Anda di halaman 1dari 44

Laporan Praktikum

FARMASI FISIKA
“EMULSIFIKASI”

(Diajukan untuk Memenuhi Nilai Laporan Praktikum Farmasi Fisika)

OLEH

NAMA : REZKY NUR AZIZ


NIM : 821420008
KELAS : A-S1 FARMASI 2020
KELOMPOK : II (DUA)
ASISTEN : MUHAMMAD FAJRI LAMUSU

LABORATORIUM TEKNOLOGI FARMASI


JURUSAN FARMASI
FAKULTAS OLAHRAGA KESEHATAN
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2021
Lembar Pengesahan

FARMASI FISIKA
“EMULSIFIKASI”

OLEH

NAMA : REZKY NUR AZIZ


NIM : 821420008
KELAS : A-S1 FARMASI 2020
KELOMPOK : II (DUA)

Gorontalo, November 2021


NILAI
Mengetahui

MUHAMMAD FAJRI LAMUSU


KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh


Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga dapat menyelesaikan laporan praktikum Farmasi Fisika yang berjudul
“Emulsifikasi”.
Sholawat serta salam kami haturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang
telah memberikan tauladan terbaik bagi umatnya sehingga bisa meniru kegigihan
dan kesungguhan beliau dalam berjuang.
Ungkapan terima kasih kepada dosen penanggung jawab, kepada
koordinator laboratorium dan kepada asisten penanggung jawab yang telah
membimbing kami sehingga laporan ini dapat selesai dengan baik.
Kami menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami memohon
kritik dan saran dari asisten agar laporan ini menjadi laporan yang lebih baik lagi.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Gorontalo, November 2021

Rezky Nur Aziz

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Maksud Percobaan 2
1.3 Tujuan Percobaan 3
1.4 Prinsip Percobaan 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4
2.1 Dasar Teori 4
2.2 Uraian Bahan 15
BAB III METODE PRAKTIKUM 19
3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan 19
3.2 Alat dan Bahan 19
3.3 Cara Kerja 19
BAB IV HASIL PENGAMATAN 21
4.1 Tabel Hasil Pengamatan 21
4.2 Perhitungan Bahan 22
BAB V PEMBAHASAN 25
BAB VI PENUTUP 29
6.1 Kesimpulan 29
6.2 Saran 29
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Farmasi adalah bidang kesehatan yang tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan masyarakat Indonesia bahkan dunia. Farmasi adalah profesi kesehatan
yang meliputi seni dan ilmu pengetahuan dari sumber alam atau sintetik menjadi
material dan produk yang cocok dipakai untuk mencegah dan mendiagnosa
penyakit. Farmasi termasuk ilmu terapan yang terdiri dari prinsip dan metode
yang telah dipetik dari disiplin ilmu lain seperti fisika, kimia, biologi dan
farmakologi. Ilmu yang mempelajari tentang sifat-sifat obat adalah farmasi fisika.
Farmasi fisika adalah ilmu yang mempelajari tentang sifat fisikokimia
molekul obat, kinetika dan orde reaksi, kelarutan dan faktor yang
mempengaruhinya, difusi dan disolusi, stabilitas, sistem dispersi (koloid, emulsi,
dispersi padat), mikromeritik, viskositas dan rheologi, fenomena antar permukaan,
penentuan tegangan permukaan yang banyak dijumpai dalam bidang kefarmasian
serta emulsifikasi.
Emulsifikasi merupakan proses terbentuknya emulsi, dimana emulsi
merupakan suatu sistem yang tidak stabil secara termodinamika dengan
kandungan paling sedikit dua fase cair yang tidak dapat bercampur, satu
diantaranya didispersikan sebagai globula dalam fase cair lain. Ketidakstabilan
kedua fase ini dapat dikendalikan menggunakan suatu zat pengemulsi/emulsifier
atau emulgator.
Emulsi dapat distabilkan dengan penambahan bahan pengemulsi yang
mencegah koalesensi, yaitu penyatuan tetesan kecil menjadi tetesan besar dan
akhirnya menjadi satu fase tunggal yang memisah. Bahan pengemulsi (Surfaktan)
menstabilkan dengan cara menempati antar permukaan antara tetesan dan fase
eksternal, dan dengan membuat batas fisik disekeliling partikel yang akan
berkoalesensi. Surfaktan juga mengurangi tegangan antar permukaan antar fase,
sehingga meningkatkan proses emulsifikasi selama pencampuran.
Pada pembuatan suatu emulsi, pemilihan bahan pengemulsi merupakan
faktor penting karena mutu dan kestabilan suatu emulsi dipengaruhi oleh bahan

1
pengemulsi yang akan digunakan Pemilihan bahan pengemulsi harus memenuhi
beberapa syarat, yaitu: harus bercampur dengan komponen-komponen lain, tidak
boleh mempengaruhi stabilitas bahan awal, stabil, tidak boleh terurai tidak bersifat
toksik, mempunyai bau, warna dan rasa yang lemah sehinggga tidak
mempengaruhi karakteristik bahan.
Emulsi memiliki beberapa jenis, mulai dari yang sederhana hingga
kompleks. Sistem emulsi minyak dalam air (M/A) atau oil in water (O/W) adalah
sistem emulsi dengan minyak sebagai fase terdispersi dan air sebagai fase
pendispersi. Berkebalikan dengan M/A, emulsi air dalam minyak (A/M) atau
water in oil (W/O) adalah emulsi dengan air sebagai fase terdispersi dan minyak
sebagai fase pendispersi.
Emulsi yang baik adalah emulsi yang memiliki kestabilan yang baik pula.
Untuk menjaga agar emulsi tetap stabil, perlu ditambahkan zat ketiga yang disebut
emulgator atau zat pengemulsi (emulsifying agent ) Bahan pengemulsi (surfaktan)
menstabilkan dengan cara menempati antara permukaan tetesan dan fase
eksternal, dengan membuat batas fisik disekeliling partikel yang berkoalesensi.
surfaktan juga mengurangi tegangan antarpermukaan dan antar fase sehingga
meningkatkan proses emulsifikasi selama pencampuran.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dilakukanlah percobaan
emulsifikasi dengan menggunakan emulgator dari golongan surfaktan yakni tween
80 dan span 80 dengan tipe O/W (oil in water) serta menggunakan air dan minyak
zaitun, percobaan ini bertujuan untuk mengetahui ketidakstabilan dari suatu
emulsi dan penggunaan emulgator yang cocok dalam memperbaiki
ketidakstabilan tersebut dengan nilai HLB yang sesuai.
1.2 Maksud Percobaan
Maksud dari percobaan ini adalah mengetahui dan memahami cara
pembuatan dan hal yang mempengaruhi kestabilan emulsi, pemilihan emulgator
yang cocok dengan penggunaan nilai HLB yang sesuai, serta evaluasi
ketidakstabilan dari bentuk sediaan emulsi.

2
1.3 Tujuan Percobaan
Adapun tujuan dari dari percobaan kali ini yaitu :
1. Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami pengertian sediaan
emulsi.
2. Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami cara pembuatan emulsi.
1.4 Prinsip Percobaan
Pembuatan emulsi minyak dalam air dengan menggunakan variasi HLB
butuh 11, 12, 13 dan penentuan kestabilan yang didasarkan pada penampakan
fisik dari emulsi, misalnya perubahan volume, perubahan warna dan pemisahan
fase terdispersi dalam jangka waktu tertentu pada suhu ruangan dan kondisi
yang dipaksakan (stress condition).

