Skenario 1
Nyeri Epigastrium
STEP 1
STEP 2
STEP 3
↓ BB
Makan malam 2-3 jam sebelum tidur
Hindari makanan pemicu
Berhenti merokok
Tidak mengkonsumsi alkohol
Farmako
o PPI ( Omiprazol 20mg )
o H2 : 𝛽 − 𝑏𝑙𝑜𝑐𝑘𝑒𝑟 ( 𝑅𝑎𝑛𝑖𝑡𝑖𝑑𝑖𝑛 )
STEP 4
Pencampuran
Pengosongan
2. Perubahan pola makan, stress → SSPN Nervus Vagus → Prostaglandin
→ HCL ↑ → Tubulus → Nyeri visceral → saraf otonom
Perubahan pola makan → pengosongan terlalu lama → lambung
merangsang →HCL ↑→ Refluks
Nyeri parietal → serabut saraf A& C
3. Kelainan mortilitas usus → keterlambatan pengosongan makan →
peningkatan asama lambung
Usia → ↓ kerja organ tersebut
H. pylori → Peradangan
Hormon
Hamil → Sfingter ↓ →kadar progesteron ↑
Monopouse → Sfingter ↓ → refluks lambung esophagus → GERD
4. Duodenum, lambung → Sel pancreas & urin masuk ke lambung →
Nyeri epigastrium
5. Bernstein → HCL ( Sensasi heart burn )
GERD → Kerusakan dinding esophagus
6. Non-formako,edukasi → jaangan telat makan
Farmako :
Amperazol → 2 x 20mg
Panrtoprazol → 2 x 40mg
5
Mind Map
Gastritis
Esofagitis
Penegakan Faktor
Diagnosis resiko
Tata-
Farmako
laksana
Non-
farmako
STEP 5
STEP 6
Belajar Mandiri
6
STEP 7
1. DISPEPSIA
Dispepsia merupakan rasa tidak nyaman yang berasal dari daerah
abdomen bagian atas. Rasa tidak nyaman tersebut dapat berupa salah satu
atau beberapa gejala berikut yaitu: nyeri epigastrium, rasa terbakar di
epigastrium, rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, rasa kembung pada
saluran cerna atas, mual, muntah, dan sendawa. Untuk dispepsia
fungsional, keluhan tersebut di atas harus berlangsung setidaknya selama
tiga bulan terakhir dengan awitan gejala enam bulan sebelum diagnosis
ditegakkan.1
A. Etiologi
Sindrom atau keluhan ini dapat disebabkan atau didasari oleh
berbagai penyakit, tentunya termasuk juga di dalamnya penyakit yang
mengenai lambung, atau yang lebih dikenal sebagai penyakit maag.
Dispepsia fungsional, pada tahun 2010, dilaporkan memiliki tingkat
prevalensi tinggi, yakni 5% dari seluruh kunjungan ke sarana layanan
kesehatan primer. Bahkan, sebuah studi tahun 2011 di Denmark
mengungkapkan bahwa 1 dari 5 pasien yang datang dengan dispepsia
ternyata telah terinfeksi H. pylori yang terdeteksi setelah dilakukan
pemeriksaan lanjutan.1
B. Faktor Resiko
Individu dengan karakteristik berikut ini lebih berisiko mengalami
dispepsia: konsumsi kafein berlebihan, minum minuman beralkohol,
merokok, konsumsi steroid dan OAINS, serta berdomisili di daerah
dengan prevalensi H. pylori tinggi.1
7
C. Patofisiologi
Dispepsia fungsional disebabkan oleh beberapa faktor utama,
antara lain gangguan motilitas gastroduodenal, infeksi Hp, asam lambung,
hipersensitivitas viseral, dan faktor psikologis. Faktor-faktor lainnya yang
dapat berperan adalah genetik, gaya hidup, lingkungan, diet dan riwayat
infeksi gastrointestinal sebelumnya.1
1) Peranan gangguan motilitas gastroduodenal
Gangguan motilitas gastroduodenal terdiri dari penurunan
kapasitas lambung dalam menerima makanan (impaired gastric
accommodation), inkoordinasi antroduodenal, dan perlambatan
pengosongan lambung. Gangguan motilitas gastroduodenal
merupakan salah satu mekanisme utama dalam patofisiologi dispepsia
fungsional, berkaitan dengan perasaan begah setelah makan, yang
dapat berupa distensi abdomen, kembung, dan rasa penuh.
2) Peranan hipersensitivitas visceral
Hipersensitivitas viseral berperan penting dalam patofisiologi
dispepsia fungsional, terutama peningkatan sensitivitas saraf sensorik
perifer dan sentral terhadap rangsangan reseptor kimiawi dan reseptor
mekanik intraluminal lambung bagian proksimal. Hal ini dapat
menimbulkan atau memperberat gejala dispepsia.
3) Peranan faktor psikososial
Gangguan psikososial merupakan salah satu faktor pencetus yang
berperan dalam dispepsia fungsional. Derajat beratnya gangguan
psikososial sejalan dengan tingkat keparahan dispepsia. Berbagai
penelitian menunjukkan bahwa depresi dan ansietas berperan pada
terjadinya dispepsia fungsional.
