PENDAHULUAN
1
8. Bagaimana Sistem Skala Gejala GERD berdasarkan Kuesioner ?
9. Bagaimana gambaran Endoskopi GERD (Gastroesofageal Reflux Disease) ?
10. Bagaimana Tatalaksana terapiGERD (Gastroesofageal Reflux Disease)?
11. Seperti apa algoritma terapi GERD (Gastroesofageal Reflux Disease)?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui defenisi GERD (Gastroesofageal Reflux Disease)
2. Untuk mengetahui Epidemiologi dari GERD (Gastroesofageal Reflux
Disease)
3. Untuk mengetahui tanda dan gejala dari GERD (Gastroesofageal Reflux
Disease)
4. Untuk mengetahui etiologi dan patogenesis dari GERD (Gastroesofageal
Reflux Disease)
5. Untuk mengetahui patofisiologi dari GERD (Gastroesofageal Reflux Disease)
6. Untuk mengetahui manifestasi klinik dari GERD (Gastroesofageal Reflux
Disease)
7. Untuk mengetahui Diagnosis GERD (Gastroesofageal Reflux Disease)
8. Untuk mengetahui Sistem Skala Gejala GERD berdasarkan Kuesioner
9. Untuk mengetahui gambaran Endoskopi GERD (Gastroesofageal Reflux
Disease)
10. Untuk mengetahui Tatalaksana terapi GERD (Gastroesofageal Reflux
Disease)
11. Untuk mengetahui algoritma terapi GERD (Gastroesofageal Reflux Disease)
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
2.2 Epidemiologi
3
sebanyak 22,8 % dari semua pasien yang menjalani endoskopi atas dasar
dispepsia (Makmun, 2009).
4
disfagia (kehilangan nafsu makan), penurunan berat badan yang tidak dapat
dijelaskan, tersedak.
Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high
pressure zone) yang dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal sphincter
(LES). Pada individu normal, pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada
saat sendawa ataumuntah. Aliran balik dari gaster ke esofagus melalui LES
hanya terjadi apabila tonus LES tidak ada atau sangat rendah (<3 mmHg)
(Makmun,2009).
5
Peranan infeksi Helicobacter pylori dalam patogenesis GERD relatif
kecil dan kurang didukung oleh data yang ada. Pengaruh dari infeksi H. pylori
terhadap GERD merupakan konsekuensi logis dari gastritis serta pengaruhnya
terhadap sekresi asam lambung (Makmun, 2009).Tingginya angka infeksi H.
pylori di Asia dengan rendahnya sekresi asam sebagai konsekuensinya telah
dipostulasikan sebagai salah satu alasan mengapa prevalensi GERD di Asia
lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara Barat. Hal tersebut sesuai
dengan yang ditunjukkan pada satu studi di Jepang yang dilakukan oleh Shirota
dkk. Studi yang lain juga membuktikan adanya hubungan terbalik antara derajat
keparahan esofagitis refluks dengan infeksi H. pylori. Hamada dkk
menunjukkan insiden esofagitis refluks yang tinggi setelah eradikasi H.pylori,
khususnya pada pasien gastritis korpus dan mempunyai predisposisi terhadap
refluks hiatus hernia (Goh dan Wong, 2006).
Dalam keadaan di mana bahan refluksat bukan bersifat asam atau gas
(non acid reflux), timbulnya gejala GERD diduga karena hipersensitivitas
viseral (Makmun,2009).
2.5 Patofisiologi
6
Faktor kunci pada perkembangan GERD adalah aliran balik asam atau
substansi berbahaya lainnya dari perut ke esofagus. Pada beberapa kasus, refluks
gastroesofageal dikaitkan dengan cacat tekanan atau fungsi dari sfinkter esofageal
bawah (lower esophageal sphincter/LES). Sfinkter secara normal berada pada
kondisi tonik (berkontraksi) untuk mencegah refluks materi lambung dari perut,
dan berelaksasi saat menelan untuk membuka jalan makanan ke dalam perut.
Penurunan tekanan LES dapat disebabkan oleh
a. Relaksasi sementara LES secara spontan,
b. Peningkatan sementara tekanan intraabdominal, atau
c. LES atonik.
Gejala klinik yang khas dari GERD adalah nyeri/rasa tidak enak di
epigastrium atau retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri dideskripsikan sebagai
rasa terbakar (heartburn), kadang-kadang bercampur dengan gejala disfagia
(kesulitan menelan makanan), mual atau regurgitasi dan rasa pahit di lidah.
