TEKNOLOGI CAIR-SEMIPADAT
JUDUL :
PEMBUATAN DAN EVALUASI SEDIAAN SALEP
Disusun Oleh:
Tanggal Percobaan : 26 April dan 3 Mei 2021
Kelompok/Kelas : 8/B
Disusun Oleh :
1. Errinda Alyaa Rahmah (22010319130047)
2. Lintang Avi Mehira N. (22010319130060)
3. Riefqi Samudro W. (22010319140070)
4. Izzatul Husnayaini (22010319140075)
5. Amadea Paskah Putri A. (22010319140085)
I. TUJUAN
2.1 Salep
Salep adalah sediaan semi padat yang dimaksudkan untuk penggunaan luar pada
kulit atau membran mukosa, melebur pada suhu tubuh, mudah digunakan, dan tidak
berpasir (Ansel, 1989). Salep merupakan salah satu bentuk sediaan farmasi yang
digunakan pada kulit sehat, sakit, atau terluka dimaksudkan untuk efek topikal kulit
atau selaput lendir. Salep digunakan untuk mengobati penyakit kulit yang akut atau
kronis sehingga diharapkan adanya penetrasi ke dalam lapisan kulit agar dapat
memberikan efek yang diinginkan (Voight, 1984). Bahan obat pada salep harus larut
atau terdispersi homogen dalam dasar atau basis salep yang cocok. Salep dapat
mengandung obat atau tidak mengandung obat yang disebut dengan basis salep (Ansel,
1989).
Persyaratan salep yang baik dan harus dipenuhi agar salep dapat digunakan
sebagai obat luar adalah sebagai berikut:
a. Pemerian
Salep tidak boleh berbau tengik, mengandung zat dengan keadaan yang halus
dan seluruh produk harus lunak, homogen, dan mudah dipakai.
b. Kadar
Kecuali dinyatakan lain dan untuk salep yang mengandung obat keras, kadar
bahan obat adalah 10%.
c. Dasar salep
Kecuali dinyatakan lain, sebagai bahan dasar salep (basis salep) digunakan
vaselin putih (vaslin album). Tergantung dari sifat bahan obat dan tujuan pemakaian
salep.
d. Homogenitas
Jika dioleskan pada sekeping kaca atau bahan transparan lain yang cocok, harus
menunjukkan susunan yang homogen.
e. Stabilitas
Salep harus stabil selama masih digunakan untuk mengobat. Oleh karena itu,
bebas inkompabilitas, stabil pada suhu kamar dan kelembaban yang ada dalam
kamar.
f. Penandaan
Pada etiket harus tertera obat luar.
(Ansel, 1989)
(Ansel, 1989)
2.2.3 Dasar salep yang dapat dibersihkan dengan air
Dasar salep ini merupakan emulsi minyak dalam air yang dapat dicuci dari
kulit dan pakaian dengan air. Basis yang dapat dicuci dengan air adalah emulsi
minyak di dalam air, dan dikenal sebagai “krim”. Dasar salep ini biasanya
digunakan untuk kosmetik. Contohnya : vanishing cream, salep hidrofilik (Ansel,
1989).
2.2.4 Dasar salep yang dapat larut dalam air
Dasar salep ini tidak mengandung bahan berlemak dan mudah melunak
dengan penambahan air. Basis ini larut dalam air karena adanya gugus polar dan
ikatan eter yang banyak. Basis yang “larut di dalam air” juga dikenal sebagai basis
salep yang tidak mengandung lemak. Dasar salep jenis ini lebih baik dicampurkan
ke dalam bahan yang tidak berair atau bahan padat. Bahan pembawa yang larut
dalam air contohnya adalah PEG. PEG dibuat dari campuran polietilen glikol
dengan bobot molekul yang tinggi dan polietilen glikol dengan bobot molekul
yang rendah. Kombinasi dari polietilen glikol dengan bobot molekul yang tinggi
dan yang rendah akan menghasilkan produk-produk dengan konsistensi yang
melunak atau meleleh jika digunakan pada kulit. Pembuatan sediaan dengan
bahan-bahan ini tidak memerlukan air (Lachman et al., 1999).
