Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. IDENTIFIKASI

1. Definisi Identifikasi

Identifikasi forensik memiliki arti penetapan identitas seseorang

berdasarkan ilmu kedokteran yang dilakukan berdasarkan fakta-fakta medis.

Identifikasi forensik merupakan upaya yang dilakukan dengan tujuan

membantu penyidik untuk menentukan identitas seseorang. Identifikasi dari

tubuh yang tak dikenal, baik hidup ataupun mati, dapat dilakukan bagi

kepentingan penyidikan perkara pidana dan bagi tugas kepolisian yang lain,

misalnya pada peristiwa bencana alam, kecelakaan yang mengakibatkan

korban massal (mass disaster) atau pada peristiwa ditemukannya seseorang

dengan demensia atau kelainan jiwa yang sulit diajak berkomunikasi.

Kepentingan dilakukannya identifikasi adalah sebagai upaya memenuhi

hak dasar setiap individu untuk memiliki identitas semasa hidup ataupun

setelah mati, dan untuk memudahkan penanganan masalah hukum perdata

ataupun pidana antara orang yang meninggal dengan keluarga yang

ditinggalkan. 1

2. Prinsip Identifikasi 2

Dalam proses Identifikasi diperlukan dua aspek :

a. Aspek pengumpulan data identitas; baik ante-mortem maupun post-

mortem
b. Aspek komparasi; antara data ante-mortem dengan post-mortem untuk

menentukan korban

Prinsip dari proses identifikasi adalah membandinkan data antemortem dengan

post-mortem, semakin banyak yang cocok semakin baik.

Data yang digunakan untuk menentukan identitas seseorang, meliputi :

a. Identifikasi primer, meliputi pemerikasaan sidik jari, data gigi dan

deoxyrebose nucleic acid (DNA),

b. Identifikasi sekunder, yakni data visual seperti pakaian ataupun

perhiasan, data kepemilikan seperti obat-obatan dan gigi palsu, data

dokumentasi seperti kartu identitas atau foto, dan data medis yaitu ciri

tubuh, jenis kelamin, golongan darah, dan lain-lain.

Kedudukan data identifikasi primer memiliki nilai yang lebih tinggi

dibandingkan data identifikasi sekunder. Korban dinyatakan positif

teridentifikasi apabila satu atau lebih ukuran identifikasi primer terbukti

dengan atau tanpa data sekunder, atau minimal dua data identifikasi sekunder

yang cocok bila data primer tidak ada.

3. Manfaat Identifikasi 2,3

a. Mengungkap kasus tindak pidana

b. Keluarga/yang ditinggalkan dapat mengurus sertifikat kematian.

c. Keluarga/yang ditinggalkan dapat mengetahui status pernikahan atau

untuk melakukan pernikahan kembali.

d. Untuk masalah hukum perdata lainnya, seperti menentukan hak

pengurusan rumah atau tanah, hak waris, dll.


e. Mengetahui asal-usul manusia, penyebarannya dan lain sebagainya

4. Peran Dokter Pada Proses Identifikasi 4

Dalam melakukan identifikasi, dokter diharapkan dapat :

a. Membedakan jenazah manusia atau bukan

Apabila hanya di temukan tulang, terkadang tulang antara hewan

dengan manusia mirip. Namun dengan pemeriksaan yang teliti dapat

dibedakan tulang tersebut berasal dari manusia atau hewan. Untuk tulang

yang tidak teridentifikasi dapat ditentukan tulang manusia atau tulang

hewan dengan pemeriksaan imunologik (precipitin test).

b. Membedakan jenazah laki-laki atau perempuan

Pada keadaan dimana jenis kelamin tidak mungkin dilakukan

dengan pemeriksaan luar, maka penentuan jenis kelamin dapat dilakukan

dengan cara :

1) Jaringan lunak tertentu

Uterus dan prostat merupakan jaringan lunak yang tahan

terhadap pembusukkan dan dapat digunakan untuk menentukan jenis

kelamin. Selain itu pemeriksaan seks kromatin dari sampel jaringan

lunak atau tulang rawan pun bisa dilakukan. Pemeriksaan tersebut

sering digunakan untuk menentukan jenis kelamin pada mayat yang

terpotong-potong.
2) Tulang-tulang tertentu

Beberapa tulang pada laki-laki dan perempuan jelas

perbedaannya, antara lain tengkorak, pelvis, tulang panjang, rahang

dan gigi.

