Anda di halaman 1dari 26

MODUL 21: KEDOKTERAN KEHAKIMAN

SKENARIO 3
(KLINIK ABORSI)

Disusun oleh

ELVINA DIANITHA
(71180811061)
SEMESTER VI
SGD 14

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITA ISLAM SUMATERA UTARA
TA 2020/2021
Lembar Penilaian Makalah

NO Bagian yang Dinilai Skor Nilai

1 Ada Makalah 60

2 Kesesuaian dengan LO 0 - 10

3 Tata Cara Penulisan 0 - 10

4 Pembahasan Materi 0 – 10

5 Cover dan Penjilidan 0 – 10

TOT AL

NB : LO = Learning Objective Medan, 22 Agustus 2021

Dinilai Oleh :

Tutor

(dr. Aditiya Yuda P.A.S, M. Ked


(ORL-HNS) Sp. THT-KL)
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita ucapkan atas kehadiran Tuhan Yang Maha Esa karena
atas rahmat dan karunia – Nya saya dapat menyelesaikan makalah dari pelaksanaan
SGD (Small Group Discussion) kami. Makalah ini disusun berdasarkan
pengalaman dan pengamatan saya selama melakukan kegiatan berdasarkan
paradigma pembelajaran yang baru. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas saya
dalam bidang studi kedokteran yang menggunakan metode PBL (Problem Based
Learning). Makalah ini diharapkan dapat sebagai bahan acuan untuk mencapai
penggunaan metode baru tersebut secara berkelanjutan. Saya berusaha menyajikan
bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti oleh semua kalangan untuk
mempermudah dalam penyampaian informasi metode pembelajaran ini.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak dr. Aditiya Yuda P.A.S,
M. Ked (ORL-HNS) Sp. THT-KL selaku Dosen tutorial SGD 14 Fakultas
Kedokteran UISU yang telah membimbing kami selama proses pembelajaran dan
SGD pada modul 21 Kedokteran Kehakiman. Saya menyadari bahwa makalah ini
jauh dari kata sempurna, oleh karena itu saya menerima kritik dan saran yang positif
dan membangun dari para pembaca untuk memperbaiki kekurangan dari makalah
ini. Semoga makalah ini dapat memberi manfaat pada kita semua.

Medan, 22 Agustus 2021


Penulis

Elvina Dianitha
(71180811061)

i
DAFTAR ISI

KATA
PENGANTAR………………………………………………………………. i
DAFTAR ISI …………………….…………………………………………. ii
SKENARIO ………………………………………………………………… iv

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah…………..……………………………………... 1
1.2 Rumusan Masalah……………...………………………………………… 2
1.3 Tujuan ..……..………………………………………………………….... 2

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Aspek Medikolegal pada Kasus Perkosaan
2.1.1 Definisi …………………………………………………………… 3
2.1.2 Ketentuan Hukum ………………………………………………… 3
2.1.3 Pemeriksaan pada Korban ………………………………………… 5
2.2 Aspek Medikolegal pada Kasus Infanticide
2.2.1 Definisi …………………………………………………………… 6
2.2.2 Ketentuan Hukum ………………………………………………… 6
2.2.3 Pemeriksaan pada Korban ………………………………………… 7
2.3 Aspek Medikolegal pada Kasus KDRT ………………………………….. 9
2.4 Aspek Medikolegal pada Kasus Kekerasan pada Anak
2.4.1 Definisi ……………………………………………………………. 9
2.4.2 Ketentuan Hukum ………………………………………………… 11
2.4.3 Pemeriksaan pada Korban ………………………………………… 12
2.5 Aspek Medikolegal pada Kasus Abortus
2.5.1 Definisi ……………………………………………………………. 12
2.5.2 Indikasi dilakukan Abortus ……………………………………….. 14
2.5.3 Jenis – jenis Abortus ………………………………………………. 15

ii
2.5.4 Cara Pengguguran ………………………………………………... 15
2.5.5 Pemeriksaan Korban Hidup ……………………………………… 17
2.5.6 Pemeriksaan Korban Mati ……………………………………….. 17
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan ……………………….…..………………………………… 19
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….. 20

iii
SKENARIO 3
Klinik Aborsi
(Level Kompetensi 3A)

Polisi melakukan penggrebekan terhadap sebuah klinik swasta yang
diduga melakukan tindakan abortus provokatus kriminalis. Wanita yang ada di
klinik tersebut pada saat dimintai keterangan mengaku sebagai korban
pemerkosaan. Ia juga mengatakan tidak ingin merawat anak tersebut dan
kalaupun dilahirkan ingin membunuh bayi tersebut sehingga polisi langsung
mengamankannya ke komando.
Saat dilakukan pemeriksaan wanita tersebut mengaku kalau dia dianiaya
oleh suaminya yang ditandai dengan adanya contusion wound pada daerah
wajah sebelah kiri. Dijumpai juga abrasion wound pada daerah lengan bagian
bawah kiri dan kanan.

