Anda di halaman 1dari 26

Pemeriksaan Mayat Tanpa Identitas dan Disasster Vivtim

Identivication (DVI)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah negara hukum sebagaimana yang termaktub dalam
pasal 1 ayat 3 Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945). Sebagai negara
hukum maka upaya-upaya penegakan hukum salah satunya adalah
menjujung tinggi nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM). Pasal 28A
UUD1945 tentang HAM menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk
hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Ciri

tersebut

menunujukkan

bahwa

sebagai

negara

hukum,

Indonesiadalam segala tindakan atau dalam upya penyelenggaran negara


dan kepentingan masyarakat haruslah berdasarkan akan hukum sebagai
patron untuk mencapai tujuan hukum. Tujuan hukum menurut Gustaf
Radbruch meliputi kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan. Keadilan
disini berkaitan dengan pemenuhan hak-hak dasar manusia, sebagai upaya
pengakuan dan perlindungan bagi setiap warga negara.
Perlindungan akan hak-hak dasar manusia inilah yang paling penting
dalam memproses suatu perkara pidana baik bagi pelaku maupun korban
tindak pidana tanpa terkecuali yang memerlukan aturan sebagai wujud dari
negara hukum yang terdapat dalam hukum acara atau bisa disebut sebagi
hukum pidana formil.

Berkaitan dengan hal tersebut, apabila terjadi peristiwa yang berkaitan


dengan nyawa seseorang sepert contoh kasusnya penemuan seorang mayat
tanpa identitas maka akan dilakukan proses penyelidikan sebagaimana yang
diatur dalam pasal 1 angka 5 Kitab Undang-undang hukum Acara Pidana
(KUHAP). Segala proses dalam penyelidikan ini semata-mata untuk
mencari kebenaran materiil dari sebuah peristiwa yang terjadi, termasuk
identitas dari si korban dan juga menentukan apa penyebab kematian dari
mayat tanpa identitas tersebut.
Umumnya korban yang hidup telah banyak dapat diatasi oleh tim
medis, para medis dan tim pendukung lainnya. Namun berbeda bagi korban
yang sudah mati yang perlu ditangani secara khusus dengan membentuk tim
khusus pula yang disebut Disaster Victim Identification (DVI).
DVI adalah suatu prosedur untuk mengidentifikasi korban mati akibat
bencana yang dapat di pertanggungjawabkan secara sah oleh hukum dan
ilmiah serta mengacu pada INTERPOL DVI GUIDELINE. DVI diperlukan
untuk menegakkan Hak Asasi Manusia, sebagai bagian dari proses
penyidikan dan penunjang kepentingan hukum (asuransi, warisan, status
perkawinan) serta dapat dipertanggungjawabkan. Dalam prosesnya DVI
mempunyai 5 fase, dimana masing masing fase memiliki keterkaitan satu
dengan lainnya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. IDENTIFIKASI
1. Definisi Identifikasi
Identifikasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti
sebagai berikut : pertama , tanda kenal diri; bukti diri; kedua, penentu
atau penetapan identitas seseorang, benda, dan sebagainya; ketiga, proses
psikologi yang terjadi pada diri seseorang arena secara tidak sadar
membayangkan dirinya seperti orang lain yang dikaguminya, lalu dia
meniru tingkah laku orang yang dikaguminya itu.
Identifikasi forensik memiliki arti penetapan identitas seseorang
berdasarkan ilmu kedokteran yang dilakukan berdasarkan fakta-fakta
medis. Identifikasi forensik merupakan upaya yang dilakukan dengan
tujuan membantu penyidik untuk menentukan identitas seseorang.
Identifikasi dari tubuh yang tak dikenal, baik hidup ataupun mati, dapat
dilakukan bagi kepentingan penyidikan perkara pidana dan bagi tugas
kepolisian yang lain, misalnya pada peristiwa bencana alam, kecelakaan
yang mengakibatkan korban massal (mass disaster) atau pada peristiwa
ditemukannya seseorang dengan demensia atau kelainan jiwa yang sulit
diajak berkomunikasi.

