“GERD”
DOSEN PENGAMPU :
Kelompok A3-1
FAKULTAS FARMASI
SURAKARTA
2022
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD merupakan salah satu penyakit kronik
dan umum terjadi di kalangan masyarakat terutama pada orang dewasa. GERD adalah
suatu kondisi refluks isi lambung ke esofagus yang dapat menimbulkan gejala tipikal
seperti heartburn (rasa terbakar di daerah epigastrium), regurgitasi asam (rasa pahit di
mulut), mual, dan disfagia yang dapat mengakibatkan kerusakan mukosa esofagus dan
dalam jangka waktu yang lama dapat menimbulkan komplikasi seperti barrett’s
esophagus (Bunga dkk 2020).
Gastroesophageal reflux disease (GERD) adalah suatu keadaan patologis sebagai
akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus dengan berbagai gejala yang
timbul akibat keterlibatan esofagus, laring, dan saluran nafas.GERD bisa dibagi menjadi
tipe erosif dan non-erosif. Beberapa faktor risiko terjadinya refluks gastroesofageal antara
lain: obesitas, usia lebih dari 40 tahun, wanita, ras (India lebih sering mengalami GERD),
hiatal hernia, kehamilan, merokok, diabetes, asma, riwayat keluarga dengan GERD,
status ekonomi lebih tinggi, dan scleroderma (Ricky et al, 2019)
Pada sebagian orang, makanan dapat memicu terjadinya refluks gastroesofageal,
seperti bawang, saos tomat, mint, minuman berkarbonasi, coklat, kafein, makanan pedas,
makanan berlemak, alkohol, ataupun porsi makan yang terlalu besar. Beberapa obat dan
suplemen diet pun dapat memperburuk gejala refluks gastroesofageal, dalam hal ini obat-
obatan yang mengganggu kerja otot sfinter esofagus bagian bawah, seperti sedatif,
penenang, antidepresan, calcium channel blockers, dan narkotika. Termasuk juga
penggunaan rutin beberapa jenis antibiotika dan non steroidal antiinflammatory drugs
(NSAIDs) dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya inflamasi esophagus (Pratomo
2019).
Prevalensi GERD di Asia relatif rendah dibanding negara barat. Di Amerika,
hampir 7% populasi memiliki keluhan heartburn dan sekitar 20%-40% diperkirakan
menderita GERD. Beda halnya dengan Asia Timur, prevalensi GERD berkisar antara
2%- 8%.6. Di Indonesia, prevalensi kejadian GERD masih belum ada data epidemiologi
yang pasti. Namun, di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta didapatkan sebanyak
22,8% kasus esofagitis dari semua pasien yang menjalani pemeriksaan endoskopi atas
indikasi dispepsia. Ini menunjukkan bahwa Indonesia lebih tinggi daripada Asia Timur.
Perbedaan prevalensi di setiap negara disebabkan oleh perubahan sosial ekonomi dan
gaya hidup yang dapat meningkatkan angka kejadian GERD (Bunga dkk 2020).
Komplikasi dari GERD terdiri atas komplikasi esofagus dan ekstra esofagus.
Komplikasi di esofagus yang dapat ditemukan berupa perdarahan, striktur, perforasi,
Barret’s esophagus (BE), dan kanker esofagus. Sedangkan, komplikasi di luar esofagus
meliputi sakit tenggorokan, tonsilofaringitis, sinusitis, laringitis, karies dentis,
pneumonia, dan asma bronkial (Tarigan,Ricky.2019)
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Gastroesophageal reflux disease (GERD) ?
2. Bagaimana patofisiologi Gastroesophageal reflux disease (GERD) ?
3. Apa saja faktor resiko Gastroesophageal reflux disease (GERD) ?
4. Apa saja tanda dan gejala Gastroesophageal reflux disease (GERD) ?
5. Bagaimana tatalaksana Gastroesophageal reflux disease (GERD) ?
C. Tujuan
1. Mengetahui apa yang dimaksud Gastroesophageal reflux disease (GERD).
2. Mengetahui bagaimana patofisiologi Gastroesophageal reflux disease (GERD).
3. Mengetahui faktor resiko Gastroesophageal reflux disease (GERD).
4. Mengetahui tanda dan gejala Gastroesophageal reflux disease (GERD).
5. Mengetahui bagaimana tatalaksana Gastroesophageal reflux disease (GERD).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada sebagian besar pasien, pengobatan dapat dilakukan dengan beberapa tahap
tergantung keparahan gejala GERD yaitu GERD gejala ringan, gejala sedang; gejala
parah dan mengalami kejadian erosif. Pada pasien yang mengalami gejala GERD sedang
dimana gejala muncul beberapa kali dalam seminggu atau tiap hari sebaiknya diterapi
dengan proton pump inhibitor atau antagonis H2 reseptor. Dengan efikasinya yang baik
dan dosis sekali minum sehari, proton pump inhibitor semakin sering diresepkan sebagai
terapi lini pertama untuk GERD dengan gejala ringan sampai sedang. Untuk pasien yang
gejalanya tetap muncul setelah pengobatan dengan dosis standar antagonis H2 reseptor
selama 6 minggu, sebaiknya diobati dengan proton pump inhibitor karena meneruskan
pengobatan dengan antagonis H2 reseptor atau dengan menaikkan dosisnya jarang
terbukti efektif untuk menghilangkan gejala.
