Anda di halaman 1dari 27

BAB 1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Di berbagai sarana pelayanan kesehatan prevalensi dispepsia cenderung meningkat
setiap tahun. Dispepsia memang bukanlah suatu penyakit yang mengancam jiwa, namun
nyeri yang dapat datang sewaktu-waktu terasa sangat mengganggu penderitanya. Penyakit ini
juga bukan merupakan suatu penyakit yang dapat sembuh sendiri (self limited disease),
sehingga upaya pengobatan, mengurangi frekuensi dan intensitas serangan dispepsia akut
sangat diperlukan. Pengobatan farmakologis untuk pasien dispepsia belum begitu
memuaskan (Triyono dkk., 2016).
Kecenderungan back to nature masyarakat Indonesia maupun manca negara saat ini,
merupakan suatu peluang yang cukup besar bagi obat bahan alam untuk menggantikan obat
modern walaupun belum secara penuh (Triyono dkk., 2016). Menurut data Riset Kesehatan
Dasar tahun 2010 menunjukkan 60 % penduduk Indonesia diatas usia 15 tahun menyatakan
pernah minum jamu, dan 90 % diantaranya menyatakan adanya manfaat minum jamu. Jamu
di Indonesia secara empiris digunakan dalam upaya promotif, preventif bahkan selanjutnya
berkembang ke arah kuratif dan paliatif (Aditama, 2014). Adanya bukti empiris khasiat dari
jamu, maka perlu dilakukan pengujian secara ilmiah untuk mendapatkan khasiat nyata yang
teruji secara ilmiah. Proses pembuktian ilmiah jamu melalui penelitian berbasis pelayanan
kesehatan ini disebut saintifikasi jamu. Saintifikasi jamu ini bertujuan agar jamu dapat
dimanfaatkan secara luas baik untuk pengobatan sendiri maupun dalam fasilitas pelayanan
kesehatan dan untuk meningkatkan kegiatan penelitian kualitatif terhadap pasien dengan
penggunaan jamu.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) merupakan salah satu
unit utama Kementerian Kesehatan yang aktif melakukan penelitian di bidang tanaman obat
dan obat tradisional. Saintifikasi Jamu yang dilakukan oleh Balitbangkes di Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT)
Tawangmangu, Jawa Tengah berhasil menemukan ramuan tanaman obat yang terbukti secara
ilmiah. Salah satu obat tradisional yang tersaintifikasi yaitu obat tradisional untuk dispepsia.
Resep terdiri dari berbagai komponen tanaman obat, dimana setiap komponen memiliki
1
khasiat yang berbeda. Berdasarkan penjelasan di atas, maka penulis menyusun makalah
untuk membahas pengobatan dispepsia menggunakan resep jamu tersaintifikasi.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana gambaran klinis penyakit dispepsia ?
2. Bagaimana resep jamu tersaintifikasi untuk pasien dispepsia?
3. Bagaimana cara pemakaian jamu tersaintifikasi untuk dispepsia?

1.3 Tujuan
Dalam penulisan makalah ini diharapkan pembaca dapat memahami seputar penyakit
dispepsia, saintifikasi jamu, dapat memahami resep jamu tersaintifikasi untuk pasien
dispepsia serta seabagai apoteker dapat memberikan pelayanan resep untuk pasien yang
menderita dispepsia.

2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dispepsia
2.1.1 Definisi
Dispepsia merupakan bukan suatu diagnosa penyakit melainkan gejala dari suatu gangguan
atau penyakit saluran cerna yaitu perasaan tidak nyaman atau perih yang timbul di perut bagian
atas atau dada bagian bawah. Penyebab yang mendasari gejala ini biasanya penyakit saluran
cerna seprti GERD dan dapat pula karena penyakit serius seperti kanker lambung. Prevalensi
dispepsia pada populasi orang dewasa secara umum diperkirakan berkisar antara 20-45%.
Presentasi dispepsia dapat mencakup berbagai gejala seperti pembakaran restroternal atau
pegastrik, bersendawa, bersendawa, mual, kembung, atau perasaan tertelan lambat (Talley, 2016).

2.1.2 Etiologi
Penyebab dispepsia digolongkan berdasarkan sifatnya yaitu organik dan non organik atau
fungsional. Dispepsia organik disebabkan karena adanya kelainan terhadap saluran cerna seperti
ulkus peptikum, gastritis, kanker lambung, gastro esophageal reflux disease, pankreatitis,
dispepsia pada malabsorbsi, dispepsia akibat H. Pylori dan penyakit sistemik seperti diabetes
militus, penyakit tiroid dan penyakin jantung koroner. Sedangkan penyakit yang bersifat
fungsional dapat disebabkan karena faktor sekresi asam lambung yang berlebihan, dismotilitas
gastrointestinal, intoleransi terhadap makanan yang dapat memicu terbentuknya asam lambung
yang banyak mengandung Hcl dan pepsin, stres akut juga dapat mempengaruhi fungsi
gastrointestinal yaitu dapat menurunkan kontraktilitas lambung yang ditandai dengan keluhan
mual. Obat-obatan juga termasuk penyebab dispepsia fungsional yaitu seperti obat penghilang
nyeri seperto Nonsteroid Anti Inflamatory Drugs (NSAID) misalnya aspirin, ibuprofen dan
naproven (Hunt dkk., 2002).

