Anda di halaman 1dari 51

REFERAT

Kegawatdaruratan Pada Kulit

Disusun Oleh:
Afina Yasyfi Ramdhani (1102013013)
Camelia Farahdila Musaaad (1102013061)
Miranti Laras Ayu Sanusi (1102013172)

Pembimbing:
dr. Hapsari Triandriyani, Sp.KK, M.Kes
dr. Gayanti Germania, Sp.KK
dr. Christilla Citra Aryani, Sp.KK

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KULIT DAN KELAMIN


PERIODE 28 JANUARI 2019 – 03 MARET 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN YARSI – RSUD PASAR REBO
JAKARTA

1
DAFTAR ISI

Halaman Judul ............................................................................................................................. 1


Pendahuluan ................................................................................................................................. 3
Tinjauan Pustaka
Steven Johnson Syndrome ........................................................................................................... 4
Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) .......................................................................................... 13
Eritroderma ................................................................................................................................ 20
Staphylococcal Scalded Skin Syndrome .................................................................................... 33
Pemfigus Vulgaris ...................................................................................................................... 40
Daftar Pustaka ............................................................................................................................ 50

2
BAB I
PENDAHULUAN

Kulit adalah organ terbesar pada tubuh manusia, dengan berat sekitar 5 kg dan lluas 2
2
m pada seseorang dengan berat badan 70 kg. Kulit menjalankan berbagai tugas dalam
memelihara kesehatan manusia secara utuh.
Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasi dari lingkungan hidup
manusia. Berbeda dengan organ lain, kulit yang terletak pada sisi terluar manusia ini
memudahkan pengamatan, baik dalam kondisi normal maupun sakit. Manusia secara sadar terus
menerus mengamati organ ini, baik yang dimiliki orang lain maupun diri sendiri.
Kelaian kulit dapat merupakan manifestasi penyakit autoimun, kencing manis,
hipotiroid, kanker darah, kolesterol tinggi, dan lain-lain. Kegawatdaruratan pada kulit dapat
terjadi pada seseorang maupun sekelompok orang pada setiap saat dimana saja. Keadaan ini
membutuhkan pertolongan segera yang dapat berupa pertolongan pertama sampai dengan
pertolongan selanjutnya secara menetap di Rumah Sakit.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Steven Johnson Syndrome


1.1 Definisi

Gambar 1. Stevens-Johnson syndrome


Lepuh lapisan kulit di punggung dan bokong

Stevens-Johnson syndrome merupakan bentuk eriema multiforme fatal yang timbul


dengan prodormal seperti penyakit flu, dan ditandai dengan lesi-lesi sistemik dan mukokutan
yang berat. Terdapat keterlibatan mukosa oronasal dan anogenital dengan pseudomembran
putih atau abu-abu yang khas, dan krusta hemoragik yang sering terjadi pada bibir. Lesi pada
mata bervariasi, sering dengan injeksi konjungtivitis, iritis, uveitis, vesikel, erosi, dan perforasi
kornea yang menyebabkan kekeruhan kornea dan kebutaan. Paru, gastrointestinal, jantung, dan
ginjal juga dapat terlibat. Stevens-Johnson syndrome merupakan salah satu kedaruratan, yang
biasanya memerlukan perawatan di rumah sakit. Tatalaksana difokuskan untuk menghilangkan
faktor penyebab, pengawasan gejala, dan meminimalisir komplikasi. 2 Penyembuhan Stevens-
Johnson syndrome memerlukan waktu mulai dari beberapa minggu sampai bulan, tergantung
pada berat atau tidaknya kondisi pasien. Bila Stevens-Johnson syndrome diakibatkan oleh
pengobatan, maka pengobatan tersebut harus dihindari selamanya. 2

1.2 Etiologi
Hampir semua kasus Stevens-Johnson syndrome disebabkan oleh reaksi toksik terhadap
obat, terutama antibiotik (misal; obat sulfa dan penisilin), antikejang (mis. fenitoin) dan obat
nyeri, termasuk yang dijual tanpa resep (misal; ibuprofen). Terkait HIV, alasan Stevens-
Johnson syndrome yang paling umum adalah nevirapine (hingga 1,5 persen penggunanya) dan

4
kotrimoksazol (jarang). Reaksi ini dialami segera setelah mulai obat, biasanya dalam 2-3
minggu.
Etiologi Stevens-Johnson syndrome sukar ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya
berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat.
Beberapa faktor penyebab timbulnya Stevens-Johnson syndrome diantaranya : 7
a. Infeksi viral meliputi simplex virus (HSV), AIDS, coxsackie viral infections, influenza,
hepatitis, mumps, lymphogranuloma venereum (LGV), rickettsial infections, and variola.
Pada anak dapat disebabkan Epstein-Barr virus and enteroviruses. 7
b. Infeksi Bakteri meliputi group A beta streptococci, diphtheria, Brucellosis, mycobacteria,
Mycoplasma pneumoniae, tularemia, dan typhoid.7
c. Infeksi Jamur meliputi Coccidioidomycosis, dermatophytosis, dan histoplasmosis.
d. Infeksi Protozoa meliputi Malaria dan trichomoniasis. 7
e. Obat-obatan meliputi golongan penicillin dan sulfa. Antikonvulsi meliputi phenytoin,
carbamazepine, asam valproat, lamotrigine, dan barbiturate. Antidepresan mirtazapine dan
antagonis TNF alfa infliximab, etanercept, and adalimumab. Lain-lain (Allopurinol,
modafinil). 7
f. Keganasan 7
g. 25 – 50 % kasus Stevens-Johnson syndrome adalah idiopatik 7

1.3 Patofisiologi
Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan
IV. Reaksi tipe III dan IV. Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi
yang mikro presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen.1Akibatnya terjadi
akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan
pada organ sasaran (target-organ). Reaksi hipersensitifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang
tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limtokin dilepaskan
sebagai reaksi radang. 1

Reaksi hipersensitif tipe III (Reaksi imun kompleks)


Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersikulasi dalam darah
mengendap di dalam pembuluh darah atau jaringan lunak.9 Di sini antibodi berikatan dengan
antigen dan komplemen membentuk kompleks imun. Keadaan ini menimbulkan
neurotrophichemotactic factor yang dapat menyebabkan terjadinya peradangan atau kerusakan
lokal. Pada umumnya terjadi pada pembuluh darah kecil. 1

5
Antibiotik tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan
kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan menyebabkan
terbentuknya komplek antigen antibodi ditempat tersebut. Reaksi tipe ini mengaktifkan
komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan jaringan atau kapiler ditempat
terjadinya reaksi tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel
yang rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel, serta penimbunan sisa sel. Hal ini
menyebabkan siklus peradangan berlanjut. 1

Reaksi hipersensitif tipe IV (Reaksi tipe lambat)


Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T. Penghasil limfokin atau
sitotoksik atau suatu antigen meningkat sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang
bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat (delayed) memerlukan
waktu 14 jam sampai 27 jam untuk terbentuknya. Limfosit T peka (sensitized T lymphocyte)
bereaksi dengan antigen, dan menyebabkan terlepasnya mediator (limfokin). 1Hipersensitivitas
tipe IV dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori berdasarkan waktu awal timbulnya gejala,
serta penampakan klinis dan histologis. Ketiga kategori tersebut dapat dilihat pada tabel di
bawah ini:10

Tabel 1. Tipe Reaksi Hipersensitivitas tipe IV

1.4 Diagnosis
1.4.1 Anamnesa
• Biasanya, proses penyakit bermula dari infeksi saluran pernapasan atas yang nonspesifik
o Gejala prodormal biasanya berlangsung antara 1-14 hari berupa demam, sakit
tenggorokan, sakit kepala, dan malaise.4,7
o Muntah dan diare biasanya bukan merupakan gejala prodormal.6

6
• Lesi mukokutaneus dapat timbul secara mendadak. Biasanya muncul pada akhir minggu ke 2
- 4. Lesi biasanya tidak disertai rasa gatal. 7
• Riwayat demam yang memberat harus dipikirkan adanya suatu infeksi yang memberat;
walaupun pada 85% kasus disertai dengan demam. 7
• Adanya selaput pada mucosa oral yang berat dapat mengakibatkan kesulitan untuk makan
dan minum. 7
• Dapat disertai gejala pada genitourinaria berupa disuria dan inkontinensia uri.
• Gejala lain yang dpat muncul berupa7 :
o Batuk berdahak yang purulen
o Sakit kepala
o Malaise
o Arthralgia

1.4.2 Pemeriksaan Fisik


Tanda tanda utama :
1. Kelainan pada kulit berupa bercak-bercak perdarahan dibawah kulit.
2. Bercak merah bulat pada kulit dengan bagian tengah terdapat lepuh kecil hingga kulit
terkelupas luas, basah dan berdarah.
3. Kelainan pada mukosa (hidung, mata, mulut, kelamin), bentuknya bisa berupa bibir
terkelupas dan berdarah, kelamin lepuh terkelupas dan konjungtivitis (radang selaput bola
mata).

Gambar 2. Konjungtivitis pada Pasien Stevens-Johnson syndrome

7
Rash awalnya berupa macula yang kemudian berkembang menjadi papula, vesikel, bulllae,
plaques urtikaria, atau eritema. 7
• Lesi di tengah dapat berupa vesicular, purpura, atau nekrotik. 7
• Lesi yang khas berupa lesi berbentuk target. Lesi tersebut merupakan patognomonik. Pada
eritema multiforme lesi memiliki dua zona warna. Ditengah dapat berupa vesicular, purpuric,
atau nekrotik; dan dikelilingi oleh zona macular eritema. Yang biasa disebut dengan “target
lession”. 7

Gambar 3. Gambaran Target Lession dan bullae


• Lesi dapat berupa bullae yang kemudia rupture, yang mengakibatkan lapisan kulit menjadi
terbuka. Kulit tersebut dapat terkena infeksi sekunder. 7

Gambar 4. Gambaran kulit yg terkelupas pada Stevens-Johnson syndrome

• Lesi urtikaria biasanya tidak pruritic7


• Dapat terjadi infeksi yang mengakibatkan terbentuknya jaringan parut. 7
• Lesi dapat timbul dimana saja mulai dari telapak tangan sampai telapak kaki. Berikut ini
gambaran deskuamasi kaki. 7

8
Gambar 5. Gambar deskuamasi kaki pada Stevens-Johnson syndrome

• Rash dapat ditemukan hanya pada satu area di tubuh, yang paling sering pada punggung7
• Mucosa biasanya timbul lesi berupa eritema, edema, lepuh, kulit yang terkelupas, ulcerasi,
dan nekrosis. Contoh pada tipe ini dapat lihat gambar di bawah ini7

Gambar 6. Krusta membaran mucosa pada Stevens-Johnson syndrome

1.4.3 Pemeriksaan Penunjang


Pada kasus Stevens-Johnson syndrome, pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk
mengobservasi keadaan umum pasien dan bukan untuk membantu menegakkan diagnosis. Hasil
pemeriksaan laboratorium tidak khas. Leukositosis dapat disebabkan oleh infeksi bakteri.
6
Eosinofilia dapat disebabkan oleh alergi. Jika diduga adanya infeksi atau tapering off
kortikosteroid tidak lancar, dan dipertimbangkan adanya faktor lain, dilakukan kultur darah.
Kulit darah diambil dikompres dengan spiritus dilutus (alcohol 70%) dan kasa steril selama
setengah jam untuk menghindari kontaminasi. 3
Pencitraan radiologis bukan pemeriksaan rutin dan diindikasikan jika terdapat
kecurigaan terhadap pneumonitis. Selain itu bronkoskopi, esofagogastroduodeniskopi dan