3) Memperkirakan umur

Tulang dan gigi dapat memberikan informasi bagi perkiraan

umur manusia. Namun signifikansi pemeriksaan tulang bergantung

pada besarnya penyebaran kelompok umur, dikelompokkan menjadi

kelompok fetus, neonatus, anak-anak, remaja dan dewasa. Pada

kelompok fetus dan neonatus, pemeriksaan difokuskan pada inti

penulangan dengan pemeriksaan ronsenologik atau otopsi. Pada anak

hingga remaja umur 20 tahun yang paling berguna adalah

pemeriksaan epifisis. Pada kelompok dewasa, dapat melihat

penutupan sutura, perubahan sudut rahang dan adanya proses penyakit

pada tulang

4) Menentukan tinggi badan jenazah

Tinggi badan merupakan salah satu informasi penting yang

digunakan untuk melacak identitas. Perlu diketahui bahwa ukuran

tinggi badan orang yang sudah meninggal biasanya sedikit lebih

panjang sekitar 2,5 sentimeter dari pada tinggi badan waktu hidup.

Jika jenazah tidak utuh, maka penentuan tinggi badan dapat dilakukan

dengan meggunakan tulang panjang.


5. Teknik Identifikasi Jenazah

Untuk mengidentifikasi jenazah, dapat digunakan berbagai teknik, yaitu :

a. Dokumentasi kejadian

b. Pengenalan visual

Metode ini dilakukan dengan memperlihatkan jenazah pada orang-

orang yang merasa kehilangan anggota keluarga atau temannya. Cara ini

hanya efektif pada jenazah yang belum membusuk, sehingga masih

mungkin dikenali wajah dan tubuhnya, oleh lebih dari satu orang. Besar

kemungkinan adanya faktor emosi yang mengaburkan pembenaran atau

penyangkalan identitas jenazah.

c. Penyesuaian data antemortem dan postmortem

Cara pengumpulan data ante-mortem adalah sebagai berikut :

1) Melalui Unit polisi pencarian orang hilang dalam DVI

Pengumpulan data berupa nama, alamat, nomor telpon yang bisa

dihubungi dari keluarga korban serta data medis korban.

2) Odontologis

Forensik odontology harus menghubungi seluruh dokter gigi yang

pernah melakukan perawatan gigi terhadap korban. Data tersebut

harus asli dan meliputi: odontogram, radiograf, cetakan gigi dan

fotograf.

Data post-mortem meliputi :

1) Sidik jari

2) Data dan foto dari pakaian, perhiasan, tato


3) Pemeriksaan patologi forensik

Data yang paling sering digunakan adalah odontologi forensik.

Data postmortem dapat dikumpulkan pada tempat kejadian perkara

(TKP). Setelah data antemortem dan postmortem yang di kumpulkan

oleh tim yang berbeda terkumpul, kemudian dibawa ke pusat identifikasi

untuk dicocokkan (matching). Proses identifikasi menggunakan 2

metode, yaitu metode sederhana dan metode ilmiah.

d. Metode obyektif atau ilmiah

Metode ilmiah dibagi menjadi 3 macam, yaitu:

1) Sidik Jari

Identifikasi menggunakan pola sidik jari merupakan teknik

biometrik tertua di dunia.Sejarahnya kembali ke zaman 6000 tahun

sebelum masehi. Penggunaan sidik jari telah tercatatkan oleh

bangsa Assyiria, Babilonia Jepang dan Cina.Bangsa Cina

menggunakan sidik jari sebagai alat identifikasi penulis dari suatu

dokumen.Sejak tahun 1897, dactyloscopy (identifikasi sidik jari

tanpa berbasis komputer) telah digunakan untuk identifikasi

kejahatan.

Karakteristik sidik jari setiap orang adalah unik dan tidak

akan berubah selama hidup. Berdasarkan penelitian peluang dua

orang memiliki sidik jari yang sama lebih kecil dari satu dalam satu

milyar.
Odentifikasi sidik jari dilakukan dengan mencocokkan pola

karakteristik yang khas, yang diketahui sebagai detail Galton, point

of identity atau minutiae, dan pemanding minutiae adalah cetak

referensi berupa cap sidik jari menggunakan tinta dari sidik jari

tersangka.

