Anda di halaman 1dari 22

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 KONSEP DISPEPSIA

2.1.1 Pengertian Dispepsia

Dyspepsia berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys (buruk) dan peptein

(pencernaan). Secara lebih jelas, arti kata dispepsia adalah sekumpulan gejala

nyeri, perasaan tidak enak pada perut bagian atas yang menetap, atau berulang

yang berlangsung sejak tiga bulan terakhir, dengan awal gejala timbul enam

bulan sebelumnya.4 Gejalanya bisa berupa kepenuhan perut bagian atas, mulas,

mual, sendawa, atau sakit perut bagian atas (leny, 2020)

Dispepsia merupakan gejala penyakit pada gastrointestinal bagian atas

yang biasanya yang muncul selama 4 minggu atau lebih. Gejala tidak terbatas

nyeri atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas namun juga mulas, refluks

lambung, kembung, mual dan / atau muntah (Joint Formulary Committee, 2020).

Dispepsia merupakan kumpulan gejala yang mengarah pada penyakit

atau gangguan saluran pencernaan atas Dispepsia menggambarkan keluhan

atau kumpulan gejala (sindrom) yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di

epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa penuh, sendawa,

regurgitasi, dan rasa panas yang menjalar di dada (evalina, 2020)

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dispepsia merupakan

kumpulan dari beberapa gejala seperti mual, muntah, nyeri ulu hati, dada terasa

terbakar, sensasi sesak, kembung, dan perut terasa penuh akibat peningkatan

asam lambung dan sensitifitas dinding gaster, yang terjadi dalam waktu yang

lama atau sesaat.

1
2.1.2 Epidemiologi

Berdasarkan data World Health Organization (WHO) tahun 2019 kasus

dispepsia di dunia mencapai 13-40% dari total populasi setiap tahun. Dispepsia

berada pada peringkat ke-10 sebagai penyakit terbanyak di Indonesia dengan

proporsi 1,5% untuk kategori 10 jenis penyakit terbanyak pada pasien rawat jalan

di seluruh rumah sakit di Indonesia (Suryati, 2021). Berdasarkan data yang

diterbitkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Litbangkes)

Kemenkes RI tahun 2022, dispepsia merupakan salah satu penyakit dengan

angka kejadian yang tinggi pada beberapa provinsi di Indonesia. Dari penelitian

yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan RI Tahun 2019, angka kejadian

dispepsia di, Denpasar 46 %, Jakarta 50 %, Bandung 32,5 %, Palembang 35,5

%, Pontianak 31,2 %, Medan 9,6 % dan termasuk Aceh mencapai 31,7 %. di

kabupaten probolinggo sendiri belum ada pengelompokan data secara khusus

terkait dispepsia. sedangkan di Rumah Sakit Rizani Paiton ditemukan data

jumlah pasien rawat inap melalui IGD dengan kondisi dispepsia mencapai 20%,

sekitar 864 pasien dalam satu tahun terakhir. Jumlah data tersebut terdapat pada

register IGD Rumah Sakit Rizani Paiton tahun januari – desember tahun 2022.

Penderita dispepsia organik pada studi tyang di lakukan cenderung

ditemukan pada usia lebih tua, lebih mungkin terinfeksi H. pylori, dan pengguna

obat (aspirin, NSAID) dibandingkan dispepsia fungsional. Dominasi laki-laki

terutama pada dispepsia organik (pria/wanita: 56,8%/43,2%) dan dominasi

perempuan pada dispepsia fungsional (pria/ wanita: 40,3%/59,7%). Di Indonesia,

prevalensi penderita dispepsia di pelayanan kesehatan mencakup 30% dari

pelayanan dokter umum dan 50% dari pelayanan dokter spesialis

gastroenterologi. Menurut profil data kesehatan tahun 2019 dispepsia termasuk

dalam sepuluh besar penyakit rawat inap di rumah sakit dengan angka kejadian
kasus sebesar 34.981 kasus pada pria, dan 53.618 kasus pada wanita

(Muhammad 2020).

2.1.3 Klasifikasi

Klasifikasi dispepsia dibagi menjadi dua yaitu :

1. Dispepsia Struktural ( organik ). pada dispepsia jenis struktural atau organik

ditemukan gangguan organ pada pemeriksaan fisik dan edoskopi sebagai

pemicu timbulnya gejala dispepsia. Contohnya seperti penyakit ulkus

peptikum (Peptic Ulcer Disease/PUD), GERD (Gastro Esophageal Reflux

Disease), kanker, dan CKD (Cronic Kidney Deases) / AKI ( Akut Kidney

Deases).

