TINJAUAN PUSTAKA
Nyeri yang persisten atau berulang atau perasaan tidak nyaman yang
berasal dari perut bagian atas (di atas umbilikus).
Nyeri tidak hilang dengan defekasi atau tidak berhubungan dengan suatu
perubahan frekuensi buang air besar atau konsistensi feses.
2.2. Epidemiologi
Angka kejadian dispepsia fungsional pada anak tidak jelas diketahui. Suatu
penelitian menunjukkan bahwa 13% sampai 17% anak dan remaja mengalami nyeri
perut setiap minggu dan dalam penelitian lain juga dilaporkan berkisar 8% dari
seluruh anak dan remaja
dialaminya ke dokter.13
Penelitian di Bangkok mendapatkan dispepsia fungsional sebesar 62% pada
anak dan remaja berusia diatas 5 tahun yang mengeluhkan sakit perut, rasa tidak
nyaman dan mual setidaknya dalam waktu satu bulan.4 Data statistik kunjungan
pasien baru rawat jalan poliklinik anak Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan tahun
2009 didapati 11 kasus dispepsia dari 1.910 pasien baru, tahun 2010 didapati 12
kasus dispepsia dari 1.894 pasien baru, tahun 2011 didapati 24 kasus dispepsia dari
1.935 pasien baru. Dari data statistik tersebut dijumpai peningkatan angka
kunjungan pasien dispepsia setiap tahun.14
Seiring dengan bertambah maju ilmu pengetahuan dan alat-alat kedokteran
terutama endoskopi dan diketahuinya penyakit saluran pencernaan yang disebabkan
Helicobacter pylori (Hp), maka diperkirakan makin banyak kelainan organik yang
dapat ditemukan. Suatu studi melaporkan tidak dijumpai perbedaan karakteristik
gejala sakit perut pada kelompok yang terinfeksi dengan yang tidak terinfeksi Hp.
Pada anak di bawah 4 tahun
2.3. Patofisiologi
2.3.1. Faktor Genetik
Genetik
merupakan
faktor
predisposisi
penderita
gangguan
gastrointestinal
fungsional. Faktor genetik dapat mengurangi jumlah sitokin antiinflamasi (Il-10, TGF). Penurunan sitokin antiinflamasi dapat meyebabkan peningkatan sensitisasi pada
usus. Selain itu polimorfisme genetik berhubungan dengan protein dari sistem
reuptake synaptic serotonin serta reseptor polimorfisme alpha adrenergik yang
memengaruhi motilitas dari usus. 11
Insiden keluarga yang mengalami gangguan fungsional gastrointestinal
berhubungan dengan potensi genetik. Perbedaan pada kelenjar axis hipotalamus
pituitary adrenal menjadi hasil temuan yang menarik. Pada pasien gangguan
gastrointestinal fungsional terjadi hiperaktifitas dari axis hypothalamus pituitarity
adrenal.11
Hp
menyebabkan
dispepsia
fungsional.
Penyelidikan
epidemiologi
penyakit
dirasakan.
Peningkatan
persepsi
nyeri
sentral
berhubungan
dengan
3. Dispepsia non spesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe di atas)
Sindroma dispepsia dapat bersifat ringan, sedang, dan berat, serta dapat
akut atau kronis sesuai dengan perjalanan penyakit. Pembagian akut dan kronik
berdasarkan atas jangka waktu tiga bulan. Nyeri dan rasa tidak nyaman pada perut
atas atau dada mungkin disertai dengan sendawa dan suara usus yang keras
(borborigmi). Pada beberapa penderita, makan dapat memperburuk nyeri,
sedangkan pada penderita lainnya, makan bisa mengurangi nyeri. Gejala lain
meliputi nafsu makan
kembung). Jika dispepsia menetap selama lebih dari beberapa minggu, atau tidak
memberi respon terhadap pengobatan, atau disertai penurunan berat badan atau
gejala lain yang tidak biasa, maka penderita harus menjalani pemeriksaan.19,20
Gejala klinis dispepsia fungsional harus dapat kita bedakan dengan sakit perut
berulang yang disebabkan oleh kelainan organik yang mempunyai tanda peringatan
(alarm symptoms) seperti pada tabel berikut.21
Tabel 2.1.Alarm symptoms sakit perut berulang karena kelainan organik.21
Nyeri terlokalisir, jauh dari umbilikus
Nyeri menjalar (punggung, bahu, ekstremitas bawah)
Nyeri sampai membangunkan anak pada malam hari
Nyeri timbul tiba-tiba
Disertai muntah berulang terutama muntah kehijauan
Disertai gangguan motilitas (diare, obstipasi, inkontinensia)
Disertai perdarahan saluran cerna
Terdapat disuria
Berhubungan dengan menstruasi
Terdapat gangguan tumbuh kembang
Terdapat gangguan sistemik: demam, nafsu makan turun
Terjadi pada usia < 4 tahun
Terdapat organomegali
Terdapat pembengkakan, kemerahan dan hangat pada sendi
Kelainan perirektal: fisura, ulserasi
10
2.5. Pemeriksaan
Pemeriksaan untuk dispepsia terbagi pada beberapa bagian:10,22
1. Pemeriksaan laboratorium, biasanya meliputi hitung jenis sel darah lengkap
dan pemeriksaan darah dalam tinja, dan urin. Jika ditemukan leukositosis
berarti ada tanda-tanda infeksi. Jika tampak cair berlendir atau banyak
mengandung lemak pada pemeriksaan tinja kemungkinan menderita
malabsorpsi. Seseorang yang diduga menderita dispepsia ulkus sebaiknya
diperiksa derajat keasaman lambung. Jika diduga suatu keganasan, dapat
diperiksa tumor marker seperti CEA (dugaan karsinoma kolon), dan CA 19-9
(dugaan karsinoma pancreas).