Walau demikian derajat berat ringannya keluhan heartburn ternyata tidak
selalu berkorelasi dengan temuan endoskopik. Kadang-kadang timbul rasa tidak
enak retrosternal yang mirip dengan angina pektoris. Disfagia yang timbul
saat makan makanan yang padat mungkin terjadi karena striktur atau
7
keganasan yang berkembang dari Barrets esophagus. Odinofagia bisa muncul
jika sudah terjadi ulserasi esofagus yang berat (Makmun,2009).
8
gangguan tidur, penurunan produktivitas di tempat kerja dan di rumah,
gangguan aktivitas sosial.
2.7 Diagnosis
a. Jika gejala pasien khas untuk GERD tanpa komplikasi, maka terapi empiris
(termasuk modifikasi gaya hidup) adalah hal yang tepat. Endoskopi saat
pasien masuk dilakukan jika pasien menunjukkan gejala-gejala
komplikasi, atau berisiko untuk Barrets esophagus, atau pasien dan
dokter merasa endoskopi dini diperlukan. (Level of Evidence : IV)
b. Endoskopi adalah teknik pilihan yang digunakan untuk mengidentifikasi
dugaan Barrets esophagus dan untuk mendiagnosis komplikasi GERD.
Biopsi harus dilakukan untuk mengkonfirmasi adanya epitel Barret dan untuk
mengevaluasi displasia. (Level of Evidence : III)
c. Pemantauan ambulatoar (ambulatory monitoring) esofagus membantu untuk
konfirmasi reluks gastroesofageal pada pasien dengan gejala menetap ( baik
9
khas maupun tidak khas) tanpa adanya kerusakan mukosa; juga dapat
digunakan untuk memantau pengendalian refluks pada pasien tersebut di atas
yang sedang menjalani terapi. (Level of Evidence : III)
d. Manometri esofagus dapat digunakan untuk memastikan lokasi penempatan
probe ambulatory monitoring dan dapat membantu sebelum dilakukannya
pembedahan anti refluks. (Level of Evidence : III)
10
Terapi GERD ditujukan untuk mengurangi atau menghilangkan gejala-
gejala pasien, mengurangi frekuensi atau kekambuhan dan durasi refluks
esofageal, mempercepat penyembuhan mukosa yang terluka, dan mencegah
berkembangnya komplikasi.
11
e. Makan sedikit dan menghindari tidur segera setelah makan (jika mungkin
3 jam) (menurunkan volume lambung)
f. Penurunan berat badan (mengurangi gejala)
g. Berhenti merokok (menurunkan relaksasi spontan sfingter esofagus).
h. Menghindari minum alkohol (meningkatkan amplitudo sfinter esofagus,
gelombang peristaltik dan frekuensi kontraksi).
i. Menghindari pakai pakaian yang ketat.
2. Pendekatan Intervensi
Pembedahan Antirefluks
Terapi Endoluminal
12
endoskopik biopolimer yang dikenal sebagai Enteryx pada penghubung
gastroesofageal.
B. TERAPI FARMAKOLOGI
a. Keparahan penyakit,
b. Regimen dosis yang digunakan, dan
c. Durasi terapi.
2. Proton Pump Inhibitor (PPI) (esomeprazol, lansoprazol, omeprazol,
pantoprazol, dan rabeprazol)
13
esofagtis atau gejala komplikasi (BE atau striktur), tetapi juga pasien dengan
GERD nonerosif yang mempunyai gejala sedang sampai parah. Kekambuhan
umumnya terjadi dan terapi pemeliharaan jangka panjang umumnya
diindikasikan.
3. Agen Promotilitas
14
Agen prokinetik juga telah digunakan untuk terapi kombinasi dengan
antagonis H2-reseptor. Kombinasi dilakukan pada pasien GERD yang telah
diketahui atau diduga adanya gangguan motilitas, atau pada pasien yang gagal
pada pengobatan dengan penghambat pompa proton dosis tinggi.
5. Protektan Mukosa
15
2.10.1 Deskripsi Kasus
16
a. Subjektif
Nama : Tn.L
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 45 Tahun
BB/TB : 65 Kg/ 168 Cm
Anamnesis : Dada terasa panas, mual
Riwayat Penyakit : 1. Hipertensi
2. Bronkitis Kronik
Riwayat : 1. Promag dan Mylanta untuk
Pengobatan mengatasi keluhan dada terasa
panas dan mual
2. Teosal tablet untuk mengobati
bronchitis kronik
b. Objektif
d. Plan
1. Menghindari penyebab GERD
2. Terapi Farmakologi
a. Omeprazole 20-40 mg 1 x sehari selama 8 minggu untuk
mengobati GERD
17
b. Hidroklorotiazid (HCT) 12,5-25 mg/hari, 1 x sehari pada
pagi hari untuk mengurangi tekanan darah pada pasien.
