Disusun Oleh:
Pembimbing:
dr. Indra Syakti Nasution, Sp.FM
DEPARTEMEN FORENSIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2021
HALAMAN PENGESAHAN
Referat
Judul:
KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK
Oleh:
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Departemen Forensik Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang periode 23 September – 9
Oktober 2021.
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul
“Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak”. Referat ini disusun sebagai salah
satu tugas dalam kepaniteraan klinik di Departemen Forensik Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Indra Syakti Nasution,
Sp.FM, selaku pembimbing referat ini yang telah memberikan bimbingan dan
nasihat dalam penyusunan telaah ilmiah ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih memiliki banyak kekurangan.
Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun
agar referat ini menjadi lebih baik. Harapan penulis semoga referat ini bisa
membawa manfaat bagi semua orang dan dapat digunakan dengan sebaik-baiknya.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...............................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN................................................................................ii
KATA PENGANTAR..........................................................................................iii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR..............................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................2
2.1 Definisi Kekerasan.............................................................................................................2
2.2 Kekerasan Terhadap Perempuan........................................................................................3
2.2.1 Definisi Kekerasan Terhadap Perempuan............................................................3
2.2.2 Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan.............................................................4
2.2.3 Faktor yang Mempengaruhi Kekerasan Terhadap Perempuan.............................6
2.2.4 Dampak Kekerasan Terhadap Perempuan............................................................8
2.2.5 Aspek Medikolegal Kekerasan Terhadap Perempuan..........................................9
2.3 Kekerasan Terhadap Anak...............................................................................................14
2.3.1 Definisi Kekerasan Terhadap Anak...................................................................14
2.3.2 Bentuk Kekerasan Terhadap Anak.....................................................................15
2.3.3 Faktor yang Mempengaruhi Kekerasan Terhadap anak.....................................18
2.3.4 Dampak Kekerasan Terhadap Anak...................................................................18
2.3.5 Aspek Medikolegal Kekerasan Terhadap Anak.................................................20
2.4 Jenis Kekerasan Menurut Hukum.....................................................................................22
2.5 Tata cara Pemeriksaan dan Interpretasi Korban Kekerasan terhadap
Perempuan dan anak.................................................................................................................22
2.5.1 Tata cara Pemeriksaan Pemeriksaan..................................................................22
2.5.2 Ciri-Ciri Korban Kekerasan...............................................................................29
2.5.3 Interpretasi Hasil Pemeriksaan Medikolegal......................................................31
2.5.4 Tatalaksana dan Rujukan...................................................................................36
BAB III SIMPULAN...........................................................................................40
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................41
iv
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Sebaran kekerasan terhadap anak menurut jenis kekerasan, 2016...................17
2. Jumlah kasus kekerasan terhadap anak menurut jenis kelamin dan jenis
kekerasan yang dialami, 2016..........................................................................17
v
vi
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
dan psikologis dapat terjadi dalam lingkungan keluarga atau masyarakat. 6
Dalam Deklarasi PBB tahun 1993, kekerasan terhadap perempuan
dirumuskan dalam Pasal 1 Deklarasi Penghapusan Kekerasan.7
Terhadap Perempuan 1993 sebagai setiap tindakan berdasarkan
perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat
kesengsaraan atau penderitaan terhadap wanita secara fisik, seksual atau
psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau
perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di
depan umum atau dalam kehidupan pribadi.
Definisi kekerasan terhadap anak menurut WHO mencakup semua
bentuk perlakuan yang salah baik secara fisik dan/atau emosional, seksual,
penelantaran, dan eksploitasi yang berdampak atau berpotensi
membahayakan kesehatan anak, perkembangan anak, atau harga diri anak
dalam konteks hubungan tanggung jawab.8 Kekerasan terhadap Anak yang
selanjutnya disingkat KtA adalah semua bentuk tindakan/perlakuan yang
menyakitkan secara fisik, psikis, seksual atau penelantaran, yang
mengakibatkan atau dapat mengakibatkan cidera/kerugian nyata terhadap
kesehatan anak, kelangsungan hidup anak, tumbuh kembang anak atau
martabat anak.9
3
Dalam Deklarasi PBB tahun 1993, kekerasan terhadap
perempuan dirumuskan dalam Pasal 1 Deklarasi Penghapusan
Kekerasan Terhadap Perempuan 1993 sebagai setiap tindakan
berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin
berakibat kesengsaraan atau penderitaan terhadap wanita secara
fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu,
pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-
wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan
pribadi.10
Kekerasan dalam rumah tangga merupakan salah satu bagian
dari kekerasan terhadap perempuan. Menurut Undang-Undang RI
No. 23 Tahun 2004, yang dimaksud dengan kekerasan dalam
rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran
rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum
dalam lingkup rumah tangga. Tindakan kekerasan terhadap istri
dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk kekerasan yang
seringkali terjadi pada perempuan. Tindakan ini seringkali
dikaitkan dengan penyiksaan baik fisik maupun psikis yang
dilakukan oleh orang yang mempunyai hubungan yang dekat.6
4
Kekerasan fisik juga didefinisikan dalam undang-undang yakni
UU No. 23 Tahun 2004 mengenai Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga dimana pemerintah menjelaskan bahwa
kekerasan fisik meliputi tindakan yang mengakibatkan rasa
sakit, jatuh sakit, atau luka berat pada orang lain.12
b. Kekerasan Psikis/Emosional
Kekerasan secara emosional seringkali tidak
menimbulkan luka secara fisik, tetapi dapat berdampak buruk
pada kondisi mental korban. Selain itu, kondisi mental juga
tentu dapat mempengaruhi seluruh kehidupan korban,
pemikiran korban, dan bahkan dapat membuat korban
merasakan sakit secara fisik. Menurut KemenPPPA (2018)
kekerasan emosional meliputi tindakan mengancam atau
memanggil dengan sebutan yang mempermalukan, menjelek-
jelekan.11
UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga pada Bab III Pasal 7 mendefinisikan
kekerasan psikis sebagai perbuatan yang mengakibatkan
ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan
untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis
berat pada seseorang.12
c. Kekerasan Seksual
Menurut KemenPPPA (2018) kekerasan seksual yang
diterima perempuan berupa tindakan memeluk, mencium,
meraba hingga memaksa untuk melakukan hubungan seksual
dibawah ancaman.11 Kemudian, UU No. 23 Tahun 2004 dalam
Bab III Pasal 8 menyatakan bahwa kekerasan seksual
meliputi:12
1) Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap
orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut.
