Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

GERD (Gastroesofageal Reflux Disease) adalah suatu penyakit yang


jarang terdiagnosis oleh dokter di Indonesia karena bila belum menimbulkan
keluhan yang berat seperti refluks esofagitis yang dokter belum bisa mendiagnosa.
Refluks gastroesofagus adalah masuknya isi lambung ke dalam esofagus yang
terjadi secara intermiten pada orang, terutama setelah makan (Asroel, 2002).

Sudah sejak lama prevalensi GERD di Asia dilaporkan lebih rendah


dibandingkan dengan di negara-negara Barat. Namun, banyak penelitian
pada populasi umum yang baru-baru ini dipublikasikan menunjukkan
kecenderungan peningkatan prevalensi GERD di Asia. Prevalensi di Asia Timur
5,2 %-8,5 % (tahun 2005-2010), sementara sebelum 2005 2,5%-4,8%; Asia
Tengah dan Asia Selatan 6,3%-18,3%, Asia Barat yang diwakili Turki
menempati posisi puncak di seluruh Asia dengan 20%. Asia Tenggara juga
mengalami fenomena yang sama; di Singapura prevalensinya adalah 10,5%, di
Malaysia insiden GERD meningkat dari 2,7% (1991-1992) menjadi 9% (2000-
2001), sementara belum ada data epidemiologi di Indonesia (Jung, 2009), (Goh
dan Wong, 2006). Di Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FK UI-RSUPN Cipto Mangunkusumo didapatkankasus esofagitis
sebanyak 22,8 % dari semua pasien yang menjalani endoskopi atas dasar
dispepsia (Makmun, 2009).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan GERD (Gastroesofageal Reflux Disease)?
2. Bagaimana Epidemiologi dari GERD (Gastroesofageal Reflux Disease) ?
3. Bagaimna tanda dan gejala dari GERD (Gastroesofageal Reflux Disease) ?
4. Bagaimana etiologi dan patogenesis dari GERD (Gastroesofageal Reflux
Disease) ?
5. Bagaimana patofisiologi dari GERD (Gastroesofageal Reflux Disease) ?
6. Bagaimana manifestasi klinik dari GERD (Gastroesofageal Reflux Disease) ?
7. Bagaimana Diagnosis GERD (Gastroesofageal Reflux Disease) ?

1
8. Bagaimana Sistem Skala Gejala GERD berdasarkan Kuesioner ?
9. Bagaimana gambaran Endoskopi GERD (Gastroesofageal Reflux Disease) ?
10. Bagaimana Tatalaksana terapiGERD (Gastroesofageal Reflux Disease)?
11. Seperti apa algoritma terapi GERD (Gastroesofageal Reflux Disease)?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui defenisi GERD (Gastroesofageal Reflux Disease)
2. Untuk mengetahui Epidemiologi dari GERD (Gastroesofageal Reflux
Disease)
3. Untuk mengetahui tanda dan gejala dari GERD (Gastroesofageal Reflux
Disease)
4. Untuk mengetahui etiologi dan patogenesis dari GERD (Gastroesofageal
Reflux Disease)
5. Untuk mengetahui patofisiologi dari GERD (Gastroesofageal Reflux Disease)
6. Untuk mengetahui manifestasi klinik dari GERD (Gastroesofageal Reflux
Disease)
7. Untuk mengetahui Diagnosis GERD (Gastroesofageal Reflux Disease)
8. Untuk mengetahui Sistem Skala Gejala GERD berdasarkan Kuesioner
9. Untuk mengetahui gambaran Endoskopi GERD (Gastroesofageal Reflux
Disease)
10. Untuk mengetahui Tatalaksana terapi GERD (Gastroesofageal Reflux
Disease)
11. Untuk mengetahui algoritma terapi GERD (Gastroesofageal Reflux Disease)

1.4 Metode Penulisan


Metode yang digunakan penulis dalam mencari atau mengumpulkan data
ini menggunakan metode kepustakaan. Dimana metode ini pengumpulan data
dengan cara mengkaji dan menelaah data dari jurnal, buku dan internet.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Gastro-oesophageal reflux disease ( GERD ) adalah salah satu kelainan


yang sering dihadapi di lapangan dalam bidang gastrointestinal. Penyakit ini
berdampak buruk pada kualitas hidup penderita dan sering dihubungkan
dengan morbiditas yang bermakna. Berdasarkan Konsensus Montreal tahun
2006 (the Montreal definition and classification of gastroesophageal reflux
disease : a global evidencebased consensus), penyakit refluks gastroesofageal
(Gastroesophageal Reflux Disease/GERD) didefinisikan sebagai suatu keadaan
patologis sebagai akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus yang
menimbulkan berbagai gejala yang mengganggu (troublesome) di esofagus
maupun ekstra-esofagus dan/atau komplikasi (Vakil dkk, 2006). Komplikasi
yang berat yang dapat timbul adalah Barrets esophagus, striktur,
adenokarsinoma di kardia dan esofagus (Vakil dkk, 2006),(Makmun, 2009).

