Anda di halaman 1dari 15

DVI

DVI adalah suatu prosedur yang telah ditentukan untuk Mengidentifikasi korban mati
secara ilmiah dalam sebuah insiden atau bencana masal berdasarkan Protokol INTERPOL ;2,3
II. PROSES DVI
Adapun proses DVI meliputi 5 fase, dimana setiap fasenya mempunyai keterkaitan
satu dengan lainnya, yang terdiri dari Fase TKP-The Scene, Fase Pengumpulan data
jenazah-The Mortuary atau Post Mortem, Fase Pengumpulan data jenazah sewaktu
hidup-Ante Mortem Information Retrieval, Fase Pembandingan-Reconciliation and Fase
analisa dan evaluasi-Debriefing.2,3,6
A. Initial Action at the Disaster Site
Merupakan tindakan awal yang dilakukan di tempat kejadian peristiwa (TKP) bencana.
Ketika suatu bencana terjadi, prioritas yang paling utama adalah untuk mengetahui seberapa
luas jangkauan bencana. Sebuah organisasi resmi harus mengasumsikan komando operasi
secara keseluruhan untuk memastikan koordinasi personil dan sumber daya material yang
efektif dalam penanganan bencana. Dalam kebanyakan kasus, polisi memikul tanggung
jawab komando untuk operasi secara keseluruhan. Sebuah tim pendahulu (kepala tim DVI,
ahli patologi forensik dan petugas polisi) harus sedini mungkin dikirim ke TKP untuk
mengevaluasi situasi berikut :7

Keluasan TKP : pemetaan jangkauan bencana dan pemberian koordinat untuk area bencana.

Perkiraan jumlah korban.

Keadaan mayat.

Evaluasi durasi yang dibutuhkan untuk melakukan DVI.

Institusi medikolegal yang mampu merespon dan membantu proses DVI.

Metode untuk menangani mayat.

Transportasi mayat.

Penyimpanan mayat.

Kerusakan properti yang terjadi.


Pada prinsipnya untuk fase tindakan awal yang dilakukan di situs bencana, ada tiga langkah
utama. Langkah pertama adalah to secure atau untuk mengamankan, langkah kedua adalah to
collect atau untuk mengumpulkan dan langkah ketiga adalah documentation atau pelabelan.7

Pada langkah to secure organisasi yang memimpin komando DVI harus mengambil langkah
untuk mengamankan TKP agar TKP tidak menjadi rusak. Langkah langkah tersebut antara
lain adalah :7

Memblokir pandangan situs bencana untuk orang yang tidak berkepentingan (penonton yang
penasaran, wakil wakil pers, dll), misalnya dengan memasang police line.

Menandai gerbang untuk masuk ke lokasi bencana.

Menyediakan jalur akses yang terlihat dan mudah bagi yang berkepentingan.

Menyediakan petugas yang bertanggung jawab untuk mengontrol siapa saja yang memiliki
akses untuk masuk ke lokasi bencana.

Periksa semua individu yang hadir di lokasi untuk menentukan tujuan kehaditan dan
otorisasi.

Data terkait harus dicatat dan orang yang tidak berwenang harus meninggalkan area
bencana.
Pada langkah to collect organisasi yang memimpin komando DVI harus mengumpulkan
korban korban bencana dan mengumpulkan properti yang terkait dengan korban yang
mungkin dapat digunakan untuk kepentingan identifikasi korban.7
Pada langkah documentation organisasi yang memimpin komando DVI mendokumentasikan
kejadian bencana dengan cara memfoto area bencana dan korban kemudian memberikan
nomor dan label pada korban.7
Setelah ketiga langkah tersebut dilakukan maka korban yang sudah diberi nomor dan label
dimasukkan ke dalam kantung mayat untuk kemudian dievakuasi.7

B. Collecting Post Mortem Data


Pengumpulan data post-mortem atau data yang diperoleh paska kematian dilakukan oleh
post-mortem unit yang diberi wewenang oleh organisasi yang memimpin komando DVI.
Pada fase ini dilakukan berbagai pemeriksaan yang kesemuanya dilakukan untuk
memperoleh dan mencatat data selengkap lengkapnya mengenai korban. Pemeriksaan dan
pencatatan data jenazah yang dilakukan diantaranya meliputi :7
o Dokumentasi korban dengan mengabadikan foto kondisi jenazah korban.
o Pemeriksaan fisik, baik pemeriksaan luar maupun pemeriksaan dalam jika diperlukan.
o Pemeriksaan sidik jari.
o Pemeriksaan rontgen.
o Pemeriksaan odontologi forensik : bentuk gigi dan rahang merupakan ciri khusus tiap orang ;
tidak ada profil gigi yang identik pada 2 orang yang berbeda.