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dasar Teori
2.1.1 Pengertian Emulsi
Menurut Anief (2007), Emulsi merupakan sediaan yang mengandung bahan
obat cair atau larutan obat yang terdispersi dalam cairan pembawa dan distabilkan
dengan zat pengemulsi atau surfaktan yang cocok. Biasanya emulsi mengandung
dua zat atau lebih yang tidak dapat bercampur, misalnya minyak dan air. Zat
pengemulsi (emulgator) merupakan komponen yang paling penting agar
memperoleh emulsi yang stabil.
Menurut Pawlik et al (2013), Emulsi merupakan suatu sistem yang tidak
stabil secara termodinamika dengan kandungan paling sedikit dua fase cair yang
tidak dapat bercampur, satu diantaranya didispersikan sebagai globula dalam fase
cair lain. Ketidakstabilan kedua fase ini dapat dikendalikan menggunakan suatu
zat pengemulsi/emulsifier atau emulgator. Terdapat beberapa jenis emulsi, mulai
dari yang sederhana hingga kompleks. Sistem emulsi minyak dalam air (M/A)
atau oil in water (O/W) adalah sistem emulsi dengan minyak sebagai fase
terdispersi dan air sebagai fase pendispersi. Berkebalikan dengan M/A, emulsi air
dalam minyak (A/M) atau water in oil (W/O) adalah emulsi dengan air sebagai
fase terdispersi dan minyak sebagai fase pendispersi.
Emulsi adalah sediaan berupa campuran terdiri dari dua fase cairan dalam
sistem dispersi fase cairan yang satu terdispersi sangat halus dan merata dalam
fase cairan lainnya, umumnya dimantapkan oleh zat pengemulsi. Emulsi adalah
jenis khusus dari dispersi koloid, yang memiliki setidaknya satu dimensi antara
sekitar 1 dan 1000 nm. Fase terdispersi kadang-kadang disebut sebagai fase
internal, dan kontinu sebagai fase eksternal. Emulsi juga membentuk jenis sistem
koloid yang agak istimewa karena tetesan sering melebihi ukuran terbatas 1000
nm (Hisprastin dan Nuwarda, 2018).

4
2.1.2 Tipe-Tipe Emulsi
Menurut Martin et al (2008), berdasarkan tipe/jenisnya, emulsi dibagi dalam
empat golongan, yaitu emulsi minyak dalam air (M/A), emulsi air dalam minyak
(A/M), emulsi minyak dalam air dalam minyak (M/A/M), dan emulsi air dalam
minyak air (A/M/A) yaitu :
1. Emulsi jenis minyak dalam air (M/A)
Bila fase minyak didiseprsikan sebagai bola-bola ke seluruh fase kontinu
air, maka sistem tersebut dikenal sebagai suatu emulsi minyak dalam air (M/A).
2. Emulsi jenis air dalam minyak (A/M)
Bila fase minyak bertindak sebagai fase kontinu, emulsi tersebut dikenal
sebagai produk air dalam minyak (A/M).
3. Emulsi jenis minyak dalam air dalam minyak (M/A/M)
Emulsi minyak dalam air dalam minyak (M/A/M), juga dikenal sebagai
emulsi ganda, dapat dibuat dengan mencampurkan suatu pengemulsi M/A dengan
suatu fase air dalam suatu mixer dan perlahan-lahan menambahkan fase minyak
untuk membentuk suatu emulsi minyak dalam air.
4. Emulsi jenis air dalam minyak dalam air (a/m/a)
Emulsi A/M/A juga dikenal sebagai emulsi ganda, dapat dibuat dengan
mencampurkan suatu pengemulsi dengan suatu fase minyak dalam suatu mikser
dan perlahan-lahan menambahkan fase air untuk membentuk suatu emulsi air
dalam minyak. Emulsi A/M tersebut kemudian didispersikan dalam suatu larutan
air dari suatu zat pengemulsi M/A, seperti Polisorbat 80 (Tween 80), sehingga
membentuk emulsi air dalam minyak dalam air. Pembuatan emulsi A/M/A ini
untuk obat yang ditempatkan dalam tubuh serta untuk memperpanjang kerja obat,
untuk makanan-makanan serta untuk kosmetik.
Dalam literatur lain, menurut Shelbat-Othman & Bourgeat-Lami (2009),
dalam suatu emulsi, salah satu fase cair biasanya bersifat polar sedangkan yang
lainnya relatif non polar. Penetuan tipe emulsi tergantung pada sejumlah faktor.
Jika rasio volume fasa sangat besar atau sangat kecil, maka fasa yang memiliki
volume lebih kecil seringkali merupakan fasa terdispersi.

5
2.1.3 Metode Pembuatan Emulsi
Menurut Anief (2007), dalam pembuatan emulsi dapat dilakukan dengan
beberapa metode berikut :
1. Metode gom kering
Korpus emulsi mula-mula dibuat dengan empat bagian lemak, dua bagian
air dan satu bagian gom, selanjutnya sisa air dan bahan lain ditambahkan. Metode
ini juga disebut metode 4:2:1. Cara mencampurnya adalah empat bagian minyak
dan satu bagian gom diaduk dan dicampur dalam mortir yang kering dan bersih
sampai tercampur benar, lalu ditambahkan dua bagian air sampai terjadi korpus
emulsi. Tambahkan sirup dan tambahkan sisa air sedikit demi sedikit. Bila ada
cairan alkohol sebaiknya ditambahkan setelah diencerkan sebab alkohol dapat
merusak emulsi.
2. Metode Gom Basah
Metode ini dilakukan dengan cara dibuat musilago yang kental dengan
sedikit air lalu ditambahkan minyak sedikit demi sedikit dengan diaduk cepat.
Bila emulsi terlalu kental, tambahkan air sedikti demi sedikit agar mudah diaduk
dan diaduk lagi ditambah sisa minyak. Bila semua minyak sudah masuk ditambah
air sambil diaduk sampai volume yang dikehendaki. Cara ini digunakan terutama
bila emulgator yang akan dipakai berupa cairan atau harus dilarutkan dulu dalam
air.
3. Metode Botol
Untuk membuat emulsi dari minyak-minyak menguap dan mempunyai
viskositas rendah. Caranya, serbuk gom arab dimasukkan ke dalam botol kering,
lalu ditambahkan dua bagian air kemudian air campuran tersebut dikocok dengan
kuat dalam keadaan wadah tertutup. Suatu volume air yang sama dengan minyak
kemudian ditambahkan sedikit demi sedikit, terus mengocok campuran tersebut
setiap kali ditambahkan air. Jika semua air telah ditambahkan, emulsi utama yang
terbentuk bisa diencerkan sampai mencapai volume yang tepat dengan air atau
larutan zat formulatif lain dalam air.

6
2.1.4 Ketidakstabilan Emulsi
Ketidakstabilan emulsi farmasi dapat digolongkan sebagai berikut :
1. Flokulasi
Menurut Eccleston (2007), Flokulasi menggambarkan penggabungan
reversibel yang lemah antara droplet-droplet emulsi yang dipisahkan oleh lapisan
tipis dari fase kontinu. Penggabungan tersebut terjadi karena adanya interaksi
gaya tarik menarik antardroplet dan umumnya bersifat reversibel dengan
penggocokan ringan. Flokulasi umumnya dianggap sebagai prekursor terjadinya
coalescence.
2. Inversi Fase
Inversi ialah peristiwa perubahan tipe emulsi dengan tiba-tiba, dari satu tipe
ke tipe yang lain dan sifatnya irreversible. Inversi dapat terjadi karena adanya
penambahan elektrolit, perubahan rasio volume fase, ataupun karena perubahan
temperatur. Inversi fase dapat diminimalisir dengan menggunakan emulgator yang
tepat dalam konsentrasi optimum, mempertahankan konsentrasi fase dispersi
antara 30-60%, dan dengan menyimpan emulsi di tempat dingin. Volume fase
dalam yang semakin besar akan menyebabkan terjadi perluasan lapisan antarmuka
sehingga dapat mempengaruhi stabilitas emulsi. Jika volume fase dalam melebihi
fase kontinu, emulsi menjadi tidak stabil yang pada akhirnya terjadi inversi fase
(Anief, 2007).
3. Koalesensi
Menurut Eccleston (2007), Koalesensi adalah peristiwa dimana droplet fase
terdispersi bergabung dan membentuk droplet yang lebih besar, yang diawali
dengan drainase dari lapisan cairan fase kontinu. Koalesensi dari droplet minyak
pada emulsi M/A tertahan dengan adanya lapisan emulgator yang teradsorbsi kuat
secara mekanis disekitar setiap droplet. Dua droplet yang saling berdekatan satu
sama lain akan menyebabkan permukaan yang berdekatan tersebut menjadi rata.
Perubahan dari bentuk bulat menjadi bentuk lain menghasilkan peningkatan luas
permukaan dan karenanya meningkatkan energi bebas permukaan total,
penyimpangan bentuk droplet ini akan tertahan dan pengeringan film fase kontinu
dari antara dua droplet akan tertunda.