2.3 Kelebihan dan Kekurangan Salep
2.3.1 Kelebihan Salep
a. Dapat diatur daya penetrasi dengan memodifikasi basisnya.
b. Kontak sediaan dengan kulit.
c. Lebih sedikit mengandung air sehingga sulit ditumbuhi bakteri.
d. Lebih mudah digunakan tanpa alat bantu.
2.3.2 Kekurangan Salep
a. Terjadi tengik terutama untuk sediaan dengan basis lemat tak jenuh.
b. Terbentuk kristal atau keluarnya fase padat dan basisnya.
c. Terjadi perubahan warna.
(Ansel, 1989).
3.2 Bahan
a. Asam salisilat
b. Vaselin
c. Cera flava
d. PEG 400
e. PEG 4000
f. Indikator PP
g. KOH 0,1 N
h. Akuades
3.3 Formula
Nama Bahan R1 R2 R3 R4 R5
(mg) (mg) (mg) (mg) (mg)
Asam Salisilat 25 25 25 25 25
Asam Salisilat
Mortier
− air.
Dilakukan peleburan basis hingga semua basis melebur,
diaduk perlahan agar tercampur. Didiamkan hingga
dingin.
− Dimasukkan asam salisilat ke dalam mortier dan
dimasukkan basis yang telah dibuat dan diaduk hingga
merata.
− Dimasukkan sediaan salep ke dalam pot salep dan
dilakukan evaluasi sediaan.
Hasil
Salep
Indera
Hasil
b. Uji Homogenitas
Salep
Geas Objek
Hasil
Salep
Salep
Kertas Saring
Salep
Ekstensometer
Hasil
IV. DATA PENGAMATAN
No. Nama Uji Hasil Evaluasi Syarat Penerimaan
1. Uji Setelah Pembuatan F1, F2 dan F3
Organoleptis
F1 - Bentuk : Setengah Padat
a. Bentuk : Setengah Padat
- Bau : Seperti vaselin
b. Bau : Seperti vaselin
c. Warna : Putih - Warna : Putih
F4 dan F5
F2
- Bentuk : Setengah Padat
a. Bentuk : Setengah Padat
b. Bau : Seperti vaselin - Bau : Seperti PEG
F4
a. Bentuk : Setengah Padat
b. Bau : Seperti PEG
c. Warna : Putih Setelah penyimpanan :
F1, F2 dan F3
F5
a. Bentuk : Setengah Padat - Bentuk : Setengah Padat
b. Bau : Seperti PEG - Bau : Seperti vaselin
c. Warna : Putih
- Warna : Putih
5. Uji Daya F1 :
Sebar
Menit 1 = 2,3; 2,5; 2,6 = 2,47 Diameter penyebaran yang
Menit 2 = 2,7; 3; 2,9 = 2,87 baik 5-7 cm.
Menit 3 = 3,2; 3, 2;3 = 3,13
F2 :
Menit 1 = 2,1; 1,7; 1,9 = 1,9
Menit 2 = 2,5; 2,2; 2,1 = 2,27
Menit 3 = 2,8; 2,3; 2,5 = 2,53
F3 :
Menit 1 = 2,1; 2,3; 2 = 2,13
Menit 2 = 2,3; 2,2; 2,3 = 2,67
Menit 3 = 2,5; 2,2; 2,1 = 2,27
F4 :
Menit 1 = 2; 2; 1,9 = 1,97
Menit 2 = 2,2; 2,1; 2 = 2,1
Menit 3 = 2,3; 2,1; 2 = 2,13
F5 :
Menit 1 = 2,5; 2,4; 2,5 = 2,47
Menit 2 = 2,7; 2,7; 2,6 = 2,67
Menit 3 = 2,8; 2,9; 2,8 = 2,83
Keterangan :
Menit 1 → beban penutup
Menit 2 → beban 50 gram
Menit 3 → beban 100 gram
V. PEMBAHASAN
Praktikum Teknologi Sediaan Cair Semi Padat yang berjudul “Pembuatan dan Evaluasi
Sediaan Salep” dilakukan secara daring menggunakan Microsoft Teams pada tanggal 26
April dan 3 Mei 2021 pukul 13.00 - 16.00 WIB. Praktikum ini bertujuan agar mahasiswa
dapat mengetahui tata cara pembuatan dan evaluasi sediaan salep.