2.2 Epidemiologi

Sudah sejak lama prevalensi GERD di Asia dilaporkan lebih rendah


dibandingkan dengan di negara-negara Barat. Namun, banyak penelitian
pada populasi umum yang baru-baru ini dipublikasikan menunjukkan
kecenderungan peningkatan prevalensi GERD di Asia. Prevalensi di Asia Timur
5,2 %-8,5 % (tahun 2005-2010), sementara sebelum 2005 2,5%-4,8%; Asia
Tengah dan Asia Selatan 6,3%-18,3%, Asia Barat yang diwakili Turki
menempati posisi puncak di seluruh Asia dengan 20%. Asia Tenggara juga
mengalami fenomena yang sama; di Singapura prevalensinya adalah 10,5%, di
Malaysia insiden GERD meningkat dari 2,7% (1991-1992) menjadi 9% (2000-
2001), sementara belum ada data epidemiologi di Indonesia (Jung, 2009), (Goh
dan Wong, 2006). Di Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FK UI-RSUPN Cipto Mangunkusumo didapatkankasus esofagitis

3
sebanyak 22,8 % dari semua pasien yang menjalani endoskopi atas dasar
dispepsia (Makmun, 2009).

Gambar 2.1. Prevalensi GERD pada Studi berbasis Populasi di Asia.

GERD didefinisikan sebagai mengalami heartburn atau regurgitasi


minimal setiap minggu. Studi dilakukan terhadap subyek yang sedang menjalani
medical check-up. ( Jung, 2011 )

2.3 Tanda dan Gejala


Gejala klinis GERD digolongkan menjadi 3 macam, yaitu gejala tipikal,
gejala atipikal, dan gejala alarm.
1. Gejala tipikal (typical symptom)
Adalah gejala yang umum diderita oleh pasien GERD, yaitu: heart burn,
belching (sendawa), dan regurgitasi (muntah)
2. Gejala atipikal (atypical symptom)
Adalah gejala yang terjadi di luar esophagus dan cenderung mirip dengan
gejala penyakit lain. Contohnya separuh dari kelompok pasien yang sakit
dada dengan elektrokardiogram normal ternyata mengidap GERD, dan
separuh dari penderita asma ternyata mengidap GERD. Kadang hanya gejala
ini yang muncul sehingga sulit untuk mendeteksi GERD dari gejala ini.
Contoh gejala atipikal: asma nonalergi, batuk kronis, faringitis, sakit dada,
dan erosi gigi.
3. Gejala alarm (alarm symptom)
Adalah gejala yang menunjukkan GERD yang berkepanjangan dan
kemungkinan sudah mengalami komplikasi. Pasien yang tidak ditangani
dengan baik dapat mengalami komplikasi. Hal ini disebabkan oleh refluks
berulang yang berkepanjangan. Contoh gejala alarm: sakit berkelanjutan,

4
disfagia (kehilangan nafsu makan), penurunan berat badan yang tidak dapat
dijelaskan, tersedak.

Penting untuk diperhatikan bahwa keparahan gejala tidak selalu berkaitan


dengan keparahan esofagitis, tetapi berkaitan dengan durasi reflux. Pasien dengan
penyakit yang nonerosif dapat menunjukkan gejala yang sama dengan pasien yang
secara endoskopi menunjukkan adanya erosi esophagus.

2.4 Etiologi dan Patogenesis

Terdapat berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya GERD.


Esofagitis dapat terjadi sebagai akibat refluks esofageal apabila : 1). Terjadi
kontak dalam waktu yang cukup lama antara bahan refluksat dengan mukosa
esofagus, 2). Terjadi penurunan resistensi jaringan mukosa esofagus (Makmun,
2009).

Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high
pressure zone) yang dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal sphincter
(LES). Pada individu normal, pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada
saat sendawa ataumuntah. Aliran balik dari gaster ke esofagus melalui LES
hanya terjadi apabila tonus LES tidak ada atau sangat rendah (<3 mmHg)
(Makmun,2009).

Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme :


1). Refleks spontan pada saat relaksasi LES tidak adekuat, 2). Aliran
retrograd yang mendahului kembalinya tonus LES setelah menelan, 3).
Meningkatnya tekanan intra abdomen. Dengan demikian dapat diterangkanbahwa
patogenesis terjadinya GERD menyangkut keseimbangan antara faktor defensif
dari esofagus (pemisah antirefluks, bersihan asam dari lumen esofagus,
ketahanan epitel esofagus) dan faktor ofensif dari bahan refluksat. Faktor-faktor
lain yang turut berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah kelainan di
lambung yang meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, antara lain dilatasi
lambung atau obstruksi gastric outlet dan delayed gastric emptying (Makmun,
2009).