2. Dispepsia Fungsional ( organik ). Pada dyspepsia fungsional ditandai

dengan nyeri atau tidak nyaman perut bagian atas yang kronis atau

berulang, akibat pola hidup dan konsumsi makanan yang bersifat iritatif

tanpa abnormalitas pada pemeriksaan fisik dan endoskopi. (Endry, 2022)

2.1.4 Etiologi

Dispepsia bisa terjadi berdasarkan klasifikasinya, secara struktual dan

fungsional. Penyebab dispepsia yang bersifat struktural ialah gangguan pada

sistem organ pencernaan atas atau ganguan pada organ disekitar saluran cerna,

seperti pankreas, kandung empedu serta lain-lain. Sedangkan penyakit yang

bersifat fungsional dapat dipicu karena faktor psikologis dan faktor intoleran

terhadap obat-obatan dan jenis makanan tertentu (Purnamasari, 2017).


Etiologi dispepsia terbagi dalam dua kelompok berdasarkan klasifikasi

dispepsia yaitu :

1. Dispepsia organik (struktural)

a. penyakit ulkus peptikum (Peptic Ulcer Disease/PUD)

b. GERD (Gastro Esophageal Reflux Disease)

c. Karsinoma lambung

d. CKD (Cronic Kidney Deases) / AKI ( Akut Kidney Deases).

e. Cholelithiasis

f. Ileus obstruktif / Paralitic

2. Dispepsia non organik ( Idiopatik / Fungsional )

a. Gastroparesis

b. Gastroesophageal refluxdisease (GERD)

c. Infeksi Helicobacter pylori

d. Iskemia usus

Besar kemungkinan pemicu dispepsia fungsional akibat perubahan

frekuensi, jumlah, jenis, waktu makan dan kondisi emosional. Di karenakan

asupan makanan yang di luar kebiasaan menyebabkan keteraturan produksi

atau pengosongan asam lambung menjadi tidak teratur. Pengosongan

lambung dari makanan dan peningkatan cairan bersifat asam dapat

menyebabkan erosi pada lambung akibat gesekan diantara dinding-dinding

lambung, sehingga adanya rangsangan di medulla oblongata membawa

impuls muntah sehingga intake tidak adekuat baik makanan maupun berupa

cairan ( Ari, 2021 )


2.1.5 Patofisiologi

1. Disfungsi motorik, Beberapa abnormalitas motorik, seperti perlambatan

pengosongan gaster, dianggap sebagai patofisiologi utama yang mendasari

dispepsia fungsional. Mekanisme mendasari perlambatan tersebut masih

belum diketahui secara pasti. Selain itu, penelitian lain juga menemukan

adanya variabilitas dari marker tonus autonomik kardiovaskular sebelum dan

sesudah sham feeding (mengunyah tanpa menelan) yang mengindikasikan

adanya disfungsi vagal fase sefalik terkait dengan penurunan kontraktilitas

antrum pada pemeriksaan ultrasound. Di sisi lain, percepatan pengosongan

gaster juga dikaitkan dengan manifestasi klinis dispepsia fungsional,

khususnya pada kelompok dispepsia fungsional dengan manifestasi klinis

berupa early satiety pada kelompok sindroma postprandial. Mekanisme yang

mendasari manifestasi tersebut diperkirakan akibat disfungsi motorik gaster,

termasuk gangguan pada akomodasi gaster sehingga terjadi redistribusi

makanan dan overload antrum.

2. Abnormalitas sensoris organ viseral, Abnormalitas persepsi sensoris juga

telah diamati pada dispepsia fungsional, khususnya hipersensitivitas

terhadap stimulus mekanis dan kimiawi. Distensi gaster atau sering disebut

sebagai "irritable stomach syndrome" merupakan hi- persenstivitas yang

paling sering dijumpai pada dispepsia fungsional. Distensi tersebut berkaitan

dengan manifestasi klinis sindrom nyeri epigastrium dan sensasi non-nyeri

lainnya, seperti rasa penuh postprandial, bloating, dan sendawa. Selain itu,

derajat hipersensitivitas terhadap stimulus mekanis viseral memiliki korelasi

terhadap tingkat keparahan gejala. Selanjutnya, hipersensitivitas kimiawi,

khususnya terhadap asam yang diproduksi dalam tubuh (endogen) maupun

yang berasal dari luar tubuh (eksogen), diketahui terjadi pada duodenum
dan berkaitan dengan manifestasi klinis berupa mual. Asam eksogen

(berasal dari makanan atau minuman) menurunkan threshold sensasi tidak

nyaman terhadap distensi gaster dan menurunkan respon akomodasi gaster

terhadap makanan yang dicerna. Kedua respon hipersensitivitas viseral

tersebut diakibatkan oleh pelepasan neuropeptida, seperti CGRP-1 dan

subtansi P akibat aktivasi reseptor TrpV1 oleh capsaicin. Neuropeptida

tersebut diperkirakan meningkatkan senstivitas viseral dan memicu

manifestasi klinis, seperti nyeri abdomen dan mual.

