NEFROTIK SINDROM
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Keperawatan Anak II
Dosen Pengampu :
Disusun Oleh :
Kelompok 7
Maemunah CKR0180137
2020-2021
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulillah kita panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua yang berupa ilmu dan amal. Berkat rahmat dan
hidayah-Nya pula, kami dapat menyelesaikan makalah Keperawatan Anak II yang berjudul
NEFROTIK SYNDROME yang Insyaa Allah tepat pada waktunya.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini tidak akan tuntas tanpa adanya
bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini saya
mengucapkan terima kasih, khususnya kepada: Bapak Ns. Nanang Saprudin S.Kep., M.Kep
selaku dosen pembimbing.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Untuk itu,
kririk dan saran sangat dibutuhkan untuk dijadikan pedoman dalam penulisan ke arah yang lebih
baik lagi. Semoga makalah ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua.
Penulis
i
DAFTAR ISI
BAB I
1.1
1.2
1.3
1.4
BAB II
BAB III
3.1
3.2
3.3
3.4
3.5
BAB IV
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
5. Bagaimana pemeriksaan penunjang pada nefrotik sindrom?
6. Bagaimana penatalaksanaan medis pada nefrotik sindrom?
7. Apa saja komplikasi dari nefrotik sindrom?
8. Apa saja diagnosa banding dari nefrotik sindrom?
9. Bagaimana asuhan keperawatan pada klien dengan nefrotik sindrom?
2
BAB II
LAPORAN PENDAHULUAN
2.1 Definisi
Sindrom Nefrotik (SN) adalah kelainan ginjal terbanyak dijumpai pada anak, dengan
angka kejadian 15 kali lebih banyak dibandingkan orang dewasa. Insidennya sekitar 2-
3/100.000 anak per tahun, dan sebagian besar anak SN merupakan tipe sensitif terhadap
pengobatan steroid yang dimasukkan sebagai kelainan minimal. Sindrom Nefrotik adalah
gangguan ginjal yang terjadi akibat tubuh melepaskan banyak protein ke dalam urin.
Penyakit ini mengurangi jumlah protein dalam darah dan mempengaruhi cara tubuh
menyimbangan air. Sehingga penderita Sindrom Nefrotik perlu memilih makanan dan
minuman yang akan dikonsumsi untuk mencegah kompikasi
Sindrom nefrotik adalah keadaan klinis yang disebabkan oleh kerusakan glomerulus
karena ada peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein plasma menimbulkan
proteinuria, hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan edema (Betz & Sowden, 2009). Sindrom
nefrotik adalah penyakit dengan gejala edema, proteinuria, hipoalbuminemia, dan
hiperkolesterolemia. Kadang-kadang terdapat hematuria, hipertensi dan penurunan fungsi
ginjal (Nurarif & Kusuma, 2013).
Berdasarkan pengertian di atas, sindrom nefrotik pada anak merupakan kumpulan gejala
yang terjadi pada anak dengan karakteristik proteinuria, hipoalbuminemia, hyperlipidemia
yang disertai edema. Sindrom nefrotik paling banyak terjadi pada anak umur 3-4 tahun
dengan perbandingan 1 : 2 pada pasien wanita dan pria.
2.2 Etiologi
Menurut Nurarif & Kusuma (2013), penyebab sindrom nefrotik yang pasti belum
diketahui. Akhir-akhir ini dianggap sebagai suatu penyakit autoimun, yaitu suatu reaksi
antigen antibody. Umumnya etiologi dibagi menjadi :
3
- Prognosis buruk dan biasanya pasien meninggal pada bulan-bulan pertama
kehidupannya
b. Sindrom Nefrotik Sekunder
Disebabkan oleh :
- Malaria quartana atau parasit lainnya
- Penyakit kolagen seperti SLE, purpura anafilaktoid
- Glomerulonephritis akut atau glomerulonephritis kronis, thrombosis vena renalis
- Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, sengatan lebah,
racun otak, air raksa
- Amyloidosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis membraneproliferatif
hipokomplmentemik
c. Sindrom Nefrotik Idiopatik
Merupakan sindrom nefrotik yang tidak diketahui penyebabnya atau juga disebut
sinfrom nefrotik primer. Berdasarkan histopatologis yang tamak pada biopsy ginjal
dengan pemeriksaan mikroskopi biasa dan mikroskopi electron. Charge dkk membagi
dalam 4 golongan yaitu kelainan minimal, nefropati membranosa, glomerulonephritis
prolferatif, glomerulosklerosis fokal segmental.