Sediaan salep sendiri merupakan sediaan setengah padat yang ditujukan untuk efek
topikal. Menurut Anief (2006), salep adalah sediaan setengah padat yang mudah dioleskan
sebagai obat luar dan bahan obat harus larut atau terdispersi secara homogen dalam basis
salep yang cocok. Obat dibuat dalam bentuk salep dengan alasan agar dapat memberikan
efek teraupetik secara lokal pada daerah target tanpa memberikan efek samping. Menurut
Sulistyaningrum et al (2012), secara umum penggunaan terapi topikal, seperti salep relatif
lebih aman dan memberikan efek pada daerah target dengan efek samping minimal
dibandingkan dengan rute pemberian secara oral. Pada pembuatan sediaan salep dilakukan
dengan menggunakan metode peleburan menggunakan pemanasan. Menurut Ansel (1989),
pada metode peleburan, semua atau beberapa komponen dari salep dicampurkan dengan
melebur bersama-sama dan didinginkan dengan pengadukan yang konstan sampai
mengental. Komponen-komponen yang tidak dicairkan biasanya ditambahkan pada cairan
yang sedang mengental setelah didinginkan. Bahan yang mudah menguap ditambahkan
terakhir saat temperatur cukup rendah tidak menyebabkan penguraian atau penguapan dari
komponen.
Pada pelaksanaan praktikum, sebelum memulai, praktikan harus mengenakan alat
perlindungan diri dan mengenakan ketentuan pakaian laboratorium, diantaranya
menggunakan jas laboratorium, masker, sarung tangan, dan sepatu tertutup. Hal ini berguna
untuk mencegah praktikan terkena zat berbahaya dari bahan obat yang dapat membuat
iritasi dan terluka serta menjaga sterilitas selama proses pembuatan dan pengujian sediaan
farmasi. Langkah pertama dalam pembuatan salep adalah disiapkan alat dan bahan yang
akan digunakan. Pembuatan salep dimulai dengan penimbangan seluruh bahan yang
diperlukan sesuai formula menggunakan neraca analitik. Sebelum dilakukan penimbangan,
perlu dilakukan kalibrasi timbangan analitik Menurut Dewan Standarisasi Nasional (1990),
tujuan umum kalibrasi ialah agar tercapai kondisi layak pakai dan menjamin ketelitian
dalam pengukuran telah akurat sesuai satuan standar. Setelah dikalibrasi, bahan ditimbang
sesuai formula dengan rincian asam salisilat 25 gram dikalikan untuk 5 formula, vaselin
4.975 mg, 4.700 mg, dan 2.500 mg untuk 3 formula, cera flava 275 mg dan 2.475 mg untuk
2 formula, PEG 4000 2775 mg dan 1.375 mg untuk 2 formula, serta PEG 400 2.200 mg
dan 3.600 mg untuk 2 formula. Setiap bahan ditimbang sebanyak 2x karena akan dibuat
dua resep untuk masing-masing formula dengan tujuan apabila dalam proses
pembuatannya, sediaan tidak dapat terbentuk, praktikan tidak harus menimbang kembali
formula yang dibutuhkan. Menurut Subeno, E. (2009), dalam pembuatan sediaan dapat
dilakukan repetisi pembuatan resep agar mencegah kekurangan bobot bahan saat
pembuatan.
Setelah seluruh bahan ditimbang, percobaan dilanjutkan dengan peleburan basis salep
menggunakan waterbath. Secara umum, basis digunakan sebagai zat pembawa zat aktif.
Menurut Sulaiman (2008), kualitas fisik salep tidak terlepas dari pemilihan basis yang
cocok. Basis berfungsi sebagai pembawa, pelindung dan pelunak kulit yang melepaskan
obat secara optimum serta cocok untuk penyakit dan kondisi kulit tertentu. Menurut
Lachman et al (1994), pembuatan basis terlebih dahulu dilelehkan wujud konstituen berupa
padatan sehingga pelelehan basis dapat menyebabkan ketercampuran bahan untuk salep
dapat lebih mudah. Basis yang digunakan pada percobaan pembuatan salep kali ini adalah
vaselin, cera flava, PEG 4000, dan PEG 400, dengan rincian penggunaan basis pada masing
masing formula adalah vaselin pada formula I, vaselin dan cera flava pada formula II dan
III, serta PEG 400 dan PEG 4000 pada formula IV dan V..