5
Peranan infeksi Helicobacter pylori dalam patogenesis GERD relatif
kecil dan kurang didukung oleh data yang ada. Pengaruh dari infeksi H. pylori
terhadap GERD merupakan konsekuensi logis dari gastritis serta pengaruhnya
terhadap sekresi asam lambung (Makmun, 2009).Tingginya angka infeksi H.
pylori di Asia dengan rendahnya sekresi asam sebagai konsekuensinya telah
dipostulasikan sebagai salah satu alasan mengapa prevalensi GERD di Asia
lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara Barat. Hal tersebut sesuai
dengan yang ditunjukkan pada satu studi di Jepang yang dilakukan oleh Shirota
dkk. Studi yang lain juga membuktikan adanya hubungan terbalik antara derajat
keparahan esofagitis refluks dengan infeksi H. pylori. Hamada dkk
menunjukkan insiden esofagitis refluks yang tinggi setelah eradikasi H.pylori,
khususnya pada pasien gastritis korpus dan mempunyai predisposisi terhadap
refluks hiatus hernia (Goh dan Wong, 2006).

Dalam keadaan di mana bahan refluksat bukan bersifat asam atau gas
(non acid reflux), timbulnya gejala GERD diduga karena hipersensitivitas
viseral (Makmun,2009).

Gambar 2.2Patogenesis terjadinya GERD (Makmun, 2009).

2.5 Patofisiologi

6
Faktor kunci pada perkembangan GERD adalah aliran balik asam atau
substansi berbahaya lainnya dari perut ke esofagus. Pada beberapa kasus, refluks
gastroesofageal dikaitkan dengan cacat tekanan atau fungsi dari sfinkter esofageal
bawah (lower esophageal sphincter/LES). Sfinkter secara normal berada pada
kondisi tonik (berkontraksi) untuk mencegah refluks materi lambung dari perut,
dan berelaksasi saat menelan untuk membuka jalan makanan ke dalam perut.
Penurunan tekanan LES dapat disebabkan oleh
a. Relaksasi sementara LES secara spontan,
b. Peningkatan sementara tekanan intraabdominal, atau
c. LES atonik.

Masalah dengan mekanisme pertahanan mukosa normal lainnya, seperti


faktor anatomik, klirens esofageal (waktu kontak asam dengan mukosa esofageal
yang terlalu lama), resistensi mukosa, pengosongan lambung, epidermal growth
factor, dan pendaparan saliva, juga dapat berkontribusi pada perkembangan
GERD.

Faktor agresif yang dapat mendukung kerusakan esofageal saat refluks ke


esofagus termasuk asam lambung, pepsin, asam empedu, dan enzim pankreas.
Dengan demikian komposisi, pH dan volume refluksat serta durasi pemaparan
adalah faktor yang paling penting pada penentuan konsekuensi refluks
gastroesofageal.

2.6 Manifestasi Klinik

Gejala klinik yang khas dari GERD adalah nyeri/rasa tidak enak di
epigastrium atau retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri dideskripsikan sebagai
rasa terbakar (heartburn), kadang-kadang bercampur dengan gejala disfagia
(kesulitan menelan makanan), mual atau regurgitasi dan rasa pahit di lidah.
Walau demikian derajat berat ringannya keluhan heartburn ternyata tidak
selalu berkorelasi dengan temuan endoskopik. Kadang-kadang timbul rasa tidak
enak retrosternal yang mirip dengan angina pektoris. Disfagia yang timbul
saat makan makanan yang padat mungkin terjadi karena striktur atau

7
keganasan yang berkembang dari Barrets esophagus. Odinofagia bisa muncul
jika sudah terjadi ulserasi esofagus yang berat (Makmun,2009).

Walaupun gejala khas/tipikal dari GERD adalah heartburn atau


regurgitasi, gejala tidak khas ataupun gejala ekstra esofagus juga bisa timbul yang
meliputi nyeri dada non kardiak (non cardiac chest pain/NCCP), suara serak,
laringitis, batuk, asma, bronkiektasis, gangguan tidur, dan lain-lain (Makmun
2009), (Jung, 2009).

Di lain pihak, beberapa penyakit paru dapat menjadi faktor predisposisi


untuk timbulnya GERD karena terjadi perubahan anatomis di daerah
gastroesophageal high pressure zone akibat penggunaan obat-obatan yang
menurunkan tonus LES (Makmun,2009).Asma dan GERD adalah dua keadaan
yang sering dijumpai secara bersaman. Selain itu, terdapat beberapa studi yang
menunjukkan hubungan antara gangguan tidur dan GERD (Jung, 2009).

Walaupun telah disampaikan bahwa heartburn merupakan gejala klasik


dan utama dari GERD, namun situasinya sedikit berbeda di Asia. Di dunia
Barat, kata heartburn mudah dimengerti oleh pasien, sementara tidak ada
padanan kata yang sesuai untuk heartburn dalam mayoritas bahasa-bahasa di
Asia, termasuk bahasa Cina, Jepang, Melayu. Dokter lebih baik menjelaskan
dalam susunan kata-kata tentang apa yang mereka maksud dengan heartburn
dan regurgitasi daripada mengasumsikan bahwa pasien memahami arti kata
tersebut. Sebagai contoh, di Malaysia, banyak pasien etnis Cina dan Melayu
mengeluhkan angin yang merujuk pada dispepsia dan gejala refluks. Sebagai
akibatnya, seperti yang terjadi di Cina, banyak pasien GERD yang salah
didiagnosis sebagai penderita non cardiac chestpain atau dispepsia (Goh dan
Wong, 2006). Walaupun belum ada survei yang dilakukan, berdasarkan
pengalaman klinis sehari-hari, kejadian yang sama juga sering ditemui di
Indonesia.

