Anda di halaman 1dari 81

1

Skenario 1

Nyeri Epigastrium

Seorang perempuan berusia 30 Tahun datang ke puskesmas dengan


keluhan nyeri epigastrium sejak 5 hari yang lalu. Nyeri terasa seperti
ditusuk-tusuk dan tembus ke belakang, nyeri yang dialami hilang timbul
dan sulit tidur bila kambuh pasien mengatakan keluhan disertai perut
terasa penuh. Heartburn, mual tanpa disertai muntah. Pasien memiliki
riwayat pola makan tidak teratur dengann tingkat stress pekerjaan yang
tinggi sebagai reporter. Setelah dilakukan pemeriksaan doktear
menjelaskan bahwa nyeri epigastrium berasal dari salah satu organ rongga
abdomen dan dokter memberikan obat untuk mengatasi.

STEP 1

1. Nyeri Epigastrium : Nyeri ulu hati (Regio Epigastrium).


2. Heartburn : Sensasi nyeri dibagian epigastrium.

STEP 2

1. Bagaimana terjadinya manifestasi klinis pada kasus tersebut ?


2. Hubungan riwayat pasien dengan manifestasi klinis ?
3. Faktor yang mempengharui pada kasus ?
4. Apa saja organ yang terlibat pada nyeri epigastrium ?
5. Bagaimana penegakan diagnosis pada kasus ?
6. Tatalaksana yang diberikan dokter pada kasus ?

STEP 3

1. Bagaimana terjadinya manifestasi klinis pada kasus tersebut ?


 HCL ↑ → Sekresi mukus ↓ → mengikis dinding lambung
 Asam lambung → kontak mukosa gaster
 Nyeri → prostaglandin → aktivasi serabut saraf type C → Nyeri
 Nyeri visceral abdomen → Proyeksi, iskemik, radiasi, kontinu
2

 Muntah → asam lambung ↑ →vaso lambung


 Edema → saraf aferen → Hipotalamus → mual
 Asam lambung ↑ → epitel rusak → Mukosa rusak → Respon
Inflamasi → Nyeri
2. Hubungan riwayat pasien dengan manifestasi klinis ?
 Nervus Vagus digaster → ↓ Prostaglandin
 Nyeri ada 2 yaitu :
 Nyeri visceral
 Nyeri parietal
3. Faktor yang mempengharui pada kasus ?
 Stress
 Obat-obatan ( NSAID )
 Obesitas
 Alkohol
 Kopi
 Riwayat pendarahan
 Makanan pedas
 Hormon
 Rokok
 Trauma
4. Apa saja organ yang terlibat pada nyeri epigastrium ?
 Lambung
 Duodenum
 Pankreas
 Esofagus
5. Bagaimana penegakan diagnosis pada kasus ?
 Anamnesis : Merokok, makanan pedas ,
 Pemeriksaan fisik Abdomen :
 Inspeksi
 Palpasi : Nyeri tekan , Epigastrium
3

 Auskultasi : Bising usus


 Pemeriksaan penunjang
 Darah rutin : Leukosit
 Serologi
 Enzim amilase & lipase
 Endoskopi
 Bernstein
 Urea Breat test
6. Tatalaksana yang diberikan dokter pada kasus ?

Modifikasi Gaya hidup :

 ↓ BB
 Makan malam 2-3 jam sebelum tidur
 Hindari makanan pemicu
 Berhenti merokok
 Tidak mengkonsumsi alkohol
 Farmako
o PPI ( Omiprazol 20mg )
o H2 : 𝛽 − 𝑏𝑙𝑜𝑐𝑘𝑒𝑟 ( 𝑅𝑎𝑛𝑖𝑡𝑖𝑑𝑖𝑛 )

STEP 4

1. Gangguan organ esophagus → serabut saraf simpatis → Imfuls saraf


aferen medulla spinalis → Hipotalamus & cortex cerebri → Nyeri
visceral
Nyeri karena perangsangan epigastrium
Faktor pemicu → ↓ sekresi mukus → ↑ Permeabilitas lambung ↑ HCL
→ mengikat dinding lambung → infeksi bakteri → usus → Diare .
 Faktor Dismosilitas
 Pengisian
 Penyerapan
4

 Pencampuran
 Pengosongan
2. Perubahan pola makan, stress → SSPN Nervus Vagus → Prostaglandin
→ HCL ↑ → Tubulus → Nyeri visceral → saraf otonom
Perubahan pola makan → pengosongan terlalu lama → lambung
merangsang →HCL ↑→ Refluks
Nyeri parietal → serabut saraf A& C
3. Kelainan mortilitas usus → keterlambatan pengosongan makan →
peningkatan asama lambung
 Usia → ↓ kerja organ tersebut
 H. pylori → Peradangan
 Hormon
 Hamil → Sfingter ↓ →kadar progesteron ↑
 Monopouse → Sfingter ↓ → refluks lambung esophagus → GERD
4. Duodenum, lambung → Sel pancreas & urin masuk ke lambung →
Nyeri epigastrium
5. Bernstein → HCL ( Sensasi heart burn )
GERD → Kerusakan dinding esophagus
6. Non-formako,edukasi → jaangan telat makan
Farmako :
 Amperazol → 2 x 20mg
 Panrtoprazol → 2 x 40mg
5

Mind Map

Ulkus Duodeni Organ yang


DD
terkena GERD
GERD

Gastritis

Ulkus peptic Etiologi

Esofagitis

Refleks Gastro Patofisiolo


duodenitis Nyeri Epigastrium gi

Penegakan Faktor
Diagnosis resiko

Tata-
Farmako
laksana
Non-
farmako

STEP 5

1. Etiologi, faktor resiko, patofisiologi, penegakan diagnosis & tatalaksana


dari DD
2. Mekanisme kerja obat

STEP 6

Belajar Mandiri
6

STEP 7

1. DISPEPSIA
Dispepsia merupakan rasa tidak nyaman yang berasal dari daerah
abdomen bagian atas. Rasa tidak nyaman tersebut dapat berupa salah satu
atau beberapa gejala berikut yaitu: nyeri epigastrium, rasa terbakar di
epigastrium, rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, rasa kembung pada
saluran cerna atas, mual, muntah, dan sendawa. Untuk dispepsia
fungsional, keluhan tersebut di atas harus berlangsung setidaknya selama
tiga bulan terakhir dengan awitan gejala enam bulan sebelum diagnosis
ditegakkan.1

A. Etiologi
Sindrom atau keluhan ini dapat disebabkan atau didasari oleh
berbagai penyakit, tentunya termasuk juga di dalamnya penyakit yang
mengenai lambung, atau yang lebih dikenal sebagai penyakit maag.
Dispepsia fungsional, pada tahun 2010, dilaporkan memiliki tingkat
prevalensi tinggi, yakni 5% dari seluruh kunjungan ke sarana layanan
kesehatan primer. Bahkan, sebuah studi tahun 2011 di Denmark
mengungkapkan bahwa 1 dari 5 pasien yang datang dengan dispepsia
ternyata telah terinfeksi H. pylori yang terdeteksi setelah dilakukan
pemeriksaan lanjutan.1

B. Faktor Resiko
Individu dengan karakteristik berikut ini lebih berisiko mengalami
dispepsia: konsumsi kafein berlebihan, minum minuman beralkohol,
merokok, konsumsi steroid dan OAINS, serta berdomisili di daerah
dengan prevalensi H. pylori tinggi.1
7

C. Patofisiologi
Dispepsia fungsional disebabkan oleh beberapa faktor utama,
antara lain gangguan motilitas gastroduodenal, infeksi Hp, asam lambung,
hipersensitivitas viseral, dan faktor psikologis. Faktor-faktor lainnya yang
dapat berperan adalah genetik, gaya hidup, lingkungan, diet dan riwayat
infeksi gastrointestinal sebelumnya.1
1) Peranan gangguan motilitas gastroduodenal
Gangguan motilitas gastroduodenal terdiri dari penurunan
kapasitas lambung dalam menerima makanan (impaired gastric
accommodation), inkoordinasi antroduodenal, dan perlambatan
pengosongan lambung. Gangguan motilitas gastroduodenal
merupakan salah satu mekanisme utama dalam patofisiologi dispepsia
fungsional, berkaitan dengan perasaan begah setelah makan, yang
dapat berupa distensi abdomen, kembung, dan rasa penuh.
2) Peranan hipersensitivitas visceral
Hipersensitivitas viseral berperan penting dalam patofisiologi
dispepsia fungsional, terutama peningkatan sensitivitas saraf sensorik
perifer dan sentral terhadap rangsangan reseptor kimiawi dan reseptor
mekanik intraluminal lambung bagian proksimal. Hal ini dapat
menimbulkan atau memperberat gejala dispepsia.
3) Peranan faktor psikososial
Gangguan psikososial merupakan salah satu faktor pencetus yang
berperan dalam dispepsia fungsional. Derajat beratnya gangguan
psikososial sejalan dengan tingkat keparahan dispepsia. Berbagai
penelitian menunjukkan bahwa depresi dan ansietas berperan pada
terjadinya dispepsia fungsional.
4) Peranan asam lambung
Asam lambung dapat berperan dalam timbulnya keluhan dispepsia
fungsional. Hal ini didasari pada efektivitas terapi anti-sekretorik
asam dari beberapa penelitian pasien dispepsia fungsional. Data
8

penelitian mengenai sekresi asam lambung masih kurang, dan laporan


di Asia masih kontroversial.
5) Peranan infeksi Hp
Prevalensi infeksi Hp pasien dispepsia fungsional bervariasi dari
39% sampai 87%. Hubungan infeksi Hp dengan ganggguan motilitas
tidak konsisten namun eradikasi Hp memperbaiki gejala-gejala
dispepsia fungsional.1

D. Penegakan Diagnosis
Dispepsia yang telah diinvestigasi terdiri dari dispepsia organik
dan fungsional. Dispepsia organik terdiri dari ulkus gaster, ulkus
duodenum, gastritis erosi, gastritis, duodenitis dan proses keganasan.
Dispepsia fungsional mengacu kepada kriteria Roma III. Kriteria Roma III
belum divalidasi di Indonesia. Konsensus Asia-Pasifik (2012)
memutuskan untuk mengikuti konsep dari kriteria diagnosis Roma III
dengan penambahan gejala berupa kembung pada abdomen bagian atas
yang umum ditemui sebagai gejala dispepsia fungsional.1
Dispepsia menurut kriteria Roma III adalah suatu penyakit dengan
satu atau lebih gejala yang berhubungan dengan gangguan di
gastroduodenal:
 Nyeri epigastrium
 Rasa terbakar di epigastrium
 Rasa penuh atau tidak nyaman setelah makan
 Rasa cepat kenyang
Gejala yang dirasakan harus berlangsung setidaknya selama tiga
bulan terakhir dengan awitan gejala enam bulan sebelum diagnosis
ditegakkan. Kriteria Roma III membagi dispepsia fungsional menjadi 2
subgrup, yakni epigastric pain syndrome dan postprandial distress
syndrome. Akan tetapi, bukti terkini menunjukkan bahwa terdapat
tumpang tindih diagnosis dalam dua pertiga pasien dispepsia.1
9

Evaluasi tanda bahaya harus selalu menjadi bagian dari evaluasi


pasien-pasien yang datang dengan keluhan dispepsia. Tanda bahaya pada
dyspepsia yaitu:
 Penurunan berat badan (unintended)
 Disfagia progresif
 Muntah rekuren atau persisten
 Perdarahan saluran cerna
 Anemia
 Demam
 Massa daerah abdomen bagian atas
 Riwayat keluarga kanker lambung
 Dispepsia awitan baru pada pasien di atas 45 tahun
Pasien-pasien dengan keluhan seperti di atas harus dilakukan investigasi
terlebih dahulu dengan endoskopi. Diagnosis infeksi Hp14Tes diagnosis
infeksi Hp dapat dilakukan secara langsung melalui endoskopi (rapid
urease test, histologi, kultur dan PCR) dan secara tidak langsung tanpa
endoskopi (urea breath test, stool test, urine test, dan serologi). Urea breath
test saat ini sudah menjadi gold standard untuk pemeriksaan Hp, salah satu
urea breath test yang ada antara lain 13CO2 breath analyzer. Syarat untuk
melakukan pemeriksaan Hp, yaitu harus bebas antibiotik dan PPI (proton-
pump inhibitor) selama 2 minggu. Ada beberapa faktor yang perlu
dipertimbangkan: situasi klinis, prevalensi infeksi, prevalensi infeksi
dalam populasi, probabilitas infeksi prates, perbedaan dalam performa tes,
dan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil tes, seperti penggunaan
terapi antisekretorik dan antibiotik.1
10

E. Tatalaksana
1) Dispepsia belum diinvestigasi
Strategi tata laksana optimal pada fase ini adalah memberikan
terapi empirik selama 1-4 minggu sebelum hasil investigasi awal, yaitu
pemeriksaan adanya Hp. Untuk daerah dan etnis tertentu serta pasien
dengan faktor risiko tinggi, pemeriksaan Hp harus dilakukan lebih
awal. Obat yang dipergunakan dapat berupa antasida, antisekresi asam
lambung (PPI misalnya omeprazole, rabeprazole dan lansoprazole
dan/atau H2-Receptor Antagonist [H2RA]), prokinetik, dan
sitoprotektor (misalnya rebamipide), di mana pilihan ditentukan
berdasarkan dominasi keluhan dan riwayat pengobatan pasien
sebelumnya. Masih ditunggu pengembangan obat baru yang bekerja
melalui down-regulation proton pump yang diharapkan memiliki
mekanisme kerja yang lebih baik dari PPI, yaitu DLBS 2411. Terkait
dengan prevalensi infeksi Hp yang tinggi, strategi test and treat
diterapkan pada pasien dengan keluhan dispepsia tanpa tanda bahaya.1
Test and treat dilakukan pada:
 Pasien dengan dispepsia tanpa komplikasi yang tidak berespon
terhadap perubahan gaya hidup, antasida, pemberian PPI tunggal
selama 2-4 minggu dan tanpa tanda bahaya.
 Pasien dengan riwayat ulkus gaster atau ulkus duodenum yang
belum pernah diperiksa.
 Pasien yang akan minum OAINS, terutama dengan riwayat ulkus
gastroduodenal.
 Anemia defisiensi besi yang tidak dapat dijelaskan, purpura
trombositopenik idiopatik dan defisiensi vitamin B12.
Test and treat tidak dilakukan pada: Penyakit refluks
gastroesofageal (GERD), anak-anak dengan dispepsia fungsional.1
11

2) Dispepsia yang telah diinvestigasi


Pasien-pasien dispepsia dengan tanda bahaya tidak diberikan terapi
empirik, melainkan harus dilakukan investigasi terlebih dahulu dengan
endoskopi dengan atau tanpa pemeriksaan histopatologi sebelum
ditangani sebagai dispepsia fungsional. Setelah investigasi, tidak
menyingkirkan kemungkinan bahwa pada beberapa kasus dispepsia
ditemukan GERD sebagai kelainannya.1
3) Dispepsia organik
Apabila ditemukan lesi mukosa (mucosal damage) sesuai hasil
endoskopi, terapi dilakukan berdasarkan kelainan yang ditemukan.
Kelainan yang termasuk ke dalam kelompok dispepsia organik antara
lain gastritis, gastritis hemoragik, duodenitis, ulkus gaster, ulkus
duodenum, atau proses keganasan. Pada ulkus peptikum (ulkus gaster
dan/ atau ulkus duodenum), obat yang diberikan antara lain kombinasi
PPI, misal rabeprazole 2x20 mg/ lanzoprazole 2x30 mg dengan
mukoprotektor, misalnya rebamipide 3x100 mg.
4) Dispepsia fungsional
Apabila setelah investigasi dilakukan tidak ditemukan kerusakan
mukosa, terapi dapat diberikan sesuai dengan gangguan fungsional
yang ada. Penggunaan prokinetik seperti metoklopramid, domperidon,
cisaprid, itoprid dan lain sebagainya dapat memberikan perbaikan
gejala pada beberapa pasien dengan dispepsia fungsional. Hal ini
terkait dengan perlambatan pengosongan lambung sebagai salah satu
patofisiologi dispepsia fungsional. Kewaspadaan harus diterapkan
pada penggunaan cisaprid oleh karena potensi komplikasi
kardiovaskular.
Data penggunaan obat-obatan antidepresan atau ansiolitik pada
pasien dengan dispepsia fungsional masih terbatas. Dalam sebuah studi
di Jepang baru-baru ini menunjukkan perbaikan gejala yang signifikan
pada pasien dispepsia fungsional yang mendapatkan agonis 5-HT1
dibandingkan plasebo. Di sisi lain venlafaxin, penghambat ambilan
12

serotonin dan norepinerfrin tidak menunjukkan hasil yang lebih baik


dibanding plasebo Gangguan psikologis, gangguan tidur, dan
sensitivitas reseptor serotonin sentral mungkin merupakan faktor
penting dalam respon terhadap terapi antidepresan pada pasien
dispepsia fungsional.
5) Tata laksana dispepsia dengan infeksi Hp
Eradikasi Hp mampu memberikan kesembuhan jangka panjang
terhadap gejala dispepsia. Dalam salah satu studi cross-sectional pada
21 pasien di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta (2010)
didapatkan bahwa terapi eradikasi memberikan perbaikan gejala pada
mayoritas pasien dyspepsia dengan persentase perbaikan gejala sebesar
76% dan 81% penemuan Hp negatif yang diperiksa dengan UBT.
Penelitian prospektif oleh Syam AF, dkk tahun 2010 menunjukkan
bahwa terapi eradikasi Hp dengan triple therapy (rabeprazole,
amoksisilin, dan klaritromisin) selama 7 hari lebih baik dari terapi
selama 5 hari.1
13

Tabel 1.1 Regimen terapi eradikasi Hp.

