BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Angka harapan hidup di Indonesia setiap tahunnya semakin meningkat. Hal itu
berdampak pada meningkatnya jumlah penduduk lanjut usia (lansia) dibanding jumlah
penduduk secara keseluruhan. Kantor Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat
(KESRA) melaporkan, jika tahun 1980 usia harapan hidup (UHH) 52,2 tahun dan jumlah
lansia 7.998.543 orang (5,45%) maka pada tahun 2006 menjadi 19 juta orang (8,90%)
dan UHH juga meningkat (66,2 tahun). Pada tahun 2010 perkiraan penduduk lansia di
Indonesia akan mencapai 23,9 juta atau 9,77 % dan UHH sekitar 67,4 tahun. Sepuluh
tahun kemudian atau pada 2020 perkiraan penduduk lansia di Indonesia mencapai 28,8
juta atau 11,34 % dengan UHH sekitar 71,1 tahun.
Penurunan fungsi tubuh akan menurun seiring bertambahnya umur seseorang. Hal
itu membuat lansia sangat identik dengan menurunnya daya tahan tubuh dan mengalami
berbagai macam penyakit. Beberapa perubahan dapat terjadi pada saluran cerna atas
akibat proses penuaan, terutama pada ketahanan mukosa lambung. Kadar asam lambung
lansia biasanya mengalami penuruna hingga 85%. Penurunan tersebut akan membuat
lansia rentan menderita penyakit.
Lansia akan memerlukan obat yang jumlah atau macamnya tergantung dari
penyakit yang diderita. Semakin banyak penyakit pada lansia, semakin banyak jenis obat
yang diperlukan. Banyaknya jenis obat akan menimbulkan masalah antara lain
kemungkinan memerlukan ketaatan atau menimbulkan kebingungan dalam menggunakan
atau cara minum obat. Disamping itu dapat meningkatkan resiko efek samping obat atau
interaksi obat.
Dispepsia atau sakit maag adalah sekumpulan gejala (sindrom) yang terdiri dari
nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, rasa penuh atau
cepat kenyang, dan sering bersendawa. Kondisi tersebut dapat menurunkan kualitas hidup
lansia. Jika tidak diantisipasi dengan deteksi dini dan tindakan yang tepat, maka dapat
berakibat fatal bagi lansia. Oleh karena itu, peningkatan jumlah penduduk lansia harus
diimbangi dengan peningkatan pelayanan kesehatan. Harapannya agar terjadi
peningkatan kualitas hidup lansia dan memperkecil resiko lansia yang menderita
penyakit, salah satunya adalah dispepsia.
B. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi, etiologi, manifestasi, dan komplikasi dispepsia.
2. Untuk mengetahui pathway dan pemeriksaan penunjang dispepsia.
3. Untuk mengetahui pengkajian yang perlu dilakukan pada pasien lansia dengan
dispepsia.
4. Untuk mengetahui diagnosa yang sering muncul pada pasien lansia dengan dispepsia.
5. Untuk mengetahui intervensi apa saja yang dapat diterapkan pada pasien lansia
dengan dispepsia
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Dispepsia berasal dari bahasa Yunani (Dys) berarti sulit dan Pepse berarti
pencernaan. Dispepsia merupakan kumpulan keluhan/gejala klinisyang terdiri dari rasa
tidak enak/sakit di perut bagian atas yang menetap atau mengalamikekambuhan. Keluhan
refluks gastroesofagus klasik berupa rasa panas di dada (heartburn) dan regurgitasi asam
lambung, kini tidak lagi termasuk dispepsia (Mansjoer, 2000). Menurut Mansjoer (2000)
pengertian dispepsia terbagi dua, yaitu :
1. Dispepsia organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik sebagai
penyebabnya.Sindroma dispepsi organik terdapat kelainan yang nyata terhadap organ
tubuh misalnyatukak (luka) lambung, usus dua belas jari, radang pankreas, radang
empedu, dan lain-lain.
2. Dispepsia nonorganik atau dispepsia fungsional, atau dispesia nonulkus (DNU), bila
tidak jelas penyebabnya. Dispepsi fungsional tanpa disertai kelainan atau gangguan
struktur organberdasarkan pemeriksaan klinis, laboratorium, radiologi, dan endoskopi
(teropong saluranpencernaan).
Dispepsia atau sakit maag adalah sekumpulan gejala (sindrom) yang terdiri
dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, rasa penuh
atau cepat kenyang, dan sering bersendawa. Biasanya berhubungan dengan pola
makan yang tidak teratur, makanan yang pedas, asam, minuman bersoda, kopi, obat-
obatan tertentu, ataupun kondisi emosional tertentu misalnya stress (Wibawa, 2006).
B. Etiologi
Beberapa perubahan dapat terjadi pada saluran cerna atas akibat proses penuaan,
terutama pada ketahanan mukosa lambung (Wibawa, 2006). Kadar asam lambung lansia
biasanya mengalami penuruna hingga 85%.
