Anda di halaman 1dari 17

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HALUOLEO

DISPEPSIA

Disusun Oleh:

Hardianty Mananna

K1A114081

Pembimbing

dr. Miniartiningsih Sam, Sp.A, M.Kes

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

UNIVERSITAS HALUOLEO

KENDARI

2020
BAB I
PENDAHULUAN

Nyeri perut kronis atau berulang adalah masalah kesehatan masyarakat


yang kritis, diperkirakan mempengaruhi hingga 19% dari populasi anak-anak.
Dalam satu penelitian, 38% anak-anak usia sekolah di Amerika Serikat
melaporkan nyeri perut terjadi setidaknya setiap minggu, dengan 24% melaporkan
rasa sakit yang bertahan setidaknya 8 minggu. 1 Istilah dispepsia sendiri mulai
gencar dikemukakan sejak akhir tahun 1980-an, yang menggambarkan keluhan
atau kumpulan gejala (sindrom) yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di
epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa penuh, sendawa,
regurgitasi, dan rasa panas yang menjalar di dada. Sindrom atau keluhan ini dapat
disebabkan atau didasari oleh berbagai penyakit, tentunya termasuk juga di
dalamnya penyakit yang mengenai lambung, atau yang lebih dikenal sebagai
penyakit maag.2

Dispepsia fungsional, pada tahun 2010, dilaporkan memiliki tingkat


prevalensi tinggi, yakni 5% dari seluruh kunjungan ke sarana layanan kesehatan
primer. Bahkan, sebuah studi tahun 2011 di Denmark mengungkapkan bahwa 1
dari 5 pasien yang datang dengan dispepsia ternyata telah terinfeksi H. pylori yang
terdeteksi setelah dilakukan pemeriksaan lanjutan.1,3

Definisi dispepsia sampai saat ini disepakati oleh para pakar dibidang
gastroenterologi adalah kumpulan keluhan/gejala klinis (sindrom) rasa tidak
nyaman atau nyeri yang dirasakan di daerah abdomen bagian atas yang disertai
dengan keluhan lain yaitu perasaan panas di dada dan perut, regurgitas, kembung,
perut terasa penuh, cepat kenyang, sendawa, anoreksia, mual, muntah dan banyak
mengeluarkan gas asam dari mulut.2 Sindroma dispepsia ini biasanya diderita
selama beberapa minggu /bulan yang sifatnya hilang timbul atau terus-menerus.1

1
Seiring dengan bertambah majunya ilmu pengetahuan dan alat-alat
kedokteran terutama endoskopi dan diketahuinya penyakit gastroduodenum yang
disebabkan Helicobacter pylori, maka diperkirakan makin banyak kelainan
organik yang dapat ditemukan. Suatu studi melaporkan tidak dijumpai perbedaan
karakteristik gejala sakit perut pada kelompok yang terinfeksi H. pylori dengan
yang tidak. Pada anak di bawah 4 tahun sebagian besar disebabkan kelainan
organik, sedangkan pada usia di atasnya kelainan fungsional merupakan penyebab
terbanyak. Infeksi H. Pylori yang didapat di masa kanak-kanak dan menjadi
penyebab penting penyakit tukak lambung dan kanker lambung. Dibandingkan
dengan orang dewasa, anak-anak dan remaja, jarang terjadi infeksi bakteri ini..3,9

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Dispepsia berasal dari bahasa Yunani yaitu dys berarti sulit dan
pepse berarti pencernaan. Dispesia merupakan nyeri kronis atau berulang atau
ketidaknyamanan berpusat di perut bagian atas. Kumpulan keluhan/gejala
klinis yang terdiri dari rasa tidak enak/sakit di perut bagian atas yang menetap
atau mengalami kekambuhan. Gejalanya meliputi nyeri epigastrium, perasaan
cepat kenyang (tidak dapat menyelesaikan makanan dalam porsi yang
normal), dan rasa penuh setelah makan.4,6
Definisi dispepsia sampai saat ini disepakati oleh para pakar
dibidang gastroenterologi adalah kumpulan keluhan/gejala klinis (sindrom)
rasa tidak nyaman atau nyeri yang dirasakan di daerah abdomen bagian atas
yang disertai dengan keluhan lain yaitu perasaan panas di dada dan perut,
regurgitas, kembung, perut terasa penuh, cepat kenyang, sendawa, anoreksia,
mual, muntah dan banyak mengeluarkan gas asam dari mulut.2 Sindroma
dispepsia ini biasanya diderita selama beberapa minggu /bulan yang sifatnya
hilang timbul atau terus-menerus.1

