Anda di halaman 1dari 16

REFERAT

SINDROMA DISPEPSIA DAN TANDA ALARM

( DYSPEPSIA SYNDROME AND ALARM SYMPTOMS )

Disusun oleh :

Dimas Rizky Nawawi

1102017072

Pembimbing :

dr. Kusmardi, Sp.PD

 Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas YARSI

Periode 31 Mei – 27 Juni 2021


1. Pendahuluan
Dispepsia merupakan kumpulan gejala berupa rasa nyeri atau ketidak nyamanan
yang berpusat di perut bagian atas. Rasa tidak nyaman secara spesifik meliputi rasa cepat
kenyang, rasa penuh, rasa terbakar, kembung di perut bagian atas dan mual. Berdasarkan
penyebab dan keluhan gejala yang timbul dispepsia dibagi 2 yaitu dispepsia organik dan
dispepsia fungsional.1

2. Definisi
Dispepsia adalah suatu sindrom yang terdiri dari kumpulan gejala atau sensasi nyeri
maupun tidak nyaman pada perut bagian atas sepeti rasa terbakar, mual muntah, sendawa,
terasa penuh dan kembung. Dispepsia berasal dari Bahasa Yunani “dys” dan “pepse”
yang artinya pencernaan yang buruk. Istilah ‘dispepsia’ bukan merupakan diagnosis,
melainkan kumpulan gejala yang mengarah pada penyakit/gangguan saluran pencernaan
atas.1,3

3. Epidemiologi
Prevelensi dispepsia pada populasi umum sekita 20% dan sekitar 80% merupakan
dispepsia fungsional.3 Sedangkan prevalensi pasien dispepsia di pelayanan kesehatan
mencakup 30% dari pelayanan dokter umum dan 50% dari pelayanan dokter spesialis
gastroenterologi. Mayoritas pasien Asia dengan dispepsia yang belum diinvestigasi dan
tanpa tanda bahaya (alarm symptoms) merupakan dispepsia fungsional. 
Berdasarkan hasil penelitian di negara-negara Asia (Cina, Hong Kong, Indonesia,
Korea, Malaysia, Singapura, Taiwan, Thailand, dan Vietnam) didapatkan 43-79,5%
pasien dengan dispepsia adalah dispepsia fungsional. Dari hasil endoskopi yang
dilakukan pada 550 pasien dispepsia dalam beberapa pusat di Indonesia pada Januari
2003 sampai April 2004, didapatkan 44,7 % kasus kelainan minimal pada gastritis dan
duodenitis; 6,5% kasus dengan ulkus gaster; dan normal pada 8,2% kasus.
 Di Indonesia, data prevalensi infeksi Helicobacter pylori pada pasien ulkus
peptikum (tanpa riwayat pemakaian obat-obatan anti-inflamasi non-steroid/OAINS)
bervariasi dari 90-100% dan untuk pasien dispepsia fungsional sebanyak 20 - 40%
dengan berbagai metode diagnostik (pemeriksaan serologi, kultur, dan histopatologi).
Prevalensi infeksi Helicobacter pylori pada pasien dispepsia yang menjalani pemeriksaan
endoskopi di berbagai rumah sakit pendidikan kedokteran di Indonesia ditemukan sebesar
10,2%. Prevalensi yang cukup tinggi ditemui di Makassar tahun 2011 (55%), Solo tahun
2008 (51,8%), Yogyakarta (30,6%) dan Surabaya tahun 2013 (23,5%), serta prevalensi
terendah di Jakarta (8%). 6

4. Klasifikasi
 Dispepsia diklasifikasikan menjadi dua7, yaitu :
a. Dispepsia organik
Dapat diklasifikasikan dispepsia organik apabila penyebabnya sudah jelas seperti ulkus
gaster, ulkus duodenum, gastritis erosif, duodenitis dan keganasan.

b. Dispepsia non-organik (fungsional)