Dispepsia dapat disebabkan oleh kelainan organik, yaitu :
a. Gangguan penyakit dalam lumen saluran cerna: tukak gaster atau duodenum, gastritis,
tumor, infeksi bakteri Helicobacter pylori.
b. Obat-obatan: anti inflamasi non steroid (OAINS), aspirin, beberapa jenis antibiotik,
digitalis, teofilin dan sebagainya.
c. Penyakit pada hati, pankreas, maupun pada sistem bilier seperti hepatitis, pankreatitis,
kolesistitis kronik.
d. Penyakit sistemik seperti diabetes melitus, penyakit tiroid, penyakit jantung koroner.
C. Faktor Predisposisi
Dispepsia dapat disebabkan oleh berbagai penyakit dan pola hidup. Menurut Guyton
(1997) berikut ini berbagai penyakit (kondisi medis) yang dapat menyebabkan keluhan
dispepsia :
a. Dispepsia fungsional (nonulcer dyspepsia). Dispepsia fungsional adalah rasa tidak
nyaman hingga nyeri di perut bagian atas yang setelah dilakukan pemeriksaan
menyeluruh tidak ditemukan penyebabnya secara pasti. Dispepsia fungsional adalah
penyebab maag yang paling sering.
b. Tukak lambung (stomach ulcers). Tukak lambung adalah adanya ulkus atau luka di
lambung. Gejala yang paling umum adalah rasa sakit yang dirasakan terus menerus,
bersifat kronik (lama) dan semakin lama semakin berat.
c. Refluks esofagitis (gastroesophageal reflux disease)
d. Pangkreatitis
e. Iritable bowel syndrome
f. Pemakaian obat penghilang nyeri secara terus menerus. Obat analgesik anti inflamasi
nonsteroid (AINS) seperti aspirin, ibuprofen dan naproxen dapat menyebabkan
peradangan pada lambung. Jika pemakaian obat – obat tersebut hanya sesekali maka
kemungkinan terjadinya masalah lambung akan kecil. Tapi jika pemakaiannya secara
terus menerus atau pemakaian yang berlebihan dapat mengakibatkan maag.
g. Stress fisik. Stress fisik akibat pembedahan besar, luka trauma, luka bakar atau
infeksi berat dapat menyebabkan gastritis serta pendarahan pada lambung.
h. Malabsorbsi (gangguan penyerapan makanan)
i. Penyakit kandung empedu
j. Penyakit liver
k. Kanker lambung (jarang)
l. Kanker esofagus (kerongkongan)(jarang)
m. Penyakit lain (jarang)
D. Patofisiologi
Perubahan pola makan yang tidak teratur, obat-obatan yang tidak jelas, zat-zat
seperti nikotin dan alkohol serta adanya kondisi kejiwaan stres, pemasukan makanan
menjadi kurang sehingga lambung akan kosong, kekosongan lambung dapat
mengakibatkan erosi pada lambung akibat gesekan antara dinding-dinding lambung,
kondisi demikian dapat mengakibatkan peningkatan produksi HCL yang akan
merangsang terjadinya kondisi asam pada lambung, sehingga rangsangan di medulla
oblongata membawa impuls muntah sehingga intake tidak adekuat baik makanan maupun
cairan (Corwin,2001).
E. Manifestasi Klinis
a. Nyeri perut (abdominal discomfort),
b. Rasa perih di ulu hati,
c. Mual, kadang-kadang sampai muntah,
d. Nafsu makan berkurang,
e. Rasa lekas kenyang,
f. Perut kembung,
g. Rasa panas di dada dan perut,
h. Regurgitasi (keluar cairan dari lambung secara tiba-tiba)
(Sujono, 2006)
G. Komplikasi
Penderita sindroma dispepsia selama bertahun-tahun dapat memicu adanya
komplikasi yang tidak ringan. Salah satunya komplikasi dispepsia yaitu luka di dinding
lambung yang dalam atau melebar tergantung berapa lama lambung terpapar oleh asam
lambung. Bila keadaan dispepsia ini terus terjadi luka akan semakin dalam dan dapat
menimbulkan komplikasi pendarahan saluran cerna yang ditandai dengan terjadinya
muntah darah, di mana merupakan pertanda yang timbul belakangan. Awalnya penderita
pasti akan mengalami buang air besar berwarna hitam terlebih dulu yang artinya sudah
ada perdarahan awal. Tapi komplikasi yang paling dikuatirkan adalah terjadinya kanker
lambung yang mengharuskan penderitanya melakukan operasi (Wibawa, 2006).
H. Penatalaksanaan
Menurut Sujono (2006), penatalaksanaan yang tepat pada pasien dengan dispepsia, antara
lain :
1. Edukasi kepada pasien untuk mengenali dan menghindari keadaan yang potensial
mencetuskan serangan dispepsia
2. Modifikasi pola hidup
Menghindari jenis makanan yang dirasakan sebagai faktor pencetus. Pola makan porsi
kecil tetapi sering dan makanan rendah lemak.
3. Obat-obatan
Obat-obatan yang dianjurkan adalah golongan antasida, anti sekresi dan prokinetik
dapat digunakan untuk mengurangi keluhan.
I. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang harus bias menyingkirkan kelainan serius, terutama
kanker lambung, sekaligus menegakkan diagnosis bila mungkin. Sebagian pasien
memiliki resiko kanker yang rendah dan dianjurkan untuk terapi empiris tanpa endoskopi.