4) Peranan asam lambung
Asam lambung dapat berperan dalam timbulnya keluhan dispepsia
fungsional. Hal ini didasari pada efektivitas terapi anti-sekretorik
asam dari beberapa penelitian pasien dispepsia fungsional. Data
8
D. Penegakan Diagnosis
Dispepsia yang telah diinvestigasi terdiri dari dispepsia organik
dan fungsional. Dispepsia organik terdiri dari ulkus gaster, ulkus
duodenum, gastritis erosi, gastritis, duodenitis dan proses keganasan.
Dispepsia fungsional mengacu kepada kriteria Roma III. Kriteria Roma III
belum divalidasi di Indonesia. Konsensus Asia-Pasifik (2012)
memutuskan untuk mengikuti konsep dari kriteria diagnosis Roma III
dengan penambahan gejala berupa kembung pada abdomen bagian atas
yang umum ditemui sebagai gejala dispepsia fungsional.1
Dispepsia menurut kriteria Roma III adalah suatu penyakit dengan
satu atau lebih gejala yang berhubungan dengan gangguan di
gastroduodenal:
Nyeri epigastrium
Rasa terbakar di epigastrium
Rasa penuh atau tidak nyaman setelah makan
Rasa cepat kenyang
Gejala yang dirasakan harus berlangsung setidaknya selama tiga
bulan terakhir dengan awitan gejala enam bulan sebelum diagnosis
ditegakkan. Kriteria Roma III membagi dispepsia fungsional menjadi 2
subgrup, yakni epigastric pain syndrome dan postprandial distress
syndrome. Akan tetapi, bukti terkini menunjukkan bahwa terdapat
tumpang tindih diagnosis dalam dua pertiga pasien dispepsia.1
9
E. Tatalaksana
1) Dispepsia belum diinvestigasi
Strategi tata laksana optimal pada fase ini adalah memberikan
terapi empirik selama 1-4 minggu sebelum hasil investigasi awal, yaitu
pemeriksaan adanya Hp. Untuk daerah dan etnis tertentu serta pasien
dengan faktor risiko tinggi, pemeriksaan Hp harus dilakukan lebih
awal. Obat yang dipergunakan dapat berupa antasida, antisekresi asam
lambung (PPI misalnya omeprazole, rabeprazole dan lansoprazole
dan/atau H2-Receptor Antagonist [H2RA]), prokinetik, dan
sitoprotektor (misalnya rebamipide), di mana pilihan ditentukan
berdasarkan dominasi keluhan dan riwayat pengobatan pasien
sebelumnya. Masih ditunggu pengembangan obat baru yang bekerja
melalui down-regulation proton pump yang diharapkan memiliki
mekanisme kerja yang lebih baik dari PPI, yaitu DLBS 2411. Terkait
dengan prevalensi infeksi Hp yang tinggi, strategi test and treat
diterapkan pada pasien dengan keluhan dispepsia tanpa tanda bahaya.1
Test and treat dilakukan pada:
Pasien dengan dispepsia tanpa komplikasi yang tidak berespon
terhadap perubahan gaya hidup, antasida, pemberian PPI tunggal
selama 2-4 minggu dan tanpa tanda bahaya.
Pasien dengan riwayat ulkus gaster atau ulkus duodenum yang
belum pernah diperiksa.
Pasien yang akan minum OAINS, terutama dengan riwayat ulkus
gastroduodenal.
Anemia defisiensi besi yang tidak dapat dijelaskan, purpura
trombositopenik idiopatik dan defisiensi vitamin B12.
Test and treat tidak dilakukan pada: Penyakit refluks
gastroesofageal (GERD), anak-anak dengan dispepsia fungsional.1
11
2. EOSINOFILIK ESOFAGITIS
A. Etiologi
Eosinofilik esofagitis merupakan peradangan pada esofagus yang
ditandai infiltrasi eosinofil pada mukosa superfisial esofagus yang
berhubungan dengan alergi makanan, infeksi, gastroesophageal reflux dan
keadaan atopi seperti asma, rinitis, dermatitis atopi. Etiologi eosinofilik
esofagitis belum sepenuhnya dipahami. Masih tanda tanya apakah
eosinofilik esofagitis didasari oleh gangguan alergi, akibat respon
imunologi abnormal atau sekunder penyakit refluks berat menunjukkan
hubungan antara antigen makanan dengan eosinofilik esofagitis, dengan
14
B. Faktor Resiko
Faktor risiko esofagitis ini bervariasi, tergantung pada
penyebabnya. Esofagitis karena GERD Jika esofagitis ini disebabkna oleh
GERD, maka berikut faktor risikonya langsung tidur setelah makan
mengonsumsi makanan yang terlalu banyak lemak, mengonsumsi
makanan yang memperburuk GERD , seperti buah jeruk, kafein, alkohol,
makan pedas, bawang putih, bawang bombay, serta makanan rasa mint.
Esofagitis karena Alergi.
