Anda di halaman 1dari 16

REFERAT

SYOK ANAFILAKSIS

Disusun oleh :

Muhammad Rayhan

1102013183

Pembimbing :

dr. Kusmardi S, Sp.PD

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi

Periode 31 Mei – 27 Juni 2021


BAB 1

PENDAHULUAN

Reaksi anafilaksis merupakan sindrom klinis akibat reaksi imunologis (reaksi


hipersensitivitas) yang bersifat sistemik,cepat, dan hebat yang dapat menyebabkan gangguan
respirasi, sirkulasi, pencernaan, dan kulit. Jika reaksi tersebut cukup hebat sehingga
menimbulkan syok, maka disebut sebagai syok anafilaktik yang dapat berakibat fatal.
WHO menyatakan bahwa istilah reaksi anafilaktoid telah dieliminasi dan semua
episode klinis yang menyerupai reaksi yang dimediasi IgE disebut anafilaksis. WHO
merekomendasikan anafilaksis terbagi menjadi reaksi imunologi dan non-imunologis
(termasuk reaksi anafilaktoid) dan reaksi imunologi dibagi menjadi reaksi akibat pelepasan
mediator basofil ataupun sel mast yang dimediasi IgE dan yang terjadi melalui mekanisme
imunologis lain. Manifestasi klinis syok anafilaksis sangat beragam. Namun, tanda yang
paling sering muncul adalah gejala pada kulit berupa angioedema, urtikaria, biasanya
sepanjang vena, kemerahan pada tubuh dan kadang-kadang hipotensi ringan. Reaksi awalnya
cenderung ringan namun jika tidak waspada, akan timbul bahaya seperti syok, gagal nafas,
henti jantung, dan kematian mendadak. 1

Menurut the American college of alergy,ashtma, and immunology epidimiology of


anaphylaxis, insiden terjadinya anafilaksis di dunia berkisar antara 30-950 kasus per 100.000
tiap tahunnya. Insiden anafilaksis sangat bervariasi, di Amerika Serikat disebutkan bahwa
angka kejadian anafilaksis berat antara 1-3 kasus/10.000 penduduk, paling banyak akibat
penggunaan antibiotik golongan penisilin dengan kematian terbanyak setelah 60 menit
penggunaan obat. Syok anafilaksis ditandai dengan adanya penurunan tekanan darah dan
kolaps sirkulasi, merupakan kondisi gawat darurat yang harus segera mendapatkan
penanganan yang tepat dan cepat. Identifikasi awal merupakan hal yang penting dalam
melakukan anamnesis, pemerikasaan fisik, dan penunjang untuk menegakkan suatu diagnosis
syok anfilaksis serta penatalaksanaan cepat, tepat, dan adekuat agar dapat mencegah keadaan
yang lebih berbahaya.2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Secara harafiah, anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik dan phylaxis yang
berarti perlindungan. Dalam hal ini respons imun yang seharusnya melindungi (prophylaxis)
justru merusak jaringan, dengan kata lain kebalikan dari pada melindungi (anti-phylaxis atau
anaphylaxis).
Syok anafilaksis adalah suatu respon hipersensivitas yang diperantai oleh
Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan curah jantung dan tekanan
arteri yang menurun hebat. Hal ini disebabkan oleh adanya suatu reaksi antibody yang timbul
segera setelah suatu antigen yang sensitif masuk dalam sirkulasi. Syok anafilaktik merupakan
salah satu manifestasi klinis dari anafilaksis yang merupakan syok distributif, ditandai oleh
adanya hipotensi yag nyata akibat vasodilatasi mendadak pada pembuluh darah dan disertai
kolaps pada sirkulasi darah yang dapat menyebabkan terjadinya kematian3

2.2 Epidemiologi

Insiden anafilaksis sangat bervariasi, di Amerika Serikat disebutkan bahwa angka


kejadian anafilaksis berat antara 1-3 kasus/10.000 penduduk, dilaporkan lebih dari 500
kematian terjadi setiap tahunnya karena antibiotik golongan beta laktam, khususnya penisilin
dengan kematian terbanyak setelah 60 menit penggunaan obat. Penisilin menyebabkan reaksi
yang fatal pada 0,002% pemakaian.4
Anafilaksis lebih sering terjadi pada perempuan, terutama perempuan dewasa muda
dengan insiden lebih tinggi sekitar 35% dan mempunyai risiko kira-kira 20 kali lipat lebih
tinggi dibandingkan laki-laki. Berdasarkan umur, anafilaksis lebih sering pada anak-anak dan
dewasa muda, sedangkan anafilaksis pada orang tua dan bayi jarang terjadi.4
2.3 Etiologi