Pada dispepsia non-organik tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan fisik maupun
endoskopi sehingga dispepsia ini disebut dispepsia fungsional. Dispepsia fungsional dibagi
menjadi 2, yaitu :
1. Sindroma distres setelah makan (Postprandial distress syndrome): keluhan
dominan berupa rasa begah setelah makan dan perasaan cepat kenyang.
2. Sindroma nyeri epigastrium (Epigastric pain syndrome): keluhan dominan berupa
rasa nyeri yang dirasakan di area epigastrium atau ulu hati dan tidak begitu terkait
dengan makanan seperti pada PDS.
5. Etiologi

Menurut Buku Ajar PAPDI Ilmu Penyakit Dalam (2014), etiologi dispepsia sebagai
5
berikut :
Esofagogastroduodena Tukak peptic, gastritis, tumor
l
Obat – obatan Antiinflamasi non steroid (OAINS)
Hepatobilier Hepatitis, kolesistitis
Pankreas Pankreatitis
Penyakit sistemik Diabetes Melitus
Gangguan fungsional Dispepsia fungsional

6. Patofisiologi
Walaupun dispepsia fungsional tidak menurunkan angka harapan hidup seseorang secara
signifikan, namun dispepsia fungsional dapat mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Maka dari
itu, upaya terus dilakukan untuk memahami patofisiologinya. 

6.1 Gangguan motilitas gastroduodenal


Gangguan motilitas gastroduodenal terdiri dari penurunan kapasitas lambung dalam
menerima makanan (impaired gastric accommodation), inkoordinasi antroduodenal, dan
perlambatan pengosongan lambung. Gangguan motilitas ini merupakan salah satu
mekanisme utama dalam patofisiologi dispepsia fungsional, berkaitan dengan perasaan
begah setelah makan. 6

6.2 Hipersensitivitas lambung dan duodenum


Hipersensitivitas terhadap stimulasi mekanik lambung dan duodenum sering terjadi pada
pasien dengan dispepsia fungsional, namun mekanisme yang mendasari masih belum
diketahui pasti. Pasien dengan dispepsia fungsional menunjukkan hipersensitivitas terhadap
stimulus kimia, seperti asam intraluminal dan lemak.8

6.3 Infeksi Helicobacter pylori


Bakteri ini dapat bergerak karena dilengkapi flagella yang memungkinkan mereka bergerak
dan berdiam di bawah lapisan tebal mucous  alkalis lambung. Bakteri ini cenderung berada
di antrum lambung, yang tidak mengandung sel parietal penghasil asam. Bakteri ini juga
menghasilkan urease, enzim yang dapat menguraikan urea menjadi ammonia yang berfungsi
sebagai dapar yang menyangga asam lambung. Apabila hal ini terjadi berulang, hal ini akan
membuat sawar mukosa lambung rusak, sehingga asam dan pepsin berdifusi ke dalam
mukosa dan submucosa. Hal tersebut dapat menyebabkan erosi permukaan atau tukak.9

6.4 Faktor psikologis 


Dispepsia fungsional umumnya terkait dengan komorbid psikologis, seperti kecemasan dan
depresi. Komorbid psikologis berkontribusi pada patogenesis pada dispepsia
fungsional.7Diduga bahwa dispepsia fungsional berkolerasi dengan adanya depresi,
peningkatan kecemasan dan gangguan somatisasi.5

7. Manifestasi Klinis 

Karakteristik dispepsia secara umum meliputi rasa penuh pasca-makan, cepat kenyang,
rasa nyeri di epigastrium, dan gejala kurang spesifik seperti mual, muntah, kembung, dan
bersendawa.4
Menurut The American society for Gastrointestinal Endoscopy, indikasi pemeiksaan gastrokopi
pada pasien adalah apabila berusia >60 tahun dengan disertai adanya alrm symtoms:

a) Riwayat keluarga kanker gastrointerstinal


b) Penurunan berata badan
c) Perdarahan saluran cerna
d) Anemia defisiensi besi
e) Disfagia
f) Odinofagia
g) Muntah persisten
h) Hasil imaging curiga adanya penyakit kronik