9
6
colonoskopi jika terdapat indikasi. Biopsi kulit untuk menegakkan diagnosis pasti, bukan
merupakan prosedur kegawatdaruratan, mendapatkan bula subepidermal dengan sel epidermal
nekrosis yang menyeluruh. Didapatkan juga infiltrat, limfosit, pembuluh darah.dermis
superficial, edema dan ekstravasasi sel darah merah di dermis papilar, degenerasi hidropik
lapisan basalis sampai terbentuk vesikel subepidermal, nekrolisis sel epidermal dan kadang-
kadang adneksa, spongiosis dan edema intrasel di epidermis.6,7
Uji tempel dan uji tusuk bertujuan untuk mencari agen penyebab dilakukan setelah
pasien pulih dan minimal 2 minggu tidak mengonsumsi kortikosteroid. Uji provokasi oral yang
merupakan baku emas pada erupsi obat alergik tidak dilakukan pada eritema multiforme mayor
karena dapat berakibat fatal.3 Pemeriksaan imunofluoresen dapat memperlihatkan endapan
IgM, IgA, C3, dan fibrin. Untuk mendapat hasil pemeriksaan imunofluoresen yang baik maka
bahan biopsi kulit harus diambil dari lesi baru yang berumur kurang dari 24 jam. 7

1.5 Tatalaksana
• Terapi suportif merupakan tata laksana standar pada pasien SJS. Pasien yang umumnya
datang dengan keadaan umum berat membutuhkan cairan dan elektrolit, serta kebutuhan
kalori dan protein yang sesuai secara parenteral. Pemberian cairan tergantung dari luasnya
kelainan kulit dan mukosa yang terlibat. Pemberian nutrisi melalui pipa nasogastrik
dilakukan sampai mukosa oral kembali normal. Lesi di mukosa mulut diberikan obat pencuci
mulut dan salep gliserin.1
• Untuk infeksi, diberikan antibiotika spektrum luas, biasanya dipergunakan gentamisin
5mg/kgBB/hari intramuskular dalam dua dosis. Pemberian antibiotik selanjutnya
berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah. 1
• Kortikosteroid diberikan parenteral, biasanya deksametason dengan dosis awal 1 mg/kgBB
bolus, kemudian selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kgBB tiap 6 jam, setelah itu diturunkan berangsur-
angsur dan bila mungkin diganti dengan prednison per oral. Pemberian kortikosteroid
sistemik sebagai terapi SJS masih kontroversial. Beberapa mengganggap bahwa penggunaan
steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan penyembuhan yang lambat dan efek samping
yang signifikan, namun ada juga yang menganggap steroid menguntungkan dan
menyelamatkan nyawa. 1
• Penggunaan Human Intravenous Immunoglobulin (IVIG) dapat menghentikan progresivitas
penyakit SJS dengan dosis total 3 gr/kgBB selama 3 hari berturut-turut (1 gr/kgBB/hari
selama 3 hari). 1,2

10
• Dilakukan perawatan kulit dan mata serta pemberian antibitik topikal. Kulit dapat
dibersihkan dengan larutan salin fisiologis atau dikompres dengan larutan Burrow. Pada kulit
atau epidermis yang mengalami nekrosis dapat dilakukan debridement. Untuk mencegah
sekuele okular dapat diberikan tetes mata dengan antiseptik. 1
• Faktor penyebab (obat atau faktor lain yang diduga sebagai penyebab) harus segera
dihentikan atau diatasi. Deteksi dari penyebab yang paling umum seperti riwayat
penggunaan obat-obatan terakhir, serta hubungannya dengan perkembangan penyakit
terutama terhadap episode SJS, terbukti bermanfaat dalam manajemen SJS. 1
• Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari
sediaan lesi kulit dan darah. 1
• Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin hidrogen maleat (Avil)
dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 3-12 tahun 15
mg/dosis, diberikan 3 kali/hari. Sedangkan untuk setirizin dapat diberikan dosis untuk usia
anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari. Perawatan
kulit dan mata serta pemberian antibiotik topikal. 1
• Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi. 1
• Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi kulit. 1
• Lesi mulut diberi kenalog in orabase. 1
• Terapi infeksi sekunder dengan antibiotika yang jarang menimbulkan alergi, berspektrum
luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik, misalnya klindamisin intravena 8-
16 mg/kg/hari intravena, diberikan 2 kali/hari. 1

1.6 Mortalitas
• Mortalitas terutama ditentukan pada luas kulit yang terkena. Ketika BSA (Body Surface
Area) kurang dari 10%, angka mortalitas kira-kira 1-5%. Terkadang BSA yang terkena bias
mencapai 30%, pada saat itu terjadi maka angka mortalitas meningkat menjadi 25% dan
mungkin mencapai 50%. Bakteremia atau sepsis juga dapat mengakibatkan mortalitas.7
• Lesi akan terus muncul sampai 2-3 minggu. Terbentuknya pseudomembran di mukosa akan
mengakibatkan parut pada mukosa tersebut dan akan mengakibatkan hilangnya fungsi pada
organ yang terkena. Striktur esofagus akan muncul bila parut meluas pada esofagus.
Kerusakan yang terjadi pada tracheobronchial akan mengakibatkan gagal napas.
• Sekuele pada mata meliputi ulcus kornea dan uveitis anterior. Kebutaan mungkin akan
muncul sebagai akibat sekunder dari keratitis atau panoftalmitis yang berat
• SCORTEN (Score of Toxic Epidermal Necrosis) Scale6 :
11
Tabel 2. SCORTEN Scale
Faktor Resiko 0 1
Usia < 40 tahun > 40 tahun
Riwayat keganasan Tidak Ya
Heart Rate (denyut per menit) <120 >120
Serum BUN (mg/dL) <27 >27
Luas permukaan tubuh <10% >10%
Serum bikarbonat (mEq/L) >20 <20
Serum glukosa (mg/dL) <250 >250
Skor faktor resiko Angka Mortalitas
0-1 3,2 %
2 12,1 %
3 35,3 %
4 58,3 %
5 atau lebih > 90 %

1.7 Prognosis
Pada kasus yang tidak berat, prognosisnya baik, dan penyembuhan terjadi dalam waktu
2-3 minggu. Kematian berkisar antara 5-15% pada kasus berat dengan berbagai komplikasi atau
pengobatan terlambat dan tidak memadai. Prognosis lebih berat bila terjadi purpura yang lebih
luas. Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit,
bronkopneumonia, serta sepsis. 1

12
2. Nekrolisis Epidermal Toksik (NET)
2.1 Definisi
Nekrolisis epidermal toksik atau Lyell's syndrome adalah kelainan kulit yang
memerlukan penanganan segera yang paling banyak disebabkan oleh obat-obatan. Meskipun
begitu, etiologi lainnya, termasuk infeksi, keganasan, dan vaksinasi, juga bisa menyebabkan
penyakit ini. Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) merupakan reaksi mukokutaneous khas onset
akut dan berpotensi mematikan, yang biasanya terjadi setelah dimulainya pengobatan baru.
Nekrolisis epidermal toksik merupakan varian yang paling berat dari penyakit bulosa seperti
eritema multiforme dan sindrom Stevens-Johnson. Semua kelainan tersebut memberikan
gambaran lesi kulit yang menyebar luas, dan terutama pada badan dan wajah yang melibatkan
satu atau lebih membran mukosa. Pada Stevens-Johnson Syndrome (SJS) epidermal detachment
meliputi kurang dari 10% luas permukaan kulit tubuh ; transitional SJS-TEN ditentukan dengan
epidermal detachment antara 10 sampai 30 % ; dan TEN detachment lebih dari 30 %.12

2.2. Epidemiologi
Kejadian di seluruh dunia adalah 0,5 sampai 1,4 kasus per 1 juta penduduk per tahun.
Berdasarkan jenis kelamin didapatkan frekuensi yang sama pada pria dan wanita. NET dapat
mengenai semua kelompok usia tetapi lebih umum pada orang tua, kemungkinan karena
meningkatnya jumlah obat yang dikonsumsi oleh orang tua.11,12

2.3. Etiologi
Etiologi NET sama dengan Syndrome Steven Johnson. NET juga dapat terjadi akibat
reaksi graft versus host, infeksi (virus,jamur,bakteri,parasit), dan sepertiga kasus nekrolisis
epidermal toksika disebabkan oleh suatu reaksi terhadap suatu obat. Hubungan antara intake
obat dan onset penyakit ini merupakan faktor yang sangat penting. SJS dan TEN umumnya
dimulai kurang dari 8 minggu tapi lebih dari 4 hari sejak intake obat pertama kali. Obat yang
paling sering menyebabkan penyakit ini adalah :

13
Sumber : Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, 2008.

2.4 Patofisiologi
Patogenesisnya belum jelas. Ada yang menganggap bahwa N.E.T. merupakan bentuk
berat Sindrome Stevens-Johnson karena pada sebagian para penderita SJS penyakitnya
berkembang menjadi NET. Keduanya dapat disebabkan oleh alergi obat dengan spectrum yang
hampir sama. Anggapan lain N.E.T. berbeda dengan SJS karena pada N.E.T tidak didapati
kompleks imun yang beredar seperti pada Sindrome Stevens-Johnson dan eritema multiformis.
Gambaran histologiknya juga berlainan. NET dipercaya merupakan immune-related cytotoxic
reaction yang menghancurkan keratinosit yang mengekspresikan sebagai antigen asing. TEN
menyerupai reaksi hipersensitivitas dengan karakteristik reaksi lambat pada pajanan pertama
dan reaksinya meningkat cepat pada pajanan ulang.12,13
Adanya bukti yang mendukung beberapa jalur immunopatologik yang mengacu pada apoptosis
keratinosit, sebagai berikut :
• Aktivasi Fas-ligand pada membran keratinosit à death receptor–mediated apoptosis
• Pelepasan protein dekstruktif (perforin and granzyme B) dari sitotoksik T limfosit akibat
interaksi dengan sel yang mengekspresikan major histocompatability complex (MHC) class
I.
• Produksi berlebih dari T cell dan/atau macrophage-derived cytokines (interferon-γ, tumor
necrosis factor-α [TNF-α], and various interleukins).
• Drug-induced secretion of granulysin dari CTLs, natural killer cells, dan natural killer T
cells.