Menurut Schwartz, M William (2004) dan Wibawa (2006) berikut merupakan
pemeriksaan penunjang:
a. Tes Darah
Hitung darah lengkap dan LED normal membantu menyingkirkan kelainan
serius. Hasil tes serologi positif untuk Helicobacter pylori menunjukkan ulkus
peptikum namun belum menyingkirkan keganasan saluran pencernaan.
b. Endoskopi (esofago-gastro-duodenoskopi)
Endoskopi adalah tes definitive untuk esofagitis, penyakit epitellium Barret,
dan ulkus peptikum. Biopsi antrum untuk tes ureumse untuk H.pylori (tes CLO).
Endoskopi adalah pemeriksaan terbaik masa kini untuk menyingkirkan kausa
organic pada pasien dispepsia. Namun, pemeriksaan H. pylori merupakan pendekatan
bermanfaat pada penanganan kasus dispepsia baru. Pemeriksaan endoskopi
diindikasikan terutama pada pasien dengan keluhan yang muncul pertama kali pada
usia tua atau pasien dengan tanda alarm seperti penurunan berat badan, muntah,
disfagia, atau perdarahan yang diduga sangat mungkin terdapat penyakit struktural.
Pemeriksaan endoskopi adalah aman pada usia lanjut dengan kemungkinan
komplikasi serupa dengan pasien muda. Menurut Tytgat GNJ, endoskopi
direkomendasikan sebagai investigasi pertama pada evaluasi penderita dispepsia dan
sangat penting untuk dapat mengklasifikasikan keadaan pasien apakah dispepsia
organik atau fungsional. Dengan endoskopi dapat dilakukan biopsy mukosa untuk
mengetahui keadaan patologis mukosa lambung.
c. DPL : Anemia mengarahkan keganasan
d. EGD : Tumor, PUD, penilaian esofagitis
e. Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan laboratorium termasuk hitung darah
lengkap, laju endap darah, amylase, lipase, profil kimia, dan pemeriksaan ovum dan
parasit pada tinja. Jika terdapat emesis atau pengeluaran darah lewat saluran cerna
maka dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan barium pada saluran cerna bgian atas.
J. Pemeriksaan Fisik
Anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasien dyspepsia yang belum diinvestigasi
terutama hasrus ditujukan untuk mencari kemungkinan adanya kelainan organik sebagai
kausa dispepsia. Pasien dispepsia dengan alarm symptoms kemungkinan besar didasari
kelainan organik. Menurut Wibawa (2006), yang termasuk keluhan alarm adalah:
1. Disfagia,
2. Penurunan Berat Badan (weight loss),
3. Bukti perdarahan saluran cerna (hematemesis, melena, hematochezia, anemia
defisiensi besi,atau fecal occult blood),
4. Tanda obstruksi saluran cerna atas (muntah, cepat penuh).
Pasien dengan alarm symptoms perlu dilakukan endoskopi segera untuk
menyingkirkan penyakit tukak peptic dengan komplikasinya, GERD (gastroesophageal
reflux disease), atau keganasan.
K. Pencegahan
Pola makan yang normal, dan teratur, pilih makanan yang seimbang dengan
kebutuhan dan jadwal makan yang teratur, sebaiknya tidak mengkonsumsi makanan yang
berkadar asam tinggi, cabai, alkohol dan, pantang rokok, bila harus makan obat karena
sesuatu penyakit, misalnya sakit kepala, gunakan obat secara wajar dan tidak
mengganggu fungsi lambung (Wibawa, 2006).
Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dari proses dimana kegiatan yang dilakukan
yaitu : Mengumpulkan data, mengelompokkan data dan menganalisa data. Data fokus
yang berhubungan dengan dispepsia meliputi adanya nyeri perut, rasa pedih di ulu hati,
mual kadang-kadang muntah, nafsu makan berkurang, rasa lekas kenyang, perut
kembung, rasa panas di dada dan perut, regurgitasi (keluar cairan dari lambung secar
tiba-tiba). (Mansjoer, 2000).
Menurut Tucker (1998), pengkajian pada klien dengan dispepsia adalah sebagai
berikut:
a. Biodata
1) Identitas Pasien : nama, umur, jenis kelamin, suku / bangsa, agama, pekerjaan,
pendidikan, alamat.
2) Identitas penanggung jawab : nama, umur, jenis kelamin, agama, pekerjaan, hubungan
dengan pasien, alamat.
b. Keluhan Utama
Nyeri/pedih pada epigastrium disamping atas dan bagian samping dada depan
epigastrium, mual, muntah dan tidak nafsu makan, kembung, rasa kenyang
c. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Sering nyeri pada daerah epigastrium, adanya stress psikologis, riwayat minum-minuman
beralkohol
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Adakah anggota keluarga yang lain juga pernah menderita penyakit saluran pencernaan
e. Pola aktivitas
Pola makan yaitu kebiasaan maakn yang tidak teratur, makan makanan yang merangsang
selaput mukosa lambung, berat badan sebelum dan sesudah sakit.
