Anda di halaman 1dari 18

STUDI KASUS FARMASI RUMASH SAKIT

“GERD”

DOSEN PENGAMPU :

apt. DWI NINGSIH, S.Si., M.Farm.

Kelompok A3-1

BRILLIAN ALFI SYAHRI (2220434828)


CICI DEVI INDRAYANTI (2220434829)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SETIA BUDI

SURAKARTA

2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD merupakan salah satu penyakit kronik
dan umum terjadi di kalangan masyarakat terutama pada orang dewasa. GERD adalah
suatu kondisi refluks isi lambung ke esofagus yang dapat menimbulkan gejala tipikal
seperti heartburn (rasa terbakar di daerah epigastrium), regurgitasi asam (rasa pahit di
mulut), mual, dan disfagia yang dapat mengakibatkan kerusakan mukosa esofagus dan
dalam jangka waktu yang lama dapat menimbulkan komplikasi seperti barrett’s
esophagus (Bunga dkk 2020).
Gastroesophageal reflux disease (GERD) adalah suatu keadaan patologis sebagai
akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus dengan berbagai gejala yang
timbul akibat keterlibatan esofagus, laring, dan saluran nafas.GERD bisa dibagi menjadi
tipe erosif dan non-erosif. Beberapa faktor risiko terjadinya refluks gastroesofageal antara
lain: obesitas, usia lebih dari 40 tahun, wanita, ras (India lebih sering mengalami GERD),
hiatal hernia, kehamilan, merokok, diabetes, asma, riwayat keluarga dengan GERD,
status ekonomi lebih tinggi, dan scleroderma (Ricky et al, 2019)
Pada sebagian orang, makanan dapat memicu terjadinya refluks gastroesofageal,
seperti bawang, saos tomat, mint, minuman berkarbonasi, coklat, kafein, makanan pedas,
makanan berlemak, alkohol, ataupun porsi makan yang terlalu besar. Beberapa obat dan
suplemen diet pun dapat memperburuk gejala refluks gastroesofageal, dalam hal ini obat-
obatan yang mengganggu kerja otot sfinter esofagus bagian bawah, seperti sedatif,
penenang, antidepresan, calcium channel blockers, dan narkotika. Termasuk juga
penggunaan rutin beberapa jenis antibiotika dan non steroidal antiinflammatory drugs
(NSAIDs) dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya inflamasi esophagus (Pratomo
2019).
Prevalensi GERD di Asia relatif rendah dibanding negara barat. Di Amerika,
hampir 7% populasi memiliki keluhan heartburn dan sekitar 20%-40% diperkirakan
menderita GERD. Beda halnya dengan Asia Timur, prevalensi GERD berkisar antara
2%- 8%.6. Di Indonesia, prevalensi kejadian GERD masih belum ada data epidemiologi
yang pasti. Namun, di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta didapatkan sebanyak
22,8% kasus esofagitis dari semua pasien yang menjalani pemeriksaan endoskopi atas
indikasi dispepsia. Ini menunjukkan bahwa Indonesia lebih tinggi daripada Asia Timur.
Perbedaan prevalensi di setiap negara disebabkan oleh perubahan sosial ekonomi dan
gaya hidup yang dapat meningkatkan angka kejadian GERD (Bunga dkk 2020).
Komplikasi dari GERD terdiri atas komplikasi esofagus dan ekstra esofagus.
Komplikasi di esofagus yang dapat ditemukan berupa perdarahan, striktur, perforasi,
Barret’s esophagus (BE), dan kanker esofagus. Sedangkan, komplikasi di luar esofagus
meliputi sakit tenggorokan, tonsilofaringitis, sinusitis, laringitis, karies dentis,
pneumonia, dan asma bronkial (Tarigan,Ricky.2019)
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Gastroesophageal reflux disease (GERD) ?
2. Bagaimana patofisiologi Gastroesophageal reflux disease (GERD) ?
3. Apa saja faktor resiko Gastroesophageal reflux disease (GERD) ?
4. Apa saja tanda dan gejala Gastroesophageal reflux disease (GERD) ?
5. Bagaimana tatalaksana Gastroesophageal reflux disease (GERD) ?
C. Tujuan
1. Mengetahui apa yang dimaksud Gastroesophageal reflux disease (GERD).
2. Mengetahui bagaimana patofisiologi Gastroesophageal reflux disease (GERD).
3. Mengetahui faktor resiko Gastroesophageal reflux disease (GERD).
4. Mengetahui tanda dan gejala Gastroesophageal reflux disease (GERD).
5. Mengetahui bagaimana tatalaksana Gastroesophageal reflux disease (GERD).
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Gastroesophageal reflux disease (GERD)


