Anda di halaman 1dari 35

MODUL 24: PERILAKU DAN JIWA

SKENARIO 4
(ODGJ)

Disusun oleh

ELVINA DIANITHA
(71180811061)
SEMESTER VII
SGD 14

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITA ISLAM SUMATERA UTARA
TA 2021/2022
Lembar Penilaian Makalah

NO Bagian yang Dinilai Skor Nilai

1 Cara Penulisan 0 – 40

2 Konten atau Isi 0 – 40

3 Daftar Pustaka 0 – 20

TOT AL

NB : LO = Learning Objective Medan, 01 Januari 2022

Dinilai Oleh :

Tutor

(dr. Dede Bisma Kuncara, M. Biomed)


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita ucapkan atas kehadiran Tuhan Yang Maha Esa karena
atas rahmat dan karunia – Nya saya dapat menyelesaikan makalah dari pelaksanaan
SGD (Small Group Discussion) kami. Makalah ini disusun berdasarkan
pengalaman dan pengamatan saya selama melakukan kegiatan berdasarkan
paradigma pembelajaran yang baru. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas saya
dalam bidang studi kedokteran yang menggunakan metode PBL (Problem Based
Learning). Makalah ini diharapkan dapat sebagai bahan acuan untuk mencapai
penggunaan metode baru tersebut secara berkelanjutan. Saya berusaha menyajikan
bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti oleh semua kalangan untuk
mempermudah dalam penyampaian informasi metode pembelajaran ini.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak dr. Dede Bisma
Kuncara, M. Biomed, selaku Dosen tutorial SGD 14 Fakultas Kedokteran UISU
yang telah membimbing kami selama proses pembelajaran dan SGD pada modul
24 Perilaku dan Jiwa. Saya menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna,
oleh karena itu saya menerima kritik dan saran yang positif dan membangun dari
para pembaca untuk memperbaiki kekurangan dari makalah ini. Semoga makalah
ini dapat memberi manfaat pada kita semua.

Medan, 01 Januari 2022


Penulis

Elvina Dianitha
(71180811061)

i
DAFTAR ISI

KATA
PENGANTAR………………………………………………………………. i
DAFTAR ISI …………………….…………………………………………. ii
SKENARIO ………………………………………………………………… iv

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah…………..……………………………………..... 1
1.2 Rumusan Masalah……………...…………………………………………. 4
1.3 Tujuan ..……..…………………………………………………………...... 4

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Gangguan Jiwa ………………………….…..…………………………... 5
2.1.1 Definisi Gangguan Jiwa ………………………………………….. 5
2.1.2 Patofisiologi Gangguan Jiwa …………………………………….. 6
2.1.3 Macam – macam Gangguan Jiwa ………………………………… 7
2.1.4 Penatalaksanaan Pasien Gangguan Jiwa …………………………. 10
2.2. Skizofrenia ……………………….…..…………………………………. 12
2.2.1 Definisi …………………………………………………………… 12
2.2.2 Etiologi …………………………………………………………… 13
2.2.3 Patofisiologi ………………………………………………………. 14
2.2.4 Gejala ……………………………………………………………… 15
2.3. Antipsikotik ……………………………………………………………... 16
2.3.1 Definisi ……………………………………………………………. 16
2.3.2 Antipsikotik Tipikal ………………………………………………. 17
2.3.3 Antipsikotik Atipikal ……………………………………………… 21

ii
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan ……………………….…..…………………………………… 26
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………...... 28

iii
SKENARIO 4
ODGJ

Skizofrenia merupakan gangguan jiwa berat yang mencakup hampir seluruh
sendi kehidupan; yaitu pikiran, perasaan, perbuatan, persepsi, keinginan, dorongan
kehendak dan pengendalian. Psikotropik yang digunakan pada pengobatan
skizofrenia adalah antipsikotik. Antipsikotik bekerja dengan memperngaruhi
neurotransmitter di otak.
Antipsikotik dapat dibedakan dalam dua bagian besar, antipsikotik tipikal
dan antipsikotik atipikal. Antipsikotik tipikal merupakan obat generasi lama dengan
fokus pada penghambatan ambilan kembali neurotransmitter dopamin. Sementara
obat anttipsikotik atipikal merupakan gererasi baru dengan fokus bukan hanya pada
neurotransmitter dopamine saja, namun juga pada yang lainnya seperti serotonin,
norepinefrin dan lainnya.
Dari data tahun 2018, 84,9% penderita skizofrenia sudah melakukan
pengobatan, tetapi lebih dari setengahnya (51,5%) tidak secara rutin mengkonsumsi
obat. Alasannya beragam, mulai dari merasa sudah sehat, tidak kotrol secara
berkala, tidak mampu membeli obat secara rutin, lupa, takut ketergantungan, dan
efek samping yang tidak menyenangkan.
Hal tersebut menyebabkan tingginya frekuensi kekambuhan dan angka
rawat ulang pasien skizofrenia. Maka dibutuhkan penanganan secara komprehensif
dalam penatalaksanaan gengguan mental baik secara medis maupun non medis.

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Gangguan jiwa menurut PPDGJ III adalah sindrom pola perilaku seseorang
yang secara khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) atau hendaya
(impairment) didalam satu atau lebih fungsi yang penting dari manusia, yaitu fungsi
psikologi, perilaku, biologi dan gangguan itu tidak hanya terltak didalam hubungan
antara orang itu tetapi juga dengan masyarakat (Maslim, 2002 ; Maramis, 2010).
Gangguan jiwa merupakan suatu masalah kesehatan yang masih sangat penting
untuk diperhatikan, hal itu dikarenakan penderita tidak mempunyai kemampuan
untuk menilai realitas yang buruk. Gejala dan tanda yang ditunjukkan oleh
penderita gangguan jiwa antara lain gangguan kognitif, gangguan proses pikir,
gangguan kesadaran, gangguan emosi, kemampuan berpikir, serta tingkah laku
aneh.
Kesehatan jiwa bukanlah sesuatu yang mudah untuk dijaga, dengan tekanan
kehidupan yang semakin berat untuk dihadapi. Seiring dengan berkembangnya
zaman dan kemajuan teknologi semakin banyak pula masalah yang mesti dihadapi,
baik menggunakan fisik ataupun psikologi untuk mencapai kesejahteraan hidup.
Dengan keadaan seperti ini yang akan menuntut para individu untuk menyesuaikan
(adaptasi). Tidak setiap individu mampu beradaptasi dengan kemajuan, setiap
individu mempunyai hambatan masing – masing. Dan masalah yang datang tanpa
diiringi dengan pemecahan – pemecahan masalah akan menimbulkan semacam
ancaman bagi perasaan individu yang dapat menimbulkan stress berkepanjangan
bahkan menyebabkan gangguan jiwa. Kesehatan jiwa adalah berbagai karakteristik
positif yang menggambarkan keselarasan dan keseimbangan kejiwaan yang
mencerminkan kedewasaan kepribadian.
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO, 2012) jumlah penderita gangguan
jiwa didunia adalah 450 juta jiwa. Satu dari empat keluarga sedikitnya mempunya
seorang dari anggota keluarga yang mengalami gangguan kesehatan jiwa. Setiap
empat orang yang membutuhkan pelayanan kesehatan, seorang diantaranya