o Pemeriksaan DNA.
o Pemeriksaan antropologi forensik : pemeriksaan fisik secara keseluruhan, dari bentuk tubuh,
tinggi badan, berat badan, tatto hingga cacat tubuh dan bekas luka yang ada di tubuh korban.
Data data hasil pemeriksaan tersebut kemudian digolongkan ke dalam data primer dan data
sekunder sebagai berikut :7
PRIMER : SIDIK JARI, PROFIL GIGI, DNA.
SECONDARY : VISUAL, FOTOGRAFI, PROPERTI JENAZAH, MEDIK-ANTROPOLOGI
(TINGGI BADAN, RAS, DLL).
Selain mengumpulkan data paska kematian, pada fase ini juga ekaligus dilakukan tindakan
untuk mencegah perubahan perubahan paska kematian pada jenazah, misalnya dengan
meletakkan jenazah pada lingkungan dingin untuk memperlambat pembusukan.7
C. Collecting Ante Mortem Data
Pada fase ini dilakukan pengumpulan data mengenai jenazah sebelum kematian. Data ini
biasanya diperoleh dari keluarga jenazah maupun orang yang terdekat dengan jenazah. Data
yang diperoleh dapat berupa foto korban semasa hidup, interpretasi ciri ciri spesifik jenazah
(tattoo, tindikan, bekas luka, dll), rekaman pemeriksaan gigi korban, data sidik jari korban
semasa hidup, sampel DNA orang tua maupun kerabat korban, serta informasi informasi
lain yang relevan dan dapat digunakan untuk kepentingan identifikasi, misalnya informasi
mengenai pakaian terakhir yang dikenakan korban.7
D. Reconciliation
Pada fase ini dilakukan pembandingan data post mortem dengan data ante mortem. Ahli
forensik dan profesional lain yang terkait dalam proses identifikasi menentukan apakah
temuan post mortem pada jenazah sesuai dengan data ante mortem milik korban yang
dicurigai sebagai jenazah. Apabila data yang dibandingkan terbukti cocok maka dikatakan
identifikasi positif atau telah tegak. Apabila data yang dibandingkan ternyata tidak cocok
maka identifikasi dianggap negatif dan data post mortem jenazah tetap disimpan sampai
ditemukan data ante mortem yang sesuai dengan temuan post mortem jenazah.7
E. Returning to the Family
Korban yang telah diidentifikasi direkonstruksi hingga didapatkan kondisi kosmetik terbaik
kemudian dikembalikan pada keluarganya untuk dimakamkan. Apabila korban tidak
teridentifikasi maka data post mortem jenazah tetap disimpan sampai ditemukan data ante
mortem yang sesuai dengan temuan post mortem jenazah, dan pemakaman jenazah menjadi
tanggung jawab organisasi yang memimpin komando DVI. Sertifikasi jenazah dan

kepentingan mediko-legal serta administrative untuk penguburan menjadi tanggung jawab


pihak yang menguburkan jenazah.7
III. METODE IDENTIFIKASI
Identifikasi Massal adalah proses pengenalan jati diri korban massal yang terjadi
akibat bencana. Identifikasi dilakukan dengan memanfaatkan ilmu Kedokteran dan
Kedokteran gigi pada korban baik hidup maupun mati.4
Pada prinsipnya identifikasi adalah prosedur Penentuan identitas individu, baik hidup
ataupun mati, yang dilakukan pembandingan berbagai data dari individu yang diperiksa
dengan data dan orang yang disangka sebagai individu tersebut. Sebagai prinsip umum dapat
dikatakan bahwa :5
1.

Pada identifikasi Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan sebanyak mungkin


metode identifikasi,

2. Jika ada data yang tidak cocok, maka kemungkinan tersangka sebagai individu tersebut dapat
disingkirkan eksklusi,
3. Setiap kesesuaian data akan menyebabkan ketetapan identifikasi semakin tinggi.
Untuk mengidentifikasi korban bencana, dua data yang berbeda harus dikumpulkan:8
Data tentang orang yang hilang, yaitu orang-orang yang diketahui atau diduga telah hadir
ketika bencana terjadi dan tidak terdaftar sebagai korban.
Data mayat yang ditemukan dari tempat kejadian.
Metode sederhana, diantaranya :6
1. Cara visual, dapat bermanfaat bila kondisi mayat masih baik, cara ini mudah karena identitas
dikenal melalui penampakan luar baik berupa profil tubuh atau muka. Cara ini tidak dapat
diterapkan bila mayat telah busuk, terbakar, mutilasi serta harus mempertimbangkan faktor
psikologis keluarga korban (sedang berduka, stress, sedih, dll)
2. Melalui kepemilikan (property) identititas cukup dapat dipercaya terutama bila kepemilikan
tersebut (pakaian, perhiasan, surat jati diri) masih melekat pada tubuh korban.
3. Dokumentasi, foto diri, foto keluarga, foto sekolah, KTP atau SIM dan lain sebagainya.
Metode ilmiah, antara lain: 1) Sidik jari, 2) Serologi, 3) Odontologi, 4) Antropologi
dan 5) Biologi.6
Identifikasi personal dilakukan dengan melakukan pemeriksaan berdasarkan beberapa
metode identifikasi. Ada 9 macam metode identifikasi yaitu:5,11
1. Metode Visual