Ada tiga gambaran dasar dari bentuk karakter dasar, yaitu :

a) The ridge ending

b) The bifurcation

c) The dot or island

Dalam satu sidik jari terdapat lebih dari 100 poin yang

digunakan dalam identifikasi. Tidak ada ukuran jumlah pasti poin

identifikasi yang ditemukan pada luas area tertentu tergantung dari

lokasi penempelan. Contoh, daerah delta mungkin mengandung

lebih banyak poin permilimeter persegi dibanding daerah ujung

jari.

2) Rekam gigi

Merupakan metode identifikasi yang memiliki banyak keunggulan,

yaitu :

a) Gigi resisten terhadap pembusukan dan pengaruh lingkungan

yang ekstrim

b) Karakteristik individual yang unik dalam hal susunan gigi

dan restorasi gigi membuat identifikasi gigi memiliki

ketepatan tinggi
c) Kemungkinan adanya data antemortem berupa rekam gigi

d) Terlindung oleh otot bibir dan pipi, trauma akan mengenai

otot-otot tersebut lebih dahulu.

e) Bentuk gigi geligi di dunia tidak sama, kemungkinan sama

satu banding dua miliar

f) Gigi tahan panas hingga 400̊C

g) Gigi tahan asam keras.

Batasan dari forensik odontologi terdiri dari :

a) Identifikasi dari mayat tak dikenal.

b) Penentuan umur

c) Pemeriksaan jejas gigit

d) Penentuan ras berdasarkan gigi

e) Analisis dari trauma orofasial

f) Dental jurisprudensi berupa keterangan saksi ahli

g) Peranan pemeriksaan DNA dalam identifikasi personal

3) DNA

DNA adalah asam nukleat yang mengandung materi genetik

yang berfungsi untuk mengatur perkembangan biologik seluruh

bentuk kehidupan secara seluler.DNA terdiri dari dua molekul yang

membentuk struktur double helix.

Hampir semua sampel biologis tubuh dapat digunakan

sebagai sampel tes DNA, tapi yang sering digunakan adalah sampel

darah, rambut, apusan pipi, dan kuku. Untuk kasus forensik,


sperma, daging, tulang, kulit, air liur atau sampel biologis lainnya

yang di temukan di TKP dapat menjadi sampel tes DNA.

a) Tujuan Tes DNA

 Tujuan pribadi : penentuan perwalian anak atau

penentuan orang tua dari anak.

 Tujuan hukum : meliputi masalah forensik, seperti

identifikasi korban yang telah hancur, sehingga butuh

pencocokkan antara DNA korban dengan keluarga,

ataupun pembuktian pelaku kejahatan.

b) Metode tes DNA :

 STR ( Short Tandem repeat)

STR adalah lokus DNA yang tersusun atas

pengulangan 2-6 basa. Dalam genom manusia dapat

ditemukan pengulangan basa yang bervariasi jumlah

dan jenisnya. Dengan memprofilkan DNA

menggunakan STR, DNA dapat dibandingkan satu

sama lain.

 PCR (Polymerase Chain Reaction)

PCR merupakan teknik yang memungkinkan

sintesis wilayah DNA tertentu. Yang memungkinkan

peneliti membuat berjuta-juta salinan DNA dalam

waktu singkat untuk kemudian di identifikasi.


B. DISASTER VICTIM IDENTIFICATION (DVI)

1. Definisi DVI 5

DVI atau Disaster Victim Identification adalah satu definisi yang

diberikan sebagai sebuah prosedur untuk mengidentifikasi korban mati akibat

bencana massal secara ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan dan mengacu

kepada standar baku interpol.

Yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan DVI adalah polisi didukung

oleh para ahli seperti patologi forensik, odontologi forensik, ahli sidik jari, ahli

DNA, fotografer, dan tim bantuan lain. Prosedur DVI diperlukan dalam

menegakkan HAM, merupakan bagian dari proses penyidikan, jika identifikasi

visual diragukan, serta untuk kepentingan hukum (asuransi, warisan, dan status

perkawinan).