7
4. Creaming
Creaming adalah pemisahan emulsi menjadi 2 bagian, dimana bagian yang
satu memiliki fase dispersi lebih banyak dari bagian yang lain. Creaming
merupakan pemisahan dari emulsi menjadi beberapa lapis cairan, dimana setiap
lapis mengandung fase dispersi yang berbeda. Pada emulsi tipe M/A, creaming
merupakan peristiwa pergerakan droplet minyak dibawah pengaruh gaya gravitasi
atau pada saat disentrifugasi dan membentuk suatu lapisan terkonsentrasi pada
bagian atas sediaan. Peristiwa ini tidak disertai dengan perubahan distribusi
ukuran droplet. Sedangkan pada emulsi tipe A/M, peristiwa yang sama ini disebut
sedimentasi, dimana terjadi pengendapan droplet-droplet air yang biasanya
mempunyai berat jenis yang lebih besar dibandingkan dengan fase lainnya.
Emulsi yang mengalami creaming bersifat reversibel bila dikocok dan akan
terbentuk kembali emulsi yang stabil (Carolline, 2010).
Dalam literatur menurut Martin et al (2008), kecepatan terbentuknya
creaming menurut Hukum Stokes dapat dikurangi dengan menggunakan metode-
metode berikut :
a. Produksi emulsi dengan ukuran droplet kecil
b. Meningkatkan viskositas dari fase kontinu
c. Mengurangi perbedaan densitas antara kedua fase
d. Mengontrol konsentrasi fase dispersi
Dari hukum Stokes, dapat diketahui bahwa:
a. Kecepatan pembentukan creaming berbanding lurus dengan selisih
kerapatan antara fase minyak dan fase air. Peristiwa pembentukan creaming
dapat diminimalkan dengan memilih kerapatan dari kedua fase yang hampir
sama. Kebanyakan minyak mempunyai kerapatan di bawah 1,00.
b. Kecepatan pembentukan creaming berbanding lurus dengan jari-jari butiran.
c. Butir-butir tetesan kecil lebih lambat naik jika dibandingkan dengan butir-
butir tetesan besar, sehingga pembentukan creaming dapat diminimalkan
dengan memperkecil butiran-butiran fase dispersi.
d. Kecepatan pembentukan creaming berbanding terbalik dengan viskositas
medium. Kenaikan temperatur akan mengurangi viskositas sehingga dapat

8
menyebabkan creaming. Untuk menanggulangi hal ini, emulsi harus
disimpan di tempat sejuk. Creaming dapat diminimalkan dengan menaikkan
viskositas medium.
5. Ostwald Ripening
Pada peristiwa ostwald ripening, terjadi peristiwa di mana droplet besar
menjadi semakin besar. Ostwald ripening terjadi ketika droplet kecil (kurang
dari 1 µm) memiliki kelarutan yang lebih tinggi (dan tekanan uap) lebih besar
daripada droplet besar dan sebagai akibatnya adalah secara termodinamik
tidak stabil. Untuk mencapai kondisi kesetimbangan, molekul dari droplet
larut dan berdifusi melalui fase kontinu untuk memperbesar droplet besar
(Eccleston, 2007).
2.1.5 Teori Pembentukan Emulsi
Menurut Ansel (2005), dalam pembuatan suatu emulsi banyak teori yang
telah dikembangkan untuk menjelaskan proses terbentuknya emulsi yang
stabil dan bagaimana emulgator bekerja dalam meningkatkan emulsifikasi.
Teori pembentukan emulsi yaitu :
1. Teori Tegangan Permukaan (Surface Tension Theory)
Dalam teori ini, semua cairan mempunyai kecenderungan menerima
suatu bentuk yang mempunyai luas permukaan terbuka dalam jumlah yang
paling kecil. Untuk droplet cairan bulat, ada tenaga (kekuatan) yang
cenderung meningkatkan hubungan dari molekul-molekul zat untuk menahan
distorsi dari droplet menjadi suatu bentuk yang kurang bulat. Dua atau lebih
droplet cairan yang sama saling bertemu cenderung untuk bergabung
membuat satu droplet yang lebih besar dan mempunyai luas permukaan yang
lebih kecil dibandingkan dengan luas permukaan total dari droplet- droplet itu
sendiri sebelum bergabung. Bila lingkungan disekitar cairan adalah udara,
maka disebut tegangan permukaan cairan (liquid’s surface tension). Dan bila
cairan kontak dengan cairan kedua dimana keduanya tidak saling larut dan
tidak dapat campur, gaya yang menyebabkan masing-masing cairan untuk
melawan pecahnya menjadi partikel yang lebih kecil disebut tegangan
antarmuka (interfacial tension). Zat-zat yang dapat meningkatkan penurunan

9
tahanan untuk pecah dapat merangsang suatu cairan untuk menjadi droplet
yang lebih kecil. Zat-zat yang menurunkan tegangan ini disebut emulgator.
2. Oriented Wedge Theory
Teori ini mengasumsikan bahwa lapisan monomolekular dari emulgator
melingkari suatu droplet dari fase dalam emulsi. Emulgator tertentu
mengarahkan dirinya di sekitar dan dalam cairan tertentu terkait dengan
kelarutan mereka. Dalam suatu sistem yang mengandung dua cairan yang
saling tidak bercampur, emulgator akan memilih larut dalam salah satu fase
dan terikat kuat dan terbenam dalam fase tersebut dibandingkan dengan fase
lainnya. Karena molekul-molekul mempunyai suatu bagian hidrofilik dan
suatu bagian hidrofobik, maka molekul-molekul tersebut akan mengarahkan
dirinya ke masing-masing fase. Umumnya suatu emulgator yang mempunyai
karakteristik hidrofilik lebih besar daripada hidrofobiknya akan membentuk
emulsi minyak dalam air dan sebaliknya membentuk emulsi air dalam minyak
apabila karakteristik hidrofobik emulgator lebih besar daripada hidrofiliknya.
3. Teori lapisan antarmuka (Plastic Film Theory)
Teori ini menempatkan emulgator pada antarmuka antara minyak dan
air, mengelilingi droplet fase dalam sebagai suatu lapisan tipis atau film yang
diadsorbsi pada permukaan dari droplet tersebut. Lapisan tersebut mencegah
kontak dan bersatunya fase terdispersi, makin kuat dan makin fleksibel lapisan
tersebut maka makin stabil emulsinya. Secara alami, lapisan yang terbentuk
harus dapat menutupi seluruh permukaan masing-masing droplet fase dalam.
Pembentukan emulsi tipe A/M atau M/A tergantung pada derajat kelarutan
dari emulgator dalam kedua fase tersebut, emulgator yang larut dalam air akan
merangsang terbentuknya emulsi M/A dan emulgator yang larut dalam
minyak sebaliknya.
4. Teori Lapisan Listrik Rangkap
Apabila terdispersi ke dalam air, satu lapis air yang langsung
berhubungan dengan permukaan minyak akan bermuatan sejenis, sedangkan
lapisan berikutnya akan mempunyai muatan yang berlawanan dengan lapisan
di depannya. Dengan demikian seolah-olah tiap tetesan minyak dilindungi