2. EOSINOFILIK ESOFAGITIS

A. Etiologi
Eosinofilik esofagitis merupakan peradangan pada esofagus yang
ditandai infiltrasi eosinofil pada mukosa superfisial esofagus yang
berhubungan dengan alergi makanan, infeksi, gastroesophageal reflux dan
keadaan atopi seperti asma, rinitis, dermatitis atopi. Etiologi eosinofilik
esofagitis belum sepenuhnya dipahami. Masih tanda tanya apakah
eosinofilik esofagitis didasari oleh gangguan alergi, akibat respon
imunologi abnormal atau sekunder penyakit refluks berat menunjukkan
hubungan antara antigen makanan dengan eosinofilik esofagitis, dengan
14

dasar imunologi, sekunder terhadap reaksi hipersensitivitas lambat atau


respon hipersensitivitas yang dimediasi sel.
Makanan sebagai penyebab eosinofilik esofagitis sering tidak
berdasarkan reaksi hipersensitivitas cepat dan beberapa peneliti
berpendapat alergi makanan bukanlah penyebab eosinofilik esofagitis.
Beberapa artikel telah ditulis mengenai kemungkinan imunologi atau
mekanisme alergi yang lain yang mungkin memberikan kontribusi
timbulnya eosinofilik esofagitis. Salah satu teori menyatakan bahwa
alergen yang terhirup dapat menimbulkan oesinofil esophageal.
Kemungkinan terakhir menunjukkan eosinofilik esofagitis bagian dari
eosinofilik gastroenteritis.2

B. Faktor Resiko
Faktor risiko esofagitis ini bervariasi, tergantung pada
penyebabnya. Esofagitis karena GERD Jika esofagitis ini disebabkna oleh
GERD, maka berikut faktor risikonya langsung tidur setelah makan
mengonsumsi makanan yang terlalu banyak lemak, mengonsumsi
makanan yang memperburuk GERD , seperti buah jeruk, kafein, alkohol,
makan pedas, bawang putih, bawang bombay, serta makanan rasa mint.
Esofagitis karena Alergi.
Faktor risiko esofagitis jika disebabkan oleh alergi riwayat reaksi
alergi tertentu, termasuk rhinitis alergi, asma, dan dermatitis atopik,
riwayat keluarga untuk eosinophilic esophagitis. Esofagitis karena Obat
Faktor risiko esofagitis karena obat sebagai berikut, menelan pil dengan air
yang sedikit atau bahkan tidak sama sekali Menelan obat sambil berbaring,
mengonsumsi obat tepat sebelum tidur.2
15

C. Patofisiologi

Limfosit CD8+ telah diidentifikasi sebagai sel T dominan dalam


epitel skuamosa pasien eosinofilik esofagitis, sedangkan studi sebelumnya
mendapatkan hubungan antara eosinofilik esofagitis dengan atopi. Ini
menunjukan hubungan antara atopi dengan eosinofilik esofagitis dan alergi
makanan yang berperan dalam patogenesis penyakit ini. Eliminasi
makanan tidak dengan segera terjadi perbaikan gejala klinis, perbaikan
terjadi dalam 1-2 minggu setelah paparan antigen penyebab dihilangkan.
Gejala tidak segera muncul segera setelah terpapar antigen makanan.
Biasanya dibutuhkan waktu beberapa hari timbulnya gejala diduga akibat
respon alergi yang dimediasi sel T dan IgE atau mekanisme lambat sel T
pada patogenesis penyakit ini. Alergen mengaktivasi sel mast yang
bermigrasi ke esofagus melepaskan histamin, eosinofilik cemotactic factor
dan platelet activating factor. Selanjutnya eosinofil diaktifkan, melepaskan
protein kationik toxic dan peroksidase yang langsung merusak mukosa dan
dinding usus. Eosinofil juga mengandung interleukin (IL) seperti IL-3 dan
IL-5 yang menimbulkan peradangan jaringan.2

Pembentukan cincin esofagus berhubungan dengan histamin yang


mengaktifkan asetilkolin menyebabkan kontraksi muskularis mukosa
esofagus. Cincin ini mungkin sementara dan reversible, meskipun
kontraksi terus menerus dari serat otot, hipertropi dan penebalan lapisan
otot dari mukosa dapat berkontribusi membentuk scar permanen.
Straumann dkk, menyatakan perbedaan eosinofil subpopulasi dengan
membandingkan ekspresi protein proinflamasi dan eosinofil jaringan di
berbagai bagian traktus gastrointestinal. Eosinofil dan interleukin diukur
dalam jaringan esofagus dan usus serta eosinofil darah dari penderita
eosinofilik esofagitis dan kontrol. Penderita eosinofilik esofagitis
menunjukkan bukti kuat aktivasi eosinofil dengan peningkatan CD-25, IL-
5 dan IL-13.2
16

Pengaturan respon inflamasi Th2 pada eosinofilik esofagitis.


Antigen dari makanan menginduksi sel Th2 yang melepaskan IL-5 dan IL-
13, dimana masing-masingnya mengaktifkan eosinofil dan sel epitel
esofagus. IL-13 menginduksi sel epitel untuk menghasilkan eotaxin-3
(suatu chemoattractant eosinofil dan activating factor) dan down-regulate
fillagrin. IL-5 dan eotaxin-3 mengaktifkan eosinofil untuk melepaskan
Major Basic Protein (MBP) dan Eosinophil-derived Neurotoxin (EDN),
yang masing-masingnya mengaktifkan sel mast dan sel dendritik, aktivasi
sel mast berperan untuk terjadinya fibrosis. Eosinofil juga memproduksi
TGF-β, mengaktifkan sel-sel epitel dan menyebabkan hiperplasia, fibrosis,
dan dismotilitas. Berkurangnya produksi fillagrin dapat menghambat
fungsi barier esofagus dan mempertahankan proses ini dengan penyerapan
antigen makanan lokal. Variasi genetik yang mempengaruhi ekspresi dari
pengaturan molekul-molekul ini dapat berperan adanya risiko eosinofilik
esophagitis.2

Gambar 1.1 Patofisiologi eosinofilik esophagitis.2


17

D. Penegakan Diagnosis
1) Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Mayoritas pasien berjenis kelamin laki-laki, biasanya dengan satu
atau lebih gejala klinis antara lain muntah, regurgitasi, nausea, nyeri dada
atau epigastrium, nafsu makan menurun, dapat juga terjadi gagal tumbuh,
hematemesis, dismotilitas esofagus dan disfagia. Gejala dapat lebih sering
dan berat pada beberapa pasien sedangkan pada pasien yang lain gejala
lebih ringan. Umumnya pasien mengalami disfagia tiap hari atau nausea
kronik atau regurgitasi sementara yang lain mungkin memiliki disfagia
episode jarang. Sekitar lebih 50% pasien dengan gejala tambahan alergi
seperti asma, eksema atau rhinitis, dan lebih 50% pasien memiliki orang.
tua dengan riwayat alergi.
Tabel 1.2 Karakterikstik eosinofilik esofagitis.2

2) Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Gambaran laboratorium belum ada yang dipaparkan secara jelas
pada eosinofilik esofagitis oleh karena sensitivitas dan spesifisitas tes
laboratorium belum diketahui. Ada variabilitas dalam mendefinisikan level
untuk "perifer eosinofilia", dilaporkan eosinofil abnormal berkisar lebih
18

dari 350 eosinofil per mm3 sampai lebih dari 800 eosinofil per mm3.
Beberapa laporan tidak menentukan jumlah eosinofil darah yang
merupakan diagnosis eosinofilia. Secara keseluruhan, 10%-50% dari orang
dewasa dan 20%-100% dari anak memiliki peningkatan jumlah eosinofil
perifer tetapi biasanya hanya sedikit meningkat. Setelah pengobatan
dengan flutikason, 88% dari pasien menunjukkan hitung eosinofil darah
menurun. Evaluasi eosinofil darah perifer dapat memberikan bukti yang
mendukung untuk eosinofilik esofagitis dan tingkat keterlibatan jaringan
tetapi tidak diagnostik, dan korelasi dengan aktivitas penyakit belum
diketahui.2
b. Radiologi
Pemeriksaan radiologis anak dengan eosinofilik esofagitis biasanya
normal. Kadang ditemukan penyempitan esofagus adalah paling mungkin
sekunder terhadap penebalan dinding esofagus. Tes diagnostik yang paling
umum saat ini untuk mendeteksi eosinofilik esofagitis adalah pemeriksaan
barium. Zimmerman dikutip Furuta dkk, 9 secara retrospektif dari 14
pasien eosinofilik esofagitis mendapatkan 10 pasien dengan striktur
esophagus, 10 pasien hiatus hernia dan 9 pasien dengan refluks.

c. Endoskopi
Gambaran klasik eosinofilik esofagitis adalah feline esophagus,
corrugated esophagus, ringed esophagus, atau concentric mucosal rings.
Esofagus kecil dengan diameter internal yang sempit dengan atau tanpa
stenosis esophagus proksimal dapat jadi gambaran utama. Eksudat putih,
vesikel atau papul dan hilangnya pola vaskular menunjukkan area fokus
infiltrasi eosinofil. Esofagus rapuh disebut crepe paper mukosa. Ini
menjelaskan air mata esofagus mengikuti dilatasi saat merawat disfagia
berhubungan dengan menyempitnya esofagus atau struktur cincin ( seperti
striktura). Gambaran endoskopi yang umum adalah cincin mukosa (81%),
alur-alur (74%), penyempitan (31%), eksudat (15%), ukuran kecil (10%),
dan edema (8%).9 Penelitian Hasosah dkk di Saudi Arabia mendapatkan
gambaran endoskopi eosinofilik esofagitis berupa trachealization dan
19

eritema esophagus paling banyak masing-masing 46%, bercak putih 33%,


penyempitan 13% dan normal 13%.2

Gambar 1.2 Gambaran endoskopi eosinofilik esofagitis.2

Tampak pada gambar 1.2 cincin mukosa karena kontraksi


sementara atau struktur tetap. Gambaran ini disebut feline esophagus,
trachealization atau cincin konsentris. Gambar 2B eksudat keputihan
tersebar di seluruh permukaan mukosa. Ini merupakan eosinofilik purulen
berkembang melalui epitel esofagus. Eksudat dapat muncul sebagai nodul
putih belang-belang atau pola granular dan dapat terjadi sepanjang
esofagus.

Gambar 1.3 Gambaran endoskopi eosinofilik esofagitis.2


Gambar 1.3 A esofagus beralur atau berkerut dengan edema dan
penebalan mukosa. Alur mencakup permukaan lumen seluruh distal
20

esofagus, sangat tebal dan hampir seperti nodular. Pada gambar B tampak
dinding esofagus yang berkerut paling menonjol terutama sepanjang
dinding kiri lateral dan gambar C tampak garis vertikal sepanjang mukosa
esofagus. Keadaan ini sering kali muncul ketika esofagus mengembang.2

E. Penatalaksanaan
1) Terapi diet
Beberapa cara terapi diet dan terapi obat tergantung kepada
gambaran penyakit. Penghentian makanan penyebab alergi telah terbukti
berhasil menghilangkan gejala dan kelainan histologist pada pasien
eosinofilik esofagitis. Eliminasi makanan penyebab dapat dilakukan
mengikuti beberapa cara. Pertama, dengan mengeliminasi makanan
spesifik melalui uji khusus alergen yaitu skin prick dan patch test untuk
mengidentifikasi makanan penyebab alergi dan riwayat alergi makanan,
selanjutnya menghentikan paparan makanan tersebut. Kedua, penghentian
makanan secara empiris yaitu jenis makanan yang paling sering
menimbulkan alergi.

Ketiga, dengan menggunakan diet elemental yaitu formula asam


amino (Neocate) terdiri dari asam amino bebas, sirup jagung dan minyak
medium chain triglyceride tanpa diberikan makanan yang lain.
Penghentian secara empiris antigenik makanan juga telah dicoba dan
berhasil. Studi oleh Kawalwalla, dkk dikutip Furuta dkk, membandingkan
efektifitas penghentian 6 makanan yang paling disuka oleh pasien
eosinofilik esofagitis dengan menggunakan formula asam amino tanpa
diberikan makanan yang lain. Keenam makanan yang paling dianggap
antigenik untuk eosinofilik esofagitis adalah susu, kedelai, kacang-
kacangan, telur, gandum, ikan/kerang. Eliminasi 6 makanan ini dapat
memperbaiki gejala klinis dan kelainan histologi pada 74% pasien
eosinofilik esofagitis pada anak. Pemberian kembali susu adalah penyebab
paling umum kambuhnya eosinofilik esofagitis diikuti gandum, telur dan
kedelai. Pada anak, susu 18 kali lebih mungkin menjadi pencetus
21

eosinofilik esofagitis.13 Diet formula asam amino yang digunakan secara


statistik signifikan lebih baik dibanding penghentian 6 makanan secara
empiris memperbaiki gejala klinis dan gambaran histologi esophagus.
Pada diet formula asam amino terjadi perbaikan secara klinis dan
histologis pada 92-98%.2

2) Terapi farmakologis
Kortikosteroid adalah pengobatan yang efektif untuk eosinofilik
esofagitis. Tetapi gejala klinis dan histologis eosinofil kembali berulang
setelah obat dihentikan. Terapi kortikosteroid sistemik jangka lama tidak
dianggap terapi ideal karena efek samping yang ditimbulkannya.
Kortikosteroid oral jangka pendek dapat diberikan pada pasien dengan
strikturaesofagus atau esofagus sempit, penurunan berat badan atau
ketidakmampuan menelan makanan/cairan. Prednison dosis 1-2
mg/kgbb/hari maksimum 60 mg/hari dapat diberikan.14 Perbaikan secara
klinis dan histologis terjadi pada 90% pasien yang menggunakan
kortikosteroid sistemik dan rekuren 95% jika terapi telah dihentikan.

Flutikason propionate adalah steroid topikal hirup yang sering


digunakan untuk terapi asma, juga telah digunakan untuk terapi eosinofilik
esofagitis. Flutikason aerosol semprot ditelan bukannya dihirup. Sebelum
pemakaian topikal steroid pasien tidak makan dan minum selama 20-30
menit setelah pemakaian obat. Setelah terapi 6-8 minggu dilakukan
endoskopi dan pemeriksaan histologis ulang, jika didapatkan perbaikan
dosis diturunkan sampai dosis efektif terendah. Pemakaian dosis tinggi
mencapai remisi histologis pada lebih dari 50% pasien, tapi penyakit
kambuh setelah penghentian pada mayoritas pasien. Efek samping antara
lain kandidiasis esofagus, epistaksis dan mulut kering.2
22

Efek jangka panjang terhadap pertumbuhan tulang, fibrosis belum


diketahui. Dosis yang dianjurkan 110 μg per semprot (ditelan) untuk anak
usia ≤ 10 tahun dan 220 μg per semprot untuk usia ≥ 11 tahun empat kali
sehari diberikan selama 4 minggu.1 Terapi tambahan yang telah diteliti
adalah antagonis reseptor leukotrine (Montelukast) dan monoklonal
antibodi. Walaupun terapi reseptor leukotrine telah menunjukkan
perbaikan gejala klinis tetapi tidak secara histologis. Dosis awal 10 mg
sekali sehari oral dosis ditingkatkan sampai 100 mg/hari, bila gejala
berkurang dosis diturunkan bertahap sampai dosis pemeliharaan 20-40
mg/hari. Dari penelitian gejala kembali muncul setelah penghentian
terapi.Terapi monoklonal antibodi penghambat IL-5 saat ini sedang
dievaluasi. Penelitian terbaru pasien yang mendapat anti IL-5 intravena
yaitu Mepolizumab (10 mg/kgbb i.v 3 dosis dengan interval 4 minggu)
menunjukkan perbaikan gejala dan eosinofilia esofagus secara signifikan
dalam 4 minggu setelah dosis pertama.2

Terapi supresi asam bukanlah terapi untuk eosinoflik esofagitis,


tetapi penting untuk eosinofilik esofagitis. Pasien awalnya diberikan
proton pump inhibitor (PPI) untuk memastikan tidak adanya refluks
esophageal. Mayoritas Gastroenterologist percaya jumlah eosinofil
esofagus tinggi pada eosinofilik esofagitis, penelitian yang dilakukan oleh
Ngo dikutip Franciosi14 mendapatkan sejumlah eosinofil dapat ditemukan
pada pasien GERD. Telah dilaporkan perbaikan gejala klinis setelah
diberikan proton pump inhibitor walaupun tidak ada perbaikan histologi
jaringan. Dosis PPI yang dianjurkan pada anak 1-2 mg/kgbb/hari dengan
dosis maksimum mencapai dosis untuk dewasa.2
23

3) Terapi endoskopi
Dilatasi esofagus merupakan terapi yang bermanfaat untuk
eosinofilik esofagitis dengan striktura esofagus. Perawatan harus diberikan
saat dilakukan dilatasi karena laserasi mukosa dan perforasi esofagus dapat
terjadi. Terapi diet atau terapi steroid dianjurkan sebelum dilakukan
dilatasi.2

3. GERD (Gastroesophageal Refluks Disease)


A. Etiologi
Definisi GERD menurut Konsensus Nasional Penatalaksanaan
Penyakit Refluks Gastroesofageal di Indonesia tahun 2013 adalah suatu
gangguan berupa isi lambung mengalami refluks berulang ke dalam
esofagus, menyebabkan gejala dan/atau komplikasi yang mengganggu.1
GERD adalah suatu keadaan patologis akibat refluks kandungan lambung
ke dalam esofagus dengan berbagai gejala akibat keterlibatan esofagus,
faring, laring dan saluran napas. Sedangkan menurut American College of
Gastroenterology, GERD adalah suatu keadaan patologis di mana cairan
asam lambung mengalami refluks sehingga masuk ke dalam esofagus dan
menyebabkan gejala.3