Penyakit refluks gastroesofageal (Gastroesophageal reflux disease/GERD)
adalah suatu keadaan patologis sebagai akibat refluks kandungan lambung ke dalam
esofagus, dengan berbagai gejala di esofagus maupun ekstraesofagus, dapat
menyebabkan komplikasi yang berat seperti striktur, Barrett’s esophagus bahkan adeno
karsinoma di kardia dan esofagus. Banyak ahli yang menggunakan istilah esofagitis
refluks, yang merupakan keadaan terbanyak dari penyakit refluks gastroesofageal
(Makmun 2014).
Terdapat dua kelompok GERD, yang pertama adalah GERD erosif (esofagitis
erosif), didefinisikan sebagai GERD dengan gejala refluks dan kerusakan mukosa
esofagus distal akibat refluks gastroesofageal. Pemeriksaan baku emas untuk diagnosis
GERD erosif adalah endoskopi saluran cerna atas dan yang kedua adalah penyakit refluks
non erosif (non-erosive reflux disease, NERD), yang juga disebut endoscopic-negative
GERD, didefinisikan sebagai GERD dengan gejala-gejala refluks tipikal tanpa kerusakan
mukosa esofagus saat pemeriksaan endoskopi saluran cerna. Saat ini, telah diusulkan
konsep yang membagi GERD menjadi tiga kelompok, yaitu penyakit refluks non-erosif,
esofagitis erosif, dan esofagus Barrett.

2. Patofisiologi Gastroesophageal reflux disease (GERD)


GERD terjadi akibat adanya ketidakseimbangan antara faktor ofensif dan
defensif dari system pertahanan esofagus dan bahan refluksat lambung. Yang
termasuk faktor defensif system pertahanan esofagus adalah LES, mekanisme
bersihan esofagus, dan epitel esofagus. LES merupakan strukur anatomi
berbentuk sudut yang memisahkan esofagus dengan lambung. Pada keadaan normal,
tekanan LES akan menurun saat menelan sehingga terjadi aliran antegrade dari
esofagus ke lambung. Pada GERD, fungsi LES terganggu dan menyebabkan
terjadinya aliran retrograde dari lambung ke esofagus. Terganggunya fungsi LES
pada GERD disebabkan oleh turunnya tekanan LES akibat penggunaan obat-
obatan, makanan, faktor hormonal, atau kelainan structural. Mekanisme bersihan
esofagus merupakan kemampuan esofagus membersihkan dirinya dari bahan refluksat
lambung; termasuk faktor gravitasi, gaya peristaltik esofagus, bersihan saliva, dan
bikarbonat dalam saliva (Indah 2018).
Refluks gastroesofageal dapat disebabkan oleh beberapa mekanisme:
a) Refleks spontan saat relaksasi otot sfingter esofagus bawah tidak adekuat
b) Aliran retrograd yang mendahului kembalinya tonus otot sfingter esofagus bawah
setelah menelan
c) Tekanan intra abdomen yang meningkat
Refluks gastroesofageal dapat menyebabkan esofagitis kontak langsung antara
bahan refluksat asam dengan mukosa esofagus terjadi dalam waktu yang cukup lama,
atau terjadi penurunan resistensi jaringan mukosa esofagus yang memungkinkan
terjadinya esofagitis pada kontak bahan refluksat dengan mukosa esofagus dalam waktu
yang tidak cukup lama. Dengan demikian, faktor yang mempengaruhi patogenesis dari
GERD adalah faktor defensif mukosa esofagus dan faktor ofensif bahan refluksat
berdasarkan bahan yang dikandung refluksat tersebut (Makmun, 2014).
Pada GERD, mekanisme bersihan esofagus terganggu sehingga bahan refluksat
lambung akan kontak ke dalam esofagus; makin lama kontak antara bahan refluksat
lambung dan esofagus, maka risiko esofagitis akan makin tinggi. Selain itu, refluks
malam hari pun akan meningkatkan risiko esofagitis lebih besar. Hal ini karena tidak
adanya gaya gravitasi saat berbaring. Mekanisme ketahanan epitel esofagus terdiri dari
membran sel, intercellular junction yang membatasi difusi ion H+ ke dalam jaringan
esofagus, aliran darah esofagus yang menyuplai nutrien-oksigen dan bikarbonat serta
mengeluarkan ion H+ dan CO2, sel esofagus mempunyai kemampuan mentransport ion
H+ dan Cl- intraseluler dengan Na+ dan bikarbonat ekstraseluler adalah peningkatan
asam lambung, dilatasi lambung atau obstruksi gastric outlet, distensi lambung dan
pengosongan lambung yang terlambat, tekanan intragastrik dan intraabdomen yang
meningkat. Beberapa keadaan yang mempengaruhi tekanan intraabdomen antara lain
hamil, obesitas, dan pakaian terlalu ketat (Indah 2018).
3. Fakto resiko Gastroesophageal reflux disease (GERD)
Beberapa faktor risiko GERD menurut (Indah 2018) adalah:
a) Obat-obatan, seperti teofilin, antikolinergik, beta adrenergik, nitrat, calcium-channel
blocker.Makanan, seperti cokelat, makanan berlemak, kopi, alkohol, dan rokok.
b) Hormon, umumnya terjadi pada wanita hamil dan menopause.
c) Pada wanita hamil, menurunnya tekanan LES terjadi akibat peningkatan kadar
progesteron. Sedangkan pada wanita menopause, menurunnya tekanan LES terjadi
akibat terapi hormon estrogen.
d) Struktural, umumnya berkaitan dengan hiatus hernia. Selain hiatus hernia, panjang
LES yang < 3 cm juga memiliki pengaruh terhadap terjadinya GERD.
e) Indeks Massa Tubuh (IMT); semakin tinggi nilai IMT, maka risiko terjadinya GERD
juga semakin tinggi.