5
2) Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam
lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan
komersial dan/atau tujuan tertentu.
d. Kekerasan Ekonomi
Menurut UU No. 23 Tahun 2004 menyatakan bahwa setiap
orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah
tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau
karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan
kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang
tersebut.12
6
Jika dilihat dari bentuk pengesahan perkawinan, seperti
melalui kawin siri, secara agama, adat, kontrak, atau lainnya
perempuan yang menikah secara siri, kontrak, dan lainnya
berpotensi 1,42 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik
dan/atau seksual dibandingkan perempuan yang menikah
secara resmi diakui negara melalui catatan sipil atau KUA.
Selain itu, faktor seringnya bertengkar dengan suami,
perempuan dengan faktor ini beresiko 3,95 kali lebih tinggi
mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual, dibandingkan
yang jarang bertengkar dengan suami/pasangan. Perempuan
yang sering menyerang suami/pasangan terlebih dahulu juga
beresiko 6 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau
seksual dibandingkan yang tidak pernah menyerang
suami/pasangan lebih dahulu.14
b. Faktor pasangan
Perempuan yang suaminya memiliki pasangan lain
berisiko 1,34 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik
dan/atau seksual dibandingkan perempuan yang suaminya tidak
mempunyai istri/pasangan lain. Begitu juga dengan perempuan
yang suaminya berselingkuh dengan perempuan lain cenderung
mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual 2,48 kali lebih
besar dibandingkan yang tidak berselingkuh.
Disamping itu, ada pula perempuan yang memiliki suami
menggangur beresiko 1,36 kali lebih besar mengalami
kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan yang
pasangannya bekerja/tidak menganggur. Faktor suami yang
pernah minum miras, perempuan dengan kondisi suami
tersebut cenderung 1,56 kali lebih besar mengalami kekerasan
fisik dan/atau seksual dibandingkan yang suaminya tidak
pernah minum miras. Perempuan dengan suami pengguna
narkotika beresiko mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual
7
2 kali lebih besar dibandingkan yang tidak pernah
menggunakan narkotika.14
c. Faktor ekonomi
Perempuan yang berasal dari rumahtangga dengan tingkat
kesejahteraan yang semakin rendah cenderung memiliki risiko
yang lebih tinggi untuk mengalami kekerasan fisik dan/atau
seksual oleh pasangan. Aspek ekonomi merupakan aspek yang
lebih dominan menjadi faktor kekerasan pada perempuan
dibandingkan dengan aspek pendidikan. Hal ini paling tidak
diindikasikan oleh pekerjaan pelaku yang sebagian besar adalah
buruh, dimana kita tahu bahwa tingkat upah buruh di Indonesia
masih tergolong rendah dan hal ini berdampak pada tingkat
kesejahteraan rumahtangga.14
d. Faktor sosial budaya
Seperti timbulnya rasa khawatir akan bahaya kejahatan
yang mengancam. Perempuan yang selalu dibayangi
kekhawatiran ini memiliki risiko 1,68 kali lebih besar
mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan,
dibandingkan mereka yang tidak merasa khawatir. Perempuan
yang tinggal di daerah perkotaan memiliki risiko 1,2 kali lebih
besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh
pasangan dibandingkan mereka yang tinggal di daerah
perdesaan.14
8
mengalami gangguan psikis seperti hilangnya rasa percaya diri
(menutup diri), ketakutan yang berlebihan, dan sebagainya.15
Kekerasan yang terjadi terkadang dilakukan pula secara
berulang oleh pelaku pada korban yang sama. Kekerasan semacam
ini dapat memperburuk keadaan si korban. Secara psikologis tentu
akan muncul rasa takut hingga depresi. Hal tersebut biasanya
terjadi karena adanya ketergantungan perempuan terhadap pelaku
(misalnya ketergantungan secara ekonomi). Seringkali pilihan
menempuh jalur hukum pun merupakan alternatif pilihan yang sulit
karena adanya ketergantungan tersebut. Akibat lain dari kekerasan
dalam perempuan adalah stress, depresi, rasa takut, trauma, cacat
fisik, perceraian, bahkan kematian.15
Kekerasan yang terjadi pada istri dapat pula melahirkan
kekerasan lanjutan. Anak dapat menjadi korban kekerasan dalam
rumah tangga baik itu secara langsung oleh si pelaku maupun
menjadi korban kedua (lanjutan) atas kekerasan dalam rumah
tangga yang dialami oleh si korban pertama. Misalnya, suami
melakukan kekerasan pada istri dan kemudian istri melampiaskan
kekerasan tersebut pada si anak. Pada anak, selain berdampak pada
kondisi psikologis (traumatik), dalam jangka panjang dapat
berdampak pula pada munculnya kecenderungan untuk menjadi
pelaku kekerasan dalam rumah tangga di masa yang akan datang.