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Tujuan hukum berhubungan dengan kesejahteraan dan keadilan manusia.
Hukum mengartur interaksi antar manusia agar tidak terjadi kekacauan (chaos).
Bagi negara Indonesia dalam pembinaan dan pembentukan hukumnya harus
berdasarkan dengan rambu-rambu Pancasila dan Undang – Undang Dasar 1945,
dalam rangka menggantikan hukum warisan kolonial yang tidak sesuai dengan
tata hukum nasional.4 Ilmu Kedokteran Kehakiman merupakan cabang dari
ilmu kedokteran yang mempelajari penerapan ilmu kedokteran dalam
penegakan keadilan.2
Kekerasan seksual adalah kejahatan yang umum atau universal. Kejahatan
ini dapat terjadi di berbagai negara, pada tiap tingkatan masyarakat, tidak
memandang usia, suku, maupun jenis kelamin. Menurut Komisi Nasional Anti
Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Indonesia sejak tahun
1998 sampai dengan 2011 tercatat 93.960 kasus kekerasan seksual terhadap
perempuan di seluruh Indonesia. Dengan rata – rata ada 20 perempuan yang
menjadi korban kekerasan seksual tiap harinya. Hal yang lebih mengejutkan
adalah lebih dari 3/4 dari jumlah kasus tersebut (70,11%) dilakukan oleh orang
yang dekat dan masih memiliki hubungan dengan korban.3
Angka kejadian kekerasan seksual layaknya fenomena gunung es,
maksudnya adalah jumlah kasus yang dilaporkan jauh lebih sedikit daripada
jumlah kejadian sebenarnya di masyarakat. Banyak korban yang tidak bersedia
melapor, penyebabnya dapat berbagai macam misalnya malu, takut disalahkan,
mengalami trauma psikis, atau karena tidak tahu harus melaporkan kasusnya ke
mana. Namun seiring dengan meningkatnya kesadaran hukum di Indonesia,
jumlah kasus kekerasan seksual yang dilaporkan pun mengalami peningkatan.
Pelaporan tentu adalah merupakan langkah awal dari rangkaian prosedur
dalam mengungkapkan kasus kekerasan seksual. Salah satu komponen penting
dalam proses pengungkapan kasus kekerasan seksual adalah visum et repertum

1
(VeR) yang dapat memperjelas perkara dengan pemaparan dan interpretasi
bukti – bukti fisik akibat kekerasan seksual.
Sebagai pihak yang dianggap ahli mengenai tubuh manusia, yaitu dokter
tentunya memiliki peranan yang besar dalam pembuatan visum et repertum dan
membuat jelas suatu perkara kepada aparat penegak hukum. Oleh karena itu,
hendaknya setiap dokter di seluruh daerah, baik di kota besar maupun di daerah
terpencil, yang berpraktik di rumah sakit maupun di tempat praktik pribadi
wajib memiliki pengetahuan dan keterampilan yang mampu dalam melakukan
pemeriksaan dan penatalaksanaan korban kekerasan seksual. 3

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana aspek medikolegal untuk kasus perkosaan ?


2. Apa saja pemeriksaan medikolegal untuk kasus infanticide ?
3. Apa saja pemeriksaan medikolegal untuk kasus KDRT (kekerasan dalam
rumah tangga) ?
4. Apa saja pemeriksaan medikolegal untuk kasus kekerasan pada anak ?
5. Bagaimana aspek medikolegal untuk kasus abortus ?

1.3 Tujuan

1. Mahasiswa mampu mengetahui tentang aspek medikolegal untuk kasus


perkosaan.
2. Mahasiswa mampu mengetahui tentang pemeriksaan medikolegal untuk
kasus infanticide.
3. Mahasiswa mampu mengetahui tentang pemeriksaan medikolegal untuk
kasus KDRT (kekerasan dalam rumah tangga).
4. Mahasiswa mampu mengetahui tentang pemeriksaan medicolegal untuk
kasus kekerasan pada anak.
5. Mahasiswa mampu mengetahui tentang aspek mediolegal untuk kasus
abortus.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Aspek Medikolegal Kasus Perkosaan


2.1.1 Definisi
Kejahatan seksual (sexual offences) merupakan salah satu bentuk
kejahatan yang menyangkut tubuh, kesehatan dan nyawa manusia.
Kejahatan seksual mempunyai kaitan yang erat dengan Ilmu Kedokteran
khususnya Ilmu Kedokteran Forensik, yaitu dalam upaya pembuktian
bahwasanya kejahatan tersebut memang telah terjadi. Adanya kaitan antara
Ilmu Kedokteran dengan kejahatan seksual dapat dipandang sebagai
konsekuensi dari pasal – pasal di dalam Kitab Undang – undang Hukum
Pidana (KUHP) serta Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), yang memuat ancaman hukuman serta tata cara pembuktian pada
setiap kasus yang termasuk di dalam pengertian kasus kejahatan seksual.2
Pengertian perkosaan tidak sama untuk setiap negara atau ahli yang
membahasnya. Ada yang mendefinisikannya sebagai persetubuhan tanpa
seizin perempuan atau di luar kemauan si korban, penulis lain menyebutkan
perkosaan adalah hubungan kelamin yang melanggar hukum, dilakukan
dengan kekerasan, ancaman pada wanita yang tidak menghendaki
persetubuhan tersebut. Di Indonesia, pengertian perkosaan harus disesuaikan
dengan ketentuan hukum yang terdapat dalam KUHP pasal 285, 286 dan
287. Perkosaan adalah istilah hukum bukan istilah medis. Dokter tidak dapat
menggunakan istilah perkosaan dalam visum, karena ia tidak dapat
menentukan apakah persetubuhan dilakukan tanpa persetujuan si perempuan
atau dilakukan secara paksa.1

