Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN BED SIDE TEACHING (BST)

PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER (PKPA)


RSUD ACHMAD MOCHTAR BUKITTINGGI

Bangsal Penyakit Dalam


Hiperurisemia, Candidiasis Oral, dan Dispepsia

Oleh :
Erine Febrian, S.Farm (1641013304)
Erna Tugiarti Budiasih, S.Farm (1641013312)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2017

BAB I
PENDAHULUAN

A. Hiperurisemia
1. Defenisi Hiperurisemia

Hiperurisemia adalah konsentrasi monosodium urat dalam plasma yang melebihi


batas kelarutan yaitu lebih dari 7 mg/dl. Hiperurisemia berkaitan dengan resiko
mengalami penyakit gout.
2. Etiologi
Berdasarkan penyebabnya hiperurisemia dibagi menjadi 2 yaitu :
Hiperurisemia primer, yang penyebabnya belum diketahui dan hiperurisemia
sekunder, yang diketahui penyebabnya seperti kelainan glikogen dan ginjal .Selain
itu, kadar asam urat juga tegantung pada beberapa faktor antara lain konsumsi
makanan yang tinggi purin, berat badan, jumlah alkohol yang diminum, obat
diuretik atau analgetik, faal ginjal dan volume urin perhari. Kejadian
hiperurisemia disebabkan oleh berbagai faktor seperti genetik, usia, jenis kelamin,
berat badan berlebih dan diet.

3. Keluhan dan Diagnosis


Tanda-tanda hiperurisemia adalah terjadinya serangan mendadak pada sendi,
terutama sendi ibu jari kaki. Serangan pertama sangat sakit dan sering dimulai
pada pertengahan malam. Sendi menjadi cepat bengkak, panas, dan kemerah-
merahan. Meskipun serangan pertama terjadi pada jari ibu kaki, tetapi sendi-sendi
yang lain seperti lutut, tumit, pergelangan tangan dan kaki juga merasa. Orang
yang merasakan gejala dan serangan pertama, sebaiknya segera di diagnosis
melalui pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan cairan sendi, atau melakukan uji
radiologis.

4. Pengobatan Hiperurisemia
1. Istirahat
Jika terjadi serangan akut, maka sendi harus diistirahatkan.
2. Olah raga teratur (senam)
Olahraga yang tepat (peregangan dan penguatan) akan membantu
mempertahankan kesehatan tulang rawan meningkatkan daya gerak sendi dan
kekuatan otot disekitarnya sehingga otot menyerap bantuan dengan lebih banyak.
3. Obat anti inflamasi
Obat anti inflamasi / peradangan dan obat yang digunakan untuk menurunkan
kadar asam urat didalam darah misalnya allopurinol, bekerja menghambat
pembentukan asam urat di dalam tubuh.
4. Berat badan ideal
Bagi mereka yang kegemukan, dianjurkan untuk menurunkan berat badannya
kenormal atau bahkan 10-15% dibawah normal.
5. Diet rendah purin
Diet rendah purin bertujuan agar seseorang tidak terlalu banyak mengonsumsi
makanan yang tinggi mengandung purin.

B. Dispepsia
1. Pengertian Dispepsia

Dispepsia berasal dari bahasa Yunani yang berarti pencernaan yang tidak
baik. Dispepsia mengacu pada nyeri atau rasa tidak nyaman pada perut bagian
atas; meliputi nyeri epigastrium, perasaan cepat kenyang (tidak dapat
menyelesaikan makanan dalam porsi yang normal), rasa penuh setelah makan.

Kebanyakan pasien dengan keluhan dispepsia pada saat pemeriksaan tidak


ditemukan kelainan organik yang dapat menjelaskan keluhan tersebut seperti
chronic peptic-ulcer disease, gastro-oesophageal reflux, malignancy, sekitar 60%
keluhan-keluhan tersebut tidak dapat dijelaskan, keadaan ini disebut fungsional,
atau non-ulcer dyspepsia. Pasien dengan penyebab yang jelas tidak dimasukkan
dalam kategori dispepsia fungsional.

2. Patofisiologi
a. Faktor Genetik

Genetik merupakan faktor predisposisi penderita gangguan gastrointestinal


fungsional. Faktor genetik dapat mengurangi jumlah sitokin antiinflamasi (Il-10,
TGF-). Penurunan sitokin antiinflamasi dapat meyebabkan peningkatan
sensitisasi pada usus. Selain itu polimorfisme genetik berhubungan dengan protein
dari sistem reuptake synaptic serotonin serta reseptor polimorfisme alpha
adrenergik yang memengaruhi motilitas dari usus.
Insiden keluarga yang mengalami gangguan fungsional gastrointestinal
berhubungan dengan potensi genetik. Perbedaan pada kelenjar axis hipotalamus
pituitary adrenal menjadi hasil temuan yang menarik. Pada pasien gangguan
gastrointestinal fungsional terjadi hiperaktifitas dari axis hypothalamus pituitarity
adrenal.

b. Faktor Psikososial

Penyelidikan atas pengaruh psikososisal mengungkapkan bahwa stres adalah


faktor yang mempengaruhi dispepsia fungsional. Emosi labil memberikan
kontribusi terhadap perubahan fungsi gastrointestinal. Hal ini merupakan akibat
dari pengaruh pusat di enterik. Stres adalah faktor yang diduga dapat mengubah
gerakan dan aktivitas sekresi traktus gastrointestinal melalui mekanisme-
neuroendokrin.

Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa anak-anak dengan gangguan fungsi


gastrointestinal lebih lazim disebabkan karena kecemasan pada diri mereka dan
orang tua terutama ibu. Satu studi menyatakan bahwa stres atau kecemasan dapat
mengaktifkan reaksi disfungsi otonomik traktus gastrointestinal yang dapat
menyebabkan gejala sakit perut berulang.

c. Pengaruh Flora Bakteri

Infeksi Hp menyebabkan dispepsia fungsional. Penyelidikan epidemiologi


menunjukkan kejadian infeksi Hp pada pasien dengan dispepsia cukup tinggi,
walaupun masih ada perbedaan pendapat mengenai pengaruh Hp terhadap
dispepsia fungsional. Diketahui bahwa Hp dapat merubah sel neuroendokrin
lambung. Sel neuroendokrin menyebabkan peningkatan sekresi lambung dan
menurunkan kadar somatostatin.

d. Gangguan motilitas dari saluran pencernaan

Stres mengakibatkan gangguan motilitas gastrointestinal. Pada pasien dispepsia


fungsional terjadi gangguan motilitas dibandingkan dengan kontrol yang sehat,
dari 17 penelitian kohort yang di teliti tahun 2000 menunjukkan keterlambatan
esensial pengosongan lambung pada 40% pasien dispepsia fungsional. Gastric
scintigraphy ultrasonography dan barostatic measure menunjukkan terganggunya
distribusi makanan didalam lambung, dimana terjadi akumulasi isi lambung pada
perut bagian bawah dan berkurangnya relaksasi pada daerah antral. Dismolitas
duodenum adalah keadaan patologis yang dapat terjadi pada dispepsia fungsional,
dimana terjadi gangguan aktivitas mioelektrikal yang merupakan pengatur dari
aktivitas gerakan gastrointestinal.

e. Hipersensitivitas viseral

Hipersensitivitas viseral merupakan suatu distensi mekanik akibat gastrointestinal


hipersensitif terhadap rangsangan, merupakan salah satu hipotesis penyakit
gastrointestinal fungsional. Fenomena ini berdasarkan mekanisme perubahan
perifer. Sensasi viseral ditransmisikan dari gastrointestinal ke otak, dimana sensasi
nyeri dirasakan. Peningkatan persepsi nyeri sentral berhubungan dengan
peningkatan sinyal dari usus.