Berdasarkan penggunaan basisnya, terdapat perbedaan penetrasi obat antara formula
satu dengan formula lainnya dimana pada formula I, II, dan III menggunakan basis
berminyak, sedangkan formula IV dan V menggunakan basis larut air. Pada formula I, akan
memiliki karakteristik mudah dalam penyebarannya dan cenderung bertahan lama pada
kulit. Menurut Idzon dan Lazarus (1986), vaselin merupakan basis berminyak dan bebas
air sehingga dapat bertahan pada kulit untuk waktu yang lama. Oleh karena itu
efektifitasnya juga akan lebih lama. Bahan yang paling banyak digunakan sebagai basis
adalah vaselin mengingat konsistensi, kelunakan dan sifatnya yang netral serta kemampuan
menyebarnya yang mudah pada kulit. Pada formula II dan III, selain digunakan vaselin,
juga digunakan cera flava. Penambahan cera flava akan menyebabkan sediaan salep yang
dibuat memiliki efektivitas yang lebih baik. Menurut Rowe, et al (2009), cera flava
merupakan basis berminyak berfungsi sebagai emolien yang dapat melembutkan kulit
sehingga dalam pengaplikasiannya kulit tidak akan teriritasi. Pada formula IV dan V
digunakan PEG digunakan sebagai basis larut dalam air. Menurut Aulton (2007), PEG
merupakan basis salep larut air yang mampu meningkatkan penetrasi obat dalam kulit. Pada
percobaan dikombinasikan PEG 400 dan PEG 4000 dengan tujuan menghasilkan sediaan
yang kompatibel. Menurut Norvisari (2008), kombinasi basis PEG 400 dengan PEG 4000
adalah untuk menurunkan titik lebur PEG 4000 sehingga didapatkan sediaan yang
kompatibel sehingga sediaan salep yang dihasilkan memiliki daya lekat dan distribusi yang
baik pada kulit.
Keempat jenis basis kemudian dilebur menjadi satu dengan cara pemanasan suhu
<310C dan diaduk perlahan. Suhu yang digunakan dalam peleburan basis harus disesuaikan
dengan titik lebur bahan yang digunakan dalam basis yaitu meliputi vaselin, cera flava,
PEG 4000 dan PEG 400. Menurut Aulton (2007), titik lebur cera flava adalah 31-340C,
vaselin kuning memiliki titik lebur 330C, PEG 4000 memiliki titik lebur 50-580C, dan PEG
400 titik leburnya lebih rendah dibanding PEG 4000 yaitu 40-530C. Oleh karena itu, suhu
yang digunakan dalam peleburan basis haruslah kurang dari seluruh titik lebur bahan yaitu
< 310C. Apabila suhu yang digunakan melebihi 310C, dikhawatirkan cera flava mengalami
degradasi sehingga dapat membentuk metakristal yang tidak stabil dalam pembuatan salep.
Hasil leburan didinginkan terlebih dahulu. Hal ini dikarenakan saat proses
pencampuran dengan zat aktif, suhu perlu disesuaikan dengan suhu ruangan terlebih
dahulu, agar saat bahan dingin tidak terjadi perubahan setelah selesai diaduk. Selain itu,
menghindari apabila bahan aktif dan wadah tidak tahan panas. Hal ini sesuai dengan
literatur dimana menurut Kirk and Othmer (1979), dalam pencampurannya dengan zat
aktif, basis harus didinginkan terlebih dahulu untuk meminimalisir reaksi yang tidak
diinginkan antara basis, zat aktif, maupun wadah.