2.1.2 Ketentuan Hukum


Dokter perlu mengetahui ketentuan hukum yang berkaitan dengan tindak
pidana kekerasan pada manusia, agar memahami bantuan apa saja yang
diperlukan penegak hukum dari dokter.1

3
ü KUHP pasal 285
Barang siapa yang dengan kekerasan atau dengan ancaman
kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh
dengan dia karena perkosaan, dihukum dengan hukuman penjara
selama – lamanya 12 tahun.
Yang diancam hukuman dalam pasal ini adalah dengan kekerasan
atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya
untuk bersetubuh dengan dia. Oleh karena itu, dalam pemeriksaan
kasus perkosaan yang diperlukan dari dokter adalah pembuktian telah
terjadi persetubuhan dan adanya tanda – tanda kekerasan serta jenis
kekerasan.1
ü KUHP pasal 286
Barang siapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya
padahal diketahuinya perempuan itu dalam keadaan pingsan atau tidak
berdaya, dihukum dengan hukuman penjara selama – lamanya
sembian tahun.
Dalam pasal ini dikatakan bahwa persetubuhan yang dilakukan pada
perempuan dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya juga perbuatan
melanggar hukum yang dapat dipidana. Ketentuan hukum ini
mengingatkan para dokter untuk memperhatikan kesadaran korban
pada waktu disetubuhi agar ketentuan hukum ini dapat diterapkan.
Anamnesa kepada korban dapat dipakai sebagai petunjuk untuk
melakukan pemeriksaan ke arah ini.1
ü KUHP pasal 287
1) Barang siapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya
dalam hal diketahuinya atau patut disangkanya bahwa perempuan
itu belum cukup 15 tahun atau tidak terang berapa umurnya bahwa
perempuan itu belum pants buat dikawini dihukum dengan
hukuman penjara selama – lamanya sembilan tahun.
2) Penentuan dilakukan bila ada pengaduan, kecuali perempuan itu
belum sampai 12 tahun jika ada salah satu hal tersebut pada pasal
291 dan pasal 294.

4
Bantuan yang diharapkan dari dokter dalam pasal ini adalah
mengenai umur korban. Bila perempuan tidak mempunyai akte
kelahiran, KTP atau ijazah atau bukti lain yang diperlukan
menunjukkan umurnya belum 15 tahun, maka diperlukan bantuan
dokter untuk menentukan umurnya secara medis.1

2.1.3 Pemeriksaan pada Korban


1. Pola trauma non genitalia
Forensik harus banyak mengetahui tentang pola trauma yang terjadi
karena kekerasan seksual, untuk dapat menanyakan pertanyaan yang
tepat dan lokasi trauma berdasarkan cerita korban. Tempat yang paling
sering mengalami trauma pada korban kekerasan seksual, termasuk:
- Memar pada leher karena cekikan.
- Memar pukulan pada lengan atas.
- Memar karena postur bertahan pada sisi lengan luar juga yang
sering adalah:
• Trauma menyerupai cambuk atau tali pada punggung korban.
• Trauma pukulan atau gigitan pada payudara dan puting susu.
• Trauma pukulan pada abdomen.
• Trauma Pukulan dan tendangan pada paha.
• Memar, lecet, dan laserasi pada wajah.
2. Pola trauma genitalia
Pemeriksaan genetalia akibat – akibat langsung dari kekerasan
seksual yang dialami korban, meliputi:
a. Kulit genital apakah terdapat eritema, iritasi, robekan atau tanda-
tanda kekerasan lainnya.
b. Eritema vestibulum atau jaringan sekitar.
c. Perdarahan dari vagina.
d. Kelainan lain dari vagina yang mungkin disebabkan oleh infeksi
atau penyebab lain.
e. Pemeriksaan hymen meliputi bentuk hymen, elastisitas hymen,
diameter penis. Robekan penis bisa jadi tidak terjadi pada

5
kekerasan seksual penetrasi karena bentuk, elastisitas dan
diameter penis.
f. Untuk yang pernah bersetubuh, dicari robekan baru pada wanita
yang belum melahirkan.
g. Pemeriksaan ada tidaknya ejakulasio dalam vagina dengan
mencari spermatozoa dalam sediaan hapus cairan dalam vagina.