2. Barium enema untuk memeriksa saluran cerna pada orang yang mengalami
kesulitan menelan atau muntah, penurunan berat badan atau mengalami
nyeri yang membaik atau memburuk bila penderita makan.
3. Endoskopi biasanya digunakan untuk mendapatkan contoh jaringan dari
lapisan lambung melalui tindakan biopsi. Pemeriksaan nantinya di bawah
mikroskop untuk mengetahui apakah lambung terinfeksi Hp. Endoskopi
merupakan pemeriksaan baku emas, selain sebagai diagnostik sekaligus
terapeutik.
4. Pemeriksaan penunjang lainnya seperti foto polos abdomen, serologi Hp,
urea breath test, dan lain-lain dilakukan atas dasar indikasi.
11
2.6. Penatalaksanaan
Pengobatan untuk dispepsia fungsional masih belum jelas. Beberapa pengobatan
yang telah didukung oleh bukti ilmiah adalah : pemberantasan Hp, Itoprid, PPI, dan
terapi psikologi. Pengobatan yang belum didukung bukti adalah antasida,
antispasmodik, bismuth, terapi diet, terapi herbal,
golongan
prokinetik,
selective
serotonin-reuptake
sukralfat,
dan
non
2.6.2. Farmakologis
Pengobatan dispepsia fungsional mengenal beberapa obat, yaitu :6,7,25,26
a. Antasida
b. Antikolinergik
12
c. Antagonis reseptor H2
d. PPI
e. Sitoprotektif
f. Golongan prokinetik
g. Psikoterapi dan psikofarmaka (obat anti depresi dan cemas)
13
2.7.1 Famotidin
Famotidin merupakan antagonis reseptor H2 yang bersifat long-acting. Famotidin
tiga kali lebih poten daripada ranitidin dan duapuluh lebih poten daripada simetidin.
Famotidin cepat diserap dan mencapai kadar puncak di plasma kira- kira dalam 1
sampai 3 jam setelah penggunaan oral, masa paruh eleminasi 3 sampai 8 jam dan
bioavaibilitas 40% sampai 50%. Metabolit utama adalah famotidin S-oksida. Setelah
dosis oral tunggal sekitar 25% dari dosis ditemukan dalam bentuk asal di urin. Pada
pasien gagal ginjal berat masa paruh eliminasi dapat melebihi 20 jam.7
Efek reseptor AH2 pada sekresi asam tergantung pada dosis dan
konsentrasi. Famotidin diberikan dengan dosis 0.5 mg/kgBB/dosis dua kali sehari
dengan dosis maksimal 40 mg/hari selama dua minggu.27
Efek samping famotidin biasa ringan dan jarang terjadi, misalnya sakit
kepala, pusing, konstipasi dan diare.7
14
- Infeksi H. pylori
- Ulkus lambung
Faktor
Psikososial
Faktor Genetik
Hipersensitif
Viseral
- Ulkus duoedenum
DISPEPSIA
Ulcus-like dyspepsia
DISPEPSIA
Dysmotility-like
dyspepsia
ORGANIK
Pengobatan
Famotidin
DISPEPSIA
FUNGSIONAL
Frekuensi
Nyeri
(menurut kriteria
ROME III)
Lama/ Durasi
nyeri
15