Kepentingan dilakukannya identifikasi adalah sebagai upaya


memenuhi hak dasar setiap individu untuk memiliki identitas semasa
hidup ataupun setelah mati, dan untuk memudahkan penanganan masalah
hukum perdata ataupun pidana antara orang yang meninggal dengan
keluarga yang ditinggalkan.
2. Prinsip Identifikasi
Dalam proses Identifikasi diperlukan dua aspek :
a. Aspek pengumpulan data identitas; baik ante-mortem maupun postmortem
b. Aspek komparasi; antara data ante-mortem dengan post-mortem
untuk menentukan korban
Prinsip dari proses identifikasi adalah membandinkan data antemortem
dengan post-mortem, semakin banyak yang cocok semakin baik.
Data yang digunakan untuk menentukan identitas seseorang, meliputi :
a. Identifikasi primer, meliputi pemerikasaan sidik jari, data gigi dan
deoxyrebose nucleic acid (DNA),
b. Identifikasi sekunder, yakni data visual seperti pakaian ataupun
perhiasan, data kepemilikan seperti obat-obatan dan gigi palsu, data
dokumentasi seperti kartu identitas atau foto, dan data medis yaitu
ciri tubuh, jenis kelamin, golongan darah, dan lain-lain.
Kedudukan data identifikasi primer memiliki nilai yang lebih tinggi
dibandingkan data identifikasi sekunder. Korban dinyatakan positif
teridentifikasi apabila satu atau lebih ukuran identifikasi primer terbukti

dengan atau tanpa data sekunder, atau minimal dua data identifikasi
sekunder yang cocok bila data primer tidak ada.

3. Manfaat Identifikasi
a.

Mengungkap kasus tindak pidana

b.

Keluarga/yang ditinggalkan dapat mengurus sertifikat kematian.

c.

Keluarga/yang ditinggalkan dapat mengetahui status pernikahan


atau untuk melakukan pernikahan kembali.

d.

Untuk masalah hukum perdata lainnya, seperti menentukan hak


pengurusan rumah atau tanah, hak waris, dll.

e.

Mengetahui asal-usul manusia, penyebarannya dan lain sebagainya


4. Peran Dokter Pada Proses Identifikasi
Dalam melakukan identifikasi, dokter diharapkan dapat :
a. Membedakan jenazah manusia atau bukan
Apabila hanya di temukan tulang, terkadang tulang antara
hewan dengan manusia mirip. Namun dengan pemeriksaan yang
teliti dapat dibedakan tulang tersebut berasal dari manusia atau
hewan. Untuk tulang yang tidak teridentifikasi dapat ditentukan
tulang manusia atau tulang hewan dengan pemeriksaan imunologik
(precipitin test).
b. Membedakan jenazah laki-laki atau perempuan

Pada keadaan dimana jenis kelamin tidak mungkin dilakukan


dengan pemeriksaan luar, maka penentuan jenis kelamin dapat
dilakukan dengan cara :
1) Jaringan lunak tertentu
Uterus dan prostat merupakan jaringan lunak yang tahan
terhadap pembusukkan dan dapat digunakan untuk menentukan
jenis kelamin. Selain itu pemeriksaan seks kromatin dari sampel
jaringan lunak atau tulang rawan pun bisa dilakukan.
Pemeriksaan tersebut sering digunakan untuk menentukan jenis
kelamin pada mayat yang terpotong-potong.
2) Tulang-tulang tertentu
Beberapa tulang pada laki-laki dan perempuan jelas
perbedaannya, antara lain tengkorak, pelvis, tulang panjang,
rahang dan gigi.
3) Memperkirakan umur
Tulang dan gigi dapat memberikan informasi bagi
perkiraan umur manusia. Namun signifikansi pemeriksaan
tulang bergantung pada besarnya penyebaran kelompok umur,
dikelompokkan menjadi kelompok fetus, neonatus, anak-anak,
remaja dan dewasa. Pada kelompok fetus dan neonatus,
pemeriksaan

difokuskan

pada

inti

penulangan

dengan

pemeriksaan ronsenologik atau otopsi. Pada anak hingga remaja


umur 20 tahun yang paling berguna adalah pemeriksaan epifisis.