2.2 Aspek Medikolegal Kasus Infanticide


2.2.1 Definisi
Infanticide artinya membunuh infant, anak yang berumur di bawah 12
bulan. Di Inggris dan negara – negara commonwealth, pengertian infanticide
memang pembunuhan anak yang berusia di bawah 12 bulan, sesuai dengan
undang – undang yang dipakai mereka. Hal ini jelas tidak bisa disamakan
dengan pengertian pembunuhan anak di Indonesia. Bila merujuk ke dalam
undang – undang di Indonesia dalam KUHP pasal 341 dan 342 tentang
kejahatan terhadap nyawa orang, batas waktu itu tidak 12 bulan melainkan
“pada saat anak dilahirkan atau tidak berapa lama kemudian”. 1
Batas antara ‘pada saat anak dilahirkan’ dengan ‘tidak berapa lama
kemudian’ sulit diukur dengan waktu dan tidak akan sama pada setiap
perempuan. Dari anak dilahirkan sampai timbul hasrat untuk menghilangkan
atau merampas nyawa anaknya, atau menerima kehadiran anaknya dengan
cara merawatnya tentu tidak sama pada setiap perempuan (ibu). Kejelasan
inilah yang diharapkan penegak hukum dan dokter agar mereka dapat
menyesuaikannya dengan ketentuan hukum yang berlaku. Bila niat untuk
membunuh anak itu datang dan dilkukan juga sesudah merawat anak
tersebut, batas ‘tidak berapa lama kemudian’ sudah dilewati. Artinya
pembunuhan ini digolongkan pembunuhan biasa pada anak. 1

2.2.2 Ketentuan Hukum


Dalam KUHP, pembunuhan anak sendiri termasuk dalam Kejahatan
terhadap nyawa.1

6
ü KUHP pasal 341
Seorang ibu yang karena takut akan ketahuan melhirkan anak pada
saat anak dilahirkan atau tidak berapa lama kemudian, dengan sengaja
merampas nyawa anaknya, diancam karena membunuh anak sendiri
dengan pidana paling lama tujuh tahun.
ü KUHP 342
Seorang ibu yang untuk melaksanakan niat yang ditentukan karena
takut akan ketahuan bahwa ia akan melahirkan anak, pada saat anak
dlahirkan atau tidak lama kemudian merampas nyawa anaknya, diancam
karena melakukan pembunuhan anak sendiri dengan rencana, dengan
pidana paling lama sembilan tahun.
Jadi, dalam ketentuan hukum ini dijelaskan bahwa pembunuhan anak
sendiri dilakukan oleh ‘ibu’ sendiri, tidak mempersoalkan telah kawan atau
belum. Selanjutnya mengenai waktu adalah ketika anak dilahirkan dan tidak
berapa lama kemudian. 1

2.2.3 Pemeriksaan pada Korban


Bila dokter menghadapi kasus yang diduga pembunuhan anak sendiri, maka
ada beberapa pemeriksaan ataukejelasan tertulis (VeR) yang diperlukan
penegak hukum adalah mengenai:
• Umur bayi
Umur bayi harus ditentukan untuk memastikan kasus yang dihadapi
apakah digolongkan abortus, pembunuhan anak sendiri atau
pembunuhan biasa pada anak. Umur bayi yang diperiksa harus
dipastikan dengan berbagai pendekatan seperti panjan bayi, berat
badan bayi, lingkar kepala dan pusat penulangan.1
• Lahir hidup atau lahir mati
Ada 2 keadaan bayi lahir mati yaitu lahir mati karena dalam
kandungan sudah mati (dead born foetus) dan bayi dalam kandungan
masih hidup sewaktu dilahirkan mati (still born), kemungkinan mati
dalam perjalanan kelahiran. Membedakan keduanya dalam autopsi
tidaklah mudah, sebab pada dead born yang masih baru mati dalam

7
kandungan, belum tampak tanda – tanda pembusukan intra uterin
(maceration, aseptic decomposition). Pada bayi lahir mati (still born)
tampak dada datar, sedangkan pada bayi lahir hidup bentuk dada
membulat dan warna kemerahan.1
• Bila lahir hidup, berapa umur bayi
Dari pemeriksaan tai pusat bisa diduga umur bayi, sebab akan terjadi
proses penyembuhan dan pengeringan. Bekuan darah di ujung tali
pusat menunjukkan jam – jam pertama kelahiran. Pada pangkal tali
pusat dalam 36 jam kelahiran terlihat lingkaran merah. Tali pusat
mengering salam 6 – 8 hari dan luka sembuh dalam lebih kurang 2
minggu. Meconium yang berwarna hitam dalam colon akan keluar
dalam 24 – 48 jam, tetapi pada kelahiran sulit, meconium bisa keluar
lebih cepat. 1
• Apakah bayi telah dirawat
Tanda – tanda bayi dudah dirawat dapat terlihat dari tali pusat yang
sudah dipotong atau digunting dan dirawat dengan antiseptic, verniks
kaseosa telah dibersihkan, demikian juga bekas – bekas darah dari
tubuh bayi, apalagi bayi telah diberi pakaian. Didapati susu dalam
lambung menunjukkan tanda positif perawatan. 1
• Apa sebab kematian bayi.
Pada umumnya pembunuhan anak dilakukan dengan cara – cara
yang tidak meninggalkan jejak pembunuhan atau terjadi seakan –
akan kecelakaan. Pembengkapan adalah yang paling sering dan
mudah dilakukan, menjerat leher bayi dengan tali pusat atau bahan
lainnya, mencederai otak dengan menusuk ubun – ubun atau langit –
langit yang masih lembek, menenggelamkan ke kakus, got, ember
dan lain – lain. Kadang bisa juga mencederai kepala bayi, dikubur
hidup – hidup, atau ditelantarkan dengan meletakkan bayi di
sembarangan tempat.1

