Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN RESMI

TEKNOLOGI CAIR-SEMIPADAT

JUDUL :
PEMBUATAN DAN EVALUASI SEDIAAN SALEP

Disusun Oleh:
Tanggal Percobaan : 26 April dan 3 Mei 2021
Kelompok/Kelas : 8/B
Disusun Oleh :
1. Errinda Alyaa Rahmah (22010319130047)
2. Lintang Avi Mehira N. (22010319130060)
3. Riefqi Samudro W. (22010319140070)
4. Izzatul Husnayaini (22010319140075)
5. Amadea Paskah Putri A. (22010319140085)

PROGRAM STUDI FARMASI, DEPARTEMEN KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2021
LAPORAN PRAKTIKUM PCSP

PEMBUATAN DAN EVALUASI SEDIAAN SALEP

I. TUJUAN

1.1. Mahasiswa dapat mengetahui tata cara pembuatan sediaan salep.

1.2. Mahasiswa dapat mengevaluasi sediaan salep.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Salep
Salep adalah sediaan semi padat yang dimaksudkan untuk penggunaan luar pada
kulit atau membran mukosa, melebur pada suhu tubuh, mudah digunakan, dan tidak
berpasir (Ansel, 1989). Salep merupakan salah satu bentuk sediaan farmasi yang
digunakan pada kulit sehat, sakit, atau terluka dimaksudkan untuk efek topikal kulit
atau selaput lendir. Salep digunakan untuk mengobati penyakit kulit yang akut atau
kronis sehingga diharapkan adanya penetrasi ke dalam lapisan kulit agar dapat
memberikan efek yang diinginkan (Voight, 1984). Bahan obat pada salep harus larut
atau terdispersi homogen dalam dasar atau basis salep yang cocok. Salep dapat
mengandung obat atau tidak mengandung obat yang disebut dengan basis salep (Ansel,
1989).
Persyaratan salep yang baik dan harus dipenuhi agar salep dapat digunakan
sebagai obat luar adalah sebagai berikut:

a. Pemerian
Salep tidak boleh berbau tengik, mengandung zat dengan keadaan yang halus
dan seluruh produk harus lunak, homogen, dan mudah dipakai.
b. Kadar
Kecuali dinyatakan lain dan untuk salep yang mengandung obat keras, kadar
bahan obat adalah 10%.
c. Dasar salep
Kecuali dinyatakan lain, sebagai bahan dasar salep (basis salep) digunakan
vaselin putih (vaslin album). Tergantung dari sifat bahan obat dan tujuan pemakaian
salep.
d. Homogenitas
Jika dioleskan pada sekeping kaca atau bahan transparan lain yang cocok, harus
menunjukkan susunan yang homogen.
e. Stabilitas
Salep harus stabil selama masih digunakan untuk mengobat. Oleh karena itu,
bebas inkompabilitas, stabil pada suhu kamar dan kelembaban yang ada dalam
kamar.
f. Penandaan
Pada etiket harus tertera obat luar.

(Martin, 1993), (Anief, 2007)


2.2 Dasar salep
Setiap salep mempunyai basis yang bermacam-macam yang bersifat hidrofil dan
hidrofob. Basis salep memiliki daya sebar yang baik dan menjamin pelepasan bahan
obat yang memuaskan (Voigt, 1984). Pemilihan basis salep yang dipakai dalam
formulasi sediaan salep tergantung faktor-faktor berikut:
a. Laju pelepasan yang diinginkan bahan obat dari basis salep.
b. Keinginan peningkatan absorbsi obat dari basis salep.
c. Kelayakan melindungi lembab dari kulit oleh basis salep.
d. Pengaruh kekentalan obat dari basis salep.
e. Stabilnya obat dalam basis
f. Tujuan pemakaian sediaan salep

(Ansel, 1989)

Berdasarkan komposisinya, dasar salep dapat digolongkan sebagai berikut:


2.2.1 Dasar salep hidrokarbon/ dasar salep berlemak
Dasar salep hidrokarbon sering digunakan sebagai emolien dan melunakkan
kulit (pelindung/penutup) pada percobaan kulit. Pada preparat yang berair,
mungkin dapat dicampurkan minyak dalam jumlah sedikit saja, karena apabila
berlebih, minyak sukar bercampur. Dasar salep ini tidak mengering atau tidak ada
perubahan dengan berjalannya waktu. Bahan baku yang umumnya paling banyak
digunakan sebagai pembawa dalam salep adalah petrolatum mengingat
konsistensinya, kelunakannya, sifatnya yang netral, dan kemampuan
menyebarnya yang mudah pada kulit. Basis ini sukar dicuci, dan dapat digunakan
sebagai penutup oklusif yang menghambat penguapan kelembaban dari kulit.
Contoh basis salep hidrokarbon adalah vaselin (vaselin album dan kuning),
parafin padan dan cair, serta minyak tumbuh-tumbuhan (seperti oleum olivarum,
oleum cocos) (Lachman et al., 1999).
2.2.2 Dasar salep absorbs
Dasar salep absorpsi berguna sebagai emolien walaupun tidak menyediakan
derajat penutupan seperti yang dihasilkan dasar salep berlemak dan digunakan
untuk emulsi tipe A/M. Dasar salep absorpsi dapat dibagi menjadi dua tipe, yaitu:
a. Dasar salep serap anhydrous
Dasar salep ini tidak mengandung air, jika menyerap air membentuk
emulsi tipe A/M. Contohnya : adeps lanae, cera, kolesterol, unguentum
simplex
b. Dasar salep serap hidrous
Dasar salep hidrous tidak mengandung air dan mempunyai emulsi tipe
M/A, tetapi masih sanggup menyerap air yang ditambahkan dengan kekuatan
penyerapan terbatas. Contohnya : adeps lanae dan krim pendingin

(Ansel, 1989)
2.2.3 Dasar salep yang dapat dibersihkan dengan air
Dasar salep ini merupakan emulsi minyak dalam air yang dapat dicuci dari
kulit dan pakaian dengan air. Basis yang dapat dicuci dengan air adalah emulsi
minyak di dalam air, dan dikenal sebagai “krim”. Dasar salep ini biasanya
digunakan untuk kosmetik. Contohnya : vanishing cream, salep hidrofilik (Ansel,
1989).
2.2.4 Dasar salep yang dapat larut dalam air
Dasar salep ini tidak mengandung bahan berlemak dan mudah melunak
dengan penambahan air. Basis ini larut dalam air karena adanya gugus polar dan
ikatan eter yang banyak. Basis yang “larut di dalam air” juga dikenal sebagai basis
salep yang tidak mengandung lemak. Dasar salep jenis ini lebih baik dicampurkan
ke dalam bahan yang tidak berair atau bahan padat. Bahan pembawa yang larut
dalam air contohnya adalah PEG. PEG dibuat dari campuran polietilen glikol
dengan bobot molekul yang tinggi dan polietilen glikol dengan bobot molekul
yang rendah. Kombinasi dari polietilen glikol dengan bobot molekul yang tinggi
dan yang rendah akan menghasilkan produk-produk dengan konsistensi yang
melunak atau meleleh jika digunakan pada kulit. Pembuatan sediaan dengan
bahan-bahan ini tidak memerlukan air (Lachman et al., 1999).
2.3 Kelebihan dan Kekurangan Salep
2.3.1 Kelebihan Salep
a. Dapat diatur daya penetrasi dengan memodifikasi basisnya.
b. Kontak sediaan dengan kulit.
c. Lebih sedikit mengandung air sehingga sulit ditumbuhi bakteri.
d. Lebih mudah digunakan tanpa alat bantu.
2.3.2 Kekurangan Salep
a. Terjadi tengik terutama untuk sediaan dengan basis lemat tak jenuh.
b. Terbentuk kristal atau keluarnya fase padat dan basisnya.
c. Terjadi perubahan warna.
(Ansel, 1989).