Prinsip dari proses identifikasi ini adalah dengan membandingkan data

ante-mortem dan post-mortem, semakin banyak yang cocok maka akan

semakin baik. Tujuan penerapan DVI adalah dalam rangka mencapai

identifikasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, sempurna dan

paripurna dengan semaksimal mungkin sebagai wujud dari kebutuhan dasar

hak asasi manusia,dimana seorang mayat pempunyai hak untuk dikenali.

DVI diterapkan pada bencana yang menyebabkan korban massal, seperti

kecelakaan bus dan pesawat, gedung yang runtuh atau terbakar, kecelakaan

kapal laut dan aksi terorisme. Selain itu juga dapat diterapkan pada bencana

alam, seperti gempa bumi, tsunami, dan gunung meletus.

Rujukan Hukum :
a. UU No.24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana

b. UU No.2 tahun 2002 tentang Polri

c. UU No.23 tentang kesehatan

d. PP No.21 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana

e. Resolusi Interpol No.AGN/65/RES/13 year 1996 on Disaster Victim

Identification

f. MOU Depkes RI-Polri tahun 2004

g. MOU Depkes RI-Polri tahun 2003

2. Tahap DVI 6

Proses DVI tersebut mempunyai lima fase, dimana setiap fasenya mempunyai

keterkaitan satu dengan yang lainnya. Fase-fase tersebut yaitu :

a. Fase I – TKP (The Scene)

Merupakan tindakan awal yang dilakukan di tempat kejadian

peristiwa (TKP) bencana. Ketika suatu bencana terjadi, prioritas yang

paling utama adalah untuk mengetahui seberapa luas jangkauan bencana.

Sebuah organisasi resmi harus mengasumsikan komando operasi secara

keseluruhan untuk memastikan koordinasi personil dan sumber daya

material yang efektif dalam penanganan bencana. Dalam kebanyakan

kasus, polisi memikul tanggung jawab komando untuk operasi secara

keseluruhan. Sebuah tim pendahulu (kepala tim DVI, ahli patologi

forensik dan petugas polisi) harus sedini mungkin dikirim ke TKP untuk

mengevaluasi situasi berikut :


1) Keluasan TKP : pemetaan jangkauan bencana dan pemberian

koordinat untuk area bencana

2) Perkiraan jumlah korban

3) Keadaan mayat

4) Evaluasi durasi yang dibutuhkan untuk melakukan DVI

5) Institusi medikolegal yang mampu merespon dan membantu proses

DVI

6) Metode untuk menangani mayat

7) Transportasi mayat

8) Penyimpanan mayat

9) Kerusakan properti yang terjadi

Pada prinsipnya untuk fase tindakan awal yang dilakukan di situs

bencana, ada tiga langkah utama. Langkah pertama adalah to secure atau

untuk mengamankan, langkah kedua adalah to collect atau untuk

mengumpulkan dan langkah ketiga adalah documentation atau pelabelan.

Pada langkah to secure organisasi yang memimpin komando DVI

harus mengambil langkah untuk mengamankan TKP agar TKP tidak

menjadi rusak. Langkah – langkah tersebut antara lain adalah :

1) Memblokir pandangan situs bencana untuk orang yang tidak

berkepentingan (penonton yang penasaran, wakil – wakil pers, dll),

misalnya dengan memasang police line.

2) Menandai gerbang untuk masuk ke lokasi bencana.


3) Menyediakan jalur akses yang terlihat dan mudah bagi yang

berkepentingan.

4) Menyediakan petugas yang bertanggung jawab untuk mengontrol

siapa saja yang memiliki akses untuk masuk ke lokasi bencana.

5) Periksa semua individu yang hadir di lokasi untuk menentukan

tujuan kehaditan dan otorisasi.

6) Data terkait harus dicatat dan orang yang tidak berwenang harus

meninggalkan area bencana

Pada langkah to collect organisasi yang memimpin komando DVI

harus mengumpulkan korban – korban bencana dan mengumpulkan

properti yang terkait dengan korban yang mungkin dapat digunakan

untuk kepentingan identifikasi korban.