2.5 Manifestasi Klinis


N.E.T. umumnya terdapat pada orang dewasa. Pada umumnya N.E.T. merupakan
penyakit yang berat dan sering menyebabkan kematian karena gangguan keseimbangan
cairan/elektrolit atau karena sepsis. Gejalanya mirip Sindrome Steven Johnson. Penyakit mulai
14
secara akut dengan gejala prodromal. Penderita tampak sakit berat dengan demam tinggi,
mialgia, cephalgia, dan kesadaran menurun. Kelainan kulit mulai dengan eritema generalisata
kemudian banyak timbul vesikel dan bula, dapat pula disertai purpura. Kelainan pada kulit
dapat disertai kelainan pada bibir dan selaput lendir mulut berupa erosi, ekskoriasi, dan
perdarahan sehingga terbentuk krusta berwarna merah hitam. Kelainan semacam itu dapat pula
terjadi di orifisium genitalia eksterna. Juga dapat disertai kelainan pada mata seperti pada
syndrome Steven Johnson. 11,12
Pada N.E.T. yang terpenting ialah terjadinya epidermolisis, yaitu epidermis terlepas dari
dasarnya yang kemudian menyeluruh. Gambaran klinisnya menyerupai kombustio. Adanya
epidermolisis menyebabkan tanda Nikolski positif pada kulit yang eritematosa, yaitu jika kulit
ditekan dan digeser, maka kulit akan terkelupas. Epidermolisis mudah dilihat pada tempat yang
sering terkena tekanan, yakni pada punggung dan bokong karena biasanya penderita berbaring.
Pada sebagian para penderita kelaina kulit hanya berupa epidermolisis dan purpura, tanpa
disertai erosi, vesikel, dan bula. Kuku dapat terlepas (onikolisis). Pada organ tubuh dapat terjadi
perdarahan traktus gastrointestinal, trakeitis, bronkopneumonia, udem paru, emboli paru,
gangguan keseimbangan cairan & elektrolit, syok hemodinamik & kegagalan ginjal.Pada
penyakit ini terlihat adanya trias kelainan berupa :
1. Kelainan kulit. Kelainan kulit terdiri atas eritema, papul, vesikel, dan bula. Vesikel dan bula
kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Dapat juga disertai purpura.

2. Kelainan selaput lendir di orifisium

Kelainan di selaput lendir yang sering ialah pada mukosa mulut, kemudian genital,
sedangkan dilubang hidung dan anus jarang ditemukan. Kelainan berupa vesikal dan bula
yang cepat memecah hingga menjadi erosi dan ekskoriasi serta krusta kehitaman. Juga dapat
terbentuk pescudo membran. Di bibir yang sering tampak adalah krusta berwarna hitam yang
tebal. Kelainan di mukosa dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas dan
esophagus. Stomatitis ini dapat menyeababkan penderita sukar/tidak dapat menelan. Adanya
pseudomembran di faring dapat menimbulkan keluhan sukar bernafas.
3. Kelainan mata
Kelainan mata yang sering ialah konjungtivitis, perdarahan, simblefarop, ulkus kornea,
iritis dan iridosiklitis. Lebih dari 80% pasien memperlihatkan adanya kelainan yang
melibatkan konjungtiva, ulserasi kornea, uveitis anterior dan synechiae. 11,12

15
2.6 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala dan hasil pemeriksaan fisik. Hal yang
terpenting yaitu adanya riwayat mengkonsumsi obat-obatan tertentu. Semua kasus yang
dicurigai NET harus dilakukan biopsi kulit dan hapusan immunofluoresensi harus
dipertimbangkan jika diduga pemphigus / pemphigoid. Laboratorium didapatkan adanya
leukositosis, peningkatan enzim transaminase serum, albuminuria, gangguan fungsi ginjal, dan
ketidakseimbangan elektrolit. Pemeriksaan radiologi dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan infeksi TBC dan bronkopneumonia. Pemeriksaan histopatologi, lesi awal
menunjukkan apoptosis keratinosit lapisan suprabasal dan pada lesi lanjut didapatkan adanya
nekrosis di seluruh lapisan epidermis, kecuali stratum korneum, dan terpisahnya lapisan
epidermis dan dermis.13

Sumber : Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, 2008.

16
2.7 Diagnosis Banding

Sumber : Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, 2008.

Sumber : Hongkong medical diary, 2008.

2.8 Tatalaksana
Hanya pasien dengan keterlibatan kulit yang terbatas dan SCORTEN 0-1 yang tidak
perlu penanganan spesial. Sedangkan yang lain harus ditanganin di unit intensive atau burn
centers. Supportive cares terdiri dari : mempertahankan kestabilan hemodinamik dan mencegah
komplikasi yang mengancam nyawa.12,13

17
Sumber : Hongkong medical diary, 2008.
§ Pengobatan Simptomatik :
- Fluid replacement secepatnya : Tujuan à Mengatur+mempertahankan keseimbangan
cairan & elektrolit.
- Suhu ruangan dipertahankan 28 – 30 oC à cegah hipotermi
- Early nutritional support à pasang nasogastric tube (NGT), diet tinggi protein & rendah
garam
- Debridement ekstensif dan agresif tidak dianjurkan.
- Konsultasi disiplin ilmu lain : THT, mata, penyakit dlm, gigi dan mulut, dll. Mata
diperiksa oleh ophthalmologist setiap hari, beri artificial tears, tetes mata antibiotik, dan
vitamin A setiap 2 jam sekali selama fase akut dan cegah synechiae. Mulut berkumur
dengan larutan antiseptik atau antifungal beberapa kali sehari.
§ Pengobatan Spesifik :
- Kortikosteroid. Masih kontroversial, beberapa penelitian menyatakan penggunaan pada
fase akut dapat mencegah perluasan penyakit, dan penelitian lain menyatakan steroid
tidak menghentikan progresivitas penyakit dan bahkan berhubungan dengan
peningkatan mortalitas dan efek samping, terutama sepsis.
- Intravenous Immunoglobulin. Gunakan high-dose dikarenakan adanya fas-mediated
cells death.
- Cyclosporin A. Agent immunosupresif kuat; mekanismenya dengan mengaktivasi Th2
sitokine, inhibisi CD8+ sitotoksik, dan anti-apoptosis dengan inhibisi Fas-L, nuclear
factor dan TNF-α.

18
- Plasmapheresis/Hemodialysis. Tujuannya untuk mengeluarkan medikasi penyebab,
metabolitnya, atau mediator inflamasi (sitokin), tapi tidak direkomendasikan karena
kurangnya bukti dan risiko yang berhubungan dengan kateter intravaskular.
- Anti-TNF agents. Anti-TNF monoclonal antibodi telah berhasil dipakai untuk
mengobati beberapa pasien, tapi pada penggunaan thalidomide dihentikan karena
dilaporkan banyaknya kematian. 12,13

2.9 Komplikasi
§ Infeksi sistemik dan septisemia
§ Syok dan gagal multi-organ (MODs)
§ Komplikasi pada ginjal berupa nekrosis tubular akut akibat terjadinya ketidakseimbangan
cairan bersama-sama dengan glomerolunefritis.
§ Pengelupasan membran mukus dalam mulut, tenggorokan, dan saluran pencernaan; ini
menimbulkan kesulitan dalam makan dan minum sehingga mengarah pada dehidrasi dan
kekurangan gizi.
§ Pengelupasan konjungtiva dan gangguan-gangguan mata lainnya bisa menyebabkan
kebutaan.
§ Infeksi kulit oleh bakteri, scars and nail dystrophy, hiperpigmentasi atau hipopigmentasi
§ Adhesi genital à dyspareunia, nyeri dan perdarahan
§ Pneumonia atau respiratory failure14

2.10 Prognosis
Jika penyebabnya infeksi, maka prognosisnya lebih baik daripada jika disebabkan alergi
terhadap obat. Kalau kelainan kulit luas, meliputi 50-70% permukaan kulit, prognosisnya
buruk. Luas kulit yang terkena mempengaruhi prognosisnya. Juga bila terdapat purpura yang
luas dan leukopenia. Angka kematian NET 30-35% , jadi lebih tinggi daripada Sindrome Steven
Johnson yang hanya 5 % atau 10-15% pada bentuk transisional, karena N.E.T. lebih berat.
SCORTEN merupakan sistem skoring prognostik yang dikembangkan untuk menghubungkan
mortalitas dengan parameter yang terpilih.14,15

19
Sumber: Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, 2008.

3. Eritroderma
3.1 Definisi
Eritroderma adalah kelainan kulit yang ditandai dengan adanya kemerahan atau eritema
yang bersifat generalisata yang mencakup 90% permukaan tubuh yang berlangsung dalam
beberapa hari sampai beberapa minggu. Dermatitis eksfoliativa dianggap sinonim dengan
eritroderma. Bagaimanapun, itu tidak dapat mendefinisikan, karena pada gambaran klinik dapat
menghasilkan penyakit yang berbeda. Pada banyak kasus, eritroderma umumnya kelainan kulit
yang ada sebelumnya misalnya psoriasis atau dermatitis atopik. Meskipun peningkatan 50%
pasien mempunyai riwayat lesi pada kulit sebelumnya untuk onset eritroderma, identifikasi
penyakit yang menyertai menggambarkan satu dari sekian banyak kelainan kulit.
Pada eritroderma yang kronik, eritema tidak begitu jelas karena bercampur dengan
hiperpigmentasi. Sedangkan skuama adalah lapisan stratum korneum yang terlepas dari kulit.
Skuama mulai dari halus sampai kasar. Pada eritroderma, skuama tidak selalu terdapat,
misalnya eritroderma karena alergi obat sistemik, pada mulanya tidak disertai skuama. Skuama
kemudian timbul pada stadium penyembuhan timbul. Bila eritemanya antara 50%-90%
dinamakan pre-eritroderma.16

20
3.2 Etiologi
Eritroderma dapat disebabkan oleh akibat alergi obat secara sistemik, perluasan penyakit
kulit, penyakit sistemik termasuk keganasan. Penyakit kulit yang dapat menimbulkan
eritroderma di antaranya adalah psoriasis, dermatitis seboroik, alergi obat, CTCL atau Sindrom
Sezary.
a. Eritroderma yang disebabkan oleh alergi obat secara sistemik
Keadaan ini banyak ditemukan pada dewasa muda. Obat yang dapat menyebabkan
eritroderma adalah arsenik organik, emas, merkuri (jarang), penisilin, barbiturate. Pada
beberapa masyarakat, eritroderma mungkin lebih tinggi karena pengobatan sendiri dan
pengobatan secara tradisional. Waktu mulainya obat ke dalam tubuh hingga timbul penyakit
bervariasi, dapat segera sampai 2 minggu. Gambaran klinisnya adalah eritema universal. Bila
ada obat yang masuk lebih dari satu yang masuk ke dalam tubuh, diduga sebagai
penyebabnya ialah obat yang paling sering menyebabkan alergi16,17
b. Eritroderma yang disebabkan oleh perluasan penyakit kulit
Eritroderma et causa psoriasis, merupakan eritroderma yang paling banyak ditemukan
dan dapat disebabkan oleh penyakit psoriasis maupun akibat pengobatan psoriasis yang
terlalu kuat.
Dermatitis seboroik pada baik juga dapat menyebabkan eritroderma yang juga dikenal
sebagai penyakit Leiner. Etiologinya belum diketahui pasti. Usia penderita berkisar 4-20
minggu. Ptiriasis rubra pilaris yang berlangsung selama beberapa minggu dapat pula menjadi
eritroderma. Selain itu yang dapat menyebabkan eritroderma adalah pemfigus foliaseus,
dermatitis atopic dan liken planus.
c. Eritroderma akibat penyakit sistemik
Berbagai penyakit atau kelainan alat dalam termasuk infeksi fokal dapat member
kelainan kulit berupa eritroderma. Jadi setiap kasus eritroderma yang tidak termasuk akibat
alergi obat dan akibat perluasan penyakit kulit harus dicari penyebabnya, yang berarti perlu
pemeriksaan menyeluruh (termasuk pemeriksaan laboratorium dan foto toraks), untuk
melihat adanya infeksi penyakit pada alat dalam dan infeksi fokal. Ada kalanya terdapat
leukositosis namun tidak ditemukan penyebabnya, jadi terdapat infeksi bacterial yang
tersembunyi (occult infection) yang perlu diobati. 16,17

3.3 Epidemiologi
Insidens eritroderma sangat bervariasi. Penyakit ini dapat mengenai pria ataupun wanita,
namun paling sering pada pria dengan rasio 2 : 1 sampai 4 : 1, dengan onset usia rata-rata > 40
21
tahun, meskipun eritroderma dapat terjadi pada semua usia. Insiden eritroderma makin
bertambah. Penyebab utamanya adalah psoriasis. Hal tersebut seiring dengan meningkatnya
insiden psoriasis.16
Penyakit kulit yang sedang diderita memegang peranan lebih dari setengah kasus dari
eritroderma. Identifikasi psoriasis mendasari penyakit kulit lebih dari seperempat kasus.
Didapatkan laporan bahwa terdapat 87 dari 160 kasus adalah psoriasis berat.
Anak-anak bisa menderita eritroderma diakibatkan alergi terhadap obat. Alergi terhadap
obat bisa karena pengobatan yang dilakukan sendiri ataupun penggunaan obat secara
tradisional.