B. Faktor Resiko
Beberapa faktor risiko GERD adalah sebagai berikut:
1) Obat-obatan, seperti teofilin, antikolinergik, beta adrenergik, nitrat,
calcium-channel blocker
2) Makanan, seperti cokelat, makanan berlemak, kopi, alkohol, dan
rokok.
3) Hormon, umumnya terjadi pada wanita hamil dan menopause. Pada
wanita hamil, menurunnya tekanan LES terjadi akibat peningkatan
kadar progesteron. Sedangkan pada wanita menopause, menurunnya
tekanan LES terjadi akibat terapi hormon estrogen.
24

4) Struktural, umumnya berkaitan dengan hiatus hernia. Selain hiatus


hernia, panjang LES yang < 3 cm juga memiliki pengaruh terhadap
terjadinya GERD.
5) Indeks Massa Tubuh (IMT), semakin tinggi nilai IMT, maka risiko
terjadinya GERD juga semakin tinggi.3

C. Patofisiologi
GERD terjadi akibat adanya ketidakseimbangan antara faktor
ofensif dan defensif dari sistem pertahanan esofagus dan bahan refluksat
lambung. Yang termasuk faktor defensif sistem pertahanan esofagus
adalah LES, mekanisme bersihan esofagus, dan epitel esofagus. LES
merupakan strukur anatomi berbentuk sudut yang memisahkan esofagus
dengan lambung. Pada keadaan normal, tekanan LES akan menurun saat
menelan sehingga terjadi aliran antegrade dari esofagus ke lambung.3
Pada GERD, fungsi LES terganggu dan menyebabkan terjadinya
aliran retrograde dari lambung ke esofagus. Terganggunya fungsi LES
pada GERD disebabkan oleh turunnya tekanan LES akibat penggunaan
obat-obatan, makanan, faktor hormonal, atau kelainan struktural.
Mekanisme bersihan esofagus merupakan kemampuan esofagus
membersihkan dirinya dari bahan refluksat lambung; termasuk faktor
gravitasi, gaya peristaltik esofagus, bersihan saliva, dan bikarbonat dalam
saliva.
Pada GERD, mekanisme bersihan esofagus terganggu sehingga
bahan refluksat lambung akan kontak ke dalam esofagus; makin lama
kontak antara bahan refluksat lambung dan esofagus, maka risiko
esofagitis akan makin tinggi. Selain itu, refluks malam hari pun akan
meningkatkan risiko esofagitis lebih besar. Hal ini karena tidak adanya
gaya gravitasi saat berbaring.3
Mekanisme ketahanan epitel esofagus terdiri dari membran sel,
intercellular junction yang membatasi difusi ion H+ ke dalam jaringan
esofagus, aliran darah esofagus yang menyuplai nutrien-oksigen dan
25

bikarbonat serta mengeluarkan ion H+ dan CO2, sel esofagus mempunyai


kemampuan mentransport ion H+ dan Cl- intraseluler dengan Na+ dan
bikarbonat ekstraseluler. Sedangkan yang termasuk faktor ofensif adalah
peningkatan asam lambung, dilatasi lambung atau obstruksi gastric outlet,
distensi lambung dan pengosongan lambung yang terlambat, tekanan
intragastrik dan intraabdomen yang meningkat. Beberapa keadaan yang
mempengaruhi tekanan intraabdomen antara lain hamil, obesitas, dan
pakaian terlalu ketat.3

Gambar 1.4 Etiopatogenesis GERD.3

Berdasarkan lokalisasi gejalanya, GERD dibagi menjadi dua, yaitu


sindrom esofageal dan esktraesofageal. Sindrom esofageal merupakan
refluks esofageal yang disertai dengan atau tanpa adanya lesi struktural.
Gejala klinis sindrom esofageal tanpa lesi struktural berupa heartburn dan
26

regurgitasi, serta nyeri dada non-kardiak. Sedangkan pada sindrom


esofageal disertai lesi struktural, berupa refluks esofagitis, striktur refluks,
Barret’s esophagus, adenokarsinoma esofagus. Sindrom ekstraesofageal
biasanya terjadi akibat refluks gastroesofageal jangka panjang.3

D. Penegakan Diagnosis
Tanda dan gejala khas GERD adalah regurgitasi dan hearburn.
Regurgitasi merupakan suatu keadaan refluks yang terjadi sesaat setelah
makan, ditandai rasa asam dan pahit di lidah. Heartburn adalah suatu rasa
terbakar di daerah epigastrium yang dapat disertai nyeri dan pedih. Dalam
bahasa awam, heartburn sering dikenal dengan istilah rasa panas di ulu
hati yang terasa hingga ke daerah dada. Kedua gejala ini umumnya
dirasakan saat setelah makan atau saat berbaring. Gejala lain GERD adalah
kembung, mual, cepat kenyang, bersendawa, hipersalivasi, disfagia hingga
odinofagia. Disfagia umumnya akibat striktur atau keganasan Barrett’s
esophagus. Sedangkan odinofagia atau rasa sakit saat menelan umumnya
akibat ulserasi berat atau pada kasus infeksi. Nyeri dada non kardiak,
batuk kronik, asma, dan laringitis merupakan gejala ekstraesofageal
penderita GERD.
Berdasarkan Guidelines for the Diagnosis and Management of
Gastroesophageal Reflux Disease yang dikeluarkan oleh American
College of Gastroenterology tahun 1995 dan revisi tahun 2013, diagnosis
GERD dapat ditegakkan berdasarkan sebagai berikut :
1) Empirical Therapy
2) Use of Endoscopy
3) Ambulatory Reflux Monitoring
4) Esophageal Manometry lebih direkomendasikan untuk evaluasi
preoperasi untuk eksklusi kelainan motilitas yang jarang seperti
achalasia atau aperistaltik yang berhubungan dengan suatu kelainan,
misalnya scleroderma.3
27

Tabel 1.2 GERD-Q.3

Terapi empirik merupakan upaya diagnostik yang dapat diterapkan


di pusat pelayanan kesehatan primer karena upaya diagnostiknya
sederhana dan tidak membutuhkan alat penunjang diagnostik. Diagnosis
GERD ditegakkan berdasarkan gejala klasik dari hasil anamnesis dan
pengisian kuesioner, serta berdasarkan hasil uji terapi PPI (Proton Pump
Inhibitor). Selain itu, gejala klasik GERD juga dapat dinilai dengan
Gastroesophageal Reflux Disease – Questionnairre (GERD-Q). GERD-Q
merupakan sebuah kuesioner yang terdiri dari 6 pertanyaan mengenai
gejala klasik GERD, pengaruh GERD pada kualitas hidup penderita serta
efek penggunaan obat-obatan terhadap gejala dalam 7 hari terakhir.
Berdasarkan penilaian GERD-Q, jika skor >8 maka pasien tersebut
memiliki kecenderungan yang tinggi menderita GERD, sehingga perlu
dievaluasi lebih lanjut. Selain untuk menegakkan diagnosis, GERD-Q juga
dapat digunakan untuk memantau respons terapi.
Upaya diagnostik berdasarkan gejala klasik GERD ini juga
didukung oleh Konsensus Nasional Penatalaksanaan Penyakit Refluks
28

Gastroesofageal di Indonesia (Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia,


2013). Dalam konsensus ini disebutkan bahwa penderita terduga GERD
adalah penderita dengan gejala klasik GERD yaitu heartburn, regurgitasi,
atau keduanya yang terjadi sesaat setelah makan (terutama makan
makanan berlemak dan porsi besar).
Pemeriksaan tambahan untuk diagnosis GERD adalah uji terapi
PPI. Uji terapi PPI merupakan suatu terapi empirik dengan memberikan
PPI dosis ganda selama 1-2 minggu tanpa pemeriksaan endoskopi
sebelumnya. Indikasi uji terapi PPI adalah penderita dengan gejala klasik
GERD tanpa tanda-tanda alarm. Tanda-tanda alarm meliputi usia >55
tahun, disfagia, odinofasia anemia defisiensi besi, BB turun, dan adanya
perdarahan (melena/ hematemesis). Apabila gejala membaik selama
penggunaan dan memburuk kembali setelah pengobatan dihentikan, maka
diagnosis GERD dapat ditegakkan.3
29

Gambar 1.5 Alur pengobatan GERD pada Pusat


Pelayanan Kesehatan Primer.3

E. Tatalaksana
Tujuan pengobatan GERD adalah untuk mengatasi gejala,
memperbaiki kerusakan mukosa, mencegah kekambuhan, dan mencegah
komplikasi. Berdasarkan Guidelines for the Diagnosis and Management
of Gastroesophageal Reflux Disease tahun 1995 dan revisi tahun 2013,
terapi GERD dapat dilakukan dengan :
1) Treatment Guideline I: Lifestyle Modification
2) Treatment Guideline II: Patient Directed Therapy
3) Treatment Guideline III: Acid Suppression
30

4) Treatment Guideline IV: Promotility Therapy


5) Treatment Guideline V: Maintenance Therapy
6) Treatment Guideline VI: Surgery Therapy
7) Treatment Guideline VII: Refractory GERD
Secara garis besar, prinsip terapi GERD di pusat pelayanan kesehatan
primer berdasarkan Guidelines for the Diagnosis and Management of
Gastroesophageal Reflux Disease adalah dengan melakukan modifikasi
gaya hidup dan terapi medikamentosa GERD. Modifikasi gaya hidup,
merupakan pengaturan pola hidup yang dapat dilakukan dengan :
1) Menurunkan berat badan bila penderita obesitas atau menjaga berat
badan sesuai dengan IMT ideal
2) Meninggikan kepala ± 15-20 cm/ menjaga kepala agar tetap elevasi
saat posisi berbaring
3) Makan malam paling lambat 2 – 3 jam sebelum tidur
4) Menghindari makanan yang dapat merangsang GERD seperti cokelat,
minuman mengandung kafein, alkohol, dan makanan berlemak - asam
- pedas.3

Terapi medikamentosa merupakan terapi menggunakan obat-


obatan. PPI merupakan salah satu obat untuk terapi GERD yang memiliki
keefektifan serupa dengan terapi pembedahan. Jika dibandingkan dengan
obat lain, PPI terbukti paling efektif mengatasi gejala serta menyembuhkan
lesi esofagitis1,8-11 Yang termasuk obat-obat golongan PPI adalah
omeprazole 20 mg, pantoprazole 40 mg, lansoprazole 30 mg,
esomeprazole 40 mg, dan rabeprazole 20 mg. PPI dosis tunggal umumnya
diberikan pada pagi hari sebelum makan pagi. Sedangkan dosis ganda
diberikan pagi hari sebelum makan pagi dan malam hari sebelum makan
malam. Menurut Konsensus Nasional Penatalaksanaan Penyakit Refluks
Gastroesofageal di Indonesia tahun 2013, terapi GERD dilakukan pada
pasien terduga GERD yang mendapat skor GERD-Q > 8 dan tanpa tanda
alarm.3
31

Penggunaan PPI sebagai terapi inisial GERD menurut Guidelines


for the Diagnosis and Management of Gastroesophageal Reflux Disease
dan Konsensus Nasional Penatalaksanaan Penyakit Refluks
Gastroesofageal di Indonesia adalah dosis tunggal selama 8 minggu.
Apabila gejala tidak membaik setelah terapi inisial selama 8 minggu atau
gejala terasa mengganggu di malam hari, terapi dapat dilanjutkan dengan
dosis ganda selama 4 – 8 minggu. Bila penderita mengalami kekambuhan,
terapi inisial dapat dimulai kembali dan dilanjutkan dengan terapi
maintenance.
Terapi maintenance merupakan terapi dosis tunggal selama 5 – 14
hari untuk penderita yang memiliki gejala sisa GERD. Selain PPI, obat
lain dalam pengobatan GERD adalah antagonis reseptor H2, antasida, dan
prokinetik (antagonis dopamin dan antagonis reseptor serotonin).
Antagonis reseptor H2 dan antasida digunakan untuk mengatasi gejala
refluks yang ringan dan untuk terapi maintenance dikombinasi dengan
PPI. Yang termasuk ke dalam antagonis reseptor H2 adalah simetidin (1 x
800 mg atau 2 x 400 mg), ranitidin (2 x 150 mg), farmotidin (2 x 20 mg),
dan nizatidin (2 x 150 mg). Prokinetik merupakan golongan obat yang
berfungsi mempercepat proses pengosongan perut, sehingga mengurangi
kesempatan asam lambung untuk naik ke esofagus. Obat golongan
prokinetik termasuk domperidon (3 x 10 mg) dan metoklopramid (3 x 10
mg).3
Tabel 1.3 Efektivitas terapi obat untuk GERD.3
32

4. GASTRITIS
A. Etiologi

Gastritis merupakan proses inflamasi pada mukosa dan submukosa


lambungdisebabkan oleh infeksi H.pylori, refluks empedu, anti-inflamasi
non-steroid, penggunaan antibiotik gangguan fungsi sistem imun, atau
respons alergi. H.pylori merupakan penyebab tersering gastritis dengan
kejadian lebih dari 80%. Penyebab dari Gastritis dapat dibedakan sesuai
dengan klasifikasinya sebagai berikut :
1) Gastritis Akut penyebabnya adalah obat analgetik, anti inflamasi
terutama aspirin (aspirin yang dosis rendah sudah dapat menyebabkan
erosi mukosa lambung). Bahan kimia misal : lisol, alkohol, merokok,
kafein lada, steroid dan digitalis.
2) Gastritis Kronik Penyebab dan patogenesis pada umumnya belum
diketahui. Gastritis ini merupakan kejadian biasa pada orang tua, tapi
di duga pada peminum alkohol, dan merokok.4

B. Faktor Resiko
1) Bertambahnya usia: Tukak biasanya terjadi pada individu lebih dari
40 tahun.
2) Infeksi Helicobacter pylori: Satu dari enam orang yang terkena
bakteri ini akan terkena tukak atau maag.
3) Obat anti peradangan non-steroid (contoh ibuprofen)
4) Merokok: Nikotin meningkatkan produksi asam dan mengurangi
lapisan lendir pelindung lambung.
5) Mengkonsumsi alkohol: Alkohol dapat menyebabkan gastritis dengan
meningkatkan sekresi asam dan merusak selaput lendir lambung.
6) Pembedahan besar atau penyakit berat.
7) Riwayat keluarga: Lebih dari 25 persen pasien ulkus peptikum
memiliki riwayat keluarga yang menderita tukak lambung,
dibandingkan dengan 5 persen dari non-ulkus pasien.4
33

C. Patofisiologi

Gastritis akut zat iritasi yang masuk ke dalam lambung akan


mengiitasi mukosa lambung. Jika mukosa lambung teriritasi ada 2 hal
yang akan terjadi :

1) Karena terjadi iritasi mukosa lambung sebagai kompensasi lambung.


Lambung akan meningkat sekresi mukosa yang berupa HCO3, di
lambung HCO3 akan berikatan dengan NaCl sehingga menghasilkan
HCI dan NaCO3. Hasil dari penyawaan tersebut akan meningkatkan
asam lambung. Jika asam lambung meningkat maka akan
meningkatkan mual muntah, maka akan terjadi gangguan nutrisi
cairan & elektrolit.
2) Iritasi mukosa lambung akan menyebabkan mukosa inflamasi, jika
mukus yang dihasilkan dapat melindungi mukosa lambung dari
kerusakan HCl maka akan terjadi hemostatis dan akhirnya akan terjadi
penyembuhan tetapi jika mukus gagal melindungi mukosa lambung
maka akan terjadi erosi pada mukosa lambung. Jika erosi ini terjadi
dan sampai pada lapisan pembuluh darah maka akan terjadi
perdarahan yang akan menyebabkan nyeri dan hypovolemik.
3) Gastritis kronik disebabkan oleh gastritis akut yang berulang sehingga
terjadi iritasi mukosa lambung yang berulang-ulang dan terjadi
penyembuhan yang tidak sempurna akibatnya akan terjadi athropi
kelenjar epitel dan hilangnya sel pariental dan sel chief. Karena sel
pariental dan sel chief hilang maka produksi HCL. Pepsin dan fungsi
intinsik lainnya akan menurun dan dinding lambung juga menjadi tipis
serta mukosanya rata, Gastritis itu bisa sembuh dan juga bisa terjadi
perdarahan serta formasi ulser.4
34

D. Penegakan Diagnosis
Diagnosis ditegakkan. berdasarkan pemeriksaan endoskopi dan
histopatologi. Sebaiknya biopsi dilakukan dengan sesuai dengan update
Sidney system yang mengharuskan mencantumkan topografi. Gambaran
endoskopi yang dapat dijumpai adalah eritema, eksudatif, flat erosion,
raised erosion, perdarahan, edematous. Histopatologi gastritis :
1) Kronik: infiltrat sel mononuklear terutama limfosit. Infiltrat inflamasi
seperti limfosit, sel plasma, histiosit, dan granulosit dalam lamina
propia (dan kadang di dalam kelenjar). Istilah gastritis limfositik
digunakan jika limfosit dideteksi dalam epitel kelenjar. Infiltrat
limfositik intraglanduler yang lebih berat (noduler) merusak dan/atau
secara parsial menggantikan kontinuitas struktur kelenjar. Lesi limfo-
epitelial cukup patognomonik untuk limfoma gaster primer (yang
hampir selalu berhubungan dengan H. pylori).4

Gambar 1.6 Gambaran limfosit di mukosa lambung (panah)


sebagai tanda adanya inflamasi kronis (pewarnaan hematoksilin-
eosin/HE).4
35

2) Inflamasi akut: infiltrat neutrofil dan eosinofil Inflamasi aktif mukosa


gaster ditandai dengan adanya neutrofil dalam lamina propria dan/
atau lumen kelenjar. Jika eosinofil dominan disebut gastritis
eosinofilik.