GERD memberikan dampak negatif pada kualitas hidup pasien,


karena gejala-gejalanya sebagaimana dijelaskan di atas menyebabkan

8
gangguan tidur, penurunan produktivitas di tempat kerja dan di rumah,
gangguan aktivitas sosial.

Short-Form-36-Item (SF-36) Health Survey, menunjukkan bahwa


dibandingkan dengan populasi umum, pasien GERD memiliki kualitas hidup yang
menurun, serta dampak pada aktivitas sehari-hari yang sebanding dengan
pasien penyakit kronik lainnya seperti penyakit jantung kongestif dan artritis
kronik (Hongo dkk, 2007).

2.7 Diagnosis

Secara klinis, diagnosis GERD dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis


dan pemeriksaan klinis yang seksama. Beberapa pemeriksaan penunjang yang
dilakukan untuk menegakkan diagnosis GERD adalah : endoskopi saluran
cerna bagian atas, pemantauan pH 24 jam, tes Bernstein, manometri
esofagus, sintigrafi gastroesofageal, dan tes penghambat pompa proton (tes
supresi asam) (Makmun,2009).

American College of Gastroenterology (ACG) di tahun 2005 telah


mempublikasikan Updated Guidelines for the Diagnosis and Treatment of
Gastroesophageal Reflux Disease, di mana empat di antara tujuh poin yang
ada, merupakan poin untuk diagnosis, yaitu : (Hongo dkk, 2007)

a. Jika gejala pasien khas untuk GERD tanpa komplikasi, maka terapi empiris
(termasuk modifikasi gaya hidup) adalah hal yang tepat. Endoskopi saat
pasien masuk dilakukan jika pasien menunjukkan gejala-gejala
komplikasi, atau berisiko untuk Barrets esophagus, atau pasien dan
dokter merasa endoskopi dini diperlukan. (Level of Evidence : IV)
b. Endoskopi adalah teknik pilihan yang digunakan untuk mengidentifikasi
dugaan Barrets esophagus dan untuk mendiagnosis komplikasi GERD.
Biopsi harus dilakukan untuk mengkonfirmasi adanya epitel Barret dan untuk
mengevaluasi displasia. (Level of Evidence : III)
c. Pemantauan ambulatoar (ambulatory monitoring) esofagus membantu untuk
konfirmasi reluks gastroesofageal pada pasien dengan gejala menetap ( baik

9
khas maupun tidak khas) tanpa adanya kerusakan mukosa; juga dapat
digunakan untuk memantau pengendalian refluks pada pasien tersebut di atas
yang sedang menjalani terapi. (Level of Evidence : III)
d. Manometri esofagus dapat digunakan untuk memastikan lokasi penempatan
probe ambulatory monitoring dan dapat membantu sebelum dilakukannya
pembedahan anti refluks. (Level of Evidence : III)

Sementara itu, pada tahun 2008, American Gastroenterological


Association(AGA) menerbitkan American Gastroenterological Association
Medical Position Statement on the Management of Gastroesophageal Reflux
Disease yang berisi 12 pernyataan, di mana pada poin ke-4 dijelaskan tentang
peran dan urutan prioritas uji diagnostik GERD pada dalam mengevaluasi pasien
dengan sangkaan GERD sebagai berikut : (Hiltz dkk, 2008)

a. Endoskopi dengan biopsi dilakukan untuk pasien yang mengalami gejala


esofagus dari GERD dengan disfagia yang mengganggu. Biopsi harus
mencakup area yang diduga mengalami metaplasia, displasia, atau dalam
hal tidak dijumpainya kelainan secara visual, mukosa yang normal
(minimal 5 sampel untuk esofagitis eosinofilik.)
b. Endoskopi dilakukan untuk mengevaluasi pasien yang mengalami gejala
esofagus dari GERD yang tidak berespon terhadap terapi empiris berupa
PPI 2 kali sehari. Biopsi harus mencakup area yang diduga mengalami
metaplasia, displasia, atau malignansi.
c. Manometri dilakukan untuk mengevaluasi pasien dengan dugaan gejala
GERD yang tidak berespon terhadap terapi empiris berupa PPI 2 kali
sehari dan gambaran endoskopinya normal.
d. Pemantauan dengan ambulatory impedance-pH, catheter-pH, atau wirelesspH
dilakukan (terapi PPI dihentikan selama 7 hari) untuk mengevaluasi
pasien dengan dugaan gejala GERD yang tidak berespon terhadap terapi
empiris berupa PPI 2 kali sehari, gambaran endoskopinya normal dan tidak
memiliki kelainan pada manometri.
2.8 Tatalaksana Terapi

10
Terapi GERD ditujukan untuk mengurangi atau menghilangkan gejala-
gejala pasien, mengurangi frekuensi atau kekambuhan dan durasi refluks
esofageal, mempercepat penyembuhan mukosa yang terluka, dan mencegah
berkembangnya komplikasi.