2.1.3 Patofisiologi
Beberapa mekanisme patofisiologis yang mendasari gejala dispepsia adalah pengosongan
lambung tertunda, akomodasi lambung terganggu untuk makan, hipersensitivitas terhadap
distensi lambung, infeksi H. pylori, perubahan respons terhadap lipid atau asam duodenum,
motilitas duodenojejunal abnormal, atau disfungsi sistem saraf pusat. Stres mengakibatkan
gangguan motilitas gastrointestinal. Konsumsi makanan memainkan peran penting dalam genesis
3
gejala dispepsia. Makanan tinggi lemak memperlambat pengosongan lambung (Tack dkk., 2004).
Berdasarkan Djojoningrat, (2009) patofisiologi dispepsia beraneka ragam yaitu:
a. Infeksi Helicobacter pylori (Hp)
Infeksi Helicobacter pylori mempengaruhi terjadinya dispepsia fungsional. Diketahui bahwa
Hp dapat merubah sel neuroendokrin lambung. Sel neuroendokrin menyebabkan peningkatan
sekresi lambung dan menurunkan tingkat somatostatin.
b. Dismotilitas Gastrointestinal
Sebuah studi meta-analisis menyelidiki dispepsia fungsional dan ganguan pengosongan
lambung, ditemukan 40% pasien dengan dispepsia fungsional memiliki pengosongan lebih
lambat 1,5 kali dari pasien normal.
c. Hipersensitivitas viseral
Dinding usus mempunyai berbagai reseptor, termasuk reseptor kimiawi, reseptor mekanik,
dan nociceptor. 1 Penelitian dengan menggunakan balon intragastrik menunjukkan bahwa 50%
populasi dispepsia fungsional sudah timbul rasa nyeri atau rasa tidak nyaman di perut pada inflasi
balon dengan volume yang lebih rendah dibandingkan volume yang menimbulkan rasa nyeri
pada populasi kontrol.
d. Sekresi Asam Lambung
Getah lambung ini mengandung berbagai macam zat. Asam hidroklorida (HCl) dan
pepsinogen merupakan kandungan dalam getah lambung tersebut. Konsentrasi asam dalam getah
lambung sangat pekat sehingga dapat menyebabkan kerusakan jaringan, tetapi pada orang normal
mukosa lambung tidak mengalami iritasi karena sebagian cairan lambung mengandung mukus,
yang merupakan faktor pelindung lambung. Kasus dengan dispepsia fungsional diduga adanya
peningkatan sensitivitas mukosa lambung terhadap asam yang menimbulkan rasa tidak enak di
perut. Peningkatan sensitivitas mukosa lambung dapat terjadi akibat pola makan yang tidak
teratur. Pola makan yang tidak teratur akan membuat lambung sulit untuk beradaptasi dalam
pengeluaran sekresi asam lambung. Jika hal ini berlangsung dalam waktu yang lama, produksi
asam lambung akan berlebihan sehingga dapat mengiritasi dinding mukosa pada lambung.
e. Diet
Pasien dengan dispepsia fungsional cenderung mengubah pola makan karena adanya
intoleransi terhadap beberapa makanan. Khususnya makanan berlemak telah dikaitkan dengan
dispepsia.
4
f. Gangguan akomodasi lambung
Dalam keadaan normal, waktu makanan masuk lambung terjadi relaksasi fundus dan
korpus gaster tanpa meningkatkan tekanan dalam lambung. Akomodasi lambung ini
dimediasi oleh serotonin dan nitric oxide melalui saraf vagus dari sistem saraf enterik.
Dilaporkan bahwa pada penderita dispepsia fungsional terjadi penurunan kemampuan
relaksasi fundus postprandial pada 40% kasus dengan pemeriksaan gastricscintigraphy dan
ultrasound (USG).
g. Faktor psikologis
Dilaporkan adanya penurunan kontraktilitas lambung yang mendahului mual setelah
stimulus stres sentral. Tetapi korelasi antara faktor psikologik stres kehidupan, fungsi otonom
dan motilitas masih kontroversial.

2.1.4 Tanda dan Gejala


Tanda dan Gejala yang Menyertai Kriteria diagnostik Rome III menggunakan gejala untuk
menegakkan diagnosis dispepsia fungsional, baik pada anak maupun pada dewasa. Adapun gejala
dispepsia fungsional pada anak bersarkan kriteria diagnostik Rome III adalah gejala rasa penuh
yang mengganggu, cepat kenyang, rasa tidak enak atau nyeri epigastrium, dan rasa terbakar pada
epigastrium. Pada kriteria tersebut juga dinyatakan bahwa dispepsia ditandai dengan adanya satu
atau lebih dari gejala dispepsia yang diperkirakan berasal dari daerah gastroduodenal. Tidak
semua pasien dispepsia dilakukan pemeriksaan endoskopi. Banyak pasien dapat ditatalaksana dan
di diagnosis secara klinis dengan baik kecuali bila ada alarm sign. Jika terdapat alarm symptoms
atau alarm sign seperti penurunan berat badan, timbulnya anemia, muntah yang prominen, maka
hal tersebut merupakan petunjuk awal akan kemungkinan adanya penyebab organik yang
membutuhkan pemeriksaan penunjang diagnostik secara lebih intensif seperti endoskopi dan
sebagainya (Drossman dan Hasler, 2017).

2.2 Saintifikasi Jamu


2.2.1 Deskripsi
Saintifikasi jamu adalah pembuktian ilmiah jamu melalui penelitian berbasis pelayanan
kesehatan. Tujuan pengaturan saintifikasi jamu adalah:

5
a. Memberikan landasan ilmiah (evidence based) penggunaan jamu secara empiris melalui
penelitian berbasis pelayanan kesehatan.
b. Mendorong terbentuknya jejaring dokter atau dokter gigi dan tenaga kesehatan lainnya
sebagai peneliti dalam rangka upaya preventif, promotif, rehabilitatif dan paliatif melalui
penggunaan jamu.
c. Meningkatkan kegiatan penelitian kualitatif terhadap pasien dengan penggunaan jamu.
d. Meningkatkan penyediaan jamu yang aman, memiliki khasiat nyata yang teruji secara ilmiah,
dan dimanfaatkan secara luas baik untuk pengobatan sendiri maupun dalam fasilitas
pelayanan kesehatan.
Ruang lingkup saintifikasi jamu diutamakan untuk upaya preventif, promotif, rehabilitatif
dan paliatif. Saintifikasi jamu dalam rangka upaya kuratif hanya dapat dilakukan atas permintaan
tertulis pasien sebagai komplementeralternatif setelah pasien memperoleh penjelasan yang cukup.
Saintifikasi jamu dalam penelitian berbasis pelayanan kesehatan hanya dapat dilakukan di
fasilitas pelayanan kesehatan yang telah mendapatkan izin atau sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan yang berlaku. Fasilitas pelayanan kesehatan yang dapat digunakan
untuk saintifikasi jamu dapat diselenggarakan oleh Pemerintah atau Swasta meliputi:
a. Klinik pada Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional
(B2P2TOOT) Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan.
b. Klinik Jamu.
c. Sentra Pengembangan dan Penerapan Pengobatan Tradisional (SP3T).
d. Balai Kesehatan Tradisional Masyarakat (BKTM)/Loka Kesehatan Tradisional Masyarakat
(LKTM).
e. Rumah Sakit yang ditetapkan.
Klinik pada Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional
(B2P2TOOT), Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan
ditetapkan sebagai Klinik Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan berdasarkan Peraturan
Menteri ini dan mengikuti ketentuan persyaratan Klinik Jamu Tipe A. Klinik jamu dapat
merupakan praktik perorangan dokter atau dokter gigi maupun praktik berkelompok dokter atau
dokter gigi (Kemenkes RI, 2010).