2.4 Teknik Pembuatan Salep


Menurut Ansel (1989), teknik pembuatan salep dibagi menjadi :
2.4.1 Pencampuran
Prinsip dari teknik ini adalah komponen dari salep dicampurkan bersama-
sama dengan segala cara sampai sediaan yang rata tercapai. Pada pencampuran
bahan padat, salep dibuat dengan cara digerus atau digosokkannya serta diratakan
dan dikumpulkan komponennya pada permukaan kasar dengan spatula sampai
hasilnya lembut dan homogen. Apabila hanya sebagian kecil dari serbuk yang
ditambahkan maka dapat ditambahkan seuruhnya secara langsung kedalam
sebagian kecil dari dasar salep. Setelah keduanya bercampur, bagian lain
ditambahkan untuk campuran dan proses ini dilakukan berulang seperti metode
geometrik sampai semua dasar salep bercampur. Zat padat sebelum dimasukkan
kedalam basis lebih baik dilakukan penggerusan terlebih dahulu. Untuk zat cair,
dipertimbangkan sifat-sifat basis salep. Contohnya seperti larutan menjadi sukar
ditambahkan kedalam basis lemak, tetapi dasar salep yang menyerap air atau
hidrofilik akan lebih sesuai untuk absorbsi. Larutan beralkohol dalam volume
yang larut biasanya dapat dengan mudah menggunakan pembawa berlemak atau
dasar salep emulsi.
2.4.2 Peleburan
Dengan metode peleuran, semua atau komponen dari salep dicampurkan
dengan melebur bersama dan didinginkan dengan pengadukan yang konstan
sampai mengental. Komponen yang tidak dicairkan biasanya ditambahkan pada
campuran yang sedang mengental setelah didinginkan dan diaduk. Bahan yang
mudah menguap ditambahkan terakhir bila temperatur dari campuran sudah
menurun sehingga tidak menyebabkan terjadinya penguraian atau penguapan dari
komponen. Pada metode ini diperlukan ketelitian dalam melihat literatur titik
lebur dari tiap bahan karena tiap bahan memiliki suhu untuk melebur yang
berbeda. Semua larutan berair yang tahan panas dan komponen yang larut dalam
air yang dibuat dibuat dalam sejumlah air yang dimurnikan dan dipanaskan pada
temperatur yang sama dengan komponen berlemak.

2.5 Evaluasi Sediaan Salep


2.5.1 Uji Organoleptis
Uji organoleptik merupakan uji identifikasi sifat fisik obat meliputi bentuk,
warna, bau, rasa obat menggunakan panca indera. Uji organoleptik bertujuan
untuk mengetahui sifat fisika dari sediaan. Uji organoleptik merupakan
pengamatan sifat fisik obat secara langsung dan hasil pengamatannya merupakan
informasi awal yang berguna untuk analisis selanjutnya. Hasil uji organoleptik
didasarkan pada sifat bahan baku atau zat aktif yang digunakan (Cartica, 2016).
Pengujian organoleptis dilakukan dengan mengamati sediaan dari tekstur
dan warna secara visual dan bau secara penciuman. Spesifikasi salep yang harus
dipenuhi adalah memilih bentuk setengah padat, warna harus sesuai dengan
spesifikasi pada saat pembuatan awal salep dan baunya tidak tengik (Hernani et
al., 2012).
2.5.2 Uji Homogenitas
Uji homogenitas dilakukan dengan tujuan untuk melihat salep yang dibuat
dengan parameter tingkat kehalusan dan keseragaman tekstur salep. Uji
homogenitas dilakukan dengan mengoleskan 0,1 gram salep pada permukaan
gelas objek, sediaan salep dikatakan homogen apabila tidak terdapat butiran kasar
pada gelas objek (Ansel, 1989).
2.5.3 Uji Daya Lekat
Uji daya lekat dilakukan untuk mengetahui kemampuan salep melekat pada
tempat aplikasinya, uji daya lekat dilakukan dengan tujuan untuk melihat berapa
lama sediaan dapat menempel dengan permukaan kulit sehingga zat aktif dalam
salep terabsorbsi (Ansel, 1989).
Metode Uji daya lekat mengukur lama waktu (gaya) yang diperlukan untuk
menarik area standar tempelan dari permukaan datar standar (kaca objek) ke arah
yang sejajar dengan permukaan yang telah ditempelkan sediaan. Tes statik ini
secara tidak langsung mengukur gaya yang dibutuhkan untuk melepaskan sediaan
pada kaca objek yang menempel dengan menentukan waktu yang diperlukan
untuk menghilangkan area yang diberi sediaan dari kaca objek yang menempel di
bawah beban standar (Minghetti, 2004).
2.5.4 Uji Daya Proteksi
Salep yang baik dapat selain dapat menghantarkan zat aktif juga diharapkan
mampu melindungi kulit dari pengaruh luar seperti asam-basa, debu, dan sinar
matahari pada waktu pengobatan. Uji daya proteksi dilakukan dengan indikator
fenolftalein, larutan KOH, dan krim akan dioleskan diantaranya. Sediaan krim
akan diuji pada waktu, 5, 10, 15, 30, 45, dan 60 detik dan selama waktu tersebut
diharapkan tidak ada bercak merah yang timbul pada kertas saring. Pengujian daya
proteksi digunakan untuk mengetahui kemampuan sediaan kulit dari pengaruh
luar, dalam hal ini parameter yang digunakan adalah basa (Saryanti et al, 2019).
2.5.5 Uji Daya Sebar
Pengujian daya menyebar dilakukan untuk mengetahui kualitas daya
menyebar salep saat dioleskan pada kulit. Semakin besar daya menyebar maka
sifat fisik salep semakin baik. Persyaratan yang baik akan menghasilkan daya
sebar sebesar 5-7 cm (Wasiaatmadja, 1997). Uji ini dilakukan dengan bantuan alat
uji sebar (ekstensometer) dan dilakukan pengukuran diameter dari segala sisi
dengan beban maupun tanpa beban. Uji daya sebar penting untuk dilakukan karena
distribusi senyawa aktif menyangkut efektivitas dan efisiensi fungsinya.
Viskositas suatu sediaan juga menyangkut luasnya penyebaran. Semakin rendah
viskositas sediaan, maka penyebarannya semakin besar sehingga kontak antara
obat dengan kulit semakin luas dan absorpsi obat ke kulit akan semakin cepat
(Ulaen et al., 2012).
III. METODE PERCOBAAN
3.1 Alat
a. Mortir dan Stamper
b. Waterbath
c. Stopwatch
d. Perkamen
e. Cawan porselen
f. Gelas ukur
g. Sendok tanduk
h. Batang pengaduk
i. Spatel logam
j. Penjepit kayu
k. Pot salep
l. Timbangan analitik
m. Oven
n. Gelas objek
o. Kaca penutup
p. Pipet tetes
q. Beban 50 gram dan 500 gram
r. Kertas saring 10 x 10 cm ; 2,5 x 2,5 cm
s. Milimeter blok
t. Ekstensometer
u. Penggaris
v. Mikroskop
w. Penjepit dan penarik untuk uji daya lekat