Terapi diarahkan pada peningkatan mekanisme pertahanan yang mencegah


refluks dan / atau mengurangi faktor-faktor yang memperburuk agresifitas refluks
atau kerusakan mukosa. Secara spesifik, yaitu:

1. Mengurangi keasaman dari refluksat.


2. Menurunkan volume lambung yang tersedia untuk direfluks.
3. Meningkatkan pengosongan lambung.
4. Meningkatkan tekanan LES.
5. Meningkatkan bersihan asam esofagus.
6. Melindungi mukosa esophagus.

Terapi GERD dikategorikan dalam beberapa fase, yaitu:

Fase I : mengubah gaya hidup dan dianjurkan terapi dengan menggunakan


antasida dan/atau OTC antagonis reseptor H2 (H2RA) atau penghambat
pompa proton (PPI).

Fase II : intervensi farmakologi terutama dengan obat penekan dosis tinggi.

Fase III: terapi intervensional (pembedahan antirefluks atau terapi endoluminal).

A. TERAPI NON FARMAKOLOGI

1. Modifikasi Gaya Hidup

a. Mengangkat kepala saat tidur (meningkatkan bersihan esofageal).


Gunakan penyangga 6-10 inchi di bawah kepala. Tidur pada kasur busa.
b. Menghindari makanan yang dapat menurunkan tekanan LES (lemak,
coklat, kopi, kola, teh bawang putih, bawang merah, cabe, alkohol,
karminativ (pepermint, dan spearmint))
c. Menghindari makanan yang secara langsung mengiritasi mukosa esofagus
(makanan pedas, jus jeruk, jus tomat dan kopi)
d. Makan makanan yang tinggi protein (meningkatkan tekanan LES)

11
e. Makan sedikit dan menghindari tidur segera setelah makan (jika mungkin
3 jam) (menurunkan volume lambung)
f. Penurunan berat badan (mengurangi gejala)
g. Berhenti merokok (menurunkan relaksasi spontan sfingter esofagus).
h. Menghindari minum alkohol (meningkatkan amplitudo sfinter esofagus,
gelombang peristaltik dan frekuensi kontraksi).
i. Menghindari pakai pakaian yang ketat.

Menghentikan, jika mungkin, penggunaan obat-obat yang dapat


menurunkan tekanan LES (Antikolinergik, barbiturat, benzodiazepin
(misalnya diazepam), kafein, penghambat kanal kalsium dihidropiridin,
dopamin, estrogen, etanol, isoproterenol, narkotik (meperidin, morfin), nikotin
(merokok) nitrat, fentolamin, progesteron dan teofilin).

Menghentikan, jika mungkin, penggunaan obat-obat yang dapat


mengiritasi secara langsung mukosa esofagus (tetrasiklin, quinidin, KCl,
garam besi, aspirin, AINS dan alendronat).

2. Pendekatan Intervensi

Pembedahan Antirefluks

Intervensi bedah adalah alternatif pilihan bagi pasien GERD yang


terdokumentasi dengan baik. Tujuan pembedahan antirefluks adalah untuk
menegakkan kembali penghalang antirefluks, yaitu penempatan ulang LES, dan
untuk menutup semua kerusakan hiatus terkait. Operasi ini harus dipertimbangkan
pada pasien yang gagal untuk merespon pengobatan farmakologi; memilih untuk
operasi walaupun pengobatan sukses karena pertimbangan gaya hidup, termasuk
usia, waktu, atau biaya obat-obatan; memiliki komplikasi GERD (Barrets
Esophagus/BE, strictures, atau esofagitis kelas 3 atau 4); atau mempunyai gejala
tidak khas dan terdokumentasikan mengalami refluks pada monitoring pH 24-jam.

Terapi Endoluminal

Beberapa pendekatan endoluminal baru untuk pengelolaan GERD baru


saja dikembangkan. Teknik-teknik ini meliputi endoscopic gastroplastic plication,
aplikasi endoluminal radiofrequency heat energy (prosedur Stretta), dan injeksi

12
endoskopik biopolimer yang dikenal sebagai Enteryx pada penghubung
gastroesofageal.

B. TERAPI FARMAKOLOGI

1. Antasida dan Produk Antasida-Asam Alginat


Digunakan untuk perawatan ringan GERD. Antasida efektif
mengurangi gejala-gejala dalam waktu singkat, dan antasida sering digunakan
bersamaan dengan terapi penekan asam lainnya. Pemeliharaan pH intragastrik
di atas 4 dapat menurunkan aktivasi pepsinogen menjadi pepsin, sebuah
enzim proteolitik. Netralisasi cairan lambung juga dapat mengarah pada
peningkatan tekanan LES.
Produk antasid yang dikombinasikan dengan asam alginiat adalah agen
penetral yang tidak ampuh dan tidak meningkatkan tekanan LES, namun
membentuk larutan yang sangat kental yang mengapung di atas permukaan isi
lambung. Larutan kental ini diperkirakan sebagai pelindung penghalang bagi
kerongkongan terhadap refluks isi lambung dan mengurangi frekuensi
refluks.
1. Penekanan Asam dengan Antagonis Reseptor H2 (simetidin, famotidin,
nizatidin, dan ranitidin)

Terapi penekanan asam adalah pengobatan utama GERD. Antagonis


reseptor H2 dalam dosis terbagi efektif dalam mengobati pasien GERD
ringan hingga sedang.