Pada kelompok dewasa, dapat melihat penutupan sutura,


perubahan sudut rahang dan adanya proses penyakit pada tulang
4) Menentukan tinggi badan jenazah
Tinggi badan merupakan salah satu informasi penting
yang digunakan untuk melacak identitas. Perlu diketahui bahwa
ukuran tinggi badan orang yang sudah meninggal biasanya
sedikit lebih panjang sekitar 2,5 sentimeter dari pada tinggi
badan waktu hidup. Jika jenazah tidak utuh, maka penentuan
tinggi badan dapat dilakukan dengan meggunakan tulang
panjang.
5. Teknik Identifikasi Jenazah
Untuk mengidentifikasi jenazah, dapat digunakan berbagai teknik, yaitu :
a. Dokumentasi kejadian
b. Pengenalan visual
Metode ini dilakukan dengan memperlihatkan jenazah pada
orang-orang yang merasa kehilangan anggota keluarga atau
temannya. Cara ini hanya efektif pada jenazah yang belum
membusuk, sehingga masih mungkin dikenali wajah dan tubuhnya,
oleh lebih dari satu orang. Besar kemungkinan adanya faktor emosi
yang mengaburkan pembenaran atau penyangkalan identitas
jenazah.
c. Penyesuaian data antemortem dan postmortem
Cara pengumpulan data ante-mortem adalah sebagai berikut :
1)

Melalui Unit polisi pencarian orang hilang dalam DVI

Pengumpulan data berupa nama, alamat, nomor telpon yang


bisa dihubungi dari keluarga korban serta data medis korban.
2)

Odontologis
Forensik odontology harus menghubungi seluruh dokter gigi
yang pernah melakukan perawatan gigi terhadap korban.
Data tersebut harus asli dan meliputi: odontogram, radiograf,
cetakan gigi dan fotograf.
Data post-mortem meliputi :
1)

Sidik jari

2)

Data dan foto dari pakaian, perhiasan, tato

3)

Pemeriksaan patologi forensik


Data yang paling sering digunakan adalah odontology forensic.
Data postmortem dapat dikumpulkan pada tempat kejadian
perkara (TKP). Setelah data antemortem dan postmortem yang di
kumpulkan oleh tim yang berbeda terkumpul, kemudian dibawa ke
pusat identifikasi untuk dicocokkan (matching). Proses identifikasi
menggunakan 2 metode, yaitu metode sederhana dan metode
ilmiah.
d. Metode obyektif atau ilmiah
Metode ilmiah dibagi menjadi 3 macam, yaitu:
1)

Sidik Jari
Identifikasi menggunakan pola sidik jari merupakan
teknik biometrik tertua di dunia.Sejarahnya kembali ke
zaman 6000 tahun sebelum masehi. Penggunaan sidik jari

telah tercatatkan oleh bangsa Assyiria, Babilonia Jepang dan


Cina.Bangsa Cina menggunakan sidik jari sebagai alat
identifikasi penulis dari suatu dokumen.Sejak tahun 1897,
dactyloscopy (identifikasi sidik jari tanpa berbasis komputer)
telah digunakan untuk identifikasi kejahatan.
Karakteristik sidik jari setiap orang adalah unik dan
tidak akan berubah selama hidup. Berdasarkan penelitian
peluang dua orang memiliki sidik jari yang sama lebih kecil
dari satu dalam satu milyar.
Odentifikasi sidik jari dilakukan dengan mencocokkan
pola karakteristik yang khas, yang diketahui sebagai detail
Galton, point of identity atau minutiae, dan pemanding
minutiae adalah cetak referensi berupa cap sidik jari
menggunakan tinta dari sidik jari tersangka.
Ada tiga gambaran dasar dari bentuk karakter dasar, yaitu :
a) The ridge ending
b) The bifurcation
c) The dot or island
Dalam satu sidik jari terdapat lebih dari 100 poin yang
digunakan dalam identifikasi. Tidak ada ukuran jumlah pasti
poin identifikasi yang ditemukan pada luas area tertentu
tergantung dari lokasi penempelan. Contoh, daerah delta
mungkin mengandung lebih banyak poin permilimeter
persegi dibanding daerah ujung jari.
2)