4. Tanda dan gejala Gastroesophageal reflux disease (GERD)


Manifestasi klinis dari GERD yang paling umum dikeluhkan adalah rasa tidak
nyaman atau nyeri epigastrium. Nyeri tersebut biasanya digambarkan sebagai rasa
terbakar atau heartburn dan dapat disertai gejala lain seperti kesulitan menelan, mual, dan
rasa pahit pada lidah. Terkadang rasa tidak enak pada epigastrium yang muncul mirip
dengan angina pektoris. Pada pasien yang sudah mengalami Barret’s esophagus, dapat
mengalami gejala disfagia saat menelan makanan yang padat karena striktur atau
keganasan yang berkembang dari Barret’s esophagus. (Makmun, 2014).
Tanda dan gejala khas GERD adalah regurgitasi dan heartburn. Regurgitasi
merupakan suatu keadaan refluks yang terjadi sesaat setelah makan, ditandai rasa asam
dan pahit di lidah. Heartburn adalah suatu rasa terbakar di daerah epigastrium yang dapat
disertai nyeri dan pedih. Dalam bahasa awam, heartburn sering dikenal dengan istilah
rasa panas di ulu hati yang terasa hingga ke daerah dada. Kedua gejala ini umumnya
dirasakan saat setelah makan atau saat berbaring.
Gejala lain GERD adalah kembung, mual, cepat kenyang, bersendawa,
hipersalivasi, disfagia hingga odinofagia. Disfagia umumnya akibat striktur atau
keganasan Barrett’s esophagus. Sedangkan odinofagia atau rasa sakit saat menelan
umumnya akibat ulserasi berat atau pada kasus infeksi. Nyeri dada non-kardiak, batuk
kronik, asma, dan laringitis merupakan gejala ekstraesofageal penderita GERD (Saputra
2017).
Gejala klinis GERD digolongkan menjadi 3 macam, yaitu gejala tipikal, gejala
atipikal, dan gejala alarm.
a) Gejala tipikal (typical symptom): Adalah gejala yang umum diderita oleh pasien
GERD, yaitu: heart burn, belching (sendawa), dan regurgitasi (muntah)
b) Gejala atipikal (atypical symptom): Adalah gejala yang terjadi di luar esophagus dan
cenderung mirip dengan gejala penyakit lain. Contohnya separuh dari kelompok
pasien yang sakit dada dengan elektrokardiogram normal ternyata mengidap GERD,
dan  separuh dari penderita asma ternyata mengidap GERD. Kadang hanya gejala ini
yang muncul sehingga sulit untuk mendeteksi GERD dari gejala ini. Contoh gejala
atipikal: asma nonalergi, batuk kronis, faringitis, sakit dada, dan erosi gigi.
c) Gejala alarm (alarm symptom): Adalah gejala yang menunjukkan GERD yang
berkepanjangan dan kemungkinan sudah mengalami komplikasi. Pasien yang tidak
ditangani dengan baik dapat mengalami komplikasi. Hal ini disebabkan oleh refluks
berulang yang berkepanjangan. Contoh gejala alarm: sakit berkelanjutan, disfagia
(kehilangan nafsu makan), penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan,
tersedak.
5. Tatalaksana Gastroesophageal reflux disease (GERD)
Tujuan pengobatan GERD adalah untuk mengatasi gejala, memperbaiki