Untuk pasien dengan gejala yang parah dan pasien dengan komplikasi dan
keparahan organ tubuh (seperti oesofagitis, oesophageal ulceration, oesophagopharyngeal
reflux, barret’s oesophagus) serta untuk pasien yang secara endoskopi terbukti mengalami
esofagitis erosif, terapi awal yang optimal adalah dengan proton pump inhibitor. Proton
pump inhibitor yang diberikan sekali sehari dapat menghilangkan gejala dan
menyembuhkan esofagitis di atas 80% pasien atau di atas 95% pada pemberian 2 kali
sehari. Oleh karena itu proton pump inhibitor menjadi obat pilihan untuk GERD dengan
gejala parah atau mengalami penyakit erosif. Suspect manifestasi atypical (seperti asma
dan laringitis) juga diberikan terapi awal dengan proton pump inhibitor.
Untuk pasien dengan gejala yang parah atau pasien komplikasi atau keparahan
organ tubuh (seperti esofagitis, oesophageal ulceration, oesophagopharyngeal reflux,
barret’s oesophagus), pasien perlu dicek kembali jika gejala tidak hilang selama 4-6
minggu pengobatan dengan PPI. Ketika gejala berkurang, terapi pengobatan dimodifikasi
secara perlahan-lahan ke terapi pemeliharaan dengan cara diantaranya menurunkan dosis
proton pump inhibitor atau mengganti pengobatan dengan antagonis H2 reseptor. Akan
tetapi untuk pasien yang secara endoskopi terbukti mengalami penyakit erosif, ulcerative
atau stricturing, pengobatan dengan proton pump inhibitor biasanya perlu dipertahankan
pada dosis efektif minimum. Beberapa golongan obat yang biasa digunakan ialah :
1) Antasida
Pengobatan ini digunakan untuk gejala ringan GERD sejak tahun 1971, dan masih
dinilai efektif hingga sekarang dan tidak menimbulkan esofagitis. Selain sebagai penekan
asam lambung, obat ini dapat memperkuat tekanan SEB. Kelemahan obat golongan ini
adalah. Rasanya kurang enak. Dapat menimbulkan diare terutama yang mengandung
magnesium serta konstipasi terutama antasid yang mengandung aluminium, Selain itu
penggunaannya sangat terbatas untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Dosis sehari
4x1 sendok makan.
2) Antagonis Reseptor H2
Obat ini dilaporkan berhasil pada 50% kasus GERD. Yang termasuk obat
golongan ini adalah ranitidin, simetidin, famotidin dan nizatidin. Sebagai penekan sekresi
asam, golongan obat ini efektif dalam pengobatan penyakit refluks gastroesofageal jika
diberikan dosis 2 kali lebih tinggi dan dosis untuk terapi ulkus. Pengguanaan obat ini
dinilai efektif bagi keadaan yang berat, misalnya dengan barrett’s esophagus. Golongan
obat ini hanya efektif pada pengobatan esofagitis derajat ringan sampai sedang serta
tanpa komplikasi. Dosis rantidin 4x150 mg.
3) Obat prokinetik
Secara teoritis, obat ini dianggap paling sesuai untuk pengobatan GERD karena
penyakit ini dianggap lebih condong kearah gangguan motilitas. Namun praktiknya,
pengobatan GERD sangat bergantung pada penekanan sekresi asam. Obat ini berfungsi
untuk memperkuat tonus SEB dan mempercepat pengosongan gaster.
4) Metoklopramid
Efektifitasnya rendah dalam mengurangi gejala, serta tidak berperan dalam
penyembuhan lesi di esofagus kecuali dikombinasikan dengan antagonis reseptor H2 atau
PPI. Karena melalui sawar darah otak, maka dapat tumbuh efek terhadap saraf pusat
berupa mengantuk, pusing, agitasi, tremor, dan dyskinesia Dosis 3x 10 mg sebelum
makan dan sebelum tidur.
5) Domperidon
Obat ini antagonis reseptor dopamin (sama dengan metoklopramid) hanya saja
obat ini tidak melewati sawar darah otak, sehingga efek sampingnya lebih jarang.
Walaupun efektifitasnya belum banyak dilaporkan, namun obat ini diketahui dapat
menigkatkan tonus SEB dan percepat pengosongan lambung. Dosis 3x10-20 mg sehari
6) Cisapride
Obat ini merupakan suatu antagonis reseptor 5HT4, obat ini dapat memperkuat
tonus SEB dan mempercepat pengosongan lambung. Efektivitasnya dalam
menghilangkan gejala serta penyembuhan lesi lebih bagus dari domperidon. Dosis 3x10
mg
7) Sukralfat
(Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat) Obat ini tidak memiliki efek
langsung terhadapa asam lambung, melainkan berefek pada meningkatkan pertahanan
mukosa esofagus, sebagai buffer terhadap HCl di esofagus serta dapat mengikat pepsin
dan garam empedu. Golongan obat ini cukup aman karen bersifat topikal. Dosis 4x1
gram.