10
oleh dua benteng lapisan listrik yang saling berlawanan. Benteng tersebut
akan menolak setiap usaha dari tetesan minyak yang akan bergabung menjadi
satu molekul besar, karena susunan listrik yang menyelubungi setiap tetesan
minyak mempunyai susunan yang sama. Dengan demikian, antara sesama
tetesan akan tolak menolak, stabilitas emulsi akan bertambah.
5. Teori Pasak
Teori ini mempertimbangkan bangun geometrik emulgator dan
menjelaskan mengapa suatu emulgator menyebabkan pembentukan emulsi
M/A, yang lain emulsi A/M. Dalam hal emulgatornya larut air, bagian
hidrofilnya akan menebal dan memenuhi ruang melalui keteraturan steriknya
atau akibat proses hidratasinya. Pada emulgator lipofil, misal pada sabun
kation bervalensi banyak, terjadi hal sebaliknya. Rantai rangkap asam lemak
membutuhkan ruang yang lebih besar, oleh karena itu kecenderungan disosiasi
garam alkali tanah berkurang, sehingga proses hidratasi gugus hidroksilnya
lebih rendah. Efek pasak menyebabkan melengkungnya batas antar
permukaan mengelilingi tetesan air.
Menurut Martin et al (2008), ada beberapa teori emulsifikasi yang
menjelaskan bagaimana zat pengemulsi bekerja dalam menjaga stabilitas dari
dua zat yang tidak saling bercampur, yaitu adsorpsi monomolekuler, adsorpsi
multimolekuler, dan adsorpsi partikel padat :
1. Adsorpsi Monomolekuler
Zat yang aktif pada permukaan dapat mengurangi tegangan antarmuka
karena adsorpsinya pada batas m/a membentuk lapisan-lapisan
monomolekuler. Hal ini dianggap bahwa lapisan monomolekular dari zat
pengemulsi melingkari suatu tetesan dari fase dalam pada emulsi. Teori
tersebut berdasarkan anggapan bahwa zat pengemulsi tertentu mengarahkan
dirinya di sekitar dan dalam suatu cairan yang merupakan gambaran
kelarutannya pada cairan tertentu.
2. Adsorpsi Multimolekuler
Koloid lipofilik ini dapat dianggap seperti zat aktif permukaan karena
tampak pada batas antarmuka minyak-air. Tetapi zat ini berbeda dari zat aktif

11
permukaan sintetis dalam dua hal, yaitu tidak menyebabkan penurunan
tegangan antarmuka dan membentuk suatu lapisan multimolekuler pada
antarmuka dan bukan suatu lapisan monomolekuler. Zat ini bekerja sebagai
bahan pengemulsi terutama karena efek yang kedua, karena lapisan-lapisan
yang terbentuk tersebut kuat dan mencegah terjadinya penggabungan. Efek
tambahan yang mendorong emulsi tersebut menjadi stabil adalah
meningkatnya viskositas dari medium dispers. Karena zat pengemulsi yang
terbentuk akan membentuk lapisan-lapisan multilayer disekeliling tetesan
yang bersifat hidrofilik, maka zat pengemulsi ini cenderung untuk membentuk
emulsi m/a.
3. Adsorpsi Partikel Padat
Partikel-partikel padat yang terbagi halus yang dibasahi sampai derajat
tertentu oleh minyak dan air dapat bekerja sebagai zat pengemulsi. Ini
diakibatkan oleh keadaannya yang pekat antarmuka dimana dihasilkan suatu
lapisan berpartikel sekitar tetesan dispers sehingga dapat mencegah terjadinya
penggabungan. Serbuk yang mudah dibasahi oleh air akan membentuk emulsi
tipem/a, sedangkan serbuk yang mudah dibasahi dengan minyak membentuk
emulsi a/m.
2.1.6 Sifat Fisik dan Stabilitas Emulsi
Sifat Fisik emulsi tidak hanya dipengaruhi oleh temperatur, tapi oleh
banyak faktor lain seperti kecepatan geser (kecepatan putar), waktu (waktu
pencampuran), dan komposisi emulgator. Untuk mengevaluasi sifat fisik suatu
emulsi dapat dilihat dari viskostas, ukuran droplet, dan indeks creaming
emulsi (Nielloud dan Mestres, 2000).
Menurut Kusumowardani (2010), stabilitas suatu emulsi adalah suatu
sifat emulsi untuk mempertahankan distribusi halus dan teratur dari fase
terdispersi yang terjadi dalam jangka waktu yang Panjang Umumnya, suatu
emulsi dianggap tidak stabil secara fisik jika:
1. Fase dalam atau fase terdispersi pada pendiaman cenderung untuk
membentuk agregat dari bulatan-bulatan dengan cepat.
2. Jika agregat dari bulatan naik ke permukaan atau turun ke dasar emulsi

12
tersebut akan membentuk suatu lapisan pekat dari fase dalam.
3. Jika semua atau sebagian dari cairan fase dalam tidak teremulsikan dan
membentuk suatu lapisan yang berbeda pada permukaan atau pada dasar
emulsi yang merupakan hasil dari bergabungnya tetesan fase dalam.
2.1.7 Penggunaan Emulsi
Menurut Anief (2007), Penggunaan emulsi dibagi menjadi dua
golongan, yaitu emulsi pemakaian dalam dan emulsi pemakaian luar:
1. Emulsi untuk pemakaian dalam
Emulsi untuk pemakaian dalam meliputi pemakaian per oral. Emulsi
untuk penggunaan oral biasanya mempunyai tipe M/A. Emulgator merupakan
film penutup dari minyak obat agar menutupi rasa tidak enak. Flavor
ditambahkan pada fase eksternal agar rasanya lebih enak. Emulsi juga berguna
untuk menaikkan absorpsi lemak melalui dinding usus.
2. Emulsi untuk pemakaian luar
Emulsi untuk pemakaian luar meliputi pemakaian pada injeksi intravena
yang digunakan pada kulit atau membran mukosa yaitu lotion, krim dan salep.
Produk ini secara luas digunakan dalam farmasi dan kosmetik untuk
penggunaan luar. Emulsi parenteral banyak digunakan pada makanan dan
minyak obat untuk hewan dan manusia.
2.1.8 Emulgator
Emulgator adalah surfaktan yang mengurangi tegangan antar muka
antara minyak dan air, menurunkan gaya tolak antar cairan, mengurangi
tarikan antar molekul cairan itu sendiri. Emulgator akan membentuk film atau
lapisan disekeliling permukaan droplet-droplet fase dispers, dengan adanya
film tersebut mencegah kontak antar droplet sehingga mencegah terjadinya
coalescence. Tipe emulsi yang terbentuk tergantung dari kelarutan emulgator.
Emulgator yang mempunyai sifat hidrofil lebih besar dari lipofil akan
menghasilkan emulsi Minyak/Air (M/A) dan begitu sebaliknya. (Ansel, 2008).