f. Aspek Psikososial
Keadaan emosional, hubungan dengan keluarga, teman, adanya masalah interpersonal
yang bisa menyebabkan stress
g. Aspek Ekonomi
Jenis pekerjaan dan jadwal kerja, jarak tempat kerja dan tempat tinggal, hal-hal dalam
pekerjaan yang mempengaruhi stress psikologis dan pola makan
h. Pemeriksaan Fisik
1) Inspeksi
Klien tampak kesakitan, berat badan menurun, kelemahan dan cemas,
2) Palpasi
Nyeri tekan daerah epigastrium, turgor kulit menurun karena pasien sering muntah
3) Auskultasi
Peristaltik sangat lambat dan hampir tidak terdengar (<5x/menit)
4) Perkusi
Pekak karena meningkatnya produksi HCl lambung dan perdarahan akibat perlukaan
2. Diagnosa Keperawatan
Menurut Doenges (2001) bahwa diagnosa keperawatan yang lazim timbul pada klien
dengan dispepsia.
a. Nyeri epigastrium berhubungan dengan iritasi pada mukosa lambung.
b. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan rasa tidak enak setelah makan,
anoreksia.
c. Perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan adanya mual,
muntah
d. Kecemasan berhubungan dengan perubahan status kesehatannya
3. Rencana Keperawatan
Rencana keperawatan adalah tindakan keperawatan yang akan dilaksanakan untuk
menngulangi masalah keperawatan yang telah ditentukan dengan tujuan.
a. Nyeri epigastrium berhubungan dengan iritasi pada mukosa lambung.
Tujuan : Terjadinya penurunan atau hilangnya rasa nyeri, dengan kriteria klien
melaporkan terjadinya penurunan atau hilangnya ras nyeri
INTERVENSI RASIONAL
1. Kaji tingkat nyeri, beratnya (skala 1.
0 Berguna dalam pengawasan
– 10) kefektifan obat, kemajuan
penyembuhan
2. Dengan posisi semi-fowler dapat
2. Berikan istirahat dengan posisi menghilangkan tegangan abdomen
semifowler yang bertambah dengan posisi
telentang
3. dapat menghilangkan nyeri
akut/hebat dan menurunkan aktivitas
3. Anjurkan klien untuk menghindari peristaltik
makanan yang dapat meningkatkan
4. mencegah terjadinya perih pada ulu
kerja asam lambung hati/epigastrium
4. Anjurkan klien untuk tetap
5. sebagai indikator untuk melanjutkan
mengatur waktu makannya intervensi berikutnya
6. Mengurangi rasa nyeri atau dapat
5. Observasi TTV tiap 24 jam terkontrol
7. Menghilangkan rasa nyeri dan
mempermudah kerjasama dengan
6. Diskusikan dan ajarkan teknik intervensi terapi lain
relaksasi
7. Kolaborasi dengan pemberian obat
analgesik
b. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan rasa tidak enak setelah
makan, anoreksia.
Tujuan : Menunjukkan peningkatan berat badan mencapai rentang yang diharapkan
individu, dengan kriteria menyatakan pemahaman kebutuhan nutrisi
INTERVENSI RASIONAL
1. Pantau dan dokumentasikan dan 1. Untuk mengidentifikasi
haluaran tiap jam secara adekuat indikasi/perkembangan dari hasil yang
diharapkan
Catat adanya anoreksia, mual, muntah, 7. Dapat menentukan jenis diet dan
dan tetapkan jika ada hubungannya mengidentifikasi pemecahan masalah
dengan medikasi. Awasi frekuensi, untuk meningkatkan intake nutrisi.
volume, konsistensi Buang Air Besar
(BAB).
INTERVENSI RASIONAL
Kaji tingkat kecemasan 1. Mengetahui sejauh mana tingkat
kecemasan yang dirasakan oleh
klien sehingga memudahkan dlam
tindakan selanjutnya
2. Klien merasa ada yang
memperhatikan sehingga klien
2. Berikan dorongan dan berikan merasa aman dalam segala hal
waktu untuk mengungkapkan tundakan yang diberikan
pikiran dan dengarkan semua
3. Klien memahami dan mengerti
keluhannya tentang prosedur sehingga mau
3. Jelaskan semua prosedur dan bekejasama dalam perawatannya.
pengobatan 4. Bahwa segala tindakan yang
diberikan untuk proses
penyembuhan penyakitnya, masih
ada yang berkuasa
4. Berikan dorongan spiritual menyembuhkannya yaitu Tuhan
Yang Maha Esa.
DAFTAR PUSTAKA
Bare & Suzanne, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Volume 2, (Edisi 8),
EGC, Jakarta
Doenges, E. Marilynn dan MF. Moorhouse, 2001, Rencana Asuhan Keperawatan, (Edisi
III), EGC, Jakarta.
Guyton dan Hall, 1997, Fisiologi Kedokteran, (Edisi 9), EGC, Jakarta
Mansyoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga. Jilid I. Jakarta:Media
Acsulapius. FKUI.
Sujono,H. 2006. Gastroenterology. Jakarta : PT Alumni
Tucker, Susan Martin. 1998. Standar Perawatan Pasien. Volume 2. Jakarta: EGC
Wibawa, I Dewa Nyoman. 2006. Penanganan Dispepsia Pada Lanjut Usia Volume 7
Nomor 3 September 2006.