6
Untuk menjamin tersedianya jamu yang aman, berkhasiat dan bermutu, Pemerintah
Indonesia melakukan langkah dan upaya untuk menjamin keamanan Jamu. Untuk memperkuat
data dan informasi ilmiah tentang jamu utamanya formula jamu. Pemerintah Indonesia
melaksanakan Program Saintifikasi Jamu atau Scientific Based Jamu Development, yaitu
penelitian berbasis pelayanan yang mencakup Pengembangan Tanaman Obat menjadi Jamu
Saintifik, meliputi tahap-tahap :
1. Studi etnofarmakologi untuk mendapatkan base-line data terkait penggunaan tanaman obat
secara tradisional.
2. Seleksi formula jamu yang potensial untuk terapi alternatif/komplementer.
3. Studi klinik untuk mendapatkan bukti terkait manfaat dan keamanan.
4. Jamu yang terbukti berkhasiat dan aman dapat digunakan dalam sistem pelayanan kesehatan
formal.
Jamu saintifik yang dihasilkan dari program digunakan untuk terapi komplementer di
fasilitas pelayanan kesehatan dan dijadikan pilihan masyarakat jika mereka menginginkan untuk
mengonsumsi jamu saja sebagai subyek dalam upaya preventif, promotif, kuratif, rehabilitatif dan
paliatif.

2.2.2 Dasar Hukum


Indonesia telah memiliki berbagai regulasi dan kebijakan mengenai pengobatan tradisional
dalam upaya meningkatkan pemanfatan obat tradisional.
1. UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
a. Pasal 47 : Upaya kesehatan diselenggarakan dalam bentuk kegiatan dengan pendekatan
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang dilaksanakan secara terpadu,
menyeluruh dan berkesinambungan.
b. Pasal 48 ayat 1 butir b : Upaya Kesehatan melalui pelayanan kesehatan tradisional.
c. Pasal 48: Pelayanan kesehatan tradisional merupakan bagian integral dari
penyelenggaraan upaya kesehatan.
d. Pasal 100 ayat 1 : Sumber obat tradisional yang sudah terbukti berkhasiat dan aman
digunakan dalam pencegahan, pengobatan, perawatan, dan/atau pemeliharaan kesehatan
tetap dijaga kelestariannya.

7
e. Pasal 100 ayat 2 : Pemerintah menjamin pengembangan dan pemeliharaan bahan baku
obat tradisional.

2. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 381/2007 tentang Kebijakan Obat Tradisional


Nasional.
a. Mendorong pemanfaatan sumber daya alam Indonesia secara berkelanjutan utk digunakan
sebagai obat tradisional demi peningkatan pelayanan kesehatan dan ekonomi.
b. Menjamin obat tradisional yang aman, bermutu dan bermanfaat serta melindungi
masyarakat dari penggunaan obat tradisional yang tidak tepat.
c. Tersedianya obat tradisional yang memiliki khasiat nyata yang teruji secara ilmiah, dan
dimanfaatkan secara luas baik untuk pengobatan sendiri maupun dalam pelayanan
kesehatan formal.
d. Mendorong perkembangan dunia usaha di bidang obat tradisional yang bertanggung
jawab agar mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan diterima di negara lain.

3. Peraturan Menteri Kesehatan No. 003/2010 tentang Saintifikasi Jamu


Dalam penelitian berbasis pelayanan kesehatan, bertujuan mendapatkan evidence base
penggunaan jamu terkait manfaat dan keamanan jamu.
a. Memberikan landasan ilmiah (evidence based) penggunaan jamu.
b. Mendorong terbentuknya jejaring tenaga kesehatan sebagai pelaku “Yankes Jamu” dan
“Penelitian Jamu”, baik promotif, preventif, kuratif, dan paliatif.
c. Meningkatkan penyediaan Jamu yang aman, berkhasiat dan bermutu.
d. Mengatur penyediaan data dan informasi tentang Jamu untuk mendukung Jamu evidence
based decision making dalam upaya pengintegrasian Jamu dalam pelayanan kesehatan.
4. WHO Traditional Medicine Strategy 2014-2023
Goals :
1. To support Member States in harnessing the potential contribution of T&CM to health,
wellness and peoplecentred health care.
2. To promote the safe and effective use of T&CM through the regulation and product,
practice and practitioners.

8
Strategy :
1. Building the knowledgebase and formulating national policies.
2. Strengthening safety, quality and effectiveness through regulation.
3. Promoting universal coverage by integrating T&CM services and self-health care into
national health system.

Selain itu, juga terdapat sistem / kebijakan lain, seperti :

5. ASEAN, dalam bentuk Asean Task Force on Traditional Medicine.


6. APEC, dengan dokumen The Role of Traditional Medicine for Strengthening Primary Health
Care.
7. Di tingkat Nasional kita memiliki Kotranas (Kebijakan Obat Tradisional Nasional) dan
dibentuknya Direktorat di Kementerian Kesehatan yang mengurus kesehatan tradisional dan
komplementer. Secara umum ada lima hal yang akan didapat dari pengembangan jamu dan
tanaman obat ini. Kelima hal itu adalah :
a. Saintifikasi Jamu.
b. Kekayaan Tanaman Obat Nusantara.
c. Pemanfaatan Tanamam Obat Keluarga (TOGA).
d. Wisata Kesehatan.
e. Pengakuan Jamu sebagai kekayaan budaya nusantara (Aditama, 2014).