13
Ada beberapa cara yang dapat digunakan dalam memilih emulgator yang
digunakan, yaitu:
1. Metode HLB (Hidrofilik Lipofilik Balance)
Sistem HLB (Hydrophile-Lypophile Balance) adalah suatu nilai polaritas
dari emulagtor. Cara ini dilakukan apabila emulsi yang dibuat mengunakan
suatu emulgator yang memiliki nilai HLB. Nilai HLB menerangkan
keseimbangan hidrofil-lipofil, yang diberikan dari ukuran dan kuatnya gugus
lipofil dan gugus hidrofil. Atas dasar efisiensi sistem HLB dibuat pada skala
1-20. Semakin lipofil suatu emulgator, semakin rendah nilai HLB (Yuvita,
2010).
Emulsi Air/Minyak umumnya dibuat menggunakan emulgator dengan
HLB rendah dan emulsi Minyak/Air menggunakan emulgator yang lebih
hidrofilik dengan nilai HLB tinggi. Metode pemilihan berdasarkan pada tipe
minyak yang memerlukan emulgator dengan harga HLB yang spesifik untuk
menghasilkan emulsi yang stabil. Untuk menghasilkan emulsi yang stabil,
sejumlah emulgator dan campurannya memiliki nilai HLB yang mendekati
nilai “required” HLB minyak (Eccleston, 2007).
2. Phase Inversion Temperature (PIT)
Phase Inversion Temperature (PIT) merupakan salah satu metode yang
dapat digunakan untuk memilih emulgator. Emulsi Minyak dalam Air (M/A)
dengan penggunaan emulgator non ionik dengan pemanasan akan
menyebabkan terjadinya inversi menjadi emulsi Air dalam Minyak (A/M).
Hal ini dikarenakan dengan meningkatnya suhu menyebabkan nilai HLB dari
emulgator non ionik mengalami penurunan menjadi lebih hidrofobik. Suhu di
mana komponen hidrofilik dan lipofilik emulgator nonionik berada dalam
keseimbangan yang mengakibatkan terjadinya inversi pada emulsi inilah yang
disebut Phase Inversion Temperature (PIT) (Eccleston, 2007)
Terdapat hubungan antara stabilitas emulsi dengan Phase Inversion
Temperature (PIT) dari emulgator. Pemilihan emulgator pada Phase Inversion
Temperature (PIT) berdasarkan sifat karakteristik emulsi. Stabilitas emulsi
M/A sangat berhubungan dengan derajat hidrasi dari lapisan antarmuka.

14
Peningkatan suhu ataupun penambahan garam menurunkan luas hidrasi
lapisan antarmuka sehingga menurunkan stabilitas emulsi. Pada umumnya,
diperoleh emulsi M/A yang relatif stabil pada suhu selama penyimpanan dan
penggunaan antara 20-65o C di bawah PIT, diasumsikan bahwa lapisan film
telah cukup terhidrasi (Eccleston, 2007).
2.2 Uraian Bahan
2.2.1 Alkohol (Depkes RI, 1979; Rowe et al, 2009)
Nama resmi : AETHANOLUM
Nama lain : Alkohol, metanol,etanol, isopropil alkohol
Rumus molekul : C2H5OH
Rumus struktur :

Berat molekul : 46,07 g/mol


Pemerian : Cairan tidak berwarna, jernih, mudah menguap dan
mudah terbakar, berbau khas panas, memberikan
nyala biru yang tidak berasap
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, dalam kloroform
dan dalam eter P
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, yaitu terhindar dari
cahaya, ditempat sejuk jauh dari nyala api
Kegunaan : Sebagai zat tambahan, juga pembersih alat
praktikum yang dapat membunuh kuman
Khasiat : Sebagai antiseptik (menghambat pertumbuhan dan
membunuh mikroorganisme)
2.2.2 Aquadest (Depkes RI, 1979; Rowe et al, 2009)
Nama resmi : AQUA DESTILLATA.
Nama lain : Air suling.
Nama kimia : Hidrogen Oksida

15
Rumus struktur        :

Rumus Molekul        : H2O.


Berat Molekul : 18,02 g/mol.
Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak mempunya
rasa, tidak berbau.
Khasiat                     : Pelarut.
Kegunaan                : Sebagai pembersih
Penyimpanan           : Dalam wadah tertutup baik
2.2.3 Minyak Zaitun (Depkes RI, 1979; Pubchem, 2021)
Nama Resmi : OLEUM OLIVAE
Nama Lain : Minyak Zaitun
Rumus Molekul : C18H34O2
Berat Molekul : 282,5 g/mol
Rumus Struktur :

Pemerian : Cairan, kuning pucat atau kuning kehijauan, bau


tengik, rasa khas, pada suhu rendah sebagian atau
seluruhnya membeku.
Kelarutan : Sukar larut dalam etanol (95%), mudah larut
dalam kloroform p, dalam eter p.
Kegunaan : Zat Aktif pembuatan emulsi
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, ditempat sejuk dan
terisi penuh.

16
2.2.4 Span 80 (Depkes RI, 1979; Rowe et al, 2009; Pubchem, 2021)
Nama Resmi : SORBITAN MONOOLEAT
Nama lain : Span 80
Rumus Molekul : C24H44O6
Berat Molekul : 429 g/mol
Rumus Struktur :

Pemerian : Larutan berminyak, tidak berwarna, bau


karakteristik dari asam lemak.
Kelarutan : Praktis tidak larut, tetapi terdispersi dalam air,
dapat bercampur dengan alkohol, seidikit larut
dalam minyak kapas.
Peyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat
Kegunaan : Sebagai emulgator tipe minyak
HLB : 4,3
2.2.4 Tween 80 (Depkes RI, 1979; Rowe, 2009)
Nama Resmi : POLYOXYETHYLLENE SORBITAN
MONOOLEATE
Nama lain : Tween 80
Rumus Molekul : C64H124O26
Berat Molekul : 1310 g/mol
Rumus Stuktur :

17
Pemerian : Cairan kental seperti minyak, jernih kuning, bau
karakteristik dari asam lemak
Kelarutan : Mudah larut dalam air, dalam etanol 95 % P,
dalam etanol P, sukar larut dalam parafin cair P
dan dalam minyak biji kapas P.
Peyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
Kegunaan : Sebagai emulgator tipe air
HLB : 15

18
BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM
3.1 Waktu dan Tempat Praktikum
Praktikum Farmasi Fisika percobaan “Emulsifikasi” dilaksanakan pada hari
Rabu, 03 November 2021, pukul 13.00 - 15.00 WITA bertempat di Laboratorium
Teknologi Farmasi, Jurusan Farmasi, Fakultas Olahraga dan Kesehatan,
Universitas Negeri Gorontalo.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Alat-alat yang digunakan yaitu batang pengaduk, cawan porselin, gelas
kimia, gelas ukur, lap halus, lap kasar, penjepit, ultra-turrax, dan waterbath.
3.2.2 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan yaitu alkohol 70%, aquadest, botol bening,
minyak zaitun, span 80, tisu, dan tween 80.
3.3 Prosedur Kerja
1. Disiapkan alat dan bahan.
2. Dibersihkan alat menggunakan alkohol 70%.
3. Diukur tween 80 dan span 80 dalam campuran perhitungan pembuatan
emulsi dengan HLB 11, 12, 13.
4. Dibuat fase air dengan mencampur aquadest sebanyak 90 ml dan tween 80.
5. Diaduk dan dipanaskan campuran fase air menggunakan waterbath pada
suhu 70°C. Dilakukan hal yang sama pada masing-masing HLB.
6. Dibuat fase minyak dengan mencampur minyak zaitun sebanyak 5 ml dan
span 80.
7. Diaduk dan dipanaskan campuran fase minyak menggunakan waterbath
pada suhu 70°C. Dilakukan hal yang sama pada masing-masing HLB.
8. Dimasukkan fase minyak yang telah tercampur ke dalam fase air, lalu
diaduk hingga homogen.
9. Diaduk kedua fase campuran menggunakan ultra-turrax pada kecepatan
8000 rpm.

19
10. Dihentikan pengadukan setiap 3 menit sebanyak 3 kali dengan jeda waktu
20 detik.
11. Dimasukkan sediaan emulsi ke dalam botol bening.
12. Dilakukan pengamatan selama 3 hari dalam kondisi suhu ruangan dan
Stress-Condition.