Askep Dispepsia
ASKEP DISPEPSIA
Dalam uraian konsep dasar medis, penulis akan menampilkan tentang anatomi dan fisiologi,
pengertian, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinik, pemeriksaan diagnostik, penatalaksanaan
dan komplikasi. Konsep dasar medis dibuat agar memudahkan kita untuk memahami bagaimana
penanganan dan perawatan yang harus dilakukan pada klien gastroenteritis, lebih lanjut akan
dibahas berikut ini:
1. Anatomi dan Fisiologi
Menurut Syaifudin (1996) saluran pencernaan makanan merupakan saluran yamg menerima
makanan dari luar dan mempersiapkan untuk diserap oleh tubuh dengan jalan proses
pencernaan (pengunyahan, penelanan dan pencampuran) dengan enzim dan zat cair yang
terbentang mulai dari mulut samapi ke anus.
Struktur pencernaan terdiri dari:
a. Mulut (oral)
Mulut adalah permulaan saluran pencernaan yang terdiri dari dua bagian, yaitu:
1). Bagian luar yang sempit atau vesibula, yaitu ruang di antara gusi, gigi, bibir dan pipi.
2). Bagian rongga mulut atau bagian dalam yaitu bagian rongga mulut yang dibatasi sisinya oleh
tulang maksilaris, palatum dan mandibularis di sebelah belakang bersambung dengan faring dan
lidah terletak di luntainya dan terikat pada tulang (Syaifudin, 1999).
b. Faring
Faring terletak di belakang hidung dan laring ”tenggordian”. Faring merupakan saluran berbentuk
kerucut dan bahan membran berotot dan berjalan dari dasar tenggorokan sampai ketinggian
tulang rawan krikoid, tempat faring terbagi menjadi tiga bagian:
1). Nasofaring
Terletak di belakang hidung dindingnya terdapat saluran eustakius dan kelenjar adenoid.
2). Orofaring
Terletak di bagian media. Bagian ini terbatas ke depan sampai ke akar lidah bagian inferior.
3). Laringofaring
Berhubungan dengan laring. Faring organ yang menghubungkan rongga mulut dengan
kerongkongan osopagus.
c. Osofagus
Merupakan saluran yang menghubungkan tekak dengan lambung. Panjang ± 25 cm mulai dari
faring sampai pintu masuk cardiak lambung. Lapisan dinding dari dalam keluar lapisan mukosa,
submukosa, lapisan otot melingkar esofagus terletak di belakang trakhea dan depan tulang
punggung setelah melalui torak menembus diafragma masuk ke adalam abdomen menyambung
dengan lambung.
d. Gaster (lambung)
Gaster merupakan bagian dari saluran pencernaan yang melebar seperti kantong, terletak di
dalam rongga perut terutama di daerah epigastrik. Sebagian di sebelah kiri daerah hipokondriak
dan umbilikal dalam keadaan kosong lambung berbentuk g dan bila kosong berbentuk seperti
buah dengan kapasitas normal lambung 1 sampai 2 liter. Lambung terbagi atas kardiak gaster,
fundus gaster, corpus gaster, antrum pylorus, spingter kesua pada ujung lambung untuk
mengatur pengeluaran dan pemasukkan, mengalirkan makanan masuk ke dalam duodenum dab
ketika berkontraksi spingter ini akan mencegah terjadinya lairan balik dari usus ke lambung.
Persyarafan lambung sepenuhnya otonomi, suplai saraf parasimpatis untuk lambung dan
duodenum dihantarkan dari ke abdomen melalui nervus vagus serabut aferen menghantarkan
infuls nyeri yang dirangsang oleh perehangan kontraksi-kontraksi otot dan peradangan dan
dirasakan pada daerah epigastrium, serabut eferensimpatis menghambat pergerakan dan sekresi
lambung.
Di dalam lambung makanan ditampung, dilancarkan, digiling dan beberapa fungsi, antara lain:
1). Fungsi motorik, terdiri atas:
a). Fungsi reservoir
menyimpan makanan sehingga sedikit demi sedikit akan dicerna dan bergerak dalam saluran
cerna.
b). Fungsi pencampuran
Memecahkan makanan menjadi partikel-pertikel kecil dan bercampur dengan getah lembung
melalui kontraksi otot yang mengelilingi lambung. Kontraksi peristaltik diatur oleh satu irama listrik
intrinsik dasar.
c). Fungsi pengosongan lambung
Diatur pembukaan spingter pilorus dan dipengaruhi oleh viskositas (kekentalan), olume,
keasaman, aktifitas motorik, keadaan fisik serta emosi, obat-obatan lambung biasanya kosong
dalam empat jam sesudah makan dapat terlebih cepat atau lambat tergantung dari beberapa
banyak makanan yang sudah masuk.
2). Fungsi pencernaan dan sekresi
a). Pencernaan protein oleh pepsin dan HCL, pencernaan karbohidrat dan lemak oleh amilase
dan lipase dalam lambung.
b). Sintesis dan pelepasan gastrind dipengaruhi oleh protein yang dimakan, perenggangan
alkalinase antrum dan rangsangan vagus.
c). Sekresi faktor instrinsik memungkinkan absorbsi vitamin B12 dari usus halus bagian distal.
d). Sekresi muskulus berbentuk selubung yang melindungi lambung serta berfungsi sebagai
pelumas sehingga makanan mudah diangkut.