8. Cara Diagnostik 
 Anamnesis
Awalnya pendekatan kepada pasien harus menggunakan pertanyaan terbuka yang
bertujuan untuk mendapatkan deskripsi nyeri dan gambaran yang berhubungan.  Dalam
melakukan anamnesis, penting untuk memperhatikan adanya peringatan atau tanda bahaya
(alarm symptoms). Tanda tersebut adalah indikator yang meningkatkan kemungkinan adanya
kondisi organik yang mendasari nyeri.10 Anamnesis yang penting untuk diperoleh meliputi hal
berikut :
 Onset
Nyeri yang bersifat akut dapat terjadi akibat kelainan vascular, obstruksi organ dalam,
atau infeksi akut. Nyeri akibat proses peradangan kronis dan penyebab fungsional
biasanya lebih bersifat perlahan.
 Frekuensi dan durasi
Nyeri yang bersifat kolik (berlangsung hilang timbul dalam pola naik turun)
Biasanya berhubungan dengan organ dalam yang berlumen (misalnya kolik intestinal,
ginjal, dan bilier)

 Berapa lama nyeri tersebut menjadi masalah?


Nyeri yang dialami selama berminggu – minggu tidak mungkin disebabkan oleh suatu
penyakit akut, dan nyeri dengan dengan durasi yang sangat lama tidak mungkin
berhubungan dengan suatu keganasan.

 Menyebar atau terlokalisir


a) Sulit dilokalisasi, biasanya berhubungan dengan organ dalam
b) Terlokalisasi pada epigastrium, kelainan ini berhubngan dengan hati, gaster, dan usus
halus
c) Terlokalisasi pada daerah pusat, kelainan ini berhubungan dengan usus halus dan usus
besar proksimal
d) Terlokalisasi di daerah suprapubic, kelainan ini berhubungan dengan kolon dan organ
reproduksi wanita.

 Faktor yang memperberat dan memperingan

o Faktor makanan tertentu


Nyeri yang berkembang secara menetap segera setelah makan, khususnya bila
dikaitkan dengan kembung pada perut bagian atas dan mual atau muntah, dapat
mengindikasikan kelainan atau sensitivitas gaster atau usus halus.

Anamnesis yang baik dapat mengidentifikasi pasien dengan OAINS-induced dispepsia,


GERD dan dengan tanda bahaya (alarm symptoms). Pasien dengan usia di atas 60 tahun atau
pasien yang lebih muda dengan tanda bahaya, dengan onset baru dispepsia, perlu perhatian akan
adanya keganasan saluran cerna atas, maka endoskopi dini dapat diprioritaskan.10
Pemeriksaan penunjang

 Laboratorium
Lebih banyak ditekankan untuk menyingkirkan penyebab organik. Pada dispepsia
fungsional biasanya hasil laboratorium normal.11 

 Urea Breath Test


Pemeriksaan ini merupakan baku emas untuk deteksi infeksi Helicobacter pylori secara
non invasive. Cara kerjanya adalah pasien menelan tablet yang mengandung urea isotop
Cabon14. Bila ada aktivitas urease dari kuman Helicobacter pylori akan dihasilkan isotop
Karbondioksida yang diserap dan dikeluarkan melalui pernapasan. Hasilnya dinilai
dengan membandingkan kenaikan ekskresi isotop dibandingkan nilai dasar. Bila hasilnya
positif, berarti terdapat infeksi kuman Helicobacter pylori.13
Tes diagnosis infeksi Helicobacter pylori dapat dilakukan secara langung melalui
endoskopi (rapid urease test, histologi, kultur) dan secara tidak langsung tanpa endoskopi
(urea breath test). Urea breath test saat ini sudah menjadi gold standard untuk
pemeriksaan Helicobacter pylori, salah satunya antara lain 14CO2 breath analyzer.4

 Endoskopi (esofagofastro-duodenoskopi) 
Untuk dispepsia fungsional tidak ditemukan adanya kelainan (8). Pemeriksaan ini baik
untuk evaluasi dari tractus gastrointestinal proksimal. Pemeriksaan ini diperlukan pada
pasien yang memiliki dyspepsia dengan tanda bahaya (alarm symptoms).13