kerusakan mukosa, mencegah kekambuhan, dan mencegah komplikasi. Sasaran terapinya
adalah asam lambung, lapisan mukosa lambung. Strategi terapinya dengan menurunkan
sekresi asam di lambung, mengurangi keasaman pada lambung. Melapisi mukosa
lambung, menaikkan pH dan mengurangi terjadinya reflux, mempercepat pengosongan
lambung, memperkuat LES, faktor barier antirefluks terpenting. Beberapa terapi yang
dapat digunakan dalam mengatasi GERD yaitu:
 Terapi non farmakologi:
a) Mengangkat kepala saat tidur (meningkatkan bersihan esofageal). Gunakan
penyangga 6-10 inchi di bawah kepala. Tidur pada kasur busa.
b) Menghindari makanan yang dapat menurunkan tekanan LES (lemak, coklat, kopi,
kola, teh bawang putih, bawang merah, cabe, alkohol, karminativ (pepermint, dan
spearmint)
c) Menghindari makanan yang secara langsung mengiritasi mukosa esofagus
(makanan pedas, jus jeruk, jus tomat dan kopi)
d) Makan makanan yang tinggi protein (meningkatkan tekanan LES)
e) Menghindari tidur segera setelah makan (jika mungkin 3 jam) (menurunkan
volume lambung)
f) Penurunan berat badan (mengurangi gejala)
g) Berhenti merokok (menurunkan relaksasi spontan sfingter esofagus).
h) Menghentikan, jika mungkin, penggunaan obat-obat yang dapat menurunkan
tekanan LES (Antikolinergik, barbiturat, benzodiazepin (misalnya diazepam),
kafein, penghambat kanal kalsium dihidropiridin, dopamin, estrogen, etanol,
isoproterenol, narkotik (meperidin, morfin), nikotin (merokok) nitrat, fentolamin,
progesteron dan teofilin).
i) Menghentikan, jika mungkin, penggunaan obat-obat yang dapat mengiritasi secara
langsung mukosa esofagus (tetrasiklin, quinidin, garam besi, aspirin, AINS dan
alendronat).
 Terapi farmakologi :
Terapi ini merupakan terapi menggunakan obat-obatan. PPI merupakan salah
satu obat untuk terapi GERD yang memiliki keefektifan serupa dengan terapi
pembedahan. Jika dibandingkan dengan obat lain, PPI terbukti paling efektif
mengatasi gejala serta menyembuhkan lesi esofagitis.

 Fase I : mengubah gaya hidup dan dianjurkan terapi dengan menggunakan


antasida dan/atau OTC antagonis reseptor H2 (H2RA) atau penghambat
pompa proton (PPI).
 Fase II : intervensi farmakologi terutama dengan obat penekan dosis tinggi.
 Fase III : terpai intervensional (pembedahan antirefluks atau terapi endoluminal)
Pengobatan gerd biasanya menggunakan obat proton-pump inhibitor yang efektif
menurunkan sekresi asam, antasida yang dapat menetralkan keasaman lambung, Asam
alginat (Gaviscon) yang dapat melapisi mukosa sebaik menaikkan pH dan menurunkan
reflux, antagonis H2 receptor seperti ranitidin, famotidin yang mengurangi sekresi asam
lambung, prokinetik yang mempercepat pengosongan lambung dan memperkuat LES;
dan sucralfat yang berguna sebagai tambahan untuk menyembuhkan dan mencegah
kerusakan esofagus karena GERD.