Pada langkah documentation organisasi yang memimpin komando

DVI mendokumentasikan kejadian bencana dengan cara memfoto area

bencana dan korban kemudian memberikan nomor dan label pada

korban.

Setelah ketiga langkah tersebut dilakukan maka korban yang sudah

diberi nomor dan label dimasukkan ke dalam kantung mayat untuk

kemudian dievakuasi.

b. Fase II – Kamar Mayat/Post Mortem (The Mortuary)

Pengumpulan data post-mortem atau data yang diperoleh paska

kematian dilakukan oleh post-mortem unit yang diberi wewenang oleh

organisasi yang memimpin komando DVI. Pada fase ini dilakukan


berbagai pemeriksaan yang kesemuanya dilakukan untuk memperoleh

dan mencatat data selengkap–lengkapnya mengenai korban. Pemeriksaan

dan pencatatan data jenazah yang dilakukan diantaranya meliputi :

1) Dokumentasi korban dengan mengabadikan foto kondisi jenazah

korban

2) Pemeriksaan fisik, baik pemeriksaan luar maupun pemeriksaan

dalam jika diperlukan

3) Pemeriksaan sidik jari

4) Pemeriksaan rontgen

5) Pemeriksaan odontologi forensik : bentuk gigi dan rahang

merupakan ciri khusus tiap orang ; tidak ada profil gigi yang

identik pada 2 orang yang berbeda

6) Pemeriksaan DNA

7) Pemeriksaan antropologi forensik : pemeriksaan fisik secara

keseluruhan, dari bentuk tubuh, tinggi badan, berat badan, tatto

hingga cacat tubuh dan bekas luka yang ada di tubuh korban.

Data – data hasil pemeriksaan tersebut kemudian digolongkan ke dalam

data primer dan data sekunder sebagai berikut :

1) Primer (sidik jari, profil gigi, DNA)

2) Sekunder (visual, fotografi, properti jenazah, antropologi medis)

Di dalam menentukan identifikasi seseorang secara positif, Badan

Identifikasi DVI Indonesia mempunyai aturan-aturan, yaitu minimal


apabila salah satu identifikasi primer dan atau didukung dengan minimal

dua dari identifikasi sekunder.

Selain mengumpulkan data pasca kematian, pada fase ini juga

sekaligus dilakukan tindakan untuk mencegah perubahan–perubahan

paska kematian pada jenazah, misalnya dengan meletakkan jenazah pada

lingkungan dingin untuk memperlambat pembusukan.

c. Fase III – Ante Mortem

Pada fase ini dilakukan pengumpulan data mengenai jenazah

sebelum kematian. Data ini biasanya diperoleh dari keluarga jenazah

maupun orang yang terdekat dengan jenazah. Data yang diperoleh dapat

berupa foto korban semasa hidup, interpretasi ciri – ciri spesifik jenazah

(tattoo, tindikan, bekas luka, dll), rekaman pemeriksaan gigi korban, data

sidik jari korban semasa hidup, sampel DNA orang tua maupun kerabat

korban, serta informasi – informasi lain yang relevan dan dapat

digunakan untuk kepentingan identifikasi, misalnya informasi mengenai

pakaian terakhir yang dikenakan korban.

d. Fase IV – Rekonsiliasi

Pada fase ini dilakukan pembandingan data post mortem dengan

data ante mortem. Ahli forensik dan profesional lain yang terkait dalam

proses identifikasi menentukan apakah temuan post mortem pada jenazah

sesuai dengan data ante mortem milik korban yang dicurigai sebagai

jenazah. Apabila data yang dibandingkan terbukti cocok maka dikatakan

identifikasi positif atau telah tegak. Apabila data yang dibandingkan


ternyata tidak cocok maka identifikasi dianggap negatif dan data post

mortem jenazah tetap disimpan sampai ditemukan data ante mortem yang

sesuai dengan temuan post mortem jenazah.

e. Fase V – Debriefing

Korban yang telah diidentifikasi direkonstruksi hingga didapatkan

kondisi kosmetik terbaik kemudian dikembalikan pada keluarganya

untuk dimakamkan. Apabila korban tidak teridentifikasi maka data post

mortem jenazah tetap disimpan sampai ditemukan data ante mortem yang

sesuai dengan temuan post mortem jenazah, dan pemakaman jenazah

menjadi tanggung jawab organisasi yang memimpin komando DVI.