20
BAB IV
HASIL PENGAMATAN
4.1 Tabel Hasil Pengamatan
Tabel 4.1.1 Gambar Sediaan Emulsi
HLB 11 HLB 12 HLB 13

Tabel 4.1.2 Hasil Pengamatan


Perubahan Yang Terjadi
1. HLB Waktu Hari ke-1 Hari ke-2 Hari ke-3
Pada Suhu Ruang Pada Suhu Dingin Pada Suhu Ruang
11 18:20
WITA

Warna berubah Warna kembali Warna beruah dan


dan sudah putih dan sudah terbentuk
terbentuk terbentuk creaming 5 cm
creaming 3 cm creaming 5 cm

21
12 18:20
WITA

Warna berubah Warna kembali Warna berubah


dan sudah putih dan sudah dan terbentuk
terbentuk terbentuk creaming 5 cm
creaming 3 cm creaming 5 cm
13 18:20
WITA

Warna berubah Warna kembali Warna berubah


dan sudah putih dan sudah dan terbentuk
terbentuk terbentuk creaming 5 cm
creaming 3 cm creaming 5 cm
4.2 Perhitungan bahan
Tween 80 HLB tween 15
Span 80 HLB span 4,7
Minyak zaitun 5 mL
Aquadest add 100 mL.
a. Perhitungan HLB butuh 11
Tween 80 = 15 6,3
11
Span 80 = 4,7 4
+
10,3

22
Tween 80 = x 5 = 3,05 mL atau 3 Ml

Span 80 = x 5 = 1,9 mL atau 2 mL


Aquadest = 100- (5+3+ 2)
= 100-10
= 90 mL
Minyak Zaitun = 5%
= 5 mL
b. Perhitungan HLB butuh 12
Tween 80 = 15 7,3
12
Span 60 = 4,7 3
+
10,3

Tween 80 = x 5 = 3,5 mL

Span 80 = x 5 = I,45 mL atau 1,5 mL


Aquadest = 100- (5+3,5+ 1,5)
= 100-10 mL
= 90 mL
Minyak Zaitun = 5%
= 5 mL
c. Perhitungan HLB butuh 13
Tween 80 = 15 8,3
13
Span 80 = 4,7 2
+
10,3

Tween 80 = x 5 = 4,02 mL atau 4 mL

23
Span 80 = x 5 = 2,28 mL atau 2mL
Aquadest = 100- (5+4+2)
= 100-11
= 89 mL
Minyak Zaitun = 5%
= 5 mL

24
BAB V
PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini dilakukan percobaan tentang emulsifikasi.
Emulsifikasi adalah suatu sistem yang tidak stabil secara termodinamik yang
mengandung paling sedikit dua fase cair yang tidak saling bercampur, dimana satu
diantaranya sebagai bola-bola dalam fase cair lain. Sistem dibuat stabil dengan
adanya suatu zat pengemulsi. Emulsifikasi banyak digunakan dalam pembuatan
produk obat dan kosmetik untuk penggunaan luar, khususnya pada losion
dan krim dermatologik dan kosmetik karena produk yang diinginkan adalah
produk yang mudah menyebar dan benar-benar menutupi area yang dioleskan.
Adapun tujuan dari praktikum kali ini yaitu agar mahasiswa dapat
mengetahui dan memahami pengertian dan ketidakstabilan sediaan emulsi dan
ggar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami cara pembuatan emulsi
membuat sediaan emulsi.
Pada praktikum kali ini dilakukan percobaan mengenai emulsifikasi.
Langkah pertama yang dilakukan adalah disiapkan alat dan bahan yang akan
digunakan. Alat-alat yang digunakan yaitu batang pengaduk, cawan porselin,
gelas kimia, gelas ukur, lap halus, lap kasar, penjepit, ultra-turrax, dan waterbath.
Adapun bahan-bahan yang digunakan yaitu alkohol 70%, aquadest, botol bening,
minyak zaitun, span 80, tisu, dan tween 80. Dilanjutkan dengan membersihkan
alat menggunakan alkohol 70% dengan menggunakan tisu, dimana alkohol 70%
bersifat sebagai desinfektan yang bertujuan untuk menghambat pertumbuhan
mikroorganisme (Rowe, 2009).
Langkah selanjutnya, diukur tween 80 dan span 80 dalam campuran
perhitungan pembuatan emulsi dengan HLB 11, 12, 13. Tujuan dilakukan
pengukuran yaitu untuk membandingkan suatu larutan dengan satu ukuran yang
serupa, dengan kata lain untuk mendapatkan hasil perbandingan atau nilai yang

25
diperoleh ketika pengukuran tersebut  selesai dilakukan (Tjay, 2007). Digunakan
HLB butuh 11, 12, dan 13 agar memperoleh emulsi yang stabil.
Emulgator yang digunakan adalah kombinasi emulgator golongan surfaktan
noionik yaitu tween 80 dan span 80. Menurut Yuwanti dkk (2011), penggunaan
kombinasi surfaktan noionik yaitu tween 80 dan span 80 hidrofobik dan hidrofilik
dapat mempekecil tegangan antar muka dan dapat memperbaiki stabilitas emulsi
yang dihasilkan.
Pembuatan emulsi dilakukan dengan cara melarutkan masing-masing bahan
dilarutkan pada fase yang sesuai. Tween 80 dilarutkan dalam air sebagai fase air
dan span 80 dilarutkan ke dalam minyak zaitun sebagai fase minyak. Tujuan
dilarutkan tween 80 pada fase air dan span pada fase minyak, karena menurut
Ansel (2008), semakin tinggi harga HLB butuh maka semakin polar atau semakin
hidrofilik sediaan tersebut dan sebaliknya semakin rendah harga HLB maka
semakin nonpolar atau hidrofobik sediaan tersebut sehingga tween 80 dengan
HLB butuh 15 dapat larut pada air dan span 80 dengan HLB butuh 4,3 larut pada
minyak. Digunakan minyak zaitun dalam fase minyak karena minyak zaitun
merupakan minyak lemak yang berkhasiat dan merupakan sumber gizi penting
bagi manusia.
Selanjutnya dibuat fase air dengan mencampur aquadest sebanyak 90 ml
dan tween 80. Dilakukan hal yang sama pada masing-masing HLB. Selanjutnya
Dibuat fase minyak dengan mencampur minyak zaitun sebanyak 5 ml dan span
80. Dilakukan hal yang sama pada masing-masing HLB. Pada saat melarutkan
masing-masing bahan dilakukan dengan cara pemanasan menggunakan alat
waterbath pada suhu 700C. Menurut Lachman (2008), pemanasan merupakan
suatu cara efektif dalam pemecahan sebagian besar ikatan antar molekul-molekul
suatu cairan, dan akan mendapatkan emulsi dengan dispersi yang baik, kenaikan
temperatur akan menyebabkan penggabungan dua fase serta menyebabkan
migrasi pengemulsi. Menurut Kurniati (2006), penggunaan alat waterbath ini
karena dapat menghasilkan suhu air dalam kondisi tertentu yang konstan selama
waktu yang telah ditentukan. Menurut Kusumowardani (2010), pemanasan pada
suhu 70°C bertujuan untuk mempermudah pencampuran hingga homogen dan