Identifikasi dilakukan dengan melihat tubuh atau bagian tubuh korban secara visual, misalnya
muka, tungkai dan sebagainya. Metode ini hanya dapat dilakukan jika tubuh atau bagian
tubuh tersebut masih utuh atau masih dalam keadaan baik dan belum terjadi pembusukan
yang lanjut.
2. Perhiasan
Beberapa perhiasan yang dipakai korban, seperti cincin, gelang, rantai, arloji, liontin, dan
sebagainya dapat mengarahkan kita kepada identitas korban tersebut. Perhiasan mempunyai
nilai yang lebih tinggi jika ia mempunyai ciri khas, seperti gravir nama, foto dalam liontin,
bentuk atau bahan yang khas dan sebagainya.
3. Pakaian
Pakaian luar dan dalam yang dipakai korban merupakan data yang amat berharga untuk
menunjukkan identitas si pemakainya, bentuknya yang unik atau yang mempunyai label
tertentu (label nama, penjahit, binatu atau merek) memiliki nilai yang lebih karena dapat
mempersempit kemungkinan tersangka.
4. Dokumen
Dokumen seperti SIM, KTP, Pasport, kartu golongan darah, tanda pembayaran dan lain
sebagainya yang ditemukan dalam dompet atau tas korban dapat menunjukkan identitas
orang yang membawa dokumen tersebut, khususnya jika dokumen tersebut dibawa sendiri
oleh pemiliknya dan tidak palsu.
5. Identifikasi secara medis
Pemeriksaan medis dilakukan untuk mendapatkan data umum dan data khusus individu
berdasarkan pemeriksaan atas fisik individu tersebut. Pada pengumpulan data umum dicari
data yang umum diketahui dan dimiliki oleh setiap individu dan mudah dikonfirmasi kepada
keluarga, seperti data ras, jenis kelamin, umur, berat badan, warna kulit, rambut, dan
sebagainya. Data khusus adalah data yang belum tentu dimiliki oleh setiap individu atau data
yang tidak dengan mudah dikonfirmasi kepada keluarganya, seperti data foto rontgen untuk
mengetahui keadaan sutura; bekas patah tulang atau pen serta pasak yang dipakai pada
perawatan penderita patah tulang, data laboratorium, adanya tatoo, bekas operasi atau
jaringan parut, tehnik superimposisi, tehnik rekonstruksi wajah, dan sebagainya.
6. Odontologi forensik
Pemeriksaan atas gigi geligi dan jaringan sekitarnya serta berbagai perubahan akibat
perawatan gigi dapat membantu menunjukkan identitas individu yang bersangkutan.
7. Serologi forensik

Pada awalnya yang termasuk dalam kategori pemeriksaan serologi adalah pemeriksaan
terhadap polimorfisme protein yaitu pemeriksaan golongan darah dan golongan protein
serum. Perkembangan ilmu kedokteran menyebabkan ruang lingkup serologi diperluas
dengan pemeriksaan polimorfisme protein lain yaitu pemeriksaan terhadap enzim eritrosit
serta pemeriksaan antigen Human Lymphocyte Antigen (HLA).
Pada saat ini dengan berkembangnya analisis polimorfisme DNA, bidang ini menjadi lebih
luas lagi karena bahan pemeriksaan bukan lagi darah, melainkan hampir seluruh sel tubuh
kita. Hal ini memberikan dampak kecenderungan penggantian istilah serologi dengan istilah
hemereologi yang mencakup semua hal diatas.
8. Sidik jari
Telah lama diketahui bahwa sidik jari setiap orang di dunia tidak ada yang sama sehingga
pemeriksaan sidik jari dapat digunakan untuk identifikasi individu.
9. Eksklusi
Dalam kecelakaan massal yang menyebabkan kematian sejumlah individu, yang namanamanya ada dalam daftar individu (data penumpang, data pegawai dan sebagainya), maka
jika (n-1) individu telah teridentifikasi, maka satu individu terakhir diputuskan tanpa
pemeriksaan (per ekslusionam) sebagai individu yang tersisa menurut daftar tersebut.
Khusus pada korban bencana massal, telah ditentukan metode identifikasi yang
dipakai yaitu :2,3,6
(a). Primer/utama
1. Catatan atau hasil pemeriksaan gigi geligi (Dental Records)
2. sidik jari (Finger Prints)
3. DNA
(b). Sekunder/pendukung
1. visual
2. property (Barang kepemilikan)
3. data medis (Medical)
Berikut ini akan di bahas metode-metode tersebut untuk identifikasi korban bencana
secara massal :
1. Dental Records
Bentuk gigi dan bentuk rahang merupakan ciri khusus seseorang, sedemikian khususnya
sehingga dapat dikatakan tidak ada gigi atau rahang yang identik pada dua orang yang
berbeda, menjadikan pemeriksaan gigi ini mempunyai nilai tinggi dalam hal penentuan jati
diri seseorang. Gigi merupakan suatu cara identifikasi yang dapat dipercaya, khususnya bila