Proses tumbuh kembang anak tentu menjadi terganggu.15
9
pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara,
terutama pemerintah. Dengan demikian, perlindungan hukum
terhadap perempuan korban kekerasan yang merupakan hak
perempuan juga menjadi tanggung jawab pemerintah.16
10
4) Perlindungan korban
Pasal 418
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bertujuan:
1) Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga
2) Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga
3) Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga
4) Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan
sejahtera
Pasal 2118
(1) Dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada korban,
tenaga kesehatan harus :
a. Memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar
profesinya
b. Membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap
korban dan visum et repertum atas permintaan penyidik
kepolisian atau surat keterangan medis yang memiliki
kekuatan hukum yang sama sebagai alat bukti.
(2) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
dilakukan di sarana kesehatan milik pemerintah, pemerintah
daerah, atau masyarakat.
Pasal 3918
Untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh
pelayanan dari:
a. Tenaga kesehatan;
b. Pekerja sosial;
c. Relawan pendamping; dan/atau
d. Pembimbing rohani.
Pasal 4018
(1) Tenaga kesehatan wajib memeriksa korban sesuai dengan
standar profesinya.
11
(2) Dalam hal korban memerlukan perawatan, tenaga kesehatan
wajib memulihkan dan merehabilitasi kesehatan korban.
Pasal 4218
Dalam rangka pemulihan terhadap korban, tenaga kesehatan,
pekerja sosial, relawan pendamping dan/atau pembimbing
rohani dapat melakukan kerja sama.
e. KUHP
Substansi hukum yang terkait dengan kekerasan terhadap
perempuan dapat dilihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP). Dalam KUHP terdapat beberapa Pasal yang
terkait secara Langsung dan dapat dikualifikasikan sebagai
tindak kekerasan fisik terhada perempuan yaitu Pasal 351
sampai dengan Pasal 356 KUHP.
12
Pasal 351 KUHP18
(1) Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama-
lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-
banyaknya Rp. 4500,-
(2) Jika perbuatan itu menjadikan luka berat, sitersalah
dihukum penjara selama-lamanya lima tahun.
(3) Jika perbuatan itu menjadikan mati orangnya, dia
dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.
(4) Dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan
orang dengan sengaja.
(5) Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dihukum.
Pasal 352 KUHP18
(3) Selain dari pada apa yang tersebut dalam pasal 353 dan
356, maka penganiayaan yang tidak menjadikan sakit atau
halangan untuk melakukan jabatan atau pekerjaan sebagai
penganiayaan ringan, dihukum penjara selama-lamanya
tiga bulan atau dengan sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,–.
Hukuman ini boleh ditambah dengan sepertiganya, bila,
kejahatan itu dilakukan terhadap orang yang bekerja
padanya atau yang ada dibawah perintahnya.
(4) Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dihukum.
Pasal 353 KUHP18
(1) Penganiayaan yang dilakukan dengan direncanakan
terlebih dahulu dihukum penjara selama-lamanya empat
tahun.
(2) Jika perbuatan itu menjadikan luka berat, sitersalah
dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.
(3) Jika perbuatan itu menjadikan kematian orangnya ia
dihukum penjara selama-lamanya sembilan tahun.
Pasal 354 KUHP18
13
(2) Barang siapa dengan sengaja melukai berat orang lain,
diancam karena melakukan penganiayaan berat dengan
pidana penjara paling lama delapan tahun.
(3) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian yang bersalah
diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan
tahun.
Pasal 355 KUHP18
(3) Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana
terlebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling
lama dua belas tahun.
(4) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah
diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas
tahun.
Pasal 356 KUHP18
Pidana yang ditentukan dalam pasal 351, 353, 354 dan 355
dapat ditambah dengan sepertiga:
(1) bila kejahatan itu dilakukan terhadap ibunya, ayahnya
yang sah, istrinya atau anaknya.
(2) bila kejahatan itu dilakukan terhadap Seorang pejabat
ketika atau karena menjalankan tugasnya yang sah.
(3) bila kejahatan itu dilakukan dengan memberikan bahan
yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan untuk dimakan
atau diminum.