2.2.3 Peran dan Tanggung Jawab Apoteker dalam Saintifikasi Jamu


Peran dan tanggung jawab apoteker dalam saintifikasi jamu meliputi proses pembuatan/
penyediaan simplisia dan penyimpanan, pelayanan resep mencakup skrining resep, penyiapan
obat, peracikan, pemberian etiket, pemberian kemasan obat, penyerahan obat, dan informasi obat,
konseling, monitoring penggunaan obat, promosi dan edukasi, penyuluhan pelayanan residensial
(Home Care), serta pencatatan dan pelaporannya. Peran dan tanggung jawab apoteker dalam
upaya penyelenggaraan praktik kefarmasian tersebut dalam rangka promotif, preventif, kuratif
dan rehabilitatif baik bagi perorangan, kelompok dan atau masyarakat. Hal ini sesuai dengan
paradigma pelayanan kefarmasian yang sekarang berkembang yaitu pelayanan kefarmasian yang
berazaskan pada konsep Pharmaceutical Care, yaitu bergesernya orientasi seorang apoteker dari
product atau drug oriented menjadi patient oriented. Konsep pelayanan kefarmasian

9
(pharmaceutical care) merupakan pelayanan yang dibutuhkan dan diterima pasien untuk
menjamin keamanan dan penggunaan obat termasuk obat tradisional yang rasional, baik sebelum,
selama, maupun sesudah penggunaan obat termasuk obat tradisional.
Dengan peran dan tanggung jawab di atas maka seorang apoteker harus memiliki
kompetensi dalam praktik kefarmasian yang diperoleh dari pendidikan formal, memiliki
pengetahuan secara mendalam tentang jamu, memiliki pengetahuan dan keterampilan mengelola
jamu serta memiliki tanggung-gugat profesi apoteker pada masyarakat khususnya pemanfaatan
jamu. Oleh karena itu untuk menjadi seorang apoteker saintifikasi jamu diperlukan suatu
tambahan pengetahuan meliputi Pengenalan tanaman obat, Formula jamu yang terstandar,
Pengelolaan jamu di apotek (pengendalian mutu sediaan jamu, pengadaan, penyimpanan dan
pengamanan jamu), fitoterapi, adverse reaction, toksikologi, dosis dan monitoring evaluasi bahan
aktif jamu, MESOT (Monitoring efek samping OT), manajemen pencatatan dan pelaporan, post
market surveilance, serta komunikasi dan konseling (Suharmiati, 2012).

10
BAB 3. PEMBAHASAN

3.1 Resep Jamu Tersaintifikasi Untuk Dispepsia

Nama Tanaman Kegunaan Komposisi

Rimpang Jahe Antiemetik 7 gram


(Zingiber officinale)

Rimpang Kunyit Gastroprotektif 7 gram


(Curcuma doestica)

Daun Sembung Gastroprotektif 7 gram


(Blumea balsamifera)

Biji Jinten Hitam Antiinflamasi 2 gram


(Nigella sativa)
Sumber : Aditama, 2014

3.2 Komponen Dalam Resep Jamu Tersaintifikasi Untuk Dispepsia


3.2.1 Rimpang Jahe
a. Taksonomi Jahe
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub Divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotiledonae
Ordo : Zingiberales
Famili : Zingiberaceae
Genus : Zingiber
Species : Zingiber officinale Rosc.

b. Deskripsi Tanaman
Jahe dapat tumbuh pada daerah tropis dengan ketinggian tempat antara 0-1,700 m di
atas permukaan laut. Jahe memerlukan suhu tinggi serta curah hujan yang cukup saat masa
pertumbuhannya. Untuk mendapatkan hasil rimpang yang baik, tanah harus dalam keadaan

11
gembur sehingga member kesempatan akar tersebut berkembang dengan normal. Tanaman
ini tidak tahan genangan air sehingga irigasinya harus selalu diperhatikan (Hapsoh, 2011).
Rimpang bercabang tidak teratur umumnya kearah vertikal, kulit berbentuk sisik
tersusun melingkar dan berbuku-buku, warna kuning coklat sampai merah tergantung dari
jenisnya. Daging berwarna kuning cerah, berserat, aromatis, mengandung metabolit
sekunder (Syukur, 2001).
Daun jahe berbentuk lonjong dan lancip menyerupai daun rumputrumputan besar.
Daun itu berselingan dengan tulang daun sejajar sebagaimana tanaman monokotil lainnya.
Pada bagian atas, daun lebar dengan ujung agak lancip, bertangkai pendek, berwarna hijau
tua agak mengkilap. Ujung daun agak tumpul dengan panjang lidah 0,3-0,6 cm. Bila daun
mati maka pangkal tangkai tetap hidup dalam tanah, lalu bertunas dan menjadi rimpang
akar baru.
Bunga jahe berupa bulir yang berbentuk kincir, tidak berbulu, dengan panjang 5-7 cm
dan bergaris tengah 2-2,5 cm. Bunga terletak pada ketiak daun pelindung dengan beberapa
bentuk, yakni panjang, bulat telur, lonjong, runcing, atau tumpul. Daun kelopak dan daun
bunga masing-masing tiga buah yang sebagian bertautan. Gambar rimpang jahe
ditunjukkan pada Gambar 3.1.

Gambar 3. 1 Rimpang jahe

c. Kandungan Senyawa
Jahe memiliki kandungan minyak atsiri yang terdiri atas senyawa-senyawa
sesquiterpen, zingiberen, zingeron, oleoresin, kamfena, limonen, borneol, sineol, sitral,
zingiberal, felandren, vitamin A, D, dan C, serta senyawa-senyawa flavonoid dan polifenol.

