Anda di halaman 1dari 29

REFERAT

NYERI

Disusun Oleh:
Anida Hasna Purnamaningsih 1102017026
Clarisa Nadira 1102017058
Dysa Ayu Shalsabila 1102017077
Muhammad Riski Fadilah 1102017158
Sri Anita Setiawati 1102017222
Syifa Nur Lathifah 1102017225

Pembimbing:
dr. Edi Prasetyo, Sp.S, M.H
dr. Ida Ratna Nurhidayati, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN NEUROLOGI


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER UNIVERSITAS YARSI
PERIODE 17 MEI- 30 MEI 2021
DAFTAR ISI

BAB I 3
1.1 Pendahuluan 3
1.2 Tujuan 3
1.3 Manfaat 3
BAB II 4
2.1 Nyeri Nosiseptif 4
2.2 Nyeri Neuropatik 10
2.3 Neuralgia Trigeminal 13
2.4 Nyeri Post Herpetik 17
2.5 Nyeri Neuropati Diabetik 24
BAB III 28
3.1 Kesimpulan 28
DAFTAR PUSTAKA 29

2
BAB I

1.1 PENDAHULUAN
Nyeri adalah rasa indrawi dan pengalaman emosional yang tidak
menyenangkan akibat adanya kerusakan jaringan yang nyata atau berpotensi rusak
atau tergambarkan seperti adanya kerusakan jaringan. Nyeri terdiri dari dua
komponen utama, yaitu sensorik (fisik) dan emosional (psikologik). Komponen
sensorik merupakan mekanisme neurofisiologi yang menerjemahkan sinyal
nosiseptor menjadi informasi tentang nyeri. Sedangkan komponen emosional
adalah komponen yang menentukan berat ringannya individu merasa tidak
nyaman, dapat mengawali kelainan emosi seperti cemas dan depresi jika menjadi
nyeri kronik, serta diperankan oleh rangsangan nosiseptik melalui penggiatan
sistem limbik dan kondisi lingkungan.
Studi epidemiologi di Inggris menunjukan prevalensi nyeri lebih sering terjadi
pada wanita dan meningkat pada usia lanjut. Nyeri juga didapatkan meningkat
pada kelompok status sosioekonomi yang rendah terutama nyeri kepala. Penelitian
di Jakarta Selatan pada tahun 2006 mengenai prevalensi nyeri muskuloskeletal
pada lansia menunjukkan prevalensi nyeri pada lansia sebanyak 80%, sebagian
besar adalah wanita, dan terbanyak di lutut. Berbeda dengan studi terdahulu yang
menyatakan bahwa nyeri pada muskuloskeletal terbanyak adalah nyeri punggung
bawah. Kelompok studi nyeri Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
(Pokdi Nyeri Perdossi) pada bulan Mei 2002 di 14 rumah sakit pendidikan di
seluruh Indonesia melaporkan bahwa jumlah penderita lakilaki sebanyak 2200 dan
perempuan 2256. Kasus terbanyak adalah nyeri kepala diikuti oleh nyeri
punggung bawah, nyeri neuropatik, dan nyeri lainnya seperti nyeri bahu, sendi,
miofasial, dan sebagainya.
1.2 TUJUAN
Adapun tujuan membuat referat ini adalah untuk mengetahui hal-hal yang ada
hubungannya dengan nyeri dan juga sebagai salah satu pemenuhan tugas
kepaniteraan ilmu penyakit syaraf Fakultas Kedokteran Universitas YARSI.
1.3 MANFAAT
1. Menambah pengetahuan tentang nyeri.
2. Sebagai lini utama dalam kesehatan untuk dapat mengenali nyeri.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Nyeri Nosiseptif
2.1.1 Definisi

Secara neurofisiologis, nyeri dapat diklasifikasikan menjadi 2 jenis utama yakni:


pertama nyeri nosiseptif dan kedua nyeri neuropatik. Nyeri nosiseptif adalah nyeri yang
dimulai dari teraktivasinya nosiseptor (reseptor nyeri ) sebagi akibat dari adanya stimulus
kuat baik mekanik, termal atau kimiawi. Nyeri nosiseptif inilah yang sering disebut sebagai
nyeri akut. Nyeri akut berperan penting dalam kehidupan kita karena merupakan pertanda
bahwa ada sesuatu yang salah dalam tubuh kita.

2.1.2 Etiologi

Nyeri Nosiseptif merupakan respon normal akibat adanya kerusakan jaringan, namun
dapat menimbulkan gangguan fisik, psikologis, maupun emosional dan tanpa manajemen
yang adekuat dapat berkembang menjadi nyeri kronik. Nyeri nosiseptif juga merupakan suatu
stimulus kuat kimiawi, termal atau mekanik yang terkait dengan pembedahan, trauma atau
penyakit akut.

2.1.3 Klasifikasi

Nyeri Nosiseptif dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu nyeri somatic dan nyeri viseral

1. Nyeri somatik, jika organ yang terkena adalah organ soma seperti kulit, otot,
sendi, tulang, atau ligament karena disini mengandung kaya akan nosiseptor.
nyeri muskuloskeletal diartikan sebagai nyeri somatik. Nosiseptor disini menjadi
sensitif terhadap inflamasi, yang akan terjadi jika kita terluka atau keseleo.
Selain itu, nyeri juga bisa terjadi akibat iskemik, seperti pada kram otot. Gejala
nyeri somatik umumnya tajam dan lokalisasinya jelas, sehingga dapat ditunjuk
dengan telunjuk.
2. Nyeri viseral, jika yang terkena adalah organ-organ viseral atau organ dalam,
meliputi rongga toraks (paru dan jantung), serta rongga abdomen (usus, limpa,
hati dan ginjal), rongga pelvis (ovaruim, kantung kemih dan kandungan). Organ
viseral akan terasa sakit kalau mengalami inflamasi, iskemik atau teregang.
Selain itu nyeri viseral umumnya terasa tumpul, lokalisasinya tidak jelas disertai

4
dengan rasa mual-muntah bahkan sering terjadi nyeri refer yang dirasakan pada
kulit.
2.1.4 Patofisiologi

Nyeri Inflamasi, merupakan nyeri nosiseptif yang ditandai dengan gejala nyeri
spontan yang terjadi karena terjadinya sensitisasi nosiseptor akibat adanya proses inflamasi.
mediator inflamasi yang paling berperan dalam proses nyeri inflamasi adalah prostaglandin.
Itulah sebabnya maka manajemen pada nyeri inflamasi adalah pemberian obat-obatan
golongan anti-inflamasi.

Mekanisme

Terdapat 5 proses elektrofisiologik yang jelas, dimulai dengan proses transduksi,


konduksi, modulasi, transmisi dan persepsi. Keseluruhan proses ini disebut nosisepsi
(nociception), dari sinilah asal kata nyeri nosisepsi, yakni nyeri yang perjalanannya
mengikuti alur perjalanan nyeri yang dimulai dari teraktivasinya nosiseptor.

1. Transduksi; adalah proses dimana suatu stimulus kuat dubah menjadi aktifitas listrik
yang biasa disebut potensial aksi. Dalam hal nyeri akut yang disebabkan oleh adanya
kerusakan jaringan akan melepaskan mediator kimia, seperti prostaglandin,
bradikinin, serotonin, substasi P, dan histamin. Zat zat kimia inilah yang
mengsensitasi dan mengaktifasi nosiseptor mengasilkan suatu potensial aksi (impuls
listrik). Perubahan zat zat kimia menjadi impuls listrik inilah yang disebut proses
transduksi.