Zat aktif asam salisilat yang telah ditimbang dimasukkan ke dalam mortir, ditambahkan
± 2 tetes alkohol ke dalam mortir, lalu digerus hingga homogen. Menurut Katzung, B. G
(2002), asam salisilat merupakan zat anti jerawat sekaligus keratolitik yang lazim diberikan
secara topikal. Asam salisilat bekerja dengan memecah struktur desmosom pada korneosit
dengan cara menghilangkan ikatan kovalen lipid intraseluler di sekitar keratinosit. Lapisan
kulit kemudian akan mengalami deskuamasi. Penggunaan pelarut alkohol didasarkan atas
sifat monografi asam salisilat yang mudah larut dalam alkohol. Menurut Rowe et al. (2009),
alkohol berfungsi sebagai pelarut asam salisilat sehingga asam salisilat dapat dengan
mudah bercampur dengan basis. Pada percobaan digunakan 2 tetes alkohol untuk
melarutkan asam salisilat dimana takaran tersebut disesuaikan sampai asam salisilatnya
larut dalam alkohol.
Langkah selanjutnya, basis yang telah dilelehkan dicampur bersama zat aktif dan
digerus hingga homogen. Salep yang telah terbentuk dan menempel di dinding mortir,
diambil menggunakan sendok tanduk kemudian diletakkan di tengah mortir dan digerus
kembali supaya sediaan salep lebih homogen. Pengadukan sediaan dapat diberhentikan
ketika sediaan telah menunjukkan bentuk semi padat, warna dan tekstur yang homogen,
serta tidak berbau atau berbau zat aktifnya. Campuran salep yang telah homogen
dimasukkan ke dalam pot salep. Sediaan salep cenderung memiliki konsistensi agak kental
dan lebih lengket dan tidak berbau tengik. Namun, konsistensi sediaan salep juga
menyesuaikan dengan basis yang digunakan. Sediaan salep yang dihasilkan harus
memenuhi persyaratan awal dimana sifat fisik harus stabil selama penyimpanan, dimana
tidak terjadi perubahan warna, bau, dan tekstur. Menurut Martin (1993), sediaan salep yang
baik adalah sediaan yang tidak berbau tengik, stabil dalam penyimpanan, dan homogen saat
dioleskan.
Percobaan dilanjutkan dengan melakukan evaluasi sediaan salep yang dibuat meliputi
evaluasi organoleptis, uji homogenitas, uji daya sebar, uji daya proteksi, dan uji daya lekat.
5.1 Uji Organoleptis
Uji organoleptik merupakan uji identifikasi sifat fisik obat meliputi bentuk,
warna, bau, rasa obat menggunakan panca indera. Menurut Ansel (1989), pengujian
organoleptis dilakukan dengan mengamati sediaan dari tekstur dan warna secara visual
dan bau secara penciuman dengan tujuan untuk menentukan bahwa sediaan yang dibuat
sudah memenuhi standar fisik sediaan salep atau tidak. Menurut Hernani et al (2012),
spesifikasi salep yang harus dipenuhi adalah memilih bentuk setengah padat, warna
harus sesuai dengan spesifikasi pada saat pembuatan awal salep dan baunya tidak
tengik.
Hasil yang didapatkan dari pengujian ini yaitu pada formula 1 didapatkan
bentuk setengah padat, berwarna putih dan bau seperti vaselin. Hal tersebut terjadi
karena formula 1 menggunakan basis salep vaselin. Menurut Depkes RI (1979), vaselin
merupakan campuran hidrokarbon setengah padat dan memiliki pemerian berbentuk
massa lunak berwarna putih, tidak berbau dan tidak berasa. Formula 2 didapatkan hasil
bentuk setengah padat, berwarna putih dan bau seperti vaselin. Pada formula ini
digunakan kombinasi basis salep yaitu vaselin dan cera flava dimana perbandingan
yang lebih banyak untuk basis vaselin sehingga diperoleh hasil bau yang lebih condong
seperti vaselin. Formula 3 didapatkan hasil bentuk setengah padat, berwarna kuning
dan bau seperti cera flava. Hal ini terjadi karena formula 3 menggunakan kombinasi
basis salep yaitu vaselin dan cera flava, dimana perbandingan yang digunakan hampir
sama. Oleh karena itu, pada formula 3 didapatkan hasil bau yang condong seperti cera
flava. Menurut Depkes RI (1979), cera flava merupakan zat padat berwarna coklat atau
kekuningan, memiliki bau seperti madu dan menjadi lunak oleh suhu tangan. Formula
4 dan formula 5 didapatkan hasil berbentuk setengah padat, berwarna putih dan bau
seperti PEG. Hal ini terjadi karena formula 4 dan formula 5 menggunakan kombinasi
PEG 4000 dan PEG 400 sebagai basis salepnya. Menurut Depkes RI (1979), PEG 400
merupakan cairan jernih dan tidak berwarna atau praktis tidak berwarna, agak
higroskopik dan memiliki bau khas lemah. Maka hasil dari pengujian ini semua formula
sudah baik dimana bentuk setengah padat, bau, dan warna seperti bahan yang
ditambahkan.