1
mengalami gangguan jiwa dan tidak terdiagnosa secara tepat sehingga kurang
mendapat pengobatan dan perawatan secara tepat. Di indonesia sendiri prevalensi
gangguan jiwa tertinggi terdapat di provinsi Daerah Khusus Ibu Kota jakarta
(24,3%), Diikuti Nagroe Aceh Darusalam (18,5%), Sumatra Barat (17,7%), NTB
(10,9%), Sumatra Selatan (9,2%), dan Jawa Tengah (6,8%). (Depkes RI 2008).
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (2013) menunjukan prevalensi gangguan
jiwa nasional mencapai 5,6% dari jumlah penduduk. Berdasar data tersebut bisa
disimpulkan bahwa penderita gangguan jiwa di Indonesia setiap tahunya selalu
meningkat.
Dilihat dari angka kejadian diatas penyebab yang paling sering timbulnya
gangguan jiwa adalah dikarenakan himpitan masalah ekonomi dan kemiskinan.
Kemampuan dalam beradaptasi tersebut berdampak pada kebingungan, kecemasan,
frustasi, perilaku kekerasan, konflik batin dan gangguan emosional menjadi faktor
penyebab tumbuhnya penyakit mental.
Salah satu contoh gangguan jiwa adalah skizofrenia. Skizofrenia adalah
gangguan kejiwaan yang ditandai dengan ketidakmampuan seseorang untuk
menilai realitas (Reality Testing Ability/RTA) dengan baik dan memiliki
pemahaman diri (self insight) yang buruk (Akbar et al, 2015). Skizofrenia
merupakan penyakit gangguan otak parah dimana penderitanya
menginterpretasikan realitas secara abnormal. Kemampuan orang dengan
skizofrenia untuk berfungsi normal dan merawat diri mereka sendiri cenderung
menurun dari waktu ke waktu. Penyakit ini merupakan kondisi kronis, yang
memerlukan pengobatan seumur hidup (Ikawati, 2014).
Gangguan skizofrenia terjadi sekitar 1% dari populasi di dunia. Tanda – tanda
terjadinya skizofrenia biasanya muncul pada masa remaja ataupun pada masa awal
dewasa (Deanna et al, 2016). Menurut data epidemiologi dari World Health
Organization lebih dari 21 juta penduduk di seluruh dunia menderita skizofrenia
meskipun tidak seperti gangguan mental lain yang lebih umum. Laki – laki lebih
sering terjadi skizofrenia yaitu sekitar 12 juta orang, sedangkan perempuan sekitar
9 juta orang. Skizofrenia juga biasanya dimulai lebih awal pada pria dibandingkan
wanita (WHO, 2016).

2
Manajemen terapi yang paling efektif pada pasien skizofrenia adalah terapi
antipsikotik. Golongan antipsikotik dibagi ke dalam dua jenis, yakni antipsikotik
generasi pertama dan generasi kedua. Antipsikotik generasi pertama (tipikal)
mempunyai keterbatasan berupa efek samping sindrom ekstrapiramidal (EPS) yang
mengganggu aktivitas pasien sehingga berujung pada ketidakpatuhan pasien dalam
melanjutkan pengobatan, sebagai akibatnya frekuensi kekambuhan menjadi
meningkat. Kejadian EPS ini dapat muncul sejak awal pemberian antipsikotik, hal
ini bergantung dari besarnya dosis yang diberikan. Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Jesic dkk. (2012) menyatakan bahwa efek samping EPS umumnya muncul
pada pasien skizofrenia setelah penggunaan terapi selama 4 minggu. Antipsikotik
generasi kedua (atipikal) sedikit atau bahkan tidak memiliki efek samping EPS pada
dosis rendah. Antipsikotik atipikal ini berhubungan dengan risiko peningkatan
berat badan, gangguan kardiovaskular, dan diabetes melitus yang lebih besar dan
risiko terjadinya gejala ekstrapiramidal yang lebih rendah bila dibandingkan
dengan antipsikotik tipikal. Antipsikotik atipikal dengan gejala ekstrapiramidal
yang lebih rendah antara lain aripiprazol, quetiapin, dan klozapin.
Pemberian antipsikotik dapat menyebabkan respon yang buruk dan efek
samping seperti gejala ekstrapiramidal, sindrom metabolik, dan juga kenaikan berat
badan yang akan memperburuk kondisi pasien. Oleh karena itu, praktisi sering kali
melakukan pergantian terapi yang tidak efektif yaitu berdasarkan trial dan error
sehingga pasien mengalami banyak kejadian yang tidak diinginkan, seperti efek
rebound dan kekambuhan.
Kejadian efek samping terbanyak yang dialami pasien skizofrenia pada
penelitian Julaeha et al. (2016) adalah efek samping EPS, kemudian disusul dengan
hipotensi dan kenaikan enzim SGPT/SGOT. Antipsikotik potensi rendah
menyebabkan sebanyak 2,3 – 10% pasien mengalami EPS, sedangkan untuk
antipsikotik potensi tinggi menyebabkan 64% pasien mengalami efek samping
EPS.
Saat ini, pemberian terapi antipsikotik kombinasi meningkat di kalangan
psikiatri klinis. Obat antipsikotik kombinasi adalah kontributor utama bagi
peresepan dosis tinggi, terkait dengan efek samping yang meningkat dan
terbatasnya kemampuan untuk membentuk rejimen perawatan yang optimum bagi

3
pasien. Efek samping adalah salah satu hal yang dapat menghambat pengobatan
pada pasien skizofrenia sehingga hal ini menghambat kesembuhan pasien.
Kesembuhan pasien dapat mempengaruhi lama rawat inap pasien karena
kesembuhan dipengaruhi oleh risiko munculnya efek samping obat dan risiko
kekambuhan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa itu obat antipsikotik tipikal dan atipikal ?
2. Bagaimana mekanisme kerja obat antipsikotik tipikal dan atipikal ?
3. Apa saja contoh obat antipsikotik tipikal dan atipikal ?
4. Apa saja indikasi dan efek samping dari obat antipsikotik tipikal dan
atipikal ?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan pembuatan makalah yaitu untuk mengetahui dan memahami
obat – obat antipsikotik tipikal dan atipikal sebagai tatalaksana pasien skizofrenia.

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Gangguan Jiwa


2.1.1 Definisi Gangguan Jiwa
Gangguan jiwa adalah sindrom pola perilaku individu yang berkaitan
dengan suatu gejala penderitaan dan pelemahan didalam satu atau lebih
fungsi penting dari manusia, yaitu fungsi psikologik, perilaku, biologik,
gaangguan tersebut mempengaruhi hubungan antara dirinya sendiri dan juga
masyarakat (Maramis, 2010).
Gangguan jiwa atau mental illnes adalah keadaan dimana seseorang
mengalami kesulitan mengenai persepsinya tentang kehidupan, hubungan
dengan orang lain, dan sikapnya terhadap dirinya sendiri. Gangguan jiwa
merupakan suatu gangguan yang sama halnya dengan gangguan jasmaniah
lainnya, tetapi gangguan jiwa bersifat lebih kompleks, mulai dari yang
ringan seperti rasa cemas, takut hingga tingkat berat berupa sakit jiwa
(Budiono, 2010).
Gangguan jiwa adalah suatu kondisi dimana seseorang mengalami
gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam
bentuk sekumpulan gejala atau perubahan perilaku yang bermakna, serta
dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi
orang sebagai manusia ( UU RI No.18, 2014).
Menurut American Psychiatric Association atau APA mendefinisikan
gangguan jiwa pola perilaku/ sindrom, psikologis secara klinik terjadi pada
individu berkaitan dengan distres yang dialami, misalnya gejala
menyakitkan, ketunadayaan dalam hambatan arah fungsi lebih penting
dengan peningkatan resiko kematian, penderitaan, nyeri, kehilangan
kebebasan yang penting dan ketunadayaan (O’Brien, 2013).