5
2. Konduksi; adalah proses perambatan dan amplifikasi dari potensial aksi atau impuls
listrik tersebut dari nosiseptor sampai pada kornu posterior medula spinalis pada
tulang belakang.
3. Modulasi; adalah proses inhibisi terhadap impuls listrik yang masuk kedalam kornu
posterior, yang terjadi secara spontan yang kekuatanya berbeda beda setiap orang.
Kekuatan modulasi inilah yang membedakan persepsi nyeri orang per orang terhadap
suatu stimlus yang sama.
4. Transmisi; adalah proses perpindahan impuls listrik dari neuron pertama ke neuron
kedua terjadi dikornu posterior medula spinalis, ia naik melalui traktus spinotalamikus
ke talamus dan otak tengah. Akhirnya, dari talamus, impuls mengirim pesan nosiseptif
ke korteks somatosensoris, dan sistem limbik.
5. Persepsi; adalah proses yang sangat kompleks yang sampai saat ini belum diketahui
secara jelas. Yang dapat disipulkan disini bahwa persepsi nyari merupakan
pengalaman sadar dari penggabungan antara aktifitas sensoris di korteks
somatosensoris dengan aktifitas emosional dari sistim limbik, yang akirnya dirasakan
sebagai persepsi nyeri berupa “ unpleasant sensory and emotional experience”

Penilaian Nyeri
Sebelum melakukan manajemen nyeri, perlu dilakukan penilaian atau asesmen
intesitasnya. Banyak cara untuk menentukan intensitas nyeri, namun yang paling sederhana
ada 3 macam yakni; 1. Visual Analog Scale (VAS), 2. Numeric Rating Scale (NRS) dan ke 3.
Faces Scale dari Wong-Backer.

1. Visual Analog Scale (VAS) Skala analog visual


Skala ini bersifat satu dimensi yang banyak dilakukan pada orang dewasa untuk
mengukur intensitas nyeri pascabedah. Berbetuk penggaris yang panjangnya 10 cm
atau 100 mm. Titik 0 adalah tidak nyeri dan titik 100 jika nyerinya tidak tertahankan.

 tidak nyeri 0-4 mm,


 nyeri ringan 5-44mm

6
 nyeri sedang 45-74mm
 nyeri berat 75- 100 mm
2. Numerical Rating Scale (NRS) (Skala numerik angka)
Pasien menyebutkan intensitas nyeri berdasarkan angka 0 – 10 Titik 0 berarti tidak
nyeri, 5 nyeri sedang, dan 10 adalah nyeri berat yang tidak tertahankan. NRS
digunakan jika ingin menentukan berbagai perubahan pada skala nyeri, dan juga
menilai respon turunnya nyeri pasien terhadap terapi yang diberikan. Jika pasien.
mengalami disleksia, autism, atau geriatri yang demensia maka ini bukan metode
yang cocok.

3. Faces Scale (Skala wajah)


Pasien disuruh melihat skala gambar wajah.

Metode ini digunakan untuk pediatri, tetapi juga dapat digunakan pada geriatri dengan
gangguan kognitif.
2.1.5 Tatalaksana

Interpretasi skala nyeri digunakan tujuannya untuk menentukan inensitas atau level
nyeri pasien. Secara umum level nyeri dibagi atas 3 bagian yakni:.Nyeri Ringan, Nyeri
Sedang, Nyeri Berat. Atas dasar level nyerinya seorang pasien akan diberikan obat sesuai
dengan petunjuk dari "Three Step Ladder WHO".

7
A. Analgesik Non-Opioid
1. Parasetamol
 Memiliki sifat analgesik dan antipiretik tapi tidak memiliki sifat anti-inflamasi
 Merupakan analgesik non-opioid yang paling aman, sehingga dapat diberikan kepada
bayi baru lahir sampai orang tuabahkan juga bisa diberkan ke-pada ibu hamil maupun
yang menyusui.
 Dosis 500-1000 mg setiap 4-6 jam, maksimal 4g / hari.
 Metabolismenya sebagian besar terjadi di hati.
 Efek sampingnya bisa bersifat hepatotoksis, terutama pada pasien-pasien dengan
gangguan hati atau malnutrisi
2.AINS (Anti-Inflammatory NonSteroid)
Mekanisme kerjanya menginhibisi enzim COX-1 dan COX-2 yang mengkonversi asam
arakidonat menjadi prostaglandin dan tromboksan, dimana prostaglandin merupakan salah
satu mediator nyeri dan inflamasi Ada 2 macam AINS yakni, AINS non-selektif dan AINS
selektif.
a. AINS non-selektif
 Mekanisme: menginhibisi baik enzim COX-1 maupun enzim COX-2,
 Contoh obat: Ketorolac, Diclofenac, Ibuprofen, Asam Mefenamat, Meloxikam
dan Piroxicam.
 Efek samping : dapat menimbulkan efek samping berupa iritasi lambung,
gangguan ginjal dan gangguan pembekuan darah apabila pemakaian dalam jangka
lama.
 Untuk mengurangi gangguan iritasi lambung, dapat dikombinasikan dengan obat
PPI (proton pump inhibitor) guna memproteksi mukosa lambung

8
b. AINS selektif
 Mekanisme: hanya menginhibisi enzim COX-2 saja, tapi tidak untuk enzim
COX-1.
 Contoh obat: AINS selektif adalah Selekosib dan Parekosib
 fungsi :meredakan nyeri dan inflamasi, tapi tidak mengganggu mukosa
lambung, ginjal maupun fungsi trombosit.
 Efek samping: dapat menimbulkan efek protrombotik, sehingga dapat memicu
serangan jantung dan strok.

B. Analgetik Opioid
Opioid merupakan analgetik terkuat dan sangat umum digunakan setelah
pembedahan, kanker, luka bakar dan lainnya.
 Mekanisme: Opioid bekerja dengan cara berikatan dengan reseptor spesifik
(disebut reseptor μ) Aktivasi dari reseptor μ akan menghambat transmisi nyeri
baik di perifer maupun sentral
 Cara pemberian: Opioid sebaiknya diberikan dengan dosis titrasi.
 Efek samping: Efek samping yang paling sering adalah sedasi, konstipasi,
mualmuntah, dan gatal.
 Macam Opioid: Dikenal dua macam opioid yakni opioid lemah contohnya
kodein dan tramadol, dan opioid kuat, contohnya morfin, pethidin dan fentanil.
Morfin dianggap sebagai gold standard dari berbagai analgesik opioid.
 Catatan Penting: Pasien yang mengkonsumsi opioid jangka panjang dapat
mengalami ketergantungan secara fisik dan akan mengalami gejala sisa saat
dihentikan, oleh karena itu harus dihentikan secara bertahap
2.1.6 Prognosis

Ciri khas suatu nyeri akut adalah selain ditandai dengan adanya kerusakan jaringan,
yang akan diikuti dengan proses inflamasi juga besifat self-limited, artinya berlangsung
singkat dan segera menghilang seirama dengan penyembuhannya.