Gambar 1.7 Gambaran sel neutrofi l pada mukosa lambung (panah)


sebagai tanda adanya inflamasi akut (pewarnaan HE).4

3) Atrofi mukosa gaster sampel biopsi gaster normal menunjukkan


kelenjar-kelenjar berbeda (mucosecreting atau oxyntic), sesuai dengan
kompartemen fungsionalnya yaitu antrum atau korpus (appropriate
glands). Definisi atrofi adalah hilangnya appropriate glands. Fenotip
transformasi atrofik terdiri dari: (1) shrinkage atau tidak tampak
kelenjar, digantikan oleh lamina propria yang meluas (fibrotik).
Situasi ini menyebabkan pengurangan massa kelenjar; (2) Penggantian
kelenjar oleh kelenjar metaplastik menyebabkan metaplasia intestinal
dan/atau pseudo pilorik. Jumlah kelenjar belum tentu berkurang, tetapi
jaringan metaplastik menyebabkan struktur kelenjar “appropriate”
lebih sedikit. Kondisi ini sesuai dengan definisi “loss of appropriate
glands”, berhubungan dengan kejadian kanker gaster, sehingga
merupakan indikator faktor risiko kanker gaster.4
36

Gambar 1.8 Gastritis atrofik multifokal dengan metaplasia


intestinal dengan pewarnaan HE.4

4) Metaplasia Perubahan metaplasia sel-sel yang berdiferensiasi ke sel


tipe lain mengindikasikan adaptasi terhadap stimulus lingkungan.
Metaplasia intestinal diinisiasi oleh sel punca gaster, biasanya
dicetuskan oleh iritasi menetap mukosa gaster Di gaster, metaplasia
tipe intestinal adalah bentuk metaplasia tersering, dapat merupakan
prekursor kanker gaster, termasuk lesi prakeganasan karena
berhubungan dengan terjadinya adenoma dan adenokarsinoma
berdiferensiasi baik. Namun, metaplasia intestinal tidak selalu
progresif menjadi kanker gaster. Karsinogenesis gaster sering akibat
infeksi H. pylori.4
37

Gambar 1.9 Metaplasia intestinal pada gaster dengan


pewarnaan HE.4

Gambar 1.10 Biopsi gaster menunjukkan metaplasia intestinal.4

5) Displasia (neoplasia non-invasif/neoplasia intraepitel) terjadi akibat


gastritis atrofi berkepanjangan, terutama infeksi H. pylori; metaplasia
intestinal berisiko transformasi lebih jauh, menjadi epitel
berdiferensiasi. Displasia epitel masih terbatas dalam membran basalis
dari struktur kelenjar. Sistem diagnosis gastritis yang dikembangkan
sekarang adalah gabungan temuan endoskopi dan histologis, dikenal
38

dengan Sydney system. Klasifikasi Sydney bertujuan untuk


standarisasi laporan klasifikasi gastritis perendoskopi berdasarkan
tampilan mukosa, seperti edema, punctuate and confluent erythema,
friability, punctuate and confluent exudate, flat and raised erosion,
rugal hyperplasia and atrophy, visibility of vascular pattern, punctuate
and confluent intramural bleeding spots, dan coarse nodularity. Semua
hasil endoskopi dilaporkan termasuk penilaian subjektif dari tingkat
keparahan, seperti ringan, sedang, berat, lalu diklasifikasikan ke dalam
salah satu dari 8 kategori, yaitu gastritis superfisial, gastritis
hemorrhagik, gastritis erosiva, gastritis verrukosa, gastritis atrofik,
gastritis metaplastik, gastritis hipertrofik, dan gastritis khusus.4

E. Penatalaksanaan

Pengobatan gastritis akibat infeksi kuman H. pylori bertujuan


untuk melakukan radikasi kuman tersebut.

Tabel 1.3 Dosis obat untuk eradikasi H. pylori.4

Obat 1 Obat 2 Obat 3 Obat 4


PPI dosis Klaritomisin Amoksisilin
ganda (2 x 500 mg) (2 x 1000 mg)
PPI dosis Klaritomisin Metronidazole
ganda (2 x 500 mg) (2 x 500 mg)
PPI dosis Tetrasiklin Metronidazole Subsalisilat/
ganda (4 x 500 mg) (2 x 500 mg) subsitral

1) Gastritis Akut pemberian obat-obatan H2 blocking (Antagonis


reseptor H2). Inhibitor pompa proton, ankikolinergik dan antasid
(Obat-obatan alkus lambung yang lain). Fungsi obat tersebut untuk
mengatur sekresi asam lambung.4
39

2) Gastritis Kronik pemberian obat-obatan atau pengobatan empiris


berupa antasid, antagonis H2 atau inhibitor pompa proton.4

5. TUKAK DUODENUM
A. Definisi
Tukak peptik/T P secara anatomis didefinisikan sebagai suatu defek
mukosa/submukosa yang berbatas tegas dapat menembus muskularis
mukosa sampai lapisan serosa sehingga dapat terjadi perforasi. Secara
klinis, suatu tukak adalah hilangnya epitel superfisial atau lapisan lebih
dalam dengan diameter > 5mm yang dapat diamati secara endoskopis atau
radiologis.4
B. Etiologi dan patogenesis
Seperti telah disinggung diatas bahwa etiologi TD yang telah
diketahui sebagai faktor agresif yang merusak pertahanan mukosa adalah
HP, obat anti inflamasi non-steroid, asam lambung/pepsih dan faktor-
faktor Iingkungan serta kelainan satu atau beberapa faktor pertahanan yang
berpengaruh pada kejadian TD.
Faktor-faktor Agresif : Helicobacter pylori, HP adalah bakteri gram
negatif yang dapat hidup dafam suasana asam dalam Iambung/ duodenum
(antrum, korpus dan bulbus), berbentuk kurva/S-shaped dengan ukuran
panjang sekitar 3 um dan diameter 0,5 pm, mempunyai satu atau lebih
fiagel pada salah satu ujungnya. Bakteri ini ditularkan secara feko-oral
atau oral-oral. Di dalam lambung terutama terkonsentrasi dalam antrum,
bakteri ini berada pada lapisan mukus pada permukaan epitei yang
sewaktu-waktu dapat menembus sel-sel epiteI/antar epitel. Bila terjadi
infeksi HP, maka bakteri ini akan melekat pada permukaan epitel dengan
bantuan adhesin sehingga dapat lebih efektif merusak mukosa dengan
melepaskan sejumiah zat sehingga terjadi gastritis akut yang dapat
berianjut menjadi gastritis kronik aktif atau duodentitis kronik aktif.4
40

Untuk terjadi kelainan selanjutnya yang lebih berat seperti tukak atau
kanker iambung ditentukan oleh virulensi HP dan faktor-faktor iain, baik
dari host sendiri, maupun adanya gangguan fisiologis lambung/ duodenum.
Walaupun infeksi HP mempunyai prevalensi yang tinggi. di mana lebih
dari 50% penduduk dunia dikatakan terinfeksi, terutama masyarakat
dengan tingkat kesehatan iingkungan yang rendah, namun hanya sebagian
kecil. yang menunjukkan gejaia kiinik yang lebih berat seperti TP (TDJL),
kanker iambung atau MALT limfoma.4
Apabila terjadi infeksi HP, host akan memberi respons untuk
mengeliminasi/ memusnahkan bakteri ini melalui mobilisasi sel-sel PMN/
limfosit yang menginfiltrasi mukosa secara intensif dengan mengeiuarkan
bermacam macam mediator infiamasi atau sitokin, seperti interleukin 8,
gamma interferon alfa, tumor nekrosis faktor dan lain-lain, yang bersama-
sama dengan reaksi imun yang timbul justru akan menyebabkan kerusakan
sel-sel epitel gastroduodenal yang lebih parah namun tidak berhasil
mengeliminasi bakteri dan infeksi menjadi kronik. Seperti diketahui bahwa
seteiah HP berkoloni secara stabil terutama dalam antrum, maka bakteri
ini‘akan mengeluarkan bermacam-macam sitotoksin yang secara langsung
dapat merusak epitei mukosa gastroduodenal, seperti vacuolating cytotoxin
(Vac A gen) yang menyebabkan vakuoiisasi sel-sei epitei, cytotoxin
associated gen A [CagA gen}. Di samping itu, HP juga melepaskan
bermacam-macam enzim yang dapat merusak sel-sel epitel, seperti urease,
protease, lipase dan fosfolipase. Sitotoksin dan enzim-enzim ini paling
bertanggung-jawab terhadap kerusakan sel-sei epitel. CagA gen
merupakan petanda virulensi HP dan hampir selalu ditemukan pada TP.
Urease memecahkan urea daiam lambung menjadi amonia yang
toksik terhadap sei-sel epitel, sedangkan protease dan fosfoiipase A2
menekan sekresi mukus menyebabkan daya tahan mukosa menurun,
merusak lapisan yang kaya lipid pada apikal sei epitei dan melaiui
kerusakan sel sel ini, asam lambung berdifusi balik menyebabkan nekrosis
yang Iebih luas sehingga terbentuk tukak peptik. HP yang terkonsentrasi
41

terutama dalam antrum menyebabkan antrum predominant gastritis


sehingga terjadi kerusakan pada D sel yang mengeluarkan somatostatin,
yang fungsinya mengerem produksi gastrin. Akibat kerusakan seI-sel D,
produksi somatostatin menurun sehingga produksi gastrin akan meningkat
yang merangsang sel-sel parietal mengeluarkan asam lambung yang
berlebihan. Asam lambung masuk ke dalam duodenum sehingga keasaman
meningkat menyebabkan duodenitis (kronik aktif) yang dapat berlanjut
menjadi tukak duodenum.4
Asam Iambung yang tinggi dalam duodenum menimbulkan gastrik
metaplasia yang dapat merupakan tempat hidup H.pylori dan sekaligus
dapat memproduksi asam sehingga lebih menambah keasaman dalam
duodenum. Keasaman yang tinggi akan menekan produksi mukus dan
bikarbonat, menyebabkan daya tahan mukosa lebih menurun dan
mempermudah terbentuknya tukak duodenum. Defek/inflamasi pada
mukosa yang terjadi pada infeksi HP atau akibat OAINS akan
memudahkan difusi batik asam/pepsin ke dalam mukosa/jaringan sehingga
memperberat kerusakan jaringan.
Pada patogenesis TD, maka asam lambung yang berlebihan
merupakan faktor utama terjadinya tukak sedangkan faktor Iainnya
merupakan faktor pencetus. Obat anti inflamasi non-steroid (GAINS).
Obat antiinflamasi non-steroid (OAINS) dan asam asetil saHsHat (acethyi
salcylic acid=ASA) merupakan salah satu obat yang paiing sering
digunakan dalam berbagai keperluan, seperti anti piretik. anti inflamasi,
analgetik, antitrombotik dan kemoprevensi kanker kolorektal. Pemakaian
GAINS/ASA secara kronik dan reguter dapat menyebabkan terjadinya
risiko perdarahan gastrointestinai 3 kali lipat dibanding yang bukan
pemakai.4
42

Pada usia lanjut, penggunaan GAINS/ASA dapat meningkatkan angka


kematian akibat terjadinya komplikasi berupa perdarahan atau perforasi
dari tukak. Pemakaian GAINS/ASA bukan hanya dapat menyebabkan
kerusakan struktural pada gastroduodenal, tetapi juga pada usus halus dan
usus besar berupa inflamasi, ulserasi atau perforasi. Patogenesis terjadinya
kerusakan mukosa terutama gastroduodenal penggunaan OAINS/ASA
adalah akibat efek toksik/iritasi langsung pada mukosa yang memerangkap
GAINS/ASA yang bersifat asam sehingga terjadi kerusakan epitel dalam
berbagai tingkat, namun yang paling utama adalah efek OAINS/ASA yang
menghambat kerja dari enzim siklooksigenase (COX) pada asam
arakidonat sehingga menekan produks prostaglandin/prostasiklin. Seperti
diketahui, prostaglandin endogen sangat berperan/berfungsi dalam
memeiihara keutuhan mukosa dengan mengatur aliran darah mukosa,
proliferasi sel-sel epitel, sekresi mukus dan bikarbonat mengatur fungsi
immunosit mukosa serta sekresi basal asam lambung.4
Sampai saat ini dikenal 2 jenis isoenzim siklooksigenase (COX) yaitu
COX-1 dan COX-2. COX-1 ditemukan terutama dalam gastrointestinal,
juga dalam ginjal, endotelin, otak dan trombosit; dan berperan penting
dalam pembentukan prostaglandin dari asam arakidonat. COX-1
merupakan housekeeping dalam saluran cema gastrointestinal. COX-2
ditemukan dalam otak dan ginjal, yang juga bertanggung jawab dalam
respons inflamasi/injuri.
Kerusakan mukosa akibat hambatan produksi prostaglandin pada
penggunaan OAINS/ASA melalui 4 tahap, yaitu: menurunnya sekresi
mukus dan bikarbonat, terganggunya sekresi asam dan proliferasi sel-sel
mukosa, berkurangnya aliran darah mukosa dan kerusakan mikrovaskuler
yang diperberat oleh kerja sama platelet dan mekanisme koagulasi.
Endotel vaskular secara terus-menerus menghasilkan vasodilator
prostaglandin E dan I, yang apabila terjadi gangguan atau hambatan
(COX-1) akan timbul vasokonstriksi sehingga aliran darah menurun yang
menyebabkan nekrose epitel.4
43

Hambatan COX-2 menyebabkan peningkatan perlekatan leukosit


PMN pada endotel vaskular gastroduodenal dan mesenterik, dimulai
dengan pelepasan protease, radikai bebas oksigen sehingga memperberat
kerusakan epitel dan endotel. Perlekatan leukosit PMN menimbulkan statis
aliran mikrovaskular, iskemia dan berakhir dengan kerusakan
mukosa/tukak peptik. Titik sentral kerusakan mukosa gastroduodenal pada
penggunaan OAINS/ASA berada pada kerusakan mikrovaskular yang
merupakan kerja sama antara COX-1 dan COX-2.4

C. Faktor Resiko

Beberapa faktor risiko yang memudahkan terjadinya TD/ tukak peptik


pada penggunaan OAINS adalah:

1) umur tua (>60 tahun)

2) riwayat tentang adanya tukak peptik sebelumnya

3) dispepsia kronik

4) intoleransi terhadap penggunaan OAINS sebelumnya

5) jenis, dosis dan lamanya penggunaan OAINS

6) penggunaan bersamaan dengan kortikosteroid, antikoagulan dan


penggunaan 2 jenis OAINS bersamaan

7) penyakit penyerta lainnya yang diderita oleh pemakai OAINS

Penting untuk diketahui bahwa tukak peptik yang terjadi pada


penggunaan OAINS, sering tidak bergejala dan baru dapat diketahui
setelah terjadi komplikasi seperti perdarahan atau perforasi saluran cerna.
Beberapa faktor lingkungan atau penyakit Iain yang dapat merupakan
faktor risiko terjadinya tukak duodenum, yaitu merokok (tembakau,
sigaret) meningkatkan kerentanan terhadap infeksi HP dengan
menurunkan faktor pertahanan dan menciptakan miliu yang sesuai untuk
44

HP. faktor stres, malnutrisi, makanan tinggi garam, defisiensi vitamin.


beberapa penyakit tertentu di mana prevalensi tukak duodenum meningkat
seperti sindrom ZoHinger Bison, mastositosis sistemik, penyakit Chron
dan hiperparatiroidisme. Faktor genetik. Faktor-faktor defensive apabila
terjadi gangguan satu atau beberapa dari faktor pertahanan mukosa, maka
daya tahan mukosa akan menurun sehingga mudah dirusak oleh faktor
agresif yang menyebabkan terjadinya TD/TP.4

Ada 3 faktor pertahanan yang berfungsi memelihara daya tahan mukosa


gastroduodenal. yaitu :

1) Faktor preepitel terdiri dari : mukus dan bikarbonat yang berguna


untuk menahan pengaruh asam lambung/ pepsin. Mucoid cap, yaitu
suatu struktur yang terdiri dari mukus dan fibrin, yang terbentuk
sebagai respons terhadap rangsangan inflamasi.Active surface
phospholipid yang berperan untuk meningkatkan hidrofobisitas
membran sel dan meningkatkan viskositas mukus.

2) Faktor epitel : kecepatan perbaikan mukosa yang rusak, di mana


terjadi migrasi sel-sei yang sehat ke daerah yang rusak untuk
perbaikan pertahanan setular,yaitu kemampuan untuk memelihara
electrical gradient dan mencegahpengasaman sel kemampuan
transporter asam-basa untuk mengangkut bikarbonat ke dalam Iapisan
mukus dan jaringan subepite! dan untuk mendorong asam keluar
jaringan. faktor pertumbuhan, prostaglandin dan nitrit oksida.