Rekam gigi

Merupakan metode identifikasi yang memiliki banyak


keunggulan, yaitu :
a) Gigi resisten terhadap pembusukan dan pengaruh
lingkungan yang ekstrim
b) Karakteristik individual yang unik dalam hal susunan
gigi dan restorasi gigi membuat identifikasi gigi
memiliki ketepatan tinggi
c) Kemungkinan adanya data antemortem berupa rekam
gigi
d) Terlindung oleh otot bibir dan pipi, trauma akan
mengenai otot-otot tersebut lebih dahulu.
e) Bentuk gigi geligi di dunia tidak sama, kemungkinan
sama satu banding dua miliar
f) Gigi tahan panas hingga 4000C
g) Gigi tahan asam keras.
Batasan dari forensik odontologi terdiri dari :
a)

Identifikasi dari mayat tak dikenal.

b)

Penentuan umur

c)

Pemeriksaan jejas gigit

d)

Penentuan ras berdasarkan gigi

e)

Analisis dari trauma orofasial

f)

Dental jurisprudensi berupa keterangan saksi ahli

g)

Peranan pemeriksaan DNA dalam identifikasi personal

3)

DNA
DNA adalah asam nukleat yang mengandung materi
genetik yang berfungsi untuk mengatur perkembangan
biologik seluruh bentuk kehidupan secara seluler.DNA terdiri
dari dua molekul yang membentuk struktur double helix.
Hampir semua sampel biologis tubuh dapat digunakan
sebagai sampel tes DNA, tapi yang sering digunakan adalah
sampel darah, rambut, apusan pipi, dan kuku. Untuk kasus
forensik, sperma, daging, tulang, kulit, air liur atau sampel
biologis lainnya yang di temukan di TKP dapat menjadi
sampel tes DNA.

a)

Tujuan Tes DNA

Tujuan pribadi

: penentuan perwalian anak

atau penentuan orang tua dari anak.

Tujuan hukum

: meliputi masalah forensik,

seperti identifikasi korban yang telah hancur,


sehingga butuh pencocokkan antara DNA korban
dengan keluarga, ataupun pembuktian pelaku
kejahatan.
b)

Metode tes DNA :


STR ( Short Tandem repeat)

STR adalah lokus DNA yang tersusun atas


pengulangan 2-6 basa. Dalam genom manusia
dapat

ditemukan

bervariasi

jumlah

pengulangan
dan

basa

jenisnya.

yang
Dengan

memprofilkan DNA menggunakan STR, DNA

dapat dibandingkan satu sama lain.


PCR (Polymerase Chain Reaction)
PCR
merupakan
teknik

yang

memungkinkan sintesis wilayah DNA tertentu.


Yang memungkinkan peneliti membuat berjutajuta salinan DNA dalam waktu singkat untuk
kemudian di identifikasi.
B.

DISASTER VICTIM IDENTIFICATION (DVI)


1. Definisi DVI
DVI atau Disaster Victim Identification adalah satu definisi yang
diberikan sebagai sebuah prosedur untuk mengidentifikasi korban mati
akibat bencana massal secara ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan
dan mengacu kepada standar baku interpol.
Yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan DVI adalah polisi
didukung oleh para ahli seperti patologi forensik, odontologi forensik,
ahli sidik jari, ahli DNA, fotografer, dan tim bantuan lain. Prosedur DVI
diperlukan dalam menegakkan HAM, merupakan bagian dari proses
penyidikan, jika identifikasi visual diragukan, serta untuk kepentingan
hukum (asuransi, warisan, dan status perkawinan).