 Radiologi : Pemeriksaan rontgen abdomen telentang, penting dilakukan bila ada


kemungkinan perforasi atau obstruksi usus.12 
9. Tatalaksana
Tatalakasana dispepsia dimulai dengan usaha untuk identifikasi patofisologi dan faktor
penyebab sebanyak mungkin. Terapi dispesia sudah dapat dimulai berdasarkan sindroma
klinis yang dominan (belum diinvestigasi) dan dilanjutkan sesuai hasil investigasi.6

1. Dispepsia belum diinvestigasi 


Strategi tatalaksana optimal pada fase ini adalah memberikan terapi empirik selama 1 –
4 minggu sebelum hasil investigasi awal, yaitu pemeriksaan adanya Helicobacter pylori.
Untuk daerah tertentu serta pasien dengan faktor risiko tinggi, pemeriksaan Helicobacter
pylori harus dilakukan lebih awal.
Obat yang digunakan dapat berupa antasida, antisekresi asam lambung (Proton Pump
Inhibitor/PPI misalnya omeprazole, rabeprazole dan lansoprazole dan/atau  H2-Receptor
Antagonist [H2RA]), prokinetic, dan sitoprotektor (rebamipide), di mana pilihan ditentukan
berdasarkan dominasi keluhan dan riwayat pengobatan pasien sebelumnya. 

2. Dispepsia yang telah diinvestigasi


Pasien – pasien dispepsia dengan tanda bahaya tidak diberikan terapi empiric,
melainkan harus dilakukan investigasi terlebih dahulu dengan endoskopi dengan atau tanpa
pemeriksaan histopatologi sebelum ditangani sebagai dispepsia fungsional. Setelah investigasi,
tidak menyingkirkan kemungkinan bahwa pada beberapa kasus dispepsia ditemukan GERD
sebagai kelainannya.

a. Dispepsia organik
Apabila ditemukan lesi mukosa (mucosal damage) sesuai hasil endoskopi, terapi
dilakukan berdasarkan kelainan yang ditemukan. Kelainan yang termasuk ke dalam
kelompok dispepsia organik antara lain gastritis, gastritis hemoragik, duodenitis, ulkus
gaster, ulkus duodenum atau keganasan. Pada ulkus peptikum (ulkus gaster dan/ atau ulkus
duodenum), obat yang diberikan antara lain kombinasi PPI, seperti rabeprazole 2x20
mg/lanzaprazole 2x30 mg dengan mukoprotektor, misalnya rebamipede 3x100 mg.

b. Dispepsia fungsional
Apabila setelah investigasi dilakukan tidak ditemukan kerusakan mukosa, terapi
dapat diberikan sesuai dengan gangguan fungsional yang ada. Penggunaan prokinetic
seperti metoklopramid, domperidone, cisapride, itopride dan lain sebagainya dapat
memberikan perbaikan gejala pada beberapa pasien dengan dispepsia fungsional. Hal ini
terkait dengan perlambatan pengosongan lambung sebagai salah satu patofisiologi
dispepsia fungsional. Data penggunaan obat – obatan antidepresan atau ansiolitik pada
pasien dengan dispepsia fungsional masih terbatas.

3. Dispepsia dengan infeksi Helicobacter pylori


Pada daerah dengan resistensi klaritromisin tinggi, disarankan untuk melakukan
kultur dan tes resistensi (melalui sampel endoskopi) sebelum memberikan terapi. Tes
molekular juga dapat dilakukan untuk mendeteksi Hp dan resistensi klaritromisin dan/atau
fluorokuinolon secara langsung melalui biopsi lambung. Setelah pemberian terapi
eradikasi, maka pemeriksaan konfirmasi harus dilakukan dengan menggunakan UBT atau
Helicobacter pylori stool antigen monoclonal test. Pemeriksaan dapat dilakukan dalam
waktu paling tidak 4 minggu setelah akhir dari terapi yang diberikan. 