8
2.3 Aspek Medikolegal Kasus KDRT
Perkembangan dewasa ini menunjukkan bahwa tindak kekerasan secara
fisik, psikis, seksual dan penelantaran rumah tangga pada kenyataannya terjadi,
sehingga dibutuhkan perangkat hukum yang memadai untuk menghapus tindak
kekerasan dalam rumah tangga.3
Di dalam Undang – undang No. 23 tahun 2004 tentang PKDRT di dalam
Bab III mulai dari Pasal 5 sampai dengan Pasal 9 mengatur tentang ”Larangan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga” dan bagi orang – orang atau pelaku tindak
kekerasan dalam rumah tangga akan dikenakan sanksi pidana sebagaimana
diatur dalam Pasal 44 sampai dengan Pasal 50.3
Mengenai bentuk – bentuk kekerasan yang dapat dilakukan dalam rumah
tangga, pengaturan pokoknya terdapat dalam Pasal 5 UU No. 23 Tahun 2004
yang menentukan bahwa ’setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam
rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara:
1) Kekerasan fisik
Luka memar dan lecet merupakan jenis luka yang paling banyak
ditemukan, masing – masing sebesar 79,3% dan 49,4%, sedangkan vulnus
scissum hanya ditemukan pada empat korban dari seluruh korban.
Luka paling banyak ditemukan pada daerah kepala dan leher
(73,8%) dan ekstremitas (62,9%). Lebih dari separuh total korban
mendapatkan lebih dari satu jenis luka (56,1%) serta luka di lebih dari satu
lokasi (57,8%).3

2) Kekerasan psikis
3) Kekerasan seksual
4) Penelantaran rumah tangga

2.4 Aspek Medikolegal Kasus Kekerasan pada Anak


2.4.1 Definisi
Secara umum kekerasan didefinisikan sebagai suatu tindakan yang
dilakukan satu individu terhadap individu lain yang mengakibatkan gangguan
fisik dan atau mental. Anak ialah individu yang belum mencapai usia 18 tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan seperti tertera dalam pasal 1 UU

9
Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Kekerasan pada anak adalah
tindakan yang di lakukan seseorang atau individu pada mereka yang belum
genap berusia 18 tahun yang menyebabkan kondisi fisik dan atau mentalnya
terganggu.3
Menurut WHO (World Health Organization) kekerasan dan penelantaran
pada anak merupakan semua bentuk perlakuan menyakitkan secara fisik
ataupun emosional, penyalahgunaan seksual, penelantaran, eksploitasi
komersial atau eksploitasi lain, yang mengakibatkan cedera atau kerugian nyata
ataupun potensial terhadap kesehatan anak, kelangsungan hidup anak, tumbuh
kembang anak, atau martabat anak, yang dilakukan dalam konteks hubungan
tanggung jawab, kepercayaan atau kekuasaan.3
Banyak teori yang berusaha menerangkan bagaimana kekerasan ini terjadi,
salah satu di antaranya teori yang berhubungan dengan stress dalam keluarga
(family stress). Stres dalam keluarga tersebut bisa berasal dari anak, orang tua,
atau situasi tertentu.3
a. Stres berasal dari anak misalnya anak dengan kondisi fisik, mental, dan
perilaku yang terlihat berbeda dengan anak pada umumnya. Bayi dan usia
balita, serta anak dengan penyakit kronis atau menahun juga merupakan
salah satu penyebab stres.
b. Stres yang berasal dari orang tua misalnya orang tua dengan gangguan
jiwa (psikosis atau neurosa), orang tua sebagai korban kekerasan di masa
lalu, orangtua terlampau perfek dengan harapan pada anak terlampau
tinggi, orang tua yang terbiasa dengan sikap disiplin.
c. Stres berasal dari situasi tertentu misalnya terkena PHK (Pemutusan
Hubungan Kerja) atau pengangguran, pindah lingkungan, dan keluarga
sering bertengkar.