8) Penghambat Pompa Proton (Proton pump inhibitor/PPI)
PPI merupakan obat terkuat dalam penatalaksanaan GERD, sehingga dijadikan
drug of choice. Golongan ini bekerja langsung pada pompa proton sel parietal dengan
memperngaruhi enzim H, K ATP –ase yang dianggap sebagai tahap akhir proses
pembentukan asam lambung. Pengobatan ini sangat efektif dalam menghilangkan
keluhan serta penyembuhan lesi esofagus, bahkan pada esofagitis erosiva derajat berat
yang refrakter dengan antagonis reseptor H2. Dosis untuk GERD adalah dosis penuh,
yaitu :
Omeprazole : 2x20 mg
Lansoprazole: 2x30 mg
Pantoprazole: 2x40 mg
Rabeprazole : 2x10 mg
Esomeprazole: 2x40 mg
Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi inisial) berikutnya
dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan selama 4 bulan , tergantung esofagitisnya.
Efektivitas obat ini semakin bertambah jika dikombinasi golongan prokinetik.
Terapi pemeliharaan
Tanpa terapi pemeliharaan, risiko kekambuhan diperkirakan 60-80% dalam satu
tahun. Berdasarkan penelitian, terapi yang paling efektif mencegah kekambuhan adalah
PPIs full dose, diikuti oleh PPIs low dose, dan terakhir H2RAs.7 Terapi pemeliharaan
diberikan kepada pasien GERD yang tetap mengalami gejala setelah PPIs dihentikan dan
kepada pasien yang mengalami komplikasi, termasuk esofagitis erosif dan esofagus Barret.
Terapi pemeliharaan PPIs diberikan dalam dosis terkecil yang masih efektif, termasuk
diberikan sesuai permintaan/kebutuhan (on demand) atau terapi intermittent.
BAB III
KASUS 1 GERD
Identitas pasien
Nama : Ny. W
Umur : 30 tahun
Alamat : Kadipiro Surakarta
Pekerjaan : Karyawan swasta
No RM : 12345
Pasien masuk ke bangsal Anggrek kelas II, tanggal 2 Februari 2021
Keluhan Utama : Nyeri perut
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien mengeluh nyeri ulu hati sudah dirasakan sejak kurang lebih 1 minggu yang lalu.
Nyeri perut terasa panas dan tembus ke punggung, agak sedikit sesak bila nyeri ulu hati
kambuh. Pasien mengatakan bahwa nyeri yang di alami hilang timbul dan pasien sulit tidur
bila kambuh. Pasien mengeluh lemas dan perut terasa tidak enak. Pasien mengatakan bahwa
ada mual tetapi tidak sampai muntah. Pasien mengeluh cepat merasa kenyang bila makan
dan mengeluh lidah terasa pahit dan kadang kecut. Pasien mengeluh kadang terasa pusing.
Pasien mengatakan bisa BAB (buang air besar) tetapi kurang lancar, kencing lancar tidak
dirasakan nyeri dan warnanya kuning.
Riwayat penyakit dahulu:
Pasien sudah pernah berobat di dokter sebelumnya dengan keluhan yang sama dan kemudian
di rujuk ke RS dengan diagnosa Abdominal pain e.c susp GERD + Krisis Hipertensi. Pasien
memilki riwayat tekanan darah tinggi, riwayat jantung dan menyangkal tidak memilki
kencing manis.
Riwayat Penyakit Keluarga: Pasien mengatakan tidak memiliki sanak saudara yang
mengidap gejala serupa.
Riwayat Sosial dan Kebiasaan: Pasien mengatakan bahwa jika telat makan sakitnya akan
kambuh. Pasien menyukai makanan yang pedas dan asam.
Riwayat Alergi: Pasien menyangkal tidak ada riwayat alergi makanan atau obat.
Pemeriksaan fisik Pemeriksaan penunjang
- Keadaan Umum: Pasien tampak lemah
- Kesadaran umum: compos mentis
- Tanda-tanda vital
TD : 210/105 mmHg
Nadi : 134 x/menit
RR : 24 x/menit
Suhu : 37oC
PEMBAHASAN
2.
BAB V
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
Indah Evi M. 2018. Laporan Pendahuluan Gastroesophageal Refluks Disease (GERD). Skripsi.
FIIK. Purwokerto
Bunga Fauza F, Teuku M, Teuku Romi I.2020. Hubungan Pola Makan Dengan Terjadinya
Gastroesophageal Refluks Disease (GERD). Vol 9, No 3, Halaman 169-179
Makmun, D. 2014. Penyakit refluks gastroesofageal. Dalam: Sudoyo AW. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Edisi ke-6. Jakarta: Internal Publishing.