Ad vitam = ad bonam

Ad sanationam = ad bonam

Ad fungsionam = ad bonam

9
2.2 Nyeri Neuropati
2.2.1 Definisi: Neuropati didefinisikan sebagai penyakit atau kerusakan pada saraf perifer,
baik yang bersifat sensorik, motorik maupun otonom. Neuropati dikategorikan secara
terpisah dari penyakit saraf perifer lainnya, antara lain gangguan spesifik pada badan
sel saraf (neuronopati), kerusakan pada akar saraf distal dari asalnya (radikulopati),
kerusakan pada pleksus (plexopati).
2.2.2 Prevalensi: 2-85% tergantung dari etiologinya. Di RSCM pada tahun 2012-2014,
neuropati karena karsinoma nasofaring mencapai 76% sedangkan pada pasien dengan
Carpal Tunnel Syndrome 3,8% dari populasi umum dengan insidens 276 per 1000
populasi.
2.2.3 Klasifikasi :
a. Berdasarkan letak lesi
i. Neuropati Perifer : Nyeri neuropati perifer diakibatkan oleh adanya lesi pada
system aferen perifer di saraf tepi, ganglion radiks dorsalis, atau pada radiks
dorsalis. Contoh : Polineuritis, Polineuropati diabetika, neuralgia postherpetik,
trigeminal neuralgia.
ii. Neuropati sentral : Nyeri neuropati sentral disebabkan oleh lesi di sistem
saraf pusat seperti medula spinalis, batang otak, thalamus atau korteks serebri.
Contoh : nyeri spinal paskatrauma, nyeri sentral paskastroke.
b. Waktu terjadinya
i. Akut = kurang dari 3 bulan.
ii. Kronis = lebih dari 3 bulan (masih dapat ditemukan setelah cedera jaringan
sembuh).
1. Nyeri Malignan = Nyeri kanker, nyeri pasca radiasi, nyeri pascaoperatif,
nyeri pascakemoterapi
2. Nyeri Non malignan = neuropati diabetika, Carpal Tunnel Syndrome,
Neuropati toksik, nyeri sentral pasca stroke, nyeri spinal pasca trauma.
c. Intensitas
i. Ringan
ii. Sedang
iii. Berat
2.2.4 Etiologi :
a. Genetik
b. Metabolik
c. Mediasi Imunitas
d. Infeksi
e. Toksik
f. Traumatik
2.2.5 Patofisiologi:
Neuropati dapat terjadi karena kerusakan badan sel saraf (neuronopati) maupu pada
akson di serabut saraf perifer (neuropati perifer). Neuronopati dapat terjadi karena kerusakan
pada badan sel saraf di kornu anterior (motor neuron disease). Neuronopati juga dapat terjadi

10
karena kerusakan ganglion radiks dorsalis tempat badan sel saraf sensorik orde I, yang
dikenal sebagai neuronopati sensorik atau ganglionopati. Neuropati perifer dapat dibagi
menjadi dua kategori yaitu aksonopati dan mielinopati.
Mekanisme nyeri perifer :
 Aktivitas ektopik spontan
 Sensitisasi nosiseptor
 Sprouting kolateral neuron aferen primer
 Ephaptic conduction
 Perubahan pada ekspresi saluran ion
 Sprouting neuron simpatik ke dalam ganglion radiks dorsalis
 Sensitivitas terhadap katekolamin
 Rangsangan pada nervi nervorum
Mekanisme Sentral :
 Sensitisasi sentral
 Reorganisasi spinal
 Reorganisasi kortikal
 Hilangnya control inhibisi
 Peningkatan jumlah reseptor (α2delta presinaptik medulla spinalis)
 Perubahan pada gene-related C-fos
 Lepasan muatan epileptik pada neuron nosiseptif kortikal
2.2.6 Manifestasi Klinis:
a. Nyeri spontan (stimulus independent pain)
Nyeri persisten (kontinyu, konstan, terus menerus)
Nyeri paroksismal: Rasa :panas, dingin, menyayat, menusuk, menikam,
kesetrum, kausalgia, disestesia, paresthesia.
b. Nyeri dengan stimulus
Alodinia
Hiperalgesia
Hiperpatia
c. Defisit sensorik
Hipoestesia
Hipoalgesia
d. Gejala penyerta
Insomnia
Cemas
Depresi
Berat badan menurun
Kualitas hidup menurun
2.2.7 Cara mendiagnosis
- Anamnesis
 Skrining nyeri (untuk membedakan apakah nyeri yang diderita pasien
adalah nyeri nosiseptif atau nyeri neuropatik)
Apakah nyeri terasa seperti kesemutan?
Apakah nyeri terasa panas/terbakar?
11
Apakah terasa kebas/baal?
Apakah nyeri terasa seperti kesetrum?
Apakah nyeri bertambah hebat bila disentuh?
Apakah nyeri terasa di persendian/otot/gigi/lainnya?
 Anamnensis Nyeri
Riwayat klinik
Onset Nyeri
Perjalanan Penyakit
Mencari penyakit dasar (DM, trauma, neuralgia trigeminal, neuroma dan
herpes zoster)
Riwayat pengobatan
Sifat keluhan
Rasa terbakar, ditusuk, disayat,hentakan, kesetrum
Parestesia/kesemutan, kebas/baal, kurang rasa
Disestesia (paresthesia nyeri)
Hiperalgesia
Alodinia
Hiperpatia
Nyeri fantom
Keluhan vasomotor/sudomotor/atrofi jaringan subkutan
Sindrom kausalgia :terbakar, gejala otonom (dingin-dingin,
bengkak/edema setempat, hyperhidrosis)
Kualitas Nyeri
Lokasi keluhan
Distribusi dan perjalanan nyeri
Factor yang meringankan/memperberat nyeri
Anamnesis psikologis/pain triad (kecemasan, depresi, gangguan tidur)
 Intensitas Nyeri = Diukur dengan skala :
Visual Analog Scale (VAS)
Numeric Pain Score
Pediatric pain scale
Mc Gill Pain Questionnaire
Secara garis besar yang harus ditanyakan pada penderita nyeri yaitu : PQRST
P = Provokes/palliates (hal-hal yang dapat mencetus/mengurangi nyeri)
Q = Quality (Bagaimana rasa nyerinya)
R = Region and radiation (Lokasi dan penjalaran)
S = Severity (keparahan)
T = Time (Saat timbul, lamanya, hilangnya)
- Pemeriksaan Fisik
 Status Generalis
 Status Neurologis
- Pemeriksaan Penunjang (dilakukan atas indikasi)
2.2.8 Tatalaksana
- Medika mentosa
 Analgetik

12
Non-opioid
Asetaminofen
Tramadol
OAINS
Opioid
Kodein
Morfin
Fentanil
 Terapi adjuvant
Antikonvulsan : pregabalin,gabapentin, karbamazepin, oskarbasepin,
fenitoin, asam valproate, lamotrigin
Antidepresan trisiklik : amitriptilin, imipramine, doksepin, notriptilin
Antidepresan baru: SNRI (duloxetine,ventafexin), SSRI (maproptilin,
paroksetin, fluoksetin, setralin, trazodon)
Anestesi Lokal : lidokain
- Non medika mentosa
 Edukasi
 Rehabilitasi
2.3 Neuralgia Trigeminal
2.3.1 Definisi

Rasa nyeri tajam di daerah persarafan n. Trigeminus (N. V), dapat merupakan suatu
kondisi idiopatik ataupun simtomatik. Karakteristiknyerinya berupa nyeri yang hebat, tiba-
tiba, unilateral, singkat, berulang dan episodik pada distribusi saraf sensorik saraf
trigeminal.Neuralgia trigeminal.dibedakan menjadi neuralgia trigeminal simptomatis apabila
ditemukan penyebabnya (lesi primer seperti tumor, sklerosis multipel yang menekan nervus
V), dan neuralgia trigeminal idiopatik apabila tidak diketahui penyebabnya. Penyakit ini
dapat dipicu dengan menggosok gigi, makan, mengunyah, mencukur atau mencuci wajah dan
tiupan angin dan neuralgia trigeminal idiopatik apabila tidak diketahui penyebabnya.
Penyakit ini dapat dipicu dengan menggosok gigi, makan, mengunyah, mencukur atau
mencuci wajah dan tiupan angin.