Reaksi anafilaksis terjadi ketika sistem imun tubuh bereaksi dengan antigen yang
dianggap sebagai penyerang atau benda asing oleh tubuh. Sel darah putih kemudian
memproduksi antibodi dalam hal ini adalah IgE yang bersirkulasi pada peredaran darah dan
bereaksi dengan benda asing yang masuk.

Beberapa golongan alergen sering menimbulkan reaksi anafilaksis seperti


makanan,obat-obatan, sengatan serangga, dan lateks. Udang, kepiting, kerang, kacang, biji-
bijian, putih telur adalah makanan yang biasanya menyebabkan suatu reaksi anafilaksis.
Obat-obatan yang bisa menyebabkan anafilaksis seperti antibiotik khususnya penisilin, obat
anestesi intravena, relaksan otot, aspirin, NSAID, oploid, vitamin B1, asam folat, dan lain-
lain.

Obat pencetus anafilaksis:

a. Anafilaksis (melalui IgE)


1) Antibiotik (penisilin, sefalosporin)
2) Ekstra Alergen (tawon, polen)
3) Obat (thiopental, suksinilkolin)
4) Protein Manusia (Insulin, serum)
b. Anafilaktoid ( tanpa melalui IgE)
1) Obat (opiat, vankomisin)
2) Cairan hipertonik (manitol, dekstran)
3) Obat lain (fluorensi, media kontras)
4) Protein manusia ( imunoglobulin, dan produk darah lainnya)
5) Bahan dialisis (etilen oksida)
6) Antiinflamasi nonstreoid (aspirin, ibuprofen dll) 5
2.4 Patofisiologi

Coomb dan Gell (1963) mengelompokkan anafilaksis dalam hipersensitivitas tipe I


(reaksi tipe lambat). Mekanisme anafilaksis melalui 2 fase, yaitu fase sensitisasi dan aktivasi.
Fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikat
oleh reseptor spesifik pada permukaan sel mast dan basofil. Sedangkan fase aktivasi
merupakan waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang sama sampai
timbulnya gejala. Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa saluran nafas atau saluran
pencernaan ditangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut
kepada Limfosit T, kemudian akan mensekresikan Sitokin (IL4, IL13) yang menginduksi
limfosit B berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi IgE
spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada reseptor permukaan sel Mast dan
Basofil. 3.6.
Mastosit dan Basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan
reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh.
Alergen yang sama tadi akan diikat oleh IgE spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera
yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain Histamin, Serotonin, Bradikinin dan beberapa
bahan vasoaktif lain dari granula yang disebut dengan istilah preformed mediators 3.6.
Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi Asam Arakidonat dari membran sel
yang akan menghasilkan Leukotrien (LT) dan Prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa
waktu setelah degranulasi yang disebut newly formed mediators. Pada Fase Efektor adalah
waktu terjadinya respon yang kompleks anafilaksis sebagai efek mediator yang dilepas sel
mast dan basofil dengan aktivitas farmakologis pada organ-organ tertentu. Histamin
memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya
menyebabkan edema, sekresi mucous, dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan
permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos. Platelete
activating factor (PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler,
agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil.
Prostaglandin leukotrien yang dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi. Vasodilatasi
pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya fenomena maldistribusi
dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan penurunan aliran darah balik sehingga
curah jantung menurun yang diikuti dengan penurunan tekanan darah. Kemudian terjadi
penurunan tekanan perfusi yang berlanjut pada hipoksia yang berimplikasi pada keaadan
syok yang membahayakan penderita. Pada beberapa kasus, syok anafilaksis dapat meninggal
hanya dalam waktu beberapa menit akibat terkena syok sirkulasi maupun akibat dari
kesulitan bernapas 3.6.
Platelet activating factor (PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan
permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik
eosinofil dan basofil, lalu Prostaglandin leukoterin yang dihasilkan menyebabkan
bronkokostriksi.
Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya
fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan penurunan aliran
darah balik sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan penurunan tekanan darah,
kemudian terjadi penurunan tekanan perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia
jaringan yang berimplikasi pada kedaan syok yang membahayakan penderita.