Pengaturan sekresi lambung dapat dibagi menjadi:
a). Fase Sefalik
Yaitu sebagai akibat melihat, mencium, memikirkan atau mengecap makanan. Menyebabkan
fase sefalik berasal dari korteks serebri atau pusat nafsu makan, impuls eferen kemudian
dihantarkan melalui saraf fagus ke lambung. Hasilnya kelenjar gastrik dirangsang mengeluarkan
asam HCL.
b). Fase Gastrik
Dimulai antrum pilorus, distensi di antrum menyebabkan terjadinya rangsangan mekanis dari
reseptor-reseptor pada dinding lambung, gastrik dilepaskan dari antrum kemudian dibawa oleh
aliran darah menuju kelenjar lamung untuk merangsang sekresi pelepasan HCL.
c). Fase Intestinal
Dimulai oleh gerakan kimus dari lambung ke duodenum. Adanya protein yang telah dicerna
sebagian dalam duodenum tampaknya merangsang pelepasan gastrin usus suatu hormon yang
menyebabkan lambung terus menerus mensekresi cairan lambung.
e. Anatomi usus
1). Usus halus
Intestinum minor adalah bagian dari sistem pencernaan makanan yang berpangkal pada pilorus
dan berakhir pada sekum, panjangnya ± 6 meter. Merupakan saluran yang panjang tempat
proses pencernaan dan absorbsi hasil pencernaan, yang terdiri dari lapisan usus halus, lapisan
mukosa (sebelah dalam), lapisan otot melingkar (m.sirkuler), lapisan otot memanjang
(m.longitudinal) dan lapisan serosa (sebelah luar).
a). Duodenum
Disebut juga usus 12 jari panjangnya ± 25 cm. Berbentuk sepatu kuda melengkung ke kiri pada
lengkungan ini terdapat pankreas dan bagian kanan duodenum terdapat selaput lendir yang
membukit disebut papila vateri. Pada papila vateri ini bermuara saluran empedu (duktus
koleduktus), dibuat di hati untuk dikeluarkan ke duodenum melalui duktus koledoktus yang
fungsinya mengemulsikan lemak, dengan bantuan lipase. Pankreas juga menghasilkan amilase
yang berfungsi mencerna hidrat arang menjadi sakarida dan tripsin yang berfungsi mencerna
protein menjadi asam amino atau albumin dan palipeptika. Dinding duodenum mempunyai
lapisan mukosa yang banyak mengandung kelenjar, kelenjar ini disebut kelenjar-kelenjar
brunner, berfungsi untuk memproduksi getah intestinum.
b). Yeyunum dan ileum
Yeyenum dan ileum mempunyai panjang sekitar ± 6 meter. Dua perlima bagian atas adalah
yeyenum dengan panjang ± 2-3 meter dan ileum dengan panjang ± 4-5 meter. Lekukan yeyenum
dan ileum melekat pada dinding abdomen posterior dengan perantaraan lipatan peritonium yang
berbentuk kipad, dikenal dengan mesenterium. Ujung bawah ileum berhubungan dengan sekum
dengan perantaraan lubang yang bernama orifisium ileoservikalis. Orifisium ini diperkuat oleh
spinter ileosekalis dan berfungsi untuk mencegah cairan dalam kolon asenden tidak masuk
kembali ke dalam ileum. Mukosa usus halus, permukaan epitel yang sangat luas melalui lipatan
mukosa dan mikro vili memudahkan pencernaan dan absorbsi. Lipatan ini dibentuk oleh mukosa
dan sub mukosa yang dapat memperbesar permukaan usus.
Pada penampungan melintang villi oleh epitel dan kripta yang menghasilkan bermacam-macam
hormon jaringan dan enzim yang memegang peranan aktif dalam pencernaan. Absorbsi
makanan yang sudah dicernakan seluruhnya berlangsung di dalam usus halus melalui dua
saluran, yaitu pembuluh kapiler dalam darah dan saluran limfe di sebelah dalam permukaan villi
usus. Sebuah vilus berisi lakteal, pembuluh darah epitelium dan jaringan otot yang diikat
bersama oleh jaringan limpoid seluruhnya diliputi membran dasar dan ditutupi oleh epitelium.
Karena villi keluar dari dinding usu maka bersentuhan dengan makanan cair dan lemak yang
diabsorbsi ke dalam lakteal kemudian berjalan melalui pembuluh limfe masuk ke dalam
pembuluh kapiler darah di villi dan oleh vena porta dibawa ke hati untuk mengalami beberapa
perubahan.
2. Definisi
a. Dispepsia berasal dari bahasa Yunani (Dys), berarti sulit dan newn (pepse), berarti
pencernaan. Dispepsia merupakan kumpulan keluhan/ gejala klinis yang terdiri dari rasa tidak
enak/ sakit perut bagian atas yang menetap atau mengalami kekambuhan (N.Talley, et all, 2005).
b. Dispepsia organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik sebagai penyebabnya.
Sindrom Dispepsia organik terdapat kelainan yang nyata terhadap organ tubuh, misalnya tukak
(luka lambung), usus dua belas jari, radang pankreas, radang empedu, dan lain-lain (Mansjoer, et
all, 2007).
c. Dispepsia non organik/Dispepsia fungsional atau Dispepsia non ulkus (DNU), bila tidak jelas
penyebabnya. Dispepsia fungsional tanpa disertai kelainan atau gangguan struktur organ
berdasarkan pemeriksaan klinis, laboratorium, radiologi dan endoscopy (teropong saluran
pencernaan) (Balck J.M and Jacobus E.M 2001)
d. Dispepsia adalah nyeri atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas atau dada yang sering
dirasakan sebagai adanya gas, perasaan penuh atau rasa sakit dan rasa terbakar diperut. Setiap
orang dari berbagai usia dapat terkena Dispepsia, baik pria maupun wanita. Sekitar satu dari
empat orang terkena Dispepsia dalam beberapa waktu (Bazaldua, et all,1999).
