Anda di halaman 1dari 42

REFERAT

Disaster Victim Identification (DVI) pada


Kasus Pembunuhan dengan Cara Mutilasi

Disusun Oleh:
KELOMPOK UNPATTI II

DEPARTEMEN / INSTALASI ILMU KEDOKTERAN


FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
RSUD DR. SOETOMO
SURABAYA
2017
LEMBAR PENGESAHAN

Referat dengan judul “Disaster Victim Identification (DVI) pada Kasus


Pembunuhan dengan Cara Mutilasi” telah disetujui dan disahkan oleh
Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga Surabaya pada:

Hari : Kamis
Tanggal : 30 November 2017
Tempat : Ruang Kuliah Dokter Muda Departemen Ilmu Kedokteran
Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga Surabaya
Pembimbing : Prof. Dr. Med. dr. H.M. Soekry E.K, Sp.F (K), DFM
Penyusun : Kelompok UNPATTI II (Periode 31 Oktober – 9 Desember 2017)
1. Samuel Permana Ratumanan (201784036)
2. Nerissa Alviana Sutantie (201784040)
3. Eli Ezer Simangunsong (201784043)
4. Ikram Syah Maulana (201784047)
5. Helsie Dahoklory (201784048)
6. Sherly Lebrina Kerjapy (201784049)

Surabaya, 30 November 2017


Koordinator Pendidikan Dokter Muda Dosen Pembimbing
Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal

dr. Nily Sulistyorini, Sp.F Prof. Dr.Med. dr. H.M.


NIP. 198204152009122002 Soekry E.K, Sp.F (K), DFM
NIP.

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya
referat yang berjudul “Disaster Victim Identification (DVI) pada Kasus Pembunuhan
dengan Cara Mutilasi” dapat diselesaikan tepat waktu. Pembuatan referat ini
merupakan salah satu tugas dalam menempuh masa dokter muda di Kedokteran
Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD Dr.
Soetomo Surabaya. Ucapan terima kasih karena bimbingan, dukungan dan bantuan
dalam pembuatan makalah ini disampaikan kepada :
1. H. Edi Suyanto, dr., Sp.F, SH, MH. Kes selaku Ketua Departemen Ilmu
Kedokteran Forensik dan Medikolegal FK Universitas Airlangga dan Kepala
Instalasi Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal RSUD Dr. Soetomo
Surabaya,
2. Nily Sulistyorini, dr.,Sp.F selaku Koordinator Pendidikan Dokter Muda Ilmu
Kedokteran Forensik dan Medikolegal RSUD Dr. Soetomo Surabaya
3. Prof. Dr.Med. dr. H.M. Soekry E.K, Sp.F (K), DFM selaku pembimbing referat
ini
4. Seluruh staf pengajar Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal
FK Universitas Airlangga,
5. Seluruh PPDS Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal FK Universitas
Airlangga.
Penulis menyadari sungguh bahwa pembuatan referat ini masih belum
sempurna. Oleh sebab itu, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat diperlukan
untuk perbaikan referat ini kedepan. Besar harapan penulis agar referat ini dapat
memperluas wawasan dan menambah pengetahuan khususnya bagi para praktisi ilmu
kedokteran forensik dan medikolegal serta pembaca pada umumnya.

Surabaya, 30 November 2017


Penyusun

iii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ……………………………………………….. i
LEMBAR PENGESAHAN…………………………………………. ii
KATA PENGANTAR ……………………………………………… iii
DAFTAR ISI………………………………………………………… iv
BAB I PENDAHULUAN………………………………………… 1
1.1. Latar belakang …………………………………….. 1
1.2. Rumusan Masalah………………………………….. 4
1.3. Tujuan ……………………………………………… 4
1.4. Manfaat ……………………………………………. 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Disaster Victim Identification (DVI) ………………… 6
2.1.1. Defenisi………………………………………… 6
2.1.2. Dasar Hukum…………………………………… 6
2.1.3. Prosedur DVI…………………………………… 7
2.1.3.1. Struktur DVI…………………………… 7
2.1.3.2. Prinsip dan Metode Identifikasi……… 11
2.1.3.3. Tahapan Tatalaksana DVI……………... 15
2.1.3.4. Perawatan dan Penyerahan Jenazah…… 19
2.2. Pembunuhan dengan Cara Mutilasi………………… 21
2.2.1. Defenisi………………………………………… 21
2.2.2. Macam-macam Pembunuhan………………… 21
2.2.3. Jenis-jenis Mutilasi……………………………. 28
2.2.4. Sanksi Pembunuhan dengan Cara Mutilasi
berdasarkan KHUP……………………………... 29
2.3. Hubungan DVI pada Kasus Pembunuhan dengan Cara
Mutilasi………………………………………………… 32
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan………………………………………………. 36
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………... 39

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari 13.667 pulau dengan
batas luasnya sebesar 2.027.087 km2 mempunyai kurang lebih 129 gunung merapi.
Secara geologis Indonesia terletak di pertemuan diantara 3 plat tektonik utama
(Eurasia, Indo-Australia dan Mediterania) dan secara demografi terdiri dari
bermacam-macam etnik, agama, latar belakang sosial dan budaya, dimana keadaan
tersebut memberikan petunjuk bahwa Indonesia berisiko tinggi sebagai negara yang
rawan dari bencana alam terjadinya gempa bumi, Tsunami, longsor, banjir,
kecelakaan baik darat, laut maupun udara serta tindakan kejahatan yang direncanakan
seperti terorisme, pembunuhan mutilasi, dan sebagainya.1
Bencana massal didefinisikan sebagai suatu peristiwa yang disebabkan oleh
alam atau karena ulah manusia, yang dapat terjadi secara tiba-tiba atau perlahan-
lahan, yangmenyebabkan hilangnya jiwa manusia, kerusakan harta benda dan
lingkungan, sertamelampaui kemampuan dan sumber daya masyarakat untuk
menanggulanginya.Umumnya korban yang hidup telah banyak dapat diatasi oleh tim
medis, para medis dan tim pendukung lainnya. Namun berbeda bagi korban yang
sudah mati yang perlu ditangani secara khusus dengan membentuk tim khusus pula.
Dalam penggolongannya bencana massal dibedakan menjadi 2 tipe. Pertama, Natural
Disaster, seperti Tsunami, gempa bumi, banjir, tanah longsor dan sejenisnya.
Sedangkan yang kedua, dikenal sebagai ‘Man Made Disaster’ yang dapat berupa
kelalaian manusia itu sendiri seperti: kecelakaan udara, laut, darat, kebakaran hutan
dan sejenisnya serta akibat ulah manusia yang telah direncanakannya seperti pada
kasus terorisme dan pembunuhan mutilasi.1

1
Resiko yang terjadi tersebut harus dapat diatasi dengan mempersiapkan
identifikasi forensik.Identifikasi forensik merupakan upaya yang dilakukan dengan
tujuan membantu penyidik untuk menentukan identitas seseorang.Identifikasi
personal sering merupakan suatu masalah dalam kasus pidana maupun perdata.
Menentukan identitas personal dengan tepat amat penting dalam penyidikan karena
adanya kekeliruan dapat berakibat fatal dalam proses peradilan. Peran ilmu
kedokteran forensik dalam identifikasi terutama pada jenazah tidak dikenal, jenazah
yang rusak, membusuk, hangus terbakar dan kecelakaan masal, bencana alam, huru
hara yang mengakibatkan banyak korban meninggal, serta potongan tubuh manusia
atau kerangka. Selain itu identifikasi forensik juga berperan dalam berbagai kasus
lain seperti penculikan anak, bayi tertukar, atau diragukan orang tuanya. Identitas
seseorang yang dapat dipastikan bila paling sedikit dua metode yang digunakan
memberikan hasil positif (tidak meragukan).1
Pada dasarnya prinsip identifikasi adalah membandingkan data antemortem
(data semasa hidup) dan data postmortem (data setelah kematian) pada orang yang
tidak dikenal. Data yang diduga sebagai orang hilang terkadang kurang lengkap,
bahkan tidak ada.Identifikasi dilakukan melalui berbagai metode, seperti sidik jari,
medik, odontologi (ilmu gigi dan mulut), anthropologi sampai dengan pemeriksaan
biomolekuler. Pada kasus bencana massal dengan potongan tubuh yang sulit dikenal,
memerlukan keahlian kedokteran forensik yang meliputi berbagai bidang keilmuan
dan bidang keahlian penunjang untuk dapat melakukan identifikasi. Identifikasi
korban tak dikenal dalam pelaksanaannya dapat bekerja sama dengan berbagai
disiplin ilmu, antara lain keahlian bidang forensik patologi, forensikodontologi,
forensik anthropologi, ahli sidik jari, ahli DNA, radiologi dan fotografer.1,2
DVI (Disaster Victim Identification) adalah suatu definisi yang diberikan
sebagai sebuah prosedur untuk mengidentifikasi korban mati akibat bencana massal
secara ilmiah yang dapat dipertanggung-jawabkan dan mengacu kepada standar
bakuInterpol. Adapun proses DVI meliputi 5 fase, dimana setiap fasenya mempunyai