3. Manifestasi Klinis

Klasifikasi klinis praktis membagi dispepsia berdasarkan atas keluhan/ gejala


yang dominan menjadi tiga tipe yakni:

1. Dispepsia dengan keluhan seperti ulkus (ulcus-like dyspepsia)

Nyeri epigastrium terlokalisasi


Nyeri hilang setelah makan atau pemberian antasida
Nyeri saat lapar
Nyeri episodik

2. Dispepsia dengan gejala seperti dismotilitas (dysmotility-like dyspepsia)

Mudah kenyang
Perut cepat terasa penuh saat makan
Mual
Muntah
. Upper abdominal bloating (bengkak perut bagian atas)
Rasa tak nyaman bertambah saat makan
3. Dispepsia non spesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe di atas)

Sindroma dispepsia dapat bersifat ringan, sedang, dan berat, serta dapat akut atau
kronis sesuai dengan perjalanan penyakit. Pembagian akut dan kronik berdasarkan
atas jangka waktu tiga bulan. Nyeri dan rasa tidak nyaman pada perut atas atau
dada mungkin disertai dengan sendawa dan suara usus yang keras (borborigmi).
Pada beberapa penderita, makan dapat memperburuk nyeri, sedangkan pada
penderita lainnya, makan bisa mengurangi nyeri. Gejala lain meliputi nafsu makan
menurun, mual, sembelit, diare.

4. Penatalaksanaan

Pengobatan untuk dispepsia fungsional masih belum jelas. Beberapa


pengobatan yang telah didukung oleh bukti ilmiah adalah : pemberantasan Hp,
Itoprid, PPI, dan terapi psikologi. Pengobatan yang belum didukung bukti adalah
antasida, antispasmodik, bismuth, terapi diet, terapi herbal, reseptor AH2,
misoprostol, golongan prokinetik, selective serotonin-reuptake inhibitor, sukralfat,
dan antidepresan. Penanganan dispepsia fungsional dapat dilakukan dengan non
farmakologi dan farmakologi.

a. Non farmakologi

Beberapa studi mengenai penanganan dispepsia fungsional diantaranya dengan


cognitive-behavioural therapy, pengaturan diet, dan terapi farmakologi. Gejala
dapat dikurangi dengan menghindari makanan yang mengganggu, diet tinggi
lemak, kopi, alkohol, dan merokok. Selain itu, makanan kecil rendah lemak dapat
membantu mengurangi intensitas gejala. Direkomendasikan juga untuk
menghindari makan yang terlalu banyak terutama di malam hari dan membagi
asupan makanan sehari-hari menjadi beberapa makanan kecil. Alternatif
pengobatan yang lain termasuk hipnoterapi, terapi relaksasi dan terapi perilaku.

b. Farmakologis
Pengobatan dispepsia fungsional mengenal beberapa obat, yaitu :
Antasida
Antikolinergik
Antagonis reseptor H2
PPI
Sitoprotektif
Golongan prokinetik
Psikoterapi dan psikofarmaka (obat anti depresi dan cemas)

C. Candidiasis Oral

Kandidiasis adalah suatu infeksi jamur yang disebabkan oleh jamur genus
Candida. Spesies Candida albicans merupakan penyebab tersering terjadinya
candidiasis pada jaringan mukosa. Jamur kandida merupakan mikroflora
normal pada rongga mulut, di dalam rongga mulut kurang lebih 40-60% dari
populasi flora normal mulut adalah jamur candida (Kasper, 2005).

Struktur Candida albicans terdiri dari dinding sel, sitoplasma nucleus,


membranegolgi dan endoplasmicretikuler. Dinding sel terdiri dari beberapa
lapis dan dibentuk oleh mannoprotein, gulkan, gulkanohitin. Candida albicans
dapat tumbuh pada media yang mengandung sumber karbon misalnya glukosa
dan nitrogen biasanya digunakan ammonium atau nitrat, kadang-kadang
memerlukan biotin. Pertumbuhan jamur ditandai dengan pertumbuhan ragi
yang berbentuk oval atau sebagai elemen fillamen hifa atau pseudo hifa (sel
ragi yang memanjang) dan suatu masa filament hifa disebut mycelium. Spesies
ini tumbuh optimal pada temperatur 20- 40 derajat celcius (Greenberg, 2003).

D. Etiologi dan Predisposisi

Pada orang yang sehat, Candida albicans umumnya tidak menyebabkan


masalah apapun dalam rongga mulut, namun karena berbagai faktor, jamur
tersebut dapat tumbuh secara berlebihan dan menginfeksi rongga mulut.
Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi dua, yaitu(Greenberg, 2003):

1. Patogenitas jamur

Beberapa faktor yang berpengaruh pada patogenitas dan proses infeksi


Kandida adalah adhesi, perubahan dari bentuk ragi ke bentuk hifa, dan
produksi enzim ekstraseluler. Adhesi merupakan proses melekatnya sel
Kandida ke dinding sel epitel host. Perubahan bentuk dari ragi ke hifa
diketahui berhubungan dengan patogenitas dan proses penyerangan
Kandida terhadap sel host. Produksi enzim hidrolitik ekstraseluler seperti
aspartycproteinase juga sering dihubungkan dengan patogenitasCandida
albicans(Greenberg, 2003).

2. Faktor Host

Faktor host dapat dibedakan menjadi dua, yaitu faktor lokal dan
faktor sistemik. Termasuk faktor lokal adalah adanya gangguan fungsi
kelenjar ludah yang dapat menurunkan jumlah saliva. Saliva penting
dalam mencegah timbulnya kandidiasis oral karena efek pembilasan dan
antimikrobial protein yang terkandung dalam saliva dapat mencegah
pertumbuhan berlebih dari Kandida, itu sebabnya kandidiasis oral dapat
terjadi pada kondisi Sjogrensyndrome, radioterapi kepala dan leher, dan
obat-obatan yang dapat mengurangi sekresi saliva. Pemakaian gigi tiruan
lepasan juga dapat menjadi faktor resiko timbulnya kandidiasis oral.
Sebanyak 65% orang tua yang menggunakan gigi tiruan penuh rahang
atas menderita infeksi Kandida, hal ini dikarenakan pH yang rendah,
lingkungan anaerob dan oksigen yang sedikit me
ngakibatkan Kandida tumbuh pesat(Greenberg, 2003).

Selain dikarenakan faktor lokal, kandidiasis juga dapat


dihubungkan dengan keadaan sistemik, yaitu usia, penyakit sistemik
seperti diabetes, kondisi imunodefisiensi seperti HIV, keganasan seperti
leukemia, defisiensi nutrisi, dan pemakaian obat-obatan seperti antibiotik
spektrum luas dalam jangka waktu lama, kortikosteroid, dan kemoterapi
(Greenberg, 2003).

E. Klasifikasi

Gambaran klinis kandidiasis oral tergantung pada keterlibatan lingkungan


dan interaksi organisme dengan jaringan pada host. Adapun kandidiasis oral
dikelompokkan atas tiga, yaitu(Greenberg, 2003):

1. Akut (dibedakan menjadi dua jenis):


a. Kandidiasis Pseudomembranosus Akut

Kandidiasis pseudomembranosus akut yang disebut juga sebagai


thrush, pertama sekali dijelaskan kandidiasis ini tampak sebagai
plak mukosa yang putih, difus, bergumpal atau seperti beludru,
terdiri dari sel epitel deskuamasi, fibrin, dan hifa jamur, dapat
dihapus meninggalkan permukaan merah dan kasar. Pada umumnya
dijumpai pada mukosa pipi, lidah, dan palatum lunak. Penderita
kandidiasis ini dapat mengeluhkan rasa terbakar pada mulut.
Kandidiasis seperti ini sering diderita oleh pasien dengan system
imun rendah, seperti HIV/AIDS, pada pasien yang mengkonsumsi
kortikosteroid, dan menerima kemoterapi. Diagnose dapat
ditentukan dengan pemeriksaan klinis, kultur jamur, atau
pemeriksaan mikroskopis secara langsung dari kerokan
jaringan(Greenberg, 2003).

Gambar 2.1. Kandidiasis Pseudomembranosus Akut. Tampak plak


mukosa putih, difus dan bergumpal (Greenberg, 2003).

b. Kandidiasis Atrpoik Akut

Kandidiasis jenis ini membuat daerah permukaan mukosa oral


mengelupas dan tampak sebagai bercak-bercak merah difus yang
rata. Imfeksi ini terjadi karena pemakaian antibiotik spektrum luas,
terutama Tetrasiklin, yang mana obat tersebut dapat mengganggu
keseimbangan ekosistem oral antara Lactobacillus acidophilus dan
Candida albicans. Antibiotik yang dikonsumsi oleh pasien
mengurangi populasi Lactobacillus dan memungkinkan Candida
tumbuh subur. Pasien yang menderita candidiasis ini akan
mengeluhkan sakit seperti terbakar(Greenberg, 2003).
Gambar 2.2. Kandidiasis Atropik Akut. Tampak bercak merah
akibat pengelupasan mukosa oral (Greenberg, 2003).