2.3.2 Epidemiologi

Prevalensi kasus neuralgia trigeminal adalah 4,3 per 100.000 populasi dengan jumlah
penderita perempuan : laki-laki adalah 1,74:1. 90% kasus neuralgia trigeminal terjadi pada
usia di atas 40 tahun dengan puncak insiden pada usia 60-70 tahun. Kejadian neuralgia
trigeminal yang lebih tinggi pada umur 60 – 70 tahun kemungkinan disebabkan oleh
perubahan aterosklerotik pada pembuluh darah orang usia lanjut, sehingga pembuluh darah
mengalami elongasi dan berkelok, sehingga dapat mengompresi syaraf sekitar.

2.3.3 Etiologi

Neuralgia trigeminal klasik

13
Neuralgia trigeminal klasik dianggap memiliki etiologi idiopatik karena tidak ada
penyebab gejala yang dapat diidentifikasi (hampir 80% kasus) atau hanya terdapat gambaran
kompresi syaraf oleh jaringan vaskular yang umumnya terjadi di sekitar area masuk syaraf
trigeminus ke pons. Kompresi nervus trigeminus paling sering disebabkan oleh arteri (64%
kasus), dengan arteri superior cerebellar yang paling sering mengompresi syaraf trigeminus
(81%), sementara 36% sisanya merupakan kompresi dari vena.

Neuralgia trigeminal simtomatik

Neuralgia trigeminal simtomatik memiliki kriteria klinis yang sama dengan neuralgia
trigeminal klasik, tapi ada penyebab lain yang menyebabkan terjadinya gejala, misalnya
tumor, vaskular, dan inflamasi. Tumor dapat menyebabkan kompresi pada nervus trigeminus,
terutama tumor yang berda di daerah cerebello-pontin, seperti vestibular schwannoma
(acoustic neurinoma), glioma pontin, glioblastoma, epidermoid, meningioma, dan tumor
lainnya. Penyebab vaskular yang dapat menyebabkan neuralgia trigeminal simtomatik adalah
infark pons atau adanya malformasi arteriovena, atau aneurisma di pembuluh darah sekitar
nervus trigeminus.

Inflamasi juga dapat mencetuskan neuralgia trigeminal, seperti multiple sclerosis,


sarcoidosis, meningitis kronik, atau neuropati akibat penyakit Lyme atau diabetes mellitus.
Diabetes mellitus dapat menjadi faktor risiko untuk serangan neuralgia trigeminal melalui
proses inflamasi syaraf.Banyak kasus neuralgia trigeminal dikaitkan dengan proses
pencabutan gigi, namun beberapa literatur kedokteran gigi menyebutkan bahwa proses
pencabutan gigi tidak menyebabkan neuralgia trigeminal, melainkan neuropati trigeminal
akibat rusaknya nervus inferior alveolar saat proses pencabutan gigi, terutama gigi molar
bawah yang mengalami impaksi.

2.3.4 Patofisiologi

Patofisiologi neuralgia trigeminal masih kontroversial. Umumnya, pada sebagian


besar kasus (85%) tidak ada kelainan struktural pada neuralgia trigeminal, namun pada
sebagian kasus ditemukan adanya kompresi nervus trigeminal oleh arteri atau vena di tempat
masuk nervus menuju pons. Kompresi menyebabkan rusaknya myelin (demyelinasi).
Demyelinasi menyebabkan hilangnya barrier antar serat syaraf sehingga terjadi kegagalan
inhibisi pada nukleus inti syaraf yang mengakibatkan aksi ektopik dan terjadinya mekanisme
re-entry yang menyebabkan amplifikasi dari input sensoris sehingga sentuhan ringan seperti
bercukur dapat menyebabkan rasa nyeri paroksismal pada neuralgia trigeminal.

2.3.5 Manifestasi Klinis


 Serangan nyeri paroksismal berlangsung beberapa detik sampai kurang dari 2 menit.
 Nyeri dirasakan sepanjang inervasi satu atau lebih cabang N V. Awitan nyeri yang tiba-
tiba, berat, tajam seperti ditikam, panas atau kesetrum dan superfisial.
 Alodinia (rangsangan antara lain: menggosok gigi, makan , mengunyah, mencukur, atau
mencuci wajah dan tiupan angin, bicara)

14
 Diantara dua serangan tidak ada rasa nyeri, jika ada hanya berupa nyeri ringan atau
tumpul.
2.3.6 Diagnosis dan Diagnosis Banding

Untuk menegakkan diagnosis neuralgia trigeminal, IHS (International Headache Society)


tahun 2005 menetapkan kriteria diagnostik untuk neuralgia trigeminal sebagai berikut:

1. Serangan nyeri paroksismal yang bertahan selama beberapa detik sampai 2 menit,
mengenai satu atau lebih daerah persarafan cabang saraf trigeminal.
2. Nyeri harus memenuhi satu dari dua kriteria berikut:
a. Intensitas tinggi, tajam, terasa di permukaan, atau seperti ditusuktusuk.
b. Berawal dari trigger zone atau karena sentuhan pemicu.
3. Pola serangan sama terus.
4. Tidak ada defisit neurologis.
5. Tidak ada penyakit terkait lain yang dapat ditemukan.

Neuralgia trigeminal hendaknya memenuhi seluruh tersebut; minimal kriteria 1, 2, dan 3.

Pemeriksaan Fisik

1. Inspeksi
 Sewaktu serangan tampak menderita
 Diluar serangan normal
2. Pemeriksaan neurologis :
 Karakteristik penting pada neuralgia trigeminal idiopatik adalah tidak ditemukannya
defisit sensoris.
 Pada neuralgia trigeminal simptomatis dapat ditemukan tanda berupa hipestesi pada
daerah nervus V atau refleks kornea yang menurun atau menghilang.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang dilakukan apabila terdapat indikasi misalnya intractable yaitu


pemeriksaan CT scan dan neurofisiologi, untuk menyingkirkan adanya penyebab simptomatis
seperti kompresi radiks nervus V oleh pembuluh darah,meningioma dan sklerosis multipel.

Diagnosis Banding : Nyeri wajah atipikal


2.3.7 Tatalaksana

Farmakologis

Terapi farmakologi lini pertama adalah karbamazepin (dosis 200-1200 mg/hari) dan
okskarbamazepin (dosis 600-1800 mg/hari) untuk kontrol nyeri pada neuralgia trigeminal
idiopatik. Obat lini kedua antara lain baclofen, lamotrigine dan pregabalin (150-600 mg/hari).

Karbamazepin 100 – 600 mg/hari

15
Karbamazepin merupakan pilihan utama dalam mengobati neuralgia trigeminal.
Karbamazepin berfungsi untuk menurunkan recovery rate dari voltage-gated sodium channel
dan mengaktivasi sistem penghambat impuls. Efek samping karbamazepin cukup banyak,
mulai dari supresi sistem hematologi yang paling sering bermanifestasi sebagai leukopenia,
ketidakseimbangan elektrolit berupa hiponatremia, dizziness, gangguan memori, dan
gangguan fungsi hati. Karbamazepin memiliki interaksi dengan warfarin, sehingga tidak
disarankan untuk digunakan bersamaan. Karbamazepin memiliki banyak efek samping
sehingga jika tidak dapat ditoleransi, karbamazepin bisa digantikan oleh
Okskarbazepin 300 – 2400 mg/hari.

Okskarbazepin dapat digunakan sebagai pengganti apabila karbamazepin tidak bisa


ditoleransi, karena efek samping yang lebih sedikit. Okskarbazepin bekerja dengan
memblokir voltage-gated sodium channel dan memodulasi voltage-gated calcium channel.
Efek samping yang mungkin terjadi adalah dizziness dan gangguan memori.
Baklofen 60 – 80 mg/hari

merupakan obat pilihan lini kedua dalam mengobati neuralgia trigeminal yang
berkerja dengan memfasilitasi inhibisi segmental pada kompleks trigeminal. Efek samping
baklofen berupa sulit konsentrasi, dizziness, tremor, dan juga ataxia.