1) Edema
2) Oliguria
3) Tekanan darah normal
4) Proteinuria sedang sampai berat
5) Hipoproteinemia dengan rasio albumin dan globulin tebalik
6) Hiperkolesterolemia
7) Ureum/kreatinin darah normal atau meninggi
8) Beta 1C globulin (C3) normal
9) Malaise ringan dan nyeri perut
10) Bila edema berat, dapat timbul dypsneu akibat efusi pleura
2.4 Patofisiologi
4
Podositopati akibat proses imunologi ini dimediasi oleh mediator imun seperti sel
T, zat vasoaktif, aktifitas komplemen (C5b9), Interleukin (IL)13, dan cardiotropinlike
cytokine1 (CLC1). Seluruh mediator imun ini menyebabkan peningkatan permeabilitas
glomerulus dan kerusakan podosit oleh aktifitas Complement Membrane Attact (C5b9).
Selain itu, sitokin yang dihasilkan pada proses imun ini menimbulkan katabolisme
proteoglikan heparin sulfat pada dinding kapiler glomerulus. Akibatnya, dinding kapiler
glomerulus yang tadinya bermuatan negatif menjadi bermuatan positif sehingga protein
yang bermuatan negatif dapat melewati dinding glomerulus dan keluar di urin
(proteinuria terjadi secara charge selectivity).
Ada dua teori yang dapat menerangkan terjadinya edema pada Sindrom Nefrotik
yaitu teori underfill dan overfill. Pada teori underfill, penyebab utama edema adalah
hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia menyebabkan tekanan onkotik plasma menurun
sehingga permeabilitas pembuluh darah meningkat. Cairan dari ruang intravascular akan
bergeser ke jaringan interstisial sehingga terjadi edema di jaringan dan hipovolemia
intravaskular. Hipovolemia intravaskular selanjutnya menyebabkan perfusi ke ginjal
menurun. Ginjal akan mengkompensasi keadaan ini dengan mengaktifkan sistem renin
angiotensin aldosteron (RAA). Sistem RAA bekerja untuk meretensi natrium dan air
dengan cara meningkatkan reabsorbsi natrium dan air. Retensi natrium dan air
menyebabkan dilusi (pengenceran) protein plasma yang justru akan memperburuk
keadaan hypoalbuminemia, menurunkan tekanan onkotik plasma dan memperberat
edema. Pada teori overfill, penyebab utama edema adalah defek pada ginjal yang
menyebabkan retensi natrium dan air. Retensi tersebut akan meningkatkan tekanan
hidrostatik kapiler dan transudasi cairan intravaskuler ke rongga interstisial sehingga
terjadi edema.
5
Pathway Nefrotik Sindrom
Gangguan keseimbangan
Penurunan fungsi ginjal
asam basa
Permeabilitas glomerular
Kebocoran plasma yang Mual, anoreksia
meningkat
masuk ke interestisial
Hipoalbuminemia
IgG menurun
Kelemahan karena edema
yang berat Tek. Osmotic plasma menurun
Sel imun tertekan
Edema
Kerusakan jaringan
epidermis dan dermis
Kelebihan volume cairan
Terjadi kemerahan
Kerusakan
Turgor kulit jelek
integritas kulit
6
2.5 Pemeriksaan Penunjang
Menurut Betz & Sowden (2009), pemeriksaan penunjang pada sindrom nefrotik yaitu
sebagai berikut :
1. Uji Urine
a. Urinalisis : proteinuria (dapat mencapai lebih dari 2 g/m 2/hari) bentuk hialin dan
granular, hematuria
b. Uji dipstick urine : hasil positif untuk protein dan darah
c. Berat jenis urine : meningkat palsu karena proteinuria
d. Osmolalitas urine : meningkat
2. Uji Darah
a. Kadar albumin serum : menurun (kurang dari 2 g/dl)
b. Kadar kolesterol serum : meningkat (dapat mencapai 450 – 1000 mg/ul)
c. Kadar trigliserid serum : meningkat
d. Kadar hemoglobin dan hematokrit : meningkat
e. Hitung trombosit : meningkat (mencapai 500.000 – 1.000.000/ul)
f. Kadar elektrolit serum : bervariasi sesuai dengan keadaan penyakit perorangan
3. Uji Diagnostik
Biopsi ginjal (tidak dilakukan secara rutin)
Pengobatan sindrom nefrotik terdiri dari pengobatan spesifik yang ditujukan terhadap
penyakit dasar dan pengobatan non-spesifik untuk mengurangi proteinuria, mengontrol
edema dan mengobati komplikasi. Etiologi sekunder dari sindrom nefrotik harus dicari dan
diberi terapi, dan obat-obatan yang menjadi penyebabnya disingkirkan.