Faktor risiko esofagitis jika disebabkan oleh alergi riwayat reaksi
alergi tertentu, termasuk rhinitis alergi, asma, dan dermatitis atopik,
riwayat keluarga untuk eosinophilic esophagitis. Esofagitis karena Obat
Faktor risiko esofagitis karena obat sebagai berikut, menelan pil dengan air
yang sedikit atau bahkan tidak sama sekali Menelan obat sambil berbaring,
mengonsumsi obat tepat sebelum tidur.2
15
C. Patofisiologi
D. Penegakan Diagnosis
1) Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Mayoritas pasien berjenis kelamin laki-laki, biasanya dengan satu
atau lebih gejala klinis antara lain muntah, regurgitasi, nausea, nyeri dada
atau epigastrium, nafsu makan menurun, dapat juga terjadi gagal tumbuh,
hematemesis, dismotilitas esofagus dan disfagia. Gejala dapat lebih sering
dan berat pada beberapa pasien sedangkan pada pasien yang lain gejala
lebih ringan. Umumnya pasien mengalami disfagia tiap hari atau nausea
kronik atau regurgitasi sementara yang lain mungkin memiliki disfagia
episode jarang. Sekitar lebih 50% pasien dengan gejala tambahan alergi
seperti asma, eksema atau rhinitis, dan lebih 50% pasien memiliki orang.
tua dengan riwayat alergi.
Tabel 1.2 Karakterikstik eosinofilik esofagitis.2
2) Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Gambaran laboratorium belum ada yang dipaparkan secara jelas
pada eosinofilik esofagitis oleh karena sensitivitas dan spesifisitas tes
laboratorium belum diketahui. Ada variabilitas dalam mendefinisikan level
untuk "perifer eosinofilia", dilaporkan eosinofil abnormal berkisar lebih
18
dari 350 eosinofil per mm3 sampai lebih dari 800 eosinofil per mm3.
Beberapa laporan tidak menentukan jumlah eosinofil darah yang
merupakan diagnosis eosinofilia. Secara keseluruhan, 10%-50% dari orang
dewasa dan 20%-100% dari anak memiliki peningkatan jumlah eosinofil
perifer tetapi biasanya hanya sedikit meningkat. Setelah pengobatan
dengan flutikason, 88% dari pasien menunjukkan hitung eosinofil darah
menurun. Evaluasi eosinofil darah perifer dapat memberikan bukti yang
mendukung untuk eosinofilik esofagitis dan tingkat keterlibatan jaringan
tetapi tidak diagnostik, dan korelasi dengan aktivitas penyakit belum
diketahui.2
b. Radiologi
Pemeriksaan radiologis anak dengan eosinofilik esofagitis biasanya
normal. Kadang ditemukan penyempitan esofagus adalah paling mungkin
sekunder terhadap penebalan dinding esofagus. Tes diagnostik yang paling
umum saat ini untuk mendeteksi eosinofilik esofagitis adalah pemeriksaan
barium. Zimmerman dikutip Furuta dkk, 9 secara retrospektif dari 14
pasien eosinofilik esofagitis mendapatkan 10 pasien dengan striktur
esophagus, 10 pasien hiatus hernia dan 9 pasien dengan refluks.
c. Endoskopi
Gambaran klasik eosinofilik esofagitis adalah feline esophagus,
corrugated esophagus, ringed esophagus, atau concentric mucosal rings.
Esofagus kecil dengan diameter internal yang sempit dengan atau tanpa
stenosis esophagus proksimal dapat jadi gambaran utama. Eksudat putih,
vesikel atau papul dan hilangnya pola vaskular menunjukkan area fokus
infiltrasi eosinofil. Esofagus rapuh disebut crepe paper mukosa. Ini
menjelaskan air mata esofagus mengikuti dilatasi saat merawat disfagia
berhubungan dengan menyempitnya esofagus atau struktur cincin ( seperti
striktura). Gambaran endoskopi yang umum adalah cincin mukosa (81%),
alur-alur (74%), penyempitan (31%), eksudat (15%), ukuran kecil (10%),
dan edema (8%).9 Penelitian Hasosah dkk di Saudi Arabia mendapatkan
gambaran endoskopi eosinofilik esofagitis berupa trachealization dan
19
esofagus, sangat tebal dan hampir seperti nodular. Pada gambar B tampak
dinding esofagus yang berkerut paling menonjol terutama sepanjang
dinding kiri lateral dan gambar C tampak garis vertikal sepanjang mukosa
esofagus. Keadaan ini sering kali muncul ketika esofagus mengembang.2
E. Penatalaksanaan
1) Terapi diet
Beberapa cara terapi diet dan terapi obat tergantung kepada
gambaran penyakit. Penghentian makanan penyebab alergi telah terbukti
berhasil menghilangkan gejala dan kelainan histologist pada pasien
eosinofilik esofagitis. Eliminasi makanan penyebab dapat dilakukan
mengikuti beberapa cara. Pertama, dengan mengeliminasi makanan
spesifik melalui uji khusus alergen yaitu skin prick dan patch test untuk
mengidentifikasi makanan penyebab alergi dan riwayat alergi makanan,
selanjutnya menghentikan paparan makanan tersebut. Kedua, penghentian
makanan secara empiris yaitu jenis makanan yang paling sering
menimbulkan alergi.
2) Terapi farmakologis
Kortikosteroid adalah pengobatan yang efektif untuk eosinofilik
esofagitis. Tetapi gejala klinis dan histologis eosinofil kembali berulang
setelah obat dihentikan. Terapi kortikosteroid sistemik jangka lama tidak
dianggap terapi ideal karena efek samping yang ditimbulkannya.
Kortikosteroid oral jangka pendek dapat diberikan pada pasien dengan
strikturaesofagus atau esofagus sempit, penurunan berat badan atau
ketidakmampuan menelan makanan/cairan. Prednison dosis 1-2
mg/kgbb/hari maksimum 60 mg/hari dapat diberikan.14 Perbaikan secara
klinis dan histologis terjadi pada 90% pasien yang menggunakan
kortikosteroid sistemik dan rekuren 95% jika terapi telah dihentikan.