4. Modifikasi pola hidup dan dietetik


Berbagai jenis makanan oleh pasien makanan dilaporkan oleh pasien sebagai hal
yang mencetuskan serangan antara lain buah – buahan, asinan, kopi, alkohol, makanan
berlemak dan lain – lain.10 Tidak ada dietetik baku yang menghasilkan penyembuhan
keluhan secara bermakna. Prinsip dasar menghindari makanan pencetus serangan
merupakan pegangan yang lebih bermanfaat. Makanan yang merangsang, seperti pedas,
asam, tinggi lemak, sebaiknya dipakai sebagai pegangan umum secara proporsional dan
jangan sampai menurunkan/mempengaruhi kualitas hidup penderita.4

5. Intervensi psikologis
Dalam beberapa studi terbatas, tampaknya behavioral therapy memperlihatkan
manfaatnya pada kasus dispepsia fungsional dibandingkan terapi baku. 4 Pasien dengan
dispepsia fungsional memiliki prevalensi komorbiditas psikososial yang tinggi, sehingga
sebagai intervensi psikologi seperti dukungan kelompok (group support) dengan latihan
relaksasi, terapi perilaku kognitif (Cognitive Behavioral Therapy), psikoterapi dan
hipnoterapi sudah diterapkan kepada pasien dengan dispepsia fungsional.6

6. Adanya tanda alarm (alarm symptoms)


Tatalaksana sesuai alarm symptoms yang ada 
Apabila terdapat perdarahan saluran cerna bagian atas :
Evaluasi dini dan resusitasi yang sesuai merupakan hal penting untuk dilakukan
pada pasien perdarahan saluran cerna bagian atas, terutama yang datang dengan keluhan
hematemesis, melena atau anemia progresif. Pemasangan nasogastric tube (NGT)
dilakukan pada perdarahan yang diduga masih berlangsung disertai dengan gangguan
hemodinamik. NGT bertujuan untuk mencegah aspirasi, dekompresi, dan menilai
perdarahan.15

Resusitasi harus dilakukan jika pasien mengalami perdarahan gastrointestinal yang


berat. Cairan salin normal dapat segera diberikan untuk menggantikan volume
intravaskular yang hilang. Pemberian oksigen bermanfaat untuk memaksimalkan
kapasitas darah membawa O2. Pemasangan pipa nasogastrik dan lavase lambung
diharapkan dapat mengurangi distensi lambung dan memperibaiki proses hemostatik,
tetapi tidak bertujuan untuk menghentikan perdarahan. Prosedur ini juga bermanfaat
untuk mempersiapkan endoskopi dan memperkirakan derajat perdarahan.12
Obat Dosis Durasi
Lini Pertama
1. PPI* 2x1 7-14 hari
2. Amoksisilin 1000 mg (2x1)
3. Klaritomisin 500 mg (2x1)
Di daerah yang diketahui resistensi klaritomisin>20%
1. PPI* 2x1 7-14 hari
2. Bismut subsalisilat 2 x 2 tablet
3. Metronidazole 500 mg (3x1)
4. Tetrasiklin 250 mg (4x1)
Jika bismuth tidak ada
1. PPI* 2x1 7-14 hari
2. Amoksisilin 1000 mg (2x1)
3. Klaritomisin 500 mg (2x1)
4. Metronidazole 500 mg (3x1)
Lini kedua : golongan obat ini dipakai bila gagal dengan rejimen yang mengandung klaritomisin
1. PPI* 2x1 7-14 hari
2. Bismut subsalisilat 2 x 2 tablet
3. Metronidazole 500 mg (3x1)
4. Tetrasiklin 250 mg (4x1)
1. PPI* 2x1 7-14 hari
2. Amoksisilin 1000 mg (2x1)
3. Levofloksasin 500 mg (2x1)
Lini ketiga : jika gagal dengan rejimen lini kedua. Bila memungkinkan, pilihan ditentukan
berdasarkan uji resistensi dan/ atau perubahan klinis
1. PPI* 2x1 7-14 hari
2. Amoksisilin 1000 mg (2 x 1)
3. Levofloksasin 500 mg (2 x 1)
4. Rifabutin
*PPI yang digunakan antara lain 
1. Rabeprazol 20 mg
2. Lansoprazole 30 mg
3. Omeprazole 20 mg
4. Pantoprazole 40 mg
5. Esomeprazole 40 mg