3. Etiologi
Fase-fase yang dapat mempengaruhi pembentukan Dispepsia, adalah:
a. Fase Sefalik
Rangsangan yang timbul akibat melihat, menghidu, merasakan, bahkan berpikir tentang
makanan akan menigkatkan produksi asam lewat aktivasi nervus vagus
b. Fase Gastrik
Distensi lambung akibat adanya makanan atau bahan kimia seperti kalsium asam amino dari
peptida dalam makanan akan merangsang produksi, gastrin, refleks vagus dan refleks kolinegrik
multimural.
c. Fase Intestinal
Hormon enterooksinitrin rangsangan asam lambung setelah makanan sampai di usus halus.
4. Patofisiologi
Obat-obatan, alkohol, garam empedu atau enam enzim pankreas dapat merusak mukosa
lambung (Dispepsia), menggangu pertahanan mukosa lambung dan memungkinkan difusi
kembali asam dan pepsin ke dalam jaringan lambung hal ini menimbulkan peradangan. Dengan
iritasi yang terus-menerus, jaringan meradang dan dapat terjadi perdarahan. Masuknya zat-zat
asam seperti asam dan basa yang bersifat korosif mengakibatkan terjadinya peradangan mukosa
lambung pada dinding lambung
5. Manifestasi klinis
Sindroma Dispepsia dapat bersifat jaringan, sedang dan berat serta dapat akut atau kronis,
sesuai dengan perjalanan penyakitnya. Pembagian akut dan kronik berdasarkan atas jangka
waktu tiga bulan.
Nyeri dan rasa tidak nyaman pada perut atas atau dada mungkin disertai dengan sendawa dan
suara usus yang keras (borborigmi). Pada beberapa penderita, makan dapat memperburuk nyeri:
pada penderita yang lain, makan dapat mengurangi nyerinya. Gejala lain meliputi napsu makan
yang menurun, mual, sembelit, diare dan flatulensi (perut kembung).
Jika Dispepsia menetap selama lebih dari beberapa minggu atau tidak memberi respon terhadap
pengobatan, atau disertai penurunan berat badan atau gejala iini yang tidak biasa, maka
penderita harus menjalani pemeriksaaan
6. Pemeriksaan Diagnostik
Adapun pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada klien Dispepsia adalah
a. Urinalisa
Warna kuning jenih.
b. Pemeriksaan Laboratorium biasanya meliputi hitung jenis sel darah yang lengkap dan
pemeriksaan darah dalam tinja dan urin, WBC.
c. Barium enema untuk memeriksa tenggorokan, lambung atau usus halus dapat dilakukan pada
orang yang mengalami kesulitan menelan dan muntah, penurunan berat badan atau mengalami
nyeri yang membaik atau memburuk bla penderita makan (Mansjoer, 2007)
d. Kadang dilakukan pemeriksaan lain, seperti pengukuran kontraksi kerongkongan atau respon
kerongkongan terhadap asam.
7. Penatalaksanaan
Untuk pengobatan dispepsia belum ada yang pasti, biasanya pengobatan dilakukan untuk
mengurangi sekresi asam lambung dan pengobatan simptomatis, yaitu :
a. Antasid
b. Ranitidin
c. Omeprazol
d. Golongan prokinetik seperti domperidon
e. Kadang kala juga dibutuhkan psikoterapi dan psikofarmaka (obat anti dispepsia dan cemas)
f. Meningkatkan istirahat
g. Mengurangi stres
h. Hindari makanan yang dapat merangsang sekresi asam lambung
i. Makan dengan porsi kecil tapi sering
8. Komplikasi
Adapun komplikasi dari penyakit Dispepsia yaitu:
a. Perdarahan
b. Kanker lambung
c. Muntah darah
d. Ulkus peptikum
a. Sirkulasi
Tanda: Hipotensi, takikardi, diseritma, kelemahan/nadi perifer melemah, pengisian kapler
lambat/perlahan warna kulit pucat, sianosis
b. Aktivitas istirahat
Tanda: Takikardi, takipnea/hiperventilasi (respon terhadap aktivitas)
Gejala: kelemahan
c. Eliminasi
Tanda: Nyeri tekan abdomen
Gejala: Riwayat perawatan di rumah sakit sebelmnya karena perdarahan gastrointestinal atau
masalah yang berhubungan dengan gastrointestinal misalnya luka peptik/gaster, gastritis badan
gaster, iradiasi daerah gaster.
d. Makanan/cairan
Tanda: Muntah warna kopi gelap atau cerah atau bekuan darah
Gejala: Anorexia, mual/muntah (muntah memanjang diduga obstruksi pilork bagian luar
sehubungan dengan luka deudenal). Nyeri ulu hati, sendawa asam, mual/muntah, tidak toleran
terhadap makanan, contoh makanan pedas, cokelat, diet khusus penyakit ulkus sebelumnya
e. Riwayat penyakit Keluarga
Wajah berkerut, gerhati-hati pada daerah yang sakit, pucat, berkeringat
Gejala: Nyeri digambarkan sebagai tajam, dngkal, rasa terbakar, perih, nyeri hebat tiba-tiba dapat
di sertai perforasi.