3. Disfungsi Sistem Imun, Beberapa studi mengemukakan mengenai peran

disfungsi sistem imun sebagai patofisiologi yang mendasari dispepsia

fungsional. Pada respon imun tipe 2 terjadi rekrutmen eusinofil dan sel mast

kelokasi inflamasi setelah adanya pajanan terhadap antigen. Selanjutnya,

cusinofil dan sel mast mengalami aktivasi dan degranulasi sehingga terjadi

pelepasan mediator proinflamasi yang mengakibatkan kerusakan pada epitel

pelindung traktus gastrointestinal dan mengganggu fungsi saraf enterik. Hal

tersebut mengakibatkan peningkatan permeabilitas epitel sehingga terjadi

infiltrasi antigen lumen sekunder yang memicu respon imun dan

mengakibatkan terjadinya manifestasi klinis pada dispepsia fungsional,

seperti pengosongan gaster yang terlambat dan gangguan motilitas

gastrointestinal. Selain itu, gangguan fungsi saraf enterik yang telah

disebutkan juga dikaitkan dengan hipersenstivitas sensoris viseral.

4. Alterasi Mikrobiota Traktus Gastrointestinal, Mikrobiota traktus

gastrointestinal diketahui sebagai salah satu faktor yang berkontribusi

terhadap patofisologi dispepsia fungsional. Inflamasi pada usus halus dapat

mengakibatkan alterasi mikrobiota sehingga terjadi perubahan pada

komposisi asam empedu. Sebaliknya, penurunan jumlah asam empedu


dapat mengakibatkan perubahan komposisi mikrobial pada usus halus

sehingga mengakibatkan disfungsi epitel pelindung.

5. Disfungi Brain - Gut Axis, Faktor psikologis, seperti kecemasan dan depresi

dapat menimbulkan stimulus negatif terhadap brain-gut axis. Akibatnya,

terjadi pelepasan substansi P dan hormon pelepas kortikotropin yang

mengakibatkan aktivasi sel mast dan akhirnya disfungsi epitel pelindung

duodenum. Selain itu, gangguan fungsi epitel pelindung akibat disfungsi

sistem imun dan alterasi ( jeanette, 2022 )

2.1.6 Manifestasi Klinis

Berdasarkan pengertian dari dispepsia ialah merupakan kumpulan dari

beberapa gejala diantaranya :

1. Nyeri pada ulu hati

2. Timbul sensasi sesak akibat nyeri

3. Mual-mual

4. Muntah

5. Perasaan begah atau perut bagian atas terasa penuh

6. Nafsu makan menurun

7. Perut terasa kembung

8. Sendawa terus menerus

9. Cegukan dalam jangka panjang


2.2 KONSEP POLA MAKAN

2.2.1 Pengertian Pola Makan

Pola makan adalah usaha guna mengatur jenis kuantitas makanan

sehingga bisa meningkatkan kualitas kesehatan tubuh, psikologi, status nutrisi

dan sebagai proses penyembuhan penyakit (Depkes RI, 2020).

Pola makan adalah suatu usaha untuk mengatur jenis dan jumlah

makanan melalui informasi status gizi atau nutrisi, pencegahan penyakit dan

mempertahankan kesehatan. Frekuensi, jenis dan jumlah makanan umumnya

merupakan tiga komponen utama pola makan. Ketidakteraturan pola makan

seseorang akan berpengaruh pada proses kerja lambung (Irfan, 2019).

Frekuensi makan yaitu aktivitas makan yang biasanya dilakukan baik

makanan utama atau makanan variasi lainnya. Dikatakan baik bila frekuensi

makan 3 kali sehari atau 2 kali makanan utama dan 1 kali makanan selingan.

Frekuensi makan kurang baik bila seseorang mengonsumsi makanan utama

hanya 2 kali. Jenis makan terdiri atas makanan utama dan makanan selingan.

Makanan utama merupakan makanan dikonsumsi dalam keseharian misalnya

makanan pokok, sayuran, buah-buahan dengan frekuensi 3 kali sehari yakni

pagi, siang, dan malam. Makanan selingan atau makanan kecil yaitu makanan

yang biasa dibuat sendiri misalnya kue, keripik dan cemilan yang lain. Beberapa

jenis makanan yang bisa merusak mukosa lambung adalah makanan pedas,

makanan dan minuman asam, alkohol, dan makanan berlemak yang

memperlambat pengosongan lambung (Herman dan Lau, 2020).


Pola makan mencangkup frekuensi makan, jenis makanan, waktu makan,

dan jumlah atau porsi makanan (Wibawani & dkk, 2021)

1. Frekuensi Makan

Frekuensi makan yaitu aktivitas makan yang biasanya dilakukan baik

makanan utama atau makanan variasi lainnya. Dikatakan baik bila frekuensi

makan 3 kali sehari atau 2 kali makanan utama dan 1 kali makanan

selingan. Frekuensi makan kurang baik bila seseorang mengonsumsi

makanan utama hanya 2 kali. Secara umum, aktivitas frekuensi makan yakni

3 kali sehari meliputi pagi, siang dan malam. Kebanyakan diusia dewasa

memiliki aktifitas kesibukan seperti pekerjaan sehingga frekuensi kurang

dari 3 kali sehari yang dapat mempengaruhi pengosongan dan pengisian

lambung. Jarak waktu makan yang baik berkisar 4-6 jam.