Dengan adanya stres dalam keluarga dan faktor sosial budaya yang
kental dengan ketidaksetaraan dalam hak dan kesempatan, sikap permisif
terhadap hukuman badan sebagai bagian dari mendidik anak, maka para
pelaku makin merasa sah untuk menyiksa anak. Dengan sedikit faktor
pemicu, biasanya berkaitan dengan tangisan tanpa henti dan ketidakpatuhan

10
pada pelaku, terjadilah penganiayaan pada anak yang tidak jarang
membawa malapetaka bagi anak dan keluarganya.3

2.4.2 Ketentuan Hukum

Saat perlakuan salah pada anak terjadi, lantaran perbuatan itu, pelaku
tidak sadar bahkan mungkin tidak tahu bahwa tindakannya itu akan diancam
dengan pidana senjata atau denda yang tidak sedikit, bahkan jika pelaku
ialah orang tuanya sendiri maka hukuman akan ditambah sepertiganya
yakni pada pasal 80 Undang – undang Republik Indonesia No. 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak, sebagai berikut.3

1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman


kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp.
72.000.000.00.
2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka
pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau
denda paling banyak Rp. 100.000.000.00.
3) Dalam hal anak yang dimaksud ayat 2 mati, maka pelaku dipidana
penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak RP.
200.000.000.00
4) Pidana dapat ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2)ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan
tersebut orang tuanya.

Tabel 1. UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

11
2.4.3 Pemeriksaan pada Korban

Perlukaan bisa berupa cedera kepala (head injury), patah tulang


kepala, geger otak, atau perdarahan otak. Perlukaan pada badan, anggota
gerak dan alat kelamin, mulai dari luka lecet, luka robek, perdarahan atau
lebam, luka bakar, patah tulang. Perlukaan organ dalam (visceral injury)
tidak dapat dideteksi dari luar sehingga perlu dilakukan pemeriksaan dalam
dengan melakukan otopsi. Perlukaan pada permukaan badan seringkali
memberikan bentuk yang khas menyerupai benda yang digunakan untuk
itu, seperti bekas cubitan, gigitan, sapu lidi, setrika, atau sundutan rokok.
Karena perlakuan seperti ini biasanya berulang maka perlukaan yang
ditemukan seringkali berganda dengan umur luka yang berbeda-beda, ada
yang masih baru ada pula yang hampir menyembuh atau sudah
meninggalkan bekas (sikatriks). Di samping itu lokasi perlukaan dijumpai
pada tempat yang tidak umum sepertihalnya luka – luka akibat jatuh atau
kecelakaan biasa seperti bagian paha atau lengan atas sebelah dalam,
punggung, telinga, langit langit rongga mulut, dan tempat tidak umum
lainnya.3

2.5 Aspek Medikolegal Kasus Abortus


2.5.1 Definisi
Terdapat perbedaan penafsiran pengguguran menurut hukum dan
kesehatan. Dari segi kesehatan, dibedakan dari umur kehamilan dan
bagaimana abortus terjadi, spontan atau di sengaja (provokatus). Sementara
hukum hanya melihat dari dilakukan atau tidaknya pengguguran kandungan.
Menurut ilmu kesehatan, kelahiran bayi dibedakan atas.1
a) Abortus, lahir di bawah umur 20 minggu, masih berbentuk embrio,
berat kurang dari 500 gram.
b) Partus immaturus, lahir sebelum 28 minggu dengan berat badan di
bawah 1500 gram berbentuk janin, harapan untuk hidup kecil sekali.
c) Partus prematurus, lahir sebelum bayi cukup umur dengan berat di
bawah 2500 gram, harapan hidup lebih baik walaupun tanpa perawatan
khusus.

12
d) Partus matures (aterm), cukup umur, 36 – 40 minggu, berat dari 2500
– 3500 gram atau lebih, Panjang 45 – 50 cm.
e) Partus serotinus, umur lebih dari 40 minggu. Bila lebih dari 42 minggu,
kesehatan plasenta kembali menurun dan bayi harus dikeluarkan, bila
tidak bisa mengancam kehidupannya.
Menurut hukum, pengguguran kandungan adalah tindakan penghentian
kehamilan atau mematikan janin sebelum waktunya kelahiran, tanpa
melihat usia kandungan. Hal ini terlihat dari ketentuan undang – undang
sebagai berikut.1
ü KUHP pasal 346
Perempuan yang dengan sengaja menyebabkan gugurnya atau mati
kandungannya atau menyuruh orang lain menyebabkan itu, dihukum
dengan hukuman penjara selama empat tahun.
ü KUHP pasal 347
1) Barang siapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati
kandungan seseorang perempuan tidak dengan izin perempuan itu,
dihukum dengan hukuman penjara selama – lamanya dua belas
tahun.
2) Jika perbuatan berakibat perempuan itu mati, ia dihukum dengan
hukuman penjara selama – lamanya lima belas tahun.
ü KUHP pasal 348
1) Barang siapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati
kandungan seseorang perempuan dengan izin perempuan itu,
dihukum dengan hukuman penjara selama – lamanya lima tahun
enam bulan.
Dari ketentuan hukum di atas terlihat hanya ada istilah ‘gugur atau mati
kandungan’. Berapa umur bayi yang dimaksud pada abortus diserahkan
kepada kalangan ahli yang mengetahuinya. Disinilah diperlukan peranan
dokter.1
Untuk memahami pengertian abortus secara hukum dan medis, maka harus
dilihat pengertian pembunuhan anak dan pembunuhan biasa pada anak
secara hukum. Sebab, hukum memberi ganjaran hukuman yang berbeda

