasil yang kurang baik karena tidak memenuhi
kriteria penerimaan uji daya salep. Menurut Ulaen dkk (2012),
salep dikatakan baik jika daya lekatnya itu besar pada tempat yang
diobati (kulit), karena zat aktif tidak mudah lepas sehingga dapat
menghasilkan efek yang diinginkan. Semakin lama salep melekat
pada kulit maka efek yang ditimbulkan juga semakin besar.
Hasil yang tidak sesuai dengan kriteria penerimaan bisa
disebabkan karena formulasi bahan atau komposisi bahan yang
kurang baik dan akan mempengaruhi konsistensi salep. Menurut
Nevi (2006), umumnya daya lekat berbanding lurus dengan
konsistensi, semakin banyak komposisi cairan dalam formula,
maka salep memiliki konsistensi yang semakin rendah. Pada
pengujian daya lekat salep terlihat semakin tinggi konsistensinya
semakin meningkat pula daya lekatnya. Hal ini bisa terjadi karena
bahan-bahan pada komposisi salep yang dibuat. Solusinya adalah
dilakukan reformulasi bahan untuk pembuatan salep.
5.2.4 Uji Daya Proteksi
Uji daya proteksi dilakukan untuk mengetahui kemampuan salep
dalam melindungi kulit. Menurut Rahmawati (2016), uji daya
proteksi pada salep dilakukan untuk mlihat kemampuan salep
dalam melindungi kulit dari pengaruh luar seperti asam, basa,
debu, polusi, dan sinar matahari
Prinsip kerja uji daya proteksi ini menggunakan parameter pada
cairan yang bersifat basa yaitu larutan KOH. Menurut Dara (2012),
Larutan KOH mewaliki zat yang dapat mempengaruhi efektivitas
kerja salep terhadap kulit. Nantinya KOH akan bereaksi dengan
phenoftalein yang akan membentuk warna merah muda bila salep
tidak mampu memberikan proteksi yang baik.
Langkah kerja pada uji daya proteksi salep diawali dengan mula-
mula menyiapkan kertas saring ukuran 10 x 10 cm yang kemudia
ditetesi indikator PP secara merata kemudian keringkan. Kertas
yang telah mengering kemudian diambil dan dioleskan salep.
Langkah selanjutnya yaitu mengambil kertas saring berukuran
lebih kecil yaitu 2.5 cm x 2.5 cm kemudian tempelkan di atas
kertas saring berukuran besar 10 x 10 cm. Menurut Betageri
(2002), penempelan kertas 2,5x2,5 cm bertujuan sebagai tempat
pengamatan uji setelah ditetesi dengan KOH 0,1 N. Selanjutnya,
kertas saring kecil diteteskan menggunakan larutan KOH 0,1 N
diteteskan dan diamati perubahan warna yang terjadi pada rentan
waktu 5, 10, 15, 30, 45, dan 60 menit. Menurut Numberi (2020),
penggunaan larutan KOH 0,1 N sebagai intervensi dan
phenolphtalein (PP) sebagai indikator warna, dimana uji ini untuk
mengetahui kemampuan salep melindungi kulit dari pengaruh luar
seperti debu, polusi dan sinar matahari. Hasil uji dari lima formula
kemudian dibandingkan.
Berdasarkan data pengamatan, hasil yang didapatkan dari kelima
formula tidak menimbulkan noda merah muda. Maka kelima
formula salep tersebut memenuhi penerimaan uji daya proteksi
yang baik. Hal ini sesuai dengan menurut Septiana (2019), hasil uji
proteksi apabila tidak memberikan noda merah maka sediaan dapat
memberikan proteksi, tetapi jika memberikan noda merah maka
sediaan tidak dapat memberikan proteksi pada kulit.
5.2.5 Uji Daya Sebar
Uji daya sebar dilakukan untuk mengetahui penyebaran salep
pada kulit. Menurut Naibaho et al. (2013), uji daya sebar pada
salep dilakukan untuk melihat kemampuan sediaan menyebar pada
kulit, dimana suatu basis salep sebaiknya memiliki daya sebar yang
baik untuk menjamin pemberian bahan obat yang memuaskan.
Prinsip kerja uji daya sebar menurut Sayuti (2015) adalah
dengan mengukur diameter penyebaran dengan mengambil
panjang rata rata diameter dari beberapa sisi.
Langkah kerja pada uji daya sebar salep adalah pertama-tama
ditimbang terlebih dahulu penutup kaca ekstensometer dan dicatat
hasil penimbangannya. Selanjutnya, ditimbang sediaan salep
sebanyak 0,5 gram kemudian diletakkan sediaan di tengah
ekstensometer. Diletakkan penutup kaca pada ekstensometer dan
ditunggu selama 1 menit. Kemudian, sediaan yang menyebar
diukur diameternya dari 4 sisi dan dihitung rata-rata diameternya.
Langkah ini diulangi kembali dengan menambahkan beban 50
gram (tanpa mengangkat penutup). Ditunggu selama 1 menit
kemudian diukur diameter sediaan yang menyebar dari 4 sisi dan
dihitung lagi rata-ratanya. Langkah diulangi kembali yang ketiga
kalinya dengan menambahkan lagi beban sebanyak 50 gram
(sehingga total beban adalah 100 gram) dan ditunggu selama 1