2. Jenis kanan

Makanan terbagi atas dua jenis yaitu makanan utama dan makanan

selingan. Makanan utama merupakan makanan dikonsumsi dalam

keseharian misalnya makanan pokok, sayuran, buah-buahan dengan

frekuensi 3 kali sehari yakni pagi, siang, malam. Makanan selingan atau

makanan kecil yaitu makanan yang biasa dibuat sendiri misalnya kue, keripik

dan cemilan yang lain. Makanan pokok adalah makanan penting dalam

setiap suguhan misalnya roti, nasi dan sereal yang berfungsi sebagai

sumber energi utama tubuh. Beberapa jenis makanan bisa merusak mukosa

lambung seperti :

a. Minuman alkohol dengan dosis sedang dan rendah bisa mencederai

lambung.

b. Makanan dan minuman asam bisa merangsang HCl, seperti makanan

pedas, minuman beralkohol serta asam, kopi yang mengandung kafein


akan meningkatkan sekresi asam lambung sehingga bisa menyebabkan

erosi pada mukosa lambung. Makanan berlemak akan memperlambat

dalam pengosongan lambung karena sulit dicerna

c. Makanan berlemak akan memperlambat dalam pengosongan lambung

karena sulit dicerna.

3. Jumlah Makanan

Jumlah makanan adalah takaran atau porsi dari makanan itu sendiri

baik sedikit atau banyak menyesuaikan dengan kebiasaan, kondisi fisik, dan

aktifitas seseorang. Kebiasaan seseorang dalam menentukan porsi makan

berbeda satu sama lain karena belum tentu seseorang berbadan besar

makannya lebih banyak dari seseorang yang berbadan lebih kecil. hal itu

terjadi karenakan proses penyerapan nutrisi oleh system percernaan yang

berbeda juga satu sama lain. Kondisi fisik seseorang juga mempengaruhi

pola makan, seperti orang yang sedang sakit nafsu makan berkurang.

3.2.2 Hubungan Pola Makan Dengan Kejadian Sindrom Dispepsia

Lingkungan, diet, dan sekresi asam lambung merupakan penyebab

terjadinya dispepsia fungsional. Makananan dan minuman yang bisa

meningkatkan risiko terjadinya kejadian dispepsia antara lain alkohol, makanan

dan minuman asam pedas, kebiasaan minum kopi, teh,dan berkarbonasi. Orang

dewasa memiliki jadwal dan aktivitas yang sangat sibuk dan padat sehingga

berpengaruh pada pola makan dan perilaku hidup. bisa saja menunda bahkan

meninggalkan jadwal makan sehingga akan berpengaruh pada sekresi asam

lambung yang membuat lambung sulit beradaptasi dengan jadwal makan.

berdasarkan penelitian Nasution dan Syahri (2022) dijelaskan hubungan

pola makan dan kejadian sindrom dispepsia terdapat hasil adanya pola makan
yang tidak teratur bisa mengakibatkan kejadian sindrom dispepsia dibandingkan

dengan pola makanan teratur pada mahasiswa. Produksi asam lambung yang

terkontrol dikarenakan pola makan teratur untuk mempermudah kerja lambung.

Selain itu, peningkatan dari asam lambung akan memengaruhi mukosa lambung

teriritasi dan bisa mengakibatkan gastritis dan ulkus peptikum.

2.3 KONSEP STRESS

2.3.1 Pengertian Stres

Stres adalah perasaan tidak nyaman sebagai reaksi seseorang baik

secara fisik maupun emosional (mental/psikis) apabila ada perubahan dari

lingkungan yang mengharuskan seseorang menyesuaikan diri ( Kemenkes RI,

2020 ).

Menurut Direktorat Pencegahan Dan Pengendalian Penyakit Tidak

Menular (2020) yang dimaksud dengan stres adalah suatu reaksi seseorang

baik secara fisik maupun emosional (mental/psikis) apabila ada perubahan dari

lingkungan yang mengharuskan seseorang menyesusikan diri. stres merupakan

bagian alami dan penting dari kehidupan, tetapi apabila berat dan berlangsung

lama dapat merusak kesehatan kita. Meskipun stres dapat membantu menjadi

lebih waspada dan antisipasi ketika dibutuhkan, namun dapat juga menyebabkan

gangguan emosional dan fisik.