2
keterkaitan satu dengan yang lainnya, yang terdiri dari ‘The Scene’, ‘The Mortuary’,
‘Ante Mortem Information Retrieval’, ‘Reconciliation’ and ‘Debriefing’.2
Setiap propinsi di Indonesia memiliki tim Identifikasi Korban Bencana
(Disaster Victim Identification/DVI) untuk mengenali korban bencana massal yang
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Keberadaan tim DVI di propinsi ini
sangat penting untuk mengatasi kendala waktu dan transportasi saat terjadi bencana
alam (natural disaster) maupun bencana yang disebabkan manusia (man made
disaster). Identifikasi korban bencana diperlukan untuk menegakkan HAM,
membantu proses penyidikan dan memenuhi aspek legal sipil. Saat ini lembaga yang
sudah dibentuk, perlu segera direplikasi disetiap propinsi yang ada di Indonesia.Sejak
kejadian bom Bali tahun 2002, penanganan korban mati massal pada bencana mulai
mendapat perhatian yang serius, baik dari pihak Depkes maupun Polri. Kedua
lembaga ini telah membuat Keputusan Bersama Menteri Kesehatan RI dengan
Kapolri 1087/Menkes/SKB/IX/2004 tentang Pedoman Penatalaksanaan Identifikasi
Korban Mati pada bencana massal yang ditandatangani pada tanggal 29 September
2004.Karena pada dasarnya identifikasi korban bencana massal baik itu meninggal
masih merupakan bagian dari pelayanan kesehatan mengingat korban meninggal
adalah korban juga. Selain itu identifikasi korban bencana juga sesuai dengan pasal
53 UU Nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan dan PP Nomor 32 tahun 1996.2
TIM DVI INDONESIA terdiri dari beberapa anggota POLRI (DOKPOL),
DEPKES RI, FK/FKG Universitas, Instalasi Kedokteran Forensik dan ahli-ahli
lainnya. Tim DVI Indonesia yang dibentuk dengan sistem regionalisasi (4 region)
merupakan badan yang bertanggung jawab terhadap penanganan korban mati pada
suatu bencana, terutama yang terjadi di regionnya. Tim DVI regional adalah
perpanjangan tangan dari Tim DVI Nasional sebagai koordintor bagi Provinsi dalam
wilayah kerjanya, sedangkan Tim DVI Provinsi merupakan pelaksana identifikasi
terhadap semua korban mati pada bencana. Pemerintah berkewajiban melaksanakan
kegiatan penanggulangan bencana, baik mendukung dana, sarana dan prasarananya
(sesuai UU No 24 Tahun 2007).1,2

3
Peristiwa pembunuhan maupun beserta penganiayaan terus mengalami
perkembangan yang diiringi dengan gaya dan model yang sangat beragam, dari cara
yang paling sederhana sampai yang sangat tercanggih. Menurut Badan Pusat
Statistik (BPS) tahun 2014, angka kejahatan terhadap nyawa di Indonesia termasuk
tinggi. Dari tahun 2011 sampai tahun 2013 terdapat 4309 kasus pembunuhan.
Terkadang pembunuhan itu dilakukan dengan cara yang keji seperti disiksa lebih
dahulu, dibakar dan bahkan mutilasi, yaitu dengan memotong-motong tubuh korban.
Adrianus Meliala, Kriminolog UI berpendapat “dari sisi ilmu kriminologi, secara
defenitif yang dimaksud dengan mutilasi adalah terpisahnya anggota tubuh yang satu
dari anggota tubuh yang lainnya oleh sebab yang tidak wajar.” Adapun motif dari
pembunuh sangatlah beragam. Dan bisa dikatakan bahwa kasus pembunuhan
mutilasi di Indonesia bukanlah hal yang baru. Banyak kasus pembunuhan mutilasi di
Indonesia yang tidak hanya memutilasi satu orang saja, akan tetapi banyak orang.
Selain itu, kasus pembunuhan mutilasi biasanya memakan waktu yang lama untuk
terbongkar, sehingga korban cenderung sudah mengalami pembusukan. Oleh sebab
itu diperlukan bantuan dari banyak pihak untuk menangani kasus ini. Salah satunya
adalah tim DVI untuk mengidentifikasi korban-korban yang dimutilasi. 1,2,3

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk mengetahui
bagaimana cara kerja Tim DVI dalam mengidentifikasi jenazah korban man made
disaster khususnya pada pembunuhan dengan cara mutilasi?

4
1.3. Tujuan Penulisan
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui cara kerja Tim DVI dalam mengidentifikasi jenazah korban
pada man made disaster khusunya kasus pembunuhan dengan cara mutilasi.
1.3.2. Tujuan Khusus
1.3.2.1. Untuk mengetahui defenisi dan dasar hukum pembentukan Tim DVI.
1.3.2.2. Untuk mengetahui prosedur kerja DVI berupa struktur DVI, prinsip dan
metode identifikasi, tahapan-tahapan tatalaksana, serta manajemen perawatan
dan penyerahan jenazah.
1.3.2.3. Untuk mengetahui defenisi, macam-macam pembunuhan dan jenis-jenis
mutilasi
1.3.2.4. Untuk mengetahui sanksi hukum pembunuhan dengan cara mutilasi
berdasarkan KUHP
1.3.2.5. Untuk mengetahui hubungan DVI pada kasus pembunuhan dengan cara
mutilasi

1.4. Manfaat Penulisan


Adapun manfaat penulisan ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu: manfaat bagi
institusi dan manfaat bagi tenaga kesehatan.
1.4.1 Manfaat penulisan ini bagi institusi terkait, dalam hal ini SMF Forensik
Dr. Sutomo FK UNAIR adalah menambah kepustakaan terutama di bidang
DVI atau identifikasi jenazah.
1.4.2 Manfaat penulisan ini bagi tenaga kesehatan dalam hal ini dokter dan dokter
muda, adalah memiliki landasan ilmu pengetahuan serta tambahan informasi
terhadap identifikasi korban terutama DVI.

BAB II

5
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Disaster Victim Identification (DVI)


2.1.1. Defenisi Disaster Victim Identification (DVI)
Disaster Victim Identification (DVI) merupakan prosedur yang telah
ditentukan untuk mengidentifikasi korban dalam sebuah insiden atau bencana
yang sah yang dapat dipertanggung-jawabkan kepada masyarakat serta
merupakan bagian dari investigasi, rekonstruksi tentang sebab bencana.4

2.1.2. Dasar Hukum Disaster Victim Identification (DVI)4


A. Pasal 120 ayat 1 KUHAP
Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat seorang
ahli atau orang memilik keahlian khusus.
B. Pasal 133 ayat 1 KUHAP
Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang
korban baik luka, keracunan atau mati yang diduga karena peristiwa pidana, ia
berhak mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran
kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
Karena pada dasarnya identifikasi korban bencana massal baik itu meninggal
masih merupakan bagian dari pelayanan kesehatan mengingat korban meninggal
adalah korban juga. Hal sesuai pada pasal 53 UU Nomor 23 tahun 1992 Tentang
Kesehatan dan PP Nomor 32 tahun 1996. Di samping itu juga proses identifikasi
tidak memerlukan atau menunggu surat permintaan dari pihak penyidik (SPVR).4

6
2.1.3. Prosedur DVI
2.1.3.1. Struktur DVI di Indonesia4
Struktur organisasi DVI di Negara Indonesia dibagi menjadi 3 tingkatan yakni:
1. Tingkat Nasional
Tim identifikasi nasional (badan pelaksana tingkat pusat berperan untuk membina
dan mengkoordinasikan semua usaha dan kegiatan identifikasi pada tingkat
regional dan provinsi seperti:
a. Memberikan saran kepada enselon yang bertanggung jawab mengenai
kebijakan teknis maupun manajerial pelaksanaan DVI
b. Membina dan mengendalikan operasi, mengevaluasi, menyusun rencana dan
program.
c. Menciptakan hubungan dan kerja sama lintas fungsi dan lintas sektoral
2. Tingkat Regional
Tim identifikasi regional (badan pelaksana tingkat regional) bertugas untuk
menyelenggarakan suatu koordinasi kegiatan indentifikasi dalam regional yang
menjadi tanggung jawabnya, seperti :
a. Merencanakan, mengendalikan dan membina pelaksanaan proses identifikasi
massal di tingkat provinsi.
b. Membina hubungan kerja sama dengan instansi-instansi lainnya.
c. Melakukan monitoring dan evaluasi terhadap kinerja tim identifikasi provinsi
di wilayah kerjanya.
d. Melaporkan hasil kerja ke tim identifikasi tingkat nasional.
3. Tingkat Provinsi
Tim identifikasi provinsi (badan pelaksana tingkat provinsi), bertugas untuk
menyelenggarakan suatu koordinasi kegiatan identifkasi dakam provinsi, seperti:
a. Melakukan koordinasi dengan tim medik dan aparat keamanan untuk
melakukan evakuasi korban di TKP.
b. Melakukan koordinasi dengan rumah sakit setempat.
c. Melakukan indentifikasi pada korban dengan memanfaatkan berbagai sumber
daya yang ada.
d. Membuat kesimpulan sementara pada hasil pemeriksaan.
e. Melaporkan hasil identifikasi kepada kepala dinas kesehatan provinsi dan
kepala kepolisian daerah setempat.
f. Menyalurkan bantuan tenaga teknis dan material dari lembaga asing atau
Negara lain.