5
2.1.2 Patofisiologi Gangguan Jiwa
Penderita yang mengalami gangguan jiwa memiliki ciri – ciri biologis
yang khas terutama pada susunan dan struktur saraf pusat, dimana penderita
biasanya mengalami pembesaran ventrikel ke III bagian kiri. Ciri lainnya
pada penderita yakni memiliki lobus frontalis yang lebih kecil dari rata – rata
orang yang normal. Penderita yang mengalami gangguan jiwa dengan gejala
takut serta paranoid (curiga) memiliki lesi pada daerah Amigdala sedangkan
pada penderita skizofrenia memiliki lesi pada area Wernick’s dan area
Brocha bahkan terkadang disertai dengan Aphasia serta disorganisasi dalam
proses berbicara.
Kelainan pada struktur otak atau kelainan yang terjadi pada sistem kerja
bagian tertentu dari otak juga dapat menimbulkan gangguan pada kejiwaan.
Sebagai contoh, masalah komunikasi di salah satu bagian kecil dari otak
dapat mengakibatkan terjadinya disfungsi secara luas. Hal ini akan diikuti
oleh kontrol kognitif, tingkah laku, dan fungsi emosional yang diketahui
memiliki keterkaitan erat dengan masalah gangguan kejiwaan. Beberapa
jenis gangguan pada struktur otak yang berakibat pada gangguan jiwa, antara
lain:
- Gangguan pada cortex cerebral yang memiliki peranan penting dalam
pengambilan keputusan, pemikiran tinggi, dan penalaran dapat dilihat
pada penderita waham.
- Gangguan pada sistem limbik yang berfungsi mengatur perilaku
emosional, daya ingat, dan proses dalam belajar terlihat pada penderita
perilaku kekerasan dan depresi.
- Gangguan pada hipotalamus yang berperan dalam mengatur hormon
dalam tubuh dan perilaku seperti makan, minum, dan seks dapat terlihat
pada penderita bulimia, anoreksia, dan disfungsi seksual.
Kerusakan – kerusakan yang terjadi pada bagian otak tertentu juga
dapat mengakibatkan gangguan jiwa. Kerusakan tersebut, antara lain:
§ Kerusakan pada lobus frontalis yang menyebabkan kesulitan dalam
proses pemecahan masalah dan perilaku yang mengarah pada tujuan,
berfikir abstrak, perhatian dengan manifestasi gangguan psikomotorik.

6
§ Kerusakan pada Basal Gangglia dapat menyebabkan distonia dan tremor.
§ Gangguan pada lobus temporal limbic akan meningkatkan kewaspadaan,
distractibility, gangguan memori (short time).

2.1.3 Macam – macam Gangguan Jiwa


Sistem yang paling banyak digunakan untuk mengelompokkan
gangguan jiwa dan menyediakan kriteria diagnosa standar, Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorder (DSM) pada 2013 merilis beberapa
kategori gangguan mental umum, termasuk gangguan kecemasan, bipolar,
gangguan disosiatif, gangguan makan, gangguan neurokognitif, gangguan
perkembangan saraf, gangguan kepribadian, gangguan tidur bangun, gejala
somatis, gangguan adiktif dan yang terkait substansi, serta trauma dan
gangguan terkait stresor (Sutejo, 2017).
a. Skizofrenia
Skizofrenia merupakan bentuk psikosa fungsional paling berat, dan
menimbulkan disorganisasi personalitas yang terbesar. Skizofrenia juga
merupakan suatu bentuk psikosa yang sering dijumpai dimana-mana
sejak dahulu kala. Meskipun demikian pengetahuan kita tentang sebab-
musabab dan patogenisanya sangat kurang (Maramis 2010). Dalam
kasus berat, klien tidak mempunyai kontak dengan realitas, sehingga
pemikiran dan perilakunya abnormal. Perjalanan penyakit ini secara
bertahap akan menuju kearah kronisitas, tetapi sekali-kali bisa timbul
serangan. Jarang bisa terjadi pemulihan sempurna dengan spontan dan
jika tidak diobati biasanya berakhir dengan personalitas yang rusak
“cacat” (Sutejo, 2017).
b. Depresi
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang
berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya,
termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor,
konsentrasi, kelelahan, rasa putus asa dan tak berdaya, serta gagasan
bunuh diri. Depresi juga dapat diartikan sebagai salah satu bentuk
gangguan kejiwaan pada alam perasaan yang ditandai dengan

7
kemurungan, keleluasaan, ketiadaan gairah hidup, perasaan tidak
berguna, putus asa dan lain sebagainya. Depresi adalah suatu perasaan
sedih dan yang berhubungan dengan penderitaan, dapat berupa serangan
yang ditujukan pada diri sendiri atau perasaan marah yang mendalam
(Sutejo, 2017).
Depresi adalah gangguan patologis terhadap mood mempunyai
karakteristik berupa bermacam – macam perasaan, sikap dan
kepercayaan bahwa seseorang hidup menyendiri, pesimis, putus asa,
ketidak berdayaan, harga diri rendah, bersalah, harapan yang negatif dan
takut pada bahaya yang akan datang. Depresi menyerupai kesedihan
yang merupakan perasaan normal yang muncul sebagai akibat dari
situasi tertentu misalnya kematian orang yang dicintai. Sebagai ganti
rasa ketidaktahuan akan kehilangan seseorang akan menolak kehilangan
dan menunjukkan kesedihan dengan tanda depresi. Individu yang
menderita suasana perasaan (mood) yang depresi biasanya akan
kehilangan minat dan kegembiraan, dan berkurangnya energi yang
menuju keadaan mudah lelah dan berkurangnya aktifitas. Depresi
dianggap normal terhadap banyak stress kehidupan dan abnormal hanya
jika ia tidak sebanding dengan peristiwa penyebabnya dan terus
berlangsung sampai titik dimana sebagian besar orang mulai pulih
(Fajar, 2016).
c. Gangguan Kepribadian
Klinik menunjukkan bahwa gejala-gejala gangguan kepribadian
(psikopatis) dan gejala-gejala nerosa berbentuk hampir sama pada
orang-orang dengan intelegensi tinggi ataupun rendah. Jadi boleh
dikatakan bahwa gangguan kepribadian, nerosa dan gangguan
intelegensi sebagian besar tidak tergantung pada satu dan yang lain atau
tidak berkorelasi (Fajar, 2016).
d. Gangguan mental organik
Gangguan mental organik merupakan gangguan jiwa yang psikotik
atau non-psikotik yang disebabkan oleh gangguan fungsi jaringan otak
(Maramis, 2010). Gangguan fungsi jaringan otak ini dapat disebabkan

8
oleh penyakit badaniah yang terutama mengeni otak atau yang terutama
diluar otak. Bila bagian otak yang terganggu itu luas, maka gangguan
dasar mengenai fungsi mental sama saja, tidak tergantung pada penyakit
yang menyebabkannya bila hanya bagian otak dengan fungsi tertentu
saja yang terganggu, maka lokasi inilah yang menentukan gejala dan
sindroma, bukan penyakit yang menyebabkannya. Pembagian menjadi
psikotik dan tidak psikotik lebih menunjukkan kepada berat gangguan
otak pada suatu penyakit tertentu dari pada pembagian akut dan
menahun (Fajar, 2016).
e. Gangguan psikomatik
Gangguan psikomatik merupakan komponen psikologik yang
diikuti gangguan fungsi badaniah (Maramis 2010). Sering terjadi
perkembangan neurotik yang memperlihatkan sebagian besar atau
semata – mata karena gangguan fungsi alat – alat tubuh yang dikuasai
oleh susunan saraf vegetatif. Gangguan psikosomatik dapat disamakan
dengan apa yang dinamakan dahulu neurosa organ. Karena biasanya
hanya fungsi faaliah yang terganggu, maka sering disebut juga
gangguan psikofisiologik (Sutejo 2017).
f. Gangguan Intelektual
Gangguan intelektual merupakan keadaan dengan intelegensi
kurang (abnormal) atau dibawah rata – rata sejak masa perkembanga
(sejak lahir atau sejak masa kanak – kanak). Retardasi mental ditandai
dengan adanya keterbatasan intelektual dan ketidakcakapan dalam
interaksi sosial.
g. Gangguan Perilaku Masa Anak dan Remaja
Anak dengan gangguan perilaku menunjukkan perilaku yang tidak
sesuai dengan permintaan, kebiasaan atau norma – norma masyarakat
(Maramis 2010). Anak dengan gangguan perilaku dapat menimbulkan
kesukaran dalam asuhan dan pendidikan. Gangguan perilaku mungkin
berasal dari anak atau mungkin dari lingkungannya, akan tetapi akhirnya
kedua faktor ini saling memengaruhi.