3.2 Bahan
a. Asam salisilat
b. Vaselin
c. Cera flava
d. PEG 400
e. PEG 4000
f. Indikator PP
g. KOH 0,1 N
h. Akuades

3.3 Formula

Nama Bahan R1 R2 R3 R4 R5
(mg) (mg) (mg) (mg) (mg)

Asam Salisilat 25 25 25 25 25

Vaselin 4975 4700 2500 - -

Cera flava - 275 2475 - -

PEG 4000 - - - 2775 1375

PEG 400 - - - 2200 3600


3.4 Cara Kerja
3.4.1 Pembuatan Salep

Asam Salisilat

Mortier

− Disiapkan alat dan bahan ditimbang sesuai formula


(dibuat dua kali resep untuk masing-masing formula)
− Dilakukan pembuatan basis salep dengan teknik
peleburan dengan cara basis sesuai formula (vaselin/
vaselin-cera flava/PEG 4000-PEG 400) dimasukkan
kedalam cawan porselin lalu dipanaskan diatas penangas

− air.
Dilakukan peleburan basis hingga semua basis melebur,
diaduk perlahan agar tercampur. Didiamkan hingga
dingin.
− Dimasukkan asam salisilat ke dalam mortier dan
dimasukkan basis yang telah dibuat dan diaduk hingga
merata.
− Dimasukkan sediaan salep ke dalam pot salep dan
dilakukan evaluasi sediaan.

Hasil

3.4.2 Evaluasi Salep


a. Uji Organoleptis

Salep

Indera

− Dilakukan pengamatan menggunakan indera. Untuk


melihat bentuk, warna, bau, dan tekstur dari sediaan.

Hasil
b. Uji Homogenitas

Salep

Geas Objek

− Dioleskan sediaan pada objek glass.


− Diamati apakah terdapat partikel yang tidak merata .

Hasil

c. Uji Daya Lekat

Salep

Alat Uji Daya Lekat

− Diletakkan 0,5 gram sediaan salep pada objek glass


dan ditempelkan objek glass, kemudian dipasang pada
alat uji daya lekat.
− Ditambahkan beban 500 gram.
− Didiamkan selama 1 menit
− Diturunkan beban setelah 1 menit dengan menarik
tuasnya
− Dicatat waktunya.
Hasil
d. Uji Daya Proteksi

Salep

Kertas Saring

− Diambil kertas saring 10 x 10 dan dibasahi indicator PP,


kemudian dikeringkan.
− Dioleskan Salep pada kertas saring, dan ditempelkan
kertas saring 2,5 x 2,5 dm
− Diteteskan KOH 0,1 N pada kertas saring yang lebih
kecil
− Diamati timbulnya noda kemerahan pada menit ke-5, 10,
15, 30, 45, dan 60
Hasil −

e. Uji Daya Sebar

Salep

Ekstensometer

− Diletakkan ditengah ekstensometer, dan ditimbang


penutup kaca ekstensometer.
− Diletakkan penutup ekstensometer, dan ditutup selama 1
menit.
− Diukur diameter yang menyebar.
− Ditambahkan beban 50 gram, diamkan selama 1 menit,
dan dicatat diameter penyebaran
− Ditambahkan beban 50 gram kembali, diamkan selama 1
menit, dan dicatat diameter penyebaran

Hasil
IV. DATA PENGAMATAN
No. Nama Uji Hasil Evaluasi Syarat Penerimaan
1. Uji Setelah Pembuatan F1, F2 dan F3
Organoleptis
F1 - Bentuk : Setengah Padat
a. Bentuk : Setengah Padat
- Bau : Seperti vaselin
b. Bau : Seperti vaselin
c. Warna : Putih - Warna : Putih
F4 dan F5
F2
- Bentuk : Setengah Padat
a. Bentuk : Setengah Padat
b. Bau : Seperti vaselin - Bau : Seperti PEG

c. Warna : Putih - Warna : Putih

F3 Hal ini dikarenakan


a. Bentuk : Setengah Padat menyesuaikan basis salep
b. Bau : Seperti cera flava yang digunakan.
c. Warna : Kekuningan

F4
a. Bentuk : Setengah Padat
b. Bau : Seperti PEG
c. Warna : Putih Setelah penyimpanan :

F1, F2 dan F3
F5
a. Bentuk : Setengah Padat - Bentuk : Setengah Padat
b. Bau : Seperti PEG - Bau : Seperti vaselin
c. Warna : Putih
- Warna : Putih

Setelah Penyimpanan F4 dan F5


F1
- Bentuk : Setengah Padat
a. Bentuk : Setengah Padat
b. Bau : Tidak tengik - Bau : Seperti PEG
c. Warna : Tidak berubah
- Warna : Putih
F2
a. Bentuk : Setengah Padat
b. Bau : Tidak tengik Hal ini teradi karena
c. Warna : Tidak berubah spesifikasi salep yang
F3 harus dipenuhi adalah
a. Bentuk : Setengah Padat memilih bentuk setengah
b. Bau : Tidak tengik padat, warna harus sesuai
c. Warna : Tidak berubah dengan spesifikasi pada
F4 saat pembuatan awal salep
a. Bentuk : Setengah Padat dan baunya tidak tengik.
b. Bau : Tengik
c. Warna : Berubah menjadi
merah muda
F5
a. Bentuk : Setengah Padat
b. Bau : Tengik
c. Warna : Berubah menjadi
merah muda

2. Uji F1 : Partikel tidak merata Partikel merata


Homogenitas
F2 : Patikel tidak merata
F3 : Patikel tidak merata
F4 : Cukup merata
F5 : Patikel tidak merata

3. Uji Daya F1 : 2,41 detik


Lekat
F2 : 3,47 detik Tidak kurang dari 4 detik
F3 : ≥ 4 detik
F4 : ≥ 4 detik
F5 : 2,80 detik
4. Uji Daya F1 : Tidak ada noda kemerahan
Proteksi
F2 : Tidak ada noda kemerahan Tidak timbul noda merah
F3 : Tidak ada noda kemerahan
F4 : Tidak ada noda kemerahan
F5 : Tidak ada noda kemerahan

5. Uji Daya F1 :
Sebar
Menit 1 = 2,3; 2,5; 2,6 = 2,47 Diameter penyebaran yang
Menit 2 = 2,7; 3; 2,9 = 2,87 baik 5-7 cm.
Menit 3 = 3,2; 3, 2;3 = 3,13
F2 :
Menit 1 = 2,1; 1,7; 1,9 = 1,9
Menit 2 = 2,5; 2,2; 2,1 = 2,27
Menit 3 = 2,8; 2,3; 2,5 = 2,53
F3 :
Menit 1 = 2,1; 2,3; 2 = 2,13
Menit 2 = 2,3; 2,2; 2,3 = 2,67
Menit 3 = 2,5; 2,2; 2,1 = 2,27
F4 :
Menit 1 = 2; 2; 1,9 = 1,97
Menit 2 = 2,2; 2,1; 2 = 2,1
Menit 3 = 2,3; 2,1; 2 = 2,13
F5 :
Menit 1 = 2,5; 2,4; 2,5 = 2,47
Menit 2 = 2,7; 2,7; 2,6 = 2,67
Menit 3 = 2,8; 2,9; 2,8 = 2,83