7
Selain pembagian di atas, dasar struktural pengaturan organisasi DVI mengacu pada
diagram berikut.

Gambar 1. Struktur Standar Pengaturan DVI


Sumber: Interpol. Disaster Victim Identification Guide: Interpol [Internet].
2014 [Diambil pada 10 November 2017]. Diambil dari:
https://www.interpol.int/INTERPOL-expertise/Forensics/DVI-Pages/DVI- guide5

Bentuk struktur organisasi ini disusun berdasarkan mekanisme kerja tim DVI,
namun dapat diperluas bila terdapat kerja sama antara organisasi lainnya yang saling
berkaitan atau berhubungan. Perluasan atau modifikasi kerja tim DVI biasanya
dipengaruhi oleh keadaan alam dan atau tingkat kompleksitas suatu kejadian.
Perbedaan negara atau dasar hukum suatu daerah juga dapat mempengaruhi prosedur
kerja DVI.5
Peran kunci identifikasi yaitu personil tim DVI yang sedang bertugas,
terutama di lokasi bencana diharuskan memakai tanda pengenal, ban lengan atau
tanda lainnya untuk dapat menunjukan identitasnya dan peran mereka secara jelas di

8
lapangan. Selain itu tanda-tanda tersebut juga dimaksudkan untuk menunjukan
otoritas pada suatu tempat kejadian atau akses-aksek ke situs-situs tertentu (misalnya
komandan, koordinator adegan, ahli patologi, odontologis atau pemeriksa TKP). Hal
ini sangat penting bila suatu kejadian ditangani oleh banyak lembaga apakah badan
lokal, nasional atau internasional.5

Manajemen struktur DVI5


Berikut ini adalah ringkasan posisi manajemen kunci utama dalam proses DVI.
1. Pemimpin DVI
Sebagai pemimpin tim DVI, orang tersebut diharus untuk bertanggung jawab
secara menyeluruh atas respons operasional terhadap berbagai kejadian yang
membutuh peran tim DVI. Berikut ini adalah beberapa fungsi penting pemimpin
DVI:
a. Menetapkan struktur perintah dan kontrol DVI yang sesuai untuk memastikan
semua kegiatan DVI teratur dan terkoordinasi.
b. Memulai respon atau tindakan tim DVI sesuai dengan rencana operasional
dan / atau pengaturan yang sesuai dengan hukum.
c. Menunjuk peran Koordinator Fase pada tim DVI dan berbagai posisi kunci
penting lainnya
d. Menjalankan mekanisme komunikasi dan pelaporan yang jelas untuk
memfasilitasi koordinasi dan arus informasi.
e. Memastikan bahwa kapasitas dan kemampuan kerja personel yang
memadai,anggota spesialis dan pengaturan logistik dipelihara agar kerja tim
DVI efektif dalam menanggapi respon bencana
f. Memastikan kepatuhan terhadap persyaratan kesehatan, keselamatan kerja dan
kesejahteraan kerja.

2. Koordinator Fase
Penting agar personil yang mengambil peran koordinasi untuk memiliki
pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan sepadan dengan tuntutan dan
tanggung jawab pada posisi tersebut. Seorang koordinator fase diharapkan memiliki

9
keterampilan teknis untuk mengelola fase DVI secara kompeten, selain itu juga
dibutuhkan kemampuan dan pengalaman dalam pengelolaan anggota staf.

3. Koordinator spesialis DVI


Penunjukan anggota kunci untuk mengkoordinasikan dan mengawasi tim
khusus merupakan persyaratan penting untuk operasi DVI. Koordinator personil
spesialis dalam tim DVI ini harus memenuhi syarat disiplin ilmu masing-masing,
mereka juga harus memilikikemampuan untuk mengkoordinasikan hasil input dan
output dengan disiplin keilmuan lain, atau bidang lain dalam proses DVI. Para
koordinator spesialis juga diharuskan untuk memastikan kesehatan dan keselamatan
kerja anggotanya.

2.1.3.2 Prinsip dan Metode Identifikasi


Prinsip dari proses identifikasi adalah mudah yaitu dengan membandingkan
data‐data korban (data postmortem) dengan data dari keluarga (data antemortem),
semakin banyak kecocokan akan semakin baik. Data gigi, sidik jari, atau DNA secara
tersendiri sudah dapat digunakan sebagai faktor determinan primer, sedangkan data
medis, properti harus dikombinasikan untuk dianggap sebagai ciri identitas yang
pasti.6,7,8
Identifikasi terhadap mayat dapat dikatakan positif apabila minimal satu dari
metode identifikasi primer adalah cocok atau jika tidak ada yang cocok dari metode

10
identifikasi primer, maka seluruh metode identifikasi sekunder harus cocok.
Penentuan identifikasi ini dilakukan didalam rapat rekonsiliasi. 6,7,8
File record dan segala informasi yang telah dibuat untuk dikelompokkan dan
merupakan dokumen penting yang perlu diperhatikan. Dokumentasi berkas yang baik
juga berkepentingan agar pihak lain (Mis: Interpol) dapat melihat, me‐review
kasusnya, sehingga menunjukkan bahwa proses identifikasi ini dikerjakan sesuai
prosedur dan berdasarkan prinsip ilmiah. 6,7,8
Dahulu dikenal 2 metode pokok identifikasi yaitu: 6,7,8
a. Metode Sederhana: Visual Kepemilikan (perhiasan dan pakaian) Dokumentasi
Lain
b. Metode Ilmiah: Sidik jari, Serologi, Odontologi ,Antropologi, dan Biologi
molekuler.
Saat ini berdasarkan standar Interpol untuk proses identifikasi pada DVI telah
ditentukan metode identifikasi yang dipakai yaitu :
a. Metode Identifikasi Primer: Sidik jari, Gigi geligi dan DNA.
b. Metode Identifikasi Sekunder: Medik Properti.

Metode Identifikasi Disaster Victim Identification (DVI)


A. Identifikasi Primer: Identifikasi primer terdiri dari sidik jari, catatan gigi, dan
DNA.4,6
1) Pemeriksaan Sidik Jari
Metode ini membandingkan gambaran sidik jari jenazah dengan sidik jari
antemortem. Sampai saat ini pemeriksaan sidik jari merupakan pemeriksaan
yang diakui paling tinggi ketepatannya untuk menentukan identitas seseorang.
Sidik jari merupakan jejak yang ditimbulkan oleh impresi dari tonjolan papiler

11
jari-jari. Secara teknis disebut dactyloscopy.6 Dua dasar dari identifikasi
dengan sidik jari yaitu:6
 Susunan dari tonjolan-tonjolan papiler pada setiap orang adalah berlainan.
 Susunan tersebut tetap, tidak berubah sepanjang hidup seseorang.
Meskipun sidik jari seseorang tidak berubah sepanjang hidupnya tetapi
dapat terganggu oleh adanya jaringan parut akibat suatu penyakit atau oleh
trauma. Meskipun kulit ari sudah hilang karena pembusukan, sidik jari masih
didapat dari garis-garis yang ada di dermis. Klasifikasi primer sidik jari adalah
berdasarkan pada susunan garis-garis kulit. Ada empat tipe primer yaitu arch,
loop, whorl dan composite.6
Apabila kulit sudah kering dan mengelupas dapat memakai Vaseline yang
digosokkan untuk melembutkan kulit, kemudian dicuci dan disuntikkan
paraffin supaya kulit yang keriput menjadi tegang lagi.6
Untuk membandingkan sidik jari, sebaiknya dilakukan pemotretan dan
diperbesar. Ada 16-20 titik yang harus dibandingkan, minimal 12 titik sama.
Selain sidik jari tangan, sidik jari dan telapak kaki juga dapat dipakai untuk
identifikasi seperti halnya sidik jari dan telapak tangan.6

2) Catatan Gigi
Gigi merupakan bagian dari tubuh manusia yang paling awet atau tahan
meskipun jenazah sudah membusuk, terkena api atau bahan kimiawi. Susunan
gigi seseorang mempunyai ciri-ciri tersendiri lebih-lebih bila korban pernah
berobat ke dokter gigi maka dental record dapat dipakai membantu
identifikasi. Pemeriksaan gigi pada dasarnya meliputi odontogram.6
Adapun dalam melaksanakan identifikasi manusia melalui gigi, kita
dapatkan dua kemungkinan :
a. Memperoleh informasi melalui data gigi dan mulut untuk membatasi atau
menyempitkan identifikasi

12
Informasi ini dapat diperoleh antara lain mengenai umur, jenis
kelamin, ras, golongan darah, bentuk wajah dan salah satu sampel DNA.
Dengan adanya informasi mengenai perkiraan batas‐batas umur korban
misalnya, maka pencarian dapat dibatasi pada data‐data orang hilang yang
berada di sekitar umur korban. Dengan demikian penyidikan akan menjadi
lebih terarah.
b. Mencari ciri‐ciri yang merupakan tanda khusus pada korban tersebut;
Pada tahap ini dicatat ciri‐ciri yang diharapkan dapat menentukan
identifikasi secara lebih akurat dari pada sekedar mencari informasi
tentang umur atau jenis kelamin. Ciri‐ciri demikian antara lain: misalnya
adanya gigi yang dibungkus logam, gigi yang ompong atau patah, lubang
pada bagian depan biasanya dapat lebih mudah dikenali oleh kenalan atau
teman dekat atau keluarga korban. Disamping ciri‐ciri di atas, juga dapat
dilakukan pencocokan antara tengkorak korban dengan foto korban
semasa hidupnya. Teknik yang digunakan dikenal sebagai superimpossed
technique yaitu untuk membandingkan antara tengkorak korban dengan
foto semasa hidupnya. 2

3) Pemeriksaan DNA
Didalam kedokteran forensik, biologi molekuler berperan sebagai
pelengkap dan penyempurna berbagai pemeriksaan identifikasi. Polimorfisme
merupakan istilah yang terdapat dalam biologi molekuler, digunakan untuk
menunjukkan adanya suatu bentuk berbeda-beda dari suatu struktur dasar
yang sama, sehingga sifat polimorfik ini bisa digunakan untuk membedakan
satu orang dari yang lainnya.6
Terdapat dua polimorfisme yakni polimorfisme protein dan
polimorfisme DNA. Polimorfisme protein antara lain sistem golongan darah
dan golongan protein serum.6
Tahapan Proses Pemeriksaan DNA6