Kemanjuran antagonis reseptor H2 dalam perawatan GERD sangat


bervariasi dan sering lebih rendah dari yang diinginkan. Respons terhadap
antagonis reseptor H2 tampaknya tergantung pada

a. Keparahan penyakit,
b. Regimen dosis yang digunakan, dan
c. Durasi terapi.
2. Proton Pump Inhibitor (PPI) (esomeprazol, lansoprazol, omeprazol,
pantoprazol, dan rabeprazol)

PPI lebih unggul daripada antagonis reseptor H2 dalam mengobati


pasien GERD sedang sampai parah. Ini tidak hanya pada pasien erosif

13
esofagtis atau gejala komplikasi (BE atau striktur), tetapi juga pasien dengan
GERD nonerosif yang mempunyai gejala sedang sampai parah. Kekambuhan
umumnya terjadi dan terapi pemeliharaan jangka panjang umumnya
diindikasikan.

PPI memblok sekresi asam lambung dengan menghambat H+/K+-


triphosphatase adenosin lambung dalam sel parietal lambung. Ini
menghasilkan efek antisekretori yang mendalam dan tahan lama yang mampu
mempertahankan pH lambung di atas 4, bahkan selama lonjakan asam setelah
makan.

PPI terdegradasi dalam lingkungan asam sehingga diformulasi dalam


tablet atau kapsul pelepasan tertunda. Pasien harus diinstruksikan untuk
meminum obat pada pagi hari, 15 sampai 30 menit sebelum sarapan untuk
memaksimalkan efektivitas, karena obat ini hanya menghambat secara aktif
sekresi pompa proton. Jika dosisnya dua kali sehari, dosis kedua harus
diberikan sekitar 10 hingga 12 jam setelah dosis pagi hari dan sebelum makan
atau makan makanan ringan.

3. Agen Promotilitas

Khasiat dari agen prokinetik cisaprid, metoklopramid, dan bethanechol


telah dievaluasi dalam pengobatan GERD. Cisapride memiliki khasiat yang
sebanding dengan antagonis reseptor H2 dalam mengobati pasien esofagitis
ringan, tetapi cisaprid tidak lagi tersedia untuk penggunaan rutin karena efek
aritmia yang mengancam jiwa bila dikombinasikan dengan obat-obatan
tertentu dan penyakit lainnya.

Metoklopramid, antagonis dopamin, meningkatkan tekanan LES, dan


mempercepat pengosongan lambung pada pasien GERD. Tidak seperti
cisapride, metoklopramid tidak memperbaiki bersihan esofagus.
Metoklopramid dapat meredakan gejala GERD tetapi belum ada data
substantial yang menyatakan bahwa obat ini dapat memperbaiki kerusakan
esofagus.

14
Agen prokinetik juga telah digunakan untuk terapi kombinasi dengan
antagonis H2-reseptor. Kombinasi dilakukan pada pasien GERD yang telah
diketahui atau diduga adanya gangguan motilitas, atau pada pasien yang gagal
pada pengobatan dengan penghambat pompa proton dosis tinggi.

5. Protektan Mukosa

Sucralfat, garam aluminium dari sukrosa oktasulfat yang tidak terserap,


mempunyai manfaat terbatas pada terapi GERD. Obat ini mempunyai laju
pengobatan yang sama seperti antagonis reseptor H2 pada pasien esofagitis
ringan tapi kurang efektif dari pada antagonis reseptor H2 dosis tinggi pada
pasien dengan esofagitis refrakter. Berdasarkan data yang ada, sukralfat tidak
direkomendasikan untuk terapi.

2.9 Algoritma Terapi

2.10 Kasus GERD

15
2.10.1 Deskripsi Kasus

Seorang laki laki usia 45 tahun datang ke Poliklinik Penyakit


Dalam dengan keluhan utama dada terasa panas sejak 5 jam yang lalu.
Mual (+) muntah (-). Nyeri dada seperti dihimpit benda berat (-). Pasien
mengatakan keluhan muncul setelah makan nasi goreng 2 porsi. Riwayat
keluhan yang sama + sejak 1 tahun yang lalu. Biasanya pasien meminum
obat-obatan yang di jual bebas di warung seperti Promag, Mylanta jika
keluhan muncul. Tapi saat ini, keluhan tidak berkurang setelah minum
obat-obatan tersebut. Pasien merupakan perokok dan diketahui menderita
penyakit Bronchitis Kronik. Pasien rutin mengkonsumsi Teosal tablet
(Theophylline 150mg + Salbutamol 1 mg) dengan dosis 3x1 tab sejak 6
bulan yang lalu. Riwayat penyakit pasien yang lain, HT +, tidak teratur
minum obat. Riw gagal ginjal tidak diketahui, Riw DM (-).