3.4 Patofisiologi
Mekanisme terjadinya eritroderma belum diketahui dengan jelas. Pathogenesis
eritroderma berkaitan dengan pathogenesis penyakit yang mendasarinya, dermatosis yang sudah
ada sebelumnya berkembang menjadi eritroderma, atau perkembangan eritroderma idiopatik de
novo tidaklah sepenuhnya dimengerti. Penelitian terbaru imunopatogenesis infeksi yang
dimediasi toksin menunjukkan bahwa lokus patogenesitas staphylococcus mengkodekan
superantigen. Lokus-lokus tersebut mengandung gen yang mengkodekan toksin dari toxic shock
syndrome dan staphylococcol scalded-skin syndrome. Kolonisasi S. aureus atau antigen lain
merupakan teori yang mungkin saja seperti toxic shock syndrome toxin-1, mungkin meminkan
peranan pada pathogenesis eritroderma. Pasien-pasien dengan eritroderma biasanya mempunyai
kolonisasi S. aureus sekitar 83% dan pada kulit sekitar 17%, bagaimanapun juga hanya ada satu
dari 6 pasien memiliki toksin S. aureus yang positif.17
Dapat diketahui bahwa akibat suatu agen dalam tubuh baik itu obat-obatan, perluasan
penyakit kulit dan penyakit sistemik makan tubuh beraksi berupa pelebaran pembuluh darah
kapiler (eritema) yang generalisata. Eritema berarti terjadi pelebaran pembuluh darah yang
menyebabkan aliran darah ke kulit meningkat sehingga kehilangan panas bertambah. Akibatnya
pasien merasa dingin dan menggigil. Pada eritroderma kronis dapat terjadi gagal jantung. Juga
dapat terjadi hipotermia akibat peningkatan perfusi kulit. Penguapan cairan yang makin
meningkat dapat menyebabkan dehidrasi. Bila suhu badan meningkat, kehilangan panas juga
meningkat. Pengaturan suhu terganggu. Kehilangan panas menyebabkan hipermetabolisme
kompensator dan peningkatan laju metabolisme basal. Kehilangan cairan oleh transpirasi
meningkat sebanding laju metabolisme basal.16,17
Kehilangan skuama dapat mencapai 9 gram/m2 permukaan kulit atau lebih sehari
sehingga menyebabkan kehilangan protein (hipoproteinemia) dengan berkurangnya albumin
22
dengan peningkatan relatif globulin terutama gammaglobulin merupakan kelainan yang khas.
Edema sering terjadi, kemungkinan disebabkan oleh pergeseran cairan ke ruang
ekstravaskuler.17
Eritroderma akut dan kronis dapat mengganggu mitosis rambut dan kuku berupa
kerontokan rambut difus dan kehilangan kuku. Pada eritroderma yang telah berlangsung
berbulan-bulan, dapat terjadi perburukan keadaan umum yang progresif.18

3.5 Gambaran Klinis


Mula-mula timbul bercak eritema yang dapat meluas ke seluruh tubuh dalam waktu 12-
48 jam. Deskuamasi yang difus dimulai dari daerah lipatan, kemudian menyeluruh. Dapat juga
mengenai membrane mukosa, terutama yang disebabkan oleh obat. Bila kulit kepala sudah
terkena, dapat terjadi alopesia, perubahan kuku, dan kuku dapat terlepas. Dapat terjadi
limfadenopati dan hepatomegali. Skuama timbul setelah 2-6 hari, sering mulai di daerah lipatan.
Skuamanya besar pada keadaan akut, dan kecil pada keadaan kronis. Warnanya bervariasi dari
putih sampai kuning. Kulit merah terang, panas, kering dan kalau diraba tebal. Pasien mengeluh
kedinginan. Pengendalian regulasi suhu tubuh menjadi hilang, sehingga sebagai kompensasi
terhadap kehilangan panas tubuh, sekujur tubuh pasien menggigil untuk dapat menimbulkan
panas metabolik.
Dahulu eritroderma dibagi menjadi primer dan sekunder. Pendapat sekarang semua
eritroderma ada penyebabnya, jadi eritroderma selalu sekunder. Eritroderma akibat alergi obat
secara sistemik diperlukan anamnesis yang teliti untuk mencari obat penyebabnya. Umumnya
alergi timbul akut dalam waktu 10 hari. Pada mulanya kulit hanya eritem saja, setelah
penyembuhan barulah timbul skuama.
Eritroderma akibat perluasan penyakit kulit seringkali pada psoriasis dan dermatitis
seboroik bayi. Psoriasis dapat menjadi eritroderma karena dua hal yaitu: karena penyakitnya
sendiri atau karena pengobatan yang terlalu kuat. Psoriasis yang menjadi eritroderma tanda
khasnya akan menghilang. Pada eritroderma et causa psoriasi, merupakan eritroderma yang
disebabkan oleh penyakit psoriasis atau pengobatan yaitu kortikosteroid sistemik, steroid
topikal, komplikasi fototerapi, stress emosional yang berat, penyakit terdahulunya misalnya
infeksi. 16,17

23
Gambar 7. Eritroderma psoriasis
Dermatitis seboroik pada bayi (penyakit Leiner) terjadi pada usia penderita berkisar 4-
20 minggu. Kelainan berupa skuama berminyak dan kekuningan di kepala. Eritema dapat pada
seluruh tubuh disertai skuama yang kasar. 16,17

Gambar 8. Dermatitis seboroik


Ptiriasis rubra pilaris yang berlangsung selama beberapa minggu dapat pula menjadi
eritroderma. Mula-mula terdapat skuama moderat pada kulit kepala diikuti perluasan ke dahi
dan telinga; pada saat ini akan menyerupai gambaran dermatitis seboroik. Kemudian timbul
hiperkeratosis palmoplantaris yang jelas. Berangsur-angsur menjadi papul folikularis di
sekeliling tangan dan menyebar ke kulit berambut. 16,17

24
Gambar 9. Ptiriasis rubra pilaris
Pemfigus foliaseus bermula dengan vesikel atau bula berukuran kecil, berdinding
kendur yang kemudian pecah menjadi erosi dan eksudatif. Yang khas adalah eritema
menyeluruh yang disertai banyak skuama kasar, sedangkan bula kendur hanya sedikit. Penderita
mengeluh gatal dan badan menjadi bau busuk. 16,17

Gambar 10. Pemfigus foilaseus


Dermatitis atopi dimulai dengan eritema, papul-papul, vesikel sampai erosi dan
likenifikasi. Penderita tampak gelisah, gatal dan sakit berat.

25
Gambar 11. Dermatitis atopi
Permukaan timbulnya liken planus dapat mendadak atau perlahan-lahan; dapat
berlangsung berminggu-minggu atau berbulan-bulan dan mungkin kambuh lagi. Kadang-
kadang menjadi kronik. Papul dengan diameter 2-4 mm, keunguan, puncak mengkilat,
polygonal. Papula mungkin terjadi pada bekas garukan (fenomena Koebner). Bila dilihat
dengan kaca pembesar, papul mempunyai pola garis-garis berwarna putih (“Wickham’s striae”).
Lesi simetrik, biasanya pada permukaan fleksor pergelanagna tangan, menyebar ke punggung
dan tungkai. Mukosa mulut terkena pada 50% penderita. Mungkin pula mengenai glans penis
dan mukosa vagina. Kuku kadang-kadang terkena, kuku menipis dan berlubang-lubang. Anak-
anak jarang terkena tetapi bila terdapat bercak kemerahan mungkin tidak khas dan dapat keliru
dengan psoriasis. Sering sangat gatal. Cenderung menyembuh dengan sendirinya. 16,17

Gambar 12. Liken planus


Eritroderma akibat penyakit sistemik termasuk keganasan, yang tidak termasuk
golongan akibat alergi dan akibat perluasan penyakit kulit, harus dicari penyebabnya dan
26
diperiksa secara menyeluruh, termasuk dengan pemeriksaan laboratorium dan foto toraks.
Termasuk dalam golongan ini adalah sindrom Sezary.

Sindrom Sezary
Penyakit ini termasuk limfoma. Penyebabnya belum diketahui, diduga berhubungan
dengan infeksi virus HTLV-V dan dimasukkan ke dalam CTCL (Cutaneus T-Cell Lymphoma).
Yang diserang adalah orang dewasa, mulanya penyakit pada pria rata-rata berusia 64 tahun,
sedangkan pada wanita berusia 53 tahun.
Sindrom ini ditandai dengan eritema berwarna merah membara yang universal disertai
skuama dan rasa sangat gatal. Selain itu terdapat infiltrat pada kulit dan edema. Pada sepertiga
hingga setengah pada pasien didapati splenomegali, limfadenopati superfisial, alopesia,
hiperpigmentasi, hiperkeratosis palmaris et plantaris, serta kuku yang distrofik.17,18

Gambar 13. Sindrom Sezary


3.6 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan darah didapatkan albumin serum yang rendah dan peningkatan
gammaglobulin, ketidakseimbangan elektrolit, protein fase akut meningkat, leukositosis,
maupun anemia ringan.