13
 Pengambilan sampel. Pengambilan sampel merupakan suatu rangkaian
dengan penanganan sampel. Karena tes DNA bukan tes rutin sehingga
perlu pengiriman ke laboratorium khusus. Semua sampel harus diberi
label yang jelas berdasarkan sumber asalnya, jenis jaringan dan tanggal
dikumpulkan.
 Dekalsifikasi pada jaringan tulang dan gigi.
 Isolasi atau ekstraksi.
 Pemurnian
 Metode polymerase chain reaction (PCR). Syarat yang harus
dipertimbangkan lokus yang dipilih harus lokus yang sangat polimorfis,
proses typing dengan PCR harus mencakup pendeteksian setip alel yang
ada tanpa melalui proses yang sangat kompleks dan data populasi genetik
harus sudah diketahui tentang distribusi alel dan frekuensi mutasi.
 Elektroforese ada dua tahap yakni loading DNA sampel dan running the
gel.
 Staning. Pengecatan yang sering digunakan adalah silver staining oleh
karena relatif cepat, murah dan sederhana.
B. Identifikasi Sekunder
Identifikasi sekunder terdiri dari dekripsi personal atau temuan medis dan
harta benda milik korban. Kelainan patologi atau luka yang dapat membantu
identifikasi misalnya mioma uteri, struma, dan sikatrik. Benda-benda pribadi
milik korban antara lain KTP, SIM, tanda pangkat, potret, cincin kawin,
pakaian atau robekan kain korban.6
Metode visual terkadang kepemilikan mulai tidak dipakai di dalam
metode identifikasi untuk DVI saat ini karena metode ini tidak dapat
diterapkan bila mayat telah busuk, terbakar, mutilasi serta tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah oleh karena melibatkan faktor psikologi
keluarga yang melakukannya (sedang berduka, stress, sedih dll).

14
2.1.3.3. Tatalaksana DVI
A. Penanganan di Tempat Kejadian Perkara (TKP)4
Kegiatan:
1. Memberi tanda dan label di tempat kejadian perkara (TKP)
 Membuat zona-zona pada TKP sesuai dengan situasi dan kondisi geografis
lingkungan di sekitarnya. Zona-zona tersebut dibuat dengan ukuran 5 x 5
meter .
 Memberikan tanda pada setiap zona yang dibuat.
 Melabeli jenazah atau potongan tubuh jenazah dengan label oranye yang
diikat pada ujung ibu jari kaki kanan jenazah atau tubuh jenazah.
 Melabeli barang-barang milik korban yang tercecer dengan label putih.
 Mendokumentasikan setiap zona pada TKP dalam bentuk sketsa atau foto.
2. Evakuasi dan transportasi jenazah serta barang
 Mamasukan jenzah dan potongan tubuh jenazah ke dalam kantong jenazah,
kemudian diberi label sesuai dengan label jenazah.
 Memasukan juga barang-barang yang terlepas dari tubuh korban dan diberi
label sesuai dengan nama jenazah
 Selanjutnya dilakukan proses pengangkutan jenazah ketempat pemeriksaan
dan penyimpanan jenazah. Kemudian akan dibuatkan berita acara penyerahan
kolektif.

B. Tatalaksana DVI Post-Mortem4,6,7,8,9,10


Proses dan metode pemeriksaan yang dipakai pada fase ini termasuk fotografi,
fingerprinting, radiologi, odontologi, DNA sampling, dan otopsi.
Fungsi :
1. Menampung dan menyimpan sisa tubuh
2. Mencatat dan menyimpan properti
3. Tempat melaksanakan pengujian terhadap sisa tubuh
4. Tempat koordinasi untuk pemisahan sisa tubuh
Kegiatan :
1. Menerima jenazah/potongan dan barang dari unit TKP

15
2. Registrasi ulang dan mengelompokkan kiriman tersebut berdasarkan jenazah
utuh, tidak utuh, potongan jenazah dan barang-barang
3. Membuat foto jenazah
4. Mencatat ciri-ciri korban sesuai formulir yang tersedia
5. Mengambil sidik jari korban dan golongan darah
6. Mencatat gigi geligi korban
7. Membuat foto rontgen jika perlu
8. Melakukan otopsi
9. Mengambil data-data keunit pembanding data.

C. Tatalaksana DVI Ante-Mortem4,6,7,8,9


Fase ketiga adalah fase pengumpulan data antemortem dimana ada tim kecil
yang menerima laporan orang yang diduga menjadi korban. Tim ini meminta
masukan data sebanyak-banyaknya dari keluarga korban. Data yang diminta mulai
dari pakaian yang terakhir dikenakan, ciri-ciri khusus (tanda lahir, tato, tahi lalat,
bekas operasi, dan lain-lain), data rekam medis dari dokter keluarga dan dokter gigi
korban, data sidik jari dari pihak berwenang (kelurahan atau kepolisian), serta sidik
DNA apabila keluarga memilikinya.
Apabila tidak ada data sidik DNA korban maka dilakukan pengambilan
sampel darah dari keluarga korban. Data Ante Mortem diisikan ke dalam yellow form
berdasarkan standar Interpol. Adapun fungsinya secara umum adalah:
1. Mendapatkan, menganalisa, serta mencocokan data orang
2. Mengetahui data orang hilang
3. Mendapatkan informasi DNA
4. Mendapatkan informasi properti dalam formulir Ante Mortem
Dalam pelaksanaanya, kegiatan dalam fase ini meliputi:
1) Menerima keluarga korban;

16
2) Mengumpulkan data‐data korban semasa hidup seperti foto dan lainnya yang
dikumpulkan dari keluarga terdekat yang kehilangan anggota keluarganya dalam
bencana tersebut;
3) Mengumpulkan data‐data korban dari instansi tempat korban bekerja,
rs/puskesmas/klinik, dokter pribadi, dokter yang merawat, dokter‐dokter gigi pribadi,
polisi (sidik jari), catatan sipil, dll;
4) Data‐data antemortem gigi‐geligi; Data‐data antemortem gigi‐geligi adalah
keterangan tertulis atau gambaran dalam kartu perawatan gigi atau keterangan dari
keluarga atau orang yang terdekat. Sumber data‐data antemortem tentang kesehatan
gigi diperoleh dari: Klinik gigi RS Pemerintah, TNI/Polri dan Swasta; Lembaga‐
lembaga pendidikan Pemerintah/TNI/Polri/Swasta; Praktek pribadi dokter gigi.
5) Mengambil sampel DNA pembanding;
6) Apabila diantara korban ada warga negara asing maka data‐data antemortem dapat
diperoleh melalui perantara Set NCB Interpol Indonesia dan perwakilan negara asing
(kedutaan/konsulat);
7) Memasukkan data‐data yang ada dalam formulir Interpol DVI AM;
8) Mengirimkan data‐data yang telah diperoleh ke Unit Pembanding Data.

D. Fase Rekonsiliasi4,6
Form data antemortem dan postmortem yang telah selesai selama fase
pertama dan kedua dibandingkan selama fase rekonsiliasi. Terdapat beberapa fungsi
dari rekonsiliasi yakni membandingkan data ante mortem dan data post mortem serta
penetapan dari suatu identifikasi. Seseorang dinyatakan teridentifikasi pada fase
rekonsiliasi apabila terdapat kecocokan antara data antemortem dan postmortem.
Kegiatan pada fase rekonsiliasi dapat dijabarkan sebagai berikut :
a. Mengkoordinasikan rapat-rapat penentuan identitas korban antara unit TKP, unit
data ante mortem, dan unit data post mortem.
b. Mengumpulkan data-data korban yang dikenal untuk dikirim ke tim identifikasi.

17
c. Mengumpulkan data-data tambahan dari unit TKP, post mortem dan ante mortem
untuk korban yang belum dikenal.

E. Fase Debriefing4,6
Setelah selesai keseluruhan proses identifikasi, dengan hasil memuaskan
maupun tidak, proses identifikasi korban bencana ini belumlah selesai. Masih ada
satu fase lagi yaitu fase kelima yang disebut fase debriefing. Pada fase debriefing,
semua orang yang terlibat dalam proses identifikasi berkumpul untuk melakukan
evaluasi terhadap semua hal yang berkaitan dengan pelaksanaan proses identifikasi
korban bencana, baik sarana, prasarana, kinerja, prosedur, serta hasil identifikasi.
Berikut ini beberapa kegiatan yang dilakukan pada fase debriefing:
d. Meninjau kembali pelaksanaan DVI.
e. Mengenali dampak positif dan negative operasi DVI.
f. Menentukan keefektifan persiapan tim DVI secara psikologi
g. Melaporkan temuan serta memberikan masukan untuk meningkatkan operasi.