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang

KU sedang CM TD 150/95 N 86 R 20 T 368 BB 65 kg TB 168 cm

Mata : Konjungtiva Anemis (-) Ikterik (-)

Thorax : Suara Nafas Bronchovesicular, Rh -/- Wh -/- Bunyi


Jantung 1-2 Reguler, Bising (-)

Abdomen : Supel, Distensi (-), Hipertimpani +, Bising Usus +


Normal, Nyeri Tekan + di Epigastrium, Hepar dan Lien Tidak Teraba

Ekstremitas : Akral Hangat, Nadi Kuat

Lab : Hb 10 Leukosit 9500 Hematokrit 31 Trombosit 320.000


SGOT/SGPT 23/13 Ureum/Creatinine 30/1 GDS 110

Endoscopy : Kesan Esofagitis Reflux

2.10.2 Analisa Pembahasan (SOAP)

16
a. Subjektif

Nama : Tn.L
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 45 Tahun
BB/TB : 65 Kg/ 168 Cm
Anamnesis : Dada terasa panas, mual
Riwayat Penyakit : 1. Hipertensi
2. Bronkitis Kronik
Riwayat : 1. Promag dan Mylanta untuk
Pengobatan mengatasi keluhan dada terasa
panas dan mual
2. Teosal tablet untuk mengobati
bronchitis kronik

b. Objektif

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal


Tekanan Darah 150/95 mmHg 120/80 mmHg Hipertensi
Nadi 86 60-100x
Stage 1
Respiratoy 20 12-20
Suhu 36,8 35,8-37
Hb 10 13-16
Leukosit 9500 4000-11000
Hematocrit 31 40-54 Normal
Trombosit 320.000 150.000-440.000
SGOT 23 5-40
SGPT 13 5-41
Ureum 30 15-40
Kreatinin 1 0,5-1,5
GDS 110 <150
c. Assesment
Pasien mengalami hipertensi stage 1 dan mengalami penyakit
GERD berdasarkan pada pemeriksaan fisik dan keluhan pasien.
Pasien mengkonsumsi obat teosal untuk mengobati bronkitis
konik, yang kontraindikasi dengan penyakit GERD

d. Plan
1. Menghindari penyebab GERD
2. Terapi Farmakologi
a. Omeprazole 20-40 mg 1 x sehari selama 8 minggu untuk
mengobati GERD

17
b. Hidroklorotiazid (HCT) 12,5-25 mg/hari, 1 x sehari pada
pagi hari untuk mengurangi tekanan darah pada pasien.
(Depkes RI.2005)
c. Amoxicilin 250-500 mg 3 x sehari untuk mengobati
bronkitis kronik pasien. (Depkes RI.2006)
3. Terapi Non-Farmakologi
a. Mengangkat kepala saat tidur (meningkatkan bersihan
esofageal). Gunakan penyangga 6-10 inchi di bawah kepala.
Tidur pada kasur busa.
b. Menghindari makanan yang dapat menurunkan tekanan LES
(lemak, coklat, kopi, kola, teh bawang putih, bawang merah,
cabe, alkohol, karminativ (pepermint, dan spearmint))
c. Menghindari makanan yang secara langsung mengiritasi
mukosa esofagus (makanan pedas, jus jeruk, jus tomat dan
kopi)
d. Makan makanan yang tinggi protein (meningkatkan tekanan
LES)
e. Makan sedikit dan menghindari tidur segera setelah makan
(jika mungkin 3 jam) (menurunkan volume lambung)
f. Penurunan berat badan (mengurangi gejala)
g. Berhenti merokok (menurunkan relaksasi spontan sfingter
esofagus).
h. Menghindari minum alkohol (meningkatkan amplitudo
sfinter esofagus, gelombang peristaltik dan frekuensi
kontraksi).
i. Menghindari pakai pakaian yang ketat.

2.10.3 Pemilihan Obat Rasional

a. Untuk mengatasi penyakit GERD pasien diberikan obat omeprazole


20-40 mg 1 x sehari yang di minum pada pagi hari 15-30 menit
sebelum sarapan selama 8 minggu.
b. Untuk mengontrol tekanan darah pasien diberikan obat
Hidroklorotiazid (HCT) 12,5-25 mg/hari, 1 x sehari pada pagi hari
sampai tekanan darah pasien normal.

18
c. Untuk penanganan pada bronkitis kronik diberikan obat amoxicilin
250-500 mg 3 x sehari.

2.10.4 Monitoring Follow Up

1 Pemantauan efek terapi obat


2 Pemantauan efek samping obat
3 Pemantauan penggunaan obat dan kepatuhan pasien
4 Pemantauan tekanan darah

2.10.5 Komunikasi Informasi dan Edukasi Pasien

1 Menjelaskan aturan pakai obat dan efek samping obat


2 Menjelaskan cara-cara mengatasi efek samping obat
3 Memberikan penjelasan mengenai tekanan darahnya dan perlunya
dilakukan pemantauan.
4 Untuk menjaga daya tahan tubuh disarankan olahraga teratur, makan
makanan yang bergizi dan istirahat yang cukup.