2. Epidemiologi
Angka kejadian dispepsia fungsional pada anak-anak tidak jelas
diketahui. Suatu penelitian menunjukkan bahwa 13% sampai 17% anak dan
remaja mengalami nyeri perut setiap minggunya dan dalam penelitian lain
juga dilaporkan berkisar 8% dari seluruh anak dan remaja rutin
memeriksakan tentang keluhan nyeri perut yang dialaminya ke dokter. 1,2 .
Rerksppaphol mengemukakan pada anak dan remaja berusia di atas 5 tahun
yang mengeluhkan sakit perut, rasa tidak nyaman, dan mual setidaknya dalam

3
waktu satu bulan, dijumpai 62% merupakan dispepsia fungsional dan 35%
peradangan mukosa.5
Seiring dengan bertambah majunya ilmu pengetahuan dan alat-alat
kedokteran terutama endoskopi dan diketahuinya penyakit gastroduodenum
yang disebabkan Helicobacter pylori, maka diperkirakan makin banyak
kelainan organik yang dapat ditemukan. Suatu studi melaporkan tidak
dijumpai perbedaan karakteristik gejala sakit perut pada kelompok yang
terinfeksi H. pylori dengan yang tidak. Pada anak di bawah 4 tahun sebagian
besar disebabkan kelainan organik, sedangkan pada usia di atasnya kelainan
fungsional merupakan penyebab terbanyak.4

3. Klasifikasi
Penyebab dispepsia pada anak-anak adalah memberi makan terlalu
banyak atau susu kaleng yang tidak cocok. Namun kadang-kadang dapat pula
timbul karena penyakit, misalnya tukak lambung.2
Penyebab timbulnya gejala dispepsia sangat banyak sehingga
diklasifikasikan berdasarkan ada tidaknya penyebab dispepsia yaitu:2,8
a) Dispepsia Organik
Dispepsia organik adalah dispepsia yang telah diketahui adanya kelainan
organik sebagai penyebabnya. Dispepsia organik jarang ditemukan pada
usia muda, tetapi banyak ditemukan pada usia lebih dari 40 tahun.12
Dispepsia organik dapat digolongkan menjadi :6,9
 Refluks Gastroesofageal
Gejala yang klasik dari refluks gastroesofageal, yaitu rasa panas di
dada dan regurgitasi asam terutama setelah makan.6
 Ulkus Peptik
Ulkus peptik dapat terjadi di esophagus, lambung, duodenum atau
pada divertikulum meckel ileum. Ulkus peptikum timbul akibat kerja
getah lambung yang asam terhadap epitel yang rentan. Penyebab yang
tepat masih belum dapat dipastikan.1,10

4
 Penyakit Saluran Empedu
Sindroma dispepsia ini biasa ditemukan pada penyakit saluran
empedu. Rasa nyeri dimulai dari perut kanan atas atau di ulu hati yang
menjalar ke punggung dan bahu kanan.2
 Karsinoma
Karsinoma dari saluran makan (esophagus, lambung, pancreas dan
kolon) sering menimbulkan keluhan sindrom dispepsia. Keluhan yang
sering diajukan yaitu rasa nyeri perut. Keluhan bertambah berkaitan
dengan makanan, anoreksia dan berat badan menurun.2
 Pankreatitis
Rasa nyeri timbul mendadak yang menjalar ke punggung. Perut terasa
makin tegang dan kembung.2
 Dispepsia akibat obat-obatan
Banyak macam obat yang dapat menimbulkan rasa sakit atau tidak
enak di daerah ulu hati tanpa atau disertai rasa mual dan muntah,
misalnya obat golongan NSAIDs, teofilin, digitalis, antibiotik oral
(terutama ampisilin, eritromisin dan lain-lain).2,6
 Gangguan Metabolisme
Diabetes Mellitus dengan neuropati sering timbul komplikasi
pengosongan lambung yang lambat sehingga timbul keluhan nausea,
vomitus, perasaan lekas kenyang. Hipertiroid mungkin menimbulkan
keluhan rasa nyeri di perut dan vomitus, sedangkan hipotiroid
menyebabkan timbulnya hipomotilitas lambung.2,10

