Disusun oleh :
1102017072
Pembimbing :
2. Definisi
Dispepsia adalah suatu sindrom yang terdiri dari kumpulan gejala atau sensasi nyeri
maupun tidak nyaman pada perut bagian atas sepeti rasa terbakar, mual muntah, sendawa,
terasa penuh dan kembung. Dispepsia berasal dari Bahasa Yunani “dys” dan “pepse”
yang artinya pencernaan yang buruk. Istilah ‘dispepsia’ bukan merupakan diagnosis,
melainkan kumpulan gejala yang mengarah pada penyakit/gangguan saluran pencernaan
atas.1,3
3. Epidemiologi
Prevelensi dispepsia pada populasi umum sekita 20% dan sekitar 80% merupakan
dispepsia fungsional.3 Sedangkan prevalensi pasien dispepsia di pelayanan kesehatan
mencakup 30% dari pelayanan dokter umum dan 50% dari pelayanan dokter spesialis
gastroenterologi. Mayoritas pasien Asia dengan dispepsia yang belum diinvestigasi dan
tanpa tanda bahaya (alarm symptoms) merupakan dispepsia fungsional.
Berdasarkan hasil penelitian di negara-negara Asia (Cina, Hong Kong, Indonesia,
Korea, Malaysia, Singapura, Taiwan, Thailand, dan Vietnam) didapatkan 43-79,5%
pasien dengan dispepsia adalah dispepsia fungsional. Dari hasil endoskopi yang
dilakukan pada 550 pasien dispepsia dalam beberapa pusat di Indonesia pada Januari
2003 sampai April 2004, didapatkan 44,7 % kasus kelainan minimal pada gastritis dan
duodenitis; 6,5% kasus dengan ulkus gaster; dan normal pada 8,2% kasus.
Di Indonesia, data prevalensi infeksi Helicobacter pylori pada pasien ulkus
peptikum (tanpa riwayat pemakaian obat-obatan anti-inflamasi non-steroid/OAINS)
bervariasi dari 90-100% dan untuk pasien dispepsia fungsional sebanyak 20 - 40%
dengan berbagai metode diagnostik (pemeriksaan serologi, kultur, dan histopatologi).
Prevalensi infeksi Helicobacter pylori pada pasien dispepsia yang menjalani pemeriksaan
endoskopi di berbagai rumah sakit pendidikan kedokteran di Indonesia ditemukan sebesar
10,2%. Prevalensi yang cukup tinggi ditemui di Makassar tahun 2011 (55%), Solo tahun
2008 (51,8%), Yogyakarta (30,6%) dan Surabaya tahun 2013 (23,5%), serta prevalensi
terendah di Jakarta (8%). 6
4. Klasifikasi
Dispepsia diklasifikasikan menjadi dua7, yaitu :
a. Dispepsia organik
Dapat diklasifikasikan dispepsia organik apabila penyebabnya sudah jelas seperti ulkus
gaster, ulkus duodenum, gastritis erosif, duodenitis dan keganasan.
Menurut Buku Ajar PAPDI Ilmu Penyakit Dalam (2014), etiologi dispepsia sebagai
5
berikut :
Esofagogastroduodena Tukak peptic, gastritis, tumor
l
Obat – obatan Antiinflamasi non steroid (OAINS)
Hepatobilier Hepatitis, kolesistitis
Pankreas Pankreatitis
Penyakit sistemik Diabetes Melitus
Gangguan fungsional Dispepsia fungsional
6. Patofisiologi
Walaupun dispepsia fungsional tidak menurunkan angka harapan hidup seseorang secara
signifikan, namun dispepsia fungsional dapat mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Maka dari
itu, upaya terus dilakukan untuk memahami patofisiologinya.