Prinsip dari proses identifikasi ini adalah dengan membandingkan


data ante-mortem dan post-mortem, semakin banyak yang cocok maka
akan semakin baik. Tujuan penerapan DVI adalah dalam rangka
mencapai identifikasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum,
sempurna dan paripurna dengan semaksimal mungkin sebagai wujud dari
kebutuhan dasar hak asasi manusia,dimana seorang mayat pempunyai
hak untuk dikenali.
DVI diterapkan pada bencana yang menyebabkan korban massal,
seperti kecelakaan bus dan pesawat, gedung yang runtuh atau terbakar,
kecelakaan kapal laut dan aksi terorisme. Selain itu juga dapat diterapkan
pada bencana alam, seperti gempa bumi, tsunami, dan gunung meletus.
Rujukan Hukum :
a. UU No.24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
b. UU No.2 tahun 2002 tentang Polri
c. UU No.23 tentang kesehatan
d. PP No.21 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana
e. Resolusi Interpol No.AGN/65/RES/13 year 1996 on Disaster
Victim Identification
f. MOU Depkes RI-Polri tahun 2004
g. MOU Depkes RI-Polri tahun 2003
2. Tahap DVI
Proses DVI tersebut mempunyai lima fase, dimana setiap fasenya
mempunyai keterkaitan satu dengan yang lainnya. Fase-fase tersebut
yaitu :

a.

Fase I TKP (The Scene)


Merupakan tindakan awal yang dilakukan di tempat kejadian
peristiwa (TKP) bencana. Ketika suatu bencana terjadi, prioritas
yang paling utama adalah untuk mengetahui seberapa luas
jangkauan bencana. Sebuah organisasi resmi harus mengasumsikan
komando operasi secara keseluruhan untuk memastikan koordinasi
personil dan sumber daya material yang efektif dalam penanganan
bencana. Dalam kebanyakan kasus, polisi memikul tanggung jawab
komando untuk operasi secara keseluruhan. Sebuah tim pendahulu
(kepala tim DVI, ahli patologi forensik dan petugas polisi) harus
sedini mungkin dikirim ke TKP untuk mengevaluasi situasi
berikut :
1) Keluasan TKP : pemetaan jangkauan bencana dan pemberian
2)
3)
4)
5)

koordinat untuk area bencana


Perkiraan jumlah korban
Keadaan mayat
Evaluasi durasi yang dibutuhkan untuk melakukan DVI
Institusi medikolegal yang mampu merespon dan membantu

6)
7)
8)
9)

proses DVI
Metode untuk menangani mayat
Transportasi mayat
Penyimpanan mayat
Kerusakan properti yang terjadi
Pada prinsipnya untuk fase tindakan awal yang dilakukan di

situs bencana, ada tiga langkah utama. Langkah pertama adalah to


secure atau untuk mengamankan, langkah kedua adalah to collect
atau

untuk

mengumpulkan

documentation atau pelabelan.

dan

langkah

ketiga

adalah

Pada langkah to secure organisasi yang memimpin komando


DVI harus mengambil langkah untuk mengamankan TKP agar TKP
tidak menjadi rusak. Langkah langkah tersebut antara lain
adalah :
1) Memblokir pandangan situs bencana untuk orang yang tidak
berkepentingan (penonton yang penasaran, wakil wakil
pers, dll), misalnya dengan memasang police line.
2) Menandai gerbang untuk masuk ke lokasi bencana.
3) Menyediakan jalur akses yang terlihat dan mudah bagi yang
berkepentingan.
4) Menyediakan petugas yang bertanggung jawab untuk
mengontrol siapa saja yang memiliki akses untuk masuk ke
lokasi bencana.
5) Periksa semua individu yang hadir di lokasi untuk
menentukan tujuan kehaditan dan otorisasi.
6) Data terkait harus dicatat dan orang yang tidak berwenang
harus meninggalkan area bencana
Pada langkah to collect organisasi yang memimpin komando
DVI harus mengumpulkan korban korban bencana dan
mengumpulkan properti yang terkait dengan korban yang mungkin
dapat digunakan untuk kepentingan identifikasi korban.
Pada langkah documentation organisasi yang memimpin
komando DVI mendokumentasikan kejadian bencana dengan cara
memfoto area bencana dan korban kemudian memberikan nomor
dan label pada korban.

