Anda di halaman 1dari 12

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi dispepsia


Dispepsia berasal dari bahasa Yunani yang berarti pencernaan yang tidak baik.
Dispepsia mengacu pada nyeri atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas;
meliputi nyeri epigastrium, perasaan cepat kenyang (tidak dapat menyelesaikan
makanan dalam porsi yang normal), rasa penuh setelah makan.10
Kebanyakan pasien dengan keluhan dispepsia pada saat pemeriksaan tidak
ditemukan kelainan organik yang dapat menjelaskan keluhan tersebut seperti
chronic peptic-ulcer disease, gastro-oesophageal reflux, malignancy, sekitar 60%
keluhan-keluhan tersebut tidak dapat dijelaskan, keadaan ini disebut fungsional,
atau non-ulcer dyspepsia. Pasien dengan penyebab yang jelas tidak dimasukkan
dalam kategori dispepsia fungsional.11
Menurut ROME III tahun 2006, dispepsia fungsional harus memenuhi semua
kriteria di bawah ini yang dialami sekurang-kurangnya satu kali seminggu selama
minimal dua bulan sebelum diagnosis ditegakkan:12
-

Nyeri yang persisten atau berulang atau perasaan tidak nyaman yang
berasal dari perut bagian atas (di atas umbilikus).

Nyeri tidak hilang dengan defekasi atau tidak berhubungan dengan suatu
perubahan frekuensi buang air besar atau konsistensi feses.

Tidak ditemukan kelainan organik.

2.2. Epidemiologi
Angka kejadian dispepsia fungsional pada anak tidak jelas diketahui. Suatu
penelitian menunjukkan bahwa 13% sampai 17% anak dan remaja mengalami nyeri
perut setiap minggu dan dalam penelitian lain juga dilaporkan berkisar 8% dari
seluruh anak dan remaja

rutin memeriksakan tentang keluhan nyeri perut yang

dialaminya ke dokter.13
Penelitian di Bangkok mendapatkan dispepsia fungsional sebesar 62% pada
anak dan remaja berusia diatas 5 tahun yang mengeluhkan sakit perut, rasa tidak
nyaman dan mual setidaknya dalam waktu satu bulan.4 Data statistik kunjungan
pasien baru rawat jalan poliklinik anak Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan tahun
2009 didapati 11 kasus dispepsia dari 1.910 pasien baru, tahun 2010 didapati 12
kasus dispepsia dari 1.894 pasien baru, tahun 2011 didapati 24 kasus dispepsia dari
1.935 pasien baru. Dari data statistik tersebut dijumpai peningkatan angka
kunjungan pasien dispepsia setiap tahun.14
Seiring dengan bertambah maju ilmu pengetahuan dan alat-alat kedokteran
terutama endoskopi dan diketahuinya penyakit saluran pencernaan yang disebabkan
Helicobacter pylori (Hp), maka diperkirakan makin banyak kelainan organik yang
dapat ditemukan. Suatu studi melaporkan tidak dijumpai perbedaan karakteristik
gejala sakit perut pada kelompok yang terinfeksi dengan yang tidak terinfeksi Hp.
Pada anak di bawah 4 tahun

sebagian besar disebabkan kelainan organik,

sedangkan pada usia di atas 4 tahun kelainan fungsional merupakan penyebab


terbanyak.15-17

2.3. Patofisiologi
2.3.1. Faktor Genetik
Genetik

merupakan

faktor

predisposisi

penderita

gangguan

gastrointestinal

fungsional. Faktor genetik dapat mengurangi jumlah sitokin antiinflamasi (Il-10, TGF). Penurunan sitokin antiinflamasi dapat meyebabkan peningkatan sensitisasi pada
usus. Selain itu polimorfisme genetik berhubungan dengan protein dari sistem
reuptake synaptic serotonin serta reseptor polimorfisme alpha adrenergik yang
memengaruhi motilitas dari usus. 11
Insiden keluarga yang mengalami gangguan fungsional gastrointestinal
berhubungan dengan potensi genetik. Perbedaan pada kelenjar axis hipotalamus
pituitary adrenal menjadi hasil temuan yang menarik. Pada pasien gangguan
gastrointestinal fungsional terjadi hiperaktifitas dari axis hypothalamus pituitarity
adrenal.11