3) Terapi endoskopi
Dilatasi esofagus merupakan terapi yang bermanfaat untuk
eosinofilik esofagitis dengan striktura esofagus. Perawatan harus diberikan
saat dilakukan dilatasi karena laserasi mukosa dan perforasi esofagus dapat
terjadi. Terapi diet atau terapi steroid dianjurkan sebelum dilakukan
dilatasi.2
B. Faktor Resiko
Beberapa faktor risiko GERD adalah sebagai berikut:
1) Obat-obatan, seperti teofilin, antikolinergik, beta adrenergik, nitrat,
calcium-channel blocker
2) Makanan, seperti cokelat, makanan berlemak, kopi, alkohol, dan
rokok.
3) Hormon, umumnya terjadi pada wanita hamil dan menopause. Pada
wanita hamil, menurunnya tekanan LES terjadi akibat peningkatan
kadar progesteron. Sedangkan pada wanita menopause, menurunnya
tekanan LES terjadi akibat terapi hormon estrogen.
24
C. Patofisiologi
GERD terjadi akibat adanya ketidakseimbangan antara faktor
ofensif dan defensif dari sistem pertahanan esofagus dan bahan refluksat
lambung. Yang termasuk faktor defensif sistem pertahanan esofagus
adalah LES, mekanisme bersihan esofagus, dan epitel esofagus. LES
merupakan strukur anatomi berbentuk sudut yang memisahkan esofagus
dengan lambung. Pada keadaan normal, tekanan LES akan menurun saat
menelan sehingga terjadi aliran antegrade dari esofagus ke lambung.3
Pada GERD, fungsi LES terganggu dan menyebabkan terjadinya
aliran retrograde dari lambung ke esofagus. Terganggunya fungsi LES
pada GERD disebabkan oleh turunnya tekanan LES akibat penggunaan
obat-obatan, makanan, faktor hormonal, atau kelainan struktural.
Mekanisme bersihan esofagus merupakan kemampuan esofagus
membersihkan dirinya dari bahan refluksat lambung; termasuk faktor
gravitasi, gaya peristaltik esofagus, bersihan saliva, dan bikarbonat dalam
saliva.
Pada GERD, mekanisme bersihan esofagus terganggu sehingga
bahan refluksat lambung akan kontak ke dalam esofagus; makin lama
kontak antara bahan refluksat lambung dan esofagus, maka risiko
esofagitis akan makin tinggi. Selain itu, refluks malam hari pun akan
meningkatkan risiko esofagitis lebih besar. Hal ini karena tidak adanya
gaya gravitasi saat berbaring.3
Mekanisme ketahanan epitel esofagus terdiri dari membran sel,
intercellular junction yang membatasi difusi ion H+ ke dalam jaringan
esofagus, aliran darah esofagus yang menyuplai nutrien-oksigen dan
25
D. Penegakan Diagnosis
Tanda dan gejala khas GERD adalah regurgitasi dan hearburn.
Regurgitasi merupakan suatu keadaan refluks yang terjadi sesaat setelah
makan, ditandai rasa asam dan pahit di lidah. Heartburn adalah suatu rasa
terbakar di daerah epigastrium yang dapat disertai nyeri dan pedih. Dalam
bahasa awam, heartburn sering dikenal dengan istilah rasa panas di ulu
hati yang terasa hingga ke daerah dada. Kedua gejala ini umumnya
dirasakan saat setelah makan atau saat berbaring. Gejala lain GERD adalah
kembung, mual, cepat kenyang, bersendawa, hipersalivasi, disfagia hingga
odinofagia. Disfagia umumnya akibat striktur atau keganasan Barrett’s
esophagus. Sedangkan odinofagia atau rasa sakit saat menelan umumnya
akibat ulserasi berat atau pada kasus infeksi. Nyeri dada non kardiak,
batuk kronik, asma, dan laringitis merupakan gejala ekstraesofageal
penderita GERD.
Berdasarkan Guidelines for the Diagnosis and Management of
Gastroesophageal Reflux Disease yang dikeluarkan oleh American
College of Gastroenterology tahun 1995 dan revisi tahun 2013, diagnosis
GERD dapat ditegakkan berdasarkan sebagai berikut :
1) Empirical Therapy
2) Use of Endoscopy
3) Ambulatory Reflux Monitoring
4) Esophageal Manometry lebih direkomendasikan untuk evaluasi
preoperasi untuk eksklusi kelainan motilitas yang jarang seperti
achalasia atau aperistaltik yang berhubungan dengan suatu kelainan,
misalnya scleroderma.3
27
E. Tatalaksana
Tujuan pengobatan GERD adalah untuk mengatasi gejala,
memperbaiki kerusakan mukosa, mencegah kekambuhan, dan mencegah
komplikasi. Berdasarkan Guidelines for the Diagnosis and Management
of Gastroesophageal Reflux Disease tahun 1995 dan revisi tahun 2013,
terapi GERD dapat dilakukan dengan :
1) Treatment Guideline I: Lifestyle Modification
2) Treatment Guideline II: Patient Directed Therapy
3) Treatment Guideline III: Acid Suppression
30
4. GASTRITIS
A. Etiologi
B. Faktor Resiko
1) Bertambahnya usia: Tukak biasanya terjadi pada individu lebih dari
40 tahun.