2. Kronik (dibedakan menjadi tiga jenis):


a. Kandidiasis Atropik Kronik

Disebut juga denture stomatitis atau alergi gigi tiruan. Mukosa


palatum maupun mandibular yang tertutup basis gigi tiruan akan
menjadi merah, kondisi ini dikategorikan sebagai bentuk dari
infeksi Candida. Kandidiasis ini hampir 60 % diderita oleh pemakai
gigi tiruan terutama pada wanita tua yang sering memakai gigi
tiruan selagi tidur(Greenberg, 2003).

Gambar 2.3. Kandidiasis Atropik Kronik. Tampak mukosa palatum


yang eritem disekitar gigi tiruan (Greenberg, 2003)

b. Kandidiasis Hiperplastik Kronik


Infeksi jamur timbul pada mukosa bukal atau tepi lateral lidah
berupa bintik-bintik putih yang tepinya menimbul tegas dengan
beberapa daerah merah. Kondisi ini dapat berkembang menjadi
dysplasia berat atau keganasan, dan kadang disebut sebagai
candidaleukoplakia. Bintik-bintik putih tersebut tidak dapat
dihapus, sehingga diagnosis harus ditentukan dengan biopsi.
Kandidiasis ini paling sering diderita oleh perokok(Greenberg,
2003).

Gambar 2.4. Kandidiasis Hiperplastik Kronik. Tampak bintik putih


dengan elevasi tepi yang tegas (Greenberg, 2003).

c. Median Rhomboid Glossitis

Median rhomboidglositis adalah daerah simetris kronis di anterior


lidah ke papillasirkumvalata, tepatnya terletak pada duapertiga
anterior dan sepertiga posterior lidah. Gejala penyakit ini
asimptomatis dengan daerah tidak berpapila(Greenberg, 2003).
Gambar 2.5. Median Rhomboid Glossitis (Greenberg, 2003).

3. Kelitis Angularis

Keilitis angularis merupakan infeksi Candida albicans pada sudut mulut,


dapat bilateral maupun unilateral. Sudut mulut yang terkena infeksi
tampak merah dan pecah-pecah, dan terasa sakit ketika membuka mulut.
Keilitisangularis ini dapat terjadi pada penderita defisiensi vitamin B12
dan anemia defisiensi besi (Greenberg, 2003).

Gambar 2.6. Kelitis Angularis. Tampak sudut mulut yang eritema dan
pecah-pecah (Greenberg, 2003).

F. Patogenesis dan Patofisiologi

Kandidiasis terjadi karena dipengaruhi oleh beberapa factor, terutama pada


pasien pengguna protesa, xerostomia (Sjorgensyndrome), penggunaan radio
therapi, obat-obatan sitotoksik, konsentrasi gula dalam darah (diabetes),
penggunaan antibiotik atau kortikosteroid, penyakit keganasan (neoplasma) ,
kehamilan, defisisnesi nutrisi, penyakit kelainan darah, dan penderita
immunosupresi (AIDS) (Greenberg, 2003).

Penggunaan protesa menyebabkan kurangnya pembersihan oleh saliva dan


pengelupasan epitel, hal ini mengakibatkan perubahan pada mukosa. Pada
penderita xerostomia, penderita yang diobati dengan radioaktif, dan yang
menggunakan obat-obatan sitotoksik mempunyai pertahanan host yang
menurun, hal ini mengakibatkan mukositits dan glositis. Penggunaan antibiotik
dan kortikosteroid akan menghambat pertumbuhan bakteri komersial sehingga
mengakibatkan pertumbuhan candida yang lebih banyak, dan menurunkan
daya tahan tubuh, karena kortikosteroid mengakibatkan penekanan sel
mediatedimmune. Pada penderita yang mengalami kelainan darah atau adanya
pertumbuhan jaringan (keganasan), sistemfagositosisnya menurun, karena
fungsi netrofil dan makrofag mengalami kerusakan (Greenberg, 2003).

Terjadinya kandidiasis pada rongga mulut di awali dengan adanya


kemampuan Candida untuk melekat pada mukosa mulut. Hal ini yang
menyebabkan awal terjadinya infeksi. Sel ragi atau jamur tidak akan melekat
apabila terdapat mekanisme pembersihan oleh saliva, pengunyahan dan
penghancuran oleh asam lambung berjalan normal. Perlekatan jamur pada
mukosa mulut mengakibatkan proliferasi, kolonisasi tanpa atau dengan gejala
infeksi (Greenberg, 2003).

Bahan-bahan polimerik ekstra seluler (mannoprotein) yang menutupi


permukaan Candida albicans merupakan komponen penting untuk perlekatan
pada mukosa mulut. Candida albicans menghasilkan proteinase yang dapat
mendegradasi protein saliva termasuk sekretoriimmunoglobulin A, laktoferin,
musin dan keratin juga sitotoksik terhadap sel host. Batas-batas hidrolisis dapat
terjadi pada pH 3,0/3,5-6,0. Dan mungkin melibatkan beberapa enzim lain
seperti fosfolipase, akan di hasilkan pada pH 3,5-6,0. Enzim ini
menghancurkan membran sel selanjutnya akan terjadi invasi jamur tersebut
pada jaringan Host, Hifa mampu tumbuh meluas pada permukaan sel Host
(Greenberg, 2003).

Ketika terjadi perlekatan Candida albicans di permukaan mukosa, akan


terjadi proses pengenalan antigen oleh Antigen Presenting Cell (APC) pada
jaringan mukosa. APC pada jaringan mukosa dikenal juga sebagai sel
dendritik, sel dendritik ini akan teraktivasi ketika terjadi perlekatan Candida
albicans di mukosa. Aktivasi sel dendritik ini akan memicu proses fagositosis.
Dalam proses fagositosis, sel dendritik akan bermigrasi melalu limfo nodi
lokasi perlekatan Candida albicans dan sel dendritik akan berinteraksi dengan
sel T-naive. Interaksi ini akan membuat sel T-naive berdiferensiasi menjadi sel
T dewasa/matur. Sel T dewasa yang berkontribusi besar dalam infeksi Candida
albicans adalah sel T-helper 1 (Th1), sel T-helper 2 (Th2), sel T-helper 17
(Th17) dan sel T regulator (Treg). Dalam penelitian yang dilakukan
sebelumnya, telah disepakati bahwa sel Th1 berperan dalam fungsi protektif
jaringan yang terinfeksi. Hal ini berbeda dengan peran sel Th2, dimana sel Th2
berperan dalam kerusakan sel penjamu. Penelitian sebelumnya juga
menyimpulkan bahwa peran sel Th17 adalah fungsi proteksi terhadap
permukaan mukosa (Williams & Lewis, 2011).

G. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
Kandidiasis pada rongga mulut umumnya ditanggulangi dengan
menggunakan obat antijamur, dengan memperhatikan faktor
predisposisisnya atau penyakit yang menyertainya. Hal ini sangat
berpengaruh terhadap keberhasilan pengobatan atau penyembuhan
(Cullough, 2005; Silverman, 2001).
Obat-obat antijamur diklasifikasikan menjadi bebrapa golongan,
yaitu (Tripathi, 2001):
a. Antifungi
1) Polyenes : Amfotericin B, Nystatin, Hamycin, Nalamycin
2) Heterocyclibenzofluran: Griseofulvin
b. Antimetabolit: Flucytosine (5-Fe)
c. Azoles
1) Imidazole (topikal): Clotrimazol, Econazol, Miconazol,
Ketokonazol
2) Triazoles (sistemik): Flukonazole, Itrakonazole
d. Allylamine Terbinafine
e. Antijamur lainya: Tolnaftate, Benzoic acid, Sodiumsulfat

Dari beberapa golongan antijamur tersebut diatas, yang efektif


untuk kasus kasus pada rongga mulut, sering digunakan antara lain
amfotericine B, nystatin, miconazole, clotrimazole, ketokonazole,
itrakonazole dan flukonazole. (Cullough, 2005).

Amfoterisin B dihasilkan oleh Streptomyces nodusum,


mekanisme kerja obat ini yaitu dengan cara merusak membran sel
jamur. Efek samping terhadap ginjal seringkali menimbulkan
nefrotoksik. Sediaan berupa lozenges (10 ml ) dapat digunakan
sebanyak 4 kali /hari (Cullough, 2005).