Lamotrigin 100 – 400 mg/hari

merupakan obat pilihan lini kedua, bersama dengan baclofen, dalam mengobati
neuralgia trigeminal yang berkerja menghambat voltage-gated sodium channel yang akan
menstabilisasi membrane neural. Efek samping lamotrigin adalah ataxia, muntah, konstipasi,
dan ruam.

Pilihan obat lainya :


 Gabapentine 300-3600 mg/hari dan ditambah hingga dosis maksimal.
 Phenitoin 100-200 mg / hari
 Phenobarbital 50-100 mg / hari
 Clobazam 10 mg / hari
 Topiramate 100 – 400 mg / hari
 Mecobalamine 500 – 1000 mcg/hari

Non Farmakologik:

 Rehabilitasi medik
 terapi invasif non bedah (blok saraf rigeminal perifer, radiofrekuensi, kompresi balon dan
radiosurgery)

Konsul bedah saraf

16
Indikasi dilakukan operasi antara lain apabila terapi pengobatan gagal memberikan
hasil yang diharapkan, pasien tidak toleran terhadap obat-obatan dan gejalanya sangan hebat,
atau didapatkan gambaran kelainan pembuluh darah pada MRI.

Terapi kausal : pada neuralgia trigeminal simtomatik

2.3.8 Prognosis

Ad vitam = ad bonam

Ad sanationam = dubia ad malam

Ad fungsionam = dubia ad malam

Neuralgia trigeminal tidak menyebabkan kematian, namun dapat memengaruhi


kualitas hidup secara signifikan jika tidak terkontrol dan dapat menyebabkan depresi karena
membuat penderita harus membatasi banyak kegiatan pemicu. Setelah serangan pertama,
penderita neuralgia trigeminal mungkin akan mengalami remisi berbulan-bulan atau bahkan
bertahun-tahun, namun akan terjadi eksaserbasi yang lebih sering, pemicu yang lebih mudah,
dan peningkatan nyeri eksaserbasi jika tidak terkontrol. Prediktor dari neuralgia trigeminal
adalah melalui pengukuran ada tidaknya defisit sensori, unilateral atau bilateral, umur, respon
terhadap pengobatan, dan distribusi nyeri. Respon minim terhadap pengobatan dan distribusi
nyeri di N. Opthalmicus merupakan prediktor prognosis yang lebih buruk.

2.3.9 Edukasi
1. Neuralgia trigeminal bersifat eksaserbasi dan remisi
2. Edukasi pasien untuk menghindari maneuver yang memicu rasa nyeri dan edukasi
mengenai perjalanan penyakit, bahwa dapat terjadi remisi dalam beberapa bulan dan
kemungkinan untuk terjadi rekurensi yang lebih sering dan kemungkinan penambahan
obat. Edukasi juga mengenai efek samping obat terutama antikonvulsan yang dapat
menyebabkan ataksia, sedasi, dan memengaruhi fungsi hati, serta edukasi pasien untuk
mengetahui gejala-gejala dari efek samping obat.
2.4 NEURALGIA POSTHERPETIKA
2.4.1 Definisi
Neuralgia pasca herpes (Postherpetic Neuralgia) didefinisikan sebagai nyeri neuropatik
yang dirasakan satu bulan atau lebih pada lokasi ruam akibat infeksi herpes zoster yang telah
mengalami penyembuhan, baik dengan atau tanpa interval bebas nyeri. Rasa nyeri seperti
panas, menikam, kesetrum, menyentak, gatal dan disertai alodinia dan hiperalgesia.
Infeksi herpes zoster merupakan hasil reaktivasi virus varicella zoster yang dorman pada
ganglion sensori saraf spinal, yang biasanya bermanifestasi sebagai ruam pada kulit sesuai
dermatom saraf spinal, disertai nyeri akut dan biasanya membaik dalam beberapa minggu.
Virus varicella zoster merupakan virus neurotropik yang biasanya menginfeksi pada anak-
anak yang bermanifestasi sebagai cacar (chicken pox).

17
2.4.2 Epidemiologi
Empat puluh persen penderita Herpes Zoster (HZ) yang berusia lebih dari 60 tahun timbul
komplikasi Neuralgia Pasca Herpetica (NPH). Insidensi HZ akan meningkat sesuai dengan
bertambahnya usia. Pada usia 60 tahun insidensi HZ 5-6,5 per 1000 penduduk. Pada usia 70
tahun insidensi HZ 8 – 11 per 1000 penduduk. Demikian pula dengan timbulnya komplikasi
NPH akibat HZ juga meningkat dengan bertambahnya usia, hanya usia timbulnya komplikasi
NPH lebih lambat munculnya (tidak bersamaan) waktu munculnya infeksi HZ. Total tingkat
kejadian NPH kurang lebih 40% dari tingkat kejadian HZ pada usia yang sama dan akan terus
meningkat dengan bertambahnya usia.

Tabel 1. Persentase insidensi post herpetic neuralgia berdasakan usia (2013)


2.4.3 Patofisiologi
Setelah pertama kali terinfeksi dengan virus zoster varicella dalam tubuh manusia,
selanjutnya virus ini menetap di ganglion saraf sensoris kranialis dan ganglion nervus spinalis
di radiks posterior sampai beberapa bulan - beberapa tahun (asimptomatis), yang akhirnya
virus tersebut aktif kembali bila keadaan imunitas seluler menurun, atau pada orang tua, baru
menimbulkan gambaran klinis Herpes zoster. Virus yang menetap pada ganglion tersebut
setelah aktif berjalan sepanjang saraf sensoris dan akhirnya menuju kekulit sesuai
dermatomnya. Kerusakan saraf sensoris ini murni akibat langsung dari proses inflamasi virus
pada jaringan saraf tepi tersebut. Akibat inflamasi ini menyebabkan terjadi perubahan di
tingkat molekuler, terutama pada neuron nosiseptiv yang pada akhirnya menyebabkan
gangguan kanal ion (channelopathies) pada membran saraf. Proses inilah yang pada akhirnya
berkonstribusi timbulnya rasa nyeri.
Varicella Zooster Virus (VZV) adalah virus DNA yang sangat menular yang tetap laten
dalam ganglia sensorik setelah cacar air sembuh, yang biasanya terjadi selama masa kanak-
kanak. Selama HZ, VZV diaktifkan kembali, berjalan kembali di sepanjang neuron yang
terkena jauh dari ganglia sensorik, dan menyebar di epidermis. Ciri khas HZ adalah biasanya
unilateral (misalnya tidak melewati garis tengah), dan dalam banyak kasus hanya satu
dermatom terpengaruh. Ruam Makulopapular eritematosa HZ biasanya disertai nyeri dan
disestesi. Ruam berkembang menjadi vesikula yang mirip dengan aslinya wabah cacar air.