3) Faktor subepitel aliran darah (mikrosirkulasi yang berperan


mengangkut nutrisi, oksigen dan bikarbonat ke epitel sel.
Prostaglandin endogen menekan perlekatan dan ekstravasasi leukosit
yang merangsang reaksi inflamasi jaringan.4
45

D. Penegakan Diagnosis

Gambaran klinik TD sebagal salah satu bentuk dispepsia organik


adalah sindrom dispepsia, berupa nyeri dan atau rasa tidak nyaman
(discomfort) pada epigastrium. Anamnesis. Gejala-gejala TD memillki
periode rem'isi dan eksaserbasi, menjadi tenang berminggu-minggu,
berbulan-bulan dan kemudian terjadi eksaserbasi beberapa minggu
merupakan gejala khas. Nyeri epigastrium merupakan gejala yang paling
dominan, walaupun sensitifitas dan spesifitasnya sebagai marker adanya
ulserasi mukosa rendah. Nyeri seperti rasa terbakar, nyeri rasa lapar, rasa
sakit/tidak nyaman yang mengganggu dan tidak terlokalisasi: biasanya
terjadi setelah 90 menit 3 jam post prandial dan nyeri dapat berkurang
sementara sesudah makan, minum susu atau minum antasida. Hal ini
menunjukkan adanya peranan asam lambung/pepsln dalam patogenesis
TD. Nyeri yang spesifik pada 75% pasien TD adalah nyeri yang timbul
dini hari, antara tengah malam danjam 3 dlni harl yang dapat
membangunkan pasien.4

Pada TD, nyeri yang muncul tiba-tiba dan menjalar ke punggung


perlu diwaspadai adanya penetrasl tukak ke pankreas, sedangkan nyeri
yang muncul dan menetap mengenai seluruh perut perlu dlcurigai suatu
perforasi Pada TP umumnya, apabila gejala mual dan muntah timbul
secara perlahan tetapi menetap, maka kemungkinan terjadi komplikasi
obstruksi pada outlet. Sepuluh persen dari TP (TD), khususnya yang
disebabkan OAINS menimbulkan komplikasl (perdarahan/ perforasi) tanpa
adanya keluhan nyeri sebelumnya sehingga anamnesis mengenai
penggunaan OAINS perlu ditanyakan pada pasien. Tinja berwarna seperti
ter (melena) harus dlwaspadai sebagai suatu perdarahan tukak. Pada
dispepsia kronik, sebagai pedoman untuk membedakan antara dispepsia
fungslonal dan dispepsia organlk seperti TD, yaitu pada TD dapat
ditemukan gejala peringatan (alarm symptom) antara lain berupa umur
>45-50 tahun keluhan muncul pertama kali adanya perdarahan
46

hematemesis/melena BB menurun >10% anoreksia/rasa cepat kenyang


riwayat tukak peptik sebelumnya muntah yang persisten anemia yang tidak
diketahui sebabnya Pemeriksaan fisis. Tidak banyak tanda flsik yang dapat
ditemukan selain kemungkinan adanya nyeri palpasl epigastrium, kecuali
blla sudah terjadi komplikasi.4

E. Tatalaksana

Pada umumnya manajemen atau pengobatan tukak peptik/TD


dilakukan secara medikamentosa, sedangkan cara pembedahan dilakukan
apabila terjadi komplikasi seperti perforasi, obstruksi dan perdarahan yang
tidak dapat diatasi.

Tujuan dari pengobatan adalah :

1) menghilangkan gejala-gejala terutama nyeri epigastrium,

2) mempercepat penyembuhan tukak secara sempuma,

3) mencegah terjadinya komplikasi,

4) mencegah terjadinya kekambuhan.4

Penggunaan Obat-obatan TD akibat H.pylori. Untuk mencapai


tujuan terapi, maka eradikasi HP merupakan tujuan utama. Walaupun
antibiotik mungkin cukup ‘untuk terapi TD dengan ditemukan HP,
namun kombinasi dengan Penghambat pompa proton (PPI) dengan jehis
antibiotik (Triple therapy) merupakan cara terapi terbaik. Kombinasi
tersebut adalah:

1) PPI 2 x 1 (tergantung mg preparat yang dipakai) amoksisiiin 2 x 1


g/hari klaritromisin 2 x 500 mg.
47

2) PPI 2 x 1amoksisiiin 2 x 1 g/hari metronidazol 2 x 500 mg c. PPI 2 x 1


kiaritromisin 2 x 500 mg/hari metronidazoi 2 x 500 mg Masing-
masing diberikan seiama 7-10 hari.

Jenis-jenis preparat dan kemasan PPI yang ada: Omeprazol 20mg,


rabeprazol 10mg, pantoprazol 40mg, ianzoprazoi 30mg dan esomeprazol
20/40mg. H.pylori disertai penggunaan OAINS. Eradikasi HP sebagai
tindakan utama tetap dilakukan dan biia mungkin OAINS dihentikan, atau
diganti dengan OAINS spesifik COX-2 inhibitor yang mempunyai efek
merugikan lebih kecii pada gastroduodenal. Walaupun harus
diperhitungkan efek samping COX -2 inhibitor pada jantung.
Penyembuhan akan tetap sama pada TP kausa HP sendiri atau bersama-
sama dengan OAINS yaitu dengan menggunakan PPI untuk meningkatkan
pH lambung di atas 4.4

Penggunaan OAINS terus-menerus setelah eradikasi HP perlu


diberikan PPI sebagai upaya pencegahan terjadinya kompiikasi. TD akibat
OAINS. Penggunaan OAINS terutama yang memblokir kerja COX-1 akan
meningkatkan keiainan struktural gastroduodenai. Oieh karena itu
penggunaan OAINS pada pasien-pasien dengan kelainan muskuioskeletal
yang lama harus disertai dengan obatobat yang dapat menekan produksi
asam iambung seperti reseptor antagonis H2 (HZRA) atau PPI dan
diupayakan pH iambung di atas 4 atau dengan menggunakan obat sintetik
prostaglandin (misoprostol 200 ug/hari) sebagai sitoprotektif apabiia
penggunaan OAINS tidak dapat dihentikan.4

Pencegahan/meminimaikan efek samping OAIN, yaitu jika


mungkin menghentikan pemakaian OAINS, waiaupun biasanya tidak
memungkinkan pada penyakit artritis seperti osteoartritis (0A), Rematoid
artritis (RA). Penggunaan preparat OAINS (prodrug. OAINS terikat pada
bahan lain seperti Nitrit Oxide (NO) pemberian obat spesifik COX-2
inhibitor walaupun hai ini tidak 100% mencegah efek samping pada
gastroduodenal pemberian obat secara bersamaan dengan pemberian
48

OAINS seperti HZRA, PPI atau prostaglandin TD non-HP non-GAINS.


Pada TD yang hanya disebabkan oleh peningkatan asam lambung, maka
terapi dilakukan dengan memberikan obat yang dapat menetralisir asam
lambung dalam lumen atau obat yang menekan produksi asam lambung
dan yang terbaik adalah PPI. Antasida. Obat ini dapat menyembuhkan
tukak namun dosis biasanya lebih tinggi dan digunakan dalam jangka
waktu lebih lama dan lebih sering (tujuh kali sehari dengan dosis total
1008 mEq/hari) dengan komplikasi diare yang mungkin terjadi. Dari
penelitian lain dimana antasida sebagai obat untuk menetralisir asam,
cukup diberikan 120-240 mEq/hari dalam dosis terbagi.4

H2 Receptor Antagonist (HZRA). Obat ini berperan menghambat


pengaruh histamin sebagai mediator untuk sekresi asam melalui reseptor
histamin-2 pada sel parietal, tetapi kurang berpengaruh terhadap sekresi
asam melalui pengaruh kolinergik atau gastrin postprandial. Beberapa
jenis preparat yang dapat digunakan seperti:

1) Cimetidin 2x400mg/hari atau 1x800mg pada malam hari ranitidin


diberikan 300mg sebelum tidur malam atau 2x150mg/hari famotidin
diberikan 40mg sebelum tidur malam atau 2x20mg/hari. Masing-
masing diberikan selama 8-12 minggu dengan penyembuhan sekitar
90%.
2) Proton Pump Inhibitor (PPI). Merupakan obat pilihan untuk PTP,
diberikan sekali sehari sebelum sarapan pagi ataujika perlu 2 kali
sehari sebelum makan pagi dan makan malam, selama 4 minggu
dengan tingkat penyembuhan di atas 90%. Chat lain seperti sukralfat
2x2 gr sehari, atau 4xlgr sehari berfungsi menutup permukaan tukak
sehingga menghindari iritasi/pengaruh asam-pepsin dan garam
empedu; dan di samping itu mempunyai efek tropik.4
49

Diet walaupun tidak diperoleh bukti yang kuat terhadap berbagai


bentuk diet yang dipakai pada masa lalu, namun pemberian diet yang
mudah cerna khususnya pada tukak yang aktif perlu dilakukan. Makan
dalam jumlah sedikit dan lebih sering, lebih baik daripada makan yang
sekaligus kenyang. Mengurangi makanan yang merangsang pengeluaran
asam Iambung/ pepsin, makanan yang merangsang timbulnya nyeri dan
zat-zat |ain yang dapat mengganggu pertahanan mukosa gastroduodenal.4

6. TUKAK GASTER

A. Definisi

Tukak gaster jinak adalah suatu gambaran bulat atau semi


bulat/oval, ukuran > 5 mm kedalaman sub mukosa pada mukosa lambung
akibat terputusnya kontinuitas/integritas mukosa lambung. Tukak gaster
merupakan luka terbuka dengan pinggir edema disertai indurasi dengan.
dasar tukak ditutupi debris.4

B. Patofisiologi tukak gaster

Pengaturan sekresi asam lambung pada sel parieral Sel


pariteal/oxyntic mengeluarkan asam lambung HCl, sel peptik/zimogen
mengeluarkan pepsinogen yang oleh HCl dirubah jadi pepsin dimana HCl
dan pepsin adalah faktor agresif terutama pepsin dengan mileu pH <4
(sangat agresif terhadap mukosa lambung). Bahan iritan akan
menimbulkan defek barier mukosa dan terjadi difusi balik ion H+.
Histamin terangsang untuk lebih banyak mengeluarkan asam lambung,
timbul dilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh kapiler, kerusakan
mukosa lambung, gastritis akut/kronik dan tukak gaster.

Membran plasma sel epitel lambung terdiri dari lapisan-lapisan


lipid bersifat pendukung barier mukosa. Sel parietal dipengaruhi faktor
genetik, yaitu Seseorang dapat mempunyai massa sel parietal yang
50

besar/sekresi lebih banyak. Tukak gaster yang letaknya dekat pilorus atau
dijumpai bersamaan dengan tukak duodeni/antral gastritis biasanya disertai
hipersekresi asam, sedangkan bila lokasinya pada tempat lain di
lambung/pangastritis biasanya disertai hiposekresi asam. Shay and Sun:
Balance Theory 1974 Tukak terjadi bila terjadi gangguan keseimbangan
antara faktor agresif/asam dan pepsin dengan defensif (mukus, bikarbonat,
aliran darah, PG), bisa faktor agresif meningkat atau faktor defensif
menurun.4

Helycobacter pylori (HP), ”NO HP No Ulcer" Warren and


Marshall 1983 HP adalah kuman patogen gram negatif berbentuk batang
/spiral, mikoaerofiiik berflagela hidup pada permukaan epitel,
mengandung urease (Vac A, cag A, PAI dapat mentrans Iokasi cag A
kedalam sei host), hidup diantrum, migrasi ke proksimai iambung dapat
berubah menjadi kokoid suatu bentuk dorman bakteri. Infeksi kuman HP
akut dapat menimbuikan pan gastritis kronik diikuti atrofi sel mukosa
korpus dan kelenjar, metaplasia intestinal dan hipoasiditas. Proses ini
dipengaruhi oieh faktor host, iamanya infeksi (lokasi, respon infiamasi,
genetik), bakteri (virulensi, struktur, adhesin, porins, enzim (urease vac A,
cag A, dll ) dan lingkungan (asam lambung, OAINS, empedu dan faktor
iritan lainnya) dan terbentukiah gastritis kronik tukak gaster, Mucosal
Associated Lymphoid Tissue (MALT) limfoma dan Kanker Lambung. HP
dapat menyebabkan gastritis kronis aktif tipe B dan tukak peptikum.

Bakteri HP ini merupakan keluarga dari Campylobacter yang


digambarkan pertama kali oieh Marshall pada tahun 1983. HP merupakan
penyebab terbanyak dari tukak pada antrum gaster dan tukak duodeni. dan
seianjutnya kuman ini berperan terbentuknya MALT. Tukak gaster
kebanyakan disebabkan infeksi HP (3060%) dan OAINS sedangkan tukak
duodenum hampir 90% disebabkan oieh HP, penyebab Iain adalah
Sindrom Zollinger Elison. Kebanyakan kuman patogen memasuki barrier
dari mukosa gaster, tetapi HP sendiri jarang sekali memasuki epitel
51

mukosa gaster ataupun bagian yang lebih daiam dari mukosa tersebut.
Biasanya infeksi HP yang terjadi bersifat asimtomatik dimana diperkirakan
terdapat dua milliar penduduk menderita infeksi HP.4

Terjadinya penyakit ataupun asimtomatik tergantung kepada dua


hal, yaitu faktor host dan adanya perbedaan genetik dari strain HP yang
ada. Bila HP bersifat patogen maka yang pertama kali terjadi adalah HP
dapat bertahan di dalam suasana asam di Iambung; kemudian terjadi
penetrasi terhadap mukosa lambung, dan pada akhirnya HP berkolonisasi
di Iambung tersebut. Sebagai akibatnya HP berploriferasi dan dapat
mengabaikan sistem mekanisme pertahanan tubuh yang ada. Pada keadaan
tersebut beberapa faktor dari HP memainkan peranan penting diantaranya
urease memecah urea menjadi amoniak yang bersifat basa lemah yang
melindungi kuman tersebut terhadap mileu asam HCL Garis besar
pengobatan tukak peptik adalah eradikasi kuman HP serta
pengobatan/pencegahan gastropati OAINS.4

C. Penegakan Diagnosis

Secara umum pasien tukak gaster biasanya mengeluh dispepsia.


Dispepsia adalah suatu sindrom klinik/ kumpulan keluhan beberapa
penyakit saluran cerna seperti mual, muntah, kembung, nyeri ulu hati,
sendawa/ terapan, rasa terbakar, rasa penuh ulu hati dan cepat merasa
kenyang. Dispepsia secara klinis dibagi atas :

1) Dispepsia akibat gangguan motilitas

2) Dispepsia akibat tukak

3) Dispepsia akibat refiuks

4) Dispepsia tidak spesifik.4


52

Pada dispepsia akibat gangguan motilitas keluhan yang paling


menonjol adalah perasaan kembung, rasa pen-uh ulu hati setelah makan,
cepat merasa kenyang disertai sendawa. Pada dispepsia akibat refluks
keluhan yang menonjol berupa perasaan nyeri ulu hati dan rasa seperti
terbakar, harus disingkirkan adanya pasien kardiologis. Pasien tukak
peptik memberikan ciri ciri keluhan seperti nyeri ulu hati, rasa tidak
nyaman/discomfort disertai muntah.4

Pada tukak duodeni rasa sakit timbul waktu pasien merasa lapar,
rasa sakit bisa membangunkan pasien tengah malam, rasa sakit hiiang
setelah makan dan minum obat antasida (Hunger Pain Food
Relief=HPFR). Rasa sakit tukak gaster timbul setelah makan, berbeda
dengan tukak duodeni yang merasa enak setelah makan, rasa sakit tukak
gaster sebelah kiri dan rasa sakit tukak duodeni sebeiah kanan garis tengah
perut. Rasa sakit bermuia pada satu titik (pointing sign) akhirnya difus bisa
menjalar kepunggung. Ini kemungkinan disebabkan penyakit bertambah
berat atau mengalami komplikasi berupa penetrasi tukak keorgan pankres.
Walaupun demikian rasa sakit saja tidak dapat menegakkan diagnosis
tukak gaster karena dispepsia nonilkusjuga bisa menimbulkan rasa sakit
yang sama, juga tidak dapat digunakan lokasi sakit sebelah kiri atau kanan
tengah perut.

Adapun tukak akibat obat GAINS dan tukak pada usia


lanjut/manuia biasanya tidak menimbuikan keiuhan, hanya diketahui
melalui komplikasinya berupa perdarahan dan perforasi. Muntah kadang
timbul pada tukak peptik disebabkan edema dan spasme seperti tukak
kanal pilorik (obstruksi gastric outlet). Tukak prepilorik dan dudodeni bisa
menimbulkan gastric outlet obstruction melalui terbentuknya
fibrosis/oedem dan spasme.4
53

a. Pemeriksaan fisis

Tukak tanpa komplikasi jarang menunjukkan keiainan fisik. Rasa


sakit/nyeri ulu hati, di kiri garis tengah perut, terjadi penurunan berat
badan merupakan tanda fisik yang dapat dijumpai pada tukak gaster tanpa
kompiikasi. Nilai ramaian untuk tanda fisik ini kurang berarti. Perasaan
sangat nyeri, nyeri tekan perut, perut diam tanpa terdengar peristaiik usus
merupakan tanda peritonitis. Goncangan perut atau succusion splashing
dijumpai 4-5 jam seteiah makan disertai muntah-muntah yang
dimuntahkan biasanya makanan yang dimakan beberapa jam sebeiumnya
merupakantanda adanya retensi cairan lambung, dari komplikasi
tukak/gastric outlet obstruction atau stenosis pilorus. Takikardi, syok
hipopolemik, tanda dari suatu perdarahan. Laboratorium tidak ada yang
spesifik untuk penyakit tukak gaster.4

b. Pemeriksaan Penunjang: Radioiogi dan Endoskopi

Pemeriksaan radioiogi dengan barium meal kontras ganda dapat


digunakan dalam menegakkan diagnosis tukak peptik, tetapi akhir-akhir
ini berhubung para ahii radioiogi sudah iebih memantapkan diri pada
radiologi intervensional dan pakar gastroenteroiogi sudah mengembangkan
diri sedemikian maju dalam bidang diagnostik dan terapi endoskopi maka
untuk diagnostik tukak peptik iebih dianjurkan pemeriksaan endoskopi. Di
samping itu untuk memastikan diagnosa keganasan tukak gaster harus
diiakukan pemeriksaan histopatologi, sitoiogi brushing dengan biopsi
melaiui endoskopi.