14
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum.20
Dalam rangka perlindungan dan pencegahan kekerasan
pada anak, pemerintah juga telah memfasilitasi berdirinya lembaga
independen yang berfungsi untuk mengontrol keamanan,
kenyamanan dan terpenuhinya hak-hak anak yaitu dengan adanya
Komisi Perlindungan Anak Indonesia.20
2.3.2 Bentuk Kekerasan Terhadap Anak
Beberapa jenis kekerasan terhadap anak menurut PMK
no.68 tahun 2013, yaitu:9
a. Kekerasan Fisik
Kekerasan yang mengakibatkan cedera fisik nyata
ataupun potensial terhadap anak sebagai akibat dari interaksi
atau tidak adanya interaksi yang layaknya ada dalam kendali
orangtua atau orang dalam hubungan posisi tanggung jawab,
kepercayaan atau kekuasaan. Anak korban KtA berupa
kekerasan fisik dapat diduga dengan ditemukannya luka atau
cedera pada tubuh anak yang menurut ciri, letak dan sifatnya
bukan akibat suatu kecelakaan.9
b. Kekerasan Psikis/Emosional
Suatu perbuatan terhadap anak yang mengakibatkan
atau sangat mungkin akan mengakibatkan gangguan kesehatan
atau perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial.
Kekerasan psikis dapat berupa pembatasan gerak, sikap tindak
yang meremehkan, mencemarkan, mengkambinghitamkan,
mengancam, menakut-nakuti, mendiskriminasi, mengejek atau
menertawakan anak, atau perlakuan kasar lain atau penolakan.9
Anak korban kekerasan terhadap anak berupa kekerasan
dapat diduga dengan ditemukannya riwayat kekerasan psikis,
perubahan emosi dan perilaku serta terhambatnya
perkembangan fungsi fisik mental dan sosial.9
15
c. Kekerasan seksual
Perlibatan anak dalam kegiatan seksual, dimana ia
sendiri tidak sepenuhnya memahami atau tidak mampu
memberi persetujuan, yang ditandai dengan adanya aktivitas
seksual antara anak dengan orang dewasa atau anak lain dengan
tujuan untuk memberikan kepuasan bagi orang tersebut.9
Anak korban kekerasan terhadap anak berupa kekerasan
seksual dapat diduga dengan ditemukannya riwayat dan/atau
tanda penetrasi, persetubuhan, pengakuan adanya pelecehan
seksual atau bentuk kekerasan seksual lainnya.9
d. Penelantaran
Kegagalan dalam menyediakan segala sesuatu yang
dibutuhkan untuk tumbuh kembang anak yang bukan
disebabkan oleh karena keterbatasan sumber daya. Penelantaran
anak dapat berupa kegagalan dalam memenuhi kebutuhan
kesehatan, pendidikan, perkembangan emosional, nutrisi,
rumah atau tempat bernaung, serta keadaan hidup yang aman
dan layak.9
Anak korban kekerasan terhadap anak berupa
penelantaran dapat diduga dengan ditemukannya riwayat
dan/atau tanda penelantaran.3
e. Eksploitasi, penghilangan kemerdekaan, perdagangan orang
(trafficking)
Anak korban tindakan eksploitasi, penghilangan
kemerdekaan, dan perdagangan orang dapat diduga berdasarkan
adanya riwayat yang dapat dikuatkan dengan hasil penilaian
psiko-sosial anak.9
Anak korban tindakan eksploitasi, penghilangan
kemerdekaan, dan perdagangan orang yang telah meninggal
dapat diduga dari hasil pemeriksaan luar dan/atau bedah mayat
dengan atau tanpa pemeriksaan penunjang.9
16
Dari beberapa jenis kekerasan yang dilaporkan, ternyata
kekerasan seksual menempati posisi teratas diikuti kekerasan psikis
dan kekerasan fisik. Selama tahun 2016, Jumlah kasus kekerasan
seksual terhadap anak mencapai 35 persen dari total jumlah kasus
kekerasan terhadap anak, sementara kekerasan fisik dan kekerasan
psikis masing-masing sebanyak 28 persen dan 23 persen dari total
kasus. Jenis kasus kekerasan anak lain yang persentasenya cukup
besar adalah kasus penelantaran yaitu sekitar 7 persen.8
G
ambar 2. Jumlah kasus kekerasan terhadap anak menurut jenis
kelamin dan jenis kekerasan yang dialami, 2016
17
mengalami kekerasan fisik mencapai hampir 3 kali lipat dari
jumlah kasus yang menimpa anak laki-laki, bahkan untuk kasus
kekerasan seksual jumlah kasus yang terjadi pada anak perempuan
mencapai lebih dari 7 kali lipat dari jumah kasus kekerasan seksual
yang menimpa anak laki-laki. Selain itu, penelantaran anak juga
lebih banyak terjadi pada anak perempuan dibandingkan anak laki-
laki. Kekerasan terhadap anak perempuan didominasi oleh jenis
kekerasan seksual, sementara kekerasan terhadap anak laki-laki
didominasi kekerasan fisik.8
18
Pada lingkungan sekitar anak juga memiliki kontribusi
dalam menimbulkan kekerasan bila kontribusi keluarga lemah,
anak cenderung mencari jatidiri diluar secara tidak tepat serta
masyarakat yang cenderung acuh terhadap kewaspadaan
komunitas.20
19
3) Memperlihatkan kurang rasa percaya pada seseorang
4) Perubahan yang tiba-tiba pada kepribadian anak
c. Kekerasan emosional
1) Anak memperlihatkan perilaku yang ekstrim
2) Perkembangan fisik dan emosional anak lambat
3) Anak sering complain sakit kepala atau perut sakit karena
alasan yang tidak jelas
4) Anak terlihat frustasi ketika mengerjakan tugas
5) Anak mencoba bunuh diri
d. Penelantaran anak
1) Tidak masuk sekolah tanpa keterangan
2) Anak terlibat dalam kegiatan ilegal untuk memperoleh
kebutuhan dasar hidupnya
3) Anak terlihat kotor
4) Anak kekurangan pakaian yang pantas dan tampak tidak
berenergi
e. Anak terpapar kekerasan dalam rumah tangga
1) Meskipun anak tidak mengalami kekerasan, tetapi dia
sering melihat atau menyaksikan kekerasan yang terjadi
dalam rumahtangga, maka dampaknya dapat dilihat pada
perubahan perilaku anak seperti anak terlihat agresif,
depresi, suka marah, dan suka ketakutan.