rekam dan foto gigi pada waktu masih hidup yang pernah dibuat masih tersimpan dengan
baik. Pemeriksaan gigi ini menjadi amat penting apabila mayat sudah dalam keadaan
membusuk atau rusak, seperti halnya kebakaran. dimana dalam keadaan tersebut pemeriksaan
sidik jari tidak dapat dilakukan, sehingga dapat dikatakan gigi merupakan pengganti dari
sidik jari. Satu keterbatasan pemanfaatan gigi sebagai sarana identitas adalah belum
meratanya sarana untuk pemeriksaan gigi, demikian pula pendataannya (dental record).
Pemeriksaan ini meliputi pencatatan data gigi (Odontogram) dan rahang yang dapat
dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan manual, sinar-X dan pencetakan gigi dan
rahang. Odontogram memuat data tentang jumlah, bentuk, susunan, tambalan, protesa gigi
dan sebagainya. Seperti halnya dengan sidik jari, maka setiap individu memiliki susunan gigi
yang khas. Dengan demikian dapat dilakukan identifikasi dengan cara membandingkan data
temuan dengan data pembanding antemortem.6,11,12
Sebagai suatu metode identifikasi pemeriksaan gigi memiliki keunggulan sebagai berikut :
5,6,13

a.

Gigi dan restorasinya merupakan jaringan keras yang resisten terhadap pembusukan dan
pengaruh lingkungan yang ekstrem. Karena gigi komposisinya sebagian besar terdiri dari
bahan anorganik sehingga tidak mudah rusak, sedangkan bahan organik dan airnya sedikit
sekali.

b. Karakteristik individual yang unik dalam hal susunan gigi geligi dan restorasi gigi
menyebabkan dimungkinkannya identifikasi dengan ketepatan yang tinggi. (1: 1050).
Informasi ini dapat diperoleh antara lain mengenai:
a. umur
b. jenis kelamin
c. ras
d. golongan darah
e. bentuk wajah
f. DNA
c.

Kemungkinan tersedianya data ante mortem gigi dalam bentuk catatan medis gigi (dental
record) dan data radiologis.

2. Pemeriksaan Sidik Jari


Metode ini membandingkan gambaran sidik jari jenazah dengan sidik jari antemortem.
Sampai saat ini, pemeriksaan sidik jari merupakan pemeriksaan yang diakui paling tinggi
ketepatannya untuk menentukan identitas seseorang. Sifat yang dimiliki oleh sidik jari antara
lain :12,14

a.

Perennial nature, yaitu guratan-guratan pada sidik jari yang melekat pada kulit manusia
seumur hidup.

b.

Immutability, yaitu sidik jari seseorang tidak pernah berubah, kecuali mendapatkan
kecelakaan yang serius.

c.

Individuality, pola sidik jari adalah unik dan berbeda untuk setiap orang.
Dapat dikatakan bahwa tidak ada dua orang yang sama mempunyai sidik jari yang sama,
walaupun kedua orang tersebut kembar monozigot. Atas dasar ini, sidik jari merupakan
sarana yang penting khususnya bagi kepolisian didalam mengetahui jati diri seseorang, oleh
karena selain kekhususannya, juga mudah dilakukan secara masal dan murah pembiayaannya.
Walaupun pemeriksaan sidik jari tidak dilakukan dokter, dokter masih punya kewajiban yaitu
untuk mengambil (mencetak) sidik jari, khususnya sidik jari pada korban yang tewas dan
keadaan mayatnya telah membusuk. Teknik pengembangan sidik jari pada jari telah keriput,
serta mencopot kulit ujung jari yang telah mengelupas dan memasangnya pada jari
pemeriksa, baru kemudian dilakukan pengambilan sidik jari, merupakan prodedur yang harus
diketahui oleh dokter.11
Menurut Francis Galton (1822-1916) mengatakan bahwa tidak ada dua sidik jari yang sama,
artinya setiap sidik jari dimiliki seseorang adalah unik. Berdasarkan klasifikasi, pola sidik jari
dapat dinyatakan secara umum ke dalam tiga bentuk yaitu :14

1.