2.3.2. Faktor Psikososial


Penyelidikan atas pengaruh psikososisal mengungkapkan bahwa stres adalah faktor
yang mempengaruhi dispepsia fungsional. Emosi labil memberikan kontribusi
terhadap perubahan fungsi gastrointestinal. Hal ini merupakan akibat dari pengaruh
pusat di enterik. Stres adalah faktor yang diduga dapat mengubah gerakan dan
aktivitas sekresi traktus gastrointestinal melalui mekanisme-neuroendokrin.11
Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa anak-anak dengan gangguan
fungsi gastrointestinal lebih lazim disebabkan karena kecemasan pada diri mereka
dan orang tua terutama ibu. Satu studi menyatakan bahwa stres atau kecemasan
6

dapat mengaktifkan reaksi disfungsi otonomik traktus gastrointestinal yang dapat


menyebabkan gejala sakit perut berulang.11,18

2.3.3. Pengaruh Flora Bakteri


Infeksi

Hp

menyebabkan

dispepsia

fungsional.

Penyelidikan

epidemiologi

menunjukkan kejadian infeksi Hp pada pasien dengan dispepsia cukup tinggi,


walaupun masih ada perbedaan pendapat mengenai pengaruh Hp terhadap
dispepsia fungsional. Diketahui bahwa Hp dapat merubah sel neuroendokrin
lambung. Sel neuroendokrin menyebabkan peningkatan sekresi lambung dan
menurunkan kadar somatostatin.11,15,16

2.3.4. Gangguan motilitas dari saluran pencernaan


Stres mengakibatkan gangguan motilitas gastrointestinal. Pada pasien dispepsia
fungsional terjadi gangguan motilitas dibandingkan dengan kontrol yang sehat, dari
17 penelitian kohort yang di teliti tahun 2000 menunjukkan keterlambatan esensial
pengosongan lambung pada 40% pasien dispepsia fungsional. Gastric scintigraphy
ultrasonography dan barostatic measure menunjukkan terganggunya distribusi
makanan didalam lambung, dimana terjadi akumulasi isi lambung pada perut bagian
bawah dan berkurangnya relaksasi pada daerah antral. Dismolitas duodenum
adalah keadaan patologis yang dapat terjadi pada dispepsia fungsional, dimana
terjadi gangguan aktivitas mioelektrikal yang merupakan pengatur dari aktivitas
gerakan gastrointestinal.11

2.3.5. Hipersensitivitas viseral


Hipersensitivitas viseral merupakan suatu distensi mekanik akibat gastrointestinal
hipersensitif terhadap rangsangan, merupakan salah satu hipotesis

penyakit

gastrointestinal fungsional. Fenomena ini berdasarkan mekanisme perubahan


perifer. Sensasi viseral ditransmisikan dari gastrointestinal ke otak, dimana sensasi
nyeri

dirasakan.

Peningkatan

persepsi

nyeri

sentral

berhubungan

dengan

peningkatan sinyal dari usus.6,11


Peningkatan perangsangan pada dinding perut menunjukkan disfungsi pada
aktivitas aferen. Secara umum terganggunya aktivitas serabut aferen lambung
mungkin menyebabkan timbulnya gejala dispepsia. Dispepsia fungsional juga
ditandai oleh respon motilitas yang cepat setelah rangsangan kemoreseptor usus.
Hal ini mengakibatkan rasa mual dan penurunan motilitas duodenum.11
Mekanisme hipersensitivitas viseral ini juga terkait dengan mekanisme
sentral. Penelitian pada nyeri viseral dan somatik menunjukkan bagian otak yang
terlibat dalam afektif, kognitif dan aspek emosional terhadap rasa sakit yang
berhubungan dengan pusat sistem saraf otonom. Kemungkinan bahwa perubahan
periperal pada gastrointestinal dimodulasi oleh mekanisme sentral. Bagian
kortikolimbikpontin otak adalah bagian pusat terpenting dalam persepsi stimuli
periperal. 6,11

2.4. Manifestasi Klinis


Klasifikasi klinis praktis membagi dispepsia berdasarkan atas keluhan/ gejala yang
dominan menjadi tiga tipe yakni:17
1. Dispepsia dengan keluhan seperti ulkus (ulcus-like dyspepsia)
a. Nyeri epigastrium terlokalisasi
b. Nyeri hilang setelah makan atau pemberian antasida
c. Nyeri saat lapar
d. Nyeri episodik
2. Dispepsia dengan gejala seperti dismotilitas (dysmotility-like dyspepsia)
a. Mudah kenyang
b. Perut cepat terasa penuh saat makan
c. Mual
d. Muntah
e. Upper abdominal bloating (bengkak perut bagian atas)
f.