a. Diuretic
Diuretic kuat (loop diuretic) misalnya furosemide (dosis awal 20-40 mg/hari) atau
golongan tiazi dengan atau tanpa kombinasi dengan potassium sparing diuretic
(spironolakton) digunakan untuk mengobati edema dan hipertensi. Penurunan berat
badan tidak boleh melebihi 0,5 kg/hari.
b. Diet
Diet untuk pasien sindrom nefrotik adalah 35 kal/kg BB/hari, sebagian besar
terdiri dari karbohidrat. Diet rendah garam (2-3 gr/hari), rendah lemak harus diberikan.
Pembatasan asupan protein 0,8-1,0 gr/kgBB/hari dapat mengurangi proteinuria.
Tambahan vitamin D dapat diberikan ketika pasien mengalami kekurangan vitamin ini.
c. Terapi antikoagulan
Bila didiagnosisi adanya peristiwa thromboembolism, terapi antikoagulan dengan
heparin harus dimulai. Jumlah heparin yang dperlukan untuk mencapai waktu
7
tromboplastin parsial (PTT) terapeutik mungkin meningkat karena adanya penurunan
jumlah antitrombin III. Setelah terapi heparin intravena, antikoagulasi oral dengan
warfarin dilanjutkan sampai sindrom nefrotik dapat diatasi.
d. Terapi obat
Terapi khusus untuk sindrom nefrotik adalah pemberian kortikosteroid yaitu
prednisone 1-1,5 mg/kgBB/hari dosis tunggal pagi hari selama 4-6 minggu. Kemudian
dikurangi 5 mg/minggu sampai tercapai dosis maintenance (5-10 mg) kemudian
diberikan 5 mg selang sehari dan dihentikan dalam 1-2 minggu. Bila pada saat tapering
off, keadaan penderita memburuk kembali (timbul edema, proteinuria), diberikan
kembali full dosis selama 4 minggu kemudian tapering off kembali.
Obat antiradang nonsteroid (NSAID) telah digunakan pada pasien dengan
nefropati membranosa dan glomerulosklerosis fokal untuk mengurangi sintesis
prostaglandin yang menyebabkan dilatasi. Ini menyebabkan vasokontriksi ginjal,
pengurangan tekanan intraglomerulus, dan dalam banyak kasus penurunan proteinuria
sampai 75. Sitostatika diberikan bila dengan pemberian prednisone tidak ada respon,
kambuh yang berulang kali atau timbul efek samping kortikosteroid. Dapat diberikan
siklofosfamid 1,5 mg/kgBB/hari.
Obat penurun lemak golongan statin seperti simvastatin, pravastatin dan lovastatin
dapat menurunkan kolesterol LDL, trigliserida dan meningkatkan kolesterol HDL. Obat
anti proteinurik misalnya ACE inhibitor (Captopril 12,5 mg), kalsium antagonis
(Herbeser 180 mg) atau beta bloker. Obat penghambat enzim konversi angiotensin
(angiotensin converting enzyme inhibitors) dan antagonis reseptor angiotensin II dapat
menurunkan tekanan darah dan kombinasi keduanya mempunyai efek aditif dalam
menurunkan proteinuria.