12
Substansi-substansi fenolitik berperan pada pembentukan flavor yang dimana beberapa
turunan fenolitik memberikan efek yang disebut pungensi karena karakteristik pedas, tajam
dan sensasi menyengat. Minyak atsiri adalah minyak dari campuran zat yang mudah
menguap dengan komposisi dan titik didih yang berbeda, berwarna kehijauan sampai
kuning, dan berbau khas jahe.

d. Khasiat dalam Mengatasi Dispepsia


Jahe ( Zingiber officinale ) termasuk dalam daftar prioritas WHO sebagai tanaman
obat yang paling banyak digunakan di dunia dan merupakan salah satu tanaman herbal
yang umum digunakan sebagai suplemen, keperluan memasak dan pengobatan pada
berbagai kondisi pasien. Zat-zat yang terkandung dalam jahe antara lain gingerol, shogaol,
zingerone, zingiberol dan paradol. Rasa pedas yang terkandung pada jahe disebabkan oleh
zat zingerone, sedangkan aroma khas yang ada pada jahe disebabkan oleh zat zingiberol.
Dikatakan jahe bekerja menghambat reseptor serotonin dan menimbulkan efek anti emetic
atau antimual pada pasien yang mengalami dispepsia pada sistem gastrointestinal dan
sistem susunan saraf pusat (Ernst & Pittler., 2000). Dosis rata-rata yang biasa digunakan
berkisar antara 0,5-2 gram berbentuk bubuk dan dimasukkan ke dalam kapsul. Bisa juga
digunakan dalam bentuk ekstrak kering atau jahe yang masih segar. Banyak penelitian
membuktikan bahwa bubuk jahe sebanyak 1 gram per hari dapat menghilangkan rasa mual
pada pasien dispepsia, akan tetapi tidak boleh melebihi 4 gram per hari (Mahady, dkk.,
2013).
e. Cara Pembuatan Bahan Baku
Tahapan yang perlu dilakukan untuk membuat simplisia rimpang jahe adalah :
1. Pencucian, dilakukan pada air mengalir atau pada air yang bertekanan tinggi
sehingga tanah atau kotoran yang menempel terangkat semuanya, dan
rimpang menjadi bersih.
2. Blansing, rimpang dikukus selama 5 menit untuk mepertahankan warna dan
perbaikan tekstur
3. Pengecilan ukuran, rimpang diiris-iris dengan ketebalan 7 – 8 mm. Setelah
dijemur atau kering ketebalan akan menjadi 5 – 6 mm dengan kehilangan
berat sekitar 60 – 70% (kadar air sekitar 7 – 12%).

13
4. Pengeringan, pengeringan dapat dilakukan dengan sinar matahari, dengan
menggunakan anyaman bambu, lantai jemur atau tikar sebagai alas jemuran.
Tetapi lebih baik dengan alat pengering seperti oven pada suhu 50 °C atau alat
pengering surya tipe ERK agar terjaga dari kotoran, debu, serangga dan lain-
lain.
5. Pengemasan, irisan yang sudah kering dikemas dengan kemasan vakum

3.2.2 Rimpang Kunyit


a. Taksonomi Kunyit
Berdasarkan data integrated taxonomic information system (ITIS) (2010), taksonomi
tumbuhan kunyit (Curcuma longa L.) diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisio : Tracheophyta
Sub-divisio : Spermatophytina
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Zingiberales
Famili : Zingiberaceae
Genus : Curcuma L.
Species : Curcuma longa L.

b. Deskripsi Tanaman
Tanaman kunyit atau Curcuma longa merupakan tanaman rimpang yang termasuk
famili Zingiberaceae dan dibudidayakan secara luas di Asia, India, Cina, dan negara-negara
beriklim tropis lainnya. Tanaman kunyit memiliki tinggi mencapai 1 meter, berbatang
basah dengan batang berwarna hijau atau keunguan dan daun panjang yang disertai tangkai
(batang daun). Daun runcing berbentuk lonjong muncul dari rimpang bercabang yang
terletak tepat di bawah permukaan tanah dan bunga kuning berbentuk corong. Kunyit
menghasilkan umbi utama berbentuk rimpang berwarna kuning tua atau oranye dengan
panjang 2-8 cm. Rimpang yang lebih tua berwarna coklat, sedangkan rimpang muda
berwarna kuning pucat hingga coklat-oranye. Akar serabut kunyit berwarna cokelat muda.
Bagian rimpang dari tanaman ini biasanya digunakan sebagai obat dengan cara dibersihkan,

14
direbus, dan dikeringkan untuk kemudian dibuat menjadi bubuk kuning. Berikut adalah
gambar dari rimpang kunyit ditunjukkan pada Gambar 3.2.

Gambar 3. 2 Rimpang kunyit

c. Kandungan Senyawa
Kunyit mengandung protein (6,3%), lemak (5,1%), mineral (3,5%), karbohidrat
(69,4%), dan moisture (13,1%). Terdapat minyak esensial (5,8%) yang diperoleh melalui
distilasi uap dari rhizome/rimpang tanaman kunyit yang mendandung phellandrene (1%),
sabinene (0.6%), cineol (1%), borneol (0.5%), zingiberene (25%) dan sesquiterpenes
(53%). Curcumin (diferuloylmethane) (3– 4%) membuat warna rimpang kunyit menjadi
kuning dan terdiri dari curcumin I (94%), curcumin II (6%) dan curcumin III (0.3%). Selain
itu, kunyit juga mengandung kamfer, resin, fosfor, dan zat besi.

d. Khasiat dalam Mengatasi Dispepsia


Dalam sistem pencernaan, kunyit bertindak sebagai karminatif dan protektif terhadap
proses pembentukan gas di usus. Kunyit memiliki aktivitas anti-kembung dan bersifat
sebagai stimulan karena potensinya yang dapat menimbulkan rasa panas. Aktivitas anti-
kembung ini dihasilkan oleh senyawa kurkumin pada rimpang kunyit. Dalam uji pra-klinis,
kunyit terbukti berpotensi melindungi saluran GI melalui efek anti-inflamasinya. Kurkumin
pada kunyit menunjukkan kemampuannya dalam meningkatkan aktivitas enzim lipase pada
usus, sukrase, dan maltase, sekresi gastrin, secretin, dan bikarbonat, lendir pada dinding
lambung dan enzim pankreas, serta menghambat kejang usus dan pembentukan ulkus yang
disebabkan oleh stres, alkohol, indometasin, ligasi pilorik, dan reserpin (Patel dan
Srinivasan, 1996). Kunyit terbukti efektif memperbaiki gejala dispepsia pada pasien
dispepsia, serta mempertahankan remisi pada pasien dengan ulseratif kolitis. Pemberian
15
kurkumin 600 mg sehari selama 1-2 minggu menurunkan gejala nyeri lambung yang
diberikan pada 20 penderita dengan gejala dispepsia dan gastritis. Selain itu, kunyit juga
memiliki aktivitas anti-spasmodik yang berperan dalam menghambat gerakan peristaltik
usus yang berlebihan (Chopra, dkk., 1958).

e. Cara Pembuatan Bahan Baku Jamu


Kunyit yang akan digunakan sebagai jamu umumnya dibuat simplisianya terlebih
dahulu. Bahan yang digunakan dapat berupa induk maupun anak rimpang. Untuk membuat
simplisia kunyit, rimpang dibersihkan terlebih dahulu kemudian dipotong-potong menjadi
irisan tipis dengan ketebalan sekitar 5-6 mm. Irisan rimpang kemudian dikeringkan secara
langsung dengan sinar matahari pada tempat yang dialasi agar tidak bersentuhan dengan
tanah. Untuk mencegah kontaminasi bias menggunakan pengering buatan atau oven dengan
kisaran suhu antara 40-50 oC..