Keterangan :
Menit 1 → beban penutup
Menit 2 → beban 50 gram
Menit 3 → beban 100 gram
V. PEMBAHASAN
Praktikum Teknologi Sediaan Cair Semi Padat yang berjudul “Pembuatan dan Evaluasi
Sediaan Salep” dilakukan secara daring menggunakan Microsoft Teams pada tanggal 26
April dan 3 Mei 2021 pukul 13.00 - 16.00 WIB. Praktikum ini bertujuan agar mahasiswa
dapat mengetahui tata cara pembuatan dan evaluasi sediaan salep.
Sediaan salep sendiri merupakan sediaan setengah padat yang ditujukan untuk efek
topikal. Menurut Anief (2006), salep adalah sediaan setengah padat yang mudah dioleskan
sebagai obat luar dan bahan obat harus larut atau terdispersi secara homogen dalam basis
salep yang cocok. Obat dibuat dalam bentuk salep dengan alasan agar dapat memberikan
efek teraupetik secara lokal pada daerah target tanpa memberikan efek samping. Menurut
Sulistyaningrum et al (2012), secara umum penggunaan terapi topikal, seperti salep relatif
lebih aman dan memberikan efek pada daerah target dengan efek samping minimal
dibandingkan dengan rute pemberian secara oral. Pada pembuatan sediaan salep dilakukan
dengan menggunakan metode peleburan menggunakan pemanasan. Menurut Ansel (1989),
pada metode peleburan, semua atau beberapa komponen dari salep dicampurkan dengan
melebur bersama-sama dan didinginkan dengan pengadukan yang konstan sampai
mengental. Komponen-komponen yang tidak dicairkan biasanya ditambahkan pada cairan
yang sedang mengental setelah didinginkan. Bahan yang mudah menguap ditambahkan
terakhir saat temperatur cukup rendah tidak menyebabkan penguraian atau penguapan dari
komponen.
Pada pelaksanaan praktikum, sebelum memulai, praktikan harus mengenakan alat
perlindungan diri dan mengenakan ketentuan pakaian laboratorium, diantaranya
menggunakan jas laboratorium, masker, sarung tangan, dan sepatu tertutup. Hal ini berguna
untuk mencegah praktikan terkena zat berbahaya dari bahan obat yang dapat membuat
iritasi dan terluka serta menjaga sterilitas selama proses pembuatan dan pengujian sediaan
farmasi. Langkah pertama dalam pembuatan salep adalah disiapkan alat dan bahan yang
akan digunakan. Pembuatan salep dimulai dengan penimbangan seluruh bahan yang
diperlukan sesuai formula menggunakan neraca analitik. Sebelum dilakukan penimbangan,
perlu dilakukan kalibrasi timbangan analitik Menurut Dewan Standarisasi Nasional (1990),
tujuan umum kalibrasi ialah agar tercapai kondisi layak pakai dan menjamin ketelitian
dalam pengukuran telah akurat sesuai satuan standar. Setelah dikalibrasi, bahan ditimbang
sesuai formula dengan rincian asam salisilat 25 gram dikalikan untuk 5 formula, vaselin
4.975 mg, 4.700 mg, dan 2.500 mg untuk 3 formula, cera flava 275 mg dan 2.475 mg untuk
2 formula, PEG 4000 2775 mg dan 1.375 mg untuk 2 formula, serta PEG 400 2.200 mg
dan 3.600 mg untuk 2 formula. Setiap bahan ditimbang sebanyak 2x karena akan dibuat
dua resep untuk masing-masing formula dengan tujuan apabila dalam proses
pembuatannya, sediaan tidak dapat terbentuk, praktikan tidak harus menimbang kembali
formula yang dibutuhkan. Menurut Subeno, E. (2009), dalam pembuatan sediaan dapat
dilakukan repetisi pembuatan resep agar mencegah kekurangan bobot bahan saat
pembuatan.
Setelah seluruh bahan ditimbang, percobaan dilanjutkan dengan peleburan basis salep
menggunakan waterbath. Secara umum, basis digunakan sebagai zat pembawa zat aktif.
Menurut Sulaiman (2008), kualitas fisik salep tidak terlepas dari pemilihan basis yang
cocok. Basis berfungsi sebagai pembawa, pelindung dan pelunak kulit yang melepaskan
obat secara optimum serta cocok untuk penyakit dan kondisi kulit tertentu. Menurut
Lachman et al (1994), pembuatan basis terlebih dahulu dilelehkan wujud konstituen berupa
padatan sehingga pelelehan basis dapat menyebabkan ketercampuran bahan untuk salep
dapat lebih mudah. Basis yang digunakan pada percobaan pembuatan salep kali ini adalah
vaselin, cera flava, PEG 4000, dan PEG 400, dengan rincian penggunaan basis pada masing
masing formula adalah vaselin pada formula I, vaselin dan cera flava pada formula II dan
III, serta PEG 400 dan PEG 4000 pada formula IV dan V..
Berdasarkan penggunaan basisnya, terdapat perbedaan penetrasi obat antara formula
satu dengan formula lainnya dimana pada formula I, II, dan III menggunakan basis
berminyak, sedangkan formula IV dan V menggunakan basis larut air. Pada formula I, akan
memiliki karakteristik mudah dalam penyebarannya dan cenderung bertahan lama pada
kulit. Menurut Idzon dan Lazarus (1986), vaselin merupakan basis berminyak dan bebas
air sehingga dapat bertahan pada kulit untuk waktu yang lama. Oleh karena itu
efektifitasnya juga akan lebih lama. Bahan yang paling banyak digunakan sebagai basis
adalah vaselin mengingat konsistensi, kelunakan dan sifatnya yang netral serta kemampuan
menyebarnya yang mudah pada kulit. Pada formula II dan III, selain digunakan vaselin,
juga digunakan cera flava. Penambahan cera flava akan menyebabkan sediaan salep yang
dibuat memiliki efektivitas yang lebih baik. Menurut Rowe, et al (2009), cera flava
merupakan basis berminyak berfungsi sebagai emolien yang dapat melembutkan kulit
sehingga dalam pengaplikasiannya kulit tidak akan teriritasi. Pada formula IV dan V
digunakan PEG digunakan sebagai basis larut dalam air. Menurut Aulton (2007), PEG
merupakan basis salep larut air yang mampu meningkatkan penetrasi obat dalam kulit. Pada
percobaan dikombinasikan PEG 400 dan PEG 4000 dengan tujuan menghasilkan sediaan
yang kompatibel. Menurut Norvisari (2008), kombinasi basis PEG 400 dengan PEG 4000
adalah untuk menurunkan titik lebur PEG 4000 sehingga didapatkan sediaan yang
kompatibel sehingga sediaan salep yang dihasilkan memiliki daya lekat dan distribusi yang
baik pada kulit.
Keempat jenis basis kemudian dilebur menjadi satu dengan cara pemanasan suhu
<310C dan diaduk perlahan. Suhu yang digunakan dalam peleburan basis harus disesuaikan
dengan titik lebur bahan yang digunakan dalam basis yaitu meliputi vaselin, cera flava,
PEG 4000 dan PEG 400. Menurut Aulton (2007), titik lebur cera flava adalah 31-340C,
vaselin kuning memiliki titik lebur 330C, PEG 4000 memiliki titik lebur 50-580C, dan PEG
400 titik leburnya lebih rendah dibanding PEG 4000 yaitu 40-530C. Oleh karena itu, suhu
yang digunakan dalam peleburan basis haruslah kurang dari seluruh titik lebur bahan yaitu
< 310C. Apabila suhu yang digunakan melebihi 310C, dikhawatirkan cera flava mengalami