13
untuk pengguguran kandungan, pembunuhan anak sendiri dan pembunuhan
biasa (termasuk pada bayi). Untuk melihat perbedaan ini, maka
dikemukakan ketentuan hukum yang berkaitan dengan pembunuhan anak
sendiri seperti yang terdapat pada KUHP pasal 341.1
ü KUHP pasal 341
Seseorang ibu yang karena takut akan ketahuan melahirkan anak
pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian, dengan sengaja
merampas nyawa anaknya, diancam karena membunuh anak sendiri,
dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.
Dalam ilmu kedokteran terdapat perbedaan pengertian antara abortus,
pembunuhan anak sendiri dan pembunuhan biasa pada anak. Dengan
demikian untuk menerapkan ketentuan hukum pidana, diperlukan
penentuan umur janin dan ada tidaknya tanda – tanda sudah pernah bernafas.
Berikut tabel perbedaan antara abortus, pembunuhan anak sendiri dan
pembunuhan biasa pada anak.1
Pembunuhan
Abortus Pembunuhan anak sendiri
biasa pada anak
28 Minggu (viable = sanggup
Sejak konsepsi Anak sudah
hidup) sampai dengan aterm
sampai dengan 28 dirawat setelah
(36 – 40 minggu) atau tidak
minggu (viable) kelahiran.
lama kemudian.
Tabel 2. Perbedaan Abortus, Pembunuhan anak sendiri dan Pembunuhan
biasa pada anak.

2.5.2 Indikasi dilakukan Abortus


a. Terapeutik, jika kehamilan dilanjutkan akan membahayakan jiwa ibu.1
b. Eugenik, atas pertimbangan resiko terhadap anak yang dilahirkan
berupa cacat fisik atau mental.1
c. Humanitarian (kesejahteraan sosial), misalnya pada kehamilan akibat
korban perkosaan.1
d. Sosial, berhubungan dengan kegagalan alat kontrasepsi, anak terlalu
banyak, belum siap menerima kehadiran anak.1

14
2.5.3 Jenis – jenis Abortus
Abortus dapat dibagi atas 2 kelompok, yakni:
1) Abortus alami (natural, spontaneous)
2) Abortus buatan (provacation)
- Legal
Abortus buatan legal artinya pelaku abortus dapat
melakukan tanpa ada sanksi hukum. Indikasi dalam keadaan apa
saja abortus legal ini dapat dilakukan mempunyai rentang Panjang,
yaitu dari indikasi yang sempit (absolut, terbatas hanya untuk
menyelamatkan jiwa ibu) sampai luas (cukup hanya atas
permintaan), tergantung dari kebijaksanaan masing – masing
negara.1
- Kriminal
Abortus provokatus kriminalis adalah tindakan pengguguran
kandungan yang sengaja dilakukan untuk kepentingan si pelaku,
orang hamil, dan yang membantu. Secara hukum, tindakan ini
melanggar ketentuan yang berlaku.1
Abortus kriminal dapat dilakukan oleh wanita itu sendiri
atau dengan bantuan orang lain (dokter, bidan, perawat, dukun
beranak, dan lain - lain). Tindkan ini biasanya dilakukan sejak yang
bersangkutan terlambat datang bulan dan dicurigai adanya
kehamilan. Biasanya kecurigaan ini datang pada minggu ke – 5
sampai minggu ke – 10. pada waktu ini mungkin disertai gejala
mual pagi hari (morning sickness). Sekarang kecurigaan diketahui
lebih dini karena sudah ada alat tes kehamilan.1

2.5.4 Cara pengguguran


Secara garis besar, pengguguran bisa ditempuh melalui satu atau lebih cara
– cara:
1) Kekerasan umum

15
Biasanya jalan ini ditempuh pada awal kehamilan dengan asumsi
hasil konsepsi akan lepas dengan melaukan kegiatan fiisik berlebihan
atau tekanan di daerah perut.1
• Melompat – lompat, skipping, lari, naik kuda dan lain – lain.
• Menekan, menekan dengan lutut, atau pukulan paa daerah perut.
2) Obat – obatan atau ramuan
Dalam masyarakat penggunaan obat tradisional seperti nenas muda,
jamu peluntur dan lain – lain sudah lama dikenal. Secara kedokteran,
dapat dibedakan obat – obat yang digunakan untuk menggugurkan
kandungan sebagai berikut.1
a. Ecbolica, membuat kontraksi uterus seperti derifat ergot, kinina,
ekstrak pituitary, estrogen. Obat – obat ini untuk tujuan abortivum,
harus digunakan dalam dosis tinggi sehingga dapat menimbulkan
bahaya.
b. Emenagoga, merangsang atau memperlancar haid seperti apiol,
minyak pala.
c. Obat – obatan yang mingkatkan sirkulasi darah di daerah panggul
sehingga mempengaruhi uterus seperti ekstrak cantharidium.
d. Obat yang bekerja melalui traktus digestivus seperti pencahar yang
bekerja cepat. Dimana akan menyebabkan peredaran darah di
daerah pelvik meningkat sehingga akan mempengaruhi hasil
konsepsi.
e. Obat – obat iritan seperti arsenic, fosforus dan lain – lain.
3) Kekerasan lokal
Bila usaha kekerasan umum atau dengan obat – obatan gagal, piihan
kekerasan lain adalah melakukan kekerasan lokal. Kekerasan lokal
sering menyebabkan kematian ibu, sebab berbagai komplikasi dapat
terjadi akibat:
ü Perdarahan. Terjadi akibat perforasi jalan lahir atau uterus. Hal ini
dapat terjadi karena bila dilakukan oleh orang yang tidak
memahami anatomi alat kelamin wanita (letak uterus), memakai