Catatan : terapi sekuensial (dapat diberikan sebagai lini pertama apabila tidak ada data resistensi
klaritomisin)
= PPI + amoksisilin selama 5 hari diikuti PPI + Klaritomisin dan nitroimidazole (tinidazole)
selama 5 hari
10. Komplikasi
Pada dispepsia organik dengan etiologi malignansi, dapat terjadi metastasis ke
berbagai organ.13 Adanya perdarahan saluran cerna pada tanda alarm (alarm symptoms)
dapat menyebabkan perforasi gaster, syok hipovolemik, peritonitis, kanker gaster bahkan
kematian.12

11.  Prognosis
Dispepsia fungsional yang ditegakkan setelah pemeriksaan klinis dan penunjang
yang akurat, mempunyai prognosis yang baik.5 
 Quo ad Vitam : dubia ad bonam
 Quo ad Sanactionam : dubia ad bonam
 Quo ad Functionam : dubia ad bonam
DAFTAR PUSTAKA

1. Gastroenterology & Hepatology, 2020. Functional Dyspepsia: A Review of the Symptoms,


Evaluation, and Treatment Options. 16(2), pp.66-74.
2. Moayyedi, P., Lacy, B., Andrews, C., Enns, R., Howden, C. and Vakil, N., 2017. Corrigendum: ACG
and CAG Clinical Guideline: Management of Dyspepsia. American Journal of Gastroenterology,
112(9), p.1484.
3. Ford, A. C., Mahadeva, S., Carbone, M. F., Lacy, B. E., & Talley, N. J. (2020). Functional
dyspepsia. The Lancet.doi:10.1016/s0140-6736(20)30469-4 
4. Faktor Risiko, Klasifikasi, dan Terapi Sindrom Dispepsia. Purnamasari, Lina. 2017, CDK,
pp. 870 - 873.
5. Djojoningrat, Dharmika. Dispepsia Fungsional. [book auth.] PAPDI. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam . Jakarta : Interna Publishing, 2014.
6. Indonesia, Perkumpulan Gastroenterologi. Konsensus Nasional Penatalaksanaan
Dispepsia dan Infeksi Helicobacter pylori. Jakarta : PB-PGI, 2014.
7. Tack, Jan. Dyspepsia. [book auth.] Mark Feldman, et al. SLEISENGER AND
FORDTRAN’S GASTROINTESTINAL AND LIVER DISEASE,. Philadelphia : Elsevier,
2016.
8. Gastroduodenal Disorders. Stanghellini, Vincenzo, et al. 2016.
9. Tukak: Ketika Kuman Menembus Sawar. [book auth.] Lauralee Sherwood. Fisiologi
Manusia. 2019.
10. Nusi, Iswan A and Widodo, Budi. Dispepsia. [book auth.] Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya : Airlangga University Press, 2015.
11. Rani, A Aziz and Albert, Jacobus. Dispepsia. [book auth.] Aziz Rani, Marcellus
Simadibrata and Ari Fahrial Syam. Buku Ajar Gastroenterologi. s.l. : InternaPublishing,
2011.
12. PAPDI. Perdarahan Saluran Cerna. [book auth.] BJ Waleleng and Murdani Abdullah.
PAPDI Kegawatdaruratan EIMED 1. 
13. Julius. Tumor Gaster. [book auth.] PAPDI. Buku Ilmu Penyakit Dalam . Jakarta : s.n.,
2014.
14. Sujono, Hadi. Sindroma Dispepsi. Buku Ajar Gastroenterologi. 
15. Harer K., Hasler W.L. (2019) A Diagnostic Approach to Dyspepsia. In: Lacy B., DiBaise
J., Pimentel M., Ford A. (eds) Essential Medical Disorders of the Stomach and Small
Intestine. Springer, Cham. https://doi.org/10.1007/978-3-030-01117-8_6
16. Harer, K., & Hasler, W. L. (2019). A Diagnostic Approach to Dyspepsia. Essential Medical
Disorders of the Stomach and Small Intestine, 125–140.doi:10.1007/978-3-030-01117-
8_6 

Anda mungkin juga menyukai