degradasi sehingga dapat membentuk metakristal yang tidak stabil dalam pembuatan salep.
Hasil leburan didinginkan terlebih dahulu. Hal ini dikarenakan saat proses
pencampuran dengan zat aktif, suhu perlu disesuaikan dengan suhu ruangan terlebih
dahulu, agar saat bahan dingin tidak terjadi perubahan setelah selesai diaduk. Selain itu,
menghindari apabila bahan aktif dan wadah tidak tahan panas. Hal ini sesuai dengan
literatur dimana menurut Kirk and Othmer (1979), dalam pencampurannya dengan zat
aktif, basis harus didinginkan terlebih dahulu untuk meminimalisir reaksi yang tidak
diinginkan antara basis, zat aktif, maupun wadah.
Zat aktif asam salisilat yang telah ditimbang dimasukkan ke dalam mortir, ditambahkan
± 2 tetes alkohol ke dalam mortir, lalu digerus hingga homogen. Menurut Katzung, B. G
(2002), asam salisilat merupakan zat anti jerawat sekaligus keratolitik yang lazim diberikan
secara topikal. Asam salisilat bekerja dengan memecah struktur desmosom pada korneosit
dengan cara menghilangkan ikatan kovalen lipid intraseluler di sekitar keratinosit. Lapisan
kulit kemudian akan mengalami deskuamasi. Penggunaan pelarut alkohol didasarkan atas
sifat monografi asam salisilat yang mudah larut dalam alkohol. Menurut Rowe et al. (2009),
alkohol berfungsi sebagai pelarut asam salisilat sehingga asam salisilat dapat dengan
mudah bercampur dengan basis. Pada percobaan digunakan 2 tetes alkohol untuk
melarutkan asam salisilat dimana takaran tersebut disesuaikan sampai asam salisilatnya
larut dalam alkohol.
Langkah selanjutnya, basis yang telah dilelehkan dicampur bersama zat aktif dan
digerus hingga homogen. Salep yang telah terbentuk dan menempel di dinding mortir,
diambil menggunakan sendok tanduk kemudian diletakkan di tengah mortir dan digerus
kembali supaya sediaan salep lebih homogen. Pengadukan sediaan dapat diberhentikan
ketika sediaan telah menunjukkan bentuk semi padat, warna dan tekstur yang homogen,
serta tidak berbau atau berbau zat aktifnya. Campuran salep yang telah homogen
dimasukkan ke dalam pot salep. Sediaan salep cenderung memiliki konsistensi agak kental
dan lebih lengket dan tidak berbau tengik. Namun, konsistensi sediaan salep juga
menyesuaikan dengan basis yang digunakan. Sediaan salep yang dihasilkan harus
memenuhi persyaratan awal dimana sifat fisik harus stabil selama penyimpanan, dimana
tidak terjadi perubahan warna, bau, dan tekstur. Menurut Martin (1993), sediaan salep yang
baik adalah sediaan yang tidak berbau tengik, stabil dalam penyimpanan, dan homogen saat
dioleskan.
Percobaan dilanjutkan dengan melakukan evaluasi sediaan salep yang dibuat meliputi
evaluasi organoleptis, uji homogenitas, uji daya sebar, uji daya proteksi, dan uji daya lekat.
5.1 Uji Organoleptis
Uji organoleptik merupakan uji identifikasi sifat fisik obat meliputi bentuk,
warna, bau, rasa obat menggunakan panca indera. Menurut Ansel (1989), pengujian
organoleptis dilakukan dengan mengamati sediaan dari tekstur dan warna secara visual
dan bau secara penciuman dengan tujuan untuk menentukan bahwa sediaan yang dibuat
sudah memenuhi standar fisik sediaan salep atau tidak. Menurut Hernani et al (2012),
spesifikasi salep yang harus dipenuhi adalah memilih bentuk setengah padat, warna
harus sesuai dengan spesifikasi pada saat pembuatan awal salep dan baunya tidak
tengik.
Hasil yang didapatkan dari pengujian ini yaitu pada formula 1 didapatkan
bentuk setengah padat, berwarna putih dan bau seperti vaselin. Hal tersebut terjadi
karena formula 1 menggunakan basis salep vaselin. Menurut Depkes RI (1979), vaselin
merupakan campuran hidrokarbon setengah padat dan memiliki pemerian berbentuk
massa lunak berwarna putih, tidak berbau dan tidak berasa. Formula 2 didapatkan hasil
bentuk setengah padat, berwarna putih dan bau seperti vaselin. Pada formula ini
digunakan kombinasi basis salep yaitu vaselin dan cera flava dimana perbandingan
yang lebih banyak untuk basis vaselin sehingga diperoleh hasil bau yang lebih condong
seperti vaselin. Formula 3 didapatkan hasil bentuk setengah padat, berwarna kuning
dan bau seperti cera flava. Hal ini terjadi karena formula 3 menggunakan kombinasi
basis salep yaitu vaselin dan cera flava, dimana perbandingan yang digunakan hampir
sama. Oleh karena itu, pada formula 3 didapatkan hasil bau yang condong seperti cera
flava. Menurut Depkes RI (1979), cera flava merupakan zat padat berwarna coklat atau
kekuningan, memiliki bau seperti madu dan menjadi lunak oleh suhu tangan. Formula
4 dan formula 5 didapatkan hasil berbentuk setengah padat, berwarna putih dan bau
seperti PEG. Hal ini terjadi karena formula 4 dan formula 5 menggunakan kombinasi
PEG 4000 dan PEG 400 sebagai basis salepnya. Menurut Depkes RI (1979), PEG 400
merupakan cairan jernih dan tidak berwarna atau praktis tidak berwarna, agak
higroskopik dan memiliki bau khas lemah. Maka hasil dari pengujian ini semua formula
sudah baik dimana bentuk setengah padat, bau, dan warna seperti bahan yang
ditambahkan.
Selanjutnya, hasil uji organoleptis setelah penyimpanan didapatkan hasil dari
formula 1, 2, dan 3 yaitu berbentuk setengah padat, warna tidak berubah dan bau tidak
tengik. Hal ini terjadi karena cera fava dan vaselin yang digunakan stabil dalam
penyimpanan. Selain itu, formula tersebut disimpan dalam wadah yang tertutup
terlindung dari cahaya matahari. Menurut Rowe (2009), vaselin album disimpan dalam
wadah tertutup rapat, terlindung dari cahaya serta ditempat yang sejuk dan kering untuk
menghindari adanya oksidasi dan menghasilkan bau yang tidak diinginkan. Menurut
Depkes RI (1979), cera flava disimpan dalam wadah tertutup baik. Sedangkan pada
formula 4 dan formula 5 didapatkan hasil bentuk sediaan setengah padat, berbau tengik
dan berubah menjadi warna muda. Hal ini terjadi kemungkinan disebabkan oleh
penurunan stabilitas basis PEG sehingga menyebabkan perubahan bau dan warna.
Perbandingan kombinasi penggunaan PEG 400 yang lebih banyak dan PEG 4000 yang
lebih sedikit akan mempengaruhi kestabilan sediaan. Menurut Depkes RI (1979), PEG
400 berupa cairan kental, bening, tidak berwarna dan sedikit kekuningan.
Ketidakstabilan dapat diatasi dengan reformulasi dengan perbandingan PEG 4000 yang
lebih banyak dan memperhatikan penyimpanan sediaan. Formulasi terbaik yang
didapatkan yaitu pada formulasi 1, 2 dan 3 yang tidak mengalami perubahan.