f. Keamanan
Tanda: Peningkatan suhu tubuh
Gejala: Alergi terhadap obat
g. Penyuluhan/pembelajaran
Gejala: Adanya penggunaan obat resep atau di jual bebas yang mengandung steroid
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa Keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan respons manusia dan
individu atau kelompok dimana perawat secara akuntabilitas dapat mengidentifikasi dan
memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga status kesehatan, menurunkan, membatasi,
mencegah dan mengubah. Dikutip dari Carpenito, 2000 (Nursalam, 2001, hal 35)
Diagnosa keperawatan adalah masalah kesehatan aktual dan potensial dimana berdasarkan
pendidikan dan pengalamannya, dia mampu dan mempunyai kewenangan untuk memberikan
tindakan keperawatan. Dikutip dari Gordon, 1976 (Price, S.A., dan Wilson, L.M. (1994)
Pada klien dengan Dispepsia, maka selanjutnya dilakukan prioritas masalah berdasarkan
kebutuhan dasar manusia yang tertuang dalam”Hirarki Maslow”. Kebutuhan biasanya sebagai
prioritas utama dari pada kebutuhan lainnya (Nursalam, 2001). Dalam menentukan prioritas
diagnosa mengacu pada teori Abraham Maslow.
Sedangkan yang dikutip dari Gordon, 1976 (Nursalam, 2001), mendefinisikan bahwa diagnosa
keperawatan adalah masalah kesehatan aktual dan potensial dimana berdasarkan pendidikan
dan pengalamannya, dia mampu dan mempunyai wewenang untuk memberikan tindakan
keperawatan. Pernyataan diagnosa keperawatan terdiri dari tiga bagian yaitu meliputi format PES
(Problem, Etiologi, Simptom).
Diagnosa keperawatan yang muncul pada klien dengan Dispepsia yaitu:
a. Nyeri akut berhubungan dengan peradangan mukosa lambung
b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kegagalan fungsi neuromuskular
c. Resiko tinggi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual,
muntah, dan anoreksia.
d. Kurang pengetahuan tentang penyakit berhubungan dengan informasi tentang penyakit.
3. Rencana Keperawatan
Setelah merumuskan diagnosa keperawatan diagnosa keperawatan langkah berikutnya
menentukan perencanaan keperawatan. Perencanaan meliputi pengembangan strategi desain
untuk mencegah, mengurangi dan mengoreksi masalah-masalah yang diidentifikasi pada
diagnosa keperawatan, dimana tahapan ini dimulai setelah menentukan diagnosa keperawatan
dan mengumpulkan rencana dokumentasi. Dikutip dari Iyer, et-all, 1996 dalam (Nursalam, 2001).
Tahap perencanaan keperawatan adalah menetukan prioritas diagnosa keperawatan, penetapan
tujuan, penetapan kriteria evaluasi dan merumuskan intervensi keperawatan dan dokumentasi.
Dikutip dari Iyer, et-all, 1996 dalam (Nursalam, 2001)
a. Menentukan kriteria hasil
Pedoman penulisan kriteria hasil berdasarkan “SMART”:
S : Spesific (tujuan harus spesifik dan tidak menimbulkan arti ganda).
M: Measurable (tujuan keperawatan harus dapat diukur, khususnya tentang perilaku klien: dapat
dilihat, didengar, diraba, dirasakan dan dibau)
A: Achievable (tujuan harus dapat dicapai)
R: Reasonable (tujuan harus dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah)
T: Time (tujuan keperawatan)
b. Menentukan rencana tindakan
Adalah desain spesifik intervensi untuk membantu klien dalam mencapai kriteria hasil. Rencana
tindakan dilaksanakan berdasarkan komponen penyebab dari diagnosa keperawatan.
Menurut Bulecheck dan Mc Closkey (1989) intervensi keperawatan adalah tindakan langsung
kepada klien yang dilaksanakan oleh perawat.
c. Dokumentasi
Adalah suatu proses informasi, penerimaan, pengiriman, dan evaluasi pusat rencana yang
dilaksanakan oleh seorang perawat profesional (Ryan, 1973). Format renpra membantu perawat
untuk memproses informasi yang didapat selama tahap pengkajian dan diagnosa keperawatan.
(Nursalam, 2001).
7. Dokumentasi
Dalam memberikan asuhan keperawatan penulis membuat pendokumentasian yang ditujukan
pada klien dengan Dispepsia. Pendokumentasian ini dilakukan dari awal pada tahap pengkajian
sampai pada tahap evaluasi dan sebagai alat komunikasi antara orang yang satu dengan yang
lain. Hal ini penting karena asuhan keperawatan yang di berikan kepada klien dengan Dispepsia
membutuhakan catatan dan pelaporan yang dapat di gunakan sebagai tanggung jawab dan
tanggung gugat dari berbagai kemungkinan masalah yang di alami klien (A. Aziz Alimun Hidayat,
2001).