27
Histopatologi
Pada kebanyakan pasien dengan eritroderma histopatologi dapat membantu
mengidentifikasi penyebab eritroderma pada sampai dengan 50% kasus, biopsi kulit dapat
menunjukkan gambaran yang bervariasi, tergantung berat dan durasi proses inflamasi. Pada
tahap akut, spongiosis dan parakeratosis menonjol, terjadi edema. Pada stadium kronis,
akantosis dan perpanjangan rete ridge lebih dominan.
Eritroderma akibat limfoma, yang infiltrasi bisa menjadi semakin pleomorfik, dan
mungkin akhirnya memperoleh fitur diagnostik spesifik, seperti bandlike limfoid infiltrate di
dermis-epidermis, dengan sel cerebriform mononuclear atipikal dan Pautrier’s microabscesses.
Pada pasien dengan Sindrom Sezary ditemukan limfosit atipik yang disebut sel Sezary. Biopsi
pada kulit juga memberi kelainan yang agak khas, yakni terdapat infiltrat pada dermis bagian
atas dan terdapatnya sel Sezary. Disebut sindrom Sezary, jika jumlah sel Sezary yang beredar
1000/mm3 atau lebih atau melebihi 10% sel-sel yang beredar. Bila jumlah sel tersebut di bawah
1000/mm3 dinamai sindrom pre-Sezary.
Pemeriksaan immunofenotipe infiltrate limfoid juga mungkin sulit menyelesaikan
permasalahan karena pemeriksaan ini umumnya memperlihatkan gambaran sel T matang pada
eritroderma jinak maupun ganas. Pada psoriasis papilomatosis dan gambaran clubbing lapisan
papiler dapat terlihat, dan pada pemfigus foliaseus, akantosis superfisial juga ditemukan. Pada
eritroderma ikhtisioform dan ptiriasis rubra pilaris, biopsi diulang dari tempat-tempat yang
dipilih dengan cermat dapat memperlihatkan gambaran khasnya.17,18
3.7 Diagnosis
Diagnosis agak sulit ditegakkan, harus melihat dari tanda dan gejala yang sudah ada
sebelumnya misalnya, warna hitam-kemerahan di psoriasis dan kuning-kemerahan di pilaris
rubra pitiriasis; perubahan kuku khas psoriasis; likenifikasi, erosi dan ekskoriasi di dermatitis
atopik dan eksema; menyebar, relatif hiperkeratosis tanpa skuama, dan pitiriasis rubra; ditandai
bercak kulit dalam eritroderma di pilaris rubra pitiriasis; hiperkeratotik skala besar kulit kepala,
biasanya tanpa rambut rontok di psoriasis dan dengan rambut rontok di CTCL dan pitiriasis
rubra, ektropion mungkin terjadi. Dengan beberapa biopsi biasanya dapat menegakkan
diagnosis.17

3.8. Diagnosis Banding


Ada beberapa diagnosis banding pada eritroderma:
1. Dermatitis atopik

28
Dermatitis atopik adalah peradangan kulit kronis yang terjadi di lapisan epidermis dan
dermis, sering berhubungan dengan riwayat atopik pada keluarga asma bronkial, rhinitis alergi,
konjungtivitis. Atopik terjadi di antara 15-25% populasi, berkembang dari satu menjadi banyak
kelainan dan memproduksi sirkulasi antibodi IgE yang tinggi, lebih banyak karena alergi
inhalasi. Dermatitis atopik adalah penyakit kulit yang mungkin terjadi pada usia berapapun,
tetapi biasanya timbul sebelum usia 5 tahun. Biasanya ada tiga tahap: balita, anak-anak, dan
dewasa.
Dermatitis atopik merupakan salah satu penyebab eritroderma pada orang dewasa di
mana didapatkan gambaran klinisnya terdapat lesi pra-existing, pruritus yang parah, likenifikasi
dan prurigo nodularis, sendangkan pada gambaran histologi terdapat akantosis ringan,
spongiosis variabel, derma eosinofil dan parakeratosis.16,17

Gambar 14. Dermatitis atopik

2. Psoriasis
Eritroderma psoriasis dapat disebabkan oleh karena pengobatan topikal yang terlalu
kuat atau oleh penyakitnya sendiri yang meluas. Ketika psoriasis menjadi eritroderma biasanya
lesi yang khas untuk psoriasi tidak tampak lagi karena dapat menghilang, plak-plak psoriasis
menyatu, eritema dan skuama tebal universal. Psoriasis mungkin menjadi eritroderma dalam
proses yang berlangsung lambat dan tidak dapat dihambat atau sangat cepat. Faktor genetic
berperan. Bila orangtuanya tidak menderita psoriasi, resiko mendapat psoriasi 12%, sedangkan
jika salah seorang orang tuanya menderita psoriasis, resikonya mencapai 34-39%.
Psoriasis ditandai dengan adanya bercak-bercak, eritema berbatas tegas dengan skuama
yang kasar, berlapis-lapis dan transparan disertai fenomena tetesan lilin, Auspitz, dan
Koebner.16,17

29
Gambar 15. Psoriasis

3. Dermatitis seboroik
Dermatitis seboroik adalah peradangan kulit yang kronis ditandai dengan plak eritema
yang sering terdapat pada daerah tubuh yang banyak mengandung kelenjar sebasea seperti kulit
kepala, alis, lipatan nasolabial, belakang telinga, cuping hidung, ketiak, dada, antara skapula.
Dermatitis seboroik dapat terjadi pada semua umur, dan meningkat pada usia 40 tahun.(8)
Biasanya lebih berat apabila terjadi pada laki-laki dariapda wanita dan lebih sering pada orang-
orang yang banyak memakan lemak dan minum alkohol.
Biasanya kulit penderita tampak berminyak, dengan kuman pityrosporum ovale yang
hidup komensal di kulit berkembang lebih subur. Pada kepala tampak eritema dan skuama halus
sampai kasar (ketombe). Kulit tampak berminyak dan menghasilkan skuama putih yang
berminyak pula. Penderita akan mengeluh rasa gatal yang hebat.
Dermatitis seboroik dapat diakibatkan oleh proliferasi epidermis yang meningkat
seperti pada psoriasi. Hal ini dapat menerangkan mengapa terapi dengan sitostisk dapat
memperbaikinya. Pada orang yang telah mempunyai faktor predisposisi, timbulnya dermatitis
seboroik dapat disebabkan oleh faktor kelelahan, stress emosional, infeksi, atau defisiensi imun.
17,18

30
Gambar 16. Dermatitis seboroik

3.9 Penatalaksanaan
Pada eritroderma golongan I, obat tersangka sebagai kausanya segera dihentikan.
Umumnya pengobatan eritroderma dengan kortikosteroid. Pada golongan I, yang disebabkan
oleh alergi obat secara sistemik, dodsis prednisone 4 x 10 mg. penyembuhan terjadi cepat,
umumnya dalam beberapa hari sampai beberapa minggu.
Pada golongan II akibat perluasan penyakit kulit juga diberikan kortikosteroid. Dosis
mula prednisone 4 x 10 mg sampai 15 mg sehari. Jika setelah beberapa hari tidak tampak
perbaikan, dosis dapat dinaikkan. Setelah tampak perbaikan, dosis diturunkan perlahan-lahan.
Jika eritroderma terjadi akibat pengobatan dengan ter pada psoriasis, makan obat tersebut harus
dihentikan. Eritroderma karena psoriasis dapat pula diobati dengan asetretin. Lama
penyembuhan golongan II ini bervariasi beberapa minggu hingga beberapa bulan, jadi tidak
secepat seperti golongan I.
Pada pengobatan dengan kortikosteroid jangka lama (long term), yakni jika melebihi 1
bulan lebih baik digunakan metilprednisolon darpiada prednison dengan dosis ekuivalen karena
efeknya lebih sedikit.
Pengobatan penyakit Leiner dengan kortikosteroid memberi hasil yang baik. Dosis
prednisone 3 x 1-2 mg sehari. Pada sindrom Sezary pengobatan terdiri atas kortikosteroid
(prednisone 30 mg sehari) atau metilprednisolon ekuivalen dengan sitostatik, biasanya
digunakan klorambusil dengan dosis 2-6 mg sehari.
Pada eritroderma kronis diberikan pula diet tinggi protein, karena terlepasnya skuama
mengakibatkan kehilangan protein. Kelainan kulit perlu pula diolesi emolien untuk mengurangi

31
radiasi akibat vasodilatasi oleh eritema misalnya dengan salep lanolin 10% atau krim urea
10%.18

3.10 Komplikasi
1. Abses
2. Furunkulosis
3. Konjungtivitis
4. Stomatitis
5. Bronkitis
6. Limfadenopati
7. Hepatomegali
8. Rhinitis
9. Kolitis

3.11 Prognosis
Prognosis eritroderma tergantung pada proses penyakit yang mendasarinya. Kasus
karena penyebab obat dapat membaik setelah penggunaan obat dihentikan dan diberi terapi
yang sesuai. Penyembuhan golongan ini ialah yang tercepat dibandingkan dengan golongan
yang lain.17,18
Pada eritroderma yang belum diketahui sebabnya, pengobatan dengan kortikosteroid
hanya mengurangi gejalanya, pasien akan mengalami ketergantungan kortikosteroid
(corticosteroid dependence).
Eritroderma disebabkan oleh dermatosa dapat diatasi dengan pengobatan, tetapi
mungkin akan timbul kekambuhan. Kasus idiopatik adalah kasus yang tidak terduga, dapat
bertahan dalam waktu yang lama, seringkali disertai dengan kondisi yang lemah.
Sindrom Sezary prognosisnya buruk, pasien pria umumnya akan meninggal setelah 5
tahun, sedangkan pasien wanita setelah 10 tahun. Kematian disebabkan oleh infeksi atau
penyakit berkembang menjadi mikosis fungoides.

32
4. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome
4.1 Definisi
Staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS) merupakan kelainan kulit ditandai dengan
eksantem generalisata, lepuh luas disertai erosi dan deskuamasi superfisial. Kelainan ini
disebabkan oleh toksin eksfoliatif (ETs) yaitu toksin eksfoliatif A (ETA) dan B (ETB) yang
dihasilkan strain Staphylococcus aureus (biasanya faga grup 2).19
Pada tahun 1878, Von Rittershan pertama kali menguraikan SSSS pada anak. Levine
and Nordon, tahun 1972, menemukan kasus pertama pada dewasa. Hingga tahun 2000,
diperkirakan 40 kasus SSSS pada dewasa telah dilaporkan dalam penelitian.19
Staphylococcal scalded skin syndrome umumnya terjadi pada bayi dan anak-anak usia di
bawah lima tahun tetapi jarang ditemukan pada dewasa. Diantara kasus yang pernah dilaporkan,
lelaki cenderung lebih banyak dari wanita dengan perbandingan 2:1, dimana 50% kasus terjadi
sebelum usia 50.19,20
Pasien SSSS memiliki gejala klinis berupa demam dan malaise yang timbul beberapa
hari setelah infeksi staphylococcal. Perkembangan lesi dapat berupa erupsi kemerahan pada
kulit yang menyebar dengan bula berdinding kendur. Lapisan atas kulit akan mengelupas,
meninggalkan luka terbuka yang lembab, merah dan nyeri. Daerah predileksi penyakit ini
ditemukan pada wajah, axilla, selangkangan dan leher biasa terlibat. Dengan perawatan tepat,
erosi dapat mengering dengan cepat dan deskuamasi akan terjadi dalam beberapa hari.19,20
Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis, kultur mikroorganisme, identifikasi
ET, dan hasil biopsi. Prognosis pada anak biasanya baik, tetapi pada dewasa diperlukan
pemantauan yang ketat.
Tujuan referat ini adalah untuk memperdalam pengetahuan mengenai manifestasi klinik,
penegakkan diagnosis, hingga tatalaksana yang tepat dalam menangani kasus SSSS. Informasi
tersebut diharapkan nantinya dapat membantu dokter layanan primer untuk bertindak secara
cepat dan tepat dalam menghadapi kasus SSSS.19

4.2 Etiologi
Staphylococcal scalded skin syndrome disebabkan oleh toksin eksfoliatif (ETs) yaitu
toksin eksfoliatif A (ETA) dan B (ETB) yang dihasilkan dari strain toksigenik bakteri
staphylococcus aureus (faga grup 2).19
Desmosom merupakan sebagian dari sel kulit yang bertanggungjawab sebagai perekat
kepada sel-sel kulit. Toksin yang mengikat pada molekul di antara desmosom dikenali sebagai
desmoglein dan kemudiannya memisah sehingga kulit menjadi tidak utuh.19,20
33
Toksin eksfoliatif memiliki target kerja pada desmoglein 1 merupakan desmosom
glikoprotein transmembran yang mempertahankan adhesi antar sel pada epidermis.19