16
alat yang tidak seharusnya digunakan, sehingga sering
menimbulkan masalah sampai terjadi kematian.1
ü Infeksi. Biasa terjadi karen pemakaian alat – alat yang tidak steril
atau memasukkan benda asing ke dalam rongga Rahim seperti
pemakaian lidi, kawat, jari dan lain – lain.1
ü Emboli udara. Terjadi karena menyemprotkan cairan atau pasta ke
dalam uterus, dimana penyemprotan ini kadang – kadang disertai
masuknya udara ke dalam uterus yang pada saat itu endometrium
dalam keadaan luka. Diperkirakan jumlah udara yang masuk
sebanyak 70 – 100 cc dapat menimbulkan kematian.1

2.5.5 Pemeriksaan Korban Hidup


Pemeriksaan pada ibu yang diduga melakukan aborsi, usaha dokter adalah
mendapatkan tanda – tanda sisa kehamilan dan menentukan cara
pengguguran yang dilakukan serta sudah berapa lama melahirkan.
Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan oleh Sp.OG.1
Pemeriksaan tes kehamilan masih bisa dilakukan beberapa hari sesudah
bayi dikeluarkan dari kandungan. Dimana akan dijumpai colostrum pada
peremasan payudara, nyeri tekan di daerah perut, kongesti pada labia mayor,
minor dan serviks. Tanda – tanda tersebut tidak mudah ditemukan pada
kehamilan muda.1
Bila segera sesudah melahirkan mungkin masih didapati sisa placenta,
yang pemastiannya perlu pemeriksaan histopatologi (patologi anatomi),
luka, peradangan, bahan – bahan yang tidak lazim dalam liang senggama dan
sisa bahan abartifum. Pada masa kini, bila diperlukan dapat dilakukan
pemeriksaan DNA untuk pemastian hubungan ibu dan janin.1

2.5.6 Pemeriksaan Korban Mati


Pemeriksaan dilakukan menyeluruh melalui pemeriksaan luar dan
pemeriksaan dalam (autopsi). Pemeriksaan ini ditujukan sebagai berikut.1
1) Menentukan perempuan tersebut dalam keadaan hamil atau tidak.
Untuk ini diperiksa:

17
a. Payudara secara makros maupun mikroskopik.
b. Ovarium, mencari adanya corpus luteum persisten secara
mikroskopik.
c. Uterus, lihat besarnya uterus, kemungkinan sisa janin dan secara
mikroskopik adanya sel – sel trofoblas dan sel – sel decidua.
2) Mencari tanda – tanda cara abortus provokatus dilakukan.
a. Mencari tanda – tanda kekerasan lokal seperti memar, luka,
perdarahan pada jalan lahir.
b. Mencari tanda – tanda infeksi akibat pemakaian alat yang tidak
steril.
c. Menganalisa cairan yang ditemukan dalam vagina atau cavum
uteri.
3) Menentukan sebab kematian. Apakah karena perdarahan, infeksi,
syok, emboli udara atau emboli cairan.

18
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Penatalaksanaan yang baik dan sesuai prosedur terhadap korban akan sangat
membantu pengungkapan kasus kekerasan seksual. Pemeriksaan yang
dilakukan oleh dokter hendaknya sistematis, menyeluruh, dan terarah untuk
menemukan bukti-bukti kekerasan seksual yang terdapat pada tubuh korban
untuk dituangkan dalam visum et repertum. Dalam melakukan pemeriksaan dan
penatalaksanaan korban kekerasan seksual, dokter harus memperhatikan aspek
etika dan medikolegal agar dapat membantu korban seoptimal mungkin dalam
mendapatkan keadilan, tanpa menambah penderitaan korban.3

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Amri A. (2019). “Rangkaian: Ilmu Kedokteran Forensik Edisi Kedua”. Medan:


Percetakan RAMADHAN.
2. Asmandi E. (2019). “Ilmu Kedokteran Kehakiman”. Medan: Pustaka Prima.
3. Dewi, R. (2017). “Buku Ajar Pemeriksaan Fisik dan Aspek Medikolegal
Kekerasan Seksual pada Anak dan Remaja”. Lampung: FK. Universitas
Lampung.
4. Fitrah T.A. (2020). “Peran Visum Et Repertum Sebagai Alat Bukti dalam
Pembuktian Abortus Provokatus Kriminalis (Studi di Pengadilan Negeri Lubuk
Pakam)”. Medan: FH.UMSU.

20

Anda mungkin juga menyukai