2) Dampak social dari anak menyaksikan kekerasan bisa
berupa kesulitan dalam bergaul, berpotensi merasa terisolasi
dan terpinggirkan, dan masalah kepercayaan pada
seseorang.
3) Selanjutnya dari aspek psikologis, anak yang terpapar
kekerasan dalam rumahtangga bisa berdampak pada stress,
tidur tidak teratur dan trauma.
20
Dalam hal perlindungan pada anak, dicantumkan bahwa
anak berhak memperoleh perlindungan dari 6 hal tercantum dalam
pasal 15 dan 16 UU RI 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak
yang termasuk perlindungan dari pelibatan dalam peristiwa yang
mengandung unsur kekerasan.Terdapat Bab khusus yang mengatur
larangan yaitu Bab XI A tentang Larangan.20
Dalam hal kekerasan pada anak, diatur tersendiri dalam
pasal 76C-F. Dengan ketentuan sanksi pidana diatur dalam pasal
80-83. Adapun kekerasan atau trauma yang timbul dapat
menyebabkan luka dan sampai kematian. Dalam hubungan dengan
aspek hukum, akibat luka juga tercantum dalam:20
a. KUHP pasal 352, yaitu penganiayaan yang tidak menimbulkan
penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan
atau mata pencaharian (sebagai penganiayaan ringan).
b. KUHP pasal 351:1, yaitu penganiayaan yang menimbulkan
penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan
atau mata pencaharian.
c. KUHP pasal 351:2, yaitu penganiayaan yang menimbulkan
luka berat.
d. KUHP pasal 90 terkait kriteria luka berat.
e. KUHP pasal 338, 340, 355, 359 (mati).
21
a. Luka ringan: yang tergolong luka yang tidak menimbulkan
penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan
atau pencaharian.
b. Luka sedang: yang tergolong luka yang menimbulkan penyakit
atau halangan untuk menjalankan pekerjaan atau pencaharian
c. Luka berat, menurut KUHP pasal 90, maka “luka berat”
berarti:
1) Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan
akan sembuh sama sekali atau yang menimbulkan bahaya
maut.
2) Tidak mampu secara terus menerus untuk menjalankan
tugas jabatan atau pekerjaan pencaharian.
3) Kehilangan salah satu panca indera.
4) Mendapat cacat berat
5) Menderita sakit lumpuh
6) Terganggu daya pikir selama 4 minggu lebih
7) Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan
22
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, kekerasan berkaitan dengan
perdagangan manusia (human trafficking) diatur dalam Undang-undang
Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang, kekerasan yang berkaitan dengan diskriminasi ras
diatur dalam Undang-undang Nomor 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan
Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Rasial 1965.21
23
Langkah-langkah pemeriksaan terdiri dari :
a. Melakukan persetujuan/penolakan untuk dilakukan
pemeriksaan medis (informed consent/informed refusal)
b. Anamnesis melakukan auto dan atau alloanamnesis.
Autoanamnesis dilakukan setelah terjalin hubungan yang akrab
dan saling percaya antara petugas kesehatan dan anak yang
diduga sebagai korban dengan menggunakan alat bantu seperti:
boneka, alat tulis dan buku gambar. Hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam anamnesis :
1) Apabila memungkinkan, anamnesa terhadap anak yang
diduga sebagai korban dan pengantar dilakukan secara
terpisah.
2) Menilai adanya kemungkinan ketidaksesuaian yang muncul
antara penuturan orang tua/pengantar dan anak dengan
temuan medis.
3) Memperhatikan sikap/perilaku anak yang diduga sebagai
korban dan pengantar, apakah korban terlihat takut, cemas,
ragu-ragu dan tidak konsisten dalam memberikan jawaban.
4) Melengkapi rekam medis dengan identitas dokter
pemeriksa, pengantar, tanggal, tempat dan waktu
pemeriksaan serta identitas korban, terutama umur dan
perkembangan seksnya, tanggal hari pertama haid terakhir
dan apakah sedang haid saat kejadian.
5) Melakukan konfirmasi ulang urutan kejadian, apa yang
menjadi pemicu, penyiksaan apa yang telah terjadi, oleh
siapa, dengan menggunakan apa, berapa kali, apa
dampaknya terhadap anak yang diduga sebagai korban,
waktu dan lokasi kejadian.
6) Menggali informasi tentang :
24
a) Adakah perubahan perilaku anak setelah mengalami
trauma, seperti ngompol, mimpi buruk, susah tidur,
suka menyendiri, murung, atau agresif.
b) Keadaan kesehatan sebelum trauma.
c) Adakah riwayat trauma seperti ini sebelumnya.
d) Adakah riwayat penyakit dan masalah perilaku
sebelumnya.
e) Adakah faktor-faktor sosial budaya ekonomi yang
berpengaruh terhadap perilaku di dalam keluarga.