4.3 Patofisiologi
Toksin eksfoliatif (ETs) merupakan serin protease yang dapat menimbulkan celah pada
ikatan adhesi antar sel molekul desmoglein 1, yang tampak pada bagian atas epidermis yaitu
antara stratum spinosum dan granulosum sehingga menimbulkan bula berdinding tipis yang
mudah pecah, memperlihatkan Nikolsky sign positif.6,7 Pada SSSS toksin berdifusi dari fokus
infeksi, dan tidak adanya antibodi antitoksin spesifik dapat menyebabkan penyebaran toksin
secara hematogen. Meskipun strain toksigenik S. aureus yang terbanyak adalah faga grup II
(subtype 3A, 3B, 3C, 55 dan 71), selain itu juga terdapat strain faga grup I dan III.2 Adanya
keterlibatan desmoglein 1 pada SSSS menyerupai penyakit autoimun pemfigus foliaseus.20
Salah satu fungsi fisiologi utama kulit adalah barier terhadap infeksi, yang terletak pada
stratum korneum. Adanya toksin eksfoliatif yang dimiliki S.aureus memungkinkan proliferasi
dan penyebarannya di bawah barier tersebut. Sekali kulit dapat mengenali toksin eksfoliatif
tersebut, S. aureus dapat menyebar sehingga menimbulkan celah di bawah stratum korneum.20
Toksin staphylococcus terdiri atas toksin eksfoliatif A dan B (ETA dan ETB) yang
menyebabkan lepuhnya kulit pada SSSS. ETA terdiri atas 242 dengan berat molekul 26.950
kDa, bersifat stabil terhadap panas dan gennya terletak pada kromosom sementara ETB terdiri
atas 246 asam amino dengan berat molekul 27.274 kDa, bersifat labil terhadap pemanasan dan
gennya berlokasi pada plasmid.2,7 Toksin ini dihasilkan pada fase pertumbuhan bakteri dan
diekskresikan dari kolonisasi staphylococcus sebelum diabsorpsi melalui sirkulasi sistemik.
Toksin mencapai stratum granulosum epidermis melalui difusi pada kapiler dermal.2 Studi
histologis menunjukkan bahwa ikatan ETs pada keratinosit kultur isolasi kulit menyebabkan
terbentuknya vesikel yang mengisi ruang antarsel, diikuti cairan interseluler yang mengisi ruang
antara stratum granulosum dan spinosum. Pemeriksaan laboratorium mendukung bahwa ETB
lebih pirogenik dibandingkan ETA, sementara studi klinis menunjukkan meskipun ETA dan
ETB dapat menyebabkan SSSS lokal, tetapi ETB lebih sering diisolasi dari anak yang
menderita SSSS generalisata dan juga dapat menyebabkan eksfoliasi generalisata pada orang
dewasa yang sehat.19,20
Desmosom merupakan target toksin eksfoliatif pada SSSS (Gambar.1). Desmosom
adalah intercelluler adhesive junction yang secara struktural berhubungan dengan filamen
intermediet intraseluler. Desmosom ini diekspresikan oleh sel epitel dan beberapa sel lainnya
yang banyak terdapat pada jaringan yang mengalami stress mekanik, seperti kulit, mukosa
34
gastrointestinal, jantung, dan kandung kemih.3,7 Desmoglein (Dsg) merupakan komponen
transmembran mayor pada desmosom yang berperan tidak hanya pada adhesi antar sel epitel
tetapi juga pada morfogenesis sel epitel.9 Terdapat 3 isoform desmoglein yaitu Dsg1, Dsg2, dan
Dsg3. Dsg 2 terdapat pada semua jaringan yang memiliki desmosom termasuk epitel dan
miokard, sedangkan Dsg1 dan Dsg3 terbatas pada epitel skuamos bertingkat.20

Gambar 17. Desmoglein merupakan target pada SSSS

ETA dan ETB menyebabkan bula dan pengelupasan kulit dengan cara menghambat
desmosom pada lapisan sel granular epidermal sehingga terjadi pemisahan
intradesmosomal.1Lebih dari satu dekade diduga bahwa toksin tersebut terikat secara langsung
pada cadherin desmosomal, yaitu desmosglein1 (Dsg1). Meskipun pemisahan sel epidermal
ditunjukkan oleh toksin eksfoliatif (ETs), gejala klinis SSSS tidak dapat diterangkan oleh aksi
toksin tersebut. ETs juga bisa bertindak sebagai lipase sekaligus mengaktifkan protease lain
yang pada gilirannya menyebabkan pengaruh patogenik.19,20,21

35
Toksin epidermolitik difiltrasi di glomerulus dan direabsorbsi pada tubulus proksimal
dimana kemudian dikatabolisme oleh sel-sel tubulus proksimal. Kecepatan filtrasi glomerulus
(GFR) bayi kurang dari 50% GFR orang dewasa normal, dan hal ini terbanyak ditemukan pada
dua tahun pertama kehidupan. Hal ini menjelaskan mengapa bayi-bayi, pasien dengan gagal
ginjal kronik, dan pasien yang menjalani hemodialisa merupakan faktor predisposisi terjadinya
SSSS.19

4.4 Manifestasi Klinik


Infeksi S. aureus berawal dari lokasi-lokasi tertentu seperti kulit, tenggorokan, hidung,
mulut, atau saluran pencernaan. SSSS timbul berupa bercak kemerahan yang diikuti
pengelupasan epidermis menyeluruh.20
Staphylococcal scalded skin syndrome biasanya dimulai dengan demam, malaise,
gelisah, dan nyeri. Selanjutnya diikuti kemerahan meluas pada kulit yang biasa terjadi pada
daerah lipatan, seperti leher, axilla, selangkangan dan muka. Dalam waktu 24-48 jam terbentuk
benjolan-benjolan berisi cairan, benjolan-benjolan ini mudah pecah, dan meninggalkan kesan
yang tampak seperti terbakar. Dua sampai tiga hari lapisan atas kulit akan mengeriput dan
terjadi pengelupasan lembaran kulit, meninggalkan luka terbuka yang lembab, merah dan nyeri.
Luka terbuka selanjutnya akan mengering dan terjadi deskuamasi, kondisi ini biasanya dapat
sembuh dalam 7–14 hari.20,21

A B
Gambar 18.(A) bercak kemerahan yang menyebar pada lengan, muka dan badan bayi penderita
SSSS, (B) bula berdinding tipis yang pecah dan meninggalkan kesan terbakar

36
Gambar 19. Luka yang telah mengering dan mulai terjadi deskuamasi

4.5 Diagnosis dan Diagnosis Banding


Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis, kultur mikroorganisme, identifikasi
ET, dan hasil biopsi.
Pada umumnya penyakit ini diawali dengan demam, karena infeksi saluran nafas atas,
kelainan kulit yang timbul diawali oleh eritema yang timbul mendadak pada lipat paha, muka,
leher, dan ketiak yang kemudian meluas ke seluruh tubuh tapi tidak melibatkan membran
mukosa dengan Nikolsky’s sign positif (Gambar.4) dan nyeri tekan. Dalam waktu 24-48 jam
akan timbul bula-bula besar berdinding kendur, yang selanjutnya akan terjadi pengeriputan
spontan disertai pengelupasan lembaran-lembaran kulit sehingga tampak daerah erosif yang
mirip dengan kombustio dalam beberapa hari akan mengering dan terjadi deskuamasi.
Penyembuhan akan terjadi pada 10-14 hari tanpa disertai sikatriks.19,20

37
Gambar 20. Nikolsky’s sign positif pada penderita SSSS9

Pemeriksaan kultur bula yang intak pada SSSS biasanya steril (tidak ditemukan
staphylococcus), hal ini sesuai dengan patogenesis penyebaran toksin secara hematogen berasal
dari fokus infeksi yang jauh. Sedangkan pada impetigo bulosa pemeriksaan kultur dan
pewarnaan gram menunjukkan adanya staphylococcus.
Pada gambaran histopatologi didapatkan pemisahan pada epidermis antara stratum
granulosum dan stratum spinosum. Akantolisis pada stratum granulosum dan pembentukan
belahan subkorneal ditemukan pada lesi awal, pada tahap deskuamasi tampak epidermis yang
utuh dengan celah pada stratum korneum (Gambar.5). Beberapa limfosit mengelilingi
pembuluh darah superficial. Dua ET (ETA dan ETB) dapat dilihat pada imunofluoresensi,
dimana ET berikatan dengan granula-granula keratohialin.20,21

Gambar 21. Histopatologi SSSS, dimana hilangnya adhesi sel pada epidermis superfisial.

Staphylococcal scalded skin syndrome dan impetigo bulosa merupakan penyakit kulit
melepuh yang disebabkan ET, akan tetapi pada impetigo bulosa, ET hanya terdapat pada area
38
infeksi sehingga kultur bakteri dapat diperoleh dari isi lepuh. Pada SSSS, ET tersebar secara
hematogen dan akan berpotensi menyebabkan kerusakan epidermal pada bagian tempat
terjauh.19,20
Staphylococcal scalded skin syndrome dibedakan dari toxic epidermal necrolysis (TEN)
berdasarkan bagian yang mengalami kerusakan, dimana SSSS terjadi pada intraepidermal
sedangkan TEN menyebabkan nekrosis pada seluruh lapisan epidermal (pada batas membran
dasar). Staphylococcal scalded skin syndrome memiliki tingkat keparahan yang lebih rendah
dan tidak melibatkan erosi membrane mukosa jika dibandingkan dengan TEN. Pada SSSS, hasil
pemeriksaan preparat Tzanck dari area lepuh yang dipecahkan akan didapatkan sejumlah sel
epitel dengan inti sel besar dan sel-sel akantolitik tetapi tidak ditemukan sel-sel inflamasi
sedangkan TEN hanya memiliki sel epitel yang sedikit dan tidak memiliki sel akantolitik tetapi
banyak terdapat sel-sel inflamasi.20

4.6 Penatalaksanaan
Terapi untuk SSSS harus ditujukan untuk mengeradikasi infeksi S. aureus. Pengobatan
biasanya memerlukan perawatan inap dan pemberian antibiotik anti-staphylococcal intravena.
Untuk kasus yang tidak berat, antibiotik oral dapat diberikan sebagai pengganti setelah
beberapa hari. Kerusakan fungsi perlindungan kulit yang luas pada lesi SSSS, menyebabkan
gangguan cairan dan elektrolit. Pemantauan cairan ditunjang penggunaan antibiotik yang tepat
serta perawatan kulit, sangat berguna untuk mempercepat penyembuhan. Penggunaan baju yang
meminimalkan gesekan juga dapat membantu mengurangi terjadinya pengelupasan kulit akibat
gesekan. Kompres daerah lesi untuk membersihkan dari jaringan-jaringan epidermis yang telah
nekrosis. Salep antibiotik muporicin diberikan beberapa kali dalam sehari pada area lesi
termasuk pada sumber infeksi sebagai tambahan terapi antibiotik sistemik.20,21