gambar 1. Patofisiologi Anafilaksis

2.5 Manifestasi klinis

Anafilaksis terdiri dari kombinasi berbagai gejala yang bisa muncul beberapa
detik,menit, sampai beberapa jam setelah terpapar alergen. Manifestasi klinis anafilaksis
yang sangat bervariasi terjadi sebagai akibat berbagai macam mediator yang dilepaskan dari
sel mastosit dan basofil yang memiliki sensitivitas yang berbeda pada setiap organ yang
dipengaruhinya. Manifestasi klinis dari anafilaksis sangat bervariasi yaitu dari yang bersifat
ringan, sedang, sampai berat. Syok anafilaksis merupakan contoh manifestasi klinis yang
berat. Walaupun demikian, sebab kematian utama dari anafilaksis adalah syok dan obstruksi
saluran pernafasan.
Gejala dan tanda anafilaksis berdasarkan organ sasaran:
1. Prodromal: Lesu, lemah, rasa tak enak yang sukar dilukiskan, rasa tak enak di dada,
dan perut, rasa gatal di hidung dan Palatum.
2. Pernapasan :
a. Hidung : hidung gatal, bersin, dan tersumbat
b. Laring : rasa tercekik, suara serak, sesak napas, stridor, edema
c. Lidah : edema, sulit menelan
d. Bronkus : batuk, sesak, mengi, spasme.
3. Kardiovaskuler : pingsan/kehliangan kesadaran, palpitasi, takikardia, hipotensi
sampai syok, aritmia, peninngkatan permeabilitas vaskular( ekstravasasi cairan
cepat), kelainan EKG (gelombang T datar, terbalik, atau tanda-tanda infark miokard),
cardiac arrest
4. Gastrointestinal : disfagia, mual, muntah, kolik,diare yang kadang-kadang disertai
darah, peristaltik usus meninggi.
5. Kulit : eritema, urtika, angiodema di bibir, muka, atau ekstermitas.
6. Mata : gatal, lakrimasi
7. Susunan saraf pusat : gelisah, kejang, pusing, kebingungan, sakit 4

2.6 Diagnosis dan pemeriksaan penunjang

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis. Reaksi anafilaktik mungkin terjadi


jika ditemui beberapa gejala disertai gejala mendadak berikut:
a.Syok
b.Gejala respiratori (dipneu,wheezing)
c.Dua atau lebih gejala lain (angioedema, rhinorea, dan gejala GIT)
Sedangkan American Academy of Allergy, Asthma and Immunology telah membuat
suatu kriteria diagnosis anafilaksis sebagai berikut :
Tabel Kriteria Diagnosis Anafilaksis4:

Tabel 1. Kriteria Diagnosis Anafilaksis

Pemeriksaan penunjang
Untuk mengetahui beberapa penyebab terjadinya syok nafilaksis, maka dilakukan beberapa tes
untuk mengidentifikasi alergen:
a. Skin test
Indikasii tes kulit digunakan untuk mendeteksi antibodi IgE spesifik alergen inhalan,
makanan, obat-obatan ataupun racun. Suatu cara yang sering digunakan untuk
mengevaluasi sensitivitas alerginya. Pemeriksaan ini dilakukan secara invivo dengan
uji kulit untuk mencari alergen penyebab yaitu dengan uji tusuk (prick test), uji
tempel (patch test), intradermal testing (IDT) dan uji intrakutan atau intradermal yang
tunggal atau berseri (skin end-point titration/SET).
 Uji tusuk (prick test)
Prosedur Prick Test :
Prick Test atau tes cukit sering kali dilakukan pada bagian volar lengan
bawah. Pertama dilakukan desinfeksi dengan alkohol pada area volar dan ditandai
area yang akan ditetesi dengan ekstrak alergen. Tanda yang diberikan mempunyai
jarak antara satu dengan yang lain sekitar 2-3 cm. Ekstrak alergen diteteskan satu tetes
larutan alergen (histamine/control positif) dan larutan kontrol (buffer/control
negative) menggunakan jarum ukuran 26 ½ G atau 27 G atau blood lancet.7,8
Kemudian dicukitkan dengan sudut kemiringan 150-300 menembus lapisan
epidermis dengan ujung jarum menghadap ke atas tanpa menimbulkan perdarahan.
Tindakan ini mengakibatkan sejumlah alergen memasuki kulit. Tes dibaca setelah 15
– 20 menit dengan menilai bentol yang timbul.12
Untuk menilai pemeriksaan prick test dilakukan pengukuran bentol
berdasarkan The Standardization Committee of Northern (Scandinavian) Society of
Allergology dengan membandingkan bentol yang timbul akibat alergen dengan bentol
positif histamin dan bentol negatif larutan kontrol. Adapun penilaiannya sebagai
berikut :12,13
• Bentol histamin dinilai sebagai +++ (+3)
• Bentol larutan kontrol dinilai negatif (-)
• Derajat bentol + (+1) dan ++(+2) digunakan bila bentol yang timbul
besarnya antara bentol histamin dan larutan kontrol.
• Untuk bentol yang ukurannya 2 kali lebih besar dari diameter bentol
histamin dinilai ++++ (+4).12
 Uji tempel (patch test)
Patch testing atau tes tempel merupakan metode yang digunakan untuk
mendeteksi zat yang memberikan alergi jika terjadi kontak langsung dengan kulit.
Metode ini sering digunakan untuk menegakkan diagnosis dermatitis kontak yang
merupakan reaksi alergi tipe lambat, dimana reaksi yang terjadi baru dapat dilihat
dalam 2-3 hari.
Pemeriksaan patch test biasa dilakukan jika pemeriksaan dengan
menggunakan prick test memberikan hasil yang negatif.
Pada pelaksanaan pemeriksaan disiapkan 25–150 material yang dimasukkan ke
dalam chamber plastik atau aluminium dan diletakkan di belakang punggung.
Sebelumnya pada punggung diberikan tanda tempat-tempat yang akan ditempelkan
bahan alergen tersebut. Setelah ditempelkan kemudian dibiarkan selama 48 - 72 jam.
Kemudian diperiksa apakah ada tanda reaksi alergi yang dilihat dari bentol yang
muncul dan warna kemerahan.
Hasil yang dinilai atau didapatkan bisa berupa :
 Negatif (-)
 Reaksi iritasi (IR)
 Meragukan/tidak pasti (+/-)
 Positif lemah (+)
 Positif kuar (++)
 Reaksi yang ekstrem (+++)
Reaksi iritasi terdiri dari sweat rash, pustul folikuler dan reaksi seperti
terbakar. Reaksi positif lemah berupa warna merah jambu yang sedikit
menonjol atau plak berwarna merah. Reaksi positif kuat berupa papulovesikel
dan reaksi yang lebih berat berupa kulit yang melepuh atau luka. Reaksi yang
relevan tergantung dari jenis dermatitis dan alergen yang spesifik. Interprestasi
dari hasil yang didapatkan membutuhkan pengalaman dan latihan.13.12

 Intradermal testing (IDT)

Tehnik pemeriksaan tes intradermal mengalami beberapa modifikasi. Pada saat ini
prosedur tes intradermal digambarkan dengan menggunakan jarum 26-30 G untuk
menyuntikkan secara intradermal sebagian dari antigen, berbagai macam laporan
mengatakan batasannya 0,01-0,05 ml. Batasan dari konsentrasi ekstrak adalah 1 : 500
sampai 1 : 1000. Test dinilai setelah 10 – 15 menit. Pada kasus tertentu baru dapat dibaca
setelah 24 – 48 jam. Wheal dan eritema merupakan tanda dan tingkatan dalam skala
subjektif adalah 0 - +4.13.14
 Skin endpoint titration (SET)
Skin endpoint titration (SET) adalah bentuk tes kulit intradermal yang
menggunakan peningkatan dosis antigen untuk menentukan konsentrasi perubahan
reaksi dari negatif ke positif. Tes ini digunakan untuk mendiagnosis gangguan alergi,
dan merupakan alternatif yang potensial untuk tes diagnostik lainnya seperti skin
prick test atau tes in vitro.14.12

SET juga telah digunakan untuk memandu inisiasi imunoterapi dengan


menggunakan pengenceran sebagai permulaan dosis antigen.3 Tes intradermal atau tes
intrakutan secara umum biasa digunakan ketika terdapat kenaikan sensitivitas yang
merupakan tujuan pokok dari pemeriksaan (misalnya ketika skin prick test
memberikan hasil negatif walaupun mempunyai riwayat yang cocok terhadap
paparan). Tes intradermal lebih sensitif namun kurang spesifik dibandingkan dengan
skin prick test terhadap sebagian besar alergen, tetapi lebih baik daripada uji kulit
lainnya dalam mengakses hipersensitivitas terhadap hymenoptera (gigitan serangga)
dan penisilin atau alergen dengan potensi yang rendah

b. Hitung eosinofil total


Pemeriksaan hitung eosinofil total perlu dilakukan untuk menunjang diagnosis dan
mengevaluasi pengobatan penyakit alergi. Eosinofilia merupakan suatu keadaan dimana
jumah hitung leukosit menunjukan jumlah eosinofil 4-7% dari total leukosit atau sekitar
200-700 eosinofil/ mikroliter darah.

c. Radio allergo sorbent test (RAST)


Tes ini untuk mendeteksi alergen IgE spesifik. Pada RAST, suatu kompleks pada sebuah
antigen berikatan dengan matriks yang tidak larut diinkubasi dengan serum penderita.
Jumlah imunospesifik antibodi I gE ditentukan denga inkubasi pada kompleks dan
serum dengan ikatan radioaktif 125-label anti-igE. Ikatan radioaktif ini mencerminkan
antigen spesifik antibodi.

d. Serum tryptase
Pemeriksaan serum triptase dapat digunakan untuk mengidentifikasi reaksi anafilaksis
yang baru terjadi atau reaksi lain karena aktivasi sel mast. Triptase merupakan
protease yang berasal dari sel mast. Sampel darah idealnya diambil dalam waktu 1-3
jam setelah serangan anafilaksis. Setelah gejala mereda, 24 jam kemudian diambil
satu sampel darah lagi sebagai acuan dasar. Nilai total serum triptase pada orang sehat
berkisar antara 1-11,4 ng/mL, rata-rata 3-5ng/mL. 3.6.8
2.7 Diagnosis Banding

Beberapa keadaan dapat menyerupai reaksi anafilaktik, gambaran klinis yang


tidak spesifik dari anafilaktik mengakibatkan reaksi tersebut sulit dibedakan
dengan penyakit lainnya yang memiliki gejala yang sama. Hal ini terjadi karena
anafilaktik mempengaruhi seluruh sistem organ tubuh pada manusia sebagai
akibat pelepasan berbagai macam mediator dari sel mast dan basofil, dimana
masing-masing mediator tersebut memiliki afinitas yang berbeda pada setiap
reseptor pada sistem organ. Beberapa kondisi yang menyerupai reaksi anafilaktik
adalah reaksi vasogal, infark miokard akut, reaksi hipoglikemik, reaksi histeris,
carsinoid syndrome, chinese restaurant syndrome, asma bronkial, dan rhinitis
alergika.

2.8 Tatalaksana

 Tindakan pertama yang paling penting dilakukan adalah mengidentifikasi dan


menghentikan kontak dengan alergen yang diduga menyebabkan reaksi anafilaksis.
 Circulation support yaitu segera baringkan penderita dengan posisi supinasi
dengan tungkai diangkat lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah
balik vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan darah.
Bila terdapat distress nafas dan muntah, pasien dapat diposisikan senyaman mungkin
dengan kedua tungkai diangkat. Pada pasien muntah sebaiknya diposisikan miring
kekiri.11 bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis atau a. femoralis), segera
kompresi jantung luar. Pemasangan infus dekstran guna dapat mengisi volume
intravaskuler secepatnya. Jika cairan tersebut tak tersedia, Ringer Laktat atau NaCl
fisiologis dapat dipakai sebagai cairan pengganti. Pemberian cairan infus sebaiknya
dipertahankan sampai tekanan darah kembali optimal dan stabil.11.2
 Air way / penilaian jalan napas. Jalan napas harus dijaga tetap bebas agar tidak ada
sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher
diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan
melakukan triple airway manuver yaitu ekstensi kepala, tarik mandibula ke depan,
dan buka mulut. Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus segera ditolong
dengan lebih aktif melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi.9
 Breathing support segera memberikan bantuan napas buatan bila ada tanda-tanda
bernapas spontan, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada syok
anafilaksis yang disertai edema laring dapat mengakibatkan terjadinya obstrukis jalan
napas total atau parsial. Selain ditolong dengan obat-obatan, pasien juga harus segera
diberikan oksigen 5-10 liter/menit. 5.11.9
 Segera diberikan obat pilihan pertama untuk mengobati syok anafilaksis yaitu
adrenalin. Obat ini berpengaruh untuk meningkatkan tekanan darah, menyempitkan
pembuluh darah, melebarkan bronkus dan meningkatkan aktivitas otot jantung.
Adrenalin bekerja pada reseptor adrenergic di seluruh tubuh sehingga mempunyai
kemampuan memperbaiki kontraktilitas otot jantung, tonus pembuluh darah perifer
dan otot polos bronkus. Adrenalin selalu akan dapat menimbulkan vasokonstriksi
pembuluh darah arteri dan memicu denyut dan kontraksi jantung sehingga
menimbulkan tekanan darah naik seketika dan kerja cukup singkat.5.7 Cara pemberian
adrenalin secara intramuskuler pada lengan atas, paha ataupun sekitar lesi pada
sengatan serangga merupakan pilihan pertama pada penatalaksanaan syok anafilaksis.
Adrenalin memiliki onset yang cepat setelah pemberian intramuskuler. Pada pasien
dalam keadaan syok, absorbsi intramuskuler lebih cepat dan lebih baik dari pada
pemberian subkutan. Berikan 0.5 ml larutan 1:1000 (0.3-0.5 ml) untuk orang dewasa
dan 0.01 ml/kg BB untuk anak. Dosis diatas dapat diulang beberapa kali tiap 5-10
menit, sampai tekanan darah dan nadi menunjukkan perbaikan.

Pengobatan tambahan dapat diberikan pada penderita anafilaksis, pemberian cairan


tambahan dan obat-obat berupa antihistamin, kortikosteroid, dan bronkodilator.
 Jika hipotensi dan syok tidak berhasil dengan pemberian epinefrin
menandakan bahwa telah terjadi kekurangan cairan intravaskular. Segera
berikan cepat cairan kristaloid ataupun koloid secara IV. Dianjurkan untuk
meberikan cairan koloid 0,5-1 L dan sisanya dalam bentuk kristaloid. 5
 Apabila bronkospasme belum hilang dengan pemberian adrenalin, dapat
diberikan aminofilin 5-6 mg/kgbb yang diencerkan dalam 20cc dekstrosa 5%
atau NaCl 0,9% dan diberikan secara perlahan-lahan sampai 15 menit atau
diberikan salbutamol 0,25cc-0,5cc dalam 2-4 Ml NaCl 0,9%.5.11
 Antihistamin dan kortikosteroid merupakan pilihan kedua setelah andrenalin.
Kedua obat tersebut kurang menfaatnya pada tingkat syok anafilaksis, tapi
dapat diberikan setelah gejala klinik mulai membaik guna mencegah
komplikasi selanjutnya berupa serum sickness atau prolong effect dan juga
mencegah anafilaksis berulang. Antihistamin yang biasa digunakan adalah
difenhidramin HCL 5-20 mg IV dan untuk golongan kortikosteroid dapat
digunkan deksametason 5-20 mg IV atau hidrokortison 100-500 mg IV atau
metilpredsolon 125-500 mg IV. 5.7.3.9
 Bila tekanan darah belum teratasi dengan pemberian cairan, para ahli
berpendapat untuk meberikan vasopressor melalui cairan infus intravena.
Dengan cara melarutkan 1ml epinefrin 1:1000 dalam 250 ml dektrosa
(konsentrasi 4 mg/ml) diberikan dengan infus 1-4 mg/menit atau 15-60
mikrodrip/menit(dengan infus mikrodrip), bila diperlukan dosis dapat dinaikan
sampai maksimum 10 mg/ml. 5.7.3

Kalau syok sudah teratasi, penderita jangan cepat dipulangkan, tetapi harus
diawasi/diobservasi dulu 2-3 kali selama 6 jam. Sedangkan penderita yang telah mendapat
terapi adrenalin lebih dari 2–3 kali suntikan atau kasus berat, harus diobservasi 2-3 kali
selama 24 jam.. Mengonfirmasi faktor pemicu reaksi anafilaksis. Waktu yang optimal untuk
melakukan tes terhadap pemicu alergi adalah 3- 4 minggu setelah episode akut anafilaksis.
Pasien dengan hasil negatif perlu dites lagi beberapa minggu/bulan kemudian. Faktor yang
diketahui melalui anamnesis dapat menyebabkan reaksi anafilaksis perlu dikonfirmasi lagi
dengan skin test dan atau mengukur level allergen-spesific IgE pada serum. Pencegahan
berulangnya reaksi anafilaksis. Menghindari pemicu dan imunomodulasi adalah penangan
yang sangat tepat. Penanganan selanjutnya untuk reaksi anafilaksis diberikan antihistamin
cetirizine atau loratadine.
2.9 Komplikasi

Komplikasi dari reaksi anafilaksis sendiri sangat jarang terjadi, kebanyakan pasien
pulih sempurna. Namun tetap bisa terjadi iskemik miokardia akibat hipotensi dan hipoksia,
aritmia sebagai efek samping penggunaan vasopressor. Hipoksia dalam waktu lama juga
dapat menyebabkan kerusakan pada otak.9

2.10 Prognosis

Penanganan yang cepat, tepat, dan sesuai dengan prinsip kegawatdaruratan, reaksi
anafilaksis jarang menyebabkan kematian maka dari itu prognosis tergantung ketepatan
diagnosis dan penatalaksaannya. Namun reaksi anafilaksis tersebut dapat kambuh kembali
akibat paparan antigen spesifik yang sama. Maka dari itu perlu dilakukan observasi setelah
terjadinya serangan anafilaksis untuk mengantisipasi kerusakan sistem organ yang lebih luas
lagi.1

DAFTAR PUSTAKA
1. Liu, F. C., Chiou, H. J., Kuo, C. F., Chung, T. T., & Yu, H. P. (2017). Epidemiology
of Anaphylactic Shock and its Related Mortality in Hospital Patients in Taiwan : A
Nationwide Population-Based Study. Shock Society. 48(5) : 525-528
2. Pemayun T. P. D., and ketut Suryana. Seorang penderita syok anafilaktik dengan
manifestasi takikardi supraventrikular. Jurnal Peyakit Dalam Udayana. 2019; 3(2):41-
45.
3. Mustafa, SS. Anaphilaxis. April 8 2013. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/135065-overview2
Accessed on June 3, 2021
4. Deturk S., Shravan R., Anna N. P., and John W. Anaphilaxis shock. September 2019.
Available at:
https://www.researchgate.net/publication/336525127_Anaphylactic_Shock
5. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid III edisi VI. Jakarta: Interna Publishing. 2014.
6. Balentine JR. Severe Allergic Reaction (anaphilactic Shock). 2008. Available at:
http:www.emedicinehealth.com/severe_allergic_reaction_anaphylactic_shock.page2_
em.html
7. Perea A.A, Luciana K. T and Maria L. B. Dec 11 2017. How to manage anaphylaxis
in primary care. Available at: How to manage anaphylaxis in primary care (nih.gov)
Accessed on June 04, 2021
8. Manic monalisa. 2016. Tes Alergi dan Perkembangannya. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/135008-overview2
Accessed on June 04 2021
9. Mustafa S. 2018. Anaphylaxis Clinical Presentation: History, Physical Examination,
Complications. Available at: https://emedicine.medscape.com/article/135065-
clinical#b3
Accessed on June 04 2021
10. Linzer J. Pediatric Anaphylaxis: Overview, Pathophysiology, Common Triggers of
Pediatric Anaphylaxis [Internet]. Emedicine.medscape.com. 2016 [cited 2 April
2019]. Available from: https://emedicine.medscape.com/article/799744-overview#a2
Aeessed on June 04 2021
11. Clinical Practice Guidelines : Anaphylaxis [Internet]. Rch.org.au. 2017 [cited 29
March 2019]. Available at:
https://www.rch.org.au/clinicalguide/guideline_index/anaphylaxis/
Aeessed on 04 June 2021
12. Medicines to Avoid Before Allergy Skin Testing. American Academy of Otolaryngic
Allergy’s Clinical Care Statement. 2015.
13. Medical Policy. Capital Blue. Allergy testing and immunotherapy. MP-2.001. 2015.

Anda mungkin juga menyukai