Menurut The American Institute of Stress (2020), menerangkan bahwa

belum ada definisi stres yang diterima semua orang. Oleh karena itu, sulit

untuk mengukur stres jika tidak ada kesepakatan tentang apa yang dimaksud

dengan stres. Seseorang memiliki gagasan yang sangat berbeda sehubungan

dengan definisi stres mereka. Mungkin yang paling umum adalah, "ketegangan

atau ketegangan fisik, mental, atau emosional". Definisi populer lainnya


dari stres adalah, "suatu kondisi atau perasaan yang dialami ketika seseorang

merasa bahwa tuntutan melebihi sumber daya pribadi dan sosial yang dapat

dimobilisasi oleh individu."

Dari ulasan diatas penulis menyimpulkan stres merupakan kondisi tidak

nyaman dari tekanan akibat perubahan biologis maupun psikis yang dipengaruhi

oleh keadaan internal maupun eksternal, dan memiliki danpak positif jika mampu

beradaptasi dan mengatasi situasi tersebut sebagai proses pengembangan diri,

sebaliknya bila bisa berdampak negatif secara biologis dan psikis apabila tidak

mampu beradaptasi dengan maslah yang terjadi dan membawa stres pada

kondisi yang lebih berat.

2.3.2 Penyebab Stres

Menurut Potter & Perry (2005) dalam bukunya yang berjudul Buku Ajar

Fundamental Keperawatan, menerangkan bahwa segala sesuatu yang

menyebabkan terjadinya stres disebutm sebagai stressor. Stressor pada setiap

individu dapat dibagi menjadi dua penyebab, yaitu penyebab dari eksternal dan

penyebab dari internal.

1. Penyebab eksternal, Penyebab eksternal adalah penyebab yang berasal

dari luar diri seseorang seperti perubahan bermakna dari lingkungan,

perubahan peran sosial, pekerjaan, hubungan interpersonal maupun proses

pembelajaran. Keadaan finansial juga dapat memicu terjadinya

stres.Penyebab internalPenyebab internal adalah penyebab yang berasal

dari dalam diri seseorang seperti gangguan kesehatan, misal: demam,

penyakit infeksi, trauma fisik, malnutrisi dan kelelahan. Penyebab internal

juga dapat berasal dari adanya perasaan rendah diri (self devaluation) akibat

konflik maupun frustasi dalam kehidupan sosial karena tidak mendapatkan

yang mereka harapkan. Kondisi gangguan fisik seperti cacat, perasaan tidak
menarik, jenis kelamin, usia dan intelegensi juga merupakan hal yang dapat

menyebabkan timbulnya stres pada seseorang.

2. Penyebab internal, adalah penyebab yang berasal dari dalam diri seseorang

seperti gangguan kesehatan, misal: demam, penyakit infeksi, trauma fisik,

malnutrisi dan kelelahan. Penyebab internal juga dapat berasal dari adanya

perasaan rendah diri (self devaluation) akibat konflik maupun frustasi dalam

kehidupan sosial karena tidak mendapatkan yang mereka harapkan. Kondisi

gangguan fisik seperti cacat, perasaan tidak menarik, jenis kelamin, usia dan

intelegensi juga merupakan hal yang dapat menyebabkan timbulnya stres

pada seseorang

2.3.3 Tanda Dan Gejala Stres.

Tanda dan gejala stress menurut Saleh, Russeng dan Tadjuddin (2020)

dalam bukunya menjelaskan ada beberapa hal yang harus diperhatikan, antara

lain :

1. Gejala Kognitif

a. Masalah memori (sulit untuk berkonsentrasi hingga mudah lupa)

b. Penilaian buruk atas segala hal

c. Hanya melihat hal – hal negative

d. Mengalami kecemasan

e. Sering merenung

f. Kekhawatiran terus-menerus

2. Gejala Emosional

a. Moodiness

b. Mudah marah atau pemarah

c. Agitasi (kemarahan)

d. Merasa kewalahan
e. Rasa kesepian atau isolasi

f. Depresi atau ketidakbahagiaan secara umum

3. Gejala Fisik

a. Mengalami nyeri

b. Ketegangan otot

c. Diare atau sembelit, mual, pusing, atau gangguan di perut

d. Nyeri dada ata detak jantug yang cepat

e. Kehilangan gairah seks

f. Sistem imun melemah

g. Gangguan pernafasan atau keringatan dingin

2.3.4 Jenis Stres

Menurut Rillando (2021) dalam bukunya yang berjudul Lima Langkah Jitu

Kendalikan Stres, menerangkan bahwa ada dua jenis stres, yaitu :

1. Eutres, Stres jangka pendek yang memberikan kekuatan. Jenis stress yang

bersifat menantang namun masih bisa dikendalikan. Eustres juga

meningkatkan antusiasme, kreatifitas, motivasi dan aktivitas fisik.

Contohnya, saat menjelang ijab kabul pernikahan, menjelang presentasi di

depan umum, menantikan kelahiran anak atau saat mengikuti kompetisi.

Tekanan atau stress yang dirasakan untuk bisa melakukan yang terbaik,

semisal untuk bisa juara, inilah yang disebut dengan eustres. Stres tipe ini

dikategorikan sebagai stress yang positif.