18
Kemudian, selama 48–72 jam, bentuk pustula, memborok, dan akhirnya berkeropeng.
Keropeng jatuh lepas dalam 2-3 minggu dan terjadi jaringan parut.
NPH terjadi pada dermatom yang sama dengan ruam HZ, dan bermula dari kerusakan
neuron perifer dan sentral itu mungkin merupakan produk sampingan dari respon imun /
inflamasi yang menyertai reaktivasi dan migrasi Pasien dengan PHN mengalami tiga kali
jenis utama nyeri: 1) nyeri konstan tanpa rangsangan (sering digambarkan sebagai rasa
terbakar, sakit, atau berdenyut), 2) nyeri intermiten tanpa rangsangan (sering digambarkan
sebagai menusuk, menembak, atau seperti sengatan listrik), dan 3) rasa sakit yang
ditimbulkan stimulus tetapi tidak proporsional dengan stimulus (hiperalgesia).
2.4.4 Faktor Resiko
Faktor risiko terjadinya neuralgia paska herpes adalah usia tua, nyeri hebat saat fase akut
infeksi herpes zoster, penyakit kronis seperti diabetes dan kondisi penurunan sistem imun.
Penyakit ini cukup memberikan penderitaan dan dapat menurunkan fungsional fisik, kualitas
hidup dan fungsi psikologis.
2.4.5 Manifestasi Klinis
Timbul nyeri pada permukaan kulit sesuai dermatom saraf tepi yang mengalami
inflamasi, nyeri berlangsung minimal selama 3 bulan sejak awal timbulnya ruam, nyeri ada
yang dapat bertahan sampai bertahun-tahun. Bentuk nyeri neuropatik pada NPH terdiri dari
dua jenis yaitu nyeri spontan (rasa terbakar, disayat, tingling, menikam, aching) dan nyeri
yang timbul setelah diprovokasi oleh rangsangan mekanik dan suhu (hiperalgesia, allodinia).
Nyeri dapat terus menerus, periodik atau intermitten, derajat nyeri berat. Gambar berikut ini
menunjukkan adanya ruam herpes zoster pada kulit wajah, dada dan perut (sesuai dermatom
saraf tepi yang mengalami inflamasi).

Gambar 1. Ruam herpes zoster pada dada sesuai dermatom n. spinalis torakalis 2-3 kanan

19
Gambar 2. Ruam herpes zoster pada wajah sesuai dermatom nervus kranialis V kiri cabang
optalmika

Gambar 3. Ruam herpes zoster pada perut sesuai dermatom nervus torakalis 9 – 10 kanan

2.4.6 Cara Mendiagnosis


Diagnosis ditegakkan berdasarkan klinis dari anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Anamnesis yang mengarahkan adalah riwayat ruam pada area kulit yang dirasakan nyeri.
Derajat keparahan nyeri saat ruam timbul, riwayat penyakit kronis, penggunaan obat-obatan
tertentu, aktivitas harian dan kondisi psikososial dapat membantu untuk menentukan faktor
risiko. Tipe nyeri yang dirasakan merupakan tipe nyeri neuropatik. Waktu timbulnya nyeri
adalah lebih dari 1 bulan setelah resolusi ruam kulit. Pemeriksaan fisik alodinia atau
hiperalgesia pada bekas daerah ruam mendukung neuralgia paska herpes.
a) Anamnesis
Riwayat ruam pada tempat yang dirasakan nyeri penting untuk mengarahkan
neuralgia paska herpes. Lokasi paling bayak adalah daerah dada dan wajah. Nyeri
dapat bersifat terus menerus (continous), hilang timbul (paroxysmal) ataupun
spontan. Rasa nyeri dapat dideskripsikan sebagai panas, menikam, tersetrum,
menyentak, gatal atau disertai alodinia dan hiperalgesia. Alodinia dapat muncul
antara lain dengan adanya gesekan baju, rabaan atau tiupan angina.
b) Pemeriksaan Fisik
 Pemeriksaan Fisik Umum
Terlihat adanya raut wajah kesakitan pada saat serangan nyeri
 Pemeriksaan Fisik Khusus
Khusus Pada inspeksi dapat ditemukan bekas ruam atau jaringan parut pada
area kulit sesuai dengan dermatom
 Pemeriksaan Fisik Neurologi
Di daerah dermatom atau area persarafan bekas ruam dapat ditemukan
hipestesi atau anestesi (anestesia dolorosa), alodinia atau hiperalgesia. Nyeri
biasanya dipicu oleh pergerakan (alodinia mekanik) atau perubahan suhu
(alodinia panas dan dingin). Abnormalitas ini dapat meluas sampai di daerah
batas erupsi awal.
c) Pemeriksaan Penunjang
Tidak diperlukan pemeriksaan penunjang secara khusus

20
Diagnosis Banding
Diagnosis banding neuralgia paska herpes secara umum yaitu:

Berdasarkan lokasi yang sering, diagnosis banding neuralgia paska herpes yaitu:
A. Wajah

B. Dada

2.4.7 Tatalaksana
A. Farmakologis
Fase Akut Infeksi Herpes Zoster
a. Analgesik seperti asetaminofen, OAINS dan opioid sesuai dengan analgesic step
ladder.
b. Antidepresan
o Amitriptilin, 25 mg/hari selama 3 bulan sejak diagnosis awal infeksi herpes
zoster (IASP, 2015)
c. Antiviral dalam 72 jam awitan ruam zoster:

21
o Asiklovir; 5 x 800 mg, selama 7-10 hari
o Valasiklovir, 3 x 1000 mg, selama 7 hari
o Famsiklovir, 3 x 500 mg, selama 7 hari
o Pada kondisi immune-compromised berat (AIDS, transplantasi organ,
keganasan limfoproliferatif) terapi antiviral intravena asiklovir 10-12,5
mg/kgBB setiap 8 jam selama 7 hari
- Neuralgia paska herpes
American Academy of Neurology tahun 2004 merekomendasikan antidepresan
trisiklik (amitriptilin, nortriptilin, desipramine dan maprotilin), gabapentin, prgabalin,
opioid dan lidokain patch topikal dalam terapi neuralgia paska herpes.
Obat-obatan dalam terapi neuralgia paska herpes (IASP, 2015)

 Anti depresi trisiklik


Anti depresi trisiklik (ADT) merupakan obat pilihan pertama untuk nyeri NPH yang
direkomendasikan (berdasarkan guidelines) oleh pakar di America, Europa, Canada dan
pakar international lainnya. Jenis ADT yg direkomendasikan berupa amitriptyline,
nortriptilin, desipramin. Obat Jenis ini mempunyai efek samping berupa xerostomia, retention
urine, konstipasi dan hipotensi ortostatik.
 Calcium channel alfa2-delta ligand (Gabapentin, Pregabalin)
Obat pilihan pertama lainnya adalah golongan gabapentin atau pregabalin. Sudah
banyak penelitian- penelitian yang membuktikan bahwa obat tersebut sangat efektif untuk
kasus nyeri neuropatik, termasuk NPH. Obat gabapentin mempunyai efek samping berupa
dizziness (10%-20%), somnolent (7%-16%), edema perifer (1%-8%), sempoyongan (9%),
diare (5,0%), mual (3,7%), nyeri kepala (3,1%), sedang pregabalin mempunyai efek samping
berupa dizziness (7%-49%), somnolen(7%-29%), edema perifer (5%-17%), xerostomia (0%-
14%), penambahan berat badan (1%-13%), infeksi (1%-16%), astenia (3%-10%).
 Lidocain patch 5%
Sebagai obat pilihan pertama lidocaine pacth 5% direkomendasikan dalam guidelines
sebagai anti nyeri neuropatik termasuk NPH di beberapa Negara seperti Amirika, Eropa, dan

22
tentunya juga direkomendasikan oleh para pakar internasional. Secara head-to-head trial,
lidocaine pacth 5% lebih efektif dibandingkan pregabalin dalam mengurangi nyeri neuropatik
NPH. Efek samping dari lidocaine patch 5% adalah reaksi alergi pada tempat penempelan
patch tersebut. Obat-obatan golongan opioid, tramadol, topical capsaisin (baik yang 0,075%
atau 8%) merupakan obat pilihan kedua atau ketiga sebagai anti nyeri neuropatik NPH.