4.7 Prognosis dan Komplikasi


Komplikasi paling berat yang dapat terjadi pada pasien SSSS adalah gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit. Komplikasi lain yang sering terjadi berupa dehidrasi,
infeksi sekunder, dan sepsis. Kasus SSSS pada anak jarang menyebabkan sepsis sehingga angka
kematiannya lebih rendah (1-5%). Angka kematian pada dewasa lebih besar (mencapai 50-
60%) karena diikuti beberapa faktor penyebab kematian lainnya dan peningkatan kejadian
sepsis.19,20

39
5. Pemfigus Vulgaris
5.1 Definisi
Pemfigus merupakan kumpulan penyakit kulit autoimun berbula kronik yang
menyerang kulit dan lapisan membran mukosa. Secara histologik akan ditemukan
autoantibodi terhadap sel-sel keratinosit yang secara langsung akan merusak kohesi
epidermis atau akantolisis.22

Pemfigus vulgaris adalah bentuk pemfigus yang paling sering dijumpai ( 80% dari
semua kasus). penyakit ini merupakan jenis penyakit autoimun dengan manifestasi
berupa lepuhan pada permukaan kulit dan atau membran mukosa.22,23

5.2 Epidemiologi
Penyakit ini tersebar di seluruh dunia dan dapat mengenai semua bangsa dan ras. Angka
kejadian pada kedua jenis kelamin pada umumnya sama, didapatkan frekuensi kejadian pada
wanita sedikit lebih tinggi yaitu 1:2. Pemfigus vulgaris biasanya mengenai usia pertengahan
(dekade ke-4 dan ke-5), tetapi juga dapat mengenai semua umur termasuk anak.23
Pada kurun waktu 8 tahun, jumlah pasien pemfigus yang dirawat di RSU Sanglah Bali
berjumlah 33 pasien (5,8% dari jumlah pasien rawat). Terdiri dari 20 pasien wanita dan 14
pasien laki-laki. Pemfigus yang terbanyak ditemukan adalah pemfigus vulgaris sebanyak 26
pasien (78,78%).22,23

5.3 Etiologi
Pemfigus merupakan penyakit autoimun, karena pada serum penderita ditemukan
antibodi, juga disebabkan oleh obat (drug induced pemphigud), misalnya D-penisilamin dan
kaptopri. Pemfigus yang diinduksi oleh obat dapat berbentuk pemfigus foiaseus atau pemfigus
vulgaris. Pemfigus dapat ditemukan bersamaan dengan penyakit autoimun yang lainnya seperti
lupus eritematosus sistemik, pemfigoid bulosa, miastenia gravis dan anemia pernisiosa.23

5.4 Patogenesis
Lesi yang terjadi pada pemfigus vulgaris terjadi karena reaksi autoimun terhadap
antigen pemfigus vulgaris. Antigen ini merupakan transmembran glikoprotein dengan berat
molekul 130 kD yang terdapat pada permukaan sel keratinosit. Target antigen pada pemfigus
vulgaris yang hanya dengan lesi oral adalah desmoglein 3, sedangkan yang dengan lesi oral dan
kulit ialah desmoglein 1 dan 3. Desmoglein adalah salah satu komponen desmosom. Fungsi
desmosom adalah meningkatkan kekuatan mekanik epitel gepeng berlapis yang terdapat pada
40
kulit dan mukosa. Pada pemfigus vulgaris. Autoantibodi yang menyerang desmoglein pada
permukaan keratinosit membuktikan bahwa autoantibodi tersebut bersifat patogenik.22,23
Antigen pemvigus vullgaris yang dikenali sebagai desmoglein 3, merupakan
desmosomal kaderin yang terlibat dalam perlekatan interseluler pada epidermis. Antibodi yang
berikatan dengan rantai amino pada desmogelin 3 ini mempunyai efek langsung terhadap fungsi
kaderin. Desmoglein 3 dapat ditemukan pada desmosom dan pada membran keratinosit.
Desmoglein 3 ini dapat dideteksi pada setiap deferensiasi keratinosit terutamanya pada
epidermis bawah dan lebih padat pada mukosa bukal dan kulit kepala. Hal ini berbeda dengan
antigen pemfigus foliaseus yaitu desmoglein 1, yang dapat ditemukan pada epidermis dan lebih
padat pada epidermis atas (Gambar.2.1). Tanda utama pada PV adalah dengan mencari
autoantibodi IgG pada permukaan keratinosit.Hal ini merupakan fungsi patogenik primer dalam
mengurangi perlekatan antara sel-sel keratinosit yang menyebabkan terbentuknya bula-bula,
erosi dan ulser yang merupakan gambaran pada penyakit pemfigus vulgaris.23

Gambar 22. Desmoglein 3 pemfigus vulgaris


(Sumber: Fitzpatrick’s Edisi 7)

41
5.5 Manifestasi Klinis
Keadaan umum penderita biasannya buruk. Penyakit pemfigus vulgaris biasanya
diawali dengan lesi di kulit kepala yang berambut atau di rongga mulut kira-kira pada 60%
kasus, berupa erosi yang disertai pembentukan krusta, sehingga sering salah didiagnosis
sebagai piaderma pada kulit kepala yang berambut atau dermatitis dengan infeksi sekunder.
Pemfigus vulgaris biasanya timbul pertama kali di mulut kemudian di sela paha, kulit kepala,
wajah, leher, aksila, dan genital. Pada awalnya hanya dijumpai sedikit bula, tetapi kemudian
akan meluas dalam beberapa minggu, atau dapat juga terbatas pada satu atau beberapa lokasi
selama beberapa bula hingga timbul bula generalisata.23,24
Bula pada pemfigus vulgaris berdinding tipis, relatif flaksid, dan mudah pecah yang
timbul pada kulit atau membran mukosa normal maupun di atas dasar eritematous. Cairan
bula pada awalnya jernih tetapi kemudian dapat menjadi hemoragik bahkan seropurulen.
Bula-bula ini mudah pecah, dan secara cepat akan pecah sehingga terbentuk erosi. Erosi ini
sering berukuran besar dan dapat menjadi generalisata.Kemudian erosi akan tertutup krusta bila
lesi ini sembuh sering berupa hiperpigmentasi tanpa pembentukan jaringan parut. Tanda
Nikolskiy positif disebabkan oleh adanya akantolisis. Cara mengetahui tanda tersebut ada dua,
pertama dengan menekan dan menggeser kulit diantara dua bula dan kulit tersebut akan
terkelupas. Cara kedua dengan menekan bula, maka bula akan meluas karena cairan yang
didalamnya mengalami tekanan. Pruritus tidak biasanya dikeluhkan oleh penderita pemfigus
vulgaris, tetapi pasien sering mengeluh nyeri pada kulit yang terkelupas. Epitelisasi terjadi
setelah penyembuhan dengan meninggalkan hipopigmentasi dan hiperpigmentasi dan biasanya
tanpa jaringan parut.23

Gambar 23. Gambaran Klinis Pemfigus vulgaris


5.6 Diagnosis
Penyakit autoimun kulit yang menyebabkan kerusakan pada perlekatan antar sel telah
banyak ditemukan dan sukar untuk dibedakan karena memiliki manifestasi klinis yang mirip.
Ciri klinis seperti tanda Nikolsky tidaklah spesifik untuk penyakit ini saja. Karena itu, selain
dari anamnesis yang baik dan pemeriksaan fisik lesi yang muncul, pemeriksaan biopsi,
histopatologi dan immunologi yang baik merupakan hal yang perlu diindikasikan.

5.6.1 Anamnesis dan pemeriksaan fisik


Anamnesis pasien berupa keluhan yang membawa pasien datang untuk berobat.
Biasanya keadaan umum pasien tampak buruk. Anamnesis dilengkapi dengan mengetahui
perjalanan penyakit pasien. Kemudian pemeriksaan fisik terhadap lesi yang timbul dimulai dari
awal timbulnya lesi berupa eroosi dan krusta hingga terdapat bula generalisata. Pemeriksaan
awal biasanya dilakukan pada tempat yang sering muncul di awal perjalanan penyakit yaitu di
kulit kepala yang berambut dan di rongga mulut. Tanda khas penyait ini berupa tanda nikolskiy
yang positif yang disebabkan adanya akantolisis.23,24

5.6.2 Biopsi dan histopatologi


Metode biopsi dilakukan dengan cara sampel diambil pada daerah erosi atau bula
setelah kulit atau mukosa dianastesi dengan injeksi anastesi lokal. Sampel kemudiannya
diperiksa secara histologis dibawah mikroskop untuk melihat adakah sel terpisah antara satu
sama lain. Pada gambaran histopatologik didapatkan bula intraepidermal suprabasal dan sel-sel
epitel yang mengalami akantolisis pada dasar bula yang menyebabkan terbentuknya bula di
suprabasal dan membuat percobaan Tzanck positif. Percobaan ini berguna untuk menentukan
adanya sel-sel akantolitik, tetapi bukan diagnostik pasti.
Gambar 24. Histopatologi Pemfigus Vulgaris. Satu dari sel epitel terlihat
berjauhan antara satu sama lain dan membuat cairan dalam lepuhan

5.6.3 Immunopatologi
5.6.3.1 Immunoflourescen langsung
Pada pemeriksaan immunoflourescen langsung didapatkan antibodi interselular
tipe IgG dan C3 di subtansi interselluler epidermis. Pemeriksaan ini dilakukan dengan
mencampurkan spesimen jaringan mukosa yang dibiopsi dengan beberapa siri
immunoglobulin. Immunoglobulin ini telah ditandai dengan bahan fluoresense
(fluorochrome) yang digunakan untuk menunjukkan kehadiran autoantibodi yang
melekat pada sel jaringan pasien.24

5.6.3.2 Immunoflourescen tidak langsung


Test ini dilakukan dengan mengukur jumlah autoantibodi di dalam darah. Pada
test ini biasanya ditemukan antibodi pemfigus tipe IgG interselluler, terdapat pada 80-
90% penderita. 24

5.7 Diagnosis Banding

5.7.1 Dermatitis Herpetiformis

Dermatitis herpetiformis ialah penyakit yang menahun dan residif. Penyakit ini
dapat mengenai anak dan dewasa, keadaan umumnya baik, keluhannya sangat gatal,
ruam polimorf, dinding vesikel/bula tegang dan berkelompok. Tempat presdileksinya
ialah di punggung, daerah sakrum, bokong, daerah ekstensor di lenggan atas, sekitar
siku dan lutut. Ruam berupa eritema, papulo-vesikel, dan vesikel/bula yang
berkelompok dan sistemik.22,23
Pada pemfigus vulgaris keadaan umumnya bururk, tidak gatal, kelainan
utamanya ialah bula yang berdinding kendur, generalisata dan eritema bisa terdapat atau
tidak. Pada gambaran histopatologik dermatitis herpetiformis, letak vesikel/bula di
subepidermal sedangkan pada pemfigus vulgaris terletak di intraepidermal dan terdapat
akantolisis. 22,23

Gambar 25. Dermatitis Herpetiformis


(Sumber: Fitzpatrick’s Edisi 7)

5.7.2 Pemfigoid Bulosa


Pemfigoid bulosa adalah penyakit autoimun kronik yang ditandai oleh adanya bula
subepidermal yang besar dan berdinding tegang dan pada pemeriksaan imonupatologik
ditemukan C3 (komponen komplemen ke-3) pada epidermal basement membrane zone.
Keadaan umum pasien baik, dijumpai pada semua umur terutama pada orang tua. Kelainan kulit
terutama terdiri atas bula dapat bercampur dengan vesikel, berdinding tergangm sering disertai
eritema, tempat predileksinya ialah di ketiak, lengan bagian fleksor dan lipat paha. Jika bula-
bula pecah terdapat daerah erosif yang luas, tetapi tidak bertambah seperti pada pemfigus
vulgaris. 23,24
Gambar 26. Pemfigoid Bulosa
(Sumber: Fitzpatrick’s Edisi 7)