7) Jika ditemukan amnesia (organik atau psikogenik) lakukan
konseling atau rujuk jika memerlukan intervensi psikiatrik.
8) Periksa apakah ada tanda-tanda kehilangan kesadaran yang
diakibatkan pemberian NAPZA. Pada kasus kekerasan
seksual, tambahkan pertanyaan tentang hal-hal sebagai
berikut :
a) Waktu dan lokasi kejadian, ada tidaknya kekerasan
sebelum kejadian, segala bentuk kegiatan seksual yang
terjadi, termasuk bagian-bagian tubuh yang mengalami
kekerasan, ada tidaknya penetrasi, dengan apa penetrasi
dilakukan.
b) Adanya rasa nyeri, perdarahan dan atau keluarnya
cairan dari vagina.
c) Adanya rasa nyeri dan gangguan pengendalian buang
air besar dan/atau buang air kecil.
d) Apa yang dilakukan korban setelah kejadian kekerasan
seksual tersebut, apakah korban mengganti pakaian,
buang air kecil, membersihkan bagian kelamin dan
dubur, mandi atau gosok gigi.
e) Khusus untuk kasus kekerasan seksual pada remaja,
tanyakan kemungkinan adanya hubungan seksual dua
minggu sebelumnya.
25
c. Observasi selama melaksanakan anamnesis, lakukan
pengamatan tentang :
1) Adanya keterlambatan yang bermakna antara saat
terjadinya kekerasan dan saat mencari pertolongan medis.
2) Adanya ketidaksesuaian antara tingkat kepedulian orang tua
dengan beratnya trauma yang dialami anak.
3) Adanya interaksi yang tidak wajar antara
orangtua/pengasuh dengan anak, seperti adanya
pengharapan yang tidak realistis, keinginan yang tidak
memadai atau perilaku marah yang impulsif dan tidak
menyadari kebutuhan anak.
d. Pemeriksaan fisik
1) Memeriksa keadaan umum korban yang meliputi kesadaran
dan tanda-tanda vital.
2) Memperhatikan apakah ada luka lama dan baru yang sesuai
dengan urutan peristiwa kekerasan yang dialami. Suatu
kasus patut diduga sebagai kta bila ditemukan adanya:
a) Memar/jejas di kulit pada daerah yang tidak lazim
terkena kecelakaan seperti pipi, lengan atas, paha,
bokong dan genital.
b) Perlukaan multipel (ganda) dengan berbagai tingkat
penyembuhan; tanda dengan konfigurasi sesuai jari
tangan, tali atau kabel, kepalan, ikat pinggang bahkan
gigi orang dewasa.
c) Patah tulang pada anak usia dibawah tiga tahun, patah
tulang baru dan lama yang ditemukan bersamaan, patah
tulang ganda, patah tulang bentuk spiral pada tulang-
tulang panjang lengan dan tungkai, patah tulang pada
kepala, rahang dan hidung serta patahnya gigi.
26
d) Luka bakar seperti bekas sundutan rokok, luka bakar
pada tangan, kaki, atau bokong akibat kontak bagian-
bagian tubuh tersebut dengan benda panas, bentuk luka
yang khas sesuai dengan bentuk benda panas yang
dipakai untuk menimbulkan luka tersebut.
e) Cedera pada kepala, seperti perdarahan (hematoma)
subkutan atau subdural, yang dapat dilihat pada foto
rontgen, bercak/area kebotakan akibat tertariknya
rambut, baik yang baru atau berulang.
f) Lain-lain: dislokasi/lepas sendi pada sendi bahu atau
pinggul. Pada kasus kekerasan seksual, perlu
memperhatikan:
(1) Adanya tanda-tanda perlawanan atau kekerasan
seperti pakaian yang robek, bercak darah pada
pakaian dalam, gigitan, cakaran, ekimosis,
hematoma dan perhatikan kesesuaian tanda
kekerasan dengan urutan kejadian kekerasan.
Kadang-kadang tanda ini muncul dengan segera
atau setelah beberapa waktu kemudian.
Gunting/kerok kuku korban kanan dan kiri,
masukkan dalam amplop terpisah dan diberi label.
(2) Pemeriksaan ginekologik pada anak perempuan
(hanya dilakukan pemeriksaan luar, sedangkan
untuk pemeriksaan dalam harus dirujuk) :
(a) Rambut pubis disisir, rambut lepas yang
ditemukan mungkin milik pelaku dimasukan ke
dalam amplop. Rambut pubis korban
dicabut/digunting 3-5 helai masukan ke dalam
amplop yang berbeda dan diberi label.
(b) Periksa adanya luka di daerah sekitar paha,
vulva dan perineum.
27
(c) Catat jenis, lokasi, bentuk, dasar dan tepi luka.
Periksa selaput dara; pada selaput dara tentukan
ada atau tidaknya robekan, robekan baru atau
lama, lokasi robekan tersebut dan teliti apakah
sampai ke dasar atau tidak. Dalam hal tidak
adanya robekan, padahal ada informasi
terjadinya penetrasi, lakukan pemeriksaan
besarnya lingkaran lubang. Pada balita diameter
hymen (selaput dara) tidak lebih dari 5 mm, dan
dengan bertambahnya usia akan bertambah 1
mm. Bila ditemukan diameter sama atau lebih
dari 10 mm, patut dicurigai sudah terjadi
penetrasi oleh benda tumpul misalnya jari. Pada
remaja pemeriksaan dilakukan dengan
memasukkan satu jari kelingking.