Setelah ketiga langkah tersebut dilakukan maka korban yang


sudah diberi nomor dan label dimasukkan ke dalam kantung mayat
untuk kemudian dievakuasi.
b. Fase II Kamar Mayat/Post Mortem (The Mortuary)
Pengumpulan data post-mortem atau data yang diperoleh
paska kematian dilakukan oleh post-mortem unit yang diberi
wewenang oleh organisasi yang memimpin komando DVI. Pada
fase ini dilakukan berbagai pemeriksaan yang kesemuanya
dilakukan untuk memperoleh dan mencatat data selengkap
lengkapnya mengenai korban. Pemeriksaan dan pencatatan data
jenazah yang dilakukan diantaranya meliputi :
1) Dokumentasi korban dengan mengabadikan foto kondisi
jenazah korban
2) Pemeriksaan fisik,

baik

pemeriksaan

luar

maupun

pemeriksaan dalam jika diperlukan


3) Pemeriksaan sidik jari
4) Pemeriksaan rontgen
5) Pemeriksaan odontologi forensik : bentuk gigi dan rahang
merupakan ciri khusus tiap orang ; tidak ada profil gigi yang
identik pada 2 orang yang berbeda
6) Pemeriksaan DNA
7) Pemeriksaan antropologi forensik : pemeriksaan fisik secara
keseluruhan, dari bentuk tubuh, tinggi badan, berat badan,
tatto hingga cacat tubuh dan bekas luka yang ada di tubuh
korban.
Data data hasil pemeriksaan tersebut kemudian digolongkan ke
dalam data primer dan data sekunder sebagai berikut :
1) Primer (sidik jari, profil gigi, DNA)

2) Sekunder (visual, fotografi, properti jenazah, antropologi


medis)
Di dalam menentukan identifikasi seseorang secara positif,
Badan Identifikasi DVI Indonesia mempunyai aturan-aturan, yaitu
minimal apabila salah satu identifikasi primer dan atau didukung
dengan minimal dua dari identifikasi sekunder.
Selain mengumpulkan data pasca kematian, pada fase ini juga
sekaligus

dilakukan

tindakan

untuk

mencegah

perubahan

perubahan paska kematian pada jenazah, misalnya dengan


meletakkan jenazah pada lingkungan dingin untuk memperlambat
pembusukan.
c. Fase III Ante Mortem
Pada fase ini dilakukan pengumpulan data mengenai jenazah
sebelum kematian. Data ini biasanya diperoleh dari keluarga
jenazah maupun orang yang terdekat dengan jenazah. Data yang
diperoleh dapat berupa foto korban semasa hidup, interpretasi ciri
ciri spesifik jenazah (tattoo, tindikan, bekas luka, dll), rekaman
pemeriksaan gigi korban, data sidik jari korban semasa hidup,
sampel DNA orang tua maupun kerabat korban, serta informasi
informasi lain yang relevan dan dapat digunakan untuk kepentingan
identifikasi, misalnya informasi mengenai pakaian terakhir yang
dikenakan korban.
d. Fase IV Rekonsiliasi
Pada fase ini dilakukan pembandingan data post mortem
dengan data ante mortem. Ahli forensik dan profesional lain yang
terkait dalam proses identifikasi menentukan apakah temuan post

mortem pada jenazah sesuai dengan data ante mortem milik korban
yang dicurigai sebagai jenazah. Apabila data yang dibandingkan
terbukti cocok maka dikatakan identifikasi positif atau telah tegak.
Apabila data yang dibandingkan ternyata tidak cocok maka
identifikasi dianggap negatif dan data post mortem jenazah tetap
disimpan sampai ditemukan data ante mortem yang sesuai dengan
temuan post mortem jenazah.
e. Fase V Debriefing
Korban yang telah diidentifikasi direkonstruksi hingga
didapatkan kondisi kosmetik terbaik kemudian dikembalikan pada
keluarganya

untuk

dimakamkan.