Pada sebagian besar pasien, pengobatan dapat dilakukan dengan beberapa tahap
tergantung keparahan gejala GERD yaitu GERD gejala ringan, gejala sedang; gejala
parah dan mengalami kejadian erosif. Pada pasien yang mengalami gejala GERD sedang
dimana gejala muncul beberapa kali dalam seminggu atau tiap hari sebaiknya diterapi
dengan proton pump inhibitor atau antagonis H2 reseptor. Dengan efikasinya yang baik
dan dosis sekali minum sehari, proton pump inhibitor semakin sering diresepkan sebagai
terapi lini pertama untuk GERD dengan gejala ringan sampai sedang. Untuk pasien yang
gejalanya tetap muncul setelah pengobatan dengan dosis standar antagonis H2 reseptor
selama 6 minggu, sebaiknya diobati dengan proton pump inhibitor karena meneruskan
pengobatan dengan antagonis H2 reseptor atau dengan menaikkan dosisnya jarang
terbukti efektif untuk menghilangkan gejala.

Untuk pasien dengan gejala yang parah dan pasien dengan komplikasi dan
keparahan organ tubuh (seperti oesofagitis, oesophageal ulceration, oesophagopharyngeal
reflux, barret’s oesophagus) serta untuk pasien yang secara endoskopi terbukti mengalami
esofagitis erosif, terapi awal yang optimal adalah dengan proton pump inhibitor. Proton
pump inhibitor yang diberikan sekali sehari dapat menghilangkan gejala dan
menyembuhkan esofagitis di atas 80% pasien atau di atas 95% pada pemberian 2 kali
sehari. Oleh karena itu proton pump inhibitor menjadi obat pilihan untuk GERD dengan
gejala parah atau mengalami penyakit erosif. Suspect manifestasi atypical (seperti asma
dan laringitis) juga diberikan terapi awal dengan proton pump inhibitor.

Untuk pasien dengan gejala yang parah atau pasien komplikasi atau keparahan
organ tubuh (seperti esofagitis, oesophageal ulceration, oesophagopharyngeal reflux,
barret’s oesophagus), pasien perlu dicek kembali jika gejala tidak hilang selama 4-6
minggu pengobatan dengan PPI. Ketika gejala berkurang, terapi pengobatan dimodifikasi
secara perlahan-lahan ke terapi pemeliharaan dengan cara diantaranya menurunkan dosis
proton pump inhibitor atau mengganti pengobatan dengan antagonis H2 reseptor. Akan
tetapi untuk pasien yang secara endoskopi terbukti mengalami penyakit erosif, ulcerative
atau stricturing, pengobatan dengan proton pump inhibitor biasanya perlu dipertahankan
pada dosis efektif minimum. Beberapa golongan obat yang biasa digunakan ialah :