Nystatin dihasilkan oleh streptomyces noursei, mekanisme kerja


obat ini dengan cara merusak membran sel yaitu terjadi perubahan
permeabilitas membran sel. Sediaan berupa suspensi oral 100.000
U/5ml dan bentuk cream 100.000 U/g, digunakan untuk kasus denture
stomatitis (Cullough, 2005).

Miconazole mekanisme kerjanya dengan cara menghambat


enzim cytochrome P 450 sel jamur, lanosterol 14 demethylase
sehingga terjadi kerusakan sintesa ergosterol dan selanjutnya terjadi
ketidak normalan membrane sel. Sediaan dalam bentuk gel oral (20
mg/ml), digunakan 4 kali /hari setengah sendok makan, ditaruh
diatas lidah kemudian dikumurkan dahulu sebelum ditelan (Cullough,
2005).

Clotrimazole, mekanisme kerja sama dengan miconazole,


bentuk sediaannya berupa tablet 10 mg, sehari 3 4 kali (Cullough,
2005).
Ketokonazole adalah antijamur broad spectrum. Mekanisme
kerjanya dengan cara menghambat cytochrome P450 sel jamur,
sehingga terjadi perubahan permeabilitas membran sel, Obat ini
dimetabolisme di hepar. Efek sampingnya berupa mual / muntah,
sakit kepala, parestesia dan rontok. Sediaan dalam bentuk tablet
200mg Dosis satu kali /hari dikonsumsi pada waktu makan (Cullough,
2005).

Itrakonazole, efektif untuk pengobatan kandidiasis penderita


immunocompromised. Sediaan dalam bentuk tablet , dosis
200mg/hari. selama 3 hari, bentuk suspensi (100-200 mg) / hari,
selama 2 minggu. Efek samping obat berupa gatal-gatal,pusing,
sakit kepala, sakit di bagian perut (abdomen),dan hypokalemi
(Greenberg, 2003).

Flukonazole, dapat digunakan pada seluruh penderita


kandidiasis termasuk pada penderita immunosupresif. Efek samping
mual,sakit di bagian perut, sakit kepala,eritme pada kulit.
Mekanisme kerjanya dengan cara mempengaruhi Cytochrome P 450
sel jamur, sehingga terjadi perubahan membran sel . Absorpsi tidak
dipengaruhi oleh makanan. Sediaan dalam bentuk capsul 50 mg,
100mg, 150mg dan 200mg Single dose dan intra vena. Kontra
indikasi pada wanita hamil dan menyusui (Dipiro, 2015).

2. Non Medikamentosa
a. Mencegah/menghindari faktor predisposisi kandidiasis (Janik,
2008; Venkatesan, 2005, Dipiro, 2015):
1) Mengurangi rokok dan konsumsi karbohidrat
2) Menunda pemberian antibiotik dan kortikosteroid
3) Menangani penyakit yang memicu kemunculan kandidiasis,
seperti penanggulangan penyakit DM, HIV, dan leukemia
b. Menjaga kebersihan rongga mulut (Janik, 2008; Venkatesan, 2005,
Dipiro, 2015):
1) Menyikat gigi
2) Menyikat daerah bukal dan lidah dengan sikat lembut
3) Pembersihan dan penyikatan gigi tiruan secara rutin dengan
menggunakan cairan pembersih, seperti klorheksidin

BAB II
ILUSTRASI KASUS

1.1. ILUSTRASI KASUS


Pasien masuk Rumah Sakit Achmad Mochtar Bukit Tinggi ruang Interne
Pria pada tanggal 15 februari 2017.

1.2. IDENTITAS PASIEN

Data Umum
No MR 465418 Ruangan Ruangan Interne Pria
Nama pasien Firdaus Dokter yang merawat dr. Desi Malinda,
Sp.PD
Asal Solok Jenis kelamin Laki-laki
Agama Islam
Umur 51 tahun Pekerjaan Wiraswasta

ANAMNESA

Keluhan Utama :
Tenggorokan terasa nyeri dan susah menelan sejak 15 hari yang lalu
Nafsu makan menurun sejak 15 hari lalu
Riwayat Penyakit Sekarang:
Perut terasa sakit, badan terasa lemah,
Nyeri menelan sejak 5 hari yang lalu, luka sariawan dimulut, mual dan muntah
kurang lebih 8 kali
Demam sejak 10 hari yang lalu dimana demam meningkat pada sore hari
Urin pasien berwarna seperti teh

Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien mengkonsumsi rutin obat Lanadexon (Dexametason) kurang lebih 10 tahun
Riwayat DM (-)
Riwayat Hypertensi (-)
Riwayat Hepatitis (-)
Diagnosa Utama : Candidiasis Oral + Annoreksia

1.3. HASIL PEMERIKSAAN FISIK

PEMERIKSAAN FISIK
TANGGAL TEKANAN NADI PERNAPASAN SUHU
(kali/menit) (kali/menit) ((C)
DARAH
(mmHg)
15/2/2017 120/80 82 21 36,7
16/2/2017 150/100 73 22 37,3
17/2/2017 130/80 82 22 38,1
18/2/2017 120/70 80 18 36,4
19/2/2017 120/70 81 20 36,4
20/2/2017 120/80 80 20 36,5

1.4. DATA LABORATORIUM

Data 15/2 16/2 Normal


HGB 15.4 15.1 13-16 g/dl
RBC 5.23 5.07 5-10 x 106
HCT 44.5 44.3 37-43%
MCV 85.1 87.4 80-100 um3
MCH 29.4 29.8 27-31 ug
MCHC 34.6 34.1 32-36 g/dL
WBC 8.78 9.42 5-10 x 103 uL
EO% 2.6 2.7 1-3%
BASO% 0.8 0.5 0-1%
NEUT% 51.7 45.5 50-70%
LYMPH% 27.6 33.7 20-40%
MONO% 17.3 17.6 2-8%
LED - 65 <10 mm/jam
PLT 342 309 150-400 (10^3/ul)
Ureum 26 - 15 43 mg/dl
Creatinin 0.81 - 0,5-1,1 mg/dl
AST-GOT - 26 0-37 U/L
ALT-GPT - 25 0-41 U/L
BILI-D - 1.08 0-0.20 mg/dl
BILI-T - 2.63 0-1.23 mg/dl
C-CHOL - 207 0-201 mg/dl
C-HDL - 16 30-71 mg/dl
C-TRIG - 287 60-165 mg/dl
C-LDL - 134 0-130 mg/dl
GDP 117 86 70-165 mg/dl
UA - 9.8 3.5-7.2 mg/dl
HBs Ag - Negatif Negatif
Kalium 2.95 - 3.5-5.5 mEq/l
Natrium 135.3 - 135-147 mEq/l
Klorida 99.5 - 100-106 mEq/l

1.5. TERAPI YANG DIBERIKAN

NO Nama obat Dosis Frekuensi 15/2 16/2 17/2 18/2 19/2 20/2
1 Infus RL/ drip 500 ml 20 tetes iv
Sohobion
2 Curcuma 20 mg 2x1 po
3 Candistatin po 2x2 po Stop - - - -
4 Candistatin drop 100.000 1x1 po -
unit/ml
5 KSR 600 mg 2x1 po -
6 Inj. Ranitidin 25 mg/ml 2x1 iv - Stop
7 Inj. 10 mg/2 3x1 iv - Stop
Metoklopramid ml
8 Parasetamol 500 mg 3x1 po - -
9 Levofloxacin 500 mg 1x1 po - -
10 Inj. Kalnex 50 mg/ml 3x1 iv - - -
11 Inj. Vit K 2 mg/1 ml 3x1 iv - - -
12 Loperamid 2 mg 3x1 po - - - Stop
13 Ranitidin 150 mg 2x1 po - - - - -
14 Metoklopramide 10 mg 3x1 po - - - - -
BAB III