Selanjutnya, hasil uji organoleptis setelah penyimpanan didapatkan hasil dari
formula 1, 2, dan 3 yaitu berbentuk setengah padat, warna tidak berubah dan bau tidak
tengik. Hal ini terjadi karena cera fava dan vaselin yang digunakan stabil dalam
penyimpanan. Selain itu, formula tersebut disimpan dalam wadah yang tertutup
terlindung dari cahaya matahari. Menurut Rowe (2009), vaselin album disimpan dalam
wadah tertutup rapat, terlindung dari cahaya serta ditempat yang sejuk dan kering untuk
menghindari adanya oksidasi dan menghasilkan bau yang tidak diinginkan. Menurut
Depkes RI (1979), cera flava disimpan dalam wadah tertutup baik. Sedangkan pada
formula 4 dan formula 5 didapatkan hasil bentuk sediaan setengah padat, berbau tengik
dan berubah menjadi warna muda. Hal ini terjadi kemungkinan disebabkan oleh
penurunan stabilitas basis PEG sehingga menyebabkan perubahan bau dan warna.
Perbandingan kombinasi penggunaan PEG 400 yang lebih banyak dan PEG 4000 yang
lebih sedikit akan mempengaruhi kestabilan sediaan. Menurut Depkes RI (1979), PEG
400 berupa cairan kental, bening, tidak berwarna dan sedikit kekuningan.
Ketidakstabilan dapat diatasi dengan reformulasi dengan perbandingan PEG 4000 yang
lebih banyak dan memperhatikan penyimpanan sediaan. Formulasi terbaik yang
didapatkan yaitu pada formulasi 1, 2 dan 3 yang tidak mengalami perubahan.
6.2 Saran
Pada praktikum ini diharapkan semua praktikan dapat memahami peraturan dan
tata cara pembuatan sediaan salep dengan benar serta dapat melakukan evaluasi
terhadap sediaan yang dibuat. Praktikan juga diharapkan dapat memahami stabilitas
serta sifat bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum sehingga dapat mengerti
proses penyimpanannya dan dihasilkan sediaan yang stabil dan tidak mudah rusak.
Selain itu, praktikan diharapkan aktif dalam sesi diskusi dan dapat memberikan
jawaban terbaik.
VII. DAFTAR PUSTAKA
Anief, Mohammad. 2006. Ilmu Meracik Obat. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Anief, Mohammad. 2007. Farmasetika. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Ansel. 1989. Pengantar Bentuk Sedian Farmasi. Jakarta : Universitas Indonesia Press
Aulton, M.E. 2007. Pharmaceutics The Design and Manufacture of Medicines,Third
Edition. London : Oxford
Dewan Standarisasi Nasional. 1990. Direktori Pengukuran Kalibrasi Perawatan Perbaikan
dan Pengadaan Instrumentasi Pengukuran, Edisi 90. Jakarta : Komisi Metrologi
Dewan Standardisasi Nasional
Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia
Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia
Fatimah, Y. dan Setiyadi, G., 2017. Pengaruh Basis Salep Terhadap Sifat Fisik Sediaan
Salep Ekstrak Etanolik Bonggol Pisang Ambon (Musa Paradisiaca Var. Sapientum
L.) Sebagai Penyembuhan Luka Terbuka Pada Tikus Surakarta: Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Garg, A., D. Aggarwal, S. Garg, dan A. K. Sigla. 2002. Spreading of Semisolid Formulation.
USA: Pharmaceutical Technology.