Rasa tak nyaman bertambah saat makan

3. Dispepsia non spesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe di atas)
Sindroma dispepsia dapat bersifat ringan, sedang, dan berat, serta dapat
akut atau kronis sesuai dengan perjalanan penyakit. Pembagian akut dan kronik
berdasarkan atas jangka waktu tiga bulan. Nyeri dan rasa tidak nyaman pada perut
atas atau dada mungkin disertai dengan sendawa dan suara usus yang keras
(borborigmi). Pada beberapa penderita, makan dapat memperburuk nyeri,
sedangkan pada penderita lainnya, makan bisa mengurangi nyeri. Gejala lain
meliputi nafsu makan

menurun, mual, sembelit, diare dan flatulensi (perut


9

kembung). Jika dispepsia menetap selama lebih dari beberapa minggu, atau tidak
memberi respon terhadap pengobatan, atau disertai penurunan berat badan atau
gejala lain yang tidak biasa, maka penderita harus menjalani pemeriksaan.19,20
Gejala klinis dispepsia fungsional harus dapat kita bedakan dengan sakit perut
berulang yang disebabkan oleh kelainan organik yang mempunyai tanda peringatan
(alarm symptoms) seperti pada tabel berikut.21
Tabel 2.1.Alarm symptoms sakit perut berulang karena kelainan organik.21
Nyeri terlokalisir, jauh dari umbilikus
Nyeri menjalar (punggung, bahu, ekstremitas bawah)
Nyeri sampai membangunkan anak pada malam hari
Nyeri timbul tiba-tiba
Disertai muntah berulang terutama muntah kehijauan
Disertai gangguan motilitas (diare, obstipasi, inkontinensia)
Disertai perdarahan saluran cerna
Terdapat disuria
Berhubungan dengan menstruasi
Terdapat gangguan tumbuh kembang
Terdapat gangguan sistemik: demam, nafsu makan turun
Terjadi pada usia < 4 tahun
Terdapat organomegali
Terdapat pembengkakan, kemerahan dan hangat pada sendi
Kelainan perirektal: fisura, ulserasi

10

2.5. Pemeriksaan
Pemeriksaan untuk dispepsia terbagi pada beberapa bagian:10,22
1. Pemeriksaan laboratorium, biasanya meliputi hitung jenis sel darah lengkap
dan pemeriksaan darah dalam tinja, dan urin. Jika ditemukan leukositosis
berarti ada tanda-tanda infeksi. Jika tampak cair berlendir atau banyak
mengandung lemak pada pemeriksaan tinja kemungkinan menderita
malabsorpsi. Seseorang yang diduga menderita dispepsia ulkus sebaiknya
diperiksa derajat keasaman lambung. Jika diduga suatu keganasan, dapat
diperiksa tumor marker seperti CEA (dugaan karsinoma kolon), dan CA 19-9
(dugaan karsinoma pancreas).
2. Barium enema untuk memeriksa saluran cerna pada orang yang mengalami
kesulitan menelan atau muntah, penurunan berat badan atau mengalami
nyeri yang membaik atau memburuk bila penderita makan.
3. Endoskopi biasanya digunakan untuk mendapatkan contoh jaringan dari
lapisan lambung melalui tindakan biopsi. Pemeriksaan nantinya di bawah
mikroskop untuk mengetahui apakah lambung terinfeksi Hp. Endoskopi
merupakan pemeriksaan baku emas, selain sebagai diagnostik sekaligus
terapeutik.
4. Pemeriksaan penunjang lainnya seperti foto polos abdomen, serologi Hp,
urea breath test, dan lain-lain dilakukan atas dasar indikasi.

11

2.6. Penatalaksanaan
Pengobatan untuk dispepsia fungsional masih belum jelas. Beberapa pengobatan
yang telah didukung oleh bukti ilmiah adalah : pemberantasan Hp, Itoprid, PPI, dan
terapi psikologi. Pengobatan yang belum didukung bukti adalah antasida,
antispasmodik, bismuth, terapi diet, terapi herbal,
golongan

prokinetik,

selective

serotonin-reuptake

reseptor AH2, misoprostol,


inhibitor,

sukralfat,

dan

antidepresan.6,23 Penanganan dispepsia fungsional dapat dilakukan dengan

non

farmakologi dan farmakologi.