TINJAUAN OBAT

1. Candistatin
a. Komposisi : Tiap ml kandistatin suspensi oral mengandung
Nistatin 100.000 unit
b. Indikasi : Pengobatan candidiasis pada rongga mulut (oral
thrush), kandidiasis pada kerongkongan dan saluran cerna. Diare non
spesifik pada bayi/ anak. Profilaksis oral thrush pada bayi yang baru
lahir.
c. Cara kerja Obat:
Nistatin adalah antibiotika anti fungal yang berasal dari stan melibatkan
reptomyces noursei. Nistatin bekerja dengan melibatkan ikatan Nistatin
dengan sterol membran jamur,terutama ergosterol. Akibat ikatan
tersebut maka permeabilitas membran sel dan proses transportasi sel
akan terganggu dan komponen intraseluler dapat hilang. Nistatin
mempunyai aktifitas atau fungistatika terhadap berbagai jenis ragi
(yeast) dan jamur (fungi) termasuk candida 9monilia) spp akan tetapi
tidak aktif terhadap bakterial virus atau protozoa
d. Dosis:
Dewasa : 3 kali sehari 1-2 ml
Bayi dan anak-anak : 3-4 kali sehari 1 ml
Profilaksis : 1 kali sehari 1 ml
Diteteskan dalam mulut dan dibiarkan sementara sebelum ditelan.
Pengobatan diteruskan paling sedikit 48 jam setelah hilang dan kembali
norma
e. Kontra indikasi :Pasien yang hipersensitif terhadap Nistatin
f. Efek samping : Kandistatin tidak toksis dan dapat diterima
semua umur, termasuk untuk pemakaian jangka lama/ panjang. Dosis
besar jarang mengakibatkan diare dan gangguan pencernaan.
g. Peringatan dan Perhatian : Awa obat keras, simpan jauh dari
jangkauan anak-anak
h. Interaksi obat : Over dosis: dosis oral melebihi 5.000.000
IU/hari dapat menyebabkan mual dan gangguan gastrointestinal
i. Cara penyimpanan : Simpan di tempat sejuk dan kering pada
suhu di bawah 30C.

2. INFUS RL
a. Komposisi (mmol/100ml) : Na = 130-140, K = 4-5, Ca = 2-3,
Cl = 109-110, Basa = 28-30 mEq/l.
b. Kemasan : 500, 1000 ml.
c. Mekanisme kerja : keunggulan terpenting dari larutan Ringer Laktat
adalah komposisi elektrolit dan konsentrasinya yang sangat serupa
dengan yang dikandung cairan ekstraseluler. Natrium merupakan
kation utama dari plasma darah dan menentukan tekanan osmotik.
Klorida merupakan anion utama di plasma darah. Kalium merupakan
kation terpenting di intraseluler dan berfungsi untuk konduksi saraf
dan otot. Elektrolit-elektrolit ini dibutuhkan untuk menggantikan
kehilangan cairan pada dehidrasi dan syok hipovolemik termasuk syok
perdarahan.
d. Indikasi : Mengembalikan keseimbangan elektrolit pada
keadaan dehidrasi dan syok hipovolemik. Ringer laktat menjadi kurang
disukai karena menyebabkan hiperkloremia dan asidosis metabolik,
karena akan menyebabkan penumpukan asam laktat yang tinggi akibat
metabolisme anaerob.
e. Kontraindikasi : Hipernatremia, kelainan ginjal, kerusakan sel hati,
asidosis laktat.
f. Efek samping : Panas, infeksi pda tempat penyuntikan, trombosis
vena atau flebitis yang meluas dari tempat penyuntikan, ekstravasasi.
g. Peringatan dan Perhatian : Hati-hati pemberian pada penderita edema
perifer pulmoner, heart failure/impaired renal function & pre-eklamsia.

3. Curcuma tablet 20 mg
a. Komposisi: : Tiap tablet mengandung Curcuma yang
diserbukkan 20 mg
b. Indikasi : Anoreksia (kehilangan nafsu makan), ikterus
(menjadi kuningnya warna kulit, selaput lendir, membantu
memelihara kesehatan fungsi hati, dan berbagai jaringan tubuh oleh
zat warna empedu) akibat obstruksi/penyumbatan saluran empedu,
amenore (tidak haid).
c. Dosis : 3 kali sehari 1-2 tablet

4. Ranitidin
a. Komposisi : Tiap ml injeksi mengandung Ranitidin HCl setara
dengan ranitidine 25 mg.
b. Mekanisme kerja : Suatu antagonis histamin pada reseptor H2 yang
menghambat kerja histamin secara kompetitif pada reseptor H2 dan
mengurangi sekresi asam lambung. Kadar dalam serum yang
diperlukan untuk menghambat 50% perangsangan sekresi asam
lambung adalah 36 94 mg/ml. kadar tersebut bertahan selama 6 8
jam setelah pemberian dosis 50 mg IM/IV
c. Indikasi : Pengobatan alternatif untuk pasien yang tidak
dapat diterapi secara oral untuk tukak lambung, duodenum, tukak
pasca operasi, refluks esofagitis, keadaan hipersekresi patologis
( sindrom Zollinger-Ellison).
d. Dosis : IM 50 mg(tanpa pengenceran) tiap 6-8 jam. IV
bolus intermiten : 50 mg (2mL) tiap 6-8 jam. Diencerkan dalam
larutan NaCl 0.9% atau larutan injeksi IV lain yang cocok sampai
memperoleh kadar <= 2,5 mg/mL. Kecepatan injeksi <= 4 mL/menit
selama 5 menit. Infus intermiten : 50 mg(2 mL)tiap 6-8 jam
Diencerkan dalam larutan Dextrose 5% atau larutan injeksi IV lain
yang cocok sampai memperoleh kadar <= 0.5 mg/ml. Kecepat infus
tidak lebih 5-7mL/menit dengan waktu 15-20 menit. Infus IV kontiniu
: 150 mg diencerkan dalam 250 mL larutan Dextrose 5% atau larutan
IV yang cocok dan diberikan via infus dengan kecepatan 6.25 mg/jam
selama 24 jam
e. Pemberian Obat : Diberikan sebelum atau sesudah makan
f. Perhatian: Laktasi, gagal ginjal. Hindari keganasan tukak
lambung dan dispepsia sebelum terapi.
g. Efek Samping : Sakit kepala, malaise, pusing, mual, muntah, nyeri
perut, ruam kulit, diare, insomnia, takikardi, bradikardi, artralgia,
mialgia, vertigo, mengantuk, , blok AV, denyut prematur vertikel,
konstipasi, hipersensitivitas, lukopenia, granulositopenia,
trombositopenia, anemia aplastik, ginekomastia, impotensi, hilangnya
libido, ruamm eritema multiformis, alopesia.
h. Kemasan: Ampul 25 mg/mL x 2mL x 5
i. Edukasi pasian dan keluarga pasien
Anjurkan pasien untuk mengkonsumsi obat ranitidin oral
setengah jam sebelum makan atau 2 jam setelah makan.
Menyarankan pasien untuk melaporkan gejala-gejala tersebut
ke dokter: sakit perut, mual, muntah, perubahan warna atau
konsistensi tinja, tinja berwarna hitam atau kopi bubuk emesis;
jaundice, sakit kepala, kelelahan berlebihan, pusing, memar
yang tidak biasa atau perdarahan, petechiae, ruam atau sesak
napas.
Mendiskusikan perubahan diet diperlukan atau pembatasan
yang sesuai untuk pasien. Merujuk pasien ke ahli gizi jika
diindikasikan.
Menyarankan pasien dengan borok untuk menghindari alkohol
dan merokok.
Diskusikan pengurangan stres dengan pasien jika ada indikasi.
Memberitahu pasien bahwa obat dapat menyebabkan pusing
dan menggunakan hati-hati saat mengemudi atau melakukan
tugas-tugas lain yang membutuhkan kewaspadaan mental