9
Diketahui bahwa ciri dan bentuk anggota tubuh serta sifat kepribadian
yang umum dapat diturunkan dari orang tua kepada anaknya. Pada
gangguan otak seperti trauma kepala, ensepalitis, neoplasma dapat
mengakibatkan perubahan kepribadian. Faktor lingkungan juga dapat
mempengaruhi perilaku anak, dan sering lebih menentukan oleh karena
lingkungan itu dapat diubah, maka dengan demikian gangguan perilaku itu
dapat dipengaruhi atau dicegah (Sutejo 2017).

2.1.4 Penatalaksanaan Pasien Gangguan Jiwa


Pada pasien dengan gangguan jiwa dibutuhkan beberapa pengobatan
untuk memulihkan kondisi jiwanya dan mencegah terjadinya kekambuhan,
beberapa terapi pengobatan pada pasien gangguan jiwa menurut buku Ajar
Keperawatan Jiwa tahun 2015, diantaranya :
a. Psikofarmaka
Psikofarmaka adalah berbagai jenis obat yang bekerja pada susunan
saraf pusat. Efek utamanya pada aktivitas mental dan perilaku, yang
biasanya digunakan untuk pengobatan gangguan kejiwaan. Terdapat
banyak jenis obat psikofarmaka dengan farmakokinetik khusus untuk
mengontrol dan mengendalikan perilaku pasien gangguan jiwa.
Golongan dan jenis psikofarmaka ini perlu diketahui perawat agar dapat
mengembangkan upaya kolaborasi pemberian psikofarmaka,
mengidentifikasi dan mengantisipasi terjadinya efek samping, serta
memadukan dengan berbagai alternatif terapi lainnya.
b. Kejang Listrik
Terapi kejang listrik adalah suatu prosedur tindakan pengobatan
pada pasien gangguan jiwa, menggunakan aliran listrik untuk
menimbulkan bangkitan kejang umum, berlangsung sekitar 25–150
detik dengan menggunakan alat khusus yang dirancang aman untuk
pasien. Pada prosedur tradisional, aliran listrik diberikan pada otak
melalui dua elektroda dan ditempatkan pada bagian temporal kepala
(pelipis kiri dan kanan) dengan kekuatan aliran terapeutik untuk
menimbulkan kejang. Kejang yang timbul mirip dengan kejang epileptik

10
tonik-klonik umum. Namun, sebetulnya yang memegang peran penting
bukanlah kejang yang ditampilkan secara motorik, melainkan respons
bangkitan listriknya di otak yang menyebabkan terjadinya perubahan
faali dan biokimia otak
c. Terapi Aktivitas Kelompok (TAK)
Terapi aktivitas kelompok (TAK) merupakan terapi yang bertujuan
mengubah perilaku pasien dengan memanfaatkan dinamika kelompok.
Cara ini cukup efektif karena di dalam kelompok akan terjadi interaksi
satu dengan yang lain, saling memengaruhi, saling bergantung, dan
terjalin satu persetujuan norma yang diakui bersama, sehingga terbentuk
suatu sistem sosial yang khas yang di dalamnya terdapat interaksi,
interelasi, dan interdependensi. Terapi aktivitas kelompok bertujuan
memberikan fungsi terapi bagi anggotanya, yang setiap anggota
berkesempatan untuk menerima dan memberikan umpan balik terhadap
anggota yang lain, mencoba cara baru untuk meningkatkan respons
sosial, serta harga diri. Keuntungan lain yang diperoleh anggota
kelompok yaitu adanya dukungan pendidikan, meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah, dan meningkatkan hubungan
interpersonal.
d. Terapi Kognitif
Terapi kognitif adalah terapi jangka pendek dan dilakukan secara
teratur, yang memberikan dasar berpikir pada pasien untuk
mengekspresikan perasaan negatifnya, memahami masalahnya, mampu
mengatasi perasaan negatifnya, serta mampu memecahkan masalah
tersebut.
e. Terapi Keluarga
Terapi keluarga adalah suatu cara untuk menggali masalah emosi
yang timbul kemudian dibahas atau diselesaikan bersama dengan
anggota keluarga, dalam hal ini setiap anggota keluarga diberi
kesempatan yang sama untuk berperan serta dalam menyelesaikan
masalah. Keluarga sebagai suatu sistem sosial merupakan sebuah
kelompok kecil yang terdiri atas beberapa individu yang mempunyai

11
hubungan erat satu sama lain dan saling bergantung, serta d iorganisasi
dalam satu unit tunggal dalam rangka mencapai tujuan tertentu.
f. Terapi Lingkungan
Terapi lingkungan adalah lingkungan fisik dan sosial yang ditata
agar dapat membantu penyembuhan dan atau pemulihan pasien. Milleu
berasal dari Bahasa Prancis, yang dalam Bahasa Inggris diartikan
surronding atau environment, sedangkan dalam Bahasa Indonesia
berarti suasana. Jadi, terapi lingkungan adalah sama dengan terapi
suasana lingkungan yang dirancang untuk tujuan terapeutik. Konsep
lingkungan yang terapeutik berkembang karena adanya efek negatif
perawatan di rumah sakit berupa penurunan kemampuan berpikir,
adopsi nilai-nilai dan kondisi rumah sakit yang tidak baik atau kurang
sesuai, serta pasien akan kehilangan kontak dengan dunia luar.
g. Terapi Perilaku
Perilaku akan dianggap sebagai hal yang maladaptif saat perilaku
tersebut dirasa kurang tepat, mengganggu fungsi adaptif, atau suatu
perilaku tidak dapat diterima oleh budaya setempat karena bertentangan
dengan norma yang berlaku. Terapi dengan pendekatan perilaku adalah
suatu terapi yang dapat membuat seseorang berperilaku sesuai dengan
proses belajar yang telah dilaluinya saat dia berinteraksi dengan
lingkungan yang mendukung.

2.2 Skizofrenia
2.2.1 Definisi
Skizofrenia berasal dari kata Yunani, yaitu schizo artinya terbagi atau
terpecah dan phrenia artinya pikiran. Jadi dapat disimpulkan pikirannya
terbagi atau terpecah (Sinaga, 2007). Skizofrenia adalah suatu
penyakit otak persisten dan serius yang mengakibatkan perilaku psikotik,
pemikiran konkret, dan kesulitan dalam memproses informasi, hubungan
interpersonal, serta memecahkan masalah. Gangguan skizofrenia adalah
sekelompok reaksi psikotik yang mempengaruhi berbagai area fungsi
individu, termasuk berfikir dan berkomunikasi, menerima dan

12
menginterpretasikan realitas, merasakan dan menunjukkan emosi dan
berperilaku dengan sikap yang dapat di terima secara sosial. Skizofrenia
adalah gangguan jiwa yang penderitanya tidak mampu menilai realitas
(Reality Testing Ability/RTA) dengan baik dan pemahaman diri (self
insight) buruk.