2.1.4. Perawatan dan Penyerahan Jenazah


A. Korban yang teridentifikasi
Setelah korban teridentifikasi sedapat mungkin dilakukan perawatan jenazah
antara lain:
1) Perbaikan atau rekonstruksi tubuh jenazah
2) Pengawetan jenazah (bila memungkinkan)
3) Perawatan sesuai agama korban
4) Memasukkan dalam peti jenazah.
Kemudian jenazah diserahkan kepada keluarganya oleh petugas khusus dari
Tim Unit Rekonsiliasi berikut surat‐surat yang diperlukan pencatatan yang penting
pada proses serah terima jenazah yaitu:
1) Tanggal (hari, bulan, tahun) dan jamnya
2) Nomor registrasi jenazah
3) Diserahkan kepada siapa, alamat lengkap penerima, hubungan keluarga dengan
korban

18
4) Dibawa kemana atau akan dimakamkan dimana
Perawatan jenazah setelah teridentifikasi dapat dilaksanakan oleh unsur
Pemerintah Daerah dalam hal ini Dinas Sosial dan Dinas Pemakaman dengan dibantu
seorang dokter spesialis forensik dalam teknis pelaksanaannya.

B. Korban yang tidak teridentifikasi


Salah satu keterbatasan yang akan timbul di lapangan adalah adanya
kemungkinan korban yang tak teridentifikasi. Hal ini seringkali disebabkan begitu
banyaknya laporan korban atau orang hilang sedangkan yang diperiksa tidak sama
jumlahnya seperti yang dilaporkan. Misalnya pada kecelakaan pesawat, passenger
list terdapat sejumlah penumpang termasuk crew pesawat, namun setelah terjadi
bencana dan pada waktu korban ditemukan untuk diperiksa ternyata kurang dari
jumlahnya dari daftar penumpang pesawat tersebut. Dalam proses identifikasi pada
kenyataannya tidaklah selalu mudah walaupun data antemortemnya lengkap. Hal ini
dapat disebabkan karena beberapa faktor antara lain:
1) Keadaan jenazah yang ditemukan dalam kondisi: Mayat membusuk lanjut,
tergantung derajat pembusukannya dan kerusakan jaringannya, atau mayat
termutilasi berat dan kerusakan jaringan lunak yang banyak maka metode
identifikasi yang digunakan sidik jari bila masih mungkin atau dengan ciri
anatomis dan medis tertentu, serologi, DNA atau odontologi; Mayat yang telah
menjadi kerangka, identifikasi menjadi terbatas untuk sedikit metode saja yaitu:
serologis, ciri anatomis tertentu dan odontologi.
2) Tidak adanya data antemortem, tidak adanya data orang hilang atau sistem
pendataan yang lemah
3) Jumlah korban yang banyak, baik pada populasi yang terbatas ataupun pada
populasi yang tak terbatas.

19
Keadaan tersebut di atas dapat menimbulkan suatu masalah jika ahli waris
keluarga korban meminta surat kematian untuk kepentingan administrasinya seperti
akta kematian, pengurusan warisan, asuransi dan sebagainya sedangkan Tim DVI
tidak mempunyai data postmortemnya karena memang tidak dilakukan pemeriksaan
atau tidak ditemukan jasad atau bagian tubuhnya.

Salah satu solusi adalah dilakukannya kesepakatan bersama antara beberapa


ahli hukum dengan Tim DVI untuk berdiskusi dari situasi dan kondisi bencana,
alasan tidak ditemukannya dan sebagainya. Selanjutnya hasil keputusan tersebut
diajukan ke pengadilan dan menghasilkan suatu ketetapan, yang berdasarkan
keputusan pengadilan inilah kemudian dipakai sebagai acuan untuk menentukan
orang tersebut dinyatakan sudah meninggal serta dikeluarkannya surat kematian.
Apabila dalam proses tersebut ada yang tidak teridentifikasi, maka Tim DVI
melakukan koordinasi dengan pihak terkait untuk melakukan penguburan massal
dengan beberapa ketentuan antara lain mayat harus diambil sampel DNAnya terlebih
dahulu dan dikuburkan dengan dituliskan nomor label mayat pada bagian nisannya.

2.2. Pembunuhan dengan Cara Mutilasi


2.2.1. Defenisi
Pembunuhan secara terminologi berarti perkara membunuh atau perbuatan
membunuh dengan cara yang melanggar hukum maupun tidak. Sedangkan dalam
istilah KUHP pembunuhan adalah kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain.
Pembunuhan biasanya dilatarbelakangi oleh berbagai motif, misalnya politik,
kecemburuan, dendam, membela diri, dan sebagainya. Pembunuhan dapat
dilakukan dengan berbagai cara namun yang paling umum yaitu menggunakan
senjata api atau senjata tajam. Pembunuhan dapat juga dapat dilakukan dengan
menggunakan bahan peledak, seperti bom dll. 11,12

20
Berdasarkan ilmu krimologi, mutilasi merupakan terpisahnya anggota tubuh
yang satu dari anggota tubuh yang lain oleh sebab yang tidak wajar. Kejahatan
mutilasi tergolong jenis kejahatan yang sadis karena pelaku tidak hanya membunuh
atau menghilangkan nyawa orang lain tetapi juga memotong-motong tubuh
korbannya. Menurut pendapat ahli lain, kejahatan mutilasi merupakan kejahatan
susulan dari sebuah kejahatan pembunuhan dengan maksud menutupi kejahatan
pembunuhan tersebut baik menghilangkan jejak keberadaan atau mempersulit
pengungkapan identitas.13 Terkait pembunuhan dengan cara mutilasi tidak diatur
secara khusus dalam KUHP . Selain itu, di Indonesia juga belum ada aturan khusus
yang mengatur mengenai mutilasi, tetapi dari pengertian mutilasi dan pasal yang
digunakan untuk menetapkan sanksi tindak pidana mutilasi.

2.2.2. Macam-Macam Pembunuhan


A. Pembunuhan sengaja11,12,14
Membunuh dengan sengaja adalah pembunuhan yang telah direncanakan
dengan memakai alat yang biasanya mematikan. Seseorang dikatakan membunuh
dengan sengaja apabila pembunuh tersebut sudah berusia dewasa, mempunyai
niat/rencana untuk membunuh dan memakai alat yang mematikan. Pembunuhan
dengan sengaja antara lain dengan membacok korban, menembak dengan senjata
api, memukul dengan benda keras, menggilas dengan mobil, mengalirkan listrik ke
tubuh korban dan sebagainya.
Dalam peristiwa ini perlu dibuktikan suatu perbuatan yang
mengakibatkan kematian orang lain yang memang dilakukan secara
sengaja. Untuk dapat dituntut dalam pembunuhan ini perbuatan ini harus
dilakukan dengan segera setelah timbul maksud dan tidak dipikir-pikir
lebih lama. Pembunuhan ini termasuk dalam Pasal 338 KUHP menyatakan:
“Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang, karena
pembunuhan biasa, dipidana dengan pidana penjara sekurang-kurangnya lima
belas tahun.”

21
Adapun unsur delik doodslag yang terdapat dalam pasal 338 adalah
menimbulkan matinya orang lain dengan sengaja. Pasal 338 bersifat
Meterieel Delict, karena itu tidak dirumuskan perbuatan yang dilarang
hanya akibat yang dirumuskan. Hal ini berarti setiap perbuatan apapun yang dapat
mengakibatkan matinya orang lain, seperti mencekik, menikam,
menembak, meracuni dan memukul asal perbuatan itu dilakukan secara
sengaja adalah pembunuhan.

Unsur-unsur dari pembunuhan sengaja umumnya sebagai berikut:


1. Korban yang dibunuh adalah manusia yanng masih hidup
2. Kematian yang terjadi adalah hasil dari perbuatan pelaku
3. Pelaku tersebut menghendaki terjadinya kematian

B. Pembunhan berencana10,11,12
Pembunuhan ini hampir sama dengan pembunuhan sengaja hanya
terdapat perbedaannya jika pembunuhan sengaja dilakukan seketika pada
waktu timbul niat, sedangkan pada pembunuhan ini pelaksanaan
ditangguhkan setelah niat itu timbul untuk mengatur rencana dan cara
bagaimana pembunuhan itu dilaksanakan.
Jarak waktu antara niat untuk membunuh dan pelaksanaan
pembunuhan masih demikian luang sehingga pelaku dapat berpikir,
apakah pembunuhan ini diteruskan atau dibatalkan, atau pula
merencanakan dengan cara bagaimana ia melakukan pembunuhan itu.
Pembunuhan ini sesuai dengan pasal 340 KUHP yaitu:
“Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu
menghilangkan nyawa orang, karena salah melakukan pembunuhan berencana,
dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara
selama-lamanya dua puluh tahun”

C. Pembunuhan karena kesalahan10,11,12

22
Dalam pembunuhan ini, sama sekali tidak ada unsur kesengajaan
untuk melakukan perbuatan yang dilarang, dan tindak pidana
pembunuhan terjadi karena kurang hati-hati atau kelalaian dari pelaku. Contohnya
seseorang menebang pohon, kemudian pohon tersebut tiba-tiba tumbang dan
menimpa orang yang sedang lewat hingga tewas. Secara umum unsur-unsur
pembunuhan karena kesalahan sebagai berikut:

1. Adanya perbuatan yang mengakibatkan matinya korban.


2. Perbuatan tersebut terjadi karena kesalahan (kelalaian) pelaku.
3. Antara perbuatan kekeliruan dan kematian korban terdapat hubungan sebab
akibat.