Tipe Arch, Pada patern ini kerutan sidik jari muncul dari ujung, kemudian mulai naik di
tengah, dan berakhir di ujung yang lain.15

2. Tipe Loop, Pada patern ini kerutan muncul dari sisi jari, kemudian membentuk sebuah kurva,
dan menuju keluar dari sisi yang sama ketika kerutan itu muncul.15
3.

Tipe Whorl, Pada patern ini kerutan berbentuk sirkuler yang mengelilingi sebuah titik pusat
dari jari. 15

3. Pemeriksaan DNA
DNA atau DeoxyriboNucleic Acid merupakan asam nukleat yang menyimpan semua
informasi tentang genetika. DNA inilah yang menentukan jenis rambut, warna kulit dan sifatsifat khusus dari manusia. DNA ini akan menjadi cetak biru (blue print) ciri khas manusia
yang dapat diturunkan kepada generasi selanjutnya. Sehingga dalam tubuh seorang anak
komposisi DNA nya sama dengan tipe DNA yang diturunkan dari orang tuanya. Sedangkan
tes DNA adalah metode untuk mengidentifikasi fragmen-fragmen dari DNA itu sendiri. Atau

secara

sederhananya

adalah

metode

untuk

mengidentifikasi,

menghimpun

dan

menginventarisir file-file khas karakter tubuh.16


Tes DNA umumnya digunakan untuk 2 tujuan yaitu (1) tujuan pribadi seperti penentuan
perwalian anak atau penentuan orang tua dari anak dan (2) tujuan hukum, yang meliputi
masalah forensik seperti identifikasi korban yang telah hancur, sehingga untuk mengenali
identitasnya diperlukan pencocokan antara DNA korban dengan terduga keluarga korban
ataupun untuk pembuktian kejahatan semisal dalam kasus pemerkosaan atau pembunuhan.
Hampir semua sampel biologis tubuh dapat digunakan untuk sampel tes DNA, tetapi yang
sering digunakan adalah darah, rambut, usapan mulut pada pipi bagian dalam (buccal swab),
dan kuku. Untuk kasus-kasus forensik, sperma, daging, tulang, kulit, air liur atau sampel
biologis apa saja yang ditemukan di tempat kejadian perkara (TKP) dapat dijadikan sampel
tes DNA.16
DNA yang biasa digunakan dalam tes ada dua yaitu DNA mitokondria dan DNA inti sel.
Perbedaan kedua DNA ini hanyalah terletak pada lokasi DNA tersebut berada dalam sel, yang
satu dalam inti sel sehingga disebut DNA inti sel, sedangkan yang satu terdapat di
mitokondria dan disebut DNA mitokondria. Untuk tes DNA, sebenarnya sampel DNA yang
paling akurat digunakan dalam tes adalah DNA inti sel karena inti sel tidak bisa berubah.
DNA dalam mitokondria dapat berubah karena berasal dari garis keturunan ibu yang dapat
berubah seiring dengan perkawinan keturunannya. Sebagai contoh untuk sampel sperma dan
rambut. Yang paling penting diperiksa adalah kepala spermatozoanya karena didalamnya
terdapat DNA inti, sedangkan untuk potongan rambut yang paling penting diperiksa adalah
akar rambutnya. Tetapi karena keunikan dari pola pewarisan DNA mitokondria menyebabkan
DNA mitokondria dapat dijadikan sebagai marka (penanda) untuk tes DNA dalam upaya
mengidentifikasi hubungan kekerabatan secara maternal.16
Untuk akurasi kebenaran dari tes DNA hampir mencapai 100% akurat. Adanya kesalahan
bahwa kemiripan pola DNA bisa terjadi secara random (kebetulan) sangat kecil
kemungkinannya, mungkin satu diantara satu juta. Jikapun terdapat kesalahan itu disebabkan
oleh faktor human error terutama pada kesalahan interprestasi fragmen-fragmen DNA oleh
operator (manusia). Tetapi dengan menerapkan standard of procedur yang tepat kesalahan
human error dapat diminimalisir atau bahkan ditiadakan.16
Metode tes DNA yang umumnya digunakan di dunia ini masih menggunakan metode
konvensional yaitu elektroforesis DNA. Sedangkan metode tes DNA yang terbaru adalah
dengan menggunakan kemampuan partikel emas berukuran nano untuk berikatan dengan
DNA.