menit. Diukur diameter sediaan yang menyebar dari beberapa sisi
dan dihitung rata-ratanya lagi. Dilakukan replikasi 3x dan dicatat
hasil yang didapatkan. Menurut Kurniawan (2009), penambahan
beban diatas kaca transparan dapat mengetahui kemampuan
sediaan krim dalam menyebar karena dapat menghasilkan diameter
penyebaran yang lebih luas dan merata. Replikasi penambahan
beban dilakukan sebanyak 3x sehingga hasil yang didapatkan lebih
akurat.
Hasil pengukuran formula 1 rata-rata diameternya adalah 2,82
cm. Hasil pengukuran formula 2 rata-rata diameternya adalah 2,23
cm. Hasil pengukuran pada formula 3 rata-rata diameternya adalah
2,36 cm. Hasil pengukuran pada formula 4 rata-rata diameternya
adalah 2,06 cm dan hasil pengukuran pada formula 5 rata-rata
diameternya adalah 2,65 cm.
Semua formula tidak mempunyai daya sebar yang baik sesuai
literatur Wasitaatmadja (1997) karena diameter penyebaran yang
baik adalah 5-7 cm. Urutan formula dari yang paling baik adalah
formula 1, formula 5, formula 3, formula 2, dan formula 4.
Menurut Ulaen dkk (2012), semakin rendah viskositas sediaan
maka penyebarannya semakin besar. Maka untuk menambah daya
sebar salep viskositas formula diperkecil yang dapat dilakukan
dengan menggunakan basis yang lebih cair atau lembek.
Formula 1 mempunyai daya sebar yang paling besar karena
hanya menggunakan basis vaselin. Menurut Fatimah dan Setiyadi
(2017), salep hidrokarbon paling mudah daya sebarnya
dibandingkan basis lain dan tidak terlalu kental karena
menggunakan basis berlemak, contohnya vaselin album. Formula 2
walaupun menggunakan vaselin, tetapi menggunakan tambahan
cera flava yang dapat menurunkan viskositas sediaan. Menurut
Depkes RI (1995), cera flava merupakan padatan hasil pemurnian
malam dari sarang lebah, sehingga membuat viskositas formula 2
lebih besar. Formula 5 lebih besar dari formula 4 yang sama-sama
menggunakan basis PEG 400 dan PEG 4000 karena formula 5
menggunakan PEG 400 lebih banyak dibandingkan formula 4.
Menurut Depkes RI (1995), PEG 400 merupakan cairan kental
jernih, sementara PEG 4000 merupakan serbuk putih licin.
Sehingga apabila menggunakan PEG 400 lebih banyak, hasilnya
lebih lembek dan daya sebar meningkat.
Peningkatan daya sebar salep dapat dicapai dengan
menggunakan basis hidrokarbon yang mempunyai tekstur lebih
cair , contohnya parafin cair. Menurut Depkes RI (1979), parafin
cair merupakan cairan kental tidak berwarna sementara vaselin
album merupakan masa lunak dari campuran hidrokarbon setengah
padat. Basis hidrokarbon dipilih karena menurut Fatimah dan
Setiyadi (2017), urutan daya sebar salep dari yang terluas yaitu
salep basis hidrokarbon, basis absorpsi, basis tercuci, dan basis
larut air. Selain itu, pada formula 4 dan 5 dapat diperbanyak jumlah
PEG 400, sehingga lebih lembek.
VI. Penutup
6.1 Kesimpulan
Pembuatan salep dilakukan dengan diletakkan basis salep pada
cawan porselen, lalu dileburkan basis salep pada cawan porselen hingga
meleleh sempurna menggunakan waterbath dan bantuan pengaduk gelas.
Setelah itu, dimasukkan asam salisilat ke dalam mortir dan diteteskan
kurang lebih 2 tetes alkohol menggunakan pipet tetes. Selanjutnya digerus
hingga homogen dengan pengadukan secara searah. Dilanjutkan dengan
penambahan basis yang sudah dilelehkan ke dalam mortir berisi asam
salisilat secara sedikit demi sedikit diiringi pengadukan secara cepat
hingga homogen. Langkah kerja selanjutnya yaitu dibersihkan tepi tepi
krim pada mortir menggunakan sendok tanduk, kemudian diaduk
kembali. Setelah itu, dimasukkan campuran ke dalam pot salep berwarna
bening. Dilakukan langkah yang sama untuk setiap formula pada
percobaan ini.
Evaluasi salep terdiri dari 5 uji yaitu uji organoleptik, uji
homogenitas, uji daya lekat, uji daya proteksi, dan uji daya sebar. Formula
yang terbaik dari uji organoleptik adalah formula ke 1, 2 dan 3, untuk uji
homogenitas adalah formula ke 4, untuk uji daya lekat adalah formula ke
4 dan 5, untuk uji daya proteksi seluruh formula salep memenuhi kriteria
penerimaan, untuk uji daya sebar adalah ke 5 formula tidak memenuhi
syarat uji daya sebar tetapi formula dengan uji daya sebar terbaik adalah
formula ke 1. Dapat disimpulkan bahwa formula bahan untuk sediaan
salep yang terbaik tidak kelimanya, karena pada kelima formula tidak
memenuhi uji daya sebar.