Adapun macam-macam pembunuhan utamanya disertai unsur-unsur pembunuhan


sebagai berikut:
A. Pembunuhan Biasa (Pasal 338 KUHP)
1) Unsur subjektif : perbuatan dengan sengaja
2) Unsur objektif : terdapat dua unsur yakni unsur perbuatan dan unsur objek.
Unsur perbuatan yang dimaksudkan adalah menghilangkan nyawa sedangkan
unsur objeknya adalah nyawa orang lain.14,15

B. Pembunuhan dengan pemberatan


Unsur-unsur dari tindak pidana dengan keadaan-keadaan yang dapat
memberatkan dalam rumusan Pasal 339 KUHP itu adalah sebagai
berikut:16
1) Unsur subjektif:
a. Dengan sengaja
b. Dengan maksud
2) Unsur objektif :
a. Menghilangkan nyawa orang lain
b. Diikuti, disertai, dan didahului dengan tindak pidana lain
c. Untuk menyiapkan/memudahkan pelaksanaan dari tindak pidana yang
akan, sedang atau telah dilakukan

23
d. Untuk menjamin tidak dapat dipidananya diri sendiri atau lainnya
(peserta) dalam tindak pidana yang bersangkutan
e. Untuk dapat menjamin tetap dapat dikuasainya benda yang telah
diperoleh secara melawan hukum, dalam ia/mereka kepergok pada waktu
melaksanakan tindak pidana.

C. Pembunuhan berencana
Unsur-unsur pembunuhan berencana adalah sebagai berikut:13
1) Unsur subjektif, yaitu dilakukan dengan sengaja dan direncanakan terlebih
dahulu.
2) Unsur objektif:
a. Perbuatan: menghilangkan nyawa
b. Objek : nyawa orang lain

D. Pembunuhan Bayi oleh Ibunya (kinder-doodslag)


Dalam rumusan Pasal tersebut adalah bahwa perbuatannya si ibu
harus didasarkan atas suatu alasan (motif), yaitu didorong oleh
perasaan takut akan diketahui atas kelahiran anaknya. Unsur-unsur
yang terdapat dalam pembunuhan ini adalah: 14,17
1) Unsur objektif terdiri dari:
a. Petindak : seorang ibu
b. Perbuatan : menghilangkan nyawa
c. Objek : nyawa bayinya
d. Waktu : pada saat bayi dilahirkan atau tidak lama setelah bayi dilahirkan
2) Unsur subjektif dilakukan dengan sengaja
Pelakunya haruslah seorang ibu, yang artinya ibu kandung dari bayi
(korban) tersebut. Dengan demikian terdapat hubungan antara ibu dan anak.
Motifnya karena takut diketahui melahirkan bayi, kejahatan ini pada dasarnya
dilatar belakangi oleh bayi yang dilahirkan dari hasil hubungan kelamin di
luar perkawinan sah. Karena tidak ada alasan yang cukup untuk takut
melahirkan bayi, apabila bayi dilahirkannya itu diperoleh dari perkawinan
yang sah.12,14
Mengenai waktu atau saat pelaksanaan pembunuhan bayi itu,
adalah pada saat bayi dilahirkan atau tidak lama setelah bayi dilahirkan. 12,14

24
Adapun yang dimaksud pada saat dilahirkan, yakni
saat atau waktu selama proses persalinan itu berlangsung. Berarti
betul-betul bayi tersebut dibunuh sudah dalam proses kelahirannya,
dan bukan sebelumnya dan bukan pula setelahnya. Kalau
pembunuhan itu dilakukan sebelum proses kelahiran, maka yang
terjadi adalah pembunuhan Pasal 346, tetapi kalau tidak lama
setelah dilahirkan masih masuk dalam Pasal 341 (dalam waktu
yang disebutkan kedua), dan bila dilakukan setelah lama dilahirkan
maka masuk ke dalam pembunuhan biasa Pasal 338.4,6

D. Pembunuhan Bayi Oleh Ibunya Secara Berencana (kinder-moord)


Pembunuhan bayi berencana tersebut mempunyai unsur-unsur sebagai
berikut:
1) Petindak : seorang ibu
2) Adanya putusan kehendak yang telah diambil sebelumnya
3) Perbuatan : menghilangkan nyawa
4) Objek : nyawa bayinya sendiri
5) Waktu :
a. pada saat bayi dilahirkan
b. tidak lama setelah bayi dilahirkan
6) Karena takut akan diketahui melahirkan bayi
7) Dengan sengaja
Unsur telah direncanakan lebih dahulu, artinya sebelum melahirkan bayi
tersebut, telah dipikirkan dan telah ditentukan cara-cara melakukan pembunuhan
itu dan mempersiapkan alat-alatnya. Tetapi pembunuhan bayi yang baru
dilahirkan, tidak memerlukan peralatan khusus sehingga sangat rumit untuk
membedakannya dengan Pasal 341 KUHP khususnya dalam pembuktian karena
keputusan yang ditentukan hanya si ibu tersebut yang mengetahuinya dan baru
dapat dibuktikan jika si ibu tersebut telah mempersiapkan alat-alatnya.

25
E. Pembunuhan atas permintaan sendiri
Unsur khususnya, yaitu permintaan yang tegas dan sungguh/nyata, artinya jika
orang yang minta dibunuh itu permintaannya tidak secara tegas dan nyata, tapi
hanya atas persetujuan saja, maka dalam hal ini tidak ada pelanggaran atas Pasal
344, karena belum memenuhi perumusan dari Pasal 344, akan tetapi memenuhi
perumusan Pasal 338 (pembunuhan biasa).

F. Penganjuran agar bunuh diri


Unsur “jika pembunuhan diri terjadi” merupakan “bijkomende voor-waarde
van strafbaarheid”, yaitu syarat tambahan yang harus dipenuhi agar perbuatan
yang terlarang/dilarang tadi dapat dipidana.

G. Pengguguran kandungan
Pengguguran dan pembunuhan kandungan sebagaimana yang dimaksud dalam
pasal 346 KUHP dilakukan oleh seorang perempuan, terhadap kandungannya
sendiri. Tidak disyaratkan bahwa kandungan tersebut sudah berwujud sebagai
bayi sempurna dan belum ada proses kelahiran maupun kelahiran bayi,
sebagaimana pada pasal 341 dan 342 KUHP. Berlainan dengan kejahatan dalam
pasal 341 dan 342 KUHP, karena kandungan sudah berwujud sebagai bayi
lengkap, bahkan perbuatan yang dilakukan dalam kejahatan itu adalah pada waktu
bayi sedang dilahirkan atau tidak lama setelah dilahirkan maka dikatakan bahwa
pelakunya haruslah ibunya.

b.2.3. Jenis-Jenis Mutilasi


Terdapat berbagai jenis mutilasi, akan tetapi yang termasuk dalam tindak pidana
mutilasi terbagi menjadi dua bagian yaitu:13
A. Mutilasi defensif

26
Mutilasi ini disebut juga sebagai pemotongan atau pemisahan anggota badan
dengan tujuan untuk menghilangkan jejak setelah pembunuhan terjadi. Adapun
motif rasional dari pelaku adalah untuk menghilangkan tubuh korban sebagai
barang bukti atau untuk menghalangi identifikasi korban.
B. Mutilasi ofensif
Jenis mutilasi ini merupakan suatu tindakan irasional yang dilakukan dalam
bentuk mengamuk. Mutilasi kadang dilakukan sebelum membunuh korban.

Modus operasi kejahatan mutilasi umumnya tidak lahir dari pemikiran sendiri,
akan tetapi dapat dipengaruhi oleh beberapa hal:
A. Imitasi
Imitasi merupakan salah satu bentuk belajar meniru perilaku orang lain.
Manusia mengimitasi hampir semua hal yang sanggup ditiru, termasuk kejahatan.
Pelaku kejahatan mutilasi umumnya bercermin dari peristiwa criminal
sebelumnya kemudian mempertimbangkan cara-cara yang berlangsung
didalamnya untuk diterapkan.
B. Peranan Media
Media massa memiliki peranan penting dalam penyebarluasan informasi.
Pemberitaan terutama tentang kasus kejahatan seringkali membeberkan detail-
detail pelaksanaannya akan melahirkan proses imitasi untuk kejahatan sejenis.
Dengan demikian, dapat terjadi transmisi modus operasi kejahatan. Walaupun
terkadang pemberitaan peristiwa kejahatan sengaja didramatisasi atau berlebihan
karena persaingan antara media massa.

C. Motif
Mutilasi pada dasarnya dapat didasari oleh berbagai motif antara lain untuk
menghilangkan jejak, memudahkan korban dibawa atau dipindahkan, dipengaruhi
kondisi emosional pelaku, gangguan kejiwaan berupa psikopat atau sadism atau
bahkan mutilasi merupakan ritual untuk meningkatkan keandalan ilmu hitam yang
dipelajari. Selain itu, mutilasi terkadang dapat dipengaruhi tekanan ekonomi atau
ekspresi frustasi akut.