Biopsi diambil dari pinggiran dan dasar tukak minimal 4 sampel


untuk 2 kuadran, bila ukuran tukak besar diambil sampei dari 3 kuadran
dari dasar, pinggir dan sekitar tukak (minimal 3x2 = 6 sampel). Dengan
ditemukannya kuman Helicobacter pylori sebagai etiologi tukak peptik
maka dianjurkan pemeriksaan tes CLO, serologi, dan UBT dengan biopsi
meialui endoskopi.Gambaran radioiogi suatu tukak berupa crater/kawah
54

dengan batas jeias disertai iipatan mukosa yang teratur keiuar dari
pinggiran tukak dan niche dan gambaran suatu proses keganasan iambung
biasanya dijumpai suatu filling defect. Gambaran endoskopi untuk suatu
tukak jinak berupa iuka terbuka dengan pinggiran teratur, mukosa licin dan
normai disertai iipatan yang teratur keiuar dari pinggiran tukak. Gambaran
tukak gaster akibat keganasan adalah: Boorman I/poiipoid, B-II/ulceratif,
B-III/infiltratif, B-IV/iinitis piastika (scirrhus). Karena tingginya kejadian
keganasan pada tukak gaster (70%) maka dianjurkan untuk diiakukan
biopsi dan endoskopi uiang setelah 8-12 minggu terapi eradikasi.
Kelebihan endoskopi dibanding radiologi: 1). Lesi kecii diameter <O.S cm
dapat diiihat, dilakukan pembuatan foto dokumentasi adanya tukak.
2).Lesi yang ditutupi oleh gumpaian darah dengan penyemprotan air dapat
diiihat. 3). Radiologi tidak dapat memastikan apakah suatu tukak ganas
atau tidak, tidak dapat menentukan adanya kuman HP sebagai penyebab
tukak.

Sugesti seseorang menderita penyakit tukak periu dipikirkan bila


ditemukan, adanya riwayat pasien tukak daiam keiuarga, rasa sakit kiasik
dengan keluhan yang spesifik, faktor predisposisi seperti pemakaian
OAINS perokok berat dan alkohol, adanya penyakit kronik seperti PPOK
dan sirosis hati, adanya hasii positif kuman HP dari serologi/IgG anti HP
atau UBT. Diagnosis tukak gaster ditegakkan berdasarkan. Pengamatan
klinis, dispepsia (sakit dan discommfort) kelainan fisik yang dijumpai,
sugesti pasien tukak. Hasil pemeriksaan penunjang (radioiogi dan
endoskopi). Hasil biopsi untuk pemeriksaan tes CLO, histopatologi kuman
Hp.4
55

D. Penatalaksanaan

a. Non Medikamentosa

Istirahat. Secara umum pasien tukak dianjurkan pengobatan rawat


jalan, bila kurang berhasil atau ada komplikasi baru dianjurkan rawat inap
di rumah sakit. Di Inggris 25% pasien tukak peptik dengan keluhan tanpa
pengobatan bisa bekerja normal, 50% pasien tukak dengan keluhan,
disertai pengobatan bisa bekerja normal, sedang 25% dengan komplikasi
harus rawat inap/rumah sakit. Penyembuhan akan lebih cepat dengan rawat
inap walaupun mekanismenya belum jelas, kemungkinan oleh
bertambahnya jam istirahat berkurangnya refluks empedu, stres dan
penggunaan analgetik.4

Stres dan kecemasan memegang peran dalam peningkatan asam


lambung dan penyakit tukak. Walaupun masih ada silang pendapat
mengenai hubungan stres dengan asam lambung, sebaiknya pasien hidup
tenang dan menerima stres dengan wajar. yang mengandung susu tidak
lebih baik daripada makanan biasa, karena makanan halus dapat
merangsang pengeluaran asam lambung. Cabai, makanan merangsang,
makanan mengandung asam dapat menimbulkan rasa sakit pada beberapa
pasien tukak dan dispepsia nontukak, walaupun belum didapat bukti
keterkaitannya. Pasien kemungkinan mengalami intoleransi terhadap
beberapa jenis makanan tertentu atau makanan tersebut mempengaruhi
motilitas gaster. Dalam hal ini dianjurkan pemberian makanan dalam
jumlah yang moderat atau menghiindari makanan tersebut. Pandangan
masa kini makanan tidak mempengaruhi kesembuhan tukak. Beberapa
peneliti menganjurkan makanan biasa, lunak, tidak merangsang dan diet
seimbang.4
56

Merokok menghalangi penyembuhan tukak gaster kronik,


menghambat sekresi bikarbonat pankreas, menambah keasaman bulbus
duodeni, menambah refluks duodenogastrik akibat retraksasi sfingter
pilorus sekaligus meningkatkan kekambuhan tukak. Merokok sebenarnya
tidak mempengaruhi sekresi asam lambung tetapi dapat memperlambat
kesembuhan Iuka tukak serta meningkatkan angka kematian karena efek
peningkatan kekambuhan penyakit saluran pernafasan, penyakit paru
obstruksi menahun (PPOM) dan penyakit jantung koroner.4

Alkohol belum terbukti mempunyai bukti yang merugikan. Air


jeruk yang asam, coca cola, bir, kopi tidak mempunyai pengaruh
ulserogenik pada mukosa lambung tetapi dapat menambah sekresi asam
lambung dan belum jelas dapat menghalangi penyembuhan tukak dan
sebaiknya diminum jangan sewaktu perut kosong. Perubahan gaya hidup
dan pekerjaan kadang-kadang menimbulkan kekambuhan penyakit tukak.

Obat-obatan. OAINS sebaiknya dihindari. Pemberian secara


parenteral (supositoria dan injeksi) tidak terbukti lebih aman. Bila
diperlukan dosis OAINS diturunkan atau dikombinasi dengan ARH2/
PPI/misoprostrol. Pada saat ini sudah tersedia COX-2 inhibitor yang
selektif untuk penyakit OA/RA yang kurang menimbulkan keluhan perut.
Pemakaian aspirin dosis kecil untuk pasien kardiovaskular belum
menjamin tidak terjadi kerusakan mukosa lambung. Penggunaan
parasetamol atau kodein sebagai analgetik dapat dipertimbangkan.4

b. Medikamentosa

Antasida. Pada saat ini antasida sudah jarang digunakan, antasida


sering digunakan untuk menghilangkan keluhan rasa sakit/dispepsia. Pada
masa lalu sebelum kita kenal adanya ARHZ yg dapat memblokir
pengeluaran asam, antasida adalah obat satu satunya untuk tukak peptik.
Preparat yang mengandung magnesium dapat menyebabkan BAB/tidak
berbentuk/loose, tidak dianjurkan pada gagal ginjal karena menimbulkan
57

hipermagnesemia dan kehilangan fosfat sedangkan alumunium


menyebabkan konstipasi dan neurotoksik tapi bila kombinasi kedua
komponen saling menghilangkan efek samping sehingga tidak terjadi
diare, ataupun konstipasi. Dosis: 3x1 tablet, 4x30 cc (3 kali sehari dan
sebelum tidur 3 jam setelah makan). Efek samping berinteraksi dengan
obat digitalis, INH, barbiturat, salisilat dan kinidin. Antasida yang
mengandung calcium carbonat menimbulkan MAS/Milk Alkaline
syndrome (hiperkalsemia, hipefosfatemia, renal calcinosis) dan progresi
kearah gagal ginjal.4

c. Obat Penangkal Kerusakan Mukus

Koloid bismuth (Coloid Bismuth Subsitrat/CBS dan Bismuth Sub


Salisilat/BSS). Mekanisme kerja belum jelas, kemungkinan membentuk
lapisan penangkal bersama protein pada dasar tukak dan melindunginya
terhadap pengaruh asam dan pepsin, berikatan dengan pepsin sendiri,
merangsang sekresi PG, bikarbonat, mukus. Efek samping jangka panjang
dosis tinggi khusus CBS neuro toksik. Obat ini mempunyai efek
penyembuhan hampir sama dengan ARH2 serta adanya efek bakterisidal
terhadap HP sehingga kemungkinan relaps berkurang. Dosis: 2x2 tablet
sehari. Efek samping tinja berwarna kehitaman sehingga menimbulkan
keraguan dengan perdarahan. Sukralfat. Suatu komplek garam sukrosa
dimana grup hidroksil diganti dengan aluminium hidroksida dan sulfat.

Mekanisme kerja kemungkinan melalui pelepasan kutub


aluminium hidroksida yang berikatan dengan kutub positif molekul protein
membentuk lapisan fisikokemikal pada dasar tukak, yang melindungi
tukak dari pengaruh agresif asam dan pepsin. Efek lain membantu sintesa
prostaglandin, kerjasama dengan EGF, menambah sekresi bikarbonat dan
mukus, meningkatkan daya pertahanan dan perbaikan mukosal. Efek
samping konstipasi, tidak dianjurkan pada gagal ginjal kronik. Dosis: 4x1
gram sehari Prostaglandin.4
58

Mekanisme kerja mengurangi sekresi asam Iambung menambah


sekresi mukus, bikarbonat dan meningkatkan aliran darah mukosa serta
pertahanan dan perbaikan mukosa. Efek penekanan sekresi asam Iambung
kurang kuat dibandingkan dengan ARH2. Biasanya digunakan sebagai
penangkal terjadinya tukak gaster pada pasien yang menggunakan OAINS.
PGEl/misoprostol yang telah diakui oleh FDA. Dosis 4x200 mg atau
2x400 mg pagi dan malam ha Efak samping diare, mual, muntah dan
menimbulka kontraksi otot uterus/ perdarahan sehingga tidak dianjurkan
pada perempuan yang bakat hamil dan yang menginginkan kehamilan.
Antagonis reseptor H2/ARH2 (simetidin, ranitidine famotidine.
Nizatidine), struktur homolog dengar histamin. Mekanisme kerjanya
memblokir efek histamin pada sel parietal sehingga sel parietal tidak dapat
dirangsang untuk mengeluarkan asam lambung. Inhibisi ini bersifat
reversibel. Pengurangan sekresi asam post prandial dan nokturnal, yaitu
sekresi nokturnal lebih dominan dalam rangka penyembuhan dan
kekambuhan tukak/sikardian.4

Dosis terapeutik :

 Simetidin; dosis 2 x 400 mg atau 800 gr malam hari . Ranitidin; 300


mg malam hari.

 Nizatidine: 1 x 300 mg malam hari

 Famotidin: 1 x 40 mg malam hari

 Roksatidin: 2 x 75 mg atau 150 mg malam hari

Dosis terapetik dari keempat ARHZ dapat menghambat sekresi


asam dalam potensi yang hampir sama, tapi efek samping Simetidin lebih
besar dari Famotidin karena dosis terapeutik Iebih besar. Dosis
pemeliharaan: simetidin 400 mg dan ranitidin 150 mg, Nizatidine 150 mg,
roksatidin 75 mg malam hari.4
59

Efek samping sangat kecil antara Iain agranulositosis.


pansitopenia, neutropenia, anemia dan trombositopenia (0,01 s/d 0,2 %),
ginekomastia, konfusi mental khusus pada usia lanjut dan gangguan fungsi
ginjal dijumpai terutama pemberian simetidin.4

Proton pump inhibitor/PPI (Omeprazol, Lansoprazot, Pantoprazol


Rabeprazol, Esomesoprazol). Omeprazol dan Lansoprazol obat tertama
digunakan, keasaman labil dalam bentuk enterik coated granules, dipecah
dalam usus dengan pH 6. Rabeprazole dan Pantoprazole enterik coated
tablet, lipofilik terperangkap kedalam sistem tubolovesikular dan
kanalikuli. Mekanisme kerja PPI adalah memblokir kerja enzim K+H+
ATPase yang akan memecah K+H+ ATP menghasilkan energi yang
digunakan untuk mengeiuarkan asam HCI dari kanalikuli sel parietal
kedalam Iumen ambung.

Esomeprazol adalah sangat potensial karena punya somir optikal 5


dan R. Efek penekan sekresi asam PPI naksimal 2-6 jam dam lamanya
efek kerja 72-96 jam. PI menggangu absorpsi dari obat ampisilin.
ketonazote. esi dan oksigen. dosis Omeprazol 2x20 mg/standard dosis atau
1x40 mg/ double dosis Lansoprazol/Pantoprazol 2 x 40 mg/standard dosis
atau 1x 60 mg/double dosis. Penggunaan jangka panjang dapat
menimbulkan kenaikan gastrin darah dan dapat menimbulkan tumor
karsinoid pada tikus percobaan belum terbukti pada manusia. rabeprazol,
esomesoprazol pantoprazol sebaiknya jangan dikombinasi dengan
penggunaan walfarin, penitoin dan diazepam. PPI mencegah pengeluaran
asam lambung dari sel kanalikuli, menyebabkan pengurangan rasa sakit
pasien tukak, mengurangi aktivitas faktor agresif pepsin.4
60

7. REFLUKS GASTRODUODENITIS

A. Etiologi
Helicobacter pylori merupakan salah satu penyebab infeksi yang
umum terjadi pada manusia dan berhubungan dengan beberapa penyakit
penting pada saluran cerna seperti gastritis kronis, ulkus peptikum dan
kanker lambung. Infeksi H. pylori berkaitan erat dengan kondisi sosial
ekonomi sehingga prevalensi infeksi ini lebih tinggi di negara-negara
berkembang dibanding negara-negara maju. Helicobacter pylori
merupakan bakteri gram negatif berbentuk S atau melengkung. Organisme
ini memiliki 2-6 flagela yang membantu mobilisasinya untuk
menyesuaikan dengan kontraksi lambung yang ritmis dan berpenetrasi ke
mukosa lambung. Ukuran panjangnya 2,4-4 μm dan lebar 0,5-1 μm.
Reservoir utamanya adalah lambung manusia, khususnya di daerah
antrum. Bersifat mikroaerofilik, tumbuh baik dalam suasana lingkungan
yang mengandung O2 5%, CO2 5 – 10% pada temperatur 37ºC. Penelitian
epidemiologi menunjukkan bahwa kehidupan H. pylori di luar tubuh
manusia tergantung pada suhu lingkungan.4

Pada suhu 4o C, H. pylori masih dapat hidup dan dikultur dalam


20-25 hari, sedangkan pada suhu 15oC selama 10–15 hari dan pada 24oC
hanya selama 6–10 jam. Hal ini menunjukkan bahwa H. pylori mampu
bertahan dengan lebih baik pada lingkungan dengan temperatur yang lebih
rendah. Helicobacter pylori menghasilkan beberapa enzim seperti urease
yang memungkinkan organisme tersebut untuk bertahan pada suasana
asam di lambung dengan menciptakan suasana basa, protease yang
diperkirakan merusak lapisan mukus, esterase, fosfolipase A dan C, serta
fosfatase. H. pylori menghasilkan faktor virulensi seperti vacuolating
cytotoxin (vacA) serta substansi lain seperti platelet activating factor dan
chemotactic substance.4
61

B. Patofisiologi

Kombinasi yang kompleks antara faktor bakteri, penjamu dan


lingkungan mempengaruhi kerentanan dan keparahan penyakit pada
seorang individu terhadap infeksi H. pylori. Mukosa lambung terlindungi
sangat baik dari infeksi bakteri, namun H. pylori memiliki kemampuan
adaptasi yang sangat baik terhadap lingkungan ekologi lambung dengan
serangkaian langkah unik masuk ke dalam mukus, berenang dan orientasi
spasial di dalam mukus, melekat pada sel epitel lambung, menghindar dari
respon imun, dan sebagai akibatnya terjadi kolonisasi dan transmisi
persisten. Setelah masuk ke dalam lambung, H. pylori menghindari
pertahanan penjamu, sistem imunitas dan mukosa gaster dengan berbagai
faktor virulensi yang dimilikinya, meliputi aktivitas urease, motilitas
dengan menggunakan flagela, adesin, dan sebagainya.4
Setelah merusak tautan sel epitel, H. pylori dapat melewati dinding
lambung dengan menghadapi respon imun secara langsung yaitu neutrofil,
limfosit, sel mast dan sel dendritik. Respon imun innate terutama
diperantarai Tolllike receptors (TLR) dan nucleotide-binding
oligomerization domain (Nod)-like receptors yang mengaktivasi faktor
transkripsi seperti nuclear factor kappa-light-chain-enhancer of activated
B cells (NF-κB), activator protein 1 (AP-1), cyclic adenosine
monophosphate (cAMP) response element-binding protein 1 (CREB-1),
dan memicu produksi sitokin inflamasi seperti IL -8, IL-12, IL-6, IL-1β,
IL-18, tumor-necrosis factor-α (TNF-α), dan IL-10. Interleukin-1β
danTNF-α, yang dihasilkan di mukosa lambung merupakan penghambat
sekresi asam lambung yang poten.
Kolonisasi H. pylori bukanlah penyakit, namun merupakan suatu
kondisi yang meningkatkan kejadian penyakit pada saluran cerna atas.
Interaksi faktor penjamu, lingkungan dan H. pylori akan menyebabkan
munculnya manifestasi klinis. H. pylori dan asam lambung merupakan dua
hal yang menjadi dasar manifestasi klinis infeksi H. pylori. Variasi antara
respon imun penjamu dan adanya infeksi kronik H. pylori secara langsung
62

berpengaruh terhadap munculnya penyakit lambung yang terkait H. pylori


dan produksi asam lambung serta menentukan kepadatan dan lokasi koloni
H. pylori. Infeksi H. pylori saat bayi diperkirakan merupakan penyebab
pangastritis (sekresi asam lambung yang rendah), sedangkan infeksi pada
masa anak-anak merupakan faktor penyebab gastritis antrum (sekresi asam
lambung yang berlebihan).4
Faktor lingkungan seperti merokok, malnutrisi, asupan garam yang
tinggi, defisiensi vitamin dan faktor penjamu menyebabkan peradangan
dan penurunan sekresi asam lambung dan menjadi faktor risiko kolonisasi
H. pylori di korpus. Hal ni menyebabkan terjadinya atrofi gaster, ulkus
gaster dan kanker.Pada pasien dengan sekresi asam lambung yang tinggi,
yang dipengaruhi oleh faktor genetik, nutrisi dan faktor lain, gastritis
umumnya predominan di antrum. Tingginya asam lambung di duodenum
menyebabkan metaplasia bulbus duodenum dan H. pylori yang
berkolonisasi di daerah ini akan menyebabkan duodenitis dan ulkus
duodenum.
Perubahan pertumbuhan sel epitel dan peningkatan apoptosis
memainkan peranan penting dalam manifestasi penyakit, dan kegagalan
proses adaptasi mukosa, ulserasi dan proses perbaikan sel yang abnormal
akan menjadi dasar penyebab kanker akibat infeksi H. Pylori. Penelitian
seroepidemiologis menunjukkan infeksi H. pylori meningkatkan risiko
kejadian mucosa-associated lymphoid tissue (MALT) limfoma gaster
sebesar 6 kali lipat. Jika infeksi tidak diterapi, suatu limfoma sel B pada
daerah marginal gaster (low-grade gastric MALT lymphomas) dapat
berkembang menjadi limfoma large B-cell yang difus (high-grade MALT
lymphomas) yang refrakter terhadap terapi.4
63