6.2 Saran
Diharapkan kepada semua mahasiswa untuk lebih banyak belajar
mengenai dasar salep, kelebihan dan kekurangan salep, syarat penerimaan
salep maupun teknik pembuatan dan penyimpanannya. Pada saat
praktikum, praktikan harus mengetahui kelarutan dari bahan-bahan obat
yang dikerjakan. Praktikan juga harus mengetahui faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi salep agar dapat menghasilkan sediaan salep yang
baik.
DAFTAR PUSTAKA

Allen, LV., dan Lunner, PE., 2009. Magnesium Stearate. In: Rowe, R.C.,
Sheskey, P.J. dan Quinn M.E. (eds.) Handbook of Pharmaceutical
Excipients 6 th Edition, Minneapolis. Pharmaceutical Press.

Ansel, H. C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi 4. Jakarta: UI Press.

Ansel, H.C. 2008. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi Keempat. Jakarta:
UI Press.

Betageri, G. 2002. Semisolid preparations. In: Swarbrick, J. Boylon JC (eds)


Encyclopedia of Pharmeceutical Technology. New York: Macel Dekker
Inc.

Dara, RS. 2012. Pengaruh Perbedaan Jenis Basis Hidrofil Terhadap Sifat Fisik
dan Kimia Salep Anti Jerawat Ekstrak Daun Sirih. Surakarta: UNS

Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia, Edisi IV. Depkes RI, Jakarta.

Fenny, H. 2008. Evaluasi Sediaan Apoteker. Bandung: ITB Press.

Hernani, M. Y. 2012. Formulasi Salep Ekstrak Air Tokek (Gekko gecko) Untuk
Penyembuhan Luka. Jurnal Penelitian Farmasi. Semarang: Universitas
Wahid Hasyim.

Kartika, B. 1988. Pedoman Uji Inderawi Bahan Pangan. Yogyakarta: UGM


Press.

Khopkar, S. M. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: Universitas


Indonesia Press.

Muryani. 2007. Pengaruh Kombinasi PEG 400 dan PEG 4000 Sebagai Basis
Salep Terhadap Sifat Fisik dan Kecepatan Pelepasan Benzokain.
Surakarta: UMS.
Naibaho, O. H., Yamlean, P. V. Y., & Wiyono, W., 2013. Pengaruh Basis Salep
Terhadap Formulasi Sediaan Salep Ekstrak Daun Kemangi (Ocimum
sanctum L.) Pada Kulit Punggung Kelinci Yang Dibuat Infeksi
Staphylococcus aureus. Jurnal Ilmiah Farmasi, Vol. 2 No. 02.

Nevi, S. 2006. Formulasi Sabun Transparan Minyak Nilam Sebagai Obat


Jerawat. Jakarta: PT Penebar Swadaya.

Numberi, Aurina Megawati. 2020. Uji Stabilitas Fisik Sediaan Masker Gel dari
Ekstrak Alga Merah (Poryphyra sp). Majalah Farmasetika. 5(1): 1-17.

Rahmawati, F. 2016. Uji Kontrol Kualitas Sediaan Salep Getah Pepaya


Menggunakan Basis Hidrokarbon. Cerata Journal Of Science. 19-26.

Sayuti, K.; Rina Yenrina. 2015. Antioksidan Alami dan Sintetik. Andalas
Univesity Press: Padang.

Septiana Devi, Eni M, Nita F. 2019. Uji Stabilitas Fisik Krim Ekstrak Etanol
Temulawak Dengan Perbedaan Konsentrasi Asam Stearat. Jurnal
Farmasetis 8(1): 2252-9721.

Syamsuni. 2006. Farmasetika Dasar Dan Hitungan Farmasi. Jakarta: Kedokteran


EGCUlaen, S. P. J., Banne, Y. S., Ririn, A. 2012. Pembuatan Salep Anti
Jerawat dari Ekstrak Rimpang Temulawak (Curcuma xanthorrhiza
Roxb.). Jurnal Ilmiah Farmasi. 3(20): 45-49.

Voight, R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Edisi 5. Yogyakarta: Gadjah


Mada University Press.

Yunita, I. 2016. Uji Sifat Fisik Formulasi Salep Ekstrak Rimpang Kunyit
(Curcuma longa L.) dengan Basis Hidrokarbon dan Larut Air. KTI.
Banjarmasin: Universitas Muhammadiyah.

Anda mungkin juga menyukai