27
b.2.4. Sanksi Tindak Pidana Pembunuhan dengan cara mutilasi berdasarkan
KUHP
Dalam hal ini ruang lingkup atau batasan-batasan mutilasi adalah
menghilangkan atau memotong anggota tubuh dan perbuatan mutilasi itu sendiri
dibedakan menjadi dua, yaitu pemotongan terhadap korban orang yang sudah mati,
dan pemotongan terhadap korban orang yang masih hidup.
Mutilasi dengan korban orang yang masih hidup dikategorikan dalam
penganiayaan berat berencana, jika penganiayaan tersebut menyebabkan hilangnya
nyawa orang lain, maka dalam menjatuhkan hukuman dilihat dari fakta-fakta yang
terjadi di lapangan. Jika penganiayaan tidak menyebabkan kematian seseorang, maka
dijatuhi hukuman seperti tertuang dalam Pasal 355 “Penganiayaan berat yang
dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling
lama dua belas tahun”
Jika penganiayaan tersebut menyebabkan matinya seseorang, maka sanksinya
dilihat dari perbuatan pelaku. Tujuan pelaku tersebut memang untuk melakukan
pembunuhan atau hanya penganiayaan yang menyebabkan kematian. Kalau pelaku
memang tujuan awalnya adalah penganiayaan untuk menyebabkan kematian, maka
Pasal yang digunakan untuk menyelesaikan perkara tersebut adalah Pasal 340, yaitu
pembunuhan berencana (moord)“barang siapa dan rencana lebih dahulu merampas
nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana (moord) dengan
pidana mati atau pidana seumur hidup, atau selama waktu tertentu paling lama dua
puluh tahun”. Dalam pasal ini dijelaskan bahwa sanksi yang dijatuhkan dalam
kasus pembunuhan berencana ada tiga macam, diantaranya adalah mati, seumur
hidup, dan penjara paling lama dua puluh tahun. Hal ini dikarenakan bahwa hukum
yang paling berat adalah mati kemudian seumur hidup. Sedangkan hukuman penjara
di Indonesia yang paling berat adalah dua puluh tahun.
Hukum pidana terdapat dua unsur pokok, yaitu: 1) adanya suatu norma, yaitu
suatu larangan atau suruhan (kaidah) 2) adanya sanksi atas pelanggaran norma itu

28
berupa ancaman dengan hukuman pidana. Dari rumusan Pasal 340 tersebut
mengandung unsur-unsur yang terdiri dari:
1) Unsur Subjektif
a. Dengan Sengaja
Unsur kesalahan dalam pembunuhan dirumuskan sebagai “dengan
sengaja”(opzetilijk), menunjuk pada hal bahwa pada kejahatan ini harus ada
hubungan antara batin petindak (sikap batin) baik dengan wujud perbuatan
maupun akibatnya.
Apakah yang dimaksud dengan kesengajaan? Dalam Mvt (Memorie van
Toelichting) terdapat keterangan yang menyatakan bahwa “pidana pada
umumnya hendaknya dijatuhkan hanya pada barangsiapa melakukan perbuatan
yang dilarang dengan dikehendaki dan diketahui”. Kesengajaan adalah apa yang
diketahui atau dapat dibayangkan petindak sebelum ia mewujudkan perbuatan
sebagaimana yang dirumuskan dalam tindak pidana. Orang berbuat untuk
mencapai apa yang ia kehendaki, adalah berarti ia berbuat terhadap apa yang
diketahui, yang diinginkan, dimaksudkan, yang merupakan arah dari golongan
untuk berbuat dan mengetahui akibat yang akan ditimbulkan dari perbuatannya
tersebut.
b. Dengan Rencana Terlebih Dahulu
Mr. MH. Tirtaatmadja mengutarakan,”direncanakan lebih dahulu” antara lain
sebagai berikut “Bahwa ada jangka waktu, bagaimana pendeknya untuk
mempertimbangkan, untuk berpikir dengan tenang”. Dalam tenggang waktu itu
masih tampak adanya antara pengambilan putusan kehendak dengan pelaksanaan
pembunhan. Sebagai adanya hubungan itu, dapat dilihat bahwa dalam waktu itu:
1) Dia masih sempat untuk menarik kehendaknya untuk membunuh
2) Bila kehendaknya sudah bulat, ada waktu yang cukup untuk memikirkan,
misalnya bagaimana cara dan dengan alat apa melaksanakannya,
bagaimana cara untuk menghilangkan jejak, untuk menghindari dari
tanggungjawab, punya kesempatan untuk memikirkan rekayasa. Dengan

29
demikian, hal ini dapat dikatakan bahwa mengenai unsur perencanaan,
tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai jangka waktu antara
timbulnya maksud untuk melakukan perbuatan dengan saat dilakasanakan
perbuatan. Yang penting adalah suatu jangka waktu dimana pelaku dapat
merencanakan dengan pikiran yang tenang mengenai perbuatan yang akan
dilakukannya.
2) Unsur Objektif
a. Perbuatan : Menghilangkan nyawa
b. Objek : Nyawa orang lain
Mengenai kapan seseorang dikatakan telah mati, ada ketentuan yang
menyatakan bahwa saat mati dihitung sejak saat semua bagian otak sudah tidak
lagi memberikan reaksi terhadap rangsangan dari luar. Selain itu, harus dapat
dibuktikan bahwa kematian itu secara yuridis ada hubungan kausal dengan
perbuatan itu. Dengan kata lain, karena perbuatan itu maka timbullah kematian.

2.3 Hubungan DVI terhadap kasus pembunuhan mutilasi


Di era globalisasi ini, tingkat kejahatan dan kriminalitas semakin meningkat
mengikuti pertumbuhan ekonomi dan industri yang cukup berkembang. Hal tersebut
bisa dilihat di media cetak maupun elektronik yang memberitakan mengenai
maraknya kejahatan yang terjadi di Tanah Air, mulai dari tindak pidana kekerasan,
penipuan, pemerkosaan hingga pembunuhan, sebagai suatu kenyataan sosial.
Pengertian perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum

30
yang mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa
melanggar larangan tersebut.
Seperti kejadian yang baru terjadi di Jepang pada bulan oktober lalu. Dimana
telah terjadi kasus pembunuhan dengan cara mutilasi. Uniknya, tersangka yang
melakukan pembunuhan, sebelumnya telah membuat sebuah status di twitter, yang
mengatakan ingin membantu siapa saja yang ingin bunuh diri. Hasilnya ada beberapa
orang yang tertarik, dan tersangka kemudian menghubungi para korbannya melalui
pesan rahasia twitter. Akan tetapi, setelah ditelusuri para korban tidaklah benar-benar
ingin untuk mengakhiri hidupnya, yang mereka inginkan hanyalah untuk berbicara
mengenai permasalahannya, bukan kematian. Dari status yang dibuat di twitter
tersebut, ada 10 orang yang tertarik untuk bekerja sama dengan tersangka. Akan
tetapi, ada satu orang yang melarikan diri, setelah mengetahui bagaimana tersangka
memperlakukan korbannya.
Tersangka diduga menggantung korban setelah memberi mereka pil tidur dan
alkohol atau mencekiknya sampai mereka pingsan, setelah itu tersangka langsung
memutilasi korbannya. Potongan tubuh korban sebagian dibuang di tong sampah
besar dekat rumahnya, sebagian lagi di kulkas, dan beberapa potongan lainnya di
halaman perkarangan rumah dengan menutupnya dengan pasir yang dicampur dengan
kotoran kucing. Polisi Jepang menduga dia akan terus melakukan kejahatannya
apabila tidak ditangkap.

Kasus pembunuhan mutilasi di Indonesia bukanlah hal yang baru. Banyak


kasus besar yang harus melibatkan banyak pihak untuk memecahkan kasus
pembunuhan dengan cara mutilasi. Kasus pembunuhan mutilasi di jepang merupakan
motif pembunuhan yang mungkin masih baru terjadi, yang memanfaatkan media
sosial sebagai sarana untuk melakukan aksi kejahatan. Pada kasus pembunuhan
mutilasi di jepang, banyak potongan tubuh yang mulai membusuk, yang sulit
diidentifikasi. Sehingga untuk mengetahui bahwa potongan tubuh tersebut merupakan

31
potongan tubuh milik korban yang diduga telah dibunuh oleh tersangka, maka
kepolisian jepang melakukan identifikasi DNA.
Identifikasi DNA sangat berkaitan dengan DVI. Karena salah satu indikator
identifikasi korban yang dilakukan oleh tim DVI adalah dengan menggunakan
identifikasi DNA korban yang akan dicocokkan dengan data ante mortem dan post
mortem korban. Kasus pembunuhan mutilasi merupakan salah satu kejadian yang
digolongkan dengan Man Made Disaster, sehingga dalam hal identifikasi sangat
memerlukan tim DVI.
Pembunuhan mutilasi sangat memerlukan tim DVI dikarenakan, pertama
kebanyakan kasus pembunuhan mutilasi memakan korban yang tidak sedikit, sehingga
memerlukan identifikasi yang lebih kompleks. Kedua, banyak kasus pembunuhan
mutilasi yang potongan tubuhnya sudah mengalami pembusukan sehingga sulit untuk
mengatahui potongan tubuh ini milik korban pembunuhan yang mana. Ketiga, biasanya
kasus pembunuhan mutilasi mengubur semua korban dan potongan tubuhnya secara
bersamaan dengan korban yang lainnya, atau potongan tubuh yang lainnya dikubur
secara terpisah, sehingga sulit mengidentifikasi apakah ini potongan tubuh yang dimiliki
oleh korban tersebut atau bukan. Keempat, identifikasi yang dilakukan oleh tim DVI juga
dapat menentukan jumlah korban yang dibunuh. Sehingga pembunuhan mutilasi sangat
erat kaitannya dengan identifikasi yang dilakukan oleh tim DVI.