2.11Jawaban Pertanyaan
1 Pada saat pemantauan pH pada kerongkongan pasien, pada pH range
berapa dapat dikatakan pasien tersebut menderita GERD ? Dan apa
kaitannya penyakit asam lambung ini dengan sistem pernafasan ?
Jawab :
Pada pH <4, karena pada pH dibawah dari 4 akan terjadi
kerusakan mukosa pada kerongkongan.
Hubungan penyakit GERD dan sistem pernafasan adalah pada
penderita GERD menimbulkan aliran balik dari lambung ke
kerongkongan. Sehingga pada penderita GERD terjadi sesak nafas di
picu oleh hal-hal yang meningkatkan asam lambung. Seperti saat
terlambat makan dan stress.

2 Apa perbedaan GERD dengan penyakit maag ?


Jawab :

19
Maag adalah rasa sakit atau keluhan yang tidak nyaman yang
terjadi diseputar saluran cerna bagian atas yang disebut ulu hati.
Sedangkan GERD adalah keluhan atau rasa yang tidak nyaman pada
saluran cerna bagian atas yang disebabkan oleh naiknya asam lambung
yang keluar dari area lambung ke kerongkongan.

3 Apa faktor resiko seseorang terkena penyakit GERD ?


Jawab :
Beberapa kondisi yang meningkatkan resiko terkena GERD, antara lain:
1) Asma
2) Diabetes
3) Obesitas (kegemukan)
4) Kehamilan
5) Merokok
6) Mulut atau bibir kering
7) Tertundanya pengosongan lambung

4 Apabila penyakit GERD ini tidak cepat ditangani, apa yang akan
terjadi?
Jawab :
GERD yang tidak diterapi dengan baik dapat menyebabkan
penyakit komplikasi antara lain penyempitan kerongkongan, perdarahan
kerongkongan dan kondidi yang disebut Barretts esofagus. Jika hal ini
terjadi, perjalanan penyakit berhubungan dengan kanker kerongkongan.

5 Apa alasan dari kelompok penyaji memilih obat-obat pada penyelesaian


kasus tersebut ?

Jawab :
Alasan kami memilih obat Hiroklorotiazid (HCT) untung
pengobatan anti hipertensi pada pasien, karena menurut Dinkes 2006
obat tersebut merupakan obat lini pertama yang diberikan pada pasien.
Dan obat tersebut tidak di kontraindikasikan pada pasien.
Kami memilih obat omeprazole untuk pengobatan GERD
pasien, karena omeprazol termasuk dalam golongan PPI yang paling
aman dan cocok bagi pasien.

20
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1 Gastroesophageal Reflux Disease (GERD/Penyakit Refluks Gastroesofageal)
adalah suatu keadaan patologis yang disebabkan oleh kegagalan dari
mekanisme antireflux untuk melindungi mukosa esophagus terhadap refluks
asam lambung dengan kadar yang abnormal dan paparan yang berulang.
2 Gejala klinis GERD terdiri dari :
a Gejala Tipikal (typical Symptom)
b Gejala Atipikal (atypical Symptom)
c Gejala Alarm (alarm Symptom)
3 Terapi GERD dikategorikan dalam beberapa fase, yaitu:
a. Fase I: mengubah gaya hidup dan dianjurkan terapi dengan
menggunakan antasida dan/atau OTC antagonis reseptor H2 (H2RA) atau
penghambat pompa proton (PPI).
b. Fase II : intervensi farmakologi terutama dengan obat penekan
dosis tinggi.
c. Fase III : terapi intervensional (pembedahan antirefluks atau terapi
endoluminal).

3.2 Saran
Demi sempurnanya makalah ini kami mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca agar makalah ini bisa menjadi lebih baik untuk
selanjutnya.

21
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2009, ISO Farmakoterapi, ISFI Penerbitan, Jakarta


Asroel, H. A., 2002. Penatalaksanaan Radioterapi pada Karsinoma Nasofaring.
Bagian THT Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Depkes RI. 2005. Pharmacetical Care Untuk Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan.
Jakarta
Depkes RI. 2006. Pharmacetical Care Untuk Penyakit Infeksi Hipertensi. Jakarta
Dipiro, Joseph T., dkk. 2005. Pharmacotherapy. Texas : MC GRAW HILL
Goh, K.L., Wong, C.H. ,2006 Gastrooesophageal Reflux Disease: An Emerging
Disease in Asia. Journal Gastroenterol Hepatol
Hongo, M., Kinoshita, Y., Shimozuma, K., Kumagai, Y., Sawada, M., Nii, M.,
2007, Psychometric validation of Japanese translation of the quality of life
in reflux and dyspepsia questionnaire in patient with heartburn, Journal
Gastroenterol
Jung, H.K., 2011 Epidemiology of Gastroesophageal Reflux Disease in Asia: A
systematic Review, Journal Neurogastroenterol Motil

22

Anda mungkin juga menyukai