5.2 Uji Homogenitas


Uji homogenitas merupakan uji yang bertujuan untuk melihat homogen atau
tidaknya suatu sediaan. Menurut Lachman (1994), uji homogenitas sediaan salep
dilakukan untuk melihat perpaduan bahan-bahan (basis dan zat aktif) sehingga menjadi
bentuk salep yang homogen. Jika terdapat perbedaan sifat pada basis dan zat aktif akan
terjadi proses penggumpalan sehingga mengakibatkan bentuk sediaan yang memiliki
partikel lebih besar dari sediaan. Menurut Depkes RI (1979), uji homogenitas dilakukan
dengan cara mengamati hasil pengolesan salep pada plat kaca. Salep yang homogen
ditandai dengan tidak terdapatnya gumpalan pada hasil pengolesan sampai titik akhir
pengolesan.
Langkah-langkah yang dilakukan pada uji homogenitas yaitu diawali dengan
diambilnya sebagian dari sediaan kemudian diletakkan diatas gelas objek dengan cara
dioleskan lalu diamati adanya partikel yang menggumpal atau tidak. Berdasarkan data
pengamatan, pada formula 1, 2, 3 dan 5 didapatkan hasil partikel yang kurang merata
sedangkan pada formula 4 didapatkan hasil partikel yang cukup merata. Menurut Ansel
(1989) syarat penerimaan pada uji homogenitas adalah tidak adanya partikel yang
menggumpal atau dapat dikatakan bahwa partikel sudah terdistribusi secara merata
yang ditandai dengan tidak adanya partikel kasar yang terlihat. Hasil pada formula 1,
2, 3, dan 5 menunjukkan hasil tidak sesuai literatur, sedangkan hasil yang diperoleh
dari formula 4 didapatkan sesuai dengan literatur.

5.3 Uji Daya Lekat


Uji daya lekat merupakan uji yang dilakukan untuk mengetahui kemampuan
salep melekat pada tempat aplikasinya. Menurut Ansel (1989), uji daya lekat dilakukan
dengan tujuan untuk melihat berapa lama sediaan dapat menempel dengan permukaan
kulit sehingga zat aktif dalam salep terabsorbsi. Menurut Minghetti (2004), Metode Uji
daya lekat mengukur lama waktu (gaya) yang diperlukan untuk menarik area standar
tempelan dari permukaan datar standar (kaca objek) ke arah yang sejajar dengan
permukaan yang telah ditempelkan sediaan. Tes statik ini secara tidak langsung
mengukur gaya yang dibutuhkan untuk melepaskan sediaan pada kaca objek yang
menempel dengan menentukan waktu yang diperlukan untuk menghilangkan area yang
diberi sediaan dari kaca objek yang menempel di bawah beban standar
Cara kerja metode ini diawali dengan menyiapkan 0.5 gram sediaan salep yang
diletakkan pada objek glass dan ditempelkan objek glass lain, kemudian dipasang pada
alat uji daya lekat. Menurut Minghetti (2004), ini dilakukan agar dapat dihitung gaya
dari tarikan kearah sejajar, sehingga diketahui apakah pemakaian sediaan mudah/
diaplikasikan dan dibasuh. Setelah itu, ditambahkan beban 500 gram sebagai pemberi
gaya konstan pada kaca objek yang dilekatkan untuk mensimulasikan pemakaian salep,
lalu didiamkan selama 1 menit untuk memberikan waktu untuk menempel secara
optimal, kemudian beban diturunkan dengan menarik tuasnya, dan dicatat waktunya.
Menurut Minghetti (2004), perhitungan waktu merupakan salah satu hasil yang secara
tidak langsung menghitung gaya tarikan yang diperlukan agar lekatan terlepas.
Hasil yang didapatkan adalah untuk formula 1: 2,41 detik, formula 2: 3,47 detik,
formula 3: ≥ 4 detik, formula 4: ≥ 4 detik, formula 5: 2,80 detik. Jika didasari literatur
Natalia (2016), Semakin besar daya lekat salep maka absorbsi obat akan semakin besar
karena ikatan yang terjadi antara salep dengan kulit semakin lama, sehingga basis dapat
melepaskan obat lebih optimal. Maka dari hasil tersebut dapat disimpulkan formula 3
dan formula 4 memiliki daya lekat yang paling baik. Bila dibandingkan dengan
literatur, untuk formula 3 sudah sesuai tetapi tidak untuk formula 4. Hal ini dikarenakan
menurut Natalia (2016), dimana formula dengan basis lemak (Vaseline) dan salep yang
lebih lunak akan memiliki daya lekat yang lebih tinggi dibandingkan dengan basis larut
air (PEG 4000). Bila dilihat pada formula percobaan seharusnya formula 1, 2, dan 3
memiliki daya lekat yang lebih baik dikarenakan menggunakan basis lemak dibanding
formula 4 dan 5 yang menggunakan basis larut air yaitu PEG. Kesalahan dapat terjadi
dikarenakan panjang jarak dengan sambungan kaca objek terlalu Panjang. Menurut
Jouan (2020), Keadaan geser yang ideal dalam uji daya lekat menjadi lebih heterogen
saat panjang sambungan diperpanjang, yaitu semakin dibebaninya daerah pinggir
dengan mengorbankan bagian tengah sambungan, yang merupakan inti untuk uji daya
lekat, sementara gaya pada penarikan beban tetap sama pada panjang sambungan. Oleh
karena itu, uji menjadi lebih berhubungan dengan tegangan uniaksial dan bukan geser
murni seperti yang diinginkan, yang berarti bahwa kegagalan tegangan akan muncul
karena tegangan Tarik (tegak lurus) daripada tegangan geser (sejajar).