Apabila

korban

tidak

teridentifikasi maka data post mortem jenazah tetap disimpan


sampai ditemukan data ante mortem yang sesuai dengan temuan
post mortem jenazah, dan pemakaman jenazah menjadi tanggung
jawab organisasi yang memimpin komando DVI. Sertifikasi
jenazah dan kepentingan mediko-legal serta administrative untuk
penguburan menjadi tanggung jawab pihak yang menguburkan
jenazah.
3. Metode Identifikasi
Secara umum, identifikasi yang akurat diperoleh dari mencocokan
data ante mortem dengan post mortem yang didapatkan dari :
a.

Bukti sirkumstansial (pakaian, perhiasan, dan isi kantong)

b.

Bukti fisik, yang diperoleh dari :


1) Pemeriksaan eksternal, misal : deskripsi secara umum,
maupun sidik jari.

2) Pemeriksaan internal, misal : bukti medis, hasil pemeriksaan


gigi geligi (dental record), hasil labolatorium, dan identifikasi
genetik.
4. Identifikasi Korban
Untuk mengidentifikasi korban bencana, diperlukan dua macam data :
a. Data orang hilang (misal : orang yang berada di tempat kejadian
namun terdaftar sebagai korban selamat)
b. Data dari jenazah yang ditemukan di tempat kejadian
Dalam mengidentifikasi korban, Interpol DVI Guide membentuk
beberapa tim atau unit, diantaranya :
a.

Bagian Korban Hilang (Missing Brunch), terdiri dari :


1) Unit pengumpulan data ante-mortem (Ante-mortem record
unit)

2)

Unit pendataan berkas ante mortem (Ante-mortem files unit)

3)

Daftar korban (Victim list)


b. Pengumpulan dan klasifikasi jenazah (Victim Recovery), terdiri
dari :
1) Koordinator tim pemulihan (Recovery Co-ordinatory)
2) Tim pencari (Search teams)
3) Tim dokumentasi (Photography)
4) Tim pemulihan jenazah (Body Recovery team)
5) Tim pemulihan barang-barang pribadi (Property Recovery
team)

6) Tempat administrasi dan penyimpanan sementara jenazah


(Morgue Station)
c.

Bagian Kamar Mayat (Mortuary Branch), terdiri dari :

1)

Unit keamanan (Security unit)

2)

Unit transportasi jenazah (Body movement unit)

3)

Unit pengumpul data post-mortem (Post-mortem record unit)

4)

Unit pemeriksa jenazah (Body Examination unit), terdiri dari:

d.

a)

Unit dokumentasi (Post-mortem photography unit)

b)

Unit sidik jari (Post-mortem property unit)

c)

Unit barang-barang pribadi (Post-mortem property unit)

d)

Unit media (Post-mortem medical unit)

e)

Unit pemeriksa gigi geligi (Post-mortem dental unit)

Pusat Identifikasi (Identification Centre), terdiri dari :


1) Bagian administrasi berkas identifikasi (Identification centre
file section)
2) Bagian khusus pusat identifikasi (Identification centre
specialized section), terdiri dari :
a) Bagian penyelidikan data dokumentasi (Photography
section)
b) Bagian penyelidikan sidik jari (Finger print)
c) Bagian penyelidkan barang-barang pribadi (Property
section)
d) Bagian penyelidikan medis (Medical section)
e) Bagian penyelidikan gigi geligi (Dental section)

f) Bagian analisis DNA (DNA analysis)


g) Badan identifikasi (Identification board)
h) Bagian pelepasan jenazah (Body realese section)
BENCANA
1. Definisi Bencana
Setiap kejadian yang mengakibatkan kerusakan, gangguan ekologi,
kematian serta memburuknya sarana dan pelayanan kesehatan dalam
skala yang cukup besar sehingga perlu mendapatkan respon yang luar
biasa (extraordinary respons) dari luar atas komunitas atau area yang
terkena imbasnya.
Bencana massal itu sendiri didefinisikan sebagai suatu peristiwa
yang disebabkan oleh alam ataupun ulah manusia, yang dapat terjadi
secara tiba-tiba atau perlahan-lahan yang menyebabkan hilangnya jiwa
manusia, kerusakan harta benda dan lingkungan, serta melampaui
kemampuan dan sumber daya masyarakat untuk menanggulanginya.
Bencana tidak memilih lokasi tertentu, tetapi dapat terjadi disetiap
tempat di dunia

kapan saja, meski ada tempat-tempat tertentu yang

sangat berpotensi menimbulkan bencana jenis tertentu.