26
pada titik ini juga yang paling baik untuk melelehkan atau melarutkan fase
minyak dalam fase air sehinga dapat diperoleh emulsi yang baik dan tidak pecah.
Selanjutnya dicampurkan kedua fase yaitu fase minyak dan fase cair
kedalam gelas kimia dan diaduk menggunakan pengaduk elektrik yaitu ultra
turax hingga terdispersi merata selama 3 menit sebanyak 3 kali dengan jeda
waktu 20 detik dengan kecepatan 8000 rpm. Pengadukan dilakukan dengan cara
intermitten shaking yaitu pengadukan dengan jeda (selama 3 menit sebanyak 3
kali dengan jeda waktu 20 detik). Menurut Martin dkk (1993), hal ini bertujuan
untuk memberikan kesempatan kepada surfaktan untuk terdispersi ke dalam fase
cair . Adapun tujuan pengadukan menggunakan pengaduk elektrik (ultra turrax)
menurut Voigt (1995), karena pengaduk elektrik mempunyai kecepatan yang
sangat tinggi dimana pada pembuatan emulsi diperlukan pengadukan dengan
kecepatan tinggi agar fase minyak dan fase air terdispersi dan tidak memisah lagi
sehingga terbentuk emulsi yang baik, terbentuknya emulsi ditandai dengan
berubahnya warna campuran menjadi putih susu. Adapun Menurut Herrera
(2012), dengan alat ultra-turrax akan diperoleh emulsi polidispersi dengan
ukuran droplet heterogen yang dilakukan berdasarkan prinsip homogenisasi
aliran dengan berkecepatan tinggi. Dimasukkan sediaan emulsi ke dalam botol
bening. Menurut Tjay (2007), penggunaan botol bening bertujuan untuk
memudahkan evaluasi atau pengamatan terhadap ketidakstabilan dari sediaan
emulsi. Dilakukan pengamatan selama 3 hari dalam kondisi suhu ruangan dan
Stress-Condition. Menurut Pakki (2019), tujuan dievaluasi pada stress condition
adalah untuk dijadikan pembanding dengan keadaan fisik sediaan sebelumnya
dalam mengamati ketidakstabilan yang biasa terjadi pada kondisi ini, seperti
koalesensi, creaming hingga diikuti perubahan kekentalan.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan selama 3 hari. Pada hari pertama
didiamkan emulsi pada suhu ruangan pada pukul 18.20, didapatkan hasil emulsi
HLB 11, 12, dan 13 yaitu warna berubah dari sediaan dan terbentuk creaming
setinggi 3 cm. Pada hari kedua, didiamkan emulsi pada suhu dingin dengan waktu
yang sama yaitu pukul 18.20, didapatkan hasil emulsi HLB 11, 12, dan 13 yaitu
warna dari sediaan kembali putih dan sudah terbentuk creaming setinggi 5 cm.

27
Pada hari ketiga atau hari terakhir, warna berubah dan terbentuk creaming 5
setinggi cm.
Berdasarkan hasil di atas, dapat diketahui bahwa sediaan emulsi sangat
berpengaruh terhadap suhu ruangan maupun lama penyimpanan.
Adapun kemungkian kesalahan yaitu ketidaktelitian praktikan saat
pengukuran larutan.

28
BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
6.1.1 Emulsi adalah suatu sistem yang tidak stabil secara termodinamik yang
mengandung paling sedikit dua fase cair yang tidak saling bercampur,
dimana satu diantaranya sebagai bola-bola dalam fase cair lain.
6.1.2 Cara pembuatan emulsi yaitu disiapkan alat dan bahan, dibersihkan alat
menggunakan alkohol 70%, diukur tween 80 dan span 80 dalam campuran
perhitungan pembuatan emulsi dengan HLB 11, 12, 13, dibuat fase air
dengan mencampur aquadest sebanyak 90 mL dan tween 80, diaduk dan
dipanaskan campuran fase air menggunakan waterbath pada suhu 70°C.,
dilakukan hal yang sama pada masing-masing HLB, dibuat fase minyak
dengan mencampur minyak kelapa sebanyak 5 mL dan span 80, diaduk dan
dipanaskan campuran fase minyak menggunakan waterbath pada suhu 70°C,
dilakukan hal yang sama pada masing-masing HLB, dimasukkan fase
minyak yang telah tercampur kedalam fase air, lalu diaduk hingga homogen,
diaduk kedua fase campuran menggunakan ultra-turrax pada kecepatan
8.000 rpm, dihentikan pengadukan setiap 3 menit sebanyak 3 kali dengan
jeda waktu 20 detik, dimasukkan sediaan emulsi kedalam botol bening.,
dilakukan pengamatan selama 3 hari dalam kondisi suhu ruangan dan
Stress-Condition.
6.2 Saran
6.2.1 Saran Untuk Jurusan
Agar kiranya pihak jurusan dapat meingkatkan fasilitas-fasilitas didalam
laboratorium maupun diluar laboratorium untuk menunjang proses pembelajaran
mahasiswa.
6.2.2 Saran Untuk Laboratorium

29
Agar kiranya dapat melengkapi alat-alat yang diperlukan untuk praktikum
didalam laboratorium.

6.2.3 Saran Untuk Asisten


Asisiten hendaknya lebih sabar lagi dalam membimbing dan mengayomi
praktikan agar dapat menjalin hubungan yang baik dengan praktikan dan juga
praktikum dapat berjalan dengan baik.

30
DAFTAR PUSTAKA

Anief M. 2007. Ilmu Meracik Obat. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Ansel, H.C., Popovich, N.G., Allen, L.V. 2011. Pharmaceutical Dosage Form
and Drug delivery System, Ninth Edition. London, New York, 225-235.

Anwar, S. H., Ginting, B. M.Br., Aisyah, Y., dan Safriani, N. 2017. Pemanfaatan
Tepung Porang (Amorphophallusoncophyllus) Sebagai Penstabil Emulsi
M/A Dan Bahan Penyalut Pada Mikrokapsul Minyak Ikan. Jurnal Teknologi
Industri Pertanian, 27 (1): 76-88.

Attama, A.A., J, N.R.-O., E, M.U. & E, B.O. 2016. Nanomedicined for the Eye:
Current Status and Future Development, 1st ed. United States: Academia
Press.

Croda. 2008. Span and Tween. Croda Europe Ltd, 44(0), 6 – 11.

Dirjen POM. 1979. Farmakope Indonesia, Edisi Ketiga. Jakarta: Departemen.


Kesehatan Republik Indonesia.

Dorst, K., Stewart, S., Staudinger, I., & Paton, B. 2004. Food Emulsions.
Eccleston, G.M. 2007. Emulsion and Microemulsion in Encyclopedia
of. Pharmaceutical Technology, 3rd ed. New York: Informa Health Care.

Gadhave, A. D., 2014, Nanoemulsions: Formation, Stability and Applications,


IJRSAT, 2 (3), 38-43.

Hafsy, O. 2016. Preparasi dan Karakterisasi Partikel Poly Lactic Co - Glycolic


Acid (PLGA) Pembawa Rifampisin Dengan Poly Vinyl Alcohol (PVA)
Sebagai Stabilizer. Skripsi, Universitas Sriwijaya, Indralaya, Indonesia.

Hapsari, D. N. 2015. Pemanfaatan Ekstrak Daun Sirih (Piper Betle Linn) Sebagai
Hand Sanitizer. Skripsi. Poltekkes Kemenkes Yogyakarta.

Henriquez, C. 2009. W/O Emulsions: Formulation, Characterization and


Destabilization. Diss Morales.

Herrera, M. L. 2012. Analytical Techniques for Studying The Physical Properties


of Lipid Emulsions. New York: Springer Science Business Media, LLC.

Josi, M.I. 2010. Valuasi Efek Tween 80 Dan Span 80 Dalam Sediaan Krim
Dengan Minyak Wijen Sebagai Fase Minyak : Aplikasi Desain Faktorial.
Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.
Kim, Cherng-ju, 2005. Advanced Pharmaceutics: Physicochemical
Principles.Florida: CRC Press LLC.

Kurniawati, J. 2006. Rancang bangun Water Bath Menggunakan Mikrokontroller.


Skripsi, Teknik Elektro, UNEJ, Jember.