Prinsip

metode

ini

adalah

mempergunakan

untai

pendek

DNA

yang

disebut Probe yang telah diberi zat pendar. Probe ini dirancang spesifik untuk gen sampel
tertentu dan hanya akan menempel/berhibridisasi dengan DNA sampel tersebut. Partikel emas
berukuran nano dalam metode ini berperan dalam mengikat Probeyang tidak terhibridasi.
Pendeteksian dilakukan dengan penyinaran pada panjang gelombang tertentu. Keberadaan
DNA yang sesuai dengan DNA Probe dapat dilihat dari pendaran sampel tersebut. Jumlah
DNA target tersebut kira-kira berbanding lurus terhadap intensitas pendaran sinar yang
dihasilkan.16
Keunggulan metode ini dibandingkan dengan metode konvensional adalah pada kecepatan
dan harganya yang jauh lebih cepat dan murah dibandingkan metode elektroforesis DNA.16
4. Identifikasi Medik
Metode ini menggunakan data umum dan data khusus. Data umum meliputi tinggi
badan, berat badan, rambut, mata, hidung, gigi dan sejenisnya. Data khusus meliputi tattoo,
tahi lalat, jaringan parut, cacat kongenital, patah tulang dan sejenisnya. Metode ini
mempunyai nilai tinggi karena selain dilakukan oleh seorang ahli dengan menggunakan
berbagai cara atau modifikasi (termasuk pemeriksaan dengan sinar-X) sehingga ketepatannya
cukup tinggi. Bahkan pada tengkorak/kerangka pun masih dapat dilakukan metode
identifikasi ini. Melalui metode ini diperoleh data tentang jenis kelamin, ras, perkiraan umur,
tinggi badan, kelainan pada tulang dan sebagainya.11,12
Upaya identifikasi pada kerangka bertujuan membuktikan bahwa kerangka tersebut
adalah kerangka manusia, ras, jenis kelamin, perkiraan umur, tinggi badan, ciri-ciri khusus,
deformitas, dan bila memungkinkan dapat dilakukan rekonstruksi wajah. Dicari pula tanda
kekerasan pada tulang. Perkiraan saat kematian dilakukan dengan memperhatikan keadaan
kekeringan tulang.12
Bila terdapat dugaan berasal dari seseorang tertentu, maka dilakukan identifikasi
dengan membandingkannya dengan data ante mortem. Bila terdapat foto terakhir wajah orang
tersebut semasa hidup, dapat dilaksanakan metode superimposisi, yaitu dengan jalan
menumpukkan foto rontgen tulang tengkorak di atas foto wajah yang dibuat berukuran sama
dan diambil dari sudut pemotretan yang sama. Dengan demikian dapat dicari adanya titiktitik persamaan.12
Penentuan ras mungkin dilakukan dengan pemeriksaan antropologik pada tengkorak, gigi
geligi dan tulang panggul atau tulang lainnya. Arcus zygomaticus dan gigi insicivus atas
pertama yang berbentuk seperti sekop memberi petunjuk ke arah ras Mongoloid.12
Jenis kelamin ditentukan berdasarkan pemeriksaan tulang panggul, tulang tengkorak,
sternum, tulang panjang serta scapula dan metacarpal. Pada panggul, indeks iso-pubis

(panjang pubis dikali 100 dibagi panjang ischium) merupakan ukuran yang paling sering
digunakan.12
a) Identifikasi jenis kelamin pada kerangka
Penentuan ini didasarkan pada ciri-ciri yang mudah dikenali pada tulang-tulang,
seperti : tulang panggul, tengkorak, tulang-tulang panjang, tulang dada, dimana yang
mempunyai nilai tinggi di dalam hal penentuan jenis kelamin adalah tunggal panggul baru
kemudian tengkorak. Secara umum dapat dikatakan bahwa rangka wanita mempunyai bentuk
dan tekstur yang lebih halus bila dibandingkan dengan rangka seorang pria.11
Panggul
Pemeriksaan panggul secara tersendiri tanpa pemeriksaan lain, jenis kelamin sudah dapat
ditentukan pada sekitar 90% kasus. Bentuk dari Greater schiatic notch mempunyai nilai
tinggi dalam penentuan jenis kelamin dari tulang panggul, 75% kasus dapat ditentukan hanya
dari pemeriksaan tersebut.11
Tengkorak
Untuk dapat menentukan jenis kelamin dari tulang tengkorak, diperlukan penilaian dari
berbagai ciri-ciri yang terdapat pada tengkorak tersebut. Ciri-ciri ini akan tampak jelas
setelah usia 14-16 tahun. Ketepatan penentuan jenis kelamin atas dasar pemeriksaan
tengkorak dewasa adalah 90%.11
Tulang dada
Ratio panjang dari manubrium sterni dan corpus sterni menentukan jenis kelamin. Pada
wanita manubrium sterni melebihi separuh panjang corpus sterni, dan ini mempunyai
ketepatan sekitar 80%.11
Tulang panjang
Pria pada umumnya memiliki tulang yang lebih besar panjang, lebih berat dan lebih kasar,
serta impresinya lebih banyak. Tulang paha (os.femur) merupakan tulang panjang yang dapat
diandalkan dalam penentuan jenis kelamin ketepatannya pada orang dewasa sekitar 80%.
Konfigurasi, ketebalan, ukuran dan caput femoris serta bentukan dari otot dan ligament serta
perangai radiologis perlu diperhatikan.11
b) Penentuan Umur pada kerangka
Untuk kepentingan menghadapi kasus kasus forensik, maka penentuan atau lebih tepatnya
perkiraan umur, dibagi dalam tiga fase, yaitu : bayi yang baru dilahirkan; anak anak yang
dan dewasa sampai umur 30 tahun dan dewasa diatas 30 tahun.11
Bayi yang baru dilahirkan