5.4 Uji Daya Proteksi


Uji daya proteksi merupakan uji yang dilakukan dengan tujuan untuk
memastikan sediaan yang telah dibuat memiliki kemampuan untuk mempertahankan
efektivitasnya terhadap pengotor- pengotor dari luar yang bersifat asam maupun basa
dan dapat memberikan proteksi terhadap keringat serta untuk mengetahui kemampuan
salep melindungi kulit dari pengaruh luar seperti debu, polusi dan sinar matahari.
Menurut Dirjen POM (1995), pengujian dilakukan dengan melihat noda merah yang
terlihat akibat reaksi dengan indikator phenoftalein. Jika noda merah muncul maka
sedian dianggap tidak bisa memberikan kemampuan proteksi yang baik terhadap
pengotor-pengotor yang sifatnya basa. Uji ini menggunakan larutan KOH sebagai
intervensi dan phenolptalein sebagai indikator. Semakin lama waktu yang dibutuhkan
indikator PP bereaksi dengan KOH, maka semakin baik daya proteksi yang dihasilkan.
Percobaan dimulai dengan mengambil kertas saring diukur 10 x 10 cm 1 buah,
kemudian dibasahi dengan indikator PP. Menurut Goskonda (2009), indikator pp
digunakan sebagai pendeteksi adanya perubahan pH pada sediaan salep ketika ditetesi
dengan KOH. Hal ini dikarenakan indikator pp akan berubah warna bila pH di
lingkungan sekitar berubah menjadi asam atau basa. Menurut Khopkar (1990), Larutan
KOH dan indikator PP dapat diganti dengan larutan basa kuat yang lain seperti NaOH,
Mg(OH)₂, Ba(OH)₂. Hal ini karena range indikator pH indikator pp yaitu 8,2 - 10
sehingga diperlukan larutan basa kuat. Setelah itu, kertas dikeringkan menggunakan
oven. Pengeringan bertujuan agar memudahkan dalam proses pengolesan salep.
Apabila kertas terlalu basah maka akan mengakibatkan salep sulit menempel.
Pengeringan dengan oven akan jauh lebih efektif apabila dibandingkan dengan
pengeringan dengan cara diangin-anginkan saja. Setelah kertas mengering, kertas
diambil dan dioleskan salep pada kertas saring seperti lazimnya orang memakai salep.
Percobaan dilanjutkan dengan mengambil kertas saring berukuran lebih kecil yaitu 2,5
x 2,5 cm dan ditempelkan diatas kertas saring berukuran 10x10 cm. Penempelan kertas
2,5x2,5 cm bertujuan sebagai tempat pengamatan uji setelah ditetesi dengan KOH 0,1
N. Selanjutnya, KOH 0,1 N diteteskan dan diamati perubahan warna yang terjadi pada
rentan waktu 5, 10, 15, 30, 45, dan 60 menit.
Hasil yang didapatkan untuk seluruh formula adalah tidak adanya perubahan
warna/ munculnya warna kemerahan. Menurut Wyatt et al (2001), suatu sediaan
semisolid yang baik adalah mampu memproteksi ketika diberi KOH, dimana tidak
menimbulkan noda merah. Noda merah sendiri timbul karena sediaan tidak memiliki
kemampuan yang baik dalam hal proteksi gangguan dari luar yang mengakibatkan
larutan PP menjadi bereaksi dengan KOH. sehingga dapat disimpulkan bahwa seluruh
formulasi memenuhi syarat pada uji daya proteksi.

5.5 Uji Daya Sebar


Uji daya menyebar merupakana uji yang dilakukan untuk mengetahui kualitas
daya menyebar salep saat dioleskan pada kulit. Uji ini juga berhubungan dengan
penetrasi obat ke dalam kulit, semakin baik hasil uji daya sebar, semakin mudah mudah
obat berpenetrasi. Prinsip uji daya sebar menurut Voigt (1984) adalah permukaan
penyebaran yang dihasilkan dengan meningkatkan beban merupakan sifat fisik daya
sebarnya. Menurut Garg et al (2002), faktor yang memengaruhi daya sebar adalah
rigiditas, lama penekanan, temperatur tempat aksi, dan viskositas sediaan.
Pengujian daya sebar dimulai dengan menimbang kaca penutup pada timbangan
digital dan dicatat hasilnya. Dari hasil penimbangan, kaca penutup mempunyai berat
72,13 gram. Kaca penutup digunakan digunakan sebagai beban yang
menginterpretasikan saat sediaan dioleskan ke kulit, terdapat gaya dari tangan yang
membantu penyebaran sediaan. Kemudian, sediaan salep ditimbang sebesar 0,5 gram
dan diletakkan di tengah alat uji daya sebar (ekstensometer). Menurut Gilbert (2005),
ekstensometer adalah alat yang digunakan untuk mengukur perubahan panjang yang
dikarenakan adanya gaya atau penghilangan gaya. Setelah itu, kaca penutup diletakkan
di atas sediaan krim dan didiamkan selama satu menit dengan dihitung menggunakan
stopwatch, kemudian dihitung diameter penyebarannya dengan penggaris pada
berbagai sisi. Menurut Sandi dan Musfirah (2018), pengukuran uji daya sebar salep
dilakukan dengan menimbang 0,5 gram salep dan diletakkan di tengah kaca, kemudian
meletakkan kaca penutup diatas salep dan dibiarkan selama 1 menit. Selanjutnya,
ditambahkan beban 50 gram, dan diamkan 1 menit, serta diukur diameter
penyebarannya seperti sebelumnya. Menurut Sandi dan Musfirah (2018), ditambahkan
beban tambahan seberat 50 gr dan maksimal beban adalah 200 gram. Ulangi langkah
yang sama dengan beban 50 gram. Uji daya sebar krim dilakukan repetisi tiga kali setiap
pengukuran.
Hasil pengukuran formula 1 rata-rata diameternya adalah 2,82 cm. Hasil
pengukuran formula 2 rata-rata diameternya adalah 2,23 cm. Hasil pengukuran pada
formula 3 rata-rata diameternya adalah 2,22 cm. Hasil pengukuran pada formula 4 rata-
rata diameternya adalah 2,06 cm dan hasil pengukuran formula 5 adalah 2,65 cm.
Hanya formula 1 yang sesuai literatur dimana pada menit ke-3, sudah menunjukkan
diameter yang sesuai. Menurut Wasiaatmadja (1997) karena diameter penyebaran yang
baik adalah 5 - 7 cm. Urutan formula dari yang paling baik adalah formula 1, formula
5, formula 2, formula 3, dan formula 4. Literatur Ulaen dkk (2012) menyebutkan bahwa
semakin rendah viskositas sediaan, maka penyebarannya semakin besar. Maka untuk
menambah daya sebar salep, viskositas formula diperkecil yang dapat dilakukan
dengan menggunakan basis yang lebih cair atau lembek.
Formula 1 mempunyai daya sebar yang paling besar karena hanya
menggunakan basis vaselin. Menurut Fatimah dan Setiyadi (2017) salep hidrokarbon
paling mudah daya sebarnya dibandingkan basis lain dan tidak terlalu kental karena
menggunakan basis berlemak, contohnya vaselin album. Formula 2 dan formula 3
walaupun menggunakan vaselin, tetapi menggunakan tambahan cera flava yang dapat
menurunkan viskositas sediaan. Menurut Depkes RI (1995), cera flava merupakan
padatan hasil pemurnian malam dari sarang lebah, sehingga membuat viskositas
formula 2 dan formula 3 lebih besar daya sebarnya. Formula 3 lebih kecil dari formula
2 karena penggunaan cera flava yang lebih banyak. Formula 5 lebih besar dari formula
4 yang sama sama menggunakan basis PEG 400 dan PEG 4000 karena formula 5
menggunakan PEG 400 lebih banyak dibandingkan formula 4. Menurut Depkes RI
(1995), PEG 400 merupakan cairan kental jernih, sementara PEG 4000 merupakan
serbuk putih licin. Sehingga apabila menggunakan PEG 400 lebih banyak, hasilnya
lebih lembek dan daya sebar meningkat.
Peningkatan daya sebar salep dapat dicapai dengan menggunakan basis
hidrokarbon yang mempunyai tekstur lebih cair, contohnya parafin cair. Menurut
Depkes RI (1979), parafin cair merupakan cairan kental tidak berwarna sementara
vaselin album merupakan masa lunak dari campuran hidrokarbon setengah padat. Basis
hidrokarbon dipilih karena menurut Fatimah dan Setiyadi (2017) urutan daya sebar
salep dari yang terluas yaitu salep basis hidrokarbon, basis absorpsi, basis tercuci, dan
basis larut air. Selain itu, pada formula 4 dan 5 dapat diperbanyak jumlah PEG 400,
sehingga lebih lembek.
VI. PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Salep merupakan sediaan setengah padat yang digunakan sebagai obat luar
dengan satu atau lebih bahan obat homogen dalam basis yang cocok. Bahan yang
digunakan antara lain asam salisilat, vaselin, cera flava, PEG 400, dan PEG 400.
Pembuatan salep melalui metode peleburan, dimana basis salep, yaitu vaselin, cera
flava, PEG 400, dan PEG 4000 akan dileburkan terlebih dahulu sesuai formula dan
didinginkan. Asam salisilat berperan sebagai anti jerawat sekaligus keratolitik yang
dalam pembuatan ini dibutuhkan alkohol untuk melarutkan karena asam salisilat
memiliki sifat mudah larut dalam alkohol. Asam salisilat dan basis diaduk dalam mortir
sampai homogen dan dimasukkan dalam pot salep.
Uji evaluasi yang pertama dilakukan adalah uji organoleptik, dimana hasil yang
baik adalah formula 1, 2, dan 3 berupa sediaan setengah padat, berwarna putih, dan
tidak tengik. Uji homogenitas dilakukan dengan mengamati adanya gumpalan kasar
dengan bantuan kaca objek dimana formula terbaik adalah formula 4. Uji daya lekat
dilakukan dengan mengukur waktu sediaan untuk memisahkan dua gelas objek dimana
formula terbaik adalah formula 3 dan 4. Uji daya sebar dilakukan untk mengetahui
kemampuan salep dalam menyebar yang berhubungan dengan kemudahan aplikasinya,
dimana formula 1 adalah formula yang paling baik. Uji daya proteksi dilakukan dengan
mengamati adanya bercak merah karena indikator pp dengan larutan KOH dimana
seluruh formula memenuhi syarat.