Gilbert, Vial. 2005. Automatic Extensometer (Tech Spotlight).
https://web.archive.org/web/20150924132425/http://www.highbeam.com/doc/1G1
-136819908.html. Diakses tanggal 8 Mei 2021.
Harpolia Cartica. 2016. Kimia Farmasi. Jakarta: Kemenkes RI
Hernani, M., Mufrod & Sugiyono. Formulasi Salep Ekstrak Air Tokek (Gekko gecko L.)
Untuk Penyembuhan Luka. Jurnal Ilmiah. Universitas Gadjah Mada. 2012. 8(1) :
120-126.
Idzon, B., dan Lazarus, J. 1986. Semi Solid. Philadelphia : Lea and Febiger
Jouan, Alexandre, Andrei Constantinescu. 2020. “A critical comparison of shear tests for
adhesive joints” International Journal of Adhesion and Adhesives. Elsevier
Katzung BG. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi II. Jakarta: Salemba Medika
Kirk, R.E. and Othmer, D.F. 1979. Encyclopedia of Chemical Technology, 3rd ed., vo l15-
20. New York : The Inter Science Encyclopedia, Inc
Lachman, L., & Lieberman, H. A. 1994. Teori dan Praktek Farmasi Industri Edisi Kedua.
Jakarta : UI Press
Lachman,L.,Liberman, H.A., Karrig, J.L., 1999, Teori dan Praktek Farmasi Industri
diterjemahkan oleh Siti Suyatmi, jilid 2, Edisi III. Jakarta : Penerbit UI
Martin, Alfred., Bustamante, P., & Chun, A.H.C. 1993. Physical Pharmacy, 4th Edition.
New York: John Willey and Sons Inc
Minghetti P, Cilurzo F, Casiraghi A. 2004. Measuring adhesive performance in transdermal
delivery systems. Am J Drug Deliv
Natalia, Dyan, Beta Ria Erika, Mitta Aninjaya. 2016. Uji evaluasi salep minyak atsiri
rimpang lengkuas merah basis lemak dan basis larut air terhadap aktivitas Candida
albicans. Intisari. Klaten: STIKES Duta Gama Klaten
Norvisari, Mery. 2008. Pengaruh Penambahan PEG Terhadap Sifat Fisik dan Pelepasan
Asam Mefenamat Pada Sediaan Supositoria. Surakarta : Fakultas Farmasi
Universitas Muhammadiyah
Rowe, R.C. et Al. 2009. Handbook Of Pharmaceutical Excipients, 6th Ed. London: The
Pharmaceutical Press
Sandi, D. A. D., & Musfirah, Y. 2018. Pengaruh Basis Salep Hidrokarbon dan Basis Salep
Serap terhadap Formulasi Salep Sarang Burung Walet Putih (Aerodramus
fuciphagus). Jurnal Ilmiah Manuntung, 4(2), 149-155.
Saryanti, D., Setiawan, I. and Safitri, R.A., 2019. Optimasi Asam stearat dan TEA Pada
Formulasi Sediaan Krim Ekstrak Kulit Pisang Kepok (Musa paradisiaca L.). Jurnal
Riset Kefarmasian Indonesia, 1(3), pp.225-237.
Sulaiman, T.N. Syaifullah dan Rina Kuswahyuning. 2008. Teknologi & Formulasi
Sediaan Semipadat. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
Subeno, E. 2009. Ketidakpastian Pengukuran. Semarang : Balai Metrologi Semarang
Sulistyaningrum, S.K., Nilasari, H., Effendi, E.H. 2012. Penggunaan Asam Salisilat dalam
Dermatologi. J Indon Med Assoc;62: 277-84.
Ulaen, S.P., Banne, Y. and Suatan, R.A., 2012. Pembuatan salep anti jerawat dari ekstrak
rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.). Jurnal Ilmiah Farmasi (JIF),
3(2), pp.45-49.
Voigt. 1984. Buku Ajar Teknologi Farmasi Diterjemahkan oleh Soendani Noeroto S.
Yogyakarta : UGM Press
Wasitaatmadja, S.M. 1997. Penuntun Ilmu Kosmetik Medik. Jakarta: UI Press.