Bila kelingking dapat masuk tanpa hambatan
dan rasa nyeri, lanjutkan pemeriksaan dengan
satu jari telunjuk, bila tanpa hambatan, teruskan
dengan jari telunjuk dan jari tengah (2 jari). Bila
dengan 2 jari tanpa hambatan, dicurigai telah
terjadi penetrasi. Bercak kering dikerok dengan
menggunakan skalpel, bercak basah diambil
dengan kapas lidi, dikeringkan pada suhu kamar
dan dimasukkan ke dalam amplop. Pemeriksaan
colok dubur baik pada anak laki-laki maupun
perempuan. Pada balita pemeriksaan dilakukan
dalam posisi menungging (knee-chest position).
Jangan menggunakan anuskop pada anak di
bawah 6 tahun, agar tidak menambah trauma
baru pada anak. Anuskop hanya digunakan
28
sesuai indikasi (dicurigai ada keluhan, infeksi,
perdarahan dalam).
29
f. Pemeriksaan penunjang pemeriksaan penunjang meliputi
rontgen dan USG (jika tersedia); pemeriksaan laboratorium:
darah dan urin rutin. Pada kasus kekerasan seksual ditambah
dengan:
1) Lakukan penapisan (screening) penyakit kelamin
2) Test kehamilan untuk mengetahui kemungkinan terjadinya
kehamilan.
3) Pemeriksaan mikroskop adanya sperma dengan
menggunakan nacl.
4) Apabila diperlukan, lakukan pengambilan darah dan urine
untuk pemeriksaan kandungan NAPZA, usapan rugae
untuk pemeriksaan adanya sperma.
30
kehamilan pada remaja, ditemukan cairan mani pada semen
disekitar mulut, genitali, anus atau pakaian; gangguan
pengendalian buang air besar dan buang air kecil; adanya
robekan atau bercak darah pada pakaian dalam anak, adanya
cedera atau perlukaan pada buah dada, bokong, perut bagian
bawah, paha, sekitar alat kelamin atau dubur; adanya tanda-
tanda penetrasi dan atau persetubuhan, atau bentuk kekerasan
seksual lainnya.
e. Anak korban penelantaran dapat diketahui melalui adanya
kegagalan tumbuh fisik maupun mental; malnutrisi tanpa dasar
penyakit organik yang sesuai; luka atau penyakit yang
dibiarkan tidak diobati; tidak memperoleh imunisasi dasar;
ditemukannya anak dengan tanda-tanda kulit kotor, rambut
kotor, gimbal, tidak terawat dan berkutu; gigi tidak bersih, bau;
keadaan umum lemah, letargik, dan lelah berkepanjangan.
31
diinterpretasikan sebagai bukti yang determinatif. Bukti medis
bukanlah satu-satunya komponen dalam pembuktian adanya KtA
dalam perkara pidana. Pemeriksaan Tempat Kejadian Perkara
(TKP), kesaksian, dan pemeriksaan barang bukti lain memiliki
nilai yang sama sebagai alat bukti yang sah. Selain itu, wawancara
forensik, penilaian sikap perilaku korban pasca kekerasan,
pemeriksaan laboratorium forensik seringkali sangat mendukung
pembuktian.
a. Pemeriksaan Fisik
Perlukaan yang ditemukan pada pemeriksaan fisik dapat
bervariasi, mulai dari memar, lecet, luka bakar, dan luka
terbuka, hingga ke cedera yang lebih dalam letaknya seperti
patah tulang ataupun cedera alat-alat dalam tubuh. Memar
umumnya diakibatkan oleh kekerasan tumpul yang memiliki
permukaan yang relatif rata atau lunak, seperti tangan kosong
atau tendangan. Memar seringkali dapat menunjukkan bentuk
atau pola permukaan kontak benda penyebabnya.
1) Memar yang berbentuk garis sejajar (tramline atau railway
haematome) menunjukkan cedera yang diakibatkan oleh
pukulan tongkat atau benda sejenis.
2) Bila bentuknya dua garis sejajar melengkung mungkin
disebabkan oleh benda berupa tali yang cukup kuat seperti
kabel.
3) Memar kadangkala tidak terjadi di lokasi trauma, misalnya
apabila terjadi di daerah dahi yang memarnya dapat terlihat
di kelopak mata atau di daerah tungkai bawah daerah tulang
kering yang memarnya dapat terlihat di pergelangan kaki.
32
Luka-luka terkadang memperlihatkan luka yang tidak sama
usianya, misalnya terdapat memar yang merah ungu dan
memar lainnya berwarna hijau kekuningan. Keadaan ini
menunjukkan adanya kekerasan yang berulang yang sangat
mungkin bukan akibat kecelakaan Dengan berjalannya waktu,
memar akan berubah warna dari merah ungu menjadi
kehijauan, coklat kekuningan dan akhirnya hilang. Satuan
waktu yang dibutuhkan untuk masing-masing perubahan warna
tersebut sangat bergantung kepada intensitas memar itu sendiri.