6.2 Saran
Pada praktikum ini diharapkan semua praktikan dapat memahami peraturan dan
tata cara pembuatan sediaan salep dengan benar serta dapat melakukan evaluasi
terhadap sediaan yang dibuat. Praktikan juga diharapkan dapat memahami stabilitas
serta sifat bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum sehingga dapat mengerti
proses penyimpanannya dan dihasilkan sediaan yang stabil dan tidak mudah rusak.
Selain itu, praktikan diharapkan aktif dalam sesi diskusi dan dapat memberikan
jawaban terbaik.
VII. DAFTAR PUSTAKA

Anief, Mohammad. 2006. Ilmu Meracik Obat. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Anief, Mohammad. 2007. Farmasetika. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Ansel. 1989. Pengantar Bentuk Sedian Farmasi. Jakarta : Universitas Indonesia Press
Aulton, M.E. 2007. Pharmaceutics The Design and Manufacture of Medicines,Third
Edition. London : Oxford
Dewan Standarisasi Nasional. 1990. Direktori Pengukuran Kalibrasi Perawatan Perbaikan
dan Pengadaan Instrumentasi Pengukuran, Edisi 90. Jakarta : Komisi Metrologi
Dewan Standardisasi Nasional
Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia
Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia
Fatimah, Y. dan Setiyadi, G., 2017. Pengaruh Basis Salep Terhadap Sifat Fisik Sediaan
Salep Ekstrak Etanolik Bonggol Pisang Ambon (Musa Paradisiaca Var. Sapientum
L.) Sebagai Penyembuhan Luka Terbuka Pada Tikus Surakarta: Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Garg, A., D. Aggarwal, S. Garg, dan A. K. Sigla. 2002. Spreading of Semisolid Formulation.
USA: Pharmaceutical Technology.
Gilbert, Vial. 2005. Automatic Extensometer (Tech Spotlight).
https://web.archive.org/web/20150924132425/http://www.highbeam.com/doc/1G1
-136819908.html. Diakses tanggal 8 Mei 2021.
Harpolia Cartica. 2016. Kimia Farmasi. Jakarta: Kemenkes RI
Hernani, M., Mufrod & Sugiyono. Formulasi Salep Ekstrak Air Tokek (Gekko gecko L.)
Untuk Penyembuhan Luka. Jurnal Ilmiah. Universitas Gadjah Mada. 2012. 8(1) :
120-126.
Idzon, B., dan Lazarus, J. 1986. Semi Solid. Philadelphia : Lea and Febiger
Jouan, Alexandre, Andrei Constantinescu. 2020. “A critical comparison of shear tests for
adhesive joints” International Journal of Adhesion and Adhesives. Elsevier
Katzung BG. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi II. Jakarta: Salemba Medika
Kirk, R.E. and Othmer, D.F. 1979. Encyclopedia of Chemical Technology, 3rd ed., vo l15-
20. New York : The Inter Science Encyclopedia, Inc
Lachman, L., & Lieberman, H. A. 1994. Teori dan Praktek Farmasi Industri Edisi Kedua.
Jakarta : UI Press
Lachman,L.,Liberman, H.A., Karrig, J.L., 1999, Teori dan Praktek Farmasi Industri
diterjemahkan oleh Siti Suyatmi, jilid 2, Edisi III. Jakarta : Penerbit UI
Martin, Alfred., Bustamante, P., & Chun, A.H.C. 1993. Physical Pharmacy, 4th Edition.
New York: John Willey and Sons Inc
Minghetti P, Cilurzo F, Casiraghi A. 2004. Measuring adhesive performance in transdermal
delivery systems. Am J Drug Deliv
Natalia, Dyan, Beta Ria Erika, Mitta Aninjaya. 2016. Uji evaluasi salep minyak atsiri
rimpang lengkuas merah basis lemak dan basis larut air terhadap aktivitas Candida
albicans. Intisari. Klaten: STIKES Duta Gama Klaten
Norvisari, Mery. 2008. Pengaruh Penambahan PEG Terhadap Sifat Fisik dan Pelepasan
Asam Mefenamat Pada Sediaan Supositoria. Surakarta : Fakultas Farmasi
Universitas Muhammadiyah
Rowe, R.C. et Al. 2009. Handbook Of Pharmaceutical Excipients, 6th Ed. London: The
Pharmaceutical Press
Sandi, D. A. D., & Musfirah, Y. 2018. Pengaruh Basis Salep Hidrokarbon dan Basis Salep
Serap terhadap Formulasi Salep Sarang Burung Walet Putih (Aerodramus
fuciphagus). Jurnal Ilmiah Manuntung, 4(2), 149-155.
Saryanti, D., Setiawan, I. and Safitri, R.A., 2019. Optimasi Asam stearat dan TEA Pada
Formulasi Sediaan Krim Ekstrak Kulit Pisang Kepok (Musa paradisiaca L.). Jurnal
Riset Kefarmasian Indonesia, 1(3), pp.225-237.
Sulaiman, T.N. Syaifullah dan Rina Kuswahyuning. 2008. Teknologi & Formulasi
Sediaan Semipadat. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
Subeno, E. 2009. Ketidakpastian Pengukuran. Semarang : Balai Metrologi Semarang
Sulistyaningrum, S.K., Nilasari, H., Effendi, E.H. 2012. Penggunaan Asam Salisilat dalam
Dermatologi. J Indon Med Assoc;62: 277-84.
Ulaen, S.P., Banne, Y. and Suatan, R.A., 2012. Pembuatan salep anti jerawat dari ekstrak
rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.). Jurnal Ilmiah Farmasi (JIF),
3(2), pp.45-49.
Voigt. 1984. Buku Ajar Teknologi Farmasi Diterjemahkan oleh Soendani Noeroto S.
Yogyakarta : UGM Press
Wasitaatmadja, S.M. 1997. Penuntun Ilmu Kosmetik Medik. Jakarta: UI Press.

Anda mungkin juga menyukai