2.7 Komplikasi
8
g. Infeksi
Pasien sindrom nefrotik sangat rentan terhadap infeksi. Infeksi yang terutama adalah
selulitis dan peritonitis primer. Peritonitis primer biasanya disebabkan oleh kuman Gram
negatif dan Streptococcus pneumoniae Infeksi lain yang sering ditemukan pada anak
dengan SN adalah pnemonia dan infeksi saluran napas atas karena virus.
h. Hiperlipidemia
Pada SN relaps atau resisten steroid terjadi peningkatan kadar LDL dan VLDL kolesterol,
trigliserida dan lipoprotein, sedangkan kolesterol HDL menurun atau normal. Zat-zat
tersebut bersifat aterogenik dan trombogenik, sehingga meningkatkan morbiditas
kardiovaskular dan progresivitas glomerulosklerosis.
i. Hipokalsemia
Pada SN dapat terjadi hipokalsemia karena:
- Penggunaan steroid jangka panjang yang menimbulkan osteoporosis dan osteopenia
- Kebocoran metabolit vitamin D2
j. Hipertensi
Hipertensi dapat ditemukan pada awitan penyakit atau dalam perjalanan penyakit SN
akibat toksisitas steroid.
k. Efek samping steroid yang tidak diinginkan
Pemberian steroid jangka lama akan menimbulkan efek samping yang signifikan,
karenanya hal tersebut harus dijelaskan kepada pasien dan orangtuanya. Efek samping
tersebut meliputi peningkatan napsu makan, gangguan pertumbuhan, perubahan perilaku,
peningkatan risiko infeksi, retensi air dan garam, hipertensi, dan demineralisasi tulang.
9
proteinuria masif dan hipercolestrolemia. Gejala klinik yang lain berupa kelainan
congenital pada muka seperti hidung kecil, jarak kedua mata lebar, telinga letaknya lebih
rendah dari normal. Prognosis jelek dan meninggal Karena infeksi sekunder atau
kegagalan ginjal. Salah satu cara untuk menemukan kemungkinan kelainan ini secara dini
adalah pemeriksaan kadar alfa feto protein cairan amnion yang biasanya meninggi.
c. Glomerulonephritis Akut
Glomerulonefritis akut juga disebut dengan glomerulonefritis akut post sterptokokus
(GNAPS) adalah suatu proses radang non-supuratif yang mengenai glomerulus, sebagai
akibat infeksi kuman streptokokus beta hemolitikus grup A, tipe nefritogenik di tempat
lain. Penyakit ini sering mengenai anak-anak. Glomerulonefritis akut (GNA) adalah suatu
reaksi imunologis pada ginjal terhadap bakteri atau virus tertentu. Glomerulonefritis
merupakan suatu istilah yang dipakai untuk menjelaskan berbagai ragam penyakit ginjal
yang mengalami proliferasi dan inflamasi glomerulus yang disebabkan oleh suatu
mekanisme imunologis.
Kumpulan gambaran klinis yang klasik dari glomerulonefritis akut dikenal dengan
sindrom nefritik akut.
1) Infeksi Streptokokus Riwayat klasik didahului (10-14 hari) oleh faringitis,
tonsilitis atau infeksi kulit (impetigo).Data-data epidemiologi membuktikan,
bahwa prevalensi glomerulonefritis meningkat mencapai 30% dari suatu epidemi
infeksi saluran nafas. Insiden glomerulonefritis akut pasca impetigo relatif rendah,
sekitar 5-10%.
2) Gejala-gejala umum
Glomerulonefritis akut pasca streptokokus tidak memberikan keluhan dan ciri
khusus. Keluhan-keluhan seperti anoreksia, lemah badan, tidak jarang disertai
panas badan, dapat ditemukan pada setiap penyakit infeksi.
3) Keluhan saluran kemih
Hematuria makroskopis (gross) sering ditemukan, hampir 40% dari semuapasien.
Hematuria ini tidak jarang disertai keluhan-keluhan seperti infeksi saluran kemih
bawah walaupun tidak terbukti secara bakteriologis. Oligouria atau anuria
merupakan tanda prognosis buruk pada pasien dewasa.
4) Hipertensi
Hipertensi sistolik dan atau diastolik sering ditemukan hampir pada semua pasien.