7. Manifestasi Klinis
Karakteristik dispepsia secara umum meliputi rasa penuh pasca-makan, cepat kenyang,
rasa nyeri di epigastrium, dan gejala kurang spesifik seperti mual, muntah, kembung, dan
bersendawa.4
Menurut The American society for Gastrointestinal Endoscopy, indikasi pemeiksaan gastrokopi
pada pasien adalah apabila berusia >60 tahun dengan disertai adanya alrm symtoms:
8. Cara Diagnostik
Anamnesis
Awalnya pendekatan kepada pasien harus menggunakan pertanyaan terbuka yang
bertujuan untuk mendapatkan deskripsi nyeri dan gambaran yang berhubungan. Dalam
melakukan anamnesis, penting untuk memperhatikan adanya peringatan atau tanda bahaya
(alarm symptoms). Tanda tersebut adalah indikator yang meningkatkan kemungkinan adanya
kondisi organik yang mendasari nyeri.10 Anamnesis yang penting untuk diperoleh meliputi hal
berikut :
Onset
Nyeri yang bersifat akut dapat terjadi akibat kelainan vascular, obstruksi organ dalam,
atau infeksi akut. Nyeri akibat proses peradangan kronis dan penyebab fungsional
biasanya lebih bersifat perlahan.
Frekuensi dan durasi
Nyeri yang bersifat kolik (berlangsung hilang timbul dalam pola naik turun)
Biasanya berhubungan dengan organ dalam yang berlumen (misalnya kolik intestinal,
ginjal, dan bilier)
Laboratorium
Lebih banyak ditekankan untuk menyingkirkan penyebab organik. Pada dispepsia
fungsional biasanya hasil laboratorium normal.11
Endoskopi (esofagofastro-duodenoskopi)
Untuk dispepsia fungsional tidak ditemukan adanya kelainan (8). Pemeriksaan ini baik
untuk evaluasi dari tractus gastrointestinal proksimal. Pemeriksaan ini diperlukan pada
pasien yang memiliki dyspepsia dengan tanda bahaya (alarm symptoms).13
a. Dispepsia organik
Apabila ditemukan lesi mukosa (mucosal damage) sesuai hasil endoskopi, terapi
dilakukan berdasarkan kelainan yang ditemukan. Kelainan yang termasuk ke dalam
kelompok dispepsia organik antara lain gastritis, gastritis hemoragik, duodenitis, ulkus
gaster, ulkus duodenum atau keganasan. Pada ulkus peptikum (ulkus gaster dan/ atau ulkus
duodenum), obat yang diberikan antara lain kombinasi PPI, seperti rabeprazole 2x20
mg/lanzaprazole 2x30 mg dengan mukoprotektor, misalnya rebamipede 3x100 mg.
b. Dispepsia fungsional
Apabila setelah investigasi dilakukan tidak ditemukan kerusakan mukosa, terapi
dapat diberikan sesuai dengan gangguan fungsional yang ada. Penggunaan prokinetic
seperti metoklopramid, domperidone, cisapride, itopride dan lain sebagainya dapat
memberikan perbaikan gejala pada beberapa pasien dengan dispepsia fungsional. Hal ini
terkait dengan perlambatan pengosongan lambung sebagai salah satu patofisiologi
dispepsia fungsional. Data penggunaan obat – obatan antidepresan atau ansiolitik pada
pasien dengan dispepsia fungsional masih terbatas.
5. Intervensi psikologis
Dalam beberapa studi terbatas, tampaknya behavioral therapy memperlihatkan
manfaatnya pada kasus dispepsia fungsional dibandingkan terapi baku. 4 Pasien dengan
dispepsia fungsional memiliki prevalensi komorbiditas psikososial yang tinggi, sehingga
sebagai intervensi psikologi seperti dukungan kelompok (group support) dengan latihan
relaksasi, terapi perilaku kognitif (Cognitive Behavioral Therapy), psikoterapi dan
hipnoterapi sudah diterapkan kepada pasien dengan dispepsia fungsional.6
Catatan : terapi sekuensial (dapat diberikan sebagai lini pertama apabila tidak ada data resistensi
klaritomisin)
= PPI + amoksisilin selama 5 hari diikuti PPI + Klaritomisin dan nitroimidazole (tinidazole)
selama 5 hari
10. Komplikasi
Pada dispepsia organik dengan etiologi malignansi, dapat terjadi metastasis ke
berbagai organ.13 Adanya perdarahan saluran cerna pada tanda alarm (alarm symptoms)
dapat menyebabkan perforasi gaster, syok hipovolemik, peritonitis, kanker gaster bahkan
kematian.12
11. Prognosis
Dispepsia fungsional yang ditegakkan setelah pemeriksaan klinis dan penunjang
yang akurat, mempunyai prognosis yang baik.5
Quo ad Vitam : dubia ad bonam
Quo ad Sanactionam : dubia ad bonam
Quo ad Functionam : dubia ad bonam
DAFTAR PUSTAKA