5. Metoklopramide
a. Komposisi : Metoclopramide HCl
b. Indikasi : Refluks esofagitis, pencegahan mual dan muntah
pasca operasi dan kemoterapi kanker yang bersifat emetogenik.
c. Dosis : Untuk Refluks esofagitis dewasa 10 mg intra vena
perlahan 1-2 menit. Untuk anti-emetik dewasa 10 mg intra muskular
pasca operasi. Gangguan ginjal dan hati 1/2 dosis.
d. Pemberian Obat : Berikan setengah jam sebelum makan.
e. Kontra Indikasi : Feokromositoma, perdarahan gastrointestinal
(saluran cerna), obstruksi dan perforasi. Sindroma parkinson tipe
ekstrapiramidal, epilepsi.
f. Perhatian : Turunkan dosis pada gangguan hati karena akan
meningkatkan gejala ekstrapiramidal. Intoleransi prokain dan
prokainamida. Usia lanjut atau anak, hamil dan menyusui.
g. Efek Samping : Reaksi ekstrapiramidal, pusing, lesu, mengantuk,
sakit kepala, depresi, cepat lelah, gangguan gastrointestinal (saluran
cerna), hipertensi.
h. Interaksi Obat : Efek di antagonis oleh antikolinergik, analgesik
narkotik. Peningkatan absorpsi asetaminofen. Efek ekstrapiramidal
bertambah dengan fenotiazin. Peningkatan konsentrasi levodopa di
plasma
i. Edukasi Pasien / Keluarga
Anjurkan pasien untuk minum obat 30 menit sebelum makan.
Anjurkan pasien untuk melaporkan gejala berikut ke penyedia
layanan kesehatan: gerakan involunter dari mata, wajah, atau
anggota badan.
Perhatian pasien untuk menghindari asupan minuman
beralkohol.
Memberitahu pasien bahwa obat dapat menyebabkan kantuk dan
menggunakan hati-hati saat mengemudi atau melakukan tugas-
tugas lain yang membutuhkan kewaspadaan mental
6. Levofloxacine
a. Komposisi : Levofloxacine
b. Indikasi : Pengobatan infeksi dari sinus maksilaris, atas dan
saluran pernapasan bagian bawah, kulit dan struktur kulit, dan saluran
kemih yang disebabkan oleh organisme rentan; pielonefritis akut yang
disebabkan oleh E. coli.
c. Dosis : Oral / Sinusitis maksilaris akut : 500 mg/hari untuk 10-14
hari. Bronkitis kronis eksaserbasi akut : 500 mg/hari utk 7 hari.
Pneumonia yang didapat dari lingkungan : 500 mg/hari untuk 7-14 hari.
ISK terkomplikasi : 250 mg/hari untuk 10 hari. ISK tidak terkomplikasi :
250 mg/hari untuk 3 hari. Pielonefritis akut : 250 mg/hari untuk 10 hari.
Infeksi kulit dan struktur kulit tidak terkomplikasi : 500 mg/hari untuk 7-
10 hari, tergantung dari beratnya penyakit.
d. Pemberian Obat : Diberikan bersama makanan
e. Kontra Indikasi : Hipersensitif terhadap kuinolon, anak < 18 tahun,
hamil, laktasi
f. Perhatian : Gangguan ginjal, gangguan SSP yang dapat
menimbulkan kejang atau memiliki ambang kejang rendah, DM, hindari
paparan berlebihan terhadap sinar matahari.
g. Efek Samping : Reaksi hipersensitif, insomnia, pusing atau sakit
kepala, peningkatan ureum dan kreatinin, SGOT dan SGPT, leukopenia,
anemia, eosinofilia, trombositopenia, mual, rasa tidak nyaman pada
abdomen, diare, anoreksia, dispepsia. Jarang kolitis pseudomembran,
kejang dan psikosis toksik
h. Interaksi Obat: Antasida, sukralfat, kation logam, multivitamin,
AINS, obat antidiabetik oral.
i. Edukasi Pasien / Keluarga
Menyarankan pasien untuk menghindari kontaminasi ujung
aplikator dengan bahan dari mata, jari, atau sumber lain.
Informasikan pasien untuk mengambil tablet 2 jam sebelum atau
sesudah antasida yang mengandung magnesium atau aluminium,
serta sukralfat, tablet zat besi, dan multivitamin yang
mengandung zinc.
Anjurkan pasien untuk minum cairan yang cukup untuk
memastikan output urin yang memadai.
Perhatian pasien untuk menghindari paparan sinar matahari dan
menggunakan tabir surya atau pakaian pelindung sampai toleransi
ditentukan.
Anjurkan pasien untuk melaporkan tanda-tanda pertumbuhan
bakteri atau jamur (misalnya, hitam, penampilan berbulu lidah,
gatal atau cairan vagina, longgar atau tinja berbau busuk).
Menyarankan pasien untuk menghentikan penggunaan dan
hubungi dokter di tanda pertama dari ruam atau reaksi alergi.
pasien hati-hati bahwa obat dapat menyebabkan pusing atau
ringan dan menggunakan hati-hati saat mengemudi atau
melakukan tugas-tugas lain yang membutuhkan kewaspadaan
mental.
pasien hati-hati terhadap menggandakan dosis untuk "mengejar"
kecuali disarankan oleh dokter. Anjurkan pasien untuk
menghubungi dokter jika> 1 dosis yang tidak terjawab.
Tekankan pentingnya menyelesaikan seluruh rejimen dosis.
Menyarankan pasien untuk tidak mengambil obat otc tanpa
konsultasi dengan dokter.
Instruksikan pasien diabetes untuk menghentikan pengobatan dan
memberitahu dokter jika reaksi hipoglikemik terjadi.
Anjurkan pasien untuk menghentikan pengobatan dan
memberitahu dokter jika mengalami nyeri, peradangan, atau
pecahnya tendon, dan untuk sisa menahan diri dari latihan sampai
diagnosis tendonitis atau tendon pecah dikecualikan

7. Loperamide
a. Komposisi : Loperamide HCl
b. Indikasi : Pengobatan diare akut non spesifik dan kronik
c. Dosis : Untuk diare non spesifik : awal 2 tablet/hari. Dosis
biasa : 2-4 tablet 1-2 kali/hari. Maksimal : 8 tablet/hari. Untuk diare
kronik : 2-4 tablet/hari dalam dosis terbagi. Maksimal : 8 tablet/hari.
Hentikan bila tidak ada perbaikan setelah 48 jam.
d. Pemberian Obat : Diberikan sebelum atau sesudah makan.
e. Kontra Indikasi : Konstipasi. Bayi.
f. Perhatian : Hentikan bila tidak ada perbaikan setelah 48 jam.
Kolitis akut, infeksi bakteri atau parasit. Anak < 2 tahun. Disfungsi hati.
g. Efek Samping : Mulut kering, nyeri perut, lelah, ruam kulit,
megakolon toksik, pusing
h. Edukasi Pasien /Keluarga
Anjurkan pasien untuk merekam jumlah dan konsistensi tinja.
Menginformasikan pasien bahwa obat dapat menyebabkan
mulut kering.
Mendorong pasien untuk minum banyak cairan yang jelas untuk
membantu mencegah dehidrasi yang mungkin menyertai diare.
Menyarankan pasien untuk memberitahu dokter jika diare
berlanjut> 48 jam atau jika demam berkembang.
Menginformasikan pasien bahwa obat dapat menyebabkan rasa
mengantuk dan pusing dan menggunakan hati-hati saat
mengemudi atau melakukan tugas-tugas lain yang
membutuhkan kewaspadaan mental.
8. Kalnex
a. Komposisi : Tranexamic acid
b. Farmakologi
Aktifitas antiplasminic : KALNEX menghambat aktivitas dari activator
plasminogen dan plasmin. Aktivitas antiplasminic dari KALNEX telah
dibuktikan oleh berbagai percobaan In vito dan penentuan dari
aktivitas plasmin dalam darah dan aktivitas setempat, setelah diberikan
pada tubuh manusia.
Aktivitas hemostatis : KALNEX mencegah degradasi fibrin,
pemecahan platelet, menambah kerapuhan vascular dan pemecahan
faktor koagulasi. Efek ini dibuktikan secara klinis dengan berkurangnya
jumlah pendarahan, mengurangi waktu pendarahan dan periode
pendarahan
c. Indikasi : Edema angioneurotik herediter, perdarahan abnormal
sesudah operasi, perdarahan akibat pencabutan gigi pada penderita
hemofilia. Fibrinolisis lokal : epistaksis, prostatektomi, konisasi
servikal.
d. Dosis : Dewasa : 1-2 kapsul 3-4 kali/hari. Tablet : 1 tablet 3-4
kali/hari. Ampul 250 mg : 1-2 ampul/hari IV atau 1-2 dosis terbagi IM
atau 2-10 ampul dengan infus drip. Ampul 500 mg : 2.5-5 mL IV/IM
terbagi dalam 1-2 dosis. Selama atau pasca operasi : 5-25 mL dengan
infus bila perlu.
e. Pemberian Obat : Diberikan sebelum atau sesudah makan
f. Perhatian : Insufisiensi ginjal, hematuria karena gangguan
pada parenkim ginjal, hamil dan laktasi.
g. Efek Samping :Gangguan saluran cerna, mual, muntah, pusing,
eksantema, sakit kepala, pemberian injeksi IV secara cepat dapat
menyebabkan pusing dan hipotensi.
h. Interaksi Obat :Jangan diberikan ke dalam darah tranfusi atau
injeksi yang mengandung penisilin.