2) Infeksi Helicobacter pylori: Satu dari enam orang yang terkena
bakteri ini akan terkena tukak atau maag.
3) Obat anti peradangan non-steroid (contoh ibuprofen)
4) Merokok: Nikotin meningkatkan produksi asam dan mengurangi
lapisan lendir pelindung lambung.
5) Mengkonsumsi alkohol: Alkohol dapat menyebabkan gastritis dengan
meningkatkan sekresi asam dan merusak selaput lendir lambung.
6) Pembedahan besar atau penyakit berat.
7) Riwayat keluarga: Lebih dari 25 persen pasien ulkus peptikum
memiliki riwayat keluarga yang menderita tukak lambung,
dibandingkan dengan 5 persen dari non-ulkus pasien.4
33
C. Patofisiologi
D. Penegakan Diagnosis
Diagnosis ditegakkan. berdasarkan pemeriksaan endoskopi dan
histopatologi. Sebaiknya biopsi dilakukan dengan sesuai dengan update
Sidney system yang mengharuskan mencantumkan topografi. Gambaran
endoskopi yang dapat dijumpai adalah eritema, eksudatif, flat erosion,
raised erosion, perdarahan, edematous. Histopatologi gastritis :
1) Kronik: infiltrat sel mononuklear terutama limfosit. Infiltrat inflamasi
seperti limfosit, sel plasma, histiosit, dan granulosit dalam lamina
propia (dan kadang di dalam kelenjar). Istilah gastritis limfositik
digunakan jika limfosit dideteksi dalam epitel kelenjar. Infiltrat
limfositik intraglanduler yang lebih berat (noduler) merusak dan/atau
secara parsial menggantikan kontinuitas struktur kelenjar. Lesi limfo-
epitelial cukup patognomonik untuk limfoma gaster primer (yang
hampir selalu berhubungan dengan H. pylori).4
E. Penatalaksanaan
5. TUKAK DUODENUM
A. Definisi
Tukak peptik/T P secara anatomis didefinisikan sebagai suatu defek
mukosa/submukosa yang berbatas tegas dapat menembus muskularis
mukosa sampai lapisan serosa sehingga dapat terjadi perforasi. Secara
klinis, suatu tukak adalah hilangnya epitel superfisial atau lapisan lebih
dalam dengan diameter > 5mm yang dapat diamati secara endoskopis atau
radiologis.4
B. Etiologi dan patogenesis
Seperti telah disinggung diatas bahwa etiologi TD yang telah
diketahui sebagai faktor agresif yang merusak pertahanan mukosa adalah
HP, obat anti inflamasi non-steroid, asam lambung/pepsih dan faktor-
faktor Iingkungan serta kelainan satu atau beberapa faktor pertahanan yang
berpengaruh pada kejadian TD.
Faktor-faktor Agresif : Helicobacter pylori, HP adalah bakteri gram
negatif yang dapat hidup dafam suasana asam dalam Iambung/ duodenum
(antrum, korpus dan bulbus), berbentuk kurva/S-shaped dengan ukuran
panjang sekitar 3 um dan diameter 0,5 pm, mempunyai satu atau lebih
fiagel pada salah satu ujungnya. Bakteri ini ditularkan secara feko-oral
atau oral-oral. Di dalam lambung terutama terkonsentrasi dalam antrum,
bakteri ini berada pada lapisan mukus pada permukaan epitei yang
sewaktu-waktu dapat menembus sel-sel epiteI/antar epitel. Bila terjadi
infeksi HP, maka bakteri ini akan melekat pada permukaan epitel dengan
bantuan adhesin sehingga dapat lebih efektif merusak mukosa dengan
melepaskan sejumiah zat sehingga terjadi gastritis akut yang dapat
berianjut menjadi gastritis kronik aktif atau duodentitis kronik aktif.4
40
Untuk terjadi kelainan selanjutnya yang lebih berat seperti tukak atau
kanker iambung ditentukan oleh virulensi HP dan faktor-faktor iain, baik
dari host sendiri, maupun adanya gangguan fisiologis lambung/ duodenum.
Walaupun infeksi HP mempunyai prevalensi yang tinggi. di mana lebih
dari 50% penduduk dunia dikatakan terinfeksi, terutama masyarakat
dengan tingkat kesehatan iingkungan yang rendah, namun hanya sebagian
kecil. yang menunjukkan gejaia kiinik yang lebih berat seperti TP (TDJL),
kanker iambung atau MALT limfoma.4
Apabila terjadi infeksi HP, host akan memberi respons untuk
mengeliminasi/ memusnahkan bakteri ini melalui mobilisasi sel-sel PMN/
limfosit yang menginfiltrasi mukosa secara intensif dengan mengeiuarkan
bermacam macam mediator infiamasi atau sitokin, seperti interleukin 8,
gamma interferon alfa, tumor nekrosis faktor dan lain-lain, yang bersama-
sama dengan reaksi imun yang timbul justru akan menyebabkan kerusakan
sel-sel epitel gastroduodenal yang lebih parah namun tidak berhasil
mengeliminasi bakteri dan infeksi menjadi kronik. Seperti diketahui bahwa
seteiah HP berkoloni secara stabil terutama dalam antrum, maka bakteri
ini‘akan mengeluarkan bermacam-macam sitotoksin yang secara langsung
dapat merusak epitei mukosa gastroduodenal, seperti vacuolating cytotoxin
(Vac A gen) yang menyebabkan vakuoiisasi sel-sei epitei, cytotoxin
associated gen A [CagA gen}. Di samping itu, HP juga melepaskan
bermacam-macam enzim yang dapat merusak sel-sel epitel, seperti urease,
protease, lipase dan fosfolipase. Sitotoksin dan enzim-enzim ini paling
bertanggung-jawab terhadap kerusakan sel-sei epitel. CagA gen
merupakan petanda virulensi HP dan hampir selalu ditemukan pada TP.