2. Distres, Stres yang dipandang atau dirasa terlalu sulit dan berat untuk

diatasi. Kita merasa situasi atau kejadian yang dialami sebagai suatu yang

membingungkan dan tidak ada harapan untuk mengatasi atau

mengubahnya. Contohnya adalah tekanan pada pekerjaan, rumah tangga


dimana individu yang stres ini merasa terperangkap ke situasi yang sulit

untuk diubah.

2.3.5 Tingkat Stres

Menurut data yang diperoleh dari Psychology Foundation of Australia

(2022) berdasarkan tingkatannya stress seseorang, maka dapat dibagi menjadi

beberapa tingkatan, antara lain :

1. Stres normal, Stres yang terjadi secara alamiah dalam diri seseorang. Stres

ini terjadi dalam situasi kelelahan setelah mengerjakan tugas, takut tidak

lulus ujian, jantung berdetak lebih kencang dan lain-lain.

2. Stres ringan, Stres jenis ini berlangsung dalam beberapa menit atau jam.

Penyebabnya seperti kemacetan, dimarahi oleh dosen, dikritik, lupa dan lain-

lain. Pada stres ringan mulai timbul gejala. Apabila stress ringan dibiarkan

maka akan menyebabkan gangguan kesehatan.

3. Stres sedang Stres terjadi dalam jangka jam hingga beberapa hari. Stressor

pada tingkat stres ini dapat berupa perselisihan dengan teman maupun

pasangan. Pada orang yang mengalami stres sedang akan mudah

tersinggung, mudah marah, tidak sabaran, sulit beristirahat, mudah lelah dan

cemas.

4. Stres berat, Stres yang berlangsung dalam jangka beberapa minggu,

penyebab dapat berupa perselisihan yang berlanjut, kesulitan finansial dan

merasa kekurangan dalam hal fisik. Seseorang yang merasa stress berat

akan merasa tertekan, tidak dapat merasakan hal positif, merasa mudah

putus asa, merasa hidup ini tidak berharga dan merasa hidup itu tidak

bermanfaat. Apabila stres terus berlanjut maka seseorang akan mulai

kehilangan energi.
5. Stres sangat berat, Merupakan stres kronis yang terjadi dalam waktu

beberapa bulan hingga waktu yang tak dapat ditentukan. Apabila berada

pada tingkat stres sangat berat seseorang akan merasa tidak ada guna

untuk hidup dan orang tersebut akan berada pada fase depresi berat.

2.3.6 Mekanisme Koping Stres

Menurut Santrock (2020), Koping stres merupakan mekanisme seseorang

untuk memecahkan permasalahan yang menyebabkan timbulnya stres sehingga

dapat mengurangi tingkat stres tersebut. Strategi yang dapat digunakan dalam

Koping stress dapat berupa :

1. Problem focused coping, Pada strategi ini lebih membahas bagaimana

upaya untuk memecahkan masalah yang terkait dengan stres. Contoh upaya

pemecahan masalah dapat berupa usaha seorang siswa yang memiliki

permasalahan dalam proses belajar, maka siswa tersebut berusaha untuk

mengikuti kegiatan bimbingan belajar di luar kelasnya agar dia dapat belajar

secara efektif. Umumnya strategi problem focused coping merupakan upaya

coping yang bersifat positif.

2. Emotion focused coping Strategi pemecahan masalah dengan melakukan

pendekatan secara emosional terhadap stres yang dialami dengan

menggunakan mekanisme pertahanan. Cara yang dapat dilakukan dalam

emotion focused coping dapat dengan menghindari masalah yang ada,

melakukan rasionalisasi atas permasalahan yang terjadi, menyangkal

peristiwa yang terjadi, menertawakan permasalahan yang ada atau mencari

pandangan religius atas masalah yang dialami untuk mendapatkan

dukungan. Seperti contoh siswa yang merasa sulit pada salah satu mata

kuliah, maka siswa tersebut akan melakukan penghindaran dengan cara

tidak menghadiri kelas tersebut. Contoh lain yaitu seseorang akan berusaha
menghindari masalah yang ada dengan tertawa riang bersama teman-

temannya, namun cara-cara tersebut tidak selalu baik untuk menghadapi

suatu masalah. Strategi problem focused coping bekerja lebih baik

dibandingkan emotion focused coping.

3. Berpikir positif, Menghindari berpikiran negatif merupakan salah satu strategi

coping stress yang dapat dilakukan seseorang, dengan berpikiran positif

seseorang dapat lebih efisien dalam mengolah informasi dan lebih optimis.