5
 Dispepsia akibat infeksi bakteri Helicobacter pylori
Helicobacter pylori adalah sejenis kuman yang terdapat dalam
lambung dan berkaitan dengan keganasan lambung. Hal penting dari
Helicobacter pylori adalah sifatnya menetap seumur hidup, selalu
aktif dan dapat menular bila tidak dieradikasi. Helicobacter ini
diyakini merusak mekanisme pertahanan pejamu dan merusak
jaringan. Helicobacter pylori dapat merangsang kelenjar mukosa
lambung untuk lebih aktif menghasilkan gastrin sehingga terjadi
hipergastrinemia.7,9

b) Dispepsia Fungsional
Dispepsia fungsional dibagi menjadi dua kategori berdasarkan gejala atau
keluhan:8,9
 Postprandial Distress Syndrome.8,9
 Rasa kembung setelah makan, terjadi setelah mengkonsumsi
makanan porsi biasa paling sedikit beberapa kali selama
seminggu
 Cepat terasa penuh perut sehingga tidak dapat mernghabiskan
makanan dengan porsi biasa paling tidak beberapa kali selama
seminggu.
 Epigastric Pain Syndrome.8,9
 Nyeri atau rasa terbakar terlokalisasi di epigastrium dengan
tingkat keparahan sedang yang dialami minimal sekali
seminggu.
 Nyeri interimiten
 Tidak berkurang dengan defekasi atau flatus
 Tidak memenuhi kriteria kelainan kandung empedu.

4. Kriteria Roma IV untuk dispepsia fungsional


 Harus menyertakan 1 atau lebih dari gejala mengganggu berikut
setidaknya 4 hari dalam jangka waktu 1 bulan:4,5,8,9

6
(1). Rasa penuh setelah makan
(2). Rasa kenyang yang dini
(3). Nyeri epigastrium atau rasa terbakar yang tidak berhubungan dengan
buang air besar.
(4). Setelah evaluasi yang tepat, gejala tidak dapat sepenuhnya dijelaskan
oleh kondisi medis lain.

Kriteria dipenuhi setidaknya 2 bulan sebelum terdiagnosis. Dalam dyspepsia


fungsional, sekarang diadopsi subtype sebagai berikut: 4,5
(1). Postprandial distress syndrome termasuk rasa penuh setelah makan yang
mengganggu atau rasa cepat kenyang yang menganggu proses makan yang
teratur. Gambaran pendukung termasuk perut kembung bagian atas, mual
postprandial, atau sendawa berlebihan4,5
(2). Epigastric pain syndrome, yang mencakup semua hal berikut: nyeri
mengganggu (cukup parah untuk mengganggu aktivitas normal) atau rasa
terbakar yang terlokalisasi pada epigastrium. Rasa sakit tidak disamaratakan
atau terlokalisasi ke daerah perut atau dada lainnya dan tidak berkurang
dengan buang air besar atau flatus. Kriteria pendukung dapat mencakup (a)
kualitas rasa sakit yang membakar tetapi tanpa komponen retrosternal dan (b)
rasa sakit yang biasanya diinduksi atau dihilangkan dengan menelan makanan
tetapi dapat terjadi saat puasa.4,5

5. Patofisiologi
 Faktor Genetik
Genetik merupakan faktor predisposisi pada penderita gangguan
gastrointestinal fungsional. Faktor genetik dapat mengurangi jumlah
sitokin antiinflamasi (Il-10, TGF-β). Penurunan sitokin antiinflamasi
dapat menyebabkan peningkatan sensitisasi pada usus. Selain itu
polimorfisme genetik berhubungan dengan protein dari sistem reuptake
synaptic serotonin serta reseptor polimorfisme alpha adrenergik yang
mempengaruhi motilitas dari usus. Insiden keluarga yang mengalami

7
gangguan fungsional gastrointestinal berhubungan dengan potensi
genetik. Perbedaan pada kelenjar axis hipotalamus pituitary adrenal
menjadi hasil temuan yang menarik. Pada pasien gangguan
gastrointestinal fungsional terjadi hiperaktifitas dari axis hypothalamus
pituitarity adrenal.8,9
 Faktor Psikososial
Penyelidikan atas pengaruh psikososisal mengungkapkan bahwa stres
adalah faktor yang mempengaruhi dispepsia fungsional. Emosional yang
labil memberikan kontribusi terhadap perubahan fungsi gastrointestinal.
Hal ini akibat dari pengaruh pusat di enterik. Stres adalah faktor yang
diduga dapat mengubah gerakan dan aktivitas sekresi traktus
gastrointestinal melalui mekanisme-neuroendokrin. Pada beberapa
literatur menyebutkan bahwa anak-anak dengan gangguan fungsi
gastrointestinal lebih lazim disebabkan oleh karena kecemasan pada diri
mereka dan orang tuanya terutama ibu. Satu studi menyatakan bahwa
pada stres atau kecemasan dapat mengaktifkan reaksi disfungsi otonomik
traktus gastrointestinal yang dapat menyebabkan gejala sakit perut
berulang.8,9
 Pengaruh Flora Bakteri
Infeksi Helicobacter pylori (Hp) mempengaruhi terjadinya dispepsia
fungsional. Penyelidikan epidemiologi menunjukkan kejadian infeksi Hp
pada pasien dengan dispepsia cukup tinggi, walaupun masih ada
perbedaan pendapat mengenai pengaruh Hp terhadap dispepsia
fungsional. Diketahui bahwa Hp dapat merubah sel neuroendokrin
lambung. Sel neuroendokrin menyebabkan peningkatan sekresi lambung
dan menurunkan tingkat somatostatin.8,10
 Gangguan motilitas dari saluran pencernaan
Stres mengakibatkan gangguan motilitas gastrointestinal. Pada pasien
dispepsia fungsional terjadi gangguan motilitas dibandingkan dengan
kontrol 27 yang sehat, dari 17 penelitian kohort yang di teliti pada tahun
2000 menunjukkan keterlambatan esensial dari pengosongan lambung

8
pada 40% pasien dispepsia fungsional. Gastric scintigraphy
ultrasonography dan barostatic measure menunjukkan terganggunya
distribusi makanan didalam lambung, dimana terjadi akumulasi isi
lambung pada perut bagian bawah dan berkurangnya relaksasi pada
daerah antral. Dismolitas duodenum adalah keadaan patologis yang dapat
terjadi pada dispepsia fungsional, dimana terjadi gangguan aktivitas
mioelektrikal yang merupakan pengatur dari aktivitas gerakan
gastrointestinal.9,10
 Hipersensitivitas viseral
Hipersensitivitas viseral merupakan suatu distensi mekanik akibat
gastrointestinal hipersensitif terhadap rangsangan, merupakan salah satu
hipotesis penyakit gastrointestinal fungsional. Fenomena ini berdasarkan
mekanisme perubahan perifer. Sensasi viseral ditransmisikan dari
gastrointestinal ke otak, dimana sensasi nyeri dirasakan. Peningkatan
persepsi nyeri sentral berhubungan dengan peningkatan sinyal dari usus.
Peningkatan perangsangan pada dinding perut menunjukkan disfungsi
pada aktivitas aferen. Secara umum terganggunya aktivitas serabut aferen
lambung mungkin menyebabkan timbulnya gejala dispepsia. Dispepsia
fungsional juga ditandai oleh respon motilitas yang cepat setelah
rangsangan kemoreseptor usus. Hal ini mengakibatkan rasa mual dan
penurunan motilitas duodenum.8,9

6. Manifestasi Klinis
Klasifikasi klinis praktis didasarkan atas keluhan/gejala yang dominant
membagi dispepsia menjadi tiga tipe :1,2
 Dispepsia dengan keluhan seperti ulkus (Ulkus-like dyspepsia) dengan
gejala: nyeri epigastrium terlokalisasi, nyeri hilang setelah makan atau
pemberian antacid, nyeri saat lapar dan nyeri episodic.
 Dispepsia dengan gejala seperti dismotilitas (dysmotility-like
dyspepsia) dengan gejala: mudah kenyang, perut cepat terasa penuh

9
saat makan, mual, muntah dan rasa tidak nyaman bertambah saat
makan.
 Dispepsia non spesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe di atas).

7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk menyingkirkan adanya kelainan
organik, pemeriksaan untuk dispepsia terbagi pada beberapa bagian.5,6,7
 Pemeriksaan laboratorium, biasanya meliputi hitung jenis sel darah yang
lengkap dan pemeriksaan darah dalam tinja, dan urin. Jika ditemukan
leukositosis berarti ada tanda-tanda infeksi. Jika tampak cair berlendir atau
banyak mengandung lemak pada pemeriksaan tinja kemungkinan
menderita malabsorpsi. Seseorang yang diduga menderita dispepsia ulkus
sebaiknya diperiksa derajat keasaman lambung. Jika diduga suatu
keganasan, dapat diperiksa tumor marker seperti CEA (dugaan karsinoma
kolon), dan CA 19-9 (dugaan karsinoma pankreas).5,6,7
 Barium enema untuk memeriksa saluran cerna pada orang yang
mengalami kesulitan menelan atau muntah, penurunan berat badan atau
mengalami nyeri yang membaik atau memburuk bila penderita makan.6,8
 Endoskopi bisa digunakan untuk mendapatkan contoh jaringan dari lapisan
lambung melalui tindakan biopsi. Pemeriksaan nantinya di bawah
mikroskop untuk mengetahui apakah lambung terinfeksi Helicobacter
pylori. Endoskopi merupakan pemeriksaan baku emas, selain sebagai
diagnostik sekaligus terapeutik.6,8
 Pemeriksaan penunjang lainnya seperti foto polos abdomen, serologi H.
pylori, urea breath test, dan lain-lain dilakukan atas dasar indikasi.6

8. Penatalaksanaan
i. Non-Farmakologis8,7
Gejala dapat dikurangi dengan menghindari makanan yang mengganggu,
diet tinggi lemak, kopi, alkohol, dan merokok. Selain itu, makanan kecil

10
rendah lemak dapat membantu mengurangi intensitas gejala. Ada juga
yang merekomendasikan untuk menghindari makan yang terlalu banyak
terutama di malam hari dan membagi asupan makanan sehari-hari
menjadi beberapa makanan kecil. Alternatif pengobatan yang lain
termasuk hipnoterapi, terapi relaksasi dan terapi perilaku.5,7

ii. Farmakologis7,9,10
 Antasida: Golongan ini mudah didapat dan murah. Antasida akan
menetralisir sekresi asam lambung. Antasida biasanya mengandung
natrium bikarbonat, Al(OH)3, Mg(OH)2, dan magnesium trisiklat.
Pemberian antasida tidak dapat dilakukan terus-menerus, karena
hanya bersifat simtomatis untuk mengurangi nyeri. Magnesium
trisiklat merupakan adsorben nontoksik, namun dalam dosis besar
akan menyebabkan diare karena terbentuk senyawa MgCl2.7,9
 Antikolinergik: Kerja obat ini tidak sepsifik, Obat yang agak selektif
adalah pirenzepin yang bekerja sebagai anti reseptor muskarinik
yang dapat menekan sekresi asam lambung sekitar 28% sampai 43%.
Pirenzepin juga memiliki efek sitoprotektif.7,9
 Antagonis resptor H2: Golongan obat ini banyak digunakan untuk
mengobati dispepsia organik atau esensial seperti tukak peptik. Obat
yang termasuk golongan ini adalah simetidin, ranitidin, dan
famotidin.7,9
 Proton pump inhibitor (PPI ) : Golongan obat ini mengatur sekresi
asam lambung pada stadium akhir dari proses sekresi asam lambung.
Obat-obat yang termasuk golongan PPI adalah omeprazol,
lansoprazol, dan pantoprazol.7,9
 Sitoprotektif: Prostaglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan
enprostil (PGE2) selain bersifat sitoprotektif juga menekan sekresi
asam lambung oleh sel parietal. Sukralfat berfungsi meningkatkan
prostaglandin endogen, yang selanjutnya memperbaiki
mikrosirkulasi, meningkatkan produksi mucus dan meningkatkan

11
sekresi bikarbonat mukosa, serta membentuk lapisan protektif (sile
protective) yang bersenyawa dengan protein sekitar lesi mukosa
saluran cerna bagian atas.7,9
 Golongan prokinetik: Obat yang termasuk golongan ini yaitu
cisaprid, domperidon, dan metoklopramid. Golongan ini cukup
efektif untuk mengobati dispepsia fungsional dan refluks esofagitis
dengan mencegah refluks dan memperbaiki asam lambung.7,9
 Golongan anti depresi: Kadang kala juga dibutuhkan psikoterapi dan
psikofarmaka7 (obat anti depresi dan cemas) pada pasien dengan
dispepsia fungsional, karena tidak jarang keluhan yang muncul
berhubungan dengan faktor kejiwaan seperti cemas dan depresi.
Contoh dari obat ini adalah golongan trisiclic antidepressants (TCA)
seperti amitriptilin. Pengobatan untuk dispepsia fungsional masih
belum jelas. Beberapa pengobatan yang telah didukung oleh bukti
ilmiah adalah pemberantasan Helicobacter pylori, PPI, dan terapi
psikologi.7,9,10
 Rekomendasi pedoman sebelumnya tentang terapi rangkap tiga
(triple therapy)9 untuk anak-anak dan remaja yang terinfeksi H pylori
tidak dapat didukung lagi. Alih-alih, untuk mencapai tingkat
keberhasilan eradikasi awal 90% bahkan lebih tinggi, terapi harus
didasarkan pada pengetahuan tentang profil resistensi antibiotik dan
terapi yang disesuaikan dengan menggunakan dosis yang cukup
tinggi dan durasi pengobatan 10 hingga 14 hari. Pentingnya
kepatuhan untuk keberhasilan eradikasi yang optimal harus
ditekankan kepada orang tua dan anak. Regimen yang mengandung
klaritromisin harus dibatasi untuk mereka yang terinfeksi dengan
strain yang rentan terhadap klaritromisin. Ketika profil kerentanan
antibiotik tidak diketahui, terapi tiga dosis tinggi dengan PPI,
amoksisilin, dan metronidazol selama 14 hari direkomendasikan
sebagai terapi lini pertama. Terapi quadriple berbasis Bismuth juga
dapat dipertimbangkan untuk terapi lini pertama di negara-negara di

12
mana ia diizinkan untuk digunakan pada anak-anak. Seperti dengan
pedoman sebelumnya, pengujian untuk penyembuhan harus
dilakukan dengan C13-UBT atau tes antigen tinja setidaknya 4
minggu setelah terapi untuk menghindari hasil negatif palsu. Terapi
lini kedua menghadirkan tantangan nyata pada anak-anak
dibandingkan dengan jumlah antibiotik yang sesuai dengan anak-
anak. Terapi lini kedua harus mempertimbangkan antibiotik yang
digunakan untuk terapi awal, lamanya pengobatan, dan, jika
mungkin, harus didasarkan pada profil resistensi antibiotik.9

9. Pencegahan
Pencegahan terhadap penyakit dispepsia ini adalah sebagai berikut:6,9
 Pencegahan Primer (Primary Prevention) : Tujuan pencegahan primer
adalah mencegah timbulnya faktor resiko dispepsia bagi individu yang
belum ataupun mempunyai faktor resiko dengan melaksanakan pola
hidup sehat, promosi kesehatan (Health Promotion) kepada masyarakat
mengenai:6,9
a. Modifikasi pola hidup dimana perlu diberi penjelasan bagaimana
mengenali dan menghindari keadaan yang potensial mencetuskan
serangan dispepsia.
b. Menjaga sanitasi lingkungan agar tetap bersih, perbaikan
sosioekonomi dan gizi dan penyediaan air bersih.
c. Khusus untuk bayi, perlu diperhatikan pemberian makanan. Makanan
yang diberikan harus diperhatikan porsinya sesuai dengan umur bayi.
Susu yang diberikan juga diperhatikan porsi pemberiannya.
d. Mengurangi makan makanan yang pedas, asam dan minuman yang
beralkohol, kopi serta merokok.
 Pencegahan Sekunder (Secondary Prevention): Pencegahan sekunder

dapat dilakukan dengan diagnosis dini dan pengobatan segera (Early

Diagmosis and Prompt Treatment).6,9

13
 Pencegahan Tertier6,9

a. Rehabilitasi mental melalui konseling dengan psikiater, dilakukan bagi

penderita gangguan mental akibat tekanan yang dialami penderita

dispepsia terhadap masalah yang dihadapi.

b. Rehabilitasi sosial dan fisik dilakukan bagi pasien yang sudah lama

dirawat di rumah sakit agar tidak mengalami gangguan ketika kembali ke

masyarakat.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Craig A. Friesen, Jennifer M. Colomb, Jennifer V. Schurman. The Evolving


Role of Mucosal Histology in the Evaluation of Pediatric Functional
Dyspepsia: A Review. MDPI journal of gastrointestinal disorder 2019: 177-
79
2. Jeffrey S. Hyams et al. Childhood functional gastrointestinal disorders:
Chiled/adolescent. AGA Institute 2016: 1456-68
3. L.Wauters, S. Nightingale, N.J. Talley, B. Sulaeman, M.M. Walker.
Functional dyspepsia is associated with duodenal eosinophilia in a
Australian paediatric cohort. Alimentary Pharmacology and Therapeutics
2017; 1359.
4. Ilan J.N. Koppena, Samuel Nurkob, Miguel Sapsc, Carlo Di Lorenzoc, Marc
A. Benningaa. The pediatric Rome IV criteria: what’s new?. Expert Review
of Gastroenterology & Hepatology. 2017: 1994-98.
5. Elham Talachian1, Ali Bidari, Hamed Zahmatkesh. Abdominal pain-related
functional gastrointestinal disorders based on Rome III criteria in a pediatric
gastroenterology clinic. Medical Journal of the Islamic Republic of Iran
(MJIRI), Iran University of Medical Sciences 2015: 1-5.
6. Judith Korterink, Niranga Manjuri Devanarayana, Shaman Rajindrajith,
Arine Vlieger and Marc A. Benninga. Childhood functional abdominal pain:
mechanisms and management. Nature Review Gastroenterology and
Hepatology 2015(12): 159-68
7. Trent Edwards, Craig Friesen, Jennifer V. Schurman. Hymans JS.
Classification of pediatric functional gastrointestinal disorders related to
abdominal pain using Rome III vs. Rome IV criterions. Biomed Central.
Current Opinion in Pediatrics 2018:1-6
8. Katja Kovacic et al. High prevalence of nausea in children with pain-
associated functional gastrointestinal disorder: Are rome criteria aplicable.
ESPGHAN and NASPGHAN 2013: 311-15

15
9. Nicola L. Jones et al. Joint ESPGHAN/NASPGHAN Guidelines for the
Management of Helicobacter pylori in Children and Adolescents (Update
2016). 2016: 991-6
10. O Sanwo et al. Chronic or functional abdominal pain. Brighton and Sussex
University Hospital. 2020: 1-4

16

Anda mungkin juga menyukai