Hipertensi biasanya ringan atau sedang, dan kembali normotensi setelah terdapat
diuresis tanpa pemberian obat-obatan antihipertensi. Hipertensi berat dengan atau
tanpa ensefalopati hanya dijumpai pada kira-kira 5-10% dari semua pasien.
5) Edema dan bendungan paru akut
Hampir semua pasien dengan riwayat edema pada kelopak mata atau pergelangan
kaki bawah, timbul pagi hari dan hilang siang hari. Bila perjalanan penyakit berat
dan progresif, edema ini akan menetap atau persisten, tidak jarang disertai dengan
asites dan efusi rongga pleura.
10
Pada penderita glomerulonefritis akut dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium
untuk menunjang diagnosis. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut
ini:
- Pemeriksaan urinalisis dilihat dari segi makroskopis, mikroskopis dan kimia urin →
pada glomerulonefritis poststreptococcal sering didapatkan hematuria makroskopis,
jumlah urin berkurang, berat jenis urin meninggi, ada proteinuria (albuminuria +),
eritrosit (+), leukosit (+), dan sedimen urin berupa silinder leukosit, eritorsit, hialin,
dan berbutir.
- Leukosit PMN ( Polymorphonuclear ) dan sel epitel renal biasanya ditemukan pada
pasien glomerulonefritis post streptococcal pada fase awal.
- Penentuan titer ASTO ( Antibody Streptolisin Titer O) mungkin kurang membantu
karena titer ini jarang meningkat beberapa hari pasca infeksi streprococcus, terutama
yang kena di kulit (impetigo). Penentuan titer antibodi tunggal yang paling baik
untuk glomerulonefritis post streptococcal adalah dengan Tes antideoksiribonuklease
B, yakni mengukur titer terhadap antigen DNAse B.
- Uji Streptozime yang merupakan suatu prosedur agglutination slide yang
mendeteksi antibodi terhadap streptolisin O, DNAse B, hialuronidase, streptokinase
dan NADase.
- Darah lengkap untuk mengetahui kadar protein darah (albumin serum rendah),
kreatinin serum (meninggi), ureum serum, elektroilit (hiperkalemia, hiperfosfatemia,
hipokalsemia), pH darah (asidosis), eritrosit, leukosit, trombosit, dan Hb (menurun).
- Kadar LED meninggi.
- Kadar komplemen C3, pada pasien glomerulonefritis pascastreptococcus didapatkan
90% kadar komplemen C3 rendah. Kadar ini diperiksa sejak 2 minggu pertama sakit.
11
BAB III
3.1 Pengkajian
A. Anamnesa
Anamnesa biasa juga disebut wawancara adalah menanyakan atau tanya jawab
antara perawat dengan klien yang berhubungan dengan masalah yang dihadapi klien dan
merupakan suatu komunikasi yang direncanakan. Dalam berkomunikasi ini perawat
mengajak klien dan keluarga untuk bertukar pikiran dan perasaannya yang diistilahkan
tehnik komunikasi terapeutik.
Dalam melakukan anamnesa, perawat mengkaji :
1. Identitas klien dan penanggungjawab
Meliputi nama, umur, pendidikan, suku bangsa, pekerjaan, agama, alamat, status
perkawinan, ruang rawat, nomor medical record, diagnose medic, yang mengirim,
cara masuk, alas an masuk, keadaan umum dan tanda-tanda vital.
2. Keluhan utama
Keluhan utama yang dirasakan pasien pada saat dilakukan pengkajian.
3. Riwayat kesehatan sekarang
Menunjukkan tanda dan gejala penyakit yang diderita.
4. Riwayat kesehatan dahulu
Apakah sebelumnya pasien pernah mengalami sakit serupa ataupun penyakit lainnya.
5. Riwayat kesehatan keluarga
Apakah dalam keluarga ada yang memilki penyakit keturunan atau tidak.
6. Riwayat Psikososial
Meliputi kemampuan klien dalam mengenal masalah kesehatannya saat ini, konsep
diri klien, sumber stress, mekanisme koping, dan kebiasaan atau pengaruh budaya
terhadap suatu masalah kesehatan.
7. Pola Aktivitas
Mengkaji pola nutrisi klien, bagaimana personal hygiene klien, pola eliminasi, pola
istirahat/tidur, dan pola latihan/olahraga.