Gambar 4. Algoritma Manajemen Herpes Zoster dan Neuralgia Pasca Herpetik


B. Non Farmakologis
- Waktu Istirahat yang cukup
- Pola makan yang cukup dan teratur
2.4.8 Prognosis
 Ad vitam : Bonam
 Ad fungsionam : Bonam
 Ad sanationam : Dubia ad malam
2.4.9 Pencegahan
Sudah dibuktikan bahwa vaksin varicella-zoster-virus yang diberikan pada masa
kanak-kanak efektif dalam menurunkan insiden HZ dan dengan sendirinya NPH juga
akan menurun insidensinya dan gejala-gelaja NPH yang timbul akan semakin ringan.

23
2.5 Nyeri Neuropati Diabetik
2.5.1 Definisi
Menurut Konferensi Neuropati Diabetika, San Antonio, neuropati diabetika ditandai
dengan kerusakan saraf somatis dan atau saraf otonom yang ditemukan secara klinis atau
subklinis dan semata karena diabetes mellitus, tanpa adanya peyebab neuropati perifer
lainnya.
American Diabetes Association mendefinisikan diabetes neuropati sebagai gejala dan
tanda disfungsi saraf perifer pada penderita diabetes setelah eksklusi penyebab-penyebab
yang lain Neuropati Diabetika merupakan komplikasi mikrovaskular paling sering dari
diabetes mellitus tipe I (Insulin Dependent Diabetes Mellitus) maupun tipe II (Non-Insulin
Dependent Diabetes Mellitus). Kejadian neuropati diabetika meningkat sejalan dengan
lamanya penyakit dan tingginya hiperglikemia. Diperkirakan setelah menderita diabetes
selama 25 tahun, prevalensi neuropati diabetika adalah 50%. Kemungkinan terjadi neuropati
pada kedua jenis kelamin sama.
Neuropati diabetic jika tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan gangguan
somatosensorik perifer atau nyeri neuropati. Nyeri yang dirasakan pada tungkai menjalar ke
arah proksimal, nyeri dirasakan sperti terbakar, rasa pedih, tersengat listrik, disobek serta
nyeri tidak hilang hanya dengan merubah posisi sendi. Nyeri saat berjalan khususnya pada
saat berjalan tanpa alas kaki di kelereng atau berjalan tanpa alas kaki di atas pasir panas,
sensasi panas atau dingin di kaki, perasaan pegal di kedua kaki, dan sensasi kram di kedua
kaki. Nyeri memburuk ketika dalam posisi istirahat setelah beraktivittas dan sering menigkat
pada malam hari.
2.5.2 Epidemiologi
Peningkatan populasi penyandang DM, berdampak pada peningkatan komplikasi
yang paling serius pada pasien DM yaitu neuropati diabetic. Studi mengungkapkan bahwa
16% hingga 26% pasien dengan neuropati diabetes mengalami rasa nyeri. Nyeri neuropati
diabetik merupakan keadaan nyeri neuropatik yang timbul sebagai akibat langsung dari
neuropati diabetic mempengaruhi sebesar 16-33% penderita DM tipe II dimana 39% nya
tidak tertangani.
2.5.3 Patofisiologi
Patofiisiologi neuropati diabetika mempunyai dua aspek utama: akumulasi
interneuronal dari produk metabolisme gula dan lemak yang abnormal dan iskemia pembuluh
darah yang mensuplai saraf perifer. Peningkatan kadar gula darah pada pembuluh darah akan
mengurangi aliran darah ke jaringan saraf, terjadinya endoneurial hipoksia menyebabkan
kerusakan kapiler, yang pada gilirannya menyebabkan hipoksia lebih lanjut, sehingga
merusak jalannya hantaran saraf. Peningkatan kadar gula darah mengakibatkan pembuluh
darah menjadi resisten dan mengakibatkan berkurangnya aliran darah ke jaringan saraf.
Endoneural hipoksia menyebabkan kerusakan banyak pembuluh darah kapiler, sehingga
terjadi gangguan terhadap transport impuls dari akson disertai rendahnya kadar Na+/K+
ATPase pada jaringan saraf. Penebalan endoneural dari dinding pembuluh darah banyak
didapatkan pada penderita neuropati. Adanya proses tersebut menyebabkan akumulasi dari
substansi vasoaktif dalam jaringan saraf, serta gangguan fungsi saraf yang semuanya
menyebabkan terganggunya hantaran saraf.

24
2.5.4 Manifestasi Klinis
Manifestasi gejala neuropati diabetika biasanya merupakan gejala yang pertama kali muncul
diantara komplikasi yang lain pada pasien diabetes. Gejala pertama yang muncul biasanya
rasa tebal-tebal dan ganguan sensoris lain di ekstremitas, seperti gangguan sensasi getaran,
kesemutan, dan nyeri. Keluhan pada ekstremitas bawah biasanya lebih berat dibandingkan
ekstremitas atas. Keluhan juga sering dimulai dari ekstremitas bawah. Gejala seringkali
memberat pada malam hari. Pasien neuropati diabetes juga sering mengungkapkan bahwa
berdiri dan berjalan mengurangi intensitas nyeri. Gangguan keseimbangan juga tidak jarang
terlibat.
2.5.5 Cara Diagnosis
1. Anamnesis
Dalam anamnesis, diperlukan penentuan intensitas nyeri dengan skala Visual
Analog Scale (VAS), Numeric Pain Rating Scale (NPRS) atau Wong Baker Face
Scale. Ditentukan pula sifat keluhan (terbakar, kesemutan, hiperalgesia, alodinia,
nyeri fantom, keluhan vasomotor, sindroma kausalgia dll), faktor yang memperberat
dan memperingan serta anamnesis psikologis ”pain triad” (cemas, depresi, gangguan
tidur).
Dalam anamnesis juga harus diarahkan pada pencarian faktor risiko,
diantaranya yaitu: usia, tinggi badan, kepekaan, genetik, durasi diabetes, pengendalian
glukosa buruk, kadar trigliserida dan kolesterol HDL, retinopati dengan
mikroalbuminuria, ketoasidosis berat, hipertensi (tekanan diastolik), penyakit
kardiovaskuler, inflamasi, stress oksidatif, dan merokok.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada neuropati diabetika yang ringan, pemeriksaan fisik neurologis terutama
menunjukkan penurunan atau hilangnya reflek achiles yang kemudian diikuti oleh
refleks patela. Refleks fisiologis pada ekstremitas atas biasanya masih dalam batas
normal pada kondisi neuropati diabetika yang ringan. Selain itu, seringkali didapatkan
hilangnya modalitas serabut sensoris secara bertahap atau defisit sensoris gloves and
stocking.
Penurunan fungsi motorik biasanya terjadi setelah adanya abnormalitas pada
pemeriksaan sensoris dan refleks. Kelemahan motorik seringkali diawali pada
ekstensor jari kaki kemudian diikuti fleksor jari kaki. Fungsi motorik otot-otot
proksimal tungkai biasanya masih normal kecuali pada pasien yang telah mengalami
neuropati diabetika selama 25-30 tahun. Sekali neuropati diabetika sampai ke level
lutut, pasien akan mulai mengeluhkan adanya kelemahan pada tangan.
Beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam diagnosis neuropati diabetika
yaitu:
1. Pasien merupakan penderita diabetes melitus
2. Tidak ada kelainan atau penyakit lain yang menyebabkan gejala neurologis
kecuali diabetes melitus
3. Gejala simetris (Nyeri spontan, paresthesia, Hipestesia, anestesia)
4. Penurunan refleks achiles atau patela
5. Pallestesia (kelaian sensasi getar)
6. Hasil pemerksaan elektrofisiologi abnormal

25
7. Adanya gejala neuropati otonom
3. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan Elektrodiagnostik
Pemeriksaan ini berguna pada pasien dengan gejala dan tanda otomom murni
atau hanya nyeri radikuler dan nyeri neuropati simetris distal. Walaupun tidak
dapat mendeteksi saraf diameter kecil, tetapi pada neuropati diabetika hampir tidak
ada yang selektif mengenai serabut saraf diameter kecil. Kelanan tidak
patognomonik seperti penurunan hantar saraf sensoris dan motoris, perubahan
gelombang F, perubahan amplitudo potensial aksi otot, peningkatan latensi distal.
Pada neuropati fokal seperti monoradikulopati, mononeuropati kompresif/jebakan,
maka pada pemeriksaan elektrodiagnostik mungkin memperlihatkan kelainan yang
lebih luas seperi jebakan saraf di tempat lain.
Diagnosis Banding
1. Neuropati terkait alcohol: Keluhan yang ada biasanya mengenai fungsi sensoris dan
motoris. Didapatkan adanya riwayat konsumsi alkohol sebelumnya.
2. Chronic Inflamatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy: Gejala neuropati
biasanya dimulai dari ekstremitas atas dan menjalar sampai ke atas. Onsetnya kronik.
3. Neuropati nutrisional: malnutrisi sedang sampai berat dapat menyebabkan gejala
neuropati.
4. Neuropati toksik: Keracunan berbagai zat seperti logam berat (arsenik, timbal,
merkuri) dan organofosfat dapat memunculkan gejala senosris dan motoris, biasanya
bersifat akut, dan didapatkan riwayat paparan toksin sebelumnya.
5. Neuropati karena defisiensi vitamin B12: Gejala neuropati perifer bercampur dengan
tanda-tanda lesi upper motor neuron.
6. Neuropati uremikum: Biasanya terjadi pada Gagal Ginjal kronis. Dari pemeriksaan
fisik didapatakan peningkatan kadar BUN dan kreatinin darah.
2.5.6 Tatalaksana
Terapi farmakologis ditujukan untuk menghilangkan nyeri neuropatik. Analgetika
nonopioid berupa obat antiinflamasi nonsteroid berguna pada nyeri inflamasi seperti pada
komplikasi muskuloskeletal atau neuroartropati. Penelitian yang sudah ada adalah pemberian
ibuprofen 200-800mg/4-8 jam dan sulindak 200mg/12jam. Tramadol, analgetik golongan
opioid lemah, dan inhibitor reuptake serotonin-noradrenalin dengan dosis awal 50mg/hari
dititrasi dapat sampai 400mg/hari.
Analgetika ajuvan seperti antidepresan, antikonvulsan dan antiaritmia diberikan untuk
nyeri neuropatik. Berikut ini adalah ringkasan rekomendasi terapi dan dosis untuk neuropati
diabetika berdasarkan American Academy of Neurology:
Rekomendasi obat dan dosis Obat tidak
direkomendasikan
Level A Pregabalin, 300–600 mg/d Oxcarbazepine
Level B Gabapentin, 900–3,600 mg/d Lamotrigine
Sodium valproate, 500–1,200 mg/d Lacosamide
Venlafaxine, 75–225 mg/d Clonidine
Duloxetine, 60–120 mg/d Pentoxifylline
Amitriptyline, 25–100 mg/d Mexiletine

26
Dextromethorphan, 400 mg/d Magnetic field treatment
Morphine sulphate, titrated to 120 mg/d Low-intensity laser therapy
Tramadol, 210 mg/d Reiki therapy
Oxycodone, mean 37 mg/d
Capsaicin, 0.075% QID
Isosorbide dinitrate spray
Electrical stimulation, percutaneous
nerve stimulation (3-4 minggu)

2.5.7 Pencegahan

Pencegahan neuropati diabetika dan komplikasinya masih menajadi strategi terapi


yang terbaik.Kontrol kadar gula darah yang optimal menurunkan risiko terjadinya neuropati
perifer yang mengakibatkan disabilitas. Kadar HbA1C dipertahankan sekitar 7%. Cara ini
mencegah komplikasi mikrovaskuler dan memperlambat awitan maupun progresifitas
neuropati. Pasien dengan diabetes juga memerlukan konseling tentang perawatan kaki dan
perlindungan pada daerah yang hiposensitif untuk mencegah terjadinya ulkus dan
menurunkan risiko infeksi.

2.5.8 Edukasi

Pasien diberikan edukasi bahwa target terapi berhasil jika nyeri berkurang 50%-70%.
Edukasi yang perlu diberikan pada pasien dengan neuropati diabetika yaitu keterangan
mengenai gejala dan tanda nyeri neuropatik. telah tersedianya obat yang meredakan nyeri
neuropatik, perbedaan analgetik ajuvan dengan analgetik biasa, pentingnnya minum obat
teratur dan rutin serta mengetahui efek samping obat. Pasien dapat diajarkan untuk membuat
catatan harian berisi intensitas nyeri yang dirasakan sebagai bahan evaluasi. Pasien juga perlu
diedukasi mengenai berbagai macam upaya untuk menjaga kadar gula darahnya dalam batas
normal.

27
BAB III

KESIMPULAN

Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat
kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial, atau yang digambarkan dalam bentuk
kerusakan tersebut. . Perasaan nyeri dapat sangat mengganggu kualitas hidup seseorang,
namun sebenarnya nyeri adalah peringatan bahwa terdapat kerusakan jaringan sehingga dapat
memberikan peringatan untuk menghindarkan diri dari bahaya yang dapat mengancam
nyawa. Nyeri merupakan faktor komorbiditas penting pada banyak penyakit. Nyeri dapat
dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, pekerjaan, tingkat pendidikan, budaya, serta kebiasaan
atau gaya hidup individu. Beberapa studi epidemiologi menunjukan bahwa terdapat variasi
faktor-faktor yang memengaruhi nyeri dalam prevalensi atau insidensi nyeri. Kasus terbanyak
adalah nyeri kepala diikuti oleh nyeri punggung bawah, nyeri neuropatik, dan nyeri lainnya
seperti nyeri bahu, sendi, miofasial, dan sebagainya.

28
DAFTAR PUSTAKA

Gunawan PY, Dina A. Trigeminal Neuralgia Etiologi, Patofisiologi, dan Tatalaksana.


Medicinus. 2019 Sep 10;7(2):53-60.

Nyeri KS. Diagnostik dan Penatalaksanaan Nyeri neuropatik. Purwata, TE, Suryamiharja, A.,
Surhajanti, I., Yudiyanta., editors. Konsensus Nasional. 2011;1.

Pebrianti S, Nugraha BA, Shalahuddin I. Manajemen nyeri neuropati pada pasien diabetes
melitus tipe 2: Studi literatur. Holistik Jurnal Kesehatan. 2020 Jul 27;14(2):276-82.

Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Panduan Praktik Klinis Neurologi.


Perhimpunan Dokter Spesialis Sarah Indonesia (PERDOSSI); 2016. 68 p.
Suwondo B, Meliala L, Sudadi. Buku Ajar Nyeri. Yogyakarta: Indonesian Pain Society;
2017. 281 p.

Tanra.A.H. NYERI AKUT. Departemen Ilmu Anestesi. Pearawatan Intensive dan


Manajemen Nyeri Fakultas Kedokteran. Universitas Hasanuddin. Makassar. 2017.

Wahyuliati T. Antidepresan pada nyeri neuropati diabetik. Mutiara Medika: Jurnal


Kedokteran dan Kesehatan. 2006;6(1):33-41.

29

Anda mungkin juga menyukai