2.2.2 Etiologi
Sampai saat ini, faktor yang menyebabkan terjadinya skizofrenia belum
diketahui secara pasti. Faktor yang kemungkinan besar menjadi pemicu
terjadinya skizofrenia pada seseorang sangat beragam. Berikut beberapa
teori mengenai skizofrenia:
a. Faktor Biologi
Pasien skizofrenia kronis cenderung memiliki ventrikel otak yang
lebih besar, dan volume jaringan otak yang lebih sedikit dari pada orang
normal. Klien skizofrenia juga menunjukkan adanya aktivitas yang
sangat rendah pada lobus frontalis otak. Ada juga kemungkinan
abnormalitas dibagian – bagian otak lain seperti di lobus temporalis,
basal ganglia, thalamus, dan hipokampus (Sinaga, 2007).
b. Faktor Biokimia
Riset terakhir menunjukkan bahwa pada penderita skizofrenia,
terjadi ketidakseimbangan kimiawi dan memperlihatkan adanya
kelebihan reseptor dopaminergik pada susunan syaraf pusat (SSP)
(Shives, 2012).
c. Faktor Keluarga
Keluarga sebagai lingkup terdekat pasien, dimana mereka memiliki
peran penting dalam mengurangi kekambuhan pada pasien skizofrenia.
Peran keluarga dalam munculnya skizofrenia adalah keluarga yang
sangat mengekspresikan emosi (High expressed emotion). Keluarga
adalah orang terdekat pasien, sehingga keluarga harus terlibat dalam
proses perawatan pasien. Kurangnya perhatian dan kasih sayang di masa
– masa awal kehidupan menyebabkan kurangnya identitas diri, salah

13
interpretasi terhadap realitas, dan menarik diri dari lingkungan sekitar
(Lilley et al., 2011).

2.2.3 Patofisiologi
Patofisiologi skizofrenia melibatkan sistem dopaminergik,
serotonergik, dan glutamat. Berikut penjelasannya:
a. Peranan Dopaminergik
Skizofrenia terjadi akibat dari peningkatan aktivitas
neurotransmitter dopaminergik. Peningkatan ini mungkin merupakan
akibat dari meningkatnya pelepasan dopamin, terlalu banyaknya
reseptor dopamin, turunnya nilai ambang, atau hipersentivitas reseptor
dopamin, atau kombinasi dari faktor – faktor tersebut (Sadock et al.,
2015). Reseptor dopamin yang terlibat pada patofisiologi skizofrenia
yaitu reseptor dopamin-2 (D2) yang mengalami peningkatan densitas di
jaringan otak. Hiperaktivitas reseptor dopamin (hiperdopaminergik) di
sistem mesolimbik berkaitan dengan gejala positif, sedangkan gejala
negatif dan kognitif berkaitan dengan hipofungsi reseptor dopamin
(hipodopaminergik) di sisem mesocortis dan nigrostriatal yang
diakibatkan karena peningkatan aktivitas serotonergik (Wells, B.G. et
al, 2015).
b. Peranan Serotonergik
Pada sistem dopaminergik dan serotonergik, terdapat hubungan
dimana serotonergik memodulasi fungsi dopamin sehingga peningkatan
aktivitas serotonin akan berhubungan dengan penurunan aktivitas
dopamin. Pasien skizofrenia dengan kondisi otak abnormal memiliki
konsentrasi 5-HT darah utuh yang lebih tinggi dibandingkan orang
normal dan konsentrasi ini berkorelasi dengan peningkatan ukuran
ventrikel otak pada pasien skizofrenia (Wells, B.G. et al, 2015).
c. Peranan Glutamat
Penurunan aktivitas glutamatergik menghasilkan gejala yang mirip
dengan hiperaktivitas dopaminergik dan beberapa gejala lain yang
terlihat pada skizofrenia (Wells, B.G. et al, 2015).

14
2.2.4 Gejala
Gejala skizofrenia dapat muncul lebih dari 1 tahun. Gejala skizofrenia
secara garis besar dapat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu gejala positif,
gejala negatif, dan gejala kognitif.
a. Gejala positif
Gejala positif merupakan manifestasi jelas yang dapat diamati oleh
orang lain. Yang termasuk gejala positif adalah delusi, halusinasi, dan
gangguan pemikiran. Delusi adalah gejala psikotik yang melibatkan
gangguan isi pikiran dan adanya keyakinan kuat, yang merupakan
keadaan tidak realisitas (khayalan). Sedangkan halusinasi adalah gejala
– gejala psikotik dari gangguan perseptual dimana berbagai hal dilihat,
didengar atau diindra meskipun hal – hal itu tidak nyata atau benar –
benar ada (Barlow dan Durand, 2007).
b. Gejala negatif
Gejala negatif merupakan hilangnya ciri khas seseorang. Yang
termasuk gejala negatif adalah alogia (kehilangan kemampuan berpikir
atau berbicara), perasaan menjadi tumpul, kehilangan motivasi,
anhedonia atau asosiality, yaitu kurangnya kemampuan merasakan
kesenangan, mengisolasi diri dari kehidupan sosial, dan tidak mampu
berkonsentrasi. Gejala – gejala itu termasuk menarik diri secara
emosional maupun sosial, apatis, miskin pembicaraan atau pemikiran
(Barlow dan Durand, 2007).
c. Gejala kognitif
Mengacu pada kesulitan pasien untuk menyimpan memori dan
berkonsentrasi, meliputi: disorentasi pikiran, lambat berpikir, kesulitan
dalam pemahaman bahasa, sukar berkonsentrasi, pikun, kesulitan dalam
mengungkapkan pikiran, kesulitan dalam mengintegrasikan pikiran dan
perasaan dalam perilakunya (Barlow dan Durand, 2007).

15
2.3 Antipsikotik

Tabel 1. Daftar Obat Antipsikotik Dosis dan Sedian

2.3.1 Definisi
Antipsikotik merupakan salah satu obat golongan psikotropik. Obat
psikotropik adalah obat yang bekerja secara selektif pada susunan saraf
pusat (SSP) dan mempunyai efek utama terhadap aktivitas mental dan
perilaku (mind and behavior altering drugs), digunakan untuk terapi
gangguan psikiatrik (psychotherapeutic medication). Menurut WHO

16
(1966) obat psikotropik adalah obat yang mempengaruhi fungsi psikis,
kelakuan atau pengalaman. Psikotropik hanya mengubah keadaan jiwa
penderita sehingga lebih kooperatif dan dapat menerima psikoterapi
dengan lebih baik.
Berdasarkan penggunaan klinik, psikoterapi dibagi menjadi 4 golongan
yaitu: (1) antipsikotik; (2) antianxietas; (3) antidepresi; dan (4)
psikotogenik. Antipsikotik atau dikenal juga dengan istilah neuroleptik
(major tranquilizer) bermanfaat pada terapi psikosis akut maupun kronik.
Antipsikotik bekerja dengan menduduki reseptor dopamin , serotonin dan
beberapa reseptor neurotransmiter lainnya . Antipsikotik dibedakan atas
antipsikotik tipikal (antipsikotik generasi pertama) antara lain
klorpromazin, flufenazin, tioridazin, haloperidol; serta antipsikotik atipikal
(antipsikotik generasi kedua) seperti klozapin, olanzapin, risperidon dan
lain sebagainya.

2.3.2 Antipiskotik Tipikal


a. Definisi
Antipsikotik tipikal adalah sekelompok obat yang menghambat
reseptor dopamine tipe 2 (D2) sering dinamakan senagai antipsikotik.
Indikasi utama untuk pemakaian obat adalah terapi skizofrenia dan
gannguan psoikotik lainnya. Obat antipsikotik juga dinamakan sebagai
neuroleptik dan trankuiliser mayor.
Istilah “neuroleptik” menekankan efek neurologis dan motorik dari
sebagian besar obat. Istilah “trankuiliser mayor” secara tidak akurat
menekankan efek primer dari obat adalah untuk mensedasi pasien dan
dikacukan dengan obat yang dinamakan trankuiliser minor seperti
benzodiazepine.
Antipsikotik tipikal seperti chlorpromazine, suatu derivate
phenotiazine yang merupakan antagonis reseptor dopamine, adalah
yang pertama dinamakan antipsikotik klasik atau tipikal yang disintesis
awal tahun 1950-an. Diperkenalkannya obat antipsikotik merupakan
revolusi terapi pasien skizofrenia dan pasien psikotik serius lainnya.