Perkiraan umur bayi sangat penting bila dikaitkan dengan kasus pembunuhan anak dalam hal
ini penentuan umur kehamilan (maturitas), dan viabilitas. Kriteria yang umum dipakai
adalah : berat badan, tinggi badan, dan pusat-pusat penulangan. Tinggi badan mempunyai
nilai yang lebih bila dibandingkan dengan berat badan di dalam hal perkiraan umur.11
Tinggi badan diukur dari puncak kepala sampai ke tumit (crown heel),dapat digunakan untuk
perkiraan umur dan menurut rumus dari HAASE. Cara pengukuran lain yaitu dari puncak
kepala ke tulang ekor (crown-rup), dipergunakan oleh STREETER.11
Anak anak dan dewasa di bawah 30 tahun
Saat terjadinya unifikasi dari dyaphises memberi hasil dalam bentuk perkiraan.
Persambungan speno-occipital terjadi dalam umur 17-25 tahun. Pada wanita, saat
persambungan tersebut antara 17-20 tahun. Tulang selangka merupakan tulang panjang yang
terakhir mengalami unifikasi. Unifikasi dimulai pada umur 18-25 tahun, dan mungkin tidak
lengkap sampai 25-30 tahun. Dalam usia 31 tahun ke atas unifikasi menjadi lengkap. Tulang
belakang (ossis vertebrae),sebelum 30 tahun akan menunjukkan alur alur yang dalam yang
berjalan radier pada bagian permukaan atas dan bawah dalam hal ini corpus vertebranya.11
Dewasa di atas 30 tahun
Perkiraan umur dilakukan dengan memeriksa tengkorak, yaitu sutura suturanya. Penutupan
pada bagian tubula interna biasanya mendahului tabula externa. Sutura sagittalis, coronarius,
dan sutura lambdoideus mulai menutup pada umur 20 -30 tahun. Lima tahun berikutnya
terjadi penutupan sutura parieto-mastoid dan sutura squamosa, tetapi dapat juga tetap terbuka
atau menutup sebagian pada umur 60 tahun. Sutura spheno-parietal umumnya tidak akan
menutup hingga usia 70 tahun.11
c) Penentuan Tinggi badan pada kerangka
Penentuan tinggi badan menjadi penting pada keadaan dimana yang harus diperiksa adalah
tubuh yang sudah terpotong-potong atau yang didapatkan rangka, atau sebagian dari tulang
saja. Pada umumnya perkiraan tinggi badan dapat dipermudah dengan pengertian bahwa
tubuh yang diperiksa itu pendek, sedang atau jangkung. Perkiraan tinggi badan dapat
diketahui dari pengukuran tulang-tulang panjang, yaitu :11
Tulang paha (femur), menunjukkan 27 persen dari tinggi badan,
Tulang kering (tibia), 22 persen dari tinggi badan,
Tulang lengan atas (humerus), 35 persen dari tinggi badan
Tulang belakang, 35 persen dari tinggi badan
Yang perlu diperhatikan di dalam pengukuran tulang:11

Pengukuran dengan osteometric board,


Tulang harus dalam keadaan kering (dry bone)
Formula yang dapat dipergunakan untuk pengukuran tinggi badan adalah :
i.

Formula Stevenson

ii.

Formula Trotter dan Gleser


Formula Trotter dan Gleser dan Stevenson merupakan formula untuk manusia ras mongoloid.