9. KSR
a. Komposisi : Potassium Chloride 600 mg pertablet.
b. Indikasi : Pengobatan & pencegahan hipokalemia.
c. Kontra Indikasi : Gagal ginjal yang telah lanjut, hiperkalemia,
penyakit Addison yang tidak diobati, dehidrasi akut, penyumbatan
saluran pencernaan.
d. Perhatian : Kerusakan ginjal, gagal jantung kongestif.
e. Interaksi Obat : Meningkatkan resiko hiperkalemia jika digunakan
dengan ACE inhibitor, siklosporin, diuretika hemat Kalium.
f. Efek Samping : Mual, muntah, diare, nyeri perut. Jarang : ulserasi
saluran pencernaan

10. Parasetamol
a. Komposisi : Tiap tablet mengandung Parasetamol 500 mg.
b. Cara Kerja : Parasetamol adalah derivat p-aminofenol yang
mempunyai sifat antipiretik /analgesik. Sifat antipiretik disebabkan oleh
gugus aminobenzen dan mekanismenya diduga berdasarkan efek
sentral. Sifat analgesik Parasetamol dapat menghilangkan rasa nyeri
ringan sampai sedang. Sifat antiinflamasinya sangat lemah sehingga
tidak digunakan sebagai antirematik. Pada penggunaan per oral
Parasetamol diserap dengan cepat melalui saluran cerna. Kadar
maksimum dalam plasma dicapai dalam waktu 30 menit sampai 60
menit setelah pemberian. Parasetamol diekskresikan melalui ginjal,
kurang dari 5% tanpa mengalami perubahan dan sebagian besar dalam
bentuk terkonyugasi.
c. Indikasi : Sebagai antipiretik/analgesik, termasuk bagi pasien
yang tidak tahan asetosal. Sebagai analgesik, misalnya untuk
mengurangi rasa nyeri pada sakit kepala, sakit gigi, sakit waktu haid
dan sakit pada otot. Menurunkan demam pada influenza dan setelah
vaksinasi.
d. Dosis
Dibawah 1 tahun : - 1 sendok teh atau 60 120 mg, tiap 4 - 6
jam.
1 - 5 tahun : 1 - 2 sendok teh atau 120 250 mg, tiap 4 - 6
jam.
6 - 12 tahun : 2 - 4 sendok teh atau 250 500 mg, tiap 4 - 6
jam.
Diatas 12 tahun : - 1 g tiap 4 jam, maksimum 4 g sehari.
e. Cara Penggunaan Obat : Melalui mulut (per oral).
f. Efek Samping : Dosis besar menyebabkan kerusakan fungsi
hati.
g. Kontraindikasi : Hipersensitif terhadap parasetamol dan
defisiensi glokose-6-fosfat dehidrogenase. Tidak boleh digunakan pada
penderita dengan gangguan fungsi hati.
h. Interaksi Obat : Parasetamol diduga dapat menaikkan aktivitas
koagulan dari kumarin.
i. Perhatian : Pemberian harus berhati-hati pada pasien
dengan gangguan ginjal serta penggunaan jangka lama pada pasien
anemia., Jangan melampaui dosis yang disarankan. Harap ke dokter bila
gejala demam belum sembuh dalam 2 hari atau rasa sakit tidak
berkurang selama 5 hari.

11. Kalnex
a. Komposisi : Tranexamic acid
b. Bentuk Sediaan : Kapsul 250 mg, tablet 500 mg, injeksi 50 mg dan
100 mg.
c. Farmakologi : Antifibrinolitik yang secara kompetitif
menghambat aktivasi plasminogen menjadi plasmin, dengan berikatan
dengan bagian-bagian spesifik dari plasminogen dan plasmin. Absorpsi
dalam saluran cerna tidak dipengaruhi makanan, bioavailabilitas : 34%,
ikatan protein plasma 3%, distribusi luas ke SSP, cairan sinovial, semen
ginjal, kelenjar prostat.
d. Indikasi : Untuk fibrinolisis lokal seperti epistaksis,
prostatektomi, konisasi serviks, edema angioneurotik herediter,
pendarahan abnormal sesudah operasi, pendarahan sesudah operasi gigi
pada penderita hemophilia
e. Dosis :
KALNEX 250 mg kapsul : Dosis lazim secara oral untuk dewasa :
sehari 3 - 4 kali, 1 - 2 kapsul.
KALNEX 500 mg tablet : Dosis lazim secara oral untuk dewasa :
sehari 3 - 4 kali, 1 tablet.
KALNEX 50 mg injeksi : -Sehari 1 - 2 ampul (5 - 10 mL) disuntikkan
secara intravena atau intramuskular, dibagi dalam 1 - 2 dosis. Pada
waktu atau setelah operasi, bila diperlukan dapat diberikan sebanyak 2
-10 ampul (10 - 50 mL) dengan cara infus intravena.
KALNEX 100 mg injeksi : 2,5 - 5 mL per hari disuntikkan secara
intravena atau intramuskular, dibagi dalam 1 - 2 dosis pada waktu atau
sesudah operasi, bila perlu, 5 - 25 mL diberikan dengan cara infus
intravena. Dosis KALNEX harus disesuaikan dengan keadaan pasien
masing-masing sesuai dengan umur atau kondisi klinisnya.
f. Kontraindikasi : Gangguan fungsi ginjal berat, hematuria,
risiko tinggi trombosis
g. Efek Samping : Gangguan-gangguan gastrointestinal, mual,
muntah-muntah, anoreksia, pusing, eksantema dan sakit kepala dapat
timbul pada pemberian secara oral. Gejala-gejala ini menghilang
dengan pengurangan dosis atau penghentian pengobatannya. Injeksi
intravena yang cepat dapat menyebabkan pusing dan hipotensi.
12. Vit K
a. Komposisi : Phytonadione 2 mg
b. Indikasi :Pencegahan dan pengobatan Hipoprotombinemia yang
disebabkan oleh induksi turunan kumarin atau obat lain yang
menginduksi defisiensi vitamin K, hipoprotrombinemia yang
disebabkan oleh malabsorbsi atau ketidak mampuan untuk mengsintesis
vitamin K, untuk mencegah pendarahan pada bayi
c. Dosis : Dosis anak-anak: 1-3 tahun : 30 mcg/hari, 4-8 tahun:
55mcg/hari, 9-13 tahun: 60mcg/hari, 14-18 tahun: 75mcg/hari o Dosis
dewasa pada pria : 120 mcg/ hari, Dosis dewasa pada wanita : 90
mcg/hari o Dosis melalui injeksi : 1 mg/dosis/ hari, dosis lebih tinggi
diperlukan jika ibu sudah menerima antikoagulan oral
d. Kontra Indikasi : Hipersensitivitas
e. Efek Samping : Cyanosis, hipotensi, lesi seperti scleroderma,
hiperbilirubinemia, rasa tidak enak pada perut, reaksi pada tempat
penyuntikan (pada pemberian IV), dyspnea, reaksi anafilaksis,
diaforesis dan reaksi hipersensitivitas.
f. Interaksi Obat : fitomenadione
g. Edukasi Pasien / Keluarga

Jelaskan bahwa pasien mungkin mengalami sementara "flushing


sensasi" dan "aneh" sensasi rasa. Jarang pusing, denyut nadi lemah
cepat, berkeringat banyak, atau kesulitan bernapas mungkin terjadi.
Kejadian langka lainnya adalah nyeri, bengkak, atau nyeri di
tempat suntikan.
Anjurkan pasien untuk melaporkan gejala pendarahan.

BAB IV
PEMBAHASAN
Tn. F berusia 51 tahun pertama kali datang ke IGD RSAM Bukittinggi
dengan keluhan utama tenggorokan terasa nyeri dan susah menelan sejak 15 hari
yang lalu, perut terasa sakit, badan terasa lemah, luka sariawan dimulut, mual dan
muntah.. Tn. F didiagnosa Candidiasis oral. Riwayat penyakit terdahulu yaitu
mengkonsumsi obat kortikosteroid Lanadexon (Dexametason) selama 10 tahun
yang lalu. Diagnosa ditegakkan dari pemeriksaan subyektif berupa anamnesa,
pemeriksaan obyektif/ klini.
Jika dilihat dari penyebab munculnya candidiasis oral pada pasien
tersebut diduga karena adanya faktor predisposisi yang mendorong invasi jamur
tersebut. Dari anamnesis diketahui bahwa pasien mengaku mengkonsumsi obat
Lanadexon tersebut adalah untuk meningkatkan nafsu makan. Hal ini yang
diduga merupakan faktor predisposisi dari pertumbuhan c. albicans.
Steroid sebagai salah satu obat yang sekarang banyak digunakan juga
memiliki efek samping terhadap rongga mulut. Obat steroid kadang juga dikenal
dengan sebutan kortikosteroid.
Obat steroid dapat menimbulkan efek-efek yang tidak diinginkan
pemakainya. Adapun beberapa efek samping tersebut seperti kerentanan seseorang
terhadap infeksi, obesitas, osteoporosis, terhambatnya pertumbuhan, katarak, dan
terjadinya sindrom Cushing (moon face, buffalo hump, dan peningkatan lingkaran
perut).
Pemberian obat steroid dapat menekan sistem imun sehingga seseorang
menjadi mudah terkena infeksi misalnya infeksi oleh jamur Kandida pada rongga
mulut. Obat steroid juga mampu meningkatkan selera makan pemakainya
sehingga menyebabkan pertambahan berat badan yang bila tidak dikontrol dapat
menimbulkan obesitas. Hal inilah yang melatar belakangi pasien mengkonsumsi
obat kortikosteroid dengan tujuan untuk meningkatkan nafsu makan.
Terjadinya sindrom Cushing pada pengguna steroid ditandai dengan
adanya moon face, buffalo hump, dan peningkatan lingkaran perut. Hal ini terjadi
karena efek steroid yang dapat menyebabkan redistribusi cadangan karbohidrat
dan lemak ke wajah (moon face) dan perut (peningkatan lingkaran perut) sehingga
pemakai obat ini akan terlihat gemuk pada daerah tersebut. Distribusi lemak tubuh
juga dapat dijumpai pada belakang leher yang tampak membengkak (buffalo
hump).
Obat steroid seperti yang telah dibahas sebelumnya, memiliki efek
imunosupresi. Hal ini dapat disebabkan oleh kemampuan obat steroid dalam
menghambat fungsi makrofag. Efek terhadap makrofag tersebut menandai dan
membatasi kemampuannya untuk memfagosit dan membunuh mikroorganisme.
Aktivasi limfosit T dan produksi limfosit B juga dihambat oleh obat steroid.
Antibodi sebagai salah satu komponen penting dalam sistem imunitas manusia
dapat ditekan produksinya oleh pemakaian obat steroid terutama apabila
digunakan dalam dosis besar. Seperti yang kita ketahui, makrofag, limfosit T ,
limfosit B, dan juga antibodi merupakan komponen penting yang berfungsi
sebagai sistem pertahanan dan imunitas tubuh manusia yang juga terdapat dalam
rongga mulut. Namun, komponen-komponen tersebut diatas dapat terganggu
fungsinya akibat pemakaian obat steroid yang mana obat ini dapat menekan
sistem imunitas manusia. Dalam keadaan imun yang lemah, maka infeksi akan
mudah menyerang seseorang.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, di dalam rongga mulut manusia
terdapat banyak flora normal yang salah satunya adalah jamur Kandida. Pada
keadaan sistem imun yang baik, jamur Kandida tidak menimbulkan penyakit.
Namun, penggunaan obat steroid dapat menurunkan sistem imun dalam rongga
mulut. Dengan sistem imun yang lemah, maka jamur Kandida dalam rongga
mulut bisa menjadi patogen dan menimbulkan infeksi yang disebut kandidiasis.
Perawatan kandidiasis oral dapat dilakukan dengan cara menjaga
kebersihan rongga mulut, pemberian obat-obatan antifungal, dan sebisa mungkin
menghilangkan faktor predisposisi penyebab kandidiasis oral.
Perawatan yang diberikan kepada pasiena dalah Candistatin oral
suspension drop sebagai terapi simptomatif dan paliatif. Penggunaan obat ini 1x
sehari dengan cara diteteskan pada lidah diamkan selama 1 menit dan selama 20
menit pasien diinstruksikan tidak boleh makan dan minum.
Candistatin oral suspension berisi nystatin sebagai antifungi/anti jamur
dan aktif terhadap jamur seperti C.albicans. Obat ini bereaksi dengan mengikat
sterol pada dinding jamur sehingga akan terjadi perubahan permeabilitas
membran sel jamur yang disertai dengan kebocoran dari komponen intraselluler
sehingga menyebabkan lisis dan terjadi kematian jamur candida.
Pada pasien juga diinstruksikan untuk mengkonsumsi makanan sehat dan
bergizi, menjaga kebersihan rongga mulut, membersihkan lidah secara mekanis
dengan pembersih lidah (tongue cleaner) menggunakan obat secara teratur sesuai
anjuran, istirahat yang cukup, serta kontrol setelah 1 minggu.

BAB VI
KESIMPULAN
1. Kandidiasis adalah suatu infeksi jamur yang disebabkan oleh jamur genus
Candida. Spesies Candida albicans merupakan penyebab tersering terjadinya
candidiasis pada jaringan mukosa.
2. Kandidiasis oral biasanya akan menyerang individu yang memiliki faktor
resiko berupa penggunaan obat-obatan imunosupresan, penggunaan obat-
obatan antimikroba, hiposalivasi, dan individu dengan penurunan sistem imun
(individu dengan HIV/AIDS, individu dengan gangguan sistem imun selular,
individu dengan terapi imunosupresif, dsb.).
3. Pada orang yang sehat, Candida albicans umumnya tidak menyebabkan
masalah apapun dalam rongga mulut, namun karena berbagai faktor, jamur
tersebut dapat tumbuh secara berlebihan dan menginfeksi rongga mulut.
Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi dua, yaitu patogenitas jamur dan faktor
host.
4. Penyebabnya ada banyak faktor, pada pasien ini diduga penyebab predisposisi
dari pertumbuhan candida disebabkan karena riwayat mengkonsumsi
Lanadexon selama 10 tahun yang menyebabkan penurunan sistem imun
sehingga tubuh mudah terkena infeksi seperti infeksi dari jamur c.albicans
pada bagian lidah tersebut.
5. Instruksi yang tetap diberikan setelah kontrol berupa instruksi untuk menjaga
kesehatan ronggga mulut, mengkonsumsi makanan sehat dan bergizi, menjaga
kebersihan mulut, dan istirahat yang cukup.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2010. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi, Edisi 15,


2016/2017. Jakarta: Penerbit Asli (MIMS Pharmacy Guide).
Anaissie, Elias J., Michael R. McGinnis., Michael A. Pfaller. 2009.
Clinical Mycology. USA: Elsevier.
Dipiro.JT., 2015, Pharmacoterapy Handbook 9th edition., New York: Mc
Graw Hill.
Greenberg, M.2003.Burkets Oral Medicine Diagnosis & Treatment.BC
Decker Inc: New jersey.
Janik MP, Heffernan MP,. 2008. Yeas to infection : Candidiasis and
Tinea (Pityriasis) versicolor. Dalam : Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatricks Dermatology
in General Medicine 7th ed. New York : Mc Graw Hill
Medscape, 2017, Drug Interaction Checker
Rubin, Robert H. dan Lowell S. Young. 2002. Clinical Approach to
Infection in the Compromised Host. USA: Kluwer.
Scully, Crispian. 2012. Mucosal Candidiasis Clinical Presentation. USA:
Medscape. Diakses pada emedicine.medscape.com/article/1075227-
Silverman. S Jr at al, 2001, Essential of Oral Med, BC. Decker Inc,
Hamilton, London
Tripathi.M.D. ,2001, Essential of Medical Pharmacologi, Jaypee Brothers

Venkatesan P. Perfect JR, & Myers SA. 2005. Evaluation and management
of fungal infection in Immunocompromised patients, Dermatol Ther

PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER (PKPA)


DI RSUD ACHMAD MOCHTAR BUKITTINGGI
BED SIDE TEACHING BANGSAL PENYAKIT DALAM

CANDIDIASIS ORAL
Preseptor:
Dr. Hj. Desi Malinda, Sp. PD

Oleh :
ERINE FEBRIAN, S.Farm
(1641013304)
ERNA TUGIARTI BUDIASIH, S.Farm
(1641013312)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2017

Anda mungkin juga menyukai