C. Penegakan diagnosis
Pemeriksaan H. pylori diindikasikan pada beberapa kelainan,
diantaranya: pasien dengan ulkus peptikum, uninvestigated dispepsia pada
pasien berusia < 45 tahun tanpa tanda alarm, MALT lymphoma gaster
derajat rendah, bukti adanya karsinoma lambung, dan keluarga dengan
riwayat kanker lambung. Sedangkan pemeriksaan H. pylori belum
direkomendasikan (tidak konklusif) pada beberapa keadaan, seperti:
dispepsia nonulkus, dispepsia karena obat antiinflamasi nonsteroid
(OAINS), penyakit refluks gastroesofageal, populasi dengan risiko tinggi
(seperti Cina dan Jepang), anemia defisiensi besi yang tidak diketahui
penyebabnya, dan idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP).4
Strategi test-and-treat direkomendasikan pada pasien dengan
undifferentiated dispepsia. Melalui pendekatan ini pasien menjalani tes
noninvasif untuk infeksi H. pylori dan bila hasilnya positif, pasien
diberikan terapi eradikasi Diagnosis infeksi H. pylori bisa melalui metode
endoskopik dan nonendoskopik. Metode yang digunakan bisa secara
langsung atau secara tidak langsung. Pemeriksaan invasif dengan metode
endoskopis untuk membantu menegakkan diagnosis infeksi H. pylori dapat
dilakukan dengan 4 cara yakni melalui pemeriksaan histologi, kultur, rapid
urease test, dan polymerase chain reaction (PCR).
Spesimen bahan biopsi dianjurkan untuk diambil pada 5 tempat
yakni 2 dari bagian antrum, 2 dari korpus, dan 1 dari insisura angularis
untuk mendapat hasil penilaian yang optimal. Pemeriksaan histologi
dilakukan dengan pengecatan khusus pada jaringan biopsi, sensitivitas dan
spesifisitas lebih dari 95%. Metode rapid urease test dilakukan dengan
menempatkan bahan biopsi pada larutan urea atau gel dengan indikator
pH, dimaksudkan untuk menemukan adanya urease bakteri, sensitivitasnya
96% dan spesifisitasnya 98%.4
64

Kultur bertujuan untuk membiakkan H. pylori; sensitivitasnya 90%


dan spesifisitas 100%. Metode PCR belum terstandarisasi dan masih dalam
taraf eksperimental. Pemeriksaan noninvasif terdiri dari tes
serologi/antibodi (kuantitatif dan kualitatif), urea breath test (UBT), dan
stool antigen test (SAT). Pemeriksaan serologi dengan memeriksa IgG H.
pylori spesifik, memiliki sensitivitas 85-92% dan spesifisitas 79-83%.
Pada UBT, prinsipnya memeriksa aktivitas urease H. pylori dan dibantu
dengan radioisotop 13C atau 14C, sensitivitasnya 95% dan spesifisitasnya
96%. SAT memeriksa antigen H. pylori pada kotoran, sensitivitasnya 95%
dan spesifisitasnya 94%.4

D. Tatalaksana
Berbagai regimen terapi telah dikembangkan dalam
penatalaksanaan H. pylori. Terapi lini pertama harus memiliki efikasi lebih
dari 90% untuk menghindari kebutuhan terhadap terapi tambahan dan
menyebabkan resistensi antimikroba sekunder. Terapi lini pertama juga
harus didasarkan pada regimen empiris yang paling sesuai dengan situasi
geografis setempat dan mempertimbangkan prevalensi resistensi
antimikroba di daerah tersebut. Tata laksana primer infeksi H. pylori yang
direkomendasikan adalah triple therapy yang terdiri dari penghambat
pompa proton (PPI), amoksisilin dan klaritromisin yang diberikan selama
14 hari; PPI atau penghambat reseptor H2, bismuth, metronidazole dan
tetrasiklin selama 10-14 hari.4
Metronidazole dapat digunakan untuk menggantikan amoksisilin
pada pasien yang alergi terhadap penisilin. Bila terjadi kegagalan
pengobatan lini pertama maka digunakan lini kedua (quadruple therapy).
Quadruple therapy terdiri dari kombinasi PPI, bismuth subsalisilat,
metronidazol dan tetrasiklin. Efektivitas regimen quadruple therapy
mencapai 93%, sementara efektivitas regimen triple therapy sekitar 77%.
Bila masih terdapat kegagalan dalam eradikasi H. pylori dengan regimen
lini kedua, maka terapi sebaiknya didasarkan pada uji resistensi mikroba
65

bila memungkinkan. Regimen lini ketiga yang dianjurkan yaitu kombinasi


levofloksasin, amoksisilin, dan PPI (levofloksasin 2x500 mg/hari,
amoksisilin 2x1 g/hari, dan omeprazol 2x20 mg/hari) selama 10 hari.
Penggunaan kultur untuk mengetahui resistensi dalam praktik sehari-hari
masih kontroversial karena selain prosedurnya rumit, juga memakan waktu
dan biaya. Selain terapi-terapi tersebut di atas, saat ini juga dikembangkan
berbagai penelitian terapi alternatif maupun adjuvant untuk H. pylori.
Beberapa terapi dimaksud antara lain: probiotik, laktoferin, kurkumin,
fucoidan, dan sebagainya. Evaluasi keberhasilan terapi dapat dikerjakan
melalui pemeriksaan endoskopi, UBT/HpSA atau histopatologi setelah
penghentian obat selama 4 minggu atau lebih. Jika UBT negatif atau PA
negatif, terapi dianggap berhasil.4

2. Mekanisme kerja obat

a. Antasid
Antasid adalah basa lemah yang bereaksi dengan asam hidroklorida
lambung untuk membentuk garam dan air. Mekanisme kerja utamanya
adalah mengurangi keasaman intralambung. Setelah makan terjadi sekresi
asam hidroklorida sekitar 45 mEq/jam. Satu dosis antasid 156 mEq yang
diberikan 1 jam setelah makan secara efektif untuk menetralkan asam
lambung hingga 2 jam. Namun, kapasitas berbagai sediaan antasid dalam
menetralkan asam sangat bervariasi, bergantung pada laju kelarutan
(tablet/cairan), kelarutan dalam air, kecepatan reaksi dengan asam, dan
kecepatan pengosongan lambung.5
Natrium bikarbonat cepat bereaksi dengan asam hidroklorida (HCL)
untuk menghasilkan karbon dioksida dan natrium klorida. Pembentukan
karbon dioksida menyebabkan peregangan lambubg dan bersendawa. Basa
yang tidak bereaksi cepat diserap, berpotensi menyebabkan alkalosis
metabolik jika diberikan dalam dosis tinggi atau kepada pasien dengan
insufisiensi ginjal. 5
66

Penyerapan natrium klorida dapat menyebabkan eksaserbasi retensi


cairan pada pasien dengan gagal jantung, hipertensi, dan insifuensi ginjal.
Kalsium karbonat, kurang larut dan bereaksi lebih lambat daripada natrium
bikarbonat dengan HCL untuk membentuk karbon dioksida dan kalsium
klorida (CaCl2). Seperti natrium bikarbonat, kalsium karbonat dapat
menyebabkan bersendawa dan alkalosis metabolik. Kalsium karbonat di
gunakan untuk sejumlah indikasi selain dari sifat antasidnya. Pemberian
berleb8han natrium bikarbonat atau kalsium karbonat dengan produk
produk susu yang mengandung kalsium dapat menyebabkan
hiperkalasemia, insufisiensi ginjal, dan alkalosis metabolik.5
Sediaan yang mengandung magnesium hidroksida atau alumunium
hidroksida bereaksi secara lambat dengan HCL untuk membentuk
magnesium klorida atau alumunium klorida adan air. Karena tidak
dihasilkan gas, tidak terjadi sendawa. alkkalosis metabolik juga jarang
karena efesiensi reaksi netralisasi. Karena garam garam magnesium yang
tidak diserap menyebabkan diare osmotik dan garam alumunium dapat
menyebabkan konstipasi. Kedua obat ini umumnya diberikan bersama
sama dalam sediaan paten (mis. Gelusin, maalox, mylanta) untuk
mengurangi dampak pada fungsi usus. Baik magnesium maupun
alumunium diserap dan diekresikan oleh ginjal. Oleh sebab itu pasien
dengan infusiensi oleh ginjal. Oleh sebab itu, pasien dengan insufiensi
ginjal seharusnya tidak mengunakan obat obat ini dalam jangka panjang.
Semua antasid dapat mempengaruhi penyerapan obat lain dengan
mengikat obat (mengurangi penyerapannya) atau dengan meningkatkan
pH intralambung sehingga kelarutan atau disolusi (khususnya obat asam
atau basa lemah) berubah. Karena itu. Antasid, seharusnya tidak diberikan
dalam 2 jam setelah pemberian tetrasiklin, fluorokuinolon, itrakonazol,
dan besi.5
67

b. PPI
Hingga tahun 2015, ada enam jenis PPI yang telah disetujui oleh
FDA. Penggunaan PPI telah diadopsi secara luas di kalangan penyedia
layanan kesehatan primer. Obat ini terutama menjadi pilihan pertama
untuk pengobatan esofagitis, nonerosive reflux disease (NERD), peptic
ulcer disease (PUD), pencegahan ulkus terkait pengunaan obat
antiinflamasi nonsteroid (NSAID), sindrom Zollinger-Ellison (ZES), dan
dispepsia fungsional. PPI juga dapat dikombinasikan dengan antibiotik
untuk eradikasi Helicobacter pylori. Perbedaan struktur masing-masing
PPI tersebut dapat dilihat pada gambar.5
Tabel 1.3 Proton pump inhibitor.5

Mekanisme kerja obat golongan PPI adalah dengan menghambat


produksi asam pada tahap akhir mekanisme sekresi asam, yaitu pada
enzim (H+, K+)-ATPase dari pompa proton sel parietal. Enzim (H+, K+)-
ATPase berperan penting dalam pertukaran ion dari dan ke dalam sel
parietal, hasil pertukaran ion inilah yang membentuk asam lambung HCl.
PPI bersifat lipofilik (larut dalam lemak), sehingga dapat dengan mudah
menembus membran sel parietal tempat asam dihasilkan serta hanya aktif
68

dalam lingkungan asam dan pada satu tipe sel saja yaitu sel parietal
mukosa lambung.5

c. Aspirin (Asam Asetil Salisilat)


Obat anti radang bukan steroid atau yang lazim dinamakan non
streroidal anti inflammatory drugs (NSAIDs) atau anti inflamasi non
steroid (OAINS) adalah golongan obat yang bekerja terutama di perifer
yang berfungsi sebagai analgesik (pereda nyeri), antipirektik (penurun
panas) dan antiinflamasi (anti radang). Obat asam asetil salisilat (aspirin)
ini mulai digunakan pertama kalinya untuk pengobatan simptomatis
penyakit-penyakit rematik pada tahun 1899 sebagai obat anti radang bukan
steroid sintetik dengan kerja antiradang yang kuat. Obat anti radang bukan
steroid diindikasikan pada penyakit-penyakit rematik yang disertai radang
seperti rheumatoid dan osteoartritis untuk menekan reaksi peradangan dan
meringankan nyeri. Dibandingkan dengan obat antiradang bukan steroid
yang lain, penggunaan asam asetil salisilat jauh lebih banyak, bahkan
termasuk produk farmasi yang paling banyak digunakan dalam pengobatan
dengan kebutuhan dunia mencapai 36.000 ton per tahun.6
Obat antiradang nonsteroid (OAINS) dibagi dalarn 8 golongan
yaitu turunan asam salisilat (asam asetil salisilat dan diflunisal), turunan
pirazolon (fenilbutazon, oksifenbutazon, antipirin dan arninopirin),
turunan paraaminofenol (fenasetin), Indometasin (indometasin dan
sulindak), turunan asam propionat (ibuprofen, naproksen, fenoprofen,
ketoprofen dan flurbiprofen), turunan asam antranilat (asam flufenamat
dan asam mafenamat), obat antiradang yang tidak mempunyai
penggolongan tertentu (tolmetin, piroksikam, diklofenak, etodolak,
nebumeton, senyawa emas) dan obat pirro (gout), kolkisin, alopurinol.
Asam asetil salisilat (ASA) yang lebih dikenal sebagai asetosal adalah
analgetik, antipiretik dan antiinflamasi yang sangat luas digunakan dan
digolongkan dalam obat bebas.6
69

Mekanisme Kerja Aspirin (Asam Asetil Salisilat) Pada pemberian


oral, sebagian salisilat diabsorbsi dengan daya absorbsi 70% dalam bentuk
utuh dalam lambung, tetapi sebagian besar absorbsi terjadi dalam usus
halus bagian atas. Sebagian AAS dihidrolisa, kemudian didistribusikan ke
seluruh tubuh. Salisilat segera menyebar ke seluruh tubuh dan cairan
transeluler setelah diabsorbsi. Kecepatan absorbsi tergantung dari
kecepatan disintegrasi dan disolusi tablet, pH permukaan mukosa dan
waktu pengosongan lambung. Salisilat dapat ditemukan dalam cairan
sinovial, cairan spinal, liur dan air susu. Kadar tertingggi dicapai kira-kira
2 jam setelah pemberian.6
Sediaan OAINS memiliki aktivitas penghambat radang dengan
mekanisme kerja menghambat biosintesis prostaglandin dari asam
arakhidonat melalui penghambatan aktivitas enzim siklooksigenase.
Berbeda dengan OAINS lainnya, AAS merupakan inhibitor irreversibel
siklooksigenase (COX). Kerusakan yang terjadi pada sel dan jaringan
karena adanya noksi akan membebaskan berbagai mediator substansi
radang. Asam arakhidonat mulanya merupakan komponen normal yang
disimpan pada sel dalam bentuk fosfolipid dan dibebaskan dari sel
penyimpan lipid oleh asil hidrosilase sebagai respon adanya noksi.
Asam arakidonat kemudian mengalami metabolisme menjadi dua
alur. Alur siklooksigenase yang membebaskan prostaglandin, prostasiklin,
tromboksan. Alur lipoksigenase yang membebaskan leukotrien dan
berbagai substansi seperti HPETE (Hydroperoxieicosatetraenoic)
Prostaglandin yang dihasilkan melalui jalur siklooksigenase berperan
dalam proses timbulnya nyeri, demam dan reaksi-reaksi peradangan.
Selain itu, prostaglandin juga berperanan penting pada proses-proses
fisiologis normal dan pemeliharaan fungsi regulasi berbagai organ. Pada
selaput lendir saluran pencernaan, prostaglandin berefek protektif dengan
meningkatkan resistensi selaput lendir terhadap iritasi mekanis, osmotis,
termis atau kimiawi. Karena prostaglandin berperan dalam proses
timbulnya nyeri, demam, dan reaksi peradangan, maka AAS melalui
70

penghambatan aktivitas enzim siklooksigenase mampu menekan gejala-


gejala tersebut. Enzim ada dalam dua bentuk (isoform) , yaitu
siklooksigenase-1 (COX-1) dan siklooksigenase-2 (COX-2). COX-1
merupakan enzim konstitutif yang mengkatalisis pembentukan prostonoid
regulatoris pada berbagai jaringan, terutama pada selaput lendir saluran
pencernaan, ginjal, platelet dan epitel pembuluh darah. COX-2 tidak
konstitutif tetapi dapat diinduksi, seperti bila ada stimulasi radang
mitogenesis atau onkogenesis terbentuk prostonoid yang merupakan
mediator radang.6

Efek OAINS Pada Lambung ASA sangat iritatif tetapi yang paling
bertahan lama dan merupakan analgetik efektif, dengan durasi kerja sekitar
4 jam. Namun lebih dari 50% pasien tidak dapat mentoleransi efek
sampingnya (mual, muntah dan nyeri epigastrium). Timbulnya mual,
dispepsia, anoreksia, rasa sakit di lambung, flatulen, diare terjadi pada 10-
60% pasien, karena aspirin dapat mengiritasi lambung dan menghambat
pertahanan lambung (Johnson et al., 2007). OAINS merusak mukosa
lambung melalui 2 mekanisme yaitu, tropikal dan sistemik. Kerusakan
mukosa secara topikal terjadi karena OAINS bersifat asam dan lipofilik,
sehingga mempermudah trapping H + masuk mukosa dan menimbulkan
kerusakan.

Efek sistemik OAINS menghambat sintesa prostaglandin


(Takeuchi et al., 1998). Seperti diketahui prostaglandin merupakan
substansi sitoprotektif yang sangat penting bagi mukosa lambung atau
sebagai gastroprotektif ( Hansen dan Elliot, 2005). Di dalam lambung
COX-1 menghasilkan prostaglandin (PGE2 dan PGI2) yang menstimulasi
mukus dan sekresi bikarbonat serta menyebabkan vasodilatasi, suatu aksi
yang menjaga mukosa lambung. OAINS nonselektif menghambat COX-1
dan mengurangi efek sitoprotektif prostaglandin sehingga dapat
menyebabkan efek samping yang serius pada gastrointestinal atas,
termasuk perdarahan dan ulserasi.6
71

Aspirin (Asam Asetil Salisilat) Obat anti radang bukan steroid atau
yang lazim dinamakan non streroidal anti inflammatory drugs (NSAIDs)
atau anti inflamasi non steroid (OAINS) adalah golongan obat yang
bekerja terutama di perifer yang berfungsi sebagai analgesik (pereda
nyeri), antipirektik (penurun panas) dan antiinflamasi (anti radang). Obat
asam asetil salisilat (aspirin) ini mulai digunakan pertama kalinya untuk
pengobatan simptomatis penyakit-penyakit rematik pada tahun 1899
sebagai obat anti radang bukan steroid sintetik dengan kerja antiradang
yang kuat.6
Obat anti radang bukan steroid diindikasikan pada penyakit-
penyakit rematik yang disertai radang seperti rheumatoid dan osteoartritis
untuk menekan reaksi peradangan dan meringankan nyeri. Dibandingkan
dengan obat antiradang bukan steroid yang lain, penggunaan asam asetil
salisilat jauh lebih banyak, bahkan termasuk produk farmasi yang paling
banyak digunakan dalam pengobatan dengan kebutuhan dunia mencapai
36.000 ton per tahun. Obat antiradang nonsteroid (OAINS).dibagi dalarn 8
golongan yaitu turunan asam salisilat (asam asetil salisilat dan diflunisal),
turunan pirazolon (fenilbutazon, oksifenbutazon, antipirin dan
arninopirin), turunan paraaminofenol (fenasetin), Indometasin
(indometasin dan sulindak), turunan asam propionat (ibuprofen,
naproksen, fenoprofen, ketoprofen dan flurbiprofen), turunan asam
antranilat (asam flufenamat dan asam mafenamat), obat antiradang yang
tidak mempunyai penggolongan tertentu (tolmetin, piroksikam,
diklofenak, etodolak, nebumeton, senyawa emas) dan obat pirro (gout),
kolkisin, alopurinol. Asam asetil salisilat (ASA) yang lebih dikenal
sebagai asetosal adalah analgetik, antipiretik dan antiinflamasi yang sangat
luas digunakan dan digolongkan dalam obat bebas.
Mekanisme Kerja Aspirin (Asam Asetil Salisilat) Pada pemberian
oral, sebagian salisilat diabsorbsi dengan daya absorbsi 70% dalam bentuk
utuh dalam lambung, tetapi sebagian besar absorbsi terjadi dalam usus
halus bagian atas. Sebagian AAS dihidrolisa, kemudian didistribusikan ke
72

seluruh tubuh. Salisilat segera menyebar ke seluruh tubuh dan cairan


transeluler setelah diabsorbsi. Kecepatan absorbsi tergantung dari
kecepatan disintegrasi dan disolusi tablet, pH permukaan mukosa dan
waktu pengosongan lambung. Salisilat dapat ditemukan dalam cairan
sinovial, cairan spinal, liur dan air susu. Kadar tertingggi dicapai kira-kira
2 jam setelah pemberian.6
Sediaan OAINS memiliki aktivitas penghambat radang dengan
mekanisme kerja menghambat biosintesis prostaglandin dari asam
arakhidonat melalui penghambatan aktivitas enzim siklooksigenase.
Berbeda dengan OAINS lainnya, AAS merupakan inhibitor irreversibel
siklooksigenase (COX). Kerusakan yang terjadi pada sel dan jaringan
karena adanya noksi akan membebaskan berbagai mediator substansi
radang. Asam arakhidonat mulanya merupakan komponen normal yang
disimpan pada sel dalam bentuk fosfolipid dan dibebaskan dari sel
penyimpan lipid oleh asil hidrosilase sebagai respon adanya noksi. Asam
arakidonat kemudian mengalami metabolisme menjadi dua alur. Alur
siklooksigenase yang membebaskan prostaglandin, prostasiklin,
tromboksan.
Alur lipoksigenase yang membebaskan leukotrien dan berbagai
substansi seperti HPETE (Hydroperoxieicosatetraenoic) Prostaglandin
yang dihasilkan melalui jalur siklooksigenase berperan dalam proses
timbulnya nyeri, demam dan reaksi-reaksi peradangan. Selain itu,
prostaglandin juga berperanan penting pada proses-proses fisiologis
normal dan pemeliharaan fungsi regulasi berbagai organ. Pada selaput
lendir saluran pencernaan, prostaglandin berefek protektif dengan
meningkatkan resistensi selaput lendir terhadap iritasi mekanis, osmotis,
termis atau kimiawi. Karena prostaglandin berperan dalam proses
timbulnya nyeri, demam, dan reaksi peradangan, maka AAS melalui
penghambatan aktivitas enzim siklooksigenase mampu menekan gejala-
gejala tersebut.6
73

Enzim ada dalam dua bentuk (isoform) , yaitu siklooksigenase-1


(COX-1) dan siklooksigenase-2 (COX-2). COX-1 merupakan enzim
konstitutif yang mengkatalisis pembentukan prostonoid regulatoris pada
berbagai jaringan, terutama pada selaput lendir saluran pencernaan, ginjal,
platelet dan epitel pembuluh darah. COX-2 tidak konstitutif tetapi dapat
diinduksi, seperti bila ada stimulasi radang mitogenesis atau onkogenesis
terbentuk prostonoid yang merupakan mediator radang.6
Efek OAINS Pada Lambung ASA sangat iritatif tetapi yang paling
bertahan lama dan merupakan analgetik efektif, dengan durasi kerja sekitar
4 jam. Namun lebih dari 50% pasien tidak dapat mentoleransi efek
sampingnya (mual, muntah dan nyeri epigastrium). Timbulnya mual,
dispepsia, anoreksia, rasa sakit di lambung, flatulen, diare terjadi pada 10-
60% pasien, karena aspirin dapat mengiritasi lambung dan menghambat
pertahanan lambung (Johnson et al., 2007). OAINS merusak mukosa
lambung melalui 2 mekanisme yaitu, tropikal dan sistemik. Kerusakan
mukosa secara topikal terjadi karena OAINS bersifat asam dan lipofilik,
sehingga mempermudah trapping H + masuk mukosa dan menimbulkan
kerusakan.
Efek sistemik OAINS menghambat sintesa prostaglandin
(Takeuchi et al., 1998). Seperti diketahui prostaglandin merupakan
substansi sitoprotektif yang sangat penting bagi mukosa lambung atau
sebagai gastroprotektif ( Hansen dan Elliot, 2005). Di dalam lambung
COX-1 menghasilkan prostaglandin (PGE2 dan PGI2) yang menstimulasi
mukus dan sekresi bikarbonat serta menyebabkan vasodilatasi, suatu aksi
yang menjaga mukosa lambung. OAINS nonselektif menghambat COX-1
dan mengurangi efek sitoprotektif prostaglandin sehingga dapat
menyebabkan efek samping yang serius pada gastrointestinal atas,
termasuk perdarahan dan ulserasi.6
74

d. Histamine-2 Receptor Antagonist (H2RA)

Simetidin, ranitidin, famotidin, dan nizatidin. Kerja antagonis


reseptor H2 yang paling penting adalah mengurangi sekresi asam lambung.
Obat ini menghambat sekresi asam yang dirangsang histamin, gastrin,
obat-obat kolinomimetik dan rangsangan vagal. Volume sekresi asam
lambung dan konsentrasi pepsin juga berkurang.5

Mekanisme kerjanya memblokir histamin pada reseptor H2 sel


pariental sehingga sel pariental tidak terangsang mengeluarkan asam
lambung. Inhibisi ini bersifat reversibel.Simetidin, ranitidin dan famotidin
kecil pengaruhnya terhadap fungsi otot polos lambung dan tekanan
sfingter esofagus yang lebih bawah. Sementara terdapat perbedaan potensi
yang sangat jelas diantara efikasinya dibandingkan obat lainnya dalam
mengurang sekresi asam. Nizatidin memacu aktifitas kontraksi asam
lambung, sehingga memperpendek waktu pengosongan lambung.

ARH-2 secara selektif dan kompetitif menghambat pengikatan


histamin pada reseptor H-2, selanjutnya menurunkan konsentrasi c-AMP
dan menurunkan sekresi ion hidrogen pada sel parietal.12 Secara struktural
ARH-2 tidak menyerupai antagonis reseptor H-1 ,sehingga relatif tidak
mempengaruhi efek penghambatan pada reseptor H-1 ataupun reseptor
autonomik.5
75

Gambar 1.11 Struktur kimia histamin dan 4 jenis ARH-2.5

e. Prokinetik

Obat ini digunakan untuk mengatasi mual dan muntah, serta


gangguan pengosongan lambung (Gastroparesis). Lambatnya pengosongan
lambung akan menimbulkan rasa tidak nyaman, seperti rasa sakit, perut
penuh, kembung, mual, sendawa, dan rasa terbakar.6

Obat ini akan bekerja dengan membantu meningkatkan gerak


peristaltik dan motilitas usus, sehingga makanan dapat bergerak lebih
cepat. Selain itu, efek anti-muntahnya diperantarai oleh kemampuannya
dalam menghambat chemoreceptor trigger zone, bagian tubuh yang
terhubung dengan pusat muntah. Untuk mendapatkan efek yang optimal,
obat ini harus digunakan dengan tepat. Obat ini sebaiknya dikonsumsi
dalam perut kosong, yaitu sebelum makan. Alasannya dikarenakan
makanan dapat menunda penyerapan obat.6
76

Lama pengobatan sebainya dilakukan tidak lebih dari satu minggu.


Untuk menjamin keamanannya, perhatikan peringatan terhadap kondisi
khusus di mana obat ini tidak sebaiknya digunakan. Pasien dengan kondisi
berikut sebaiknya tidak mengonsumsi obat ini:

a) Memiliki riwayat alergi terhadap obat ini


b) Penderita gangguan usus serius, seperti perdarahan internal atau
perforasi lambung/usus
c) Penderita tumor kelenjar pituitari (prolaktinoma)
d) Penderita gangguan hati tingkat sedang atau parah
e) Penderita gangguan jantung. Obat ini dapat memengaruhi kecepatan
denyut nadi. Risikonya lebih besar terjadi pada pasien berumur lebih
dari 60 tahun atau pada penggunaan dengan dosis lebih dari 30
mg/hari
f) Intoleransi terhadap laktosa (lactose intolerance), galaktosemia atau
malabsorbsi glukosa/galaktosa. Tablet obat ini mungkin mengandung
laktosa.

Obat ini termasuk antagonis reseptor dopamin pada sistem saraf


perifer. Saat reseptor dopamin dihambat, terjadi peningkatan gerak
peristalsis kerongkongan, motilitas usus, koordinasi lambung dengan usus,
serta penurunan tekanan esophageal sphincter. Efek inilah yang
memfasilitasi percepatan pengosongan lambung. Selain itu, efek anti-
muntah obat juga disebabkan karena inhibisi atau penghambatan reseptor
dopamin yang ada pada chemoreceptor trigger zone, suatu zona yang
memiliki koneksi dengan pusat muntah. Selama menggunakan obat ini,
efek lain yang tidak diinginkan mungkin saja terjadi. Efek ini disebut juga
efek samping. Efek samping tidak diharapkan terjadi pada tubuh anda
selama pengobatan.6
77

Efek Samping Domperidone

Berikut efek lain yang mungkin saja terjadi selama mengonsumsi obat ini:

 Efek samping yang paling sering terjadi adalah mulut kering.


 Efek samping lain yang jarang tapi mungkin terjadi adalah sakit kepala,
mengantuk, diare, ruam, kemerahan pada kulit, mudah lelah, dan
cemas.
 Kehilangan libido, galaktorea, reaksi alergi (termasuk syok anafilaktik),
kejang, gangguan sistem gerak, dan aritmia juga bisa saja terjadi.6

f. Sulkralfat

Senyawa aluminium sukrosa sulfat ini membentuk polimer mirip


lem dalam suasana asam dan terikat pada jaringan nekrotik tukak secara
selektif. Sukralfat hampir tidak diabsorpsi secara sistemik. Obat yang
bekerja sebagai sawar terhadap HCl dan pepsin ini terutama efektif
terhadap tukak duodenum. Suasana asam diperlukan untuk mengaktifkan
obat ini, sehingga pemberian bersama AH-2 atau antasid akan menurunkan
biovailabilitasnya.6

Indikasi. Sukralfat sama efektifnya dengan simetidin untuk


pengobatan tukak lambung dan tukak duodenum. Data terbatas
menunjukkan bahwa derajat kekambuhan ulkus lebih rendah setelah
pemberian sukralfat.

Efek Samping. Dari suatu penelitian, kira-kira 4,7 % pasien


mengalami efek samping dan yang tersering adalah konstipasi. Sukralfat
mengandung aluminium, sehingga penggunaannya pada pasien gagal
ginjal harus hati-hati. Data keamanannya pada wanita hamil belum ada,
jadi sebaiknya tidak digunakan.6
78

Interaksi. Sukralfat dapat mengganggu absorpsi tetrasiklin,


warfarin, fenitoin dan digoksin. sehingga dianjurkan untuk diberikan
dengan interval 2 jam. Sukralfat juga menurunkan bioavailabilitas
siprofloksasin dan norfloksasin, sehingga untuk menghindari kegagalan
pengobatan dengan antibibtika ini, jangan diberikan secara bersamaan.

Dosis. Dewasa, untuk tukak duodenum dan tukak peptik 1 g, 4 kali sehari
dalam keadaan lambung kosong (1 jam sebelum makan), selama 4-8
minggu. Pemberian antasid untuk mengurangi nyeri dapat diberikan
dengan interval 1 jam setelah sukralfat. Untuk pencegahan stress ulcer
diberikan 1 g, 6 kali sehari sebagai suspensi oral.6

g. Antibiotik
1) Kotrimoksazol

Trimethoprim dan silfametoksazol menghambat reaksi enzimatik


obligat pada dua tahap yang berurutan pada mikroba, sehingga dua
kombinasi kedua obat ini dikenal dengan nama kotrimoksazol. Spectrum
antibakteri trimethoprim sama dengan sulfametoksazol, meskipun daya
antibakterina 20-100 kali lebih kuat daripada sulfametoksazol.6

Mekanisme Kerja

Aktivitas antibakteri kotrimoksazol berdasarkan atas kerjanya pada


dua tahap yang berurutan dalam reaksi enzimatik untuk membentuk asam
tetrahidrofolat. Sulfonamid menghambat masuknya molekul PABA ke
dalam molekul asam folat dan trimethoprim menghambat terjadinya reaksi
reduksi dari dihdrofolat menjadi tetrahidrofolat. Tetrahidrofolat penting
untuk reaksi pemindahan atom C, seperti pembentukan basa purin dan
beberapa asam amino (metionin, glisin). Trimethoprim menghambat enzim
dihidrofolat reduktase mikroba secara sangat selektif. Hal ini penting,
karena enzim tersebut juga terdapat pada sel mamalia.6
79

Farmakokinetik

Rasio kadar sulfametoksazol dan trimethoprim yang ingin dicapai


dalam darah ialah sekitar 20 banding 1. Karena sifatnya yang lipofilik,
trimethoprim mempunyai volume distribusi yang lebih besar daripada
sulfametoksazol. Dengan memberikan sulfametoksazol 800 mg dan
trimethoprim 160 mg per oral (rasio sulfametoksazol : trimethoprim = 5 :
1) dapat duperoleh rasio kadar kedua obat tersebut dalam darah kurang
lebih 20 banding 1.6

Trimethoprim cepat didistribusi ke dalam jaringan dan kira-kira


40% terikat pada protein plasma dengan adanya sulfametoksazol. Obat
masuk ke Cairan Serebro Spinal dan saliva dengan mudah. Masing-masing
komponen juga ditemukan dalam kadar tinggi di dalam empedu. Kira-kira
65% sulfametoksazol terikat pada protein plasma. Sampai 60%
trimethoprim dan 25-50% sulfametoksazol dieksresi melalui urine dalam
24 jam setelah pemmberian. Dua pertiga dari dulfonamid tidak mengalami
konjugasi. Metabolit trimethoprim ditemukan juga di urine. Pada pasien
uremia, kecepatan eksresi dan kadar urine kedua obat menurun.

2) Amoksisillin

Amoksisilin adalah bakterisidal yang rentan terhadap organisme


melalui penghambatan biosintesis dinding sel mukopeptida selama tahap
penggandaan bakteri. Amoksisilin lebih efektif melawan mikroorganisme
gram positif dibanding gram negatif, dan mendemonstrasikan efikasi lebih
baik disbanding penisillin, penisillin V dan dibanding antibiotik lain dalam
pengobatan penyakit atau infeksi yang beragam.

Amoksisilin bekerja dengan mengikat pada ikatan penisilin protein


1A (PBP-1A) yang berlokasi didalam dinding sel bakteri. Penisillin
(amoksisilin) mengasilasi penisilin-mensensitifkan transpeptidase C-
terminal domain dengan membuka cincin laktam menyebabkan inaktivasi
enzim, dan mencegah pembentukan hubungan silang dari dua untai
80

peptidoglikan linier, menghambat fase tiga dan terakhir dari sintesis


dinding sel bakteri, yang berguna untuk divisi sel dan bentuk sel dan
proses esensial lain dan lebih mematikan dari penisillin untuk bakteri yang
melibatkan mekanisme keduanya litik dan non litik.6
81

DAFTAR PUSTAKA

1. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia. Konsensus Nasional

Penatalaksanaan Dispepsia dan Infeksi Helicobacter pylori. Jakarta : PGI ;

2014.

2. Jurnalis YD, Sayoeti Y, Widiasteti. Eosinofilik Esofagitis. Padang : Jurnal

Kesehatan Andalas; 2013.

3. Saputera MD, Budianto W. Diagnosis dan Tatalaksana Gastroesophageal

Reflux Disease (GERD) di Pusat Pelayanan Kesehatan Primer. Jakarta :

CDK-252/ Vol. 44 No. 5 ; 2017.

4. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF.

Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi ke-6. Jakarta; Interna

Publishing; 2014.

5. Katzung BG, Masters SB, Trevor AJ. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi-

2. Jakarta: EGC; 2017.

6. Syarif A, Estuningtyas A, Setiawati A, Muchtar A, Arif A, Bahry B.

Farmakologi Dan Terapi. Edisi 6. Jakarta : FK UI ; 2016.

Anda mungkin juga menyukai