3.2.3 Daun Sembung


a. Taksonomi Sembung
Berdasarkan data integrated taxonomic information system (ITIS) (2010), taksonomi
tumbuhan sembung (Blumea balsamifera) diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisio : Tracheophyta
Sub-divisio : Spermatophytina
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Asterales
Famili : Asteraceae
Genus : Blumea
Species : Blumea balsamifera

b. Deskripsi Tanaman
Sembung merupakan perdu yang tumbuh tegak dengan tinggi pencapai 4m dan
berambut halus. Daun bagian bawah bertangkai, sedang di bagian atas merupakan daun
duduk yang tumbuh berseling, berbentuk bundar telur dan lonjong, bagian pangkal dan
16
ujung lancip, pinggri bergerigi, dan terdapat 2-3 daun tambahan pada tangkai daunnya.
Permukaan daun bagian atas agak kasar, sedangkan bagian bawah halus seperti
beludru. Bunga bekelompok berupa malai, muncul di ujung cabang dan berwarna kuning.
Buah longkah sedikit melengkung dengan panjang 1 mm. Bagian dari tumbuhan yang dapat
digunakan sebagai obat-obat an adalah bagian akar dan daun, baik dalam kondisi segar
maupun kering. Contoh penyakit yang dapat diobati menggunkana tanaman ini antara lain,
diare, dispepsia dan masuk angin. Gambaran tanaman sembung ditunjukkan pada Gambar
3.3.

Gambar 3. 3 Tanaman sembung

c. Kandungan Senyawa
Terdapat lebih dari 100 senyawa volatile dan non-volatile yang terkandung pada
tumbuhan sembung antara lain senyawa golongan monoterpenes, sesquiterpenes,
diterpenes, flavonoids, organic acids, esters, alcohols, dihydroflavone, dan sterols.
Senyawa volatile yang terkandung paling banyak pada sembung adalah terpenoid, asam
lemak, fenol, alkohol, aldehid, eter, keton, piridin, dan furan. Sedangkan pada senyawa
non-volatile paling banyak mengandung flavonoid, flavonon, dan kalkon.

17
d. Khasiat dalam Mengatasi Dispepsia
Sembung memiliki khasiat sebagai anti diare, anti bakteri dan anti dispepsia.
Beberapa penlitian menyebutkan bahwa sembung dapat merelaksasikan otot bronkus tikus,
sehingga banyak orang yang menggunakannya sebagai obat asma dan maagh. Penelitian
yang menunjukkan adanya aktivitas anti dispepsia yaitu menggunakan ramuan jamu dari
BP2TOOT yang terdiri dari campuran tanaman kunyit, sembung, dan kayu manis yang
bersifat sinergis dalam pengobatan dispepsia. Hasil penelitian menunjukkan ramuan
mampu menurunkan kekambuhan dari 9 kali menjadi 4 kali selama sebulan dan
menurunkan derajat nyeri.

e. Cara Pembuatan Bahan Baku Jamu


Sembung yang digunakan sebagai jamu dibuat dalam bentuk simplisia daunnya
terlebih dahulu. Simplisia sembung dibuat dengan cara membersihkan daun terlebih dahulu
kemudian dipotong-potong. Potongan daun kemudian dikeringkan secara langsung dengan
sinar matahari pada tempat yang dialasi agar tidak bersentuhan dengan tanah. Untuk
mencegah kontaminasi bias menggunakan pengering buatan atau oven dengan kisaran suhu
antara 40-50 oC. Simplisia daun sembung kemudian dikemas.

3.2.4 Biji Jinten Hitam


a. Taksonomi Jinten Hitam (IT IS, 2019)
Kingdom : Plantae
Divisio : Tracheophyta
Subdivisio : Spermatophytina
Kelas : Magnoliopsida
Oro : Ranunculales
Famili : Ranunculaceae
Genus : Nigella L.
Species : Nigella sativa L

b. Deskripsi Tanaman
Jinten hitam merupakan tanaman herbal berbunga tahunan (Achyad DE dan Rasyidah
R, 2000). Tanaman jintan hitam merupakan tanaman semak dengan ketinggian lebih kurang
18
30 cm. Ekologi dan penyebaran tanaman ini tumbuh mulai dari daerah Levant, kawasan
Mediterania timur sampai ke arah timur Samudera Indonesia, dan dikenal sebagai gulma
semusim dengan keanekaragaman yang kecil. Budidaya perbanyakan tanaman dilakukan
dengan biji (Hutapea, 1994). Jinten hitam memiliki batang berwarna hijau kemerahan,
tegak, lunak, beratur, berusuk dan berbulu kasar. Memiliki bentuk daun lanset garis
(lonjong), panjang 1,5-2 cm. Jinten hitam merupakan daun tunggal yang ujung dan
pangkalnya runcing, tepi berigi dan berwarna hijau. Tulang daun menyirip dengan tiga
tulang daun berbulu. Daun pembalut bunga (kelopak bunga) kecil, berjumlah lima,
berbentuk bundar telur, ujungnya agak meruncing sampai agak tumpul, pangkal mengecil
membentuk sudut yang pendek dan besar. Bunga jinten hitam merupakan bunga majemuk
dan berbentuk karang. Mahkota bunga pada umumnya berjumlah delapan, berwarna putih
kekuningan, agak memanjang, lebih kecil dari kelopak bunga, berbulu jarang dan pendek.
Bibir bunga ada dua, bibir bunga bagian atas pendek, berbentuk lanset dengan ujung
memanjang berbentuk benang. Ujung bibir bagian bawah tumpul, benang sari banyak, dan
gundul. Kepala sari jorong, sedikit tajam, dan berwarna kuning. Tangkai sari berwarna
kuning. Sistem perakaran adalah akar tunggang dan berwarna cokelat. Buah berbentuk
polong, bulat panjang, dan cokelat kehitaman sedangkan biji memiliki bentuk kecil, bulat,
hitam, berkeriput tidak beraturan dan sedikit berbentuk kerucut, panjang 3 mm (Hutapea,
1994; Shaheen, 1996). Gambar biji jinten hitam ditunjukkan pada Gambar 3.4.