Pada umumnya apabila memar telah dikelilingi warna kuning
menunjukkan bahwa memar telah berumur setidaknya 18 jam.
Beberapa luka menunjukkan ciri khas akibat kekerasan
yang bukan akibat kecelakaan. Luka-luka seperti tramline
hematome, luka dengan bentuk dan pola tertentu yang khas,
luka bakar akibat sundutan rokok, dan memar berbentuk
telapak tangan, adalah sebagian contohnya.. Hal sama juga bisa
ditemukan dalam bentuk luka lecet, luka terbuka dan bahkan
patah tulang, yang terlihat dari perbedaan masa
penyembuhannya Luka lecet tekan hanya terlihat dengan baik
pada korban yang telah meninggal oleh karena terjadi
pengeringan epidermis, sedangkan pada korban hidup tidak
terlihat dengan jelas oleh karena pengeringan dicegah dengan
adanya perfusi jaringan. Luka lecet tekan biasanya diakibatkan
oleh benda tumpul yang permukaannya relatif rata dan relatif
lunak dengan gaya yang relatif ringan. Bentuk luka lecet tekan
juga dapat memperlihatkan bentuk permukaan kontak benda
penyebabnya. Luka lecet geser diakibatkan oleh geseran benda
tumpul dengan permukaan yang relatif tidak rata. Luka terbuka
(vulnus apertura) harus dapat dibedakan antara:21
1) Luka terbuka akibat kekerasan tajam (vulnus scissum)
dengan memperlihatkan ciri-ciri luka dengan bentuk seperti
33
garis lurus atau lengkung, tepi luka atau dinding luka yang
rata, dan pada sekitar lukanya tidak ditemukan lecet atau
memar. Apabila terjadi di daerah berambut maka besar
kemungkinan terlihat adanya folikel rambut yang terpotong
rata.
2) Luka terbuka akibat kekerasan tumpul (vulnus laceratum)
menunjukkan ciri-ciri luka sebaliknya, dan seringkali masih
terlihat adanya jembatan jaringan (ikat) yang
menghubungkan kedua tepi/dinding luka.
34
kemaluan, seperti di daerah vulva, vagina dan selaput dara,
dapat membawa kita kepada kesimpulan bahwa cedera tersebut
adalah sebagai tanda kekerasan. Perlu diingat bahwa daerah
yang paling sering mengalami cedera adalah daerah posterior
fourchette, selaput dara, fosa naviculare dan labium minus.
Cedera yang sering terlihat adalah memar, lecet, laserasi
dangkal, dan robekan selaput dara.
Dalam hal tanda kekerasan tersebut terletak di daerah
yang lebih “dalam” seperti di selaput dara atau vagina, maka
dapat ditarik kesimpulan bahwa kemungkinan besar atau
hampir pasti telah terjadi penetrasi (dengan pengertian bahwa
penetrasi tersebut tidak harus berupa penetrasi lengkap, dan
tidak harus oleh penis).
Memang harus diakui bahwa masih ada kelemahan dari
kesimpulan ini, yaitu kita tidak dapat memastikan kapan
terjadinya kekerasan tersebut – apalagi bila cedera tersebut
adalah cedera “lama”. Robekan selaput dara yang telah berusia
lebih dari lima hari umumnya memiliki ciri yang sama dengan
robekan lama lainnya.
Sebaliknya, tidak ditemukannya tanda kekerasan di atas
tidak dapat langsung diartikan bahwa tidak pernah ada
kekerasan. Hal ini disebabkan oleh sifat dari kekerasan
tersebut, jarak waktu antara saat kekerasan dengan saat
pemeriksaan, dan tindakan terapi yang pernah diberikan.
Demikian pula tidak ditemukannya tanda penetrasi tidak berarti
bahwa tidak pernah terjadi penetrasi atau persetubuhan. Hal ini
sebagai akibat dari penetrasi yang hanya sebagian, penetrasi
oleh benda yang ukurannya “terlalu” kecil, atau selaput dara
elastis sehingga tidak robek meskipun telah terjadi penetrasi.
Ditemukannya sel sperma di dalam sediaan yang diambil dari
35
vagina membawa kita kepada kesimpulan pasti bahwa korban
telah bersetubuh atau disetubuhi.
Demikian pula bila ditemukan hasil positif pada uji
fosfatase asam (berubah warna dalam waktu kurang dari 30
detik), uji kristal (Berberio dan Florence) dan uji PAN (kadar
Zn), menunjukkan adanya cairan mani.
Namun demikian identitas si pelaku belum dapat
ditentukan sebelum dilakukan pemeriksaan DNA dari sel
sperma dan pemeriksaan DNA dari si tersangka pelaku, serta
pembandingan keduanya.
Sebaliknya, tidak ditemukannya sel sperma atau cairan
mani tidak berarti bahwa tidak pernah terjadi persetubuhan. Hal
ini sebagai akibat dari jarak waktu antara saat persetubuhan
dengan saat pemeriksaan, atau persetubuhan tanpa ejakulasi,
persetubuhan dengan kondom, dan pencucian pasca
persetubuhan. Bahkan literatur mengatakan bahwa sel sperma
hanya ditemukan pada 50% dari seluruh pemeriksaan medis
yang dilakukan segera setelah terjadi perkosaan.
Penelitian awal menunjukkan bahwa pemeriksaan
adanya DNA laki-laki di dalam vagina ