Anda di halaman 1dari 7

REFERAT

ADIKSI GULA

Disusun oleh :
Dysa Ayu Shalsabila
1102017077

Pembimbing:
dr. Citra Fitri Agustina, Sp.KJ

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN UMUM
UNIVERSITAS YARSI
PERIODE 26 April 2021 – 30 Mei 2020
BAB I
PENDAHULUAN
Sistem saraf terlibat dalam mempengaruhi asupan makanan ataupun asupan dalam
pengunaan obat. Fakta beberapa obat dapat menyebabkan adiksi (kecanduan) memperkuat
kemungkinan bahwa beberapa makakan dapat menyebabkan adiksi (kecanduan). Banyak
orang yang mersasa bahwa mereka memiliki keharusan (dorongan) untuk mengkonsumsi
makanan yang manis. Sama seperti yang terjadi pada pecandu alcohol mereka memiliki
keharusan dalam mengkonsumsi alcohol. Sebelumnya telah diadakan penelitian yang
dilakukan pada binatang untuk dapat mengetahui mengapa beberapa orang memeliki
kesulitan dalam mengkontrol makanan-makanan enak, seperti minuman manis.
Pada penelitian yang dilakukan pada hewan (tikus) menunjukan bahwa adanya
kesamaan perilaku antara adiksi gula dan adiksi obat-obatan. Seperti adanya “bingeing”
mengkonsumsi sesuatu dalam jumlah (posrsi) yang sangat besar, seperti pada pengunaan
opoid adanya “withdrawal” yang ditandai dengan respond seperti anxiety, perilaku depresi
dan keinginan(mencari-cari) jika gula tidak mereka konsumsi tidak diberikan.
Tidak seperti gula, substansi obat seperti kokain, jika diberikan melalui inhalasi atau
intravena dapat langsung menembus sawar otak dan secara fisik dapat berinteraksi dan
menggangu molekul endogen spesifik dan proses-proses yang secara umum terjadi di otak.
Kokain, dapat berikatan dengan dopamine transporter yang selanjutnya dapat memblok
ambilan dopamine sehingga adanya lonjakan kadar dopamin yang tinggi pada otak. Hal ini
dapat mendorong perubahan pada saraf dan aktivitas sinaps dibagian otak . selanjutnya
menyebabkan perubahan perilaku serta sifat, perubahan mood (euphoria) dan perubahan
fungsi mental lainya.
Asupan gula yang tinggi juga dapat merubah aktivitas yang ada diotak tetapi melalui
jalur yang lebih alami. Yang pertama dapat melalui reseptor rasa manis yang ada di lidah sel
lidah dan yang kedua melalui jalur “post absortive brain mechanism glucose
signaling”.namun, sekarang banyak orang yang mengunakanan makanan manis untuk
mendapatkan efek psikoactive dan untuk menangani perubahan mood. Mereka
mengkonsumsi makanan manis untuk mendapatkan “highly reward sensation” untuk
mengatasi keadaan stress, kelelahan dan mengatasi bad mood (mood yang buruk). Hal ini
telah dikonfirmasi oleh penelitian diberbagai populasi bahwa makanan manis dapat memiliki
efef psikoactive, seperti menenangkan dan mengurangi mood depresi. Walau begitu efek
psikoactive pada makanan adalah ringan tidak sebeberbahaya pengunaan substasnsi obat-
obatan dalam dosis tinggi.
Berdasarkan observasi, bahwa pemberian gula secara terus menerus dapat memiliki
efek yang sama pada perubahan perilaku dan efek ativitas pada otak seperti efek yang
ditimbulkan pada substance-abuse. Sehingga kami menyarankan bahwa Adiksi gula
memenuhi kriteria diagnosis substance-use/subatance dependen dan dapat menyebabkan
adiksi bagi beberapa orang jika dikonsumsi dengan cara yang berlebihan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
Adiksi gula adalah ketergantungan pada gula. Walaupun belum ada definisi
yang pasti yang dimaksud dengan adiksi, berikut adalah beberapa kriteria yang harus
ada untuk mendiagnosis adanya adiksi seperti (cravings, tolerance dan withdrawal)
atau nama lainya dikenal dengan “trias adiksi”. Untuk mentukan bahwa apakah gula
dapat menyebabkan adiksi maka, pengunaan gula seharusnya dapat menyebabkan
“withdrawal”.
ETIOLOGI
Faktor lingkungan :dalam beberapa decade telah terjadi perubahan dalam
bidang panagan. Makanan tradisional telah digantikan oleh makanan-makanan yang
tinggi gula dan juga tinggi lemak. Seperti minum-minuman softdrink,maknan kaleng
dan berbagai makanan olahan.
PATOFISIOLOGI
Penelitian pada binatang menunjukan pengunaan gula berlebih dapat memiliki efek
yang sama seperti pada efek obat
1. Bingeing
2. Craving (keinginan yang sangat kuat untuk menggunakan)
3. Toleransi ( peningkatan asupan gula setelah asupan gula berulang)
4. Withdrawal (efek samping gejala psikologi akibat penghentian suatu zat)
5. Cross tolerance ( binatang menjadi lebih toleran terhadap efek analgesic atau
morphine setelah mengkonsumsi gula dalam janga Panjang)
6. Reward ( rilisnya dopamine yang intens pada otak)
7. Opioid effect rilisnya opioid endogen setelah mengkonsumsi substansi yang
manis.
Seseorang mungkin dapat menjadi kecanduan obat akibat ketergantungan kepada
rilisnya opioid endogen setelah mengkonsumsi gula.
Dapat dipertimbangkan adiksi gula jika terjadinya withdrawal. Agar manusia
mendapatkan efek withdrawal maka ambang batas harus dicapai maksudnya adalah ,
dosis tertentu gula harus dikonsumsi dalam jangka waktu tententu hingga terjadinya
adanya perubahan neurochemical di otak. Jangka waktu yang dibutuhkan dari orang
ke orang berbeda.
Setelah konsumsi gula yang kronik dalam jangka Panjang, jika pada suatu
periode tidak mengkonsumsi gula dapat menyebabkan defisiensi domapine di otak
dikarenakan penurunan regulasi dari pada dopamine D2 reseptor dan berkurangnya
dopamine yang terikat pada reseptor tersebut .
Dopamine yang rendah pada otak, dapat menyebabkan withdrawal.
Withdrawal dapat menyebabkan seseorang untuk mengkonsumsi gula secara terus
menerus dan menyebabkan ketergantungan. Saat periode tidak mengkonsumsi gula,
depresi ringan dapat terjadi dikarenakan defisiensi dopamine, yang mana dapat diatasi
dengan mengkonsumsi gula sehingga seseorang menjadi ketergantungan terhadap
asupan gula.
Gula dan glycaemic carbohydrates juga berefek pada serotonin. Setelah
mengkonsumsi makanan yang tinggi gula , terdapat lonjakan serotonin pada otak.
Sehingga seseorang dapat mengkonsumsi gula berlebih agar membuat mereka merasa
lebih baik. Dalam waktu yang lama hal ini dapat menyebabkan penurunan kadar
serotonin diotak lalu pada akhirnya membuat ketergantungan terhapap gula.
Konsumsi gula memenuhi kriteia dari substance Abuse yang mana menyebabkan
potensi bahwa konsumsi gula dapat menyebabkan adiksi.
Manifestasi Klinis
(Yale Food Addiction Scale) YFAS menunjukkan gejala yang paling sering ada pada
orang dewasa yang mengalami food addiction adalah :
 Keinginan yang menetap atau gagal untuk mengurangi jumlah
 makanan yang dikonsumsi.
 Terus mengkonsumsi makanan walaupun mengetahui efek negatifnya
 Memerlukan banyak waktu untuk mencoba mengurangi jumlah
makanan yang dikonsumsi.

Observasi perilaku pada binatang pada pemeberian gula yang serupa dengan perilaku
pada penyalah gunaan zat :
 “binge” : peningkatan asupan gula harian dalam jumlah yang besar. Hal ini juga
merupakan salah satu karakteristik dari kecanduan obat-obatan. Hal ini mungkin
disebabkan karena adanya toleransi terhadap suatu zat sehingga dibutuhkan
jumlah zat yang lebih banyak untuk menimbulkan efek euphoria yang sama.
Ditemukan bahwa perilaku yang dihasilkan karena konsumsi gula sama seperti
perilaku pada orang dengan kecanduan obat. Tikus yang diberi gula harian secara
intermitent asupan gulanya menjadi meningkat.
 “withdrawal” : anxiety dan perilaku depresi di induksi oleh opioid antagonis atau
kurang makan. Pada binatang yang sebelumnya sering dipaparkan dengan opioate
menunjukan tanda opiate withdrawal setelah zat tersebut tidak diberikan atau di
karenakan reseptor tersebut diblok menggunakan opioid antagonis. Pada tikus
opioate withdrawal menyebabkan gejala somatic yang berat seperti, menjadi
aggresif dan anxiety, menurunnya suhu tubuh, dan juga syndrome motivasi seperti
dysphoria dan depression. Beberapa gejala ini juga ditemukan setelah pemberian
gula secara intermitent dan terjadinya withdrawal dikarenakan diberikanya opioid
antagonis atau saat asupan gula dihentikan. Gejalanya adalah melitiputi gejala
somatic seperti gigi bergemeletuk, kaki dan kepala gemetar disertai Anxiety,
menurunya suhu badan, dan perilaku yang aggressive.
 “craving” : keinginan yang sangat untuk mendapatkan suatu zat.
DIAGNOSIS
Adapun kriteria adiksi penyalahgunaan zat secara umum berdasarkan pada
DSM 4 adalah sebagai berikut :
Ketergantungan zat: Tiga atau lebih gejala dalam periode 12 bulan yang sama (atau
satu gejala jika kriteria ketergantungan telah terpenuhi sebelumnya seumur hidup)
 Seseorang yang mengkonsumsi zat tertentu dalam jumlah besar atau dalam
periode yang lama yang intens.
 Keinginan yang menetap untuk menghentikan penggunaan zat tersebut tetapi
sering gagal.
 Memerlukan waktu dan kesempatan yang tepat untuk mendapatkan,
mengkonsumsi zat dan pulih kembali dari efek zat tersebut.
 gangguan kehidupan sosial, pekerjaan dan rekreasi pada individu yang
menggunakan zat tersebut
 Individu terus menerus mengkonsumsi zat tersebut walaupun zat tersebut
menimbulkan masalah fisik dan mental.
 Toleransi
 Withdrawal

TATALAKSANA
 Menghindari stress dan mengontrol emosi
 Pasien harus mengetahui bahwa pasien memiliki adiksi gula, pasien harus
diberitahu dampak jika terus adiksi gula, seperti obesitas dan diabetes melitus.
 Mulai mengurangi asupan gula yang berlebihan.
 Behavioral therapies
 3 Cognitive behavioral therapy
PENCEGAHAN
Pemerintah di negara tertentu telah memasukkan mempraktikkan kebijakan
untuk memajaki minuman manis (misalnya, pajak soda) atau produk dengan
kandungan lemak tinggi (mis., lemak pajak) sebagai bagian dari upaya mereka untuk
memberantasnya efek negative dari makronutrien yang berpotensi membuat
kecanduan. Selain itu perlunya ada penyuluhan kemasyarakat tentang kemungkinan
sifat adiktif dari gula dan "hyperpalatable" lainnya produk makanan.
BAB III
KESIMPULAN
Adiksi gula adalah ketergantungan pada gula yang ditandai dengan trias
Adiksi (cravings, tolerance dan withdrawal). Konsumsi gula mempunyai efek yang
sama seperti pada pengunaan obat yaitu asupan gula yang tinggi dapat mempengaruhi
aktivitas yang ada pada otak dan dapat menyebabkan adiksi gula. Untuk tatalaksana
salah satunya dengan mulai mengurangi asupan gula yang berlebihan dan untuk
pencegahan dapat dilakukan penyuluhan mengenai sifat adiktif dari gula.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, S. H., Guillem, K. and Vandaele, Y. (2013) ‘Sugar addiction: Pushing


the drug-sugar analogy to the limit’, Current Opinion in Clinical Nutrition and
Metabolic Care, 16(4), pp. 434–439. doi: 10.1097/MCO.0b013e328361c8b8.
Avena, N. M., Rada, P. and Hoebel, B. G. (2008) ‘Evidence for sugar
addiction: Behavioral and neurochemical effects of intermittent, excessive sugar
intake’, Neuroscience and Biobehavioral Reviews, 32(1), pp. 20–39. doi:
10.1016/j.neubiorev.2007.04.019.
DiNicolantonio, J. J., O’Keefe, J. H. and Wilson, W. L. (2018) ‘Sugar
addiction: Is it real? A narrative review’, British Journal of Sports Medicine, 52(14),
pp. 910–913. doi: 10.1136/bjsports-2017-097971.
Fortuna, J. L. (2010) ‘Sweet preference, sugar addiction and the familial
history of alcohol dependence: Shared neural pathways and genes’, Journal of
Psychoactive Drugs, 42(2), pp. 147–151. doi: 10.1080/02791072.2010.10400687.
Meule, A. (2011) ‘How prevalent is “food addiction”?’, Frontiers in
Psychiatry, 2(NOV), pp. 2009–2012. doi: 10.3389/fpsyt.2011.00061.
Nantha, Y. S. (2014) ‘Addiction to sugar and its link to health morbidity: A
primer for newer primary care and public health initiatives in Malaysia’, Journal of
Primary Care and Community Health, 5(4), pp. 263–270. doi:
10.1177/2150131914536988.
Onaolapo, A. Y., Onaolapo, O. J. and Olowe, O. A. (2020) An overview of
addiction to sugar, Dietary Sugar, Salt and Fat in Human Health. INC. doi:
10.1016/b978-0-12-816918-6.00009-3.
Westwater, M. L., Fletcher, P. C. and Ziauddeen, H. (2016) ‘Sugar addiction:
the state of the science’, European Journal of Nutrition, 55(s2), pp. 55–69. doi:
10.1007/s00394-016-1229-6.

Anda mungkin juga menyukai