5. Identifikasi Visual
Metode ini dilakukan dengan cara memperlihatkan jenazah pada orang-orang yang merasa
kehilangan anggota keluarga atau temannnya. Walaupun metode ini sederhana, untuk
mendapatkan hasil yang diharapkan perlu diketahui bahwa metode ini baru dapat dilakukan
bila keadaan tubuh dan terutama wajah korban masih dalam keadaan baik dan belum terjadi
pembusukan lanjut. Selain itu perlu diperhatikan faktor psikologis, emosi serta latar belakang
pendidikan, mengingat adanay kemungkinan faktor-faktor tersebut turut berperan untuk
membenarkan atau sebaliknya menyangkal identitas jenazah tersebut.11,12
6. Pemeriksaan Barang Kepemilikan (Property)
a. Dokumen. Dokumen seperti kartu identitas (KTP, SIM, paspor, kartu golongan darah, tanda
pembayaran, dsb) dan sejenisnya yang kebetulan ditemukan dalam saku pakaian yang
dikenakan akan sangat membantu mengenali jenazah tersebut. Perlu diingat pada kecelakaan
masal, dokumen yang terdapat dalam tas atau dompet yang berada dekat jenazah belum tentu
adalah milik jenazah yang bersangkutan karena ada kebiasaan seseorang di dalam menaruh
dompet atau tasnya. Pada pria dompet biasanya terdapat dalam saku baju atau celana,
sedangkan pada wanita tas biasanya dipegang; sehingga pada kecelakaan masal tas seseorang
dapat terlempar sampai pada orang lain yang bukan pemiliknya, jika hal ini tidak
diperhatikan kekeliruan identitas dapat terjadi, khususnya bila kondisi korban sudah busuk
atau rusak.11,12
b. Pakaian dan Perhiasan. Pencatatan yang diteliti atas pakaian, bahan yang dipakai, mode serta
adanya tulisan-tulisan, seperti: merek pakaian, penjahit, laundry atau initial nama, dapat
memberikan informasi yang berharga, milik siapakah pakaian tersebut. Bagi korban yang
tidak dikenal, menyimpan pakaian secara keseluruhan atau potongan-potongan dengan
ukuran 10 cm x 10 cm, adalah merupakan tindakan yang sangat tepat agar korban masih
dapat dikenali walaupun tubuhnya telah dikubur. Perhiasan seperti anting-anting, kalung,
gelang, serta cincin yang ada pada tubuh korban, khususnya bila pada perhiasan itu terdapat
initial nama seseorang yang biasanya terdapat pada bagian dalam gelang atau cincin; akan

membantu dokter atau pihak penyidik di dalam menentukan identitas korban. Mengingat
kepentingan tersebut maka penyimpanan dari perhiasan haruslah dilakukan dengan baik.
Khusus anggota ABRI, identifikasi dipermudah oleh adanya nama, serta NRP yang tertera
pada kalung logam yang dipakainya.11,12

DAFTAR PUSTAKA
1. DVI BIDDOKKES POLDA SULSEL. DVI (Disaster Victim Identification). [Online] 2009
[Cited

on

2011

Agustus

31]:

[1-4].Available

from

URL

http://dvibiddokkespoldasulsel.blogspot.com/2009/01/dvi-disaster-victim-identification.html
2. POLDA SULUT. DVI (Disaster Victim Identification) FASE I. [Online] 2010 [Cited on 2011
Agustus 31] : [1-2]. Available from : URL : http://www.sulut.polri.go.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=67&Itemid=63
3.

DVI Indonesia. DVI INDONESIA. [Online] 2011. [Cited on 2011 Agustus 31]: [1-2].
Available from : URL: http://www.dvi-indonesia.com/index.php?id=7

4.

Suwandono Adji. Identifikasi Korban Bencana Massal. [Online] 2010 [Cited on 2011
Agustus

31]:

[1-2].

Available

from

URL

http://adjisuwandono.staff.uns.ac.id/2010/07/22/identifikasi-korban-bencana-massal/
5.

AtmadjaDS, dr.SpF, SH, PhD, DFM. PERANAN ODONTOLOGI FORENSIK DALAM


PENYIDIKAN. [Online] 2004. [Cited on 2011 Agustus 31]: [1-7]. Available from : URL :
http://odontologiforensikinvestigasi.blogspot.com/

6. Singh Surjit. Penatalaksanaan Identifikasi Korban. Dalam : Majalah Kedokteran Nusantara


Volume 41 No.4. Desember 2008. FK USU, Medan.
7.

Sugiharto Pradini. Disaster Victim Investigation (DVI). [Online] 2011. [ Cited on 2011
Agustus

31]:

[1-4].

Available

from

URL

http://puradini.wordpress.com/2011/02/19/disaster-victim-investigation-dvi/
8. Interpol. Disaster Victim Identification. [Online] 2009. [Cited on 2011 August 31]: [1-18/24].
Available from : URL: http://disastervictimidentificatio-guide/chapitre4.asp,htm
9. DVI BIDDOKKES POLDA SULSEL. Ante Mortem.[Online] 2009 [Cited on 2011 Agustus
31]: [1].Available from : URL : http://dvibiddokkespoldasulsel.blogspot.com/2009/01/formini-adalah-yellow-ante-mortem-form.html

10. DVI BIDDOKKES POLDA SULSEL. Post Mortem.[Online] 2009 [Cited on 2011 Agustus
31]: [1].Available from : URL : http://dvibiddokkespoldasulsel.blogspot.com/2009/01/blogpost_15.html
11. Munim A. Identifikasi. Dalam: Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi 1. Jakarta:
Binarupa Aksara. 1997. Hal 32-50.

Anda mungkin juga menyukai