Gambar 3. 4 Biji jinten hitam

19
c. Kandungan Senyawa
Jinten Hitam memiliki kandungan kimia pada biji dan daun yakni saponin dan
polifenol (Hutapea,1994). Kandungan kimia jinten hitam adalah minyak atsiri, minyak
lemak, melantin (saponin), nigelin (zat pahit), zat samak, nigelon, timokuinon (Hargono
2009). Biji jinten hitam juga mengandung timokuin, timohidrokuinon, tokoferol,
ditimokuinon, thymol, carvacrol, nigellicine, nigellidine, nigellimine-N-oxide dan alpha-
hedrin. Menurut Al-Jabre et al. (2003) senyawa kimia yang terkandung dalam jinten hitam
Beberapa merupakan senyawa yang berperan sebagai antioksidan dan mampu menangkal
radikal bebas. Selain itu jintan hitam juga mengandung kalsium, besi, natrium, kalium,
asam lemak, campesterol, stigmasterol. Kandungan vitamin seperti thiamine (B1),
Riboflavin (B2), pyridoxine (B6), Niasin dan asam folat (Shaheen, 1996; Khan, 1998).

d. Khasiat dalam Mengatasi Dispepsia


Jinten hitam memiliki khasiat sebagai anti inflamasi, anti bakteri, dan relaksasi otot.
Pada kasus dispepsia jinten hitam sebagai anti bakteri akan membunuh bakteri pada saluran
pencernaan sehingga tidak terjadi infeksi yang merupakan salah satu penyebab dispepsia.
Senyawa fenol yakni thymohidrokuinon merupakan kandungan kimia yang bertanggung
jawab terhadap aktivitas anti bakteri, selain itu Kandungan alkaloid dan ekstrak air juga
memiliki aktivitas anti bakteri (Hosseinzadeh dkk., 2007). Jinten hitam memiliki aktivitas
sebagai anti oksidan sehingga dapat juga sebagai anti inflamasi. Kandungan timokuinon
bertanggung jawab dalam aktivitas ini. Timokuinon bekerja dengan menghambat jalur
sikolooksigenase dan 5-lipooxygenase pada metabolisme asam arakidonat (Al-Ghamdi,
2001). Kandungan minyak atsiri mampu merelaksasi otot pencernaan dengan menghambat
induksi oksitosin yang menstimulasi kontraksi (Shaheen, 1996).

e. Cara Pembuatan Bahan Baku Jamu


Pembuatan simplisia biji jintan hitam adalah :
1. Pencucian
Proses pencucian ini dilakukan menggunakan air yang mengalir untuk
membersihkan kotoran yang menempel
2. Perajangan
3. Setelah kering biji jintan hitam ditumbuk untuk memperkecil ukuran.
20
4. Pengayakan
5. Pengayakan dilakukan untuk memisahkan serbuk jintan hitam yang belum
sempurna tertumbuk.
6. Pengemasan / Pengepakan
setelah dilakukan pengayakan kemudian dilakukan Pengemasan simplisia
jinten hitam untuk menghindari kontaminasi dan agar bertahan lebih lama.

3.3 Cara pembuatan


Ramuan disiapkan dengan mengikuti prinsip pembuatan infusa, dengan langkah-langkah
sebagai berikut:
Menyiapkan simplisia yang dibutuhkan

Rimpang Rimpang Herba Biji jinten


kunyit 7 g jahe 7 g sembung 7 g hitam 2 g

Panaskan 5 gelas (200 cc) air hingga mendidih

Masukkan ramuan jamu

Tunggu selama ± 15 menit (sampai air tersisa 3 gelas dengan


nyala api kecil dengan sesekali diaduk)

Diamkan hingga hangat/dingin

Saringlah dan minum 3 x sehari, @ 1 gelas pada pagi, siang dan sore

Ramuan ini disiapkan dengan menggunakan alat yang terbuat dari tanah liat, porselen,
stainless steel, atau enamel.

21
3.4 Penggunaan
3.4.1 Aturan Minum
a. Ramuan diminum 3x sehari sebanyak 1 gelas setelah makan.
b. Pemakaian ramuan bersamaan dengan obat konvensional dapat dilakukan dengan
selang waktu 2 jam
3.4.2 Dosis
Pada ramuan ini dosis yang digunakan yaitu pada rimpang kunyit sebanyak 7 gram,
rimpang jahe sebanyak 7 gram, biji jinten hitam sebanyak 2 gram dan daun sembung sebanyak 7
gram.
3.4.3 Peringatan Penggunaan
Selama pengobatan disarankan untuk cukup beristirahat, menghindari stres dan makanan
pedas, asam, kecut serta berminyak

3.5 Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE)


Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengkonsumsi ramuan dispepsia ini adalah:
1. Bersihkan alat dan bahan sebelum dilakukan perebusan
2. Rebus formula menggunakan panci lurik atau panci yang terbuat dari tanah
3. Setelah proses perebusan, rebusan disaring terlebih dahulu sebelum dikonsumsi
4. Jamu sebaiknya disimpan tempat yang sejuk dan kering atau di dalam kulkas
5. Pasien diharapkan menghindari merokok
6. Hindari stress berlebihan pada pasien
7. Pasien diharapkan tidak mengkonsumsi ramuan ini bersamaan dengan konsumsi
bersama dengan obat konvensional
8. Makan secara teratur,dan tidak menunda waktu makan
9. Setelah makan, tunggu 2-3 jam sebelum pasien dapat berbaring. Pasien diharapkan
menghindari camilan tengah malam
10. Cokelat, mint, dan alkohol, dapat membuat dispepsia bertambah buruk. Makanan-
makanan tersebut membuat rileks katup antara esofagus dan lambung
11. Makanan pedas, makanan asam (seperti tomat dan jeruk), dan kopi dapat membuat
dispepsia semakin buruk untuk beberapa orang. Jika gejala memburuk setelah pasien
mengonsumsi makanan tertentu, maka hindari makanan pedas dan asam