2.6.1. Non farmakologi


Beberapa studi mengenai penanganan dispepsia fungsional diantaranya dengan
cognitive-behavioural therapy, pengaturan diet, dan terapi farmakologi. Gejala dapat
dikurangi dengan menghindari makanan yang mengganggu, diet tinggi lemak, kopi,
alkohol, dan merokok. Selain itu, makanan kecil rendah lemak dapat membantu
mengurangi intensitas gejala. Direkomendasikan juga untuk menghindari makan
yang terlalu banyak terutama di malam hari dan membagi asupan makanan seharihari menjadi beberapa makanan kecil. Alternatif pengobatan yang lain termasuk
hipnoterapi, terapi relaksasi dan terapi perilaku.22,24

2.6.2. Farmakologis
Pengobatan dispepsia fungsional mengenal beberapa obat, yaitu :6,7,25,26
a. Antasida
b. Antikolinergik
12

c. Antagonis reseptor H2
d. PPI
e. Sitoprotektif
f. Golongan prokinetik
g. Psikoterapi dan psikofarmaka (obat anti depresi dan cemas)

2.7. Reseptor Antagonis H2 (AH2)


Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia organik atau
esensial seperti tukak peptik. Obat yang termasuk golongan ini adalah famotidin,
ranitidin, simetidin dan nizatidin.7 Obat cepat diserap setelah pemberian per oral.
Efek reseptor AH2 pada sekresi asam tergantung pada dosis dan konsentrasi.27
Penghambat reseptor AH2 secara kompetitif manghambat aksi histamin
pada reseptor histamine H2 pada sel parietal lambung. Sel parietal memiliki reseptor
untuk histamin, asetilkolin dan gastrin, yang semuanya dapat merangsang sekresi
asam hidroklorida ke dalam lumen gaster.7,27
Penghambat reseptor H2 menghambat sekresi asam yang dihasilkan oleh
reseptor histamin. Efek penghambat reseptor H2 pada sekresi asam tergantung
pada dosis dan konsentrasi.7,27
Reseptor AH2 kecil pengaruhnya terhadap otot polos lambung dan tekanan
sfingter esophagus yang lebih bawah. Sekresi gastrointestinal yang lain tidak banyak
berkurang. Terdapat perbedaan potensial yang sangat jelas dari efikasinya
dibanding obat lain dalam mengurangi sekresi asam.7

13

2.7.1 Famotidin
Famotidin merupakan antagonis reseptor H2 yang bersifat long-acting. Famotidin
tiga kali lebih poten daripada ranitidin dan duapuluh lebih poten daripada simetidin.
Famotidin cepat diserap dan mencapai kadar puncak di plasma kira- kira dalam 1
sampai 3 jam setelah penggunaan oral, masa paruh eleminasi 3 sampai 8 jam dan
bioavaibilitas 40% sampai 50%. Metabolit utama adalah famotidin S-oksida. Setelah
dosis oral tunggal sekitar 25% dari dosis ditemukan dalam bentuk asal di urin. Pada
pasien gagal ginjal berat masa paruh eliminasi dapat melebihi 20 jam.7
Efek reseptor AH2 pada sekresi asam tergantung pada dosis dan
konsentrasi. Famotidin diberikan dengan dosis 0.5 mg/kgBB/dosis dua kali sehari
dengan dosis maksimal 40 mg/hari selama dua minggu.27
Efek samping famotidin biasa ringan dan jarang terjadi, misalnya sakit
kepala, pusing, konstipasi dan diare.7

14

2.8. Kerangka Konseptual

- Infeksi H. pylori
- Ulkus lambung

Faktor
Psikososial

Faktor Genetik

Hipersensitif
Viseral

- Ulkus duoedenum
DISPEPSIA
Ulcus-like dyspepsia
DISPEPSIA

Dysmotility-like
dyspepsia

ORGANIK

Non specific dyspepsia

Pengobatan
Famotidin

DISPEPSIA
FUNGSIONAL

Frekuensi
Nyeri

(menurut kriteria
ROME III)

Lama/ Durasi
nyeri

: variabel yang diteliti

15

Anda mungkin juga menyukai