Sertifikasi jenazah dan kepentingan mediko-legal serta administrative

untuk penguburan menjadi tanggung jawab pihak yang menguburkan

jenazah.

3. Metode Identifikasi

Secara umum, identifikasi yang akurat diperoleh dari mencocokan data

ante mortem dengan post mortem yang didapatkan dari :

a. Bukti sirkumstansial (pakaian, perhiasan, dan isi kantong)

b. Bukti fisik, yang diperoleh dari :

1) Pemeriksaan eksternal, misal : deskripsi secara umum, maupun

sidik jari.

2) Pemeriksaan internal, misal : bukti medis, hasil pemeriksaan gigi

geligi (dental record), hasil labolatorium, dan identifikasi genetik.


4. Identifikasi Korban

Untuk mengidentifikasi korban bencana, diperlukan dua macam data :

a. Data orang hilang (misal : orang yang berada di tempat kejadian namun

terdaftar sebagai korban selamat)

b. Data dari jenazah yang ditemukan di tempat kejadian

Dalam mengidentifikasi korban, Interpol DVI Guide membentuk beberapa tim

atau unit, diantaranya :

a. Bagian Korban Hilang (Missing Brunch), terdiri dari :

1) Unit pengumpulan data ante-mortem (Ante-mortem record unit)

2) Unit pendataan berkas ante mortem (Ante-mortem files unit)

3) Daftar korban (Victim list)

b. Pengumpulan dan klasifikasi jenazah (Victim Recovery), terdiri dari :

1) Koordinator tim pemulihan (Recovery Co-ordinatory)

2) Tim pencari (Search teams)

3) Tim dokumentasi (Photography)

4) Tim pemulihan jenazah (Body Recovery team)

5) Tim pemulihan barang-barang pribadi (Property Recovery team)

6) Tempat administrasi dan penyimpanan sementara jenazah (Morgue

Station)

c. Bagian Kamar Mayat (Mortuary Branch), terdiri dari :

1) Unit keamanan (Security unit)

2) Unit transportasi jenazah (Body movement unit)

3) Unit pengumpul data post-mortem (Post-mortem record unit)


4) Unit pemeriksa jenazah (Body Examination unit), terdiri dari:

a) Unit dokumentasi (Post-mortem photography unit)

b) Unit sidik jari (Post-mortem property unit)

c) Unit barang-barang pribadi (Post-mortem property unit)

d) Unit media (Post-mortem medical unit)

e) Unit pemeriksa gigi geligi (Post-mortem dental unit)

d. Pusat Identifikasi (Identification Centre), terdiri dari :

1) Bagian administrasi berkas identifikasi (Identification centre file

section)

2) Bagian khusus pusat identifikasi (Identification centre specialized

section), terdiri dari :

a) Bagian penyelidikan data dokumentasi (Photography section)

b) Bagian penyelidikan sidik jari (Finger print)

c) Bagian penyelidkan barang-barang pribadi (Property section)

d) Bagian penyelidikan medis (Medical section)

e) Bagian penyelidikan gigi geligi (Dental section)

f) Bagian analisis DNA (DNA analysis)

g) Badan identifikasi (Identification board)

h) Bagian pelepasan jenazah (Body realese section)


DAFTAR PUSTAKA

1. Slamet P, Peter S, Yosephine L, Agus M.Pedoman Penatalaksanaan Identifikasi

Korban Mati pada Bencana Massal. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik

Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia; 2004. h.1–234.

2. Eddy S. DVI in Indonesia an Overview.DVI Workshop, Bandung; 2006

3. International Criminal Police Organization. Disaster Victim Identification

Guide, GB Version: 2011

4. Dahlan, S. Ilmu Kedokteran Forensik “Pedoman bagi Dokter dan Penegak

Hukum”. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang : 2007

5. Singh, S. Identifikasi Korban Bencana. Majalah Kedokteran Nusantara Vol.

41.4; 2008. h.254 – 258.

6. Guide interpol avaliable at http://www.interpol.int/Media/Files/INTERPOL

Expertise/DVI/DVI-Guide [13 Februari 2018]

Anda mungkin juga menyukai