Identifikasi pada korban mati dapat dilakukan terhadap jenazah yang masih utuh dan
baru, jenazah yang sudah membusuk, utuh maupun tidak utuh dan bagian-bagian dari
tubuh jenazah atau kerangka. Pemeriksaan pada identifikasi jenazah meliputi:
1. Umum
a. Kerangka manusia atau bukan;
b. Penentuan jumlah korban;
c. Penentuan jenis kelamin;
d. Perkiraan tinggi badan;
e. Perkiraan umur;
f. Penentuan ras;
2. Khusus
a. Pemeriksaan sidik jari;
b. Pemeriksaan golongan darah;

32
c. Tanda-tanda pekerjaan/kebiasaan;
d. Gigi-geligi;
e. Warna kulit, mata, dan rambut;
f. Cacat, kelainan bawaan;
g. Tato;
h. Kelainan patologis/parut;
i. Pemeriksaan DNA;

Dalam identifikasi DNA terdapat istilah yang dinamakan polimorfisme, yaitu istilah
yang menunjukkan adanya suatu bentuk berbeda-beda dari suatu struktir dasar yang
sama, sehingga sifat polimorfik ini bisa digunakan untuk membedakan satu orang dari
yang lainnya. Adapun proses pemeriksaan DNA yang harus dilewati adalah:
1. Pengambilan Sampel. Pengambilan sampel merupakan suatu rangkaian dengan
penanganan sampel. Karena tes DNA bukan tes rutin sehingga perlu pengiriman ke
laboratorium khusus. Sehingga penting sekali untuk lab/center kecil mempunyai
fasilitas dalam penanganan sampel, misalnya penyimpanan DNA. Semua sampel
harus diberi label yang jelas berdasarkan sumber asalnya, jenis jaringan, dan tanggal
dikumpulkan.
2. Dekalsifikasi pada jaringan tulang dan gigi.
3. Isolasi/ekstraksi.
4. Pemurnian (purifikasi).
5. Polymerase Chain Reaction (PCR) Method. PCR merupakan suatu metode untuk
memperbanyak fragmen DNA tertentu secara in vitro dengan mengunakan enzim
polimerase DNA. Dengan mulai ditemukannya metode PCR, di mana kemampuan
PCR ini untuk memperbanyak DNA jutaan sampai milyaran kali, memungkinkan
dianalisisnya sampel forensic yang jumlahnya amat minim, seperti analisis bercak
mani, kerokan kuku dan lain-lain. Kelebihan lain dari pemeriksaan dengan PCR
adalah kemampuannya untuk menganalisis bahan yang sudah terdegradasi sebagian.
Hal ini penting karena banyak dari sampel forensik merupakan sampel post mortem
yang tidak segar.
6. Elektroforese ada dua tahap yakni loading DNA sampel dan running the gel.
7. Staning (pengecatan). Pengecatan yang sering digunakan adalah silver staining oleh
karena relatif cepat, murah, dan sederhana.

33
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan diatas dalam disimpulkan bahwa:
a. Disaster Victim Identification (DVI) merupakan prosedur yang telah ditentukan
untuk mengidentifikasi korban dalam sebuah insiden atau bencana yang sah yang
dapat dipertanggung-jawabkan kepada masyarakat serta merupakan bagian dari
investigasi, rekonstruksi tentang sebab bencana. Dasar Hukum Disaster Victim
Identification (DVI) yaitu dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta
pendapat seorang ahli atau orang memilik keahlian khusus (pasal 120 ayat 1
KUHAP) dan dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang
korban baik luka, keracunan atau mati yang diduga karena peristiwa pidana, ia
berhak mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran
kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya (pasal 133 ayat 1 KUHAP).
b. Struktur organisasi DVI di Negara Indonesia dibagi menjadi 3 tingkatan yakni:
tingkat nasional, tingkat regional, dan tingkat provinsi sedangkan untuk
manajemen struktur DVI dibedakan menjadi pemimpin DVI, koordinator fase dan

34
koodinator spesialis DVI. Prinsip dari proses identifikasi adalah mudah yaitu
dengan membandingkan data‐data korban (data postmortem) dengan data dari
keluarga (data antemortem), semakin banyak kecocokan akan semakin baik.
Metode identifikasi yang dipakai yaitu: metode identifikasi primer (sidik jari,
catatan gigi dan DNA) & metode identifikasi sekunder (temuan medis &
properti). Tatalaksana DVI terdiri atas penanganan di tempat kejadian perkara
(TKP), tatalaksana DVI post mortem, tatalaksana DVI ante mortem, fase
rekonsiliasi dan fase debriefing. Perawatan dan penyerahan jenazah jika korban
teridentifikasi dilakukan perbaikan atau rekonstruksi jenazah, pengawetan, dan
penyerahan ke keluarga untuk makamkan; jika korban tidak teridentifikasi
dilakukan atas dasar kesepakatan beberapa pihak yang selanjutnya korban
dimakamkan secara massal.
c. Pembunuhan secara terminologi berarti perkara membunuh atau perbuatan
membunuh dengan cara yang melanggar hukum maupun tidak. Sedangkan dalam
istilah KUHP pembunuhan adalah kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain.
Berdasarkan ilmu krimologi, mutilasi merupakan terpisahnya anggota tubuh yang
satu dari anggota tubuh yang lain oleh sebab yang tidak wajar. Macam-macam
pembunuhan terdiri dari pembunuhan sengaja, pembunuhan berencana dan
pembunuhan karena kesalahan. Sedangkan jenis-jenis mutilasi terbagi menjadi
mutilasi defensif dan ofensif.
d. Dasar hukum pembunuhan dengan mutilasi yaitu termasuk dalam pasal 340
KUHP menyatakan: “Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu
merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan rencana
(moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama
waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”. Adapun unsur delik doodslag yang
terdapat dalam pasal 338 adalah menimbulkan matinya orang lain dengan sengaja.
Pasal 338 bersifat Meterieel Delict, karena itu tidak dirumuskan perbuatan yang
dilarang hanya akibat yang dirumuskan. Hal ini berarti setiap perbuatan apapun

35
yang dapat mengakibatkan matinya orang lain, seperti mencekik, menikam,
menembak, meracuni dan memukul asal perbuatan itu dilakukan secara sengaja
adalah pembunuhan.
e. Pembunuhan mutilasi sangat memerlukan tim DVI dikarenakan, pertama
kebanyakan kasus pembunuhan mutilasi memakan korban yang tidak sedikit,
sehingga memerlukan identifikasi yang lebih kompleks. Kedua, banyak kasus
pembunuhan mutilasi yang potongan tubuhnya sudah mengalami pembusukan
sehingga sulit untuk mengatahui potongan tubuh ini milik korban pembunuhan
yang mana. Ketiga, biasanya kasus pembunuhan mutilasi mengubur semua
korban dan potongan tubuhnya secara bersamaan dengan korban yang lainnya,
atau potongan tubuh yang lainnya dikubur secara terpisah, sehingga sulit
mengidentifikasi apakah ini potongan tubuh yang dimiliki oleh korban tersebut
atau bukan. Keempat, identifikasi yang dilakukan oleh tim DVI juga dapat
menentukan jumlah korban yang dibunuh. Sehingga pembunuhan mutilasi sangat
erat kaitannya dengan identifikasi yang dilakukan oleh tim DVI.

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Singh S. Peran DVI dalam identifikasi missal dan perawatan jenazah [Internet].
2008 [cited on 2017 November]. Available
from:http://www.academia.edu/download/35484786/PERAWATAN_JENAZAH.p
df
2. Permata RS. Gambaran identifikasi korban missal open disaster dan close
disaster di tim DVI (Disaster Victim Identification) Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta denganmenggunakan data gigi (odontogram) [Internet]. 2010 [cited
on 2017 November]. Available from:http://thesis.umy.ac.id/datapulik/t23605.pdf
3. BadanPusatStatistik. Data KriminalitasPembunuhan di Indonesia [Internet]. 2010
[cited on 2017 November]. Available
from:http://www.bappenas.go.id/files/data.pdf
4. Kusuma SE, Yudianto A . Disaster victim identification. Dalam: Hoediyanto,
Hariadi A. Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal edisi
kedelapan. Surabaya: Fakultas Kedokteran Airlangga; 2012.h.355-87.
5. Aflanie I, Nirmalasari N, Hendy AM. Ilmu kedokteran forensic dan medikolegal.
Jakarta: Rajawali Pers, 2017.
6. Franklin CA. Modi’s text book of medical jurisprudenc and toxicology. Bombay:
NM Tripathi Private Limited;1988.
7. Bernard K. Forensic pathology. New York: Oxford University Press Inc; 1996.

37
8. International Criminal Police Organization (INTERPOL). Disaster victim
identification guide; 2009.
9. Shkrum MJ, Ramsay DA. Post mortem changes. In: Forensic Pathology of
Trauma. New Jersey : Humana Press; 2007.
10. Poerwadarminta WJS. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka;1982.
11. Pembunuhan [internet]. 2017 [cited on 2017 Nov 18]. Available from:
https://id.wikipedia.org/wiki/Pembunuhan
12. Suhartono A. Tindak pidana pembunuhan dengan cara mutilasi menurut KUHP
dan hukum pidana islam: studi terhadap putusan pengadilan militer III-12
Surabaya Nomor: 220-K/PM.III-12/AD/XI/2010. Thesis. UIN Sunan
Ampel;2015.
13. Fauzi A, Maulida F, Imanuel W, Anggrita S, Theodorus Y. Enneria G. Mutilasi .
Semarang; Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro; 2013.
14. Chazawi A. Kehatan terhadap tubuh dan nyawa. Jakarta; PT. Raja Grafindo
Persada: 2013.
15. Lamintang PAF. Delik-Delik Khusus. Jakarta; Aulia: 2013. Hal. 30-7
16. Bassar MS.Tindak-tindak pidana tertentu di dalam KUHP. Edisi 2. Bandung;
Remaja Rosdakarya: 1982.
17. Ali C. Responsi hukum pidana: penyertaan dan gabungan tindak pindana.
Bandung; Armico: 1985.

38

Anda mungkin juga menyukai