Perbedaan antara pemfigus vulgaris, dermatitis herpetiformis dan pemfigoid bulosa


dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel.4 Perbedaan pemfigus vulgaaris, pemfigoid bulosa dan dermatitis herpetiformis

Pemfigus Pemfigoid Dermatitis


NO.
vulgaris bulosa herpetiformis
1 Etiologi Autoimun Autoimun Belum jelas
2 Usia 30-60 tahun Biasanya usia Anak atau
tua dewasa
3 Keluhan Biasanya tidak Biasanya Sangat gatal
gatal tidak gatal
4 Kelainan kulit Bula berdinding Bula Vesikel
kendur, krusta berdinding berkelompok
bertahan lama tegang berdinding
tegang
5 Tanda nikolski + - -
6 Tempat Biasanya Perut, lengan Simetrik:
predileksi
generalisata fleksor, lipat tengkuk, bahu,
paha, tungkai lipat ketiak,
medial posterior, lengan
ekstensor,
daerah sakrum,
bokong

7 Kelainan 60% 10-40% Jarang


mukosa
mulut
8 Histopatologi Bula intradermal, Celah di taut Celah
akantolisis dermal- subepidermal,
epidermal, bula terutama
di subepidermal, neutrofil
terutama
eosinofil

9 Imunofluoresens IgG dan IgG seperti pita IgA granular di


i
komplemen di di papila dermis
epidermis Membrane basal
10 Terapi Kortikosteroid Kortikosteroid DDS
(prednisolon 60- (prednison) 40-60 (diaminodifenil
150 mg sehari), mg sulfon) 200-
sitostatik 300 mg sehari
sehari

5.8 Penatalaksanaan
Pengobatan sistemik
Pengobatan sistemik kortikosteroid merupakan cara terbaik dalam terapi pemfigus
vulgaris. Steroid mengurangi inflamasi dengan cara menekan sistem kekebalan tubuh.
Perbaikan klinis akan terlihat setelah beberapa hari pengobatan kortikosteroid kira-kira 2-3
minggu, dan 6-8 minggu untuk hasil yang lebih baik.24
Pemakaian dosis tinggi diperlukan saat pada pengobatan pertama kali. kadang-kadang
dosis tinggi diberikan dengan cara i.m atau i.v. dosis dikurangai bila lesi melepuh dan telah
berhenti terbentuk. Tujuannya adalah untuk menemukan dosis terendah yang diperlukan untuk
mengendalikan gejala dimana dosis yang diperlukan bervariasi antara pasien. Yang sering
digunakan adalah prednison dan dexametason. Dosis prednison bergantung pada berat
ringannya penyakit, yakni 60-150 mg sehari. Ada pula yang menggunakan 3 mg/kgbb sehari
bagi pemfigus yang berat. Pada dosis yang tinggi sebaiknya diberikan dexametason i.m atau
i.v. jika tidak ada respon perbaikan, yang berarti masih timbul lesi baru setelah 5-7 hari, dosis
pengobatan ditingkatkan 50-100% sampai ada perbaikan. Kalau sudah ada perbaikan, dosis
diturunkan 10-20 mg ekuivalen prednison atau diturunkan hingga 50% setiap 2 minggu.24

Untuk mengurangi efek samping kortikosteroid dapat dikombinasikan dengan ajuvan


yang terkuat ialah sitostatik. Efek samping kortikosteroid yang berat adalah atrofi kelenjar
adrenal bagian korteks, ulkus peptikum, dan osteoporosis yang dapat menyebabkan fraktur.
Obat sitostatik yang direkomendasikan adalah azatiporin karena cukup bermanfaat dan tidak
begitu toksik. Dosis azatiporin 50-150 mg sehari atau 1-3 mg per kgBB. Efek terapeutik
azatiporin baru terjadi setelah 2-4 minggu. Obat-obat sitostatik diberikan jika dosis prednison
mencapai 60 mg sehari untuk mencegah sepsis dan bronkopneumonia. Jika telah tampak
perbaikan dosis prednison diturunkan lebih dahulu, kemudian dosis azatiporin diturunkan
secara bertahap. Obat sitostatik yang lainnya adalah siklofosfamid, metroteksat, dan
mikofenolat mofetil.24

Pengobatan topikal
Pada pasien dengan lesi ringan hiingga sedang dan didapatkan sebatas pada permukaan
mukosa bisa menggunakan terapi steroid topikal saja. Pada pemfigus oral, penggunaan sikat
gigi yang lembut sangat disarankan untuk mengurangi trauma lokal. Analgesik dan anastesi
topikal seperti benzydamine hydrochloride 0,15% bisa digunakan untuk menghilangkan nyeri
pada lesi oral, terutama sebelum membersihkan mulut dan gigi. Kebersihan rongga mulut
penderita pemfiggus vulgaris harus dijaga untuk mencegah lesi yang lebih luas. Saat menyikat
gigi sebisanya untuk menggunakan larutan kumur antiseptik seperti chlorhexidine glukonat
0,2%. Untuk erosi oral yang banyak, digunakan obat kumur seperti larutan betamethasone
sodium phosphate 0,5 mg tablet dicampurkan dalam 10 ml air dan dapat digunakan 4 kali sehari
selama 5 menit setiap pemakaian. Pada daerah lesi yang erosif dapat juga diberikan silver
sulfadiazine, yang berfungsi sebagai antiseptik dan astringen. Pada lesi pemfigus yang sedikit
dapat diberikan kortikosteroid secara intradermal dengan triamsinolon asetonid 0,1%.22,23,24
5.8 Prognosis
Angka kematian pasien pemfigus vulgaris mencapai 75% sebelum digunakannya
kortikosteroid dalam pengobatannya. Setelah dimulainya penggunaan kortikosteroid pada
pemfigus, angka kematian menurun menjadi 30% dengan angka kekambuhan sekitar 13-21%.
Penyebab kematian yang sering terjadi ialah sepsis, kakeksia dan ketidakseimbangan elektrolit.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa dengan pengobatan menggunakan kortikosteroid sesuai
prosedur yang telah ditentukan maka prognosis pasien pemfigus vulgaris akan lebih baik.23,24
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim 2009. Sindrom Steven Jonhson. http://childrenallergyclinic.wordpress.com/,
2009. Diakses pada tanggal 17 Februari 2019.
2. Behrman R.E., Kliegman R.M., Jenson H.B., Adverse Reactions to Drugs. NELSON
TEXTBOOK OF PEDIATRICS, 17TH EDITION. United States of America. 2004.
3. Djuanda A, Hamzah M. Sindrom Stevens-Johnson. dalam: Adhi Djuanda, Mochtar
Hamzah and Siti Aisah. Ilmu penyakit kulit dan kelamin edisi ke-5 cetakan ke-3. Jakarta
: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008.
4. Anonim 2009. Stevens-Johnson Syndrome. http://doctorology.net/?p=250. Diakses pada
tanggal 17 Februari 2019
5. Klein P.A., Stevens-Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis: Treatment &
Medication University Hospital, State University of New York at Stony Brook. New
York. 2010.
6. Hamzah M. Eritema Multiforme. dalam: Adhi Djuanda, Mochtar Hamzah and Siti
Aisah. Ilmu penyakit kulit dan kelamin edisi ke-5 cetakan ke-3. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2008.
7. Parrilo S.J., Stevens-Johnson syndrome. Jefferson Medical College and Philadelphia
College of Osteopathic Medicine. Philadelphia. 2010.
8. Perdana H.I., Heptayana P., Kinsky M., Stevens-Johnson Syndrome.
http://www.exomedindonesia.com/referensi-kedokteran/artikel-ilmiah-
kedokteran/kulit/2010/ 10/28/steven-johnson-syndrome/, Diakses pada tanggal 17
Februari 2019
9. Dorland, W.A. Newman. Kamus Kedokteran Dorland. Penerbit Buku Kedokteran.
Jakarta, Indonesia. 2000.
10. Anonim 2010. Hipersensitivitas. http://id.wikipedia.org/wiki/Hipersensitivitas. Diakses
pada tanggal 17 Februari 2019
11. Valeyrie and Roujeau, 2008. Epidermal Necrolysis (Stevens-Johnson Syndrome and
Toxic Epidermal Necrolysis). “Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine”, USA :
7th edition, chapter 39, page 349-355.
12. Sanchez and Raimer, 2001. Toxic Epidermal Necrolysis (TEN). “Vademecum
Dermatopathology”. Georgetown, USA : page 68-69.

50
13. HHF Ho, 2008. Diagnosis and Management of Stevens-Johnson Syndrome and Toxic
Epidermal Necrolysis. “Hongkong Medical Diary” : volume 13, number 10. Diunduh
tanggal 17 Februari 2019. http://www.fmshk.org/database/articles/03mb3_4.pdf.
14. Ghislain and Roujeau, 2002. Treatment of severe drug reactions: Stevens-Johnson
Syndrome, Toxic Epidermal Necrolysis and Hypersensitivity syndrome. “Dermatology
Online Journal” : volume 8, number 1. Diunduh tanggal 17 Februari 2019.
http://dermatology-s10.cdlib.org /DOJvol8num1/reviews/drugrxn/ghislain.html.
15. Cohen, 2011. Toxic Epidermal Necrolysis. “Medscape reference” : america. Diunduh
tanggal 17 Februari 2019. http://emedicine.medscape.com/article/229698-overview
#showall.
16. Djuanda, Adhi. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi kelima. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2007.
17. Umar, H Sanusi. Erythroderma (generalized exfoliative dermatitis), diunduh dari:
www.emedicine.com, diunduh pada 18 Januari 2019
18. Itraconazole Oral untuk Terapi Dermatitis Seboroik, diunduh dari: www.kalbe.co.id,
diunduh pada 18 Januari 2019
19. Luk N.M. Adult Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS). Hong Kong
Dermatology & Venereology Bulletin. 2002; 10 (1): 25.
20. Morgan MB, Smoller BR, Somach SC, eds. Staphylococcal Toxin-Mediated Scalded
Skin and Toxic Shock Syndromes. In: Deadly Dermatologic Diseases Clinicopathologic
Atlas and Text. Cleveland: Springer; 2007. p. 133-6.
21. Wolff K, Johnson RA, Suurmond D, Bacterial infections involving the skin. In
Fitzpatrick’s color atlas and synopsis of clinical dermatology. Edisi ke-6. USA: Mc.
Graw Hill, 2009: 620-3.
22. Rimal J, Sumanth KN, Ongole R, George T, Chatterjee S. A Rare Presentation of Oral
Pemphigus Vulgaris as Multiple Pustules. Kathmandu University Medical Journal 2007:
Vol. 5 (4) Issue 20: 541-545.
23. Eberle J, Price C, Pulse C, Stern M. Oral Diagnosis, Clinical Manifestations
and Treatment of Pemphigus Vulgaris. Columbia Dental Review 2001: 5; 3-5.
3
24. Harman K.E., Albert S. And Black M.M. Guidelines For The Management Of
Pemphigus Vulgaris. British Journal Of Dermatology 2003: 149; 926–37.

51

Anda mungkin juga menyukai