Urease memecahkan urea daiam lambung menjadi amonia yang
toksik terhadap sei-sel epitel, sedangkan protease dan fosfoiipase A2
menekan sekresi mukus menyebabkan daya tahan mukosa menurun,
merusak lapisan yang kaya lipid pada apikal sei epitei dan melaiui
kerusakan sel sel ini, asam lambung berdifusi balik menyebabkan nekrosis
yang Iebih luas sehingga terbentuk tukak peptik. HP yang terkonsentrasi
41
C. Faktor Resiko
3) dispepsia kronik
D. Penegakan Diagnosis
E. Tatalaksana
6. TUKAK GASTER
A. Definisi
besar/sekresi lebih banyak. Tukak gaster yang letaknya dekat pilorus atau
dijumpai bersamaan dengan tukak duodeni/antral gastritis biasanya disertai
hipersekresi asam, sedangkan bila lokasinya pada tempat lain di
lambung/pangastritis biasanya disertai hiposekresi asam. Shay and Sun:
Balance Theory 1974 Tukak terjadi bila terjadi gangguan keseimbangan
antara faktor agresif/asam dan pepsin dengan defensif (mukus, bikarbonat,
aliran darah, PG), bisa faktor agresif meningkat atau faktor defensif
menurun.4
mukosa gaster ataupun bagian yang lebih daiam dari mukosa tersebut.
Biasanya infeksi HP yang terjadi bersifat asimtomatik dimana diperkirakan
terdapat dua milliar penduduk menderita infeksi HP.4
C. Penegakan Diagnosis
Pada tukak duodeni rasa sakit timbul waktu pasien merasa lapar,
rasa sakit bisa membangunkan pasien tengah malam, rasa sakit hiiang
setelah makan dan minum obat antasida (Hunger Pain Food
Relief=HPFR). Rasa sakit tukak gaster timbul setelah makan, berbeda
dengan tukak duodeni yang merasa enak setelah makan, rasa sakit tukak
gaster sebelah kiri dan rasa sakit tukak duodeni sebeiah kanan garis tengah
perut. Rasa sakit bermuia pada satu titik (pointing sign) akhirnya difus bisa
menjalar kepunggung. Ini kemungkinan disebabkan penyakit bertambah
berat atau mengalami komplikasi berupa penetrasi tukak keorgan pankres.
Walaupun demikian rasa sakit saja tidak dapat menegakkan diagnosis
tukak gaster karena dispepsia nonilkusjuga bisa menimbulkan rasa sakit
yang sama, juga tidak dapat digunakan lokasi sakit sebelah kiri atau kanan
tengah perut.
a. Pemeriksaan fisis
dengan batas jeias disertai iipatan mukosa yang teratur keiuar dari
pinggiran tukak dan niche dan gambaran suatu proses keganasan iambung
biasanya dijumpai suatu filling defect. Gambaran endoskopi untuk suatu
tukak jinak berupa iuka terbuka dengan pinggiran teratur, mukosa licin dan
normai disertai iipatan yang teratur keiuar dari pinggiran tukak. Gambaran
tukak gaster akibat keganasan adalah: Boorman I/poiipoid, B-II/ulceratif,
B-III/infiltratif, B-IV/iinitis piastika (scirrhus). Karena tingginya kejadian
keganasan pada tukak gaster (70%) maka dianjurkan untuk diiakukan
biopsi dan endoskopi uiang setelah 8-12 minggu terapi eradikasi.
Kelebihan endoskopi dibanding radiologi: 1). Lesi kecii diameter <O.S cm
dapat diiihat, dilakukan pembuatan foto dokumentasi adanya tukak.
2).Lesi yang ditutupi oleh gumpaian darah dengan penyemprotan air dapat
diiihat. 3). Radiologi tidak dapat memastikan apakah suatu tukak ganas
atau tidak, tidak dapat menentukan adanya kuman HP sebagai penyebab
tukak.
D. Penatalaksanaan
a. Non Medikamentosa
b. Medikamentosa
Dosis terapeutik :
7. REFLUKS GASTRODUODENITIS
A. Etiologi
Helicobacter pylori merupakan salah satu penyebab infeksi yang
umum terjadi pada manusia dan berhubungan dengan beberapa penyakit
penting pada saluran cerna seperti gastritis kronis, ulkus peptikum dan
kanker lambung. Infeksi H. pylori berkaitan erat dengan kondisi sosial
ekonomi sehingga prevalensi infeksi ini lebih tinggi di negara-negara
berkembang dibanding negara-negara maju. Helicobacter pylori
merupakan bakteri gram negatif berbentuk S atau melengkung. Organisme
ini memiliki 2-6 flagela yang membantu mobilisasinya untuk
menyesuaikan dengan kontraksi lambung yang ritmis dan berpenetrasi ke
mukosa lambung. Ukuran panjangnya 2,4-4 μm dan lebar 0,5-1 μm.