17
Pemakaian antipsikotik tipikal menghasilkan perbaikan klinis yang
bermakna pada kira – kira 50 – 75% pasien psikotik dan hamper 90%
pasien psikotik mendapatkan manfaat klinis dari obat tersebut.
b. Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja obat antipsikotik tipikal adalah memblokade
dopamin pada reseptor pasca-sinaptik neuron di otak khusunya di sistem
limbik dan sistem ekstrapirimidal (dopamin D2 receptor antagonists),
sehingga efektif untuk gejala positif.
Dopamin merupakan neurotransmitter yang disekresikan oleh
neuron – neuron yang berasal dari substansia nigra di batang otak.
Neuron – neuron ini terutama berakhir pada region striata ganglia
basalis. Pengaruh dopamin biasanya bersifat inhibisi. Pada skizofrenia
diduga terjadi produksi dopamin yang berlebihan akibat sekresi dari
sekelompok neuron proyeksi dopamine. Neuron – neuron ini
menghasilkan system dopaminergik mesolimbik yang menjulurkan
serabut-serabut saraf dan sekresi dopamine ke bagian medial dan
anterior dari sistem limbik, khususnya ke dalam hipokampus, amigdala,
nukleus kaudatus anterior dan sebagian lobus prefrontalis. Semua ini
merupakan pusat-pusat pengatur tingkah laku yang sangat berpengaruh.
Dengan menggunakan antipsikotik tipikal dianggap mampu mengurangi
efek produksi dopamin yang berlebihan. Potensi antipsikotik untuk
menurunkan gejala psikotik sangat berhubungan dengan afinitas obat
tersebut dengan reseptor D2. Antipsikotik tipikal bekerja mengurangi
produksi dopamine yang berlebihan dengan cara menghambat atau
mencegah dopamine endogen untuk mengaktivasi reseptor.
Antipsikotik tipikal mempunyai cara kerja dengan memblok
reseptor D2 khususnya di mesolimbik dopamine pathways, oleh karena
itu sering disebut juga dengan antagonis reseptor dopamin (ARD) atau
antipsikotik konvensional. Kerja dari antipsikotik ini menurunkan
hiperaktivitas dopamine dijalur mesolimbik sehingga menyebabkan
gejala positif menurun tetapi ternyata tidak hanya memblok reseptor D2

18
di mesolimbik tetapi juga di tempat lain seperti dijalur mesokortikal,
nigrostriatal, dan tuberoinfundibular.
Apabila antipsikotik tipikal memblok reseptor D2 dijalur
mesokortikal, dapat memperberat gejala negatif dan gejala kognitif
disebabkan penurunan dopamin di jalur tersebut. Jika hal ini terjadi,
maka merupakan sebuah tantangan terapi, karena blokade reseptor
dopamin di jalur ini secara teoritis akan menyebabkan memburuknya
gejala negatif dan kognitif.
Blokade reseptor D2 di nigrostriatal dapat menyebabkan timbulnya
gangguan dalam mobilitas seperti pada parkinson, bila pemakaian
secara kronik dapat menyebabkan gangguan pergerakan hiperkinetik
(tardive dyskinesia). Jalur nigrostriatal dopamin, sebagai bagian dari
sistem saraf ekstrapiramidal, mengontrol movements atau pergerakan.
Blokade reseptor D2 di tuberoinfundibular oleh antipsikotik tipikal
menyebabkan peningkatan kadar prolaktin sehingga dapat terjadi
disfungsi seksual dan peningkat berat badan. Fungsi normal jalur
dopamin tuberoinfundibular menghambat pelepasan prolaktin. Pada
wanita postpartum, aktivitas di jalur ini menurun, sehingga
memungkinkan laktasi.
Antipsikotik selain menyebabkan terjadinya blokade reseptor D2
pada keempat jalur dopamine, juga menyebabkan terjadinya blokade
reseptor kolinergik muskarinik sehingga timbul efek samping
antikolinergik berupa mulut kering, pandangan kabur, konstipasi dan
kognitif tumpul. Reseptor histamin (H1) juga terblok sehingga timbul
efek samping mengantuk dan meningkatkan berat bdan. Selain itu
antipsikotik juga memblok reseptor alfa1 adrenergik sehingga dapat
menimbulkan efek samping pada kardiovaskuler berupa hipotensi
ortostatic, mengantuk, pusing, dan tekanan darah menurun.
c. Contoh Obat Antipsikotik Tipikal
Contoh obat antipsikotik tipikal antara lain haloperidol, thioridazin,
thiothixen, flupenazin, trifluoperazin, klorpromazin, dan perfenazin.

19
Haloperidol merupakan derivat butirofenon yang termasuk
antipsikotik golongan pertama atau tipikal. Haloperidol merupakan obat
antipsikotik generasi pertama yang bekerja dengan cara memblokade
reseptor dopamin pada reseptor pasca sinaptik neuron di otak,
khususnya di sistem limbik dan sistem ekstrapiramidal (Dopamin D2
reseptor antagonists). Haloperidol sangat efektif dalam mengobati
gejala positif pada pasien skizofrenia, seperti mendengar suara, melihat
hal-hal yang sebenarnya tidak ada dan memiliki keyakinan yang aneh
(Yulianty et al., 2017).
Chlorpromazine memiliki mekanisme kerja sebagai antagonis
reseptor D2 dan D3 yang merupakan antipsikotik tipikal yang mampu
mengatasi gejala positif pada pasien skizofrenia, tetapi kurang efektif
dalam mengatasi gejala negatif. Chlorpromazine bekerja pada beberapa
reseptor seperti reseptor dopamin, muskarinik, kolinergik, adrenergik
(α1) dan histaminergik (H1) serta memiliki efek sedatif kuat yang dapat
mengatasi gejala (Handayani et al., 2018).
d. Efek Samping
Mekanisme kerja antipsikotik pada penghambatan reseptor
dopamine ternyata memberi efek merugikan pada neurologis dan
endokrinologi. Selain itu, berbagai antipsikotik juga menghambat
reseptor noradrenergik, kolinergik, dan histaminergik jadi
menyebabkan bervariasinya sifat efek merugikan yang ditemukan
pada obat – obat tersebut.
Interferensi dengan transmisi dopaminergik dapat mengakibatkan
efek samping baik endokrinologis seperti hiperprolaktinemia, yang
dapat memanifestasikan dirinya sebagai galaktorea, amenorea dan
ginekomastia, dan efek samping ekstrapiramidal (EPS). Selanjutnya,
penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan penambahan berat
badan. Kombinasi dari semua efek samping tersebut akan sangat
mungkin mempengaruhi kualitas hidup pasien dan keinginan mereka
untuk melanjutkan dan mematuhi terapi.