1) Antasida
Pengobatan ini digunakan untuk gejala ringan GERD sejak tahun 1971, dan masih
dinilai efektif hingga sekarang dan tidak menimbulkan esofagitis. Selain sebagai penekan
asam lambung, obat ini dapat memperkuat tekanan SEB. Kelemahan obat golongan ini
adalah. Rasanya kurang enak. Dapat menimbulkan diare terutama yang mengandung
magnesium serta konstipasi terutama antasid yang mengandung aluminium, Selain itu
penggunaannya sangat terbatas untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Dosis sehari
4x1 sendok makan.
2) Antagonis Reseptor H2
Obat ini dilaporkan berhasil pada 50% kasus GERD. Yang termasuk obat
golongan ini adalah ranitidin, simetidin, famotidin dan nizatidin. Sebagai penekan sekresi
asam, golongan obat ini efektif dalam pengobatan penyakit refluks gastroesofageal jika
diberikan dosis 2 kali lebih tinggi dan dosis untuk terapi ulkus. Pengguanaan obat ini
dinilai efektif bagi keadaan yang berat, misalnya dengan barrett’s esophagus. Golongan
obat ini hanya efektif pada pengobatan esofagitis derajat ringan sampai sedang serta
tanpa komplikasi. Dosis rantidin 4x150 mg.
3) Obat prokinetik
Secara teoritis, obat ini dianggap paling sesuai untuk pengobatan GERD karena
penyakit ini dianggap lebih condong kearah gangguan motilitas. Namun praktiknya,
pengobatan GERD sangat bergantung pada penekanan sekresi asam. Obat ini berfungsi
untuk memperkuat tonus SEB dan mempercepat pengosongan gaster.
4) Metoklopramid
Efektifitasnya rendah dalam mengurangi gejala, serta tidak berperan dalam
penyembuhan lesi di esofagus kecuali dikombinasikan dengan antagonis reseptor H2 atau
PPI. Karena melalui sawar darah otak, maka dapat tumbuh efek terhadap saraf pusat
berupa mengantuk, pusing, agitasi, tremor, dan dyskinesia Dosis 3x 10 mg sebelum
makan dan sebelum tidur.
5) Domperidon
Obat ini antagonis reseptor dopamin (sama dengan metoklopramid) hanya saja
obat ini tidak melewati sawar darah otak, sehingga efek sampingnya lebih jarang.
Walaupun efektifitasnya belum banyak dilaporkan, namun obat ini diketahui dapat
menigkatkan tonus SEB dan percepat pengosongan lambung. Dosis 3x10-20 mg sehari
6) Cisapride
Obat ini merupakan suatu antagonis reseptor 5HT4, obat ini dapat memperkuat
tonus SEB dan mempercepat pengosongan lambung. Efektivitasnya dalam
menghilangkan gejala serta penyembuhan lesi lebih bagus dari domperidon. Dosis 3x10
mg
7) Sukralfat
(Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat)  Obat ini tidak memiliki efek
langsung terhadapa asam lambung, melainkan berefek pada meningkatkan pertahanan
mukosa esofagus, sebagai buffer terhadap HCl di esofagus serta dapat mengikat pepsin
dan garam empedu. Golongan obat ini cukup aman karen bersifat topikal. Dosis 4x1
gram.
8) Penghambat Pompa Proton (Proton pump inhibitor/PPI)
PPI merupakan obat terkuat dalam penatalaksanaan GERD, sehingga dijadikan
drug of choice. Golongan ini bekerja langsung pada pompa proton sel parietal dengan
memperngaruhi enzim H, K ATP –ase yang dianggap sebagai tahap akhir proses
pembentukan asam lambung. Pengobatan ini sangat efektif dalam menghilangkan
keluhan serta penyembuhan lesi esofagus, bahkan pada esofagitis erosiva derajat berat
yang refrakter dengan antagonis reseptor H2. Dosis untuk GERD adalah dosis penuh,
yaitu :
 Omeprazole : 2x20 mg
 Lansoprazole: 2x30 mg
 Pantoprazole: 2x40 mg
 Rabeprazole : 2x10 mg
 Esomeprazole: 2x40 mg
Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi inisial) berikutnya
dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan selama 4 bulan , tergantung esofagitisnya.
Efektivitas obat ini semakin bertambah jika dikombinasi golongan prokinetik.
 Terapi pemeliharaan
Tanpa terapi pemeliharaan, risiko kekambuhan diperkirakan 60-80% dalam satu
tahun. Berdasarkan penelitian, terapi yang paling efektif mencegah kekambuhan adalah
PPIs full dose, diikuti oleh PPIs low dose, dan terakhir H2RAs.7 Terapi pemeliharaan
diberikan kepada pasien GERD yang tetap mengalami gejala setelah PPIs dihentikan dan
kepada pasien yang mengalami komplikasi, termasuk esofagitis erosif dan esofagus Barret.
Terapi pemeliharaan PPIs diberikan dalam dosis terkecil yang masih efektif, termasuk
diberikan sesuai permintaan/kebutuhan (on demand) atau terapi intermittent.
BAB III