4. Dukungan, Seorang dapat meredam stresnya dengan berada dekat dengan

kerabat akrabnya. Seorang remaja yang memiliki hubungan yang dekat

dengan ibu dapat lebih efektif dalam mengatasi stres. Dukungan besar yang

lain, berupa dukungan teman-teman sebaya. Orang-orang yang

memberikan dukungan dan keyakinan untuk dapat menyelesaikan masalah

secara efektif, kemudian yang mendapat dukungan akan merasa dicintai dan

berharga karena mengetahui orang di sekitarnya begitu peduli padanya

2.4 KONSEP KUALITAS HIDUP

2.4.1 Pengertian Kualitas Hidup

Kualitas hidup menurut World Health Organization Quality Of Life atau

WHOQOL dapat diartikan sebagai persepsi individu mengenai posisi mereka

dalam kehidupan dimana dalam konteks budaya dan sistem nilai mereka

memiliki suatu tujuan, harapan serta standar dalam hidup (WHOQOL, 2018).

Kualitas hidup adalah persepsi individu terhadap posisi mereka dalam

kehidupannya. baik dilihat dari konteks budaya, maupun system nilai dimana

mereka tinggal dan hidup yang ada hubungannya dengan tujuan hidup, harapan,

standart dan fokus hidup mereka yang mencakup beberapa aspek sekaligus,

diantaranya aspek kondisi fisik, psikologis, sosial dan lingkungan dalam


kehidupan sehari-hari. Masalah yang mencakup kualitas hidup sangat luas dan

kompleks termasuk masalah kesehatan fisik, status psikologik, tingkat

kebebasan, hubungan sosial dan lingkungan dimana mereka berada (Andry dkk,

2020).

Berdasarkan pendapat pihak diatas, dapat disimpulkan bahwa kualitas

hidup (Quality of Life) merupakan penilaian individu mengenai posisinya dalam

kehidupan dengan melihat seberapa besar kemampuannya dalam melakukan

kegiatan sehari hari dan dapat dinilai dari berbagai dimensi yaitu fisik, psikologis,

sosial dan lingkungan.

2.4.2 Dimensi Yang Mencakup Dalam Kualitas Hidup

Menurut Rahmi (2019) kualitas hidup terkait kesehatan harus mencakup

dimensi yang diantaranya sebagai berikut :

1. Dimensi kesehatan fisik Dimensi merujuk pada gejala-gejala yang terkait

penyakit dan pengobatan yang dijalani.

2. imensi fungsional Dimensi ini terdiri dari perawatan diri, mobilitas, serta level

aktivitas fisik seperti kapasitas untuk dapat berperan dalam kehidupan

keluarga maupun pekerjaan.

3. Dimensi psikologis Meliputi fungsi kognitif, status emosi, serta persepsi

terhadap kesehatan, kepuasan hidup, serta kebahagiaan.

4. Dimensi hubungan sosial sosial Meliputi penilaian aspek kontak dan

interaksi sosial secara kualitatif maupun kuantitatif.

2.4.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Hidup

Menurut Kumar & Majumdar (2019), faktor-faktor yang mempengaruhi

kualitas hidup adalah:

1. Usia
usia sangat mempengaruhi kualitas hidup individu, karena individu yang

semakin tua akan semakin turun kualitas hidupnya. Semakin bertambahnya

usia, munculnya rasa putus asa akan terjadinya hal-hal yang lebih baik

dimasa yang akan datang.

2. Pendidikan

Pendidikan juga merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas

hidup, kualitas hidup akan meningkat seiring dengan lebih tingginya tingkat

pendidikan yang didapatkan oleh individu. Hal tersebut terjadi karena

individu yang memiliki pendidikan yang rendah akan merasa tidakpercaya

diri dan merasa bahwa dirinya tidak berguna.

3. Status Pernikahan

Individu yang telah menikah memiliki kualitas hidup yang lebih tinggi

dari pada individu yang tidak menikah. Karena pasangan yang menikah

akan merasa lebih bahagia dengan adanya pasangan yang selalu

menemaninya.

4. Keluarga

Keluarga juga merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas hidup.

Individu yang memiliki keluarga yang utuh dan harmonis akan lebih tinggi

kualitas hidupnya. Dikarenakan keluarga dapat memberikan dukungan dan

kasih sayang untuk meningkatkan kualitas hidup.

2.4.4 Aspek-Aspek Kualitas Hidup

Menurut Harper (2021), aspek yang dapat dilihat dari kualitas hidup,

seperti:

1. Kesehatan fisik

Aspek kesehatan fisik terdiri dari nyeri dan ketidaknyamanan, tidur

dan beristirahat, tingkat energi dan kelelahan, mobilitas, aktivitas seharihari,


kapasitas dalam bekerja, dan ketergantungan pada obat dan perawatan

medis. Kesehatan fisik juga mempengaruhi kemampuan individu untuk

melakukan aktivitas. Aktivitas yang dilakukan akan memberikan pengalaman

baru yang merupakan modal perkembangan ke tahap selanjutnya.