20
2.3.3 Antipsikotik Atipikal
a. Definisi
Antipsikotik Atipikal (AAP), yang juga dikenal sebagai antipsikotik
generasi kedua, adalah kelompok obat penenang antipsikotik
digunakan untuk mengobati kondisi jiwa. Beberapa antipsikotik
atipikal yang disetujui FDA untuk digunakan dalam pengobatan
skizofrenia. Beberapa disetujui FDA untuk indikasi mania akut,
depresi bipolar, agitasi psikotik, pemeliharaan bipolar, dan indikasi
lainnya. Kedua generasi obat cenderung untuk memblokir reseptor
dalam jalur dopamin otak, tetapi antipsikotik atipikal berbeda dari
antipsikotik tipikal karena cenderung dapat menyebabkan gangguan
ekstrapiramidal pada pasien, yang meliputi penyakit gerakan
parkinsonisme, kekakuan tubuh dan tremor tak terkontrol. Gerakan –
gerakan tubuh yang abnormal bisa menjadi permanen obat bahkan
setelah antipsikotik dihentikan.
b. Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja dari antipsikotik atipikal sangat berbeda tiap
obatnya. Antipsikotik mengikat reseptor secara bervariasi, sehingga
antipsikotik hanya memiliki kesamaan efek anti-psikotik, efek
sampingnya sangat bervariasi. Tidak jelas mekanisme di belakang aksi
antipsikotik atipikal. Semua antipsikotik bekerja pada sistem dopamin
tapi semua bervariasi dalam hal afinitas ke reseptor dopamin.
Ada 5 jenis reseptor dopamin pada manusia. Kelompok "D1-like"
contohnya tipe 1 dan 5, mirip dalam struktur dan sensitivitas obat.
Kelompok "D2-like" termasuk reseptor dopamin 2, 3 dan 4 dan
memiliki struktur yang sangat serupa tetapi sensitivitas sangat berbeda.
Reseptor "D1-like" telah ditemukan bahwa tidak secara klinis relevan
dalam tindakan terapeutik.
Jika reseptor D1 merupakan komponen penting dari mekanisme
AAP, memblokir reseptor D1 hanya akan meningkatkan gejala psikiatri
yang tampak. Jika reseptor D1 mengikat komponen penting dari
antipsikotik, reseptor D1 perlu ada dalam pemeliharaan dosis. Ini tidak

21
terlihat. D1 tidak ada atau mungkin ada dalam jumlah rendah atau dapat
diabaikan, bahkan tidak mempertahankan penghapusan gejala yang
terlihat.
Kelompok reseptor dopamin "D2-like" diklasifikasikan berdasarkan
strukturnya, bukan berdasarkan sensitivitas obat. Telah ditunjukkan
bahwa blokade reseptor D2 diperlukan untuk tindakan. Semua
antipsikotik mengeblok reseptor D2 sampai taraf tertentu, tetapi afinitas
antipsikotik bervariasi antar obat. Afinitas yang bervariasi
menyebabkan perubahan pada efektivitas.
Satu teori bagaimana antipsikotik atipikal bekerja adalah teori
"cepat-off". AAP memiliki afinitas rendah untuk reseptor D2 dan hanya
mengikat pada reseptor secara longgar dan cepat dilepaskan. AAP
secara cepat mengikat dan memisahkan dirinya pada reseptor D2 untuk
memungkinkan transmisi dopamin normal. Mekanisme pengikat
sementara ini membuat tingkat prolaktin normal, kognisi tidak
terpengaruh, dan menyingkirkan EPS.
Dari sudut pandang historis telah ada penelitian terhadap peran
serotonin dan pengobatan dengan menggunakan antipsikotik.
Pengalaman dengan LSD menunjukkan bahwa blokade reseptor 5-
HT2A mungkin merupakan cara yang menjanjikan untuk mengobati
skizofrenia. Satu masalah dengan hal ini adalah kenyataan bahwa gejala
psikotik yang disebabkan oleh agonis reseptor 5-HT2 berbeda secara
substansial dari gejala – gejala psikosis skizofrenia. Salah satu faktor
yang menjanjikan ini adalah tempat reseptor 5-HT2A terletak di otak.
Mereka terlokalisasi pada sel-sel hipokampus dan korteks piramidal dan
memiliki kepadatan yang tinggi di lapisan neokorteks lima, tempat
masukan dari berbagai daerah otak kortikal dan subkortikal terintegrasi.
Pemblokiran reseptor area ini menarik mengingat daerah – daerah di
otak yang menarik dalam pengembangan skizofrenia.Bukti
menunjukkan fakta bahwa serotonin tidak cukup untuk menghasilkan
efek antipsikotik tetapi aktivitas serotonergik dalam kombinasinya
dengan blokade reseptor D2 mungkin untuk menghasilkan efek

22
antipsikotik. Terlepas dari neurotransmiter, AAP memiliki efek pada
obat – obatan antipsikotik muncul untuk bekerja dengan menginduksi
restrukturisasi jaringan saraf. Mereka mampu mendorong perubahan –
perubahan struktur.
c. Contoh Obat Antipsikotik Atipikal
Beberapa contoh antipsikotik atipikal antara lain risperidone,
quetiapine, dan olanzapine (Baihaqi, 2007).
Clozapin adalah antipsikotik generasi kedua yang termasuk kelas
dibenzodiazepine, merupakan neuroleptik atipikal dengan afinitas tinggi
untuk reseptor dopamin D4 dan afinitas rendah untuk subtype lain,
antagonis di alpha-adrenoseptor, reseptor 5-HT2A, reseptor muskarinik,
dan reseptor histamin H1. Clozapin bekerja dengan menduduki reseptor
D2 hanya sekitar 38%-48%. Bahkan dengan dosis setinggi 900 mg
sehari, kurang dari 50% dari reseptor D2 ditempati (Wells, B.G. et al,
2015).
Risperidon merupakan derivat dari benzisoxazole dengan afinitas
terhadap reseptor serotonin 5-HT2 dan dopamin D2 dan beberapa
afinitas terhadap reseptor alfa-adrenergik, histamin H2, dan dopamin
D1. Risperidon memiliki afinitas yang lebih tinggi terhadap reseptor
dopamin D2 daripada clozapin. Risperidon diindikasikan untuk terapi
skizofrenia baik untuk gejala negatif maupun positif (Mangarell dan
Martinez, 2006).
Olanzapin adalah antagonis monoaminergik selektif dengan ikatan
afinitas tinggi pada reseptor 5-HT2 dan D1, D2, D3, dan D4. Olanzapin
merupakan obat yang aman dan efektif untuk mengobati skizofrenia
baik simpton positif maupun negatif. Aripiprazole memiliki afinitas
tinggi terhadap reseptor D2 dan D3, serta reseptor 5-HT1a dan 5-HT2a.
Meskipun mekanisme kerja tidak diketahui, aripiprazole dapat
memediasi efeknya melalui kombinasi aktivitas agonis parsial pada
reseptor D2 dan 5-HT1a dan aktivitas antagonis pada reseptor 5-HT2a
(Mangarell dan Martinez, 2006).

23
d. Efek Samping
Efek samping yang dilaporkan terkait dengan berbagai antipsikotik
atipikal bervariasi dan spesifik pada masing-masing obat. Secara umum,
antipsikotik atipikal diharapkan memiliki kemungkinan lebih rendah
untuk terjadinya tardive dyskinesia daripada antipsikotik
tipikal.Namun, tardive dyskinesia biasanya berkembang setelah
penggunaan antipsikotik jangka panjang (mungkin beberapa dekade).
Tidak jelas, kemudian, jika antipsikotik atipikal, yang telah di gunakan
untuk waktu yang relatif singkat, menghasilkan insiden tardive
dyskinesia yang lebih rendah.
Akathisia lebih cenderung kurang intens dengan obat daripada
antipsikotik tipikal. Walaupun banyak pasien akan membantah klaim
ini. Pada tahun 2004, Komite untuk Keselamatan Obat- o batan (CSM)
di Inggris mengeluarkan peringatan bahwa olanzapine dan risperidone
tidak boleh diberikan kepada pasien lansia dengan demensia, karena
peningkatan risiko stroke. Kadang – kadang antipsikotik atipikal dapat
menyebabkan perubahan abnormal pada pola tidur, dan kelelahan
ekstrim dan kelemahan.
Pada tahun 2006, USA Today mempublikasikan sebuah artikel
tentang efek obat antipsikotik pada anak – anak. Tak satu pun dari
antipsikotik atipikal (Clozaril, Risperdal, Zyprexa, Seroquel, Abilify,
dan Geodon) telah disetujui untuk anak – anak, dan ada sedikit
penelitian tentang dampaknya pada anak – anak. Dari 2000 – 2004, ada
45 kematian dilaporkan, di mana sebuah antipsikotik atipikal tercatat
sebagai tersangka utama. Ada juga 1.328 laporan efek samping yang
serius, dan kadang – kadang mengancam kehidupan. Ini termasuk
tardive dyskinesia dan distonia.
Beberapa efek samping lain yang telah diusulkan adalah bahwa
antipsikotik atipikal meningkatkan resiko penyakit jantung. Penelitian
Kabinoff dkk. mengatakan peningkatan penyakit kardiovaskular dilihat
terlepas dari perlakuan yang mereka terima, melainkan disebabkan oleh
berbagai faktor seperti gaya hidup atau diet. Efek samping seksual juga