B. Pemeriksaan Fisik
a. Penampilan umum : Kondisi umum klien dan tingkat kesadaran (GCS)
b. Tanda-tanda vital : Meliputi tekanan darah, nadi, suhu, dan respirasi
c. Pemeriksaan Head to Toe : Pemeriksaan yang dilakukan oleh perawat dari ujung
kepala sampai ujung kaki klien meliputi inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi.
d. Pemeriksaan Persistem : Pemeriksaan yang dilakukan oleh perawat kepada klien per
sistem yang ada dalam tubuh manusia, seperti :
Sistem pernafasan : Kaji pola nafas klien, adakah suara nafas yang abnormal
(wheezing atau ronkhi), retraksi dada dan cuping hidung.
12
Sistem kardiovaskuler : Irama dan kualitas nadi, bunyi jantung, ada tidaknya
sianosis, dan diaphoresis.
Sistem persarafan : Kaji tingkat kesadaran, tingkah laku (mood, kemampuan
intelektual, proses pikir), kaji pula fungsi sensori, fungsi motoric dan fungsi pupil.
Sistem gastrointestinal : Auskultasi bising usus, palpasi adanya hepatomegaly
atau splenomegaly, adakah mual muntah dan kaji kebiasaan eliminasi.
Sistem perkemihan : Kaji frekuensi BAK, warna, karakteristik dan jumlahnya.
C. Pemeriksaan Diagnostik
1. Uji urine
a) Protein urin – meningkat
b) Urinalsisis – cast hialin dan granular, hematuria
c) Dipstick urin – positif untuk protein dan darah
d) Berat jenis urin - meningkat
2. Uji darah
a) Albumin serum – menurun
b) Kolesterol serum – meningkat
c) Hemoglobin dan hematocrit – meningkat (Hemokonsentrasi)
d) Laju endap darah (LED) – meningkat
e) Elektrolit serum – bervariasi dengan keadaan penyakit perorangan
3. Uji diagnostic
Biopsy ginjal merupakan uji diagnostic yang tidak dilakukan secara rutin.
D. Analisa Data
Analisa data merupakan metode yang dilakukan perawat untuk mengkaitkan data
klien serta menghubungkan data tersebut dengan konsep teori dan prinsip yang relevan.
Analisa data bertujuan untuk membuat kesimpulan dalam menentukan masalah kesehatan
dan keperawatan pasien sehingga membantu perawat dalam menentukan diagnosa
keperawatan.
Terdapat 2 jenis data yang diperoleh dari analisa data, diantaranya yaitu :
1. Data subjektif
Yaitu data yang diperoleh dari keluhan klien atau keluarga klien ataupun pendamping
klien pada saat anamnesa/wawancara.
2. Data objektif
Yaitu data yang diperoleh melalui suatu pengukuran, pemeriksaan, dan pengamatan
perawat. Misalnya suhu tubuh, tekanan darah, warna kulit, dll.
a. Kelebihan volume cairan tubuh berhubungan dengan akumulasi cairan dalam jaringan
b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan turgor kulit
13
c. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
d. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual,
muntah dan anoreksia
e. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi mengenai proses
penyakit
f. Ketakutan anak berhubungan dengan tindakan keperawatan
g. Resiko infeksi berhubungan dengan menurunnya respon imun
3.3 Intervensi
a. Kelebihan volume cairan tubuh berhubungan dengan akumulasi cairan dalam jaringan
Tujuan : Pasien tidak menunjukkan bukti-bukti akumulasi cairan atau bukti-bukti
akumulasi cairan yang ditunjukkan pasien minimum.
Kriteria Hasil :
- Berat badan ideal
- Tanda-tanda vital dalam batas normal
- Asites dan edema berkurang
- Berat jenis urin dalam batas normal
Intervensi :
Intervensi :
14
3) Mobilisasi pasien setiap 2 jam sekali
4) Monitor kulit akan adanya kemerahan
5) Oleskan lotion atau minyak baby oil pada daerah yang tertekan
6) Memandikan pasien dengan sabun dan air hangat
c. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
Tujuan : Anak dapat melakukan aktivitas sesuai dengan kemampuan dan mendapatkan
istirahat dan tidur yang adekuat.