Kusumowardani, R.R. 2010. Optimaasi KOmposisi Emulsifying Agent Tween 80


dan Span 80 Dalam Virgin Coconut Oil Cream: Aplikasi Desain Faktorial.
Yogyakarta: USD.

McClements, D. J. 2016. Food Emulsions: Principles, Practices, and Techniques


Third Edit. CRC Press Taylor & Francis Group.

Mollet, H. and Grubenmann. 2001. Formulation technology: emulsion,


suspensions, solid forms. Wiley-VCH Verlag.

Murwan, K., Kheir, S., Gasim, A., Yagoub dan Baker, A.A. 2008. Emulsion-
Stabilizing Effect Of Gum From Acacia Senegal (L) Willd The Role Of
Quality And Grade Of Gum, Oil Type, Temperature, Stirring Time And
Concentration. Pakistan Journal of Nutrition, 7(3): 395-399.

Myers, Drew. 2006. Surfactant Science and Technology, Third Edition. John
Wiley & Sons, Inc., United States.

Oktaviani, S., Suyono, & Mujiono. 2009. Analysis The Effect of CAR , BOPO,
LDR, NIM and Firm Size on Profitability of Banks Listedo On Idx Period
2012-2017. Selly. 3(2).

Pakki, E., Rewa, M., dan Irma, N. 2019. The Effectiveness of Isopropyl Myristate
as Enhancing Agent in the Antioxidant Cream of Kasumba Turate Seed
(Carthamus tinctorius L.). Journal of Pharmaceutical and Medicinal
Sciences, 4(2): 44-50.

Pawlik, A. K., Fryer, P. J., & Norton, I. T. 2013. Formulation Engineering of


Foods. Wiley Blackwell.

Pubchem. 2021. PubChem Compound Summary for CID 133082064, Fatty acids,
olive-oil.. Retrieved October 9, 2021 from https://pubchem.ncbi.nlm.
nih.gov/compound/Fatty-acids_-olive-oil.

Pubchem. 2021. PubChem Compound Summary for CID 5284448, Polysorbatum


80., Retrieved October 9, 2021 from https://pubchem.ncbi.nlm.nih.
gov/compound/5284448.
Pubchem. 2021. PubChem Compound Summary for CID 9920342, Sorbitan
monooleate., Retrieved October 9, 2021 from https://pubchem.ncbi.nlm.
nih.gov/compound/Sorbitan-monooleate.

Purwatiningrum, Heni. 2014. Formulasi Dan Uji Sifat Fisik Emulsi Minyak Jarak
(Oleum Ricini) Dengan Perbedaan Emulgator Derivat Selulosa.
Parapemikir Jurnal Ilmiah Farmasi, 3(1).

Raymond, C, dkk. 2009. Handbook Of Pharmaceutical Excipients, 6th Ed. USA:


Pharmaceutical Press.

Rowe, R.C. et al. 2009. Handbook Of Pharmaceutical Excipients, 6th


Ed.London: The. Pharmaceutical Press.

Sinila, Santi. 2016. Farmasi Fisik. Jakarta: Pusdik SDM Kesehatan. Syamsuni,
H.A. 2006. Ilmu Resep. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Uniqema. 2004. The HLB systems, A Time Saving Guide To Surfactans Selections.
Presentation to the Midwest Chapter of the Society of Cosmetics Chemists,
March 9th.

Winfield, A.J., and Richards, M.E. 2004. Pharmaceutical Practice, 3rd ed.
Churcill Livingstone, Spain

Wylde, J. J., Coscio, S., & Barbu, V. 2008. A Case History of Heavy Oil
Separation in Northern Alberta: A Singular Challenge of Demulsifier
Optimization and Application. SPE International Thermal Operations and
Heavy Oil Symposium, 1–8.

Tjay, Tan Hoan dan Rahardja K. Obat-Obat Penting Khasiat, penggunaan dan
Efek- Efek sampingnya. 6th ed. Jakarta: Gramedia; 2007. 32.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 1 : Alat dan Bahan
1. Alat
No. Nama Alat Gambar Fungsi

Digunakan sebagai alat


1. Batang pengaduk
untuk mengaduk larutan

Digunakan untuk
2. Cawan Porselin wadah sementara tween
dan span

Digunakan sebagai
2. Gelas Kimia tempat meletakkan atau
mencampurkan larutan

Digunakan untuk
3. Gelas Ukur mengukur volume
larutan

Digunakan sebagai alas


4. Lap Halus saat praktikum
Digunakan sebagai alas
5. Lap Kasar
saat praktikum

Digunakan untuk
6. Penjepit
menjepit gelas kimia

Digunakan untuk
mencampur larutan
7. Ultra-turrax
sehingga produk akan
lebih cepat homogen

Digunakan untuk
8. Waterbath pemanasan fase air dan
fase minyak

2. Bahan
No. Bahan Gambar Fungsi

Digunakan sebagai
1. Alkohol 70%
pembersih alat

Digunakan sebagai
2. Aquadest
pelarut
Digunakan sebagai
3. Botol Bening tempat menyimpan
sediaan

Digunakan sebagai fase


4. Minyak Zaitun
minyak

Digunakan sebagai
5. Span 80 surfaktan bersifat
lipofilik

Digunakan untuk
6. Tissu membersihkan alat
yang akan digunakan

Digunakan sebagai
7. Tween 80 surfaktan bersifat
hidrofilik
Lampiran 2: Diagram alir

HLB 11, 12, 13

 Disiapkan alat dan bahan.


 Dibersihkan alat menggunakan alkohol 70%.
 Diukur tween 80 dan span 80 dalam campuran perhitungan
pembuatan emulsi dengan HLB 11, 12, 13.
 Dibuat fase air dengan mencampur aquadest sebanyak 90 mL
dan tween 80.
 Diaduk dan dipanaskan campuran fase air menggunakan
waterbath pada suhu 70°C. Dilakukan hal yang sama pada
masing-masing HLB.
 Dibuat fase minyak dengan mencampur minyak kelapa
sebanyak 5 mL dan span 80.
 Diaduk dan dipanaskan campuran fase minyak menggunakan
waterbath pada suhu 70°C. Dilakukan hal yang sama pada
masing-masing HLB.
 Dimasukkan fase minyak yang telah tercampur kedalam fase
air, lalu diaduk hingga homogen.
 Diaduk kedua fase campuran menggunakan ultra-turrax pada
kecepatan 8.000 rpm.
 Dihentikan pengadukan setiap 3 menit sebanyak 3 kali dengan
jeda waktu 20 detik.
 Dimasukkan sediaan emulsi kedalam botol bening.
 Dilakukan pengamatan selama 3 hari dalam kondisi suhu
ruangan dan Stress-Condition.

HASIL
HLB 11 HLB 12 HLB 13
Lampiran 3 : Skema Kerja
Mengukur tween 80
Menyiapkan alat dan dan span 80 sesuai
Membersihkan alat
bahan perhitungan HLB
dengan alkohol 70%
11, 12, 13

Mengamati selama 3 Memasukkan sediaan Menghentikan


hari dalam kondisi emulsi kedalam botol pengadukan setiap 3
suhu ruangan dan bening menit (3 kali) dengan
Stress-Condition. jeda waktu 20 detik

Membuat campuran Mengaduk dan


minyak kelapa 5 mL dan memanaskan Membuat campuran
span 80 (fase minyak) campuran fase air di aquadest 90 mL dan
waterbath pada 70°C tween 80 (fase air)

Mengaduk dan Memasukkan fase Mengaduk kedua fase


memanaskan fase minyak yang telah campuran dengan ultra
minyak di waterbath tercampur ke fase air, turrax pada kecepatan
pada 70°C aduk hingga homogen 8.000 rpm

Anda mungkin juga menyukai