Reservoir utamanya adalah lambung manusia, khususnya di daerah
antrum. Bersifat mikroaerofilik, tumbuh baik dalam suasana lingkungan
yang mengandung O2 5%, CO2 5 – 10% pada temperatur 37ºC. Penelitian
epidemiologi menunjukkan bahwa kehidupan H. pylori di luar tubuh
manusia tergantung pada suhu lingkungan.4
B. Patofisiologi
C. Penegakan diagnosis
Pemeriksaan H. pylori diindikasikan pada beberapa kelainan,
diantaranya: pasien dengan ulkus peptikum, uninvestigated dispepsia pada
pasien berusia < 45 tahun tanpa tanda alarm, MALT lymphoma gaster
derajat rendah, bukti adanya karsinoma lambung, dan keluarga dengan
riwayat kanker lambung. Sedangkan pemeriksaan H. pylori belum
direkomendasikan (tidak konklusif) pada beberapa keadaan, seperti:
dispepsia nonulkus, dispepsia karena obat antiinflamasi nonsteroid
(OAINS), penyakit refluks gastroesofageal, populasi dengan risiko tinggi
(seperti Cina dan Jepang), anemia defisiensi besi yang tidak diketahui
penyebabnya, dan idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP).4
Strategi test-and-treat direkomendasikan pada pasien dengan
undifferentiated dispepsia. Melalui pendekatan ini pasien menjalani tes
noninvasif untuk infeksi H. pylori dan bila hasilnya positif, pasien
diberikan terapi eradikasi Diagnosis infeksi H. pylori bisa melalui metode
endoskopik dan nonendoskopik. Metode yang digunakan bisa secara
langsung atau secara tidak langsung. Pemeriksaan invasif dengan metode
endoskopis untuk membantu menegakkan diagnosis infeksi H. pylori dapat
dilakukan dengan 4 cara yakni melalui pemeriksaan histologi, kultur, rapid
urease test, dan polymerase chain reaction (PCR).
Spesimen bahan biopsi dianjurkan untuk diambil pada 5 tempat
yakni 2 dari bagian antrum, 2 dari korpus, dan 1 dari insisura angularis
untuk mendapat hasil penilaian yang optimal. Pemeriksaan histologi
dilakukan dengan pengecatan khusus pada jaringan biopsi, sensitivitas dan
spesifisitas lebih dari 95%. Metode rapid urease test dilakukan dengan
menempatkan bahan biopsi pada larutan urea atau gel dengan indikator
pH, dimaksudkan untuk menemukan adanya urease bakteri, sensitivitasnya
96% dan spesifisitasnya 98%.4
64
D. Tatalaksana
Berbagai regimen terapi telah dikembangkan dalam
penatalaksanaan H. pylori. Terapi lini pertama harus memiliki efikasi lebih
dari 90% untuk menghindari kebutuhan terhadap terapi tambahan dan
menyebabkan resistensi antimikroba sekunder. Terapi lini pertama juga
harus didasarkan pada regimen empiris yang paling sesuai dengan situasi
geografis setempat dan mempertimbangkan prevalensi resistensi
antimikroba di daerah tersebut. Tata laksana primer infeksi H. pylori yang
direkomendasikan adalah triple therapy yang terdiri dari penghambat
pompa proton (PPI), amoksisilin dan klaritromisin yang diberikan selama
14 hari; PPI atau penghambat reseptor H2, bismuth, metronidazole dan
tetrasiklin selama 10-14 hari.4
Metronidazole dapat digunakan untuk menggantikan amoksisilin
pada pasien yang alergi terhadap penisilin. Bila terjadi kegagalan
pengobatan lini pertama maka digunakan lini kedua (quadruple therapy).
Quadruple therapy terdiri dari kombinasi PPI, bismuth subsalisilat,
metronidazol dan tetrasiklin. Efektivitas regimen quadruple therapy
mencapai 93%, sementara efektivitas regimen triple therapy sekitar 77%.