2. Kesehatan Psikologis

Aspek kesehatan psikologis ini terdiri atas berfikir; belajar; mengingat

dan konsentrasi, harga diri, penampilan dan citra tubuh, perasaan negatif,

perasaan positif serta spiritualitas. Aspek psikologis terkait dengan keadaan

mental individu. Keadaan mental mengarah pada mampu atau tidaknya

individu menyesuaikan diri terhadap berbagai tuntutan perkembangan

sesuai dengan kemampuannya, baik tuntutan dalam diri maupun dari luar

dirinya.

3. Lingkungan

Lingkungan, seperti kebebasan; keselamatan fisik dan keamanan,

lingkungan rumah, sumber keuangan, kesehatan dan kepedulian sosial,

peluang untuk memperoleh keterampilan dan informasi baru, keikutsertaan

dan peluang untuk berekreasi, aktivitas di lingkungan, transportasi. Aspek

lingkungan yaitu tempat tinggal individu, termasuk di dalamnya keadaan,

ketersediaan tempat tinggal untuk melakukan segala aktivitas kehidupan,

termasuk didalamnya adalah saran dan prasarana yang dapat menunjang

kehidupan.

2.4 KONSEP STATUS EKONOMI

2.4.1 Pengertian Status Ekonomi

Status ekonomi adalah kedudukan seseorang atau keluarga di

masyarakat berdasarkan pendapatan perbulan. Status ekonomi dapat dilihat dari


pendapatan yang disesuaikan dengan barang pokok. Status ekonomi keluarga

adalah kemampuan perekonomian suatu keluarga dalam memenuhi setiap

kebutuhan hidup seluruh anggota keluarga (Sumardi dan Dieter, 2019).

Menurut Sugiharto, dkk (2022) menyatakan status sosial ekonomi orang

tua, meliputi tingkat pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, penghasilan

orang tua. Keluarga yang memiliki status sosial ekonomi kurang mampu, akan

cenderung untuk memikirkan bagaimana pemenuhan kebutuhan pokok. Orang

dengan tingkat ekonomi rendah akan lebih berkonsentrasi terhadap pemenuhan

kebutuhan dasar yang menunjang kehidupannya dan keluarganya. Sebaliknya

orang dengan tingkat ekonomi tinggi akan mempunyai kesempatan lebih besar

dalam menempuh pendidikan dimana orang dengan tingkat ekonomi tinggi akan

lebih mudah menerima informasi sehingga makin banyak pula pengetahuan yang

dimiliki sehingga akan memperhatikan kesehatan diri dan keluarga.

2.4.2 Indikator Status Ekonomi

Menurut Swasta dan Handoko (2023), bahwa “Ukuran atau kriteria yang

dipakai untuk menggolongkan anggota masyarakat ke dalam kelaskelas tertentu

adalah kekayaan, kekuasaan/jabatan, kehormatan, dan pendidikan/ilmu

pengetahuan”. Jadi dalam penjelasan tersebut yang dinamakan status sosial

ekonomi yaitu mengedepankan kepada pekerjaan dan pendapatan yang diterima

oleh pihak atau masyarakat tersebut di dalam suatu kehidupan.

hal-hal yang dapat mempengaruhi status sosial ekonomi adalah sebagai

berikut :

1. Ukuran kekayaan, adalah semakin kaya seseorang maka akan tinggi status

seseorang di dalam masyarakat.


2. Ukuran kekuasaan, adalah semakin tinggi dan banyak wewenang seseorang

dalam masyarakat, maka semakin tinggi tingkat status ekonomi seseorang

tersebut.

3. Ukuran kehormatan, adalah orang yang disegani di masyarakat akan

ditempatkan lebih tinggi dari orang lain dalam masyarakat.

4. Ukuran ilmu pengetahuan, adalah ilmu pengetahuan sebagai ukuran dipakai

oleh masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan.

Berdasarkan beberapa pendapat dari para ahli di atas, maka indikator

status sosial ekonomi orang tua dapat dijadikan sebagai ukuran, tingkat

pendidikan, tingkat penghasialan, jenis pekerjaan orang tua, dan fasilitas yang

dimiliki oleh orang tua.

2.4.3 Bentuk-bentuk Status Ekonomi

Menurut Sukanto, (2020) mengemukakan bahwa bentuk-bentuk status

sosial ekonomi terdiri dari tiga bentuk, yaitu :

1. Ascribed Status, adalah kedudukan seseorang dalam masyrakat tanpa

memperhatikan perbedaan-perbedaan rohaniah dan kemampuan.

Kedudukan tersebut diperoleh karena kelahiran, misalnya keturunan darah

biru adalah dia yang berdarah biru.

2. Achieved Status, adalah kedudukan yang dicapai seseorang dengan

usahausaha yang disengaja. Kedudukan ini bersifat terbuka bagi siapa saja,

tergantung dari kemampuan dalam mengajar serta mencapai berbagai

tujuan.

3. Assigned Status, adalah kedudukan yang diberi oleh suatu kelompok atau

golongan kepada seseorang yang berjasa.

Anda mungkin juga menyukai