KASUS 1 GERD

Identitas pasien
Nama : Ny. W
Umur : 30 tahun
Alamat : Kadipiro Surakarta
Pekerjaan : Karyawan swasta
No RM : 12345
Pasien masuk ke bangsal Anggrek kelas II, tanggal 2 Februari 2021
Keluhan Utama : Nyeri perut
 Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien mengeluh nyeri ulu hati sudah dirasakan sejak kurang lebih 1 minggu yang lalu.
Nyeri perut terasa panas dan tembus ke punggung, agak sedikit sesak bila nyeri ulu hati
kambuh. Pasien mengatakan bahwa nyeri yang di alami hilang timbul dan pasien sulit tidur
bila kambuh. Pasien mengeluh lemas dan perut terasa tidak enak. Pasien mengatakan bahwa
ada mual tetapi tidak sampai muntah. Pasien mengeluh cepat merasa kenyang bila makan
dan mengeluh lidah terasa pahit dan kadang kecut. Pasien mengeluh kadang terasa pusing.
Pasien mengatakan bisa BAB (buang air besar) tetapi kurang lancar, kencing lancar tidak
dirasakan nyeri dan warnanya kuning.
 Riwayat penyakit dahulu:
Pasien sudah pernah berobat di dokter sebelumnya dengan keluhan yang sama dan kemudian
di rujuk ke RS dengan diagnosa Abdominal pain e.c susp GERD + Krisis Hipertensi. Pasien
memilki riwayat tekanan darah tinggi, riwayat jantung dan menyangkal tidak memilki
kencing manis.
 Riwayat Penyakit Keluarga: Pasien mengatakan tidak memiliki sanak saudara yang
mengidap gejala serupa.
 Riwayat Sosial dan Kebiasaan: Pasien mengatakan bahwa jika telat makan sakitnya akan
kambuh. Pasien menyukai makanan yang pedas dan asam.
 Riwayat Alergi: Pasien menyangkal tidak ada riwayat alergi makanan atau obat.
Pemeriksaan fisik Pemeriksaan penunjang
- Keadaan Umum: Pasien tampak lemah
- Kesadaran umum: compos mentis
- Tanda-tanda vital
TD : 210/105 mmHg
Nadi : 134 x/menit
RR : 24 x/menit
Suhu : 37oC

Dokter memberikan resep pada keluarga pasien TUGAS


yang harus ditebus ke instalasi farmasi

1. Buatlah latar belakang singkat, tentang


patofisologi dan farmakoterapinya
2. Masukkan data base pasien ke dalam
format database (termasuk data subyektif
dan obyektif)
3. Buatlah assessment termasuk melakukan
skrining resep dokter
4. Buatlah rekomendasi terapi pada pasien,
rute pemberian, regimentasi dosis, dan
karakteristik fisika– kimia obat.
5. Sampaikan kepada dokter penulis resep
jika rese pada masalah (tulis bagaimana
cara menyampaikannya ke dokter).
6. Sarankan terapi non farmakologi untuk
mendukung penyembuhan pasien
7. Lakukan Pemantauan Terapi Obat.
BAB IV

PEMBAHASAN

1. Saran Non farmakologi


Pasien disarankan untuk modifikasi gaya hidup dengan merubah pola makan :
a) Makan tepat waktu
b) Menghindari makanan yang dapat menurunkan tekanan LES (lemak, coklat, kopi,
kola, teh bawang putih, bawang merah, cabe)
c) Menghindari makanan yang secara langsung mengiritasi mukosa esofagus (makanan
pedas, jus jeruk, jus tomat dan kopi)
d) Makan makanan yang tinggi protein yang dapat meningkatkan tekanan LES
e) Menghindari tidur segera setelah makan (jika mungkin 3 jam) untuk menurunkan
volume lambung.

2.
BAB V

PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA

Indah Evi M. 2018. Laporan Pendahuluan Gastroesophageal Refluks Disease (GERD). Skripsi.
FIIK. Purwokerto

Bunga Fauza F, Teuku M, Teuku Romi I.2020. Hubungan Pola Makan Dengan Terjadinya
Gastroesophageal Refluks Disease (GERD). Vol 9, No 3, Halaman 169-179

Tarigan Ricky, Pratomo Bogi.2019.Analisis Faktor Risiko Gastroesofageal Refluks di RSUD


Saiful Anwar Malang.Jurnal penyakit dalam indonesia

Makmun, D. 2014. Penyakit refluks gastroesofageal. Dalam: Sudoyo AW. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Edisi ke-6. Jakarta: Internal Publishing.

Anda mungkin juga menyukai