Bila masih terdapat kegagalan dalam eradikasi H. pylori dengan regimen
lini kedua, maka terapi sebaiknya didasarkan pada uji resistensi mikroba
65
a. Antasid
Antasid adalah basa lemah yang bereaksi dengan asam hidroklorida
lambung untuk membentuk garam dan air. Mekanisme kerja utamanya
adalah mengurangi keasaman intralambung. Setelah makan terjadi sekresi
asam hidroklorida sekitar 45 mEq/jam. Satu dosis antasid 156 mEq yang
diberikan 1 jam setelah makan secara efektif untuk menetralkan asam
lambung hingga 2 jam. Namun, kapasitas berbagai sediaan antasid dalam
menetralkan asam sangat bervariasi, bergantung pada laju kelarutan
(tablet/cairan), kelarutan dalam air, kecepatan reaksi dengan asam, dan
kecepatan pengosongan lambung.5
Natrium bikarbonat cepat bereaksi dengan asam hidroklorida (HCL)
untuk menghasilkan karbon dioksida dan natrium klorida. Pembentukan
karbon dioksida menyebabkan peregangan lambubg dan bersendawa. Basa
yang tidak bereaksi cepat diserap, berpotensi menyebabkan alkalosis
metabolik jika diberikan dalam dosis tinggi atau kepada pasien dengan
insufisiensi ginjal. 5
66
b. PPI
Hingga tahun 2015, ada enam jenis PPI yang telah disetujui oleh
FDA. Penggunaan PPI telah diadopsi secara luas di kalangan penyedia
layanan kesehatan primer. Obat ini terutama menjadi pilihan pertama
untuk pengobatan esofagitis, nonerosive reflux disease (NERD), peptic
ulcer disease (PUD), pencegahan ulkus terkait pengunaan obat
antiinflamasi nonsteroid (NSAID), sindrom Zollinger-Ellison (ZES), dan
dispepsia fungsional. PPI juga dapat dikombinasikan dengan antibiotik
untuk eradikasi Helicobacter pylori. Perbedaan struktur masing-masing
PPI tersebut dapat dilihat pada gambar.5
Tabel 1.3 Proton pump inhibitor.5
dalam lingkungan asam dan pada satu tipe sel saja yaitu sel parietal
mukosa lambung.5
Efek OAINS Pada Lambung ASA sangat iritatif tetapi yang paling
bertahan lama dan merupakan analgetik efektif, dengan durasi kerja sekitar
4 jam. Namun lebih dari 50% pasien tidak dapat mentoleransi efek
sampingnya (mual, muntah dan nyeri epigastrium). Timbulnya mual,
dispepsia, anoreksia, rasa sakit di lambung, flatulen, diare terjadi pada 10-
60% pasien, karena aspirin dapat mengiritasi lambung dan menghambat
pertahanan lambung (Johnson et al., 2007). OAINS merusak mukosa
lambung melalui 2 mekanisme yaitu, tropikal dan sistemik. Kerusakan
mukosa secara topikal terjadi karena OAINS bersifat asam dan lipofilik,
sehingga mempermudah trapping H + masuk mukosa dan menimbulkan
kerusakan.
Aspirin (Asam Asetil Salisilat) Obat anti radang bukan steroid atau
yang lazim dinamakan non streroidal anti inflammatory drugs (NSAIDs)
atau anti inflamasi non steroid (OAINS) adalah golongan obat yang
bekerja terutama di perifer yang berfungsi sebagai analgesik (pereda
nyeri), antipirektik (penurun panas) dan antiinflamasi (anti radang). Obat
asam asetil salisilat (aspirin) ini mulai digunakan pertama kalinya untuk
pengobatan simptomatis penyakit-penyakit rematik pada tahun 1899
sebagai obat anti radang bukan steroid sintetik dengan kerja antiradang
yang kuat.6
Obat anti radang bukan steroid diindikasikan pada penyakit-
penyakit rematik yang disertai radang seperti rheumatoid dan osteoartritis
untuk menekan reaksi peradangan dan meringankan nyeri. Dibandingkan
dengan obat antiradang bukan steroid yang lain, penggunaan asam asetil
salisilat jauh lebih banyak, bahkan termasuk produk farmasi yang paling
banyak digunakan dalam pengobatan dengan kebutuhan dunia mencapai
36.000 ton per tahun. Obat antiradang nonsteroid (OAINS).dibagi dalarn 8
golongan yaitu turunan asam salisilat (asam asetil salisilat dan diflunisal),
turunan pirazolon (fenilbutazon, oksifenbutazon, antipirin dan
arninopirin), turunan paraaminofenol (fenasetin), Indometasin
(indometasin dan sulindak), turunan asam propionat (ibuprofen,
naproksen, fenoprofen, ketoprofen dan flurbiprofen), turunan asam
antranilat (asam flufenamat dan asam mafenamat), obat antiradang yang
tidak mempunyai penggolongan tertentu (tolmetin, piroksikam,
diklofenak, etodolak, nebumeton, senyawa emas) dan obat pirro (gout),
kolkisin, alopurinol. Asam asetil salisilat (ASA) yang lebih dikenal
sebagai asetosal adalah analgetik, antipiretik dan antiinflamasi yang sangat
luas digunakan dan digolongkan dalam obat bebas.
Mekanisme Kerja Aspirin (Asam Asetil Salisilat) Pada pemberian
oral, sebagian salisilat diabsorbsi dengan daya absorbsi 70% dalam bentuk
utuh dalam lambung, tetapi sebagian besar absorbsi terjadi dalam usus
halus bagian atas. Sebagian AAS dihidrolisa, kemudian didistribusikan ke
72
e. Prokinetik
Berikut efek lain yang mungkin saja terjadi selama mengonsumsi obat ini:
f. Sulkralfat
Dosis. Dewasa, untuk tukak duodenum dan tukak peptik 1 g, 4 kali sehari
dalam keadaan lambung kosong (1 jam sebelum makan), selama 4-8
minggu. Pemberian antasid untuk mengurangi nyeri dapat diberikan
dengan interval 1 jam setelah sukralfat. Untuk pencegahan stress ulcer
diberikan 1 g, 6 kali sehari sebagai suspensi oral.6
g. Antibiotik
1) Kotrimoksazol
Mekanisme Kerja
Farmakokinetik
2) Amoksisillin
DAFTAR PUSTAKA
2014.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi ke-6. Jakarta; Interna
Publishing; 2014.
5. Katzung BG, Masters SB, Trevor AJ. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi-