Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN DISPEPSIA DI RUANG ARAFAH 1


RSUDZA BANDA ACEH

Oleh :

Nabila Yussam Vira, S.Kep


2112501010103

KEPANITERAAN KLINIK KEPERAWATAN SENIOR


BAGIAN KEPERAWATAN ANAK
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
TAHUN 2022
KONSEP DISPEPSIA
A. Pengertian
Dyspepsia berasal dari bahasa Yunani yaitu dys yang berarti buruk atau
sulit dan peptein yang berarti pencernaan. Dispepsia adalah suatu kondisi medis
yang ditandai dengan nyeri atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas atau ulu
hati. (Fithriyana, 2018). Sindroma dyspepsia mulai sering dikemukakan sejak
1980. Sindroma ini menggambarkan keluhan atau kumpulan gejala yang terdiri
dari rasa tidak nyama yang terutama dirasakan di daerah perut bagian atas
(epigastrium) dan disertai rasa mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa perut
penuh,atau begah, sendawa, dan rasa panas yang menjalar ke dada (Putri, Ernalia
& Bebasari, 2015).
Dispepsia merupakan sekelompok gejala sistem pencernaan bagian atas
yang berjadi karena berbagai faktor seperti, gaya hidup yang tidak sehat (misalnya
konsumsi makanan pedas dan mengandung asam berlebih atau konsumsi
minuman beralkohol dan mengandung kafein berlebih), stres, merokok, infeksi H.
Pylori, penggunaan obat (misalnya NSAIDs), serta memiliki masalah kesehatan
atau penyakit saluran pencernaan (Kumar, Patel, & Sawant, 2012 dalam Putri &
Widyatuti, 2019)

B. Prevalensi
Dispepsia merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering ditemui
pada praktek sehari-hari. Diperkirakan hampir 30% kasus yang dijumpai pada
praktek umum dan 60% pada praktek gastroenterology merupakan dispepsia.
Berdasarkan data World Health Organization (WHO) kasus dyspepsia didunia
mencapai13-40% dari total populasi setiap tahun. Dispepsia berada pada peringkat
ke-10 dengan proporsi 1,5% untuk kategori 10 jenis penyakit terbesar pada pasien
rawat jalan di seluruh rumah sakit di Indonesia. Sedangkan menurut Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia tahun 2011, dispepsia merupakan penyakit dengan
urutan kelima dari seppuluh besar peyakit terbanyak pada tahun 2010. Data
mengenai prevalensi dyspepsia sangat beragam pada berbagai populasi. Penderita
dyspepsia dapat terjadi pada berbagai rentang umur, jenis kelamin, etnik/suku, dan
kondisi sosio-ekonomi.

C. Etiologi
Menurut Zakiyah, et al (2021), dispepsia dapat disebabkan oleh berbagai
penyakit baik yang bersifat organic dan fungsional. Penyakit yang bersifat organic
antara lain karena terjadinya gangguan di saluran pencernaan atau di sekitar
saluran cerna, seperti pancreas, kandung empedu, dan lain-lain. Sedangkan
penyakit yang bersifat fungsional dapat dipicu karena faktor psikologis dan faktor
intoleran terhadap obat-obatan dan jenis makanan tertentu. Adapun faktor-faktor
yang menyebabkan dyspepsia adalah:
1. Gangguan pergerakan (motilitas) piloroduodenal dari saluran pencernaan
bagian atas (esophagus, lambung, dan usu halus bagian atas)
2. Menelan terlalu banyak udara atau mempunyai kebiasaan makan salah
(mengunyah dengan mulut terbuka atau berbicara)
3. Menelan makanan tanpa dikunyah terlebih dahulu dapat membuat
lambung terasa penuh atau bersendawa terus
4. Mengkonsumsi makanan/minuman yang bisa memicu timbulnya
dyspepsia, seperti minuman berakohol, bersoda (soft drink), kopi.
Minuman jenis ini dapat mengiritasi dan mengkikis permukaan lambung.’
5. Obat penghilang nyeri seperti Nonsteroid Anti Inflamatory Drugs
(NSAID) misalnya aspirin, ibuprofen, dan naproven.
6. Pola makan yang tidak teratur ataupun makan yang terburu-buru dapat
menyebabkan dyspepsia

D. Manifestasi Klinis
Gejala dari dyspepsia dapat berlangsung kronik dan kekambuhan sehingga
berdampak bagi kualitas hidup penderita. Adapun kumpulan gejala dari
dyspepsia adalah menurut Nugroho, Safri, dan Nurchayati (2018) adalah :
1. Mual
2. Muntah
3. Kembung
4. Begah
5. Nyeri perut
6. Rasa perih di ulu hati
7. Nafsu makan berkurang
8. Rasa panas di dada dan perut
9. Regurgitasi (keluar cairan dari lambung secara tiba-tiba)
Sedangkan menurut National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney
Disease (NIDDK) tahun 2016, gejala dyspepsia berupa:
1. Rasa sakit pada abdomen bagian atas.
2. Perasaan terbakar ataupun tidak nyaman pada abdomen bagian atas.
3. Perasaan cepat kenyang dan penuh yang tidak nyaman setelah makan.

E. Klasifikasi
Dispepsia terbagi menjadi dua golongan yaitu dyspepsia organic dan
dyspepsia non organic. Adapun penjelasan mengenai kedua jenis dyspepsia
menurut Zakiyah, et al (2021) adalah sebagai berikut :
1. Dispepsia organic atau disebut dengan dyspepsia structural.
Terjadi karena adanya kelainan organik. Pada dyspepsia organic terlihat
kelainan yang nyata pada endoskopi terhadap organ saluran pencernaan seperti
ulkus peptic atau yang dikenal dengan tukak peptic, gastritis, stomach cancer,
gastro esophageal reflux disease (GERD), hiperasiditas,
2. Dispepsia non-organik atau yang disebut dengan dyspepsia fungsional
Pada dyspepsia ini terjadinya bukan karena adanya kelainan yang
ditemukan saat pemeriksaan fisik dan endoskopi. Hal ini hanya ditandai
dengan nyeri, rasa tidak nyaman di perut bagian atas yang kronis atu berulang.
Awalnya dyspepsia fungsional dibedakan menjadi 3 golongan yaitu ulcer-like,
reflux-like dan dysmotility like. Namun karena lebih banyak gejala dipicu
oleh konsumsi makanan maka penggolongan dyspepsia fungsional saat ini
dibedakan menjadi dua yaitu sindrom nyeri epigastrium (nyeri epigastrium
atau rasa terbakar) dan sindrom Distress Postprandial (tasa penuh pasca-
makan dan cepat kenyang).

Tabel 1
Kriteria Dispespsia Fungsional tipe nyeri epigastrium
Diagnosis :
Nyeri/terbakar di epigastrium, minimal intensitas sedang, setidaknya sekali
seminggu
Nyeri tidak boleh generalisasi ke daerah perut atau dada, atau di daerah perut
lainnya
Nyeri tidak hilang dengan buang air besar atau flaus
Nyeri tidak memenuhi kriteria nyeri kandung empedu atau sfingter Oddi.
Kriteria terpenuhi 3 bulan terakhir dengan onset minimal 6 bulan sebelum
diagnosis
Kriteria pendukung :
Nyeri dapat terbakar, tapi tanpa restrosternal
Nyeri biasanya diinduksi atau reda oleh konsumsi makan
Gejala tipe distress postprandial dapat terjadi bersama

Tabel 2
Kriteria Dispepsia Fungsional Tipe Distress Postprandial
Salah satu dari:
Rasa penuh pasca-makan dalam porsi biasa, beberapa kali seminggu
Cepat kenyang sehingga berkurang porsi makan biasa, beberapa kali seminggu
Kriteria terpenuhi 3 bulan terakhir dengan onset minimal 6 bulan
sebelum diagnosis
Kriteria pendukung:
Sensasi perut kembung atau mual pasca-makan
Gejala tipe nyeri epigastrium dapat terjadi bersama

F. Patofisiologi
G. Penatalaksanaan
1. Terapi Farmakologi
a. Antihiperasiditas
1) Antasida
Golongan antasida initermasuk yang mudah didapatdan murah.
Antasida akan menetralisir sekresi asam lambung. Antasida
biasanyamengandung zat yang tidak larutdalam air seperti natrium
bikarbonat, Al (OH)3, Mg(OH)2, dan magnesium trisiklat (kompleks
hidrotalsit). Pemberian antasida tidak dapat dilakukan terus-menerus,
karena hanya bersifat simtomatis untuk mengurangi nyeri. Magnesium
trisiklat merupakan adsorben nontoksik, namun dalam dosis besar akan
menyebabkan diare karena terbentuk senyawa MgCl2. Zat magnesium
bersifa pencahar sehingga menyebabkan diare sedangkan aluminium
menyebabkan konstipasi oleh sebab itu kedua zat ini dikombinasikan.
2) NaHCO3
Antasida jenis ini larut dalam air dan bekerja cepat. Namun zat
utama NaHCO3 dapat menyebabkan darah bersifat basa (alkalosis)
jika dosisnya berlebih. Terlepasnya senyawa karbondioksida dari
kompleks obat ini dapat mennyebabkan sendawa.
3) Kombinasi Bismut dan Kalsium
Kombinasi antara Bi dan Ca dapat membentuk lapisan
pelindung pada lesi di lambung.Namun obat ini dijadikan pilihan
terakhir karena bersifat neurotoksik yang menyebabkan kerusakan otak
dengan gejala kejang-kejang dan kebingungan aatau yang dikenal
dengan ensefalopati. Selain itu, dapat menyebabkan konstipasi, dan
kalsium dapat menyebabkan sekresi asam lambung yang berlebih.
Kelebihan kalsium dapat hiperkalsemia.
4) Sukralfat
Golongann sukralfat yang sering dikombinasikan dengan
aluminium hidroksida, dan bismuth koloidal dapat digunakan untuk
melindungi tukak lambung agar tidak teriritasi asam lambung dengan
membentuk lapisan dinding pelindung.
b. Antikolibergik
Obat yang termasuk golongan ini adalah obat yang agak selektif
yaitu pirenzepin yang bekerja sebagai anti-reseptor muskarinik yang dapat
menekan sekresi asam lambung sekitar 28% sampai 43%. Kerja obat
pirenzepin tidak spesifik dan juga memiliki efek sitoprotektif.
c. Antagonis reseptor H2
Obat yang termasuk golongan obat ini adalah simetidin,
nizatidin, roksatidin, dan famotidin. Ranitidin merupakan yang paling
banyak digunakan dalam pemilihan obat golongan ini, namun telah ditarik
dari peredaran karena adanya N-Nitrosodimethylamine (NDMA) pemicu
kanker. Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia
organik atau esensial seperti tukak peptik dengan mekanisme
penghambatan reseptor H2 sehingga sekresi asam lambung
berkurang.
d. Proton pump inhibitor (PPI)
Obat-obat yang termasuk golongan PPI adalah omeprazol,
esomeprazole, lansoprazol, dan pantoprazol. Golongan obat ini mengatur
sekresi asam lambung pada stadium akhir dari proses sekresi asam
lambung pada pompa proton yang merupakan tempat keluarnnya proton
(ion H+).
e. Sitoprotektif
Obat yang termasuk golongan ini prostaglandin sinetik seperti
misoprostol (PGE1) dan enprostil (PGE2). Selain bersifat siroprotektif
juga dapat menekan sekresi asam lambung oleh sel parietal. Sukralfat
berfungsi meningkatkan prostaglandin endogen, yang selanjutnya
memperbaiki mikrosirkulasi, meningkatkan produksi mucus, dan
meningkatkan sekresi bikarbonat mukosa, serta membentuk lapisan
protektif yang bersenyawa dengan protein sekitar lesi mukosa saluran
cerna bagian atas.
f. Golongan prokinetik
Obat yang termasuk golongan ini yaitu cisapride, domperidon,
dan metoclopramide. Golongan ini cukup efektif untuk mengobati
dyspepsia fungsional dan refluks esofagitis dengan mencegah refluks dan
memperbaiki asam lambung.
g. Golongan anti depresi
Obat yang termasuk golongan ini adalah golongan trisiclic
antidepressants (TCA) seperti amitriptilin. Obat ini biasanya dibutuhkan
psikoterapi dan psikofarmaka (obat anti depresi dan cemas) pada pasien
dengan dispepsia fungsional, karena tidak jarang keluhan yang muncul
berhubungan dengan faktor kejiwaan cemas dan depresi. Pengobatan
untuk dyspepsia fungsional masih belum jelas. Beberapa pengobatan yang
telah didukung oleh bukti ilmiah adalah pemberantasan helicobacterpylori,
PPI, dan dengan terapi terapi psikologi. Pengobatan yang belum didukung
bukti: antasida, antispasmodik, bismuth, terapi diet, terapi herbal,antagonis
reseptor H2, misoprostol, golongan prokinetik, selective serotonin-
reuptake inhibitor, sukralfat, dan antidepresan.
2. Terapi Non Farmakologi
Terapi non farmakologi yang dapat dilakukan untuk penanganan kasus
dyspepsia yaitu:
a. Mengurangi stress
Stress berlebihan dapat menyebabkan produksi asam lambung
meningkat, sehingga dapat memicu dispepsia. Istirahat yang cukup dan
melakukan kegiatan yangdisukai dapat meminimalisir stress.
b. Mengatur pola hidup sehat
Pola hidup yang sehat dapat dilakukan dengan olahraga secara
teratur, menjaga berat badan agar tidak obsesitas, menghindari berbaring
setelah makan, makan banyak terutama pada malam hari, merokok,
menghindari makanan yang berlemak tinggi dan pedas serta menghindari
minuman yang asam, bersoda, mengandung alcohol dan kafein.
c. Terapi hangat /dingin
Terapi kompres hangat WarmWater Zack (WWZ) dilakukan
dengan menggunakan botol karet yang berisi air hangat kemudian
diletakan pada bagian perut yang nyeri.
d. Terapi Komplementer
Terapi komplemeter berguna untuk mengurangi nyeri yang
terjadi pada lambung. Terapi ini dapat dilakukan dengab terapi
aromaterapi, mendengar music, menonton televisi, memberikan sentuhan
terapeutik, dan teknik relaksasi nafas dalam.

H. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian Keperawatan
a. Identitas
1) Identitas pasien
Diantaranya nama pasien, umur, tempat tanggal lahir, jenis
kelamin, alamat, pekerjaan, suku/bangsa, agama, status
perkawinan, tanggal masuk rumah sakit, nomor register, nomor rekam
medik dan diagnosa medik.
2) Identitas Penanggung Jawab
Diantaranya nama, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan,
serta status hubungan dengan pasien.
b. Keluhan utama
Keluhan umum yang dirasakan adalah nyeri perut, rasa pedih di
ulu hati, mual kadang-kadang muntah, nafsu makan berkurang, rasa cepat
kenyang, perut kembung, rasa panas di dada dan perut dan regurgitasi
(keluar cairan dari lambung secara tiba-tiba).
c. Riwayat penyakit sekarang
Kaji kronologi awal mula pasien mulai merasakan gejala dari
dyspepsia.
d. Riwayat penyakit dahulu
Kaji perjalanan riwayat penyakit yang pernah diderita oleh pasien
serta kebiasaan yang dilakukannya misalnya merokok, meminum alcohol,
minum kopi serta mengkonsumsi obat-obatan tertentu. Selain itu kaji
kapan awal mula pasien merasakan nyeri pada daerah epigastrium, dan
kaji apakah pasien mengalami stress psikologis.
e. Riwayat penyakit keluarga
Kaji adanya penyakit keluarga yang berhubungan dengan sistem
pencernaan .

f. Pola aktivitas
Pola makan yaitu kebiasaan makan yang tidak teratur, makan
makan yang merangsang selaput mukosa lambung, berat badan
sebelum dan sesudah sakit.
g. Pola psikososial
Keadaan emosional, hubungan dengan keluarga, teman, adanya
masalah interpersonal yang bisa menyebabkan stress
h. Keadaan ekonomi
Jenis pekerjaan dan jadwal kerja, jarak temapt kerja dan tempat
tinggal, hal-hal dalam pekerjaan yang mempengaruhi stress psikologis dan
pola makan.
i. Pemeriksaan fisik
1) Sistem Pernafasan
Inspeksi: bentuk dada simetris (apabila tidak simetris karena adanya
fraktur) kanan dan kiri pergerakan dada mengikuti pernafasan. Palpasi:
tidak adanya nyeri tekan (apabila ada nyeri tekan berarti adanya
fraktur) dan tidak ada benjolan. Perkusi: terdengar bunyi resonan tidak
ada suara tambahan, bunyi nafas vesikuler.
2) Sistem Kardiovaskuler
Inspeksi: kulit dan membran mukosa pucat atau tidak. Palpasi:
ada/tidaknya peningkatan frekuensi dan irama denyut nadi,
ada/tidaknya peningkatan JVP, CRT pada ekstremitas yang
mengalami luka. Perkusi: bunyi jantung. Auskultasi: Degarkan bunyi
jantung apakah B1 dan B2 tunggal atau terdapat suara tambahan
3) Sistem Persarafan
Inspeksi: ada/tidaknya kejang dan tingkat kesadaran. Palpasi: simetris,
ada/tidaknya benjolan, dan ada/tidaknya nyeri kepala.
4) Sistem Urinaria
Inspeksi: warna urine, memakai kateter atau tidak.
5) Sistem Pencernaan
Inspeksi: keadaan mulut, mukosa (kering), keadaan abdomen :
abdomen tampak datar (tidak ada benjolan), Palpasi: ada nyeri tekan,
tidak ada massa. Perkusi: terdengar suara hipertimpani. Auskultasi:
bising usus normal/tidak. Pada pasien yang mengalami dyspepsia
perut akan kembung, pasien akan sering bersendawa, perut terasa
penuh dan nyeri ketika ditekan. Pasien mengatakan nyeri di daerah
abdomen bagian atas rasanya seperti ditusuk-tusuk serta nyerinya bisa
dirasakan berjam-jam.
6) Sistem Muskuloskeletal
Inspeksi: aktivitas dan latihan mengalami perubahan/gangguan
sehingga memerlukan bantuan dalam memenuhi kebutuhan perlu
dibantu baik oleh perawat maupun keluarga pasien. Kaji apakah
terdapat luka atau tidak.
7) Penginderaan
Inspeksi: pada mata terdapat gangguan atau tidak seperti konjungtiva
anemis (jika terjadi perdarahan), pergerakan bola mata normal/tidak,
pupil isokor/anisokor)
8) Endokrin
Inspeksi: ada/tidaknya pembesaran kelenjar tiroid, ada/tidaknya
pembesaran kelenjar parotis.

j. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan laboratorium, perlu dilakukan lebih banyak ditekankan
untuk menyingkirkan penyebab organic seperti pankreatitis kronik,
diabetes mellitus, dan lainnya. Pada dyspepsia fungsional biasanya
hasil laboratorium dalam batas normal.
2) Radiologis, untuk melihat kondisi dari saluran makan bagian atas.
3) Endoskopi (Esofago-Gastro-Duodenoskopi)
4) USG (Ultrasonografi)
5) Waktu pengosongan lambung

2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencerdera biologis
b. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan makan
c. Kecemasan berhubungan dengan status kesehatan

3. Intervensi keperawatan

Diagnosa Perencanaan
No
(SDKI) Luaran (SLKI) Intervensi (SIKI)
1 Nyeri Tingkat nyeri Manajemen nyeri
Akut Ekspektasi : menurun Observasi
Kriteria hasil : - Identifikasi lokasi, karakteristik,
- Keluhan nyeri durasi, frekuensi, kualitas,
menurun intensitas nyeri
- Meringis menurun - Identifikasi skala nyeri
- Sikap protektif - Identifikasi respon nyeri non
menurun verbal
- Kesulitan tidur - Identifikasi faktor yang
menurun memperberat dan memperingan
- Frekuensi nadi nyeri
membaik - Identifikasi pengaruh nyeri pada
- Pola napas kualitas hidup
membaik Terapeutik
- Nafsu makan - Berikan terapi nonfarmakologis
membaik untuk mengurangi nyeri (TENS,
- Pola tidur membaik hypnosis, akupresur, terapi
music, kompres hangat/dingin)
- Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri (mis,
suhu ruangan, pencahayaan,
kebisingan)
- Fasilitasi istirahat dan tidur
Edukasi
- Jelaskan penyebab, periode, dan
pemicu nyeri
- Jelaskan strategi meredakan
nyeri
- Anjurkan memonitor nyeri
secara mandiri
- Ajarkan teknik nonfarmakologis
untuk mengurangi nyeri
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian analgetik,
jika perlu
2. Defisit Status Nutrisi Manajemen nutrisi
Nutrisi Ekspektasi : Membaik Observasi:
Kriteria Hasil : - Identifikasi status nutrisi
1. Porsi makan - Identifikasi alergi dan intoleransi
yang makanan
dihabiskan - Identifikasi makanan yang
meningkat disukai
2. Perasaan cepat - Maonitor asupan makanan
kenyang - Monitor berat badan
menurun - Monitor hasil pemeriksaan
3. Nyeri abdomen laboratorium
menurun Terapeutik:
4. Frekuensi - Berikan makanan tinggi serat
makan untuk mencegah konstipasi
membaik - Berikan suplemen makanan, jika
5. Nafsu makan perlu.
membaik Edukasi
6. Bising usus - Anjurkan posisi duduk, jika
membaik mampu
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian medikasi
sebelum makan
- Kolaborasi dengan ahli gizi
untuk menentukkan jumlah
kalori dan jenis nutrient yang
dibutuhkan, jika perlu.
3. Ansietas Tingkat asietas Reduksi ansietas
Ekspektasi : menurun Observasi
Kriteria hasil: - Identifikasi kemampuan
1. Perilaku mengambil keputusan
gelisah - Monitor tanda-tanda ansietas
menurun Terapeutik
2. Perilaku tegang - Cipatakan suasana terapeutik
menurun untuk menumbuhkan
3. Konsentrasi kepercayaan
membaik - Temani pasien untuk
4. Pola tidur mengurangi kecemasan, jika
membaik memungkinkan
5. Verbalisasi - Pahami situasi yang membuat
kebingungan ansietas dengarkan dengan
menurun penuh perhatian
6. Verbalisasi - Gunakan pendekatan yang
khawatir tenang dan meyakinkan
menurun Edukasi
- Jelaskan prosedur, termasuk
sensasi yang mungkin dialami
- Informasikan secara factual
mengenai diagnosis,
pengobatan, dan prognosis
- Anjurkan keluarga untuk tetap
bersama pasien, jika perlu
- Anjurkan untuk
mengungkapkan perasaan dan
persepsi
- Latih teknik relaksasi
- Latih kegiatan pengalihan untuk
mengurangi kecemasan
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian obat
antlansietas, jika perlu
DAFTAR PUSTAKA
Fithriyana, R. (2018). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian dispepsia
pada pasien di wilayah kerja Pukesmas Bangkinang Kota. Prepotif Jurnal
Kesehatan Masyarakat. 2(2), 43-54.
Nugroho, R., Safri., Nurchayati, S. (2018). Gambaran karakteristik pasien dengan
sindrom dispepsia di Pukesmas Rumbai. JOM FKP. 5(2), 823-830.
Nurarif, A.H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis Dan Nanda Nic-Noc ed 1. Yogyakarta: Mediaction.
Putri, R.Z., Ernalia, Y.,& Bebasari, E. (2015). Gambaran sindrom dispepsia
fungsional pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Riau angkatan
2014. JOM FK. 2(2), 3-17.
Suryanti. (2019). Karakteristik penderita dispepsia pada kunjungan rawat jalan
praktek pribadi Dr. Suryanti periode bulan Oktober-Desember 2018. Menara.
13(5), 171-175.
Zakiyah, W., Agustin, A.E., Fauziah, A., Sa’diyyah, N., & Mukti, G.I. (2021).
Definis, penyebab, klasifikasi, dan terapi sindrom dispepsia. Health Sains.
2(7), 978-985.

Anda mungkin juga menyukai