Menurut UU No.24 Tahun 2007, terdapat tiga macam bencana, yaitu :
a.

Bencana alam (natural disaster)


Bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa
bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan,
dan tanah longsor.

b.

Bencana non alam


Bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa
nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal
modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.

c.

Bencana sosial
Bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik
sosial antar kelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror.

2. Tipe Bencana
a. Meteorological Disasters
Cyclones, typhoons, hurricanes, hailstorms, tornadoes, heat waves,
sand and snow-storms.
b. Topological Disasters
Landslides, avalanches, mudslides, and floods.

c. Underground Disaster
Earthquakes, volcanic eruptions, and tsunamis (tidal waves).
d. Biological Disaster
Communicable disease epidemics (anthrax, small-pox, and other
dangerous bacteria), insect / locust.
e. Man Made Disaster
1) Warfare,
2) Civil disaster (riots, demonstrations, strikes),
3) Criminals or terrorist (bombs, chemical, or biological attacts),

4) Accidents (plane, trucks, buses, buildings collapse, mines


explosion, fires, dams and bridges destruction), severe air
pollution,
5) Famines,
6) Nuclear accidents,
7) Toxicological accidents.
3. Tingkat Kerusakan
a.

Total Collapse :
Kerusakan infrastruktur menyeluruh.

b.

Partial Collapse :
Kerusakan infrastruktur bersifat parsial.

c.

Functional Collapse :
Tidak terjadi kerusakan infrastruktur yg berarti, tetapi fungsi
kepemerintahan, instansi dan fungsi RS terhenti karena stafnya ikut
menjadi korban.
4. Masalah Akibat Bencana
a. Injury :
Cidera yang dialami tergantung dari jenis bencana yang terjadi
dan biasanya menimpa banyak orang.
b.

Emotional stress :
Korban

bencana

biasanya

mengalami

berbagai tingkatan (ringan sampai berat).


c.

Disease occurrence :

stres

emosi dalam

Berjangkitnya penyakit disebabkan kurangnya persediaan air


bersih, makanan yang tidak dimasak dengan baik serta kondisi
lingkungan yang rusak.
5. Manajemen Bencana
Manajemen bencana (disaster) dibagi menjadi :
a.

Disaster mitigation.

b.

Disaster preparedness.

c.

Disaster response.

d.

Disaster recovery.

e.

Handling public & media during a disaster.

1. Bagi kepaniteraan kedokteran Forensik dan Medikolegal agar melakukan


penelitian lebih lanjut mengenai DVI dan penerapannya dalam berbagai
bencana yang terjadi, terutama di Indonesia.
2. Agar dapat menerapkan prosedur DVI dalam melakukan identifikasi
pada bencana massal.

DAFTAR PUSTAKA
Asep M. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Penanggulangan Bencana.
Bandung: Fokus Media; 2007. h.1-62.
Badan

Nasional

penanggulangan

Bencana.

Diunduh

dari:

http://dibi.bnpb.go.id/DesInventar/profiletab.jsp, [22 Desember 2012]


Eddy S. DVI in Indonesia an Overview.DVI Workshop, Bandung; 2006

http://

Diunduh dari http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/1287-rsupdr-sardjito-terima-rujukan-korban-letusan-merapi.html [24 Desember 2012]


Diunduh

dari

http://www.jpnn.com/read/2010/10/21/75074/index.php?mib=

berita.detail&id=76599 [24 Desember 2012]


Guide interpol avaliable at http://www.interpol.int/Media/Files/INTERPOL
Expertise/DVI/DVI-Guide [24 Desember 2012]
International Criminal Police Organization. Disaster Victim Identification Guide,
GB Version: 2011
Slamet P, Peter S, Yosephine L, Agus M.Pedoman Penatalaksanaan Identifikasi
Korban Mati pada Bencana Massal. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia; 2004. h.1
234.

Anda mungkin juga menyukai