(Depkes RI.2005)
c. Amoxicilin 250-500 mg 3 x sehari untuk mengobati
bronkitis kronik pasien. (Depkes RI.2006)
3. Terapi Non-Farmakologi
a. Mengangkat kepala saat tidur (meningkatkan bersihan
esofageal). Gunakan penyangga 6-10 inchi di bawah kepala.
Tidur pada kasur busa.
b. Menghindari makanan yang dapat menurunkan tekanan LES
(lemak, coklat, kopi, kola, teh bawang putih, bawang merah,
cabe, alkohol, karminativ (pepermint, dan spearmint))
c. Menghindari makanan yang secara langsung mengiritasi
mukosa esofagus (makanan pedas, jus jeruk, jus tomat dan
kopi)
d. Makan makanan yang tinggi protein (meningkatkan tekanan
LES)
e. Makan sedikit dan menghindari tidur segera setelah makan
(jika mungkin 3 jam) (menurunkan volume lambung)
f. Penurunan berat badan (mengurangi gejala)
g. Berhenti merokok (menurunkan relaksasi spontan sfingter
esofagus).
h. Menghindari minum alkohol (meningkatkan amplitudo
sfinter esofagus, gelombang peristaltik dan frekuensi
kontraksi).
i. Menghindari pakai pakaian yang ketat.
18
c. Untuk penanganan pada bronkitis kronik diberikan obat amoxicilin
250-500 mg 3 x sehari.
2.11Jawaban Pertanyaan
1 Pada saat pemantauan pH pada kerongkongan pasien, pada pH range
berapa dapat dikatakan pasien tersebut menderita GERD ? Dan apa
kaitannya penyakit asam lambung ini dengan sistem pernafasan ?
Jawab :
Pada pH <4, karena pada pH dibawah dari 4 akan terjadi
kerusakan mukosa pada kerongkongan.
Hubungan penyakit GERD dan sistem pernafasan adalah pada
penderita GERD menimbulkan aliran balik dari lambung ke
kerongkongan. Sehingga pada penderita GERD terjadi sesak nafas di
picu oleh hal-hal yang meningkatkan asam lambung. Seperti saat
terlambat makan dan stress.
19
Maag adalah rasa sakit atau keluhan yang tidak nyaman yang
terjadi diseputar saluran cerna bagian atas yang disebut ulu hati.
Sedangkan GERD adalah keluhan atau rasa yang tidak nyaman pada
saluran cerna bagian atas yang disebabkan oleh naiknya asam lambung
yang keluar dari area lambung ke kerongkongan.
4 Apabila penyakit GERD ini tidak cepat ditangani, apa yang akan
terjadi?
Jawab :
GERD yang tidak diterapi dengan baik dapat menyebabkan
penyakit komplikasi antara lain penyempitan kerongkongan, perdarahan
kerongkongan dan kondidi yang disebut Barretts esofagus. Jika hal ini
terjadi, perjalanan penyakit berhubungan dengan kanker kerongkongan.
Jawab :
Alasan kami memilih obat Hiroklorotiazid (HCT) untung
pengobatan anti hipertensi pada pasien, karena menurut Dinkes 2006
obat tersebut merupakan obat lini pertama yang diberikan pada pasien.
Dan obat tersebut tidak di kontraindikasikan pada pasien.
Kami memilih obat omeprazole untuk pengobatan GERD
pasien, karena omeprazol termasuk dalam golongan PPI yang paling
aman dan cocok bagi pasien.
20
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1 Gastroesophageal Reflux Disease (GERD/Penyakit Refluks Gastroesofageal)
adalah suatu keadaan patologis yang disebabkan oleh kegagalan dari
mekanisme antireflux untuk melindungi mukosa esophagus terhadap refluks
asam lambung dengan kadar yang abnormal dan paparan yang berulang.
2 Gejala klinis GERD terdiri dari :
a Gejala Tipikal (typical Symptom)
b Gejala Atipikal (atypical Symptom)
c Gejala Alarm (alarm Symptom)
3 Terapi GERD dikategorikan dalam beberapa fase, yaitu:
a. Fase I: mengubah gaya hidup dan dianjurkan terapi dengan
menggunakan antasida dan/atau OTC antagonis reseptor H2 (H2RA) atau
penghambat pompa proton (PPI).
b. Fase II : intervensi farmakologi terutama dengan obat penekan
dosis tinggi.
c. Fase III : terapi intervensional (pembedahan antirefluks atau terapi
endoluminal).
3.2 Saran
Demi sempurnanya makalah ini kami mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca agar makalah ini bisa menjadi lebih baik untuk
selanjutnya.
21
DAFTAR PUSTAKA
22