24
telah dilaporkan. Antipsikotik mengurangi gairah seksual laki – laki,
merusak performa seksual dengan kesulitan utama berupa kegagalan
untuk ejakulasi. Pada wanita mungkin ada siklus haid normal dan
infertilitas. Pada laki – laki dan perempuan mungkin payudara
membesar dan kadang – kadang akan mengeluarkan cairan dari puting.

25
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Gangguan jiwa menurut PPDGJ III adalah sindrom pola perilaku seseorang
yang secara khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) atau
hendaya (impairment) didalam satu atau lebih fungsi yang penting dari
manusia, yaitu fungsi psikologi, perilaku, biologi dan gangguan itu tidak hanya
terltak didalam hubungan antara orang itu tetapi juga dengan masyarakat
(Maslim, 2002 ; Maramis, 2010).
Gejala yang paling utama pada gangguan jiwa terdapat pada unsur
kejiwaan, biasanya tidak terdapat penyebab tunggal, akan tetapi terdapat
beberapa penyebab dari beragai unsur yang saling mempengaruhi atau
kebetulan terjadi bersamaan, lalu muncul gangguan kejiwaan.
Gangguan jiwa merupakan suatu masalah kesehatan yang masih sangat
penting untuk diperhatikan, hal itu dikarenakan penderita tidak mempunyai
kemampuan untuk menilai realitas yang buruk. Gejala dan tanda yang
ditunjukkan oleh penderita gangguan jiwa antara lain gangguan kognitif,
gangguan proses pikir, gangguan kesadaran, gangguan emosi, kemampuan
berpikir, serta tingkah laku aneh.
Salah satu contoh gangguan jiwa adalah skizofrenia. Skizofrenia adalah
gangguan kejiwaan yang ditandai dengan ketidakmampuan seseorang untuk
menilai realitas (Reality Testing Ability/RTA) dengan baik dan memiliki
pemahaman diri (self insight) yang buruk (Akbar et al, 2015). Skizofrenia
merupakan penyakit gangguan otak parah dimana penderitanya
menginterpretasikan realitas secara abnormal. Kemampuan orang dengan
skizofrenia untuk berfungsi normal dan merawat diri mereka sendiri cenderung
menurun dari waktu ke waktu. Penyakit ini merupakan kondisi kronis, yang
memerlukan pengobatan seumur hidup (Ikawati, 2014).
Skizofrenia ditandai dengan gejala positif, negatif dan kognitif.
Farmakoterapi skizofrenia yang paling sering digunakan adalah antipsikotik.

26
Golongan antipsikotik dibagi ke dalam dua jenis, yakni antipsikotik generasi
pertama dan generasi kedua. Obat antipsikotik tipikal yang juga disebut obat
neuroleptik atau mayor transkuilizer merupakan golongan obat psikotropik
yang bekerja menghambat reseptor dopamine tipe 2 (D2). Obat antipsikotik
tipikal merupakan antipsikotik generasi pertama yang terdiri dari tiga golongan
yaitu golongan fenotiazin (chlorpromazine, trifluoperazine, fluphenazine,
perphenazine), golongan butyrophenone (haloperidol) dan golongan diphenyl-
butyl-piperidine (pimozide). Antipsikotik atipikal (AAP), yang juga dikenal
sebagai antipsikotik generasi kedua, adalah kelompok obat penenang
antipsikotik digunakan untuk mengobati kondisi jiwa. Mekanisme kerja dari
antipsikotik atipikal sangat berbeda tiap obatnya. Antipsikotik mengikat
reseptor secara bervariasi, sehingga antipsikotik hanya memiliki kesamaan efek
anti-psikotik, efek sampingnya sangat bervariasi. Contoh antipsikotik atipikal
antara lain risperidone, quetiapine, dan olanzapine
Efek samping antipsikotik dapat dikelompokkan menjadi efek samping
neurologis dan non neurologis. Efek samping neurologis berupa sindrom
parkinson, akatisia, distonia, sindrom neuroleptik maligna, tardive dyskinesia.
Sedangkan efek samping nonneurologis berupa efek pada kardiovaskuler,
hipotensi ortostatik, kematian mendadak, efek endokrinologi, efek dermatologi,
efek antikolinergik perifer dan sebagainya.

27
DAFTAR PUSTAKA

Andri, A. dkk. 2015. “Psychiatric-Mental Health Nursing”. Jakarta : Naskah

Publikasi.

Anggara, Dipta. 2020. “Efek Samping Antipsikotik Atipikal” : IDOCPUB.

Ardiyanti, D.M. 2016. “Kategori Pasien Gangguan Jiwa Berdasarkan Triage di

Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta”. Doctoral

dissertation. Surakarta : Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Dania H., Faridah I. N., Rahmah K. F., Abdulah R., Barliana M. I., Perwitasari D.

A. 2019. “Hubungan Pemberian Terapi Antipsikotik terhadap Kejadian

Efek Samping Sindrom Ekstrapiramidal pada Pasien Rawat Jalan di Salah

Satu Rumah Sakit di Bantul, Yogyakarta”. Sumedang : Jurnal Farmasi

Klinik Indonesia.

Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto. 2013. “Buku Ajar Psikiatri”. Jakarta :

Badan Penerbit FK UI.

Hafifah A., Puspitasari I. M., Sinuraya R. K. 2018. “ Review Artikel: Farmakoterapi

dan Rehabilitasi Psikososial pada Skizofrenia”. Sumedang: Farmaka.

Hariyanto I., Putri R. A., Untari E. K. 2016. “Perbedaan Jenis Terapi Antipsikotik

terhadap Lama Rawat Inap Pasien Skizofrenia Fase Akut di RSJD Sungai

Bangkong Pontianak”. Pontianak : Jurnal Farmasi Klinik Indonesia.

28
Lesmana, Cokorda Bagus Jaya. 2017. “Buku Panduan Koas: Ilmu Penyakit Jiwa”.

Denpasar : Fakultas Kedokteran Udayana.

Maslim, Rusdi. 2013. “Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III

dan DSM-V Cetakan 2 – Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas

Kedokteran Unika Atma Jaya”. Jakarta : PT. Nuh Jaya.

Puri B. K., Laking P. J., dan Treasaden I. H. 2011. “Buku Ajar Psikiatri Edisi 2”.

Jakarta : EGC.

Suryani. 2013. "Mengenal Gejala dan Penyebab Gangguan Jiwa". Seminar

Nasional : Stigma Terhadap Orang Gangguan Jiwa. BEM Psikologi

UNJANI.

Susilawati, Luh K. P., dkk. 2017. “Buku Ajar: Materi Kuliah Psikoterapi I”.

Denpasar : Fakultas Kedokteran Udayana.

Yusuf, A, H,. P, K, Rizky, Fitryasari & Nihayati, Hanik, Endang. 2015. “Buku Ajar

Keperawatan Kesehatan Jiwa”. Jakarta : Salemba Medika.

29

Anda mungkin juga menyukai