22
12. Jika pasien mengalami dispepsia di malam hari, tegakkan badan (posisikan duduk di
tempat tidur) atau tambahkan bantal tambahan

23
BAB 4. PENUTUP

4.1 Kesimpulan

24
DAFTAR PUSTAKA

Ernst E, Pittler MH. Efficacy of ginger for nausea and vomiting: A systematic review of
randomized clinical trials. Br J Anaesth. 2000;84(3):367-71.

Hapsoh, Y.Hasanah, E.Julianti. 2010. Budidaya dan Teknologi Pasca Panen Jahe. USU
Press .Medan.

Mahady G. B., Pendland S. L., Yun G. S., Lu Z. Z., dan Stoia A., 2013. Ginger (Zingiber
officinale Roscoe) and the Gingerols Inhibit the Growth of Cag A+ Strains of Helicobacter
pylori. 23(0): 3699–3702

Syukur, C. 2001. Agar Jahe Berproduksi Tinggi. PT Penebar Swadaya. Jakarta

Djojodiningrat D, 2006, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Dispepsia Fungsional, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.

Djojoningrat D. 2009. Dispepsia Fungsional. In: Sudoyo, A.W., Buku Ajar: Imu Penyakit
Dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.

Aditama, T. Y. 2014. Jamu Dan Kesehatan. Edisi 1. Jakarta: Lembaga Penerbit Balitbangkes
(LPB).

Drossman, D. A. dan W. L. Hasler. 2017. Rome iv-functional gi disorders: disorders of gut-


brain interaction. Gastroenterology. 150(6):1257–1261.

Hunt, R. H., M. B. Frcp, F. Facg, C. F. Frcpc, S. Veldhuyzen, V. Z. Mph, P. S. Frcpc, N. F. Ccfp,


F. Smaill, M. B. Cb, dan F. Frcpc. 2002. Etiology of dyspepsia : implications for empirical
therapy. 16(9):635–641.

RI, K. K. 2010. Permenkes RI Nomor: 003/Menkes/Per/2010 Tentang Saintifikasi Jamu Dalam


Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan. Jakarta.

Tack, J. A. N., R. A. F. Bisschops, dan G. Sarnelli. 2004. Pathophysiology and treatment of


functional dyspepsia. 1239–1255.

25
Talley, N. J. 2016. Functional dyspepsia : new insights into pathogenesis and therapy. 444–456.

Triyono, A., P. W. Astana, dan S. Pamadyo. 2016. OBSERVASI klinik efek formula jamu
dispepsia terhadap fungsi hati. J. Trop. Pharm. Chem. 3(11):246–250.

Chopra RN, Chopra IC, Handa KL, Kapur LD. Indigenous Drugs of India. Calcutta: Academic
Publishers; 1958.

Integrated Taxonomic Information System (ITIS). 2010. Zingiberaceae of North America Update
Database (Version 2010). Online.
[https;//www.itis.gov/servlet/SingleRpt/SingleRpt?search_topic=TSN&search_value=42394#null
diakses pada 31 Agustus 2019]

Lee CJ, Lee JH, Scok JH, Hur GM, Park YC, Scol IC, et al. Effects of baicalein, berberine,
curcumin and hespiridin on mucin release from airway goblet cells. Planta Med 2003; 69:523-
526.

Patel K, Srinivasan K. Influence of dietary spices or their active principles on digestive enzymes
of small intestinal mucosa in rats. Int. J.Food Sci.Nutr. 1996; 47: 55-59.

Achyad DE dan Rasyidah R. 2000. Jinten Hitam. www.asiamaya.com

Al-Ghamdi, M. . 2001. The anti-inflammatory , analgesic and antipyretic activity of nigella sati 6 a.
76:45–48.

Hosseinzadeh, H., B. S. F. Bazzaz, dan M. M. Haghi. 2007. Antibacterial activity of total extracts and
essential oil of nigella sativa l . seeds in mice. 435:429–435.

Hutapea, J. . 1994. Inventaris Tanaman Obat Indonesia. Edisi III. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan.

Khan, A. 1998. Chemical composition and medicinal properties of nigella sativa linn . 7(9):15–35.

Shaheen, R. 1996. Effects of the volatile oil of nigella sativa seeds on the uterine smooth muscle of rat and
guinea pig. 8741(95):1–4.

2019. ITIS Nigella Sativa L.


https://www.itis.gov/servlet/SingleRpt/SingleRpt?search_topic=TSN&search_value=506592#null

Kementerian Kesehatan RI. 2010. Permenkes RI Nomor: 003/Menkes/Per/2010 tentang


Saintifikasi Jamu Dalam Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan. Jakarta.

Suharmiati. 2012. Kajian Hukum Peran “ Apoteker ” dalam Saintifikasi Jamu. Buletin Penelitian
26
Sistem Kesehatan. 15:20–23.

Integrated Taxonomic Information System (ITIS). 2010. Asteraceae of North America Update
Database (Version 2010). Online.
[https://www.itis.gov/servlet/SingleRpt/SingleRpt?search_topic=TSN&search_value=505923#null
diakses pada 1 September 2019]

Sakee, U., S. Maneerat, dan T. P. T. Cushnie. 2011. Natural product research : formerly natural
product letters antimicrobial activity of blumea balsamifera ( lin .) dc . extracts and essential
oil. Natural Product Research. (December 2014):37–41.

Ismoyo, S. P. T. 2011. Observasi klinis ramuan tanaman obat sebagai anti dispepsia. Kemenkes
RI.

Dewi Damayanti., Buku pintar tanaman obat: 431 jenis tanaman penggempur aneka penyakit), Jakarta:
AgroMedia, 2008, Hal. 222

27

Anda mungkin juga menyukai