Kriteria Hasil : Anak mampu melakukan aktivitas dan latihan secara mandiri
Intervensi :
1) Pertahankan tirah baring awal bila terjadi edema berat
2) Seimbangkan istirahat dan aktivitas bila ambulasi
3) Rencanakan dan berikan aktivitas tenang
4) Instruksikan anak untuk istirahat bila ia mulai merasa lelah
d. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual, muntah
dan anoreksia
Tujuan : Kebutuhan nutrisi terpenuhi
Kriteria Hasil :
- Tidak terjadi mual muntah
- Menunjukkan masukan yang adekuat
- Mempertahankan berat badan
Intervensi :
15
Kriteria Hasil : Informasi mengenai proses penyakit bertambah
Intervensi :
1) Kaji pengetahuan orangtua tentang penyakit dan keperawatannya
2) Identifikasi kebutuhan terhadap informasi tambahan mengenai perilaku promosi
kesehatan atau program terapi (misal mengenai diit)
3) Berikan waktu kepada pasien untuk mengajukan pertanyaan
4) Gunakan berbagai strategi penyuluhan
g. Resiko infeksi berhubungan dengan menurunnya respon imun
Tujuan : Anak tidak menunjukkan bukti-bukti infeksi
Kriteria Hasil :
- Hasil laboratorium normal
- Tanda-tanda vital stabil
- Tidak ada tanda-tanda infeksi
Intervensi :
3.4 Implementasi
3.5 Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan yang bertujuan untuk menilai
apakah tindakan keperwatan yang telah dilakukan tercapai atau tidak untuk mengatasi suatu
masalah. Pada tahap evaluasi, perawat dapat mengetahui seberapa jauh diagnosa
keperawatan, rencana tindakan dan pelaksanaan yang telah tercapai.
16
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Sindrom Nefrotik adalah gangguan ginjal yang terjadi akibat tubuh melepaskan banyak
protein ke dalam urin. Penyakit ini mengurangi jumlah protein dalam darah dan
mempengaruhi cara tubuh menyimbangan air. Sehingga penderita Sindrom Nefrotik perlu
memilih makanan dan minuman yang akan dikonsumsi untuk mencegah kompikasi.
Diagnosis sindrom nefrotik ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang seringkali ditandai
dengan edema yang timbul pertama kali pada daerah sekitar mata dan ekstremitas bagian
bawah. Tujuan utama terapi sindrom nefrotik adalah mencegah kebocoran pada glomerulus.
Oleh karena itu diberikan kortikosteroid (prednison) sampai terjadi remisi yaitu keadaan
protein dalam urin menjadi negatif atau trace. Hilangnya protein dalam urin merupakan
indikator keberhasilan pengobatan Sindrom Nefrotik. Apabila remisi tidak tercapai disebut
sebagai Sindrom Nefrotik Resisten Steroid.
4.2 Saran
Tujuan pengobatan pasien Sindrom nefrotik adalah mencapai remisi dan mencegah
komplikasi. Oleh karena itu perlu kerjasama klinisi dan keluarga pasien. Sangat penting
edukasi yang baik dan benar untuk pasien Sindrom nefrotik dan keluarganya sehingga
kesadaran pasien untuk berobat tetap tinggi. Selain itu, perlunya peran serta pemerintah
dalam menjamin ketersediaan obat ini sehingga pasien bisa mendapatkan terapi dengan
mudah dan terjangkau.
17
DAFTAR PUSTAKA
Linda Dwi Maharani.(2017). Asuhan Keperawatan pada Pasien Sindrom Nefrotik. Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas Muhammadiyah Purwokerto
Mansjoer, Arif., Kuspuji Triyanti., dll.(2000). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga Jilid 2.
Jakarta : Media Aesculapios Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Manalu, Erida. Sindrom Nefrotik Resisten Steroid. Jurnal Ilmiah WIDYA Volume 5 Nomor 3
Januari - Juli (2019). Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia, Jakarta
https://www.academia.edu/37624455/Komplikasi_Sindroma_Nefrotik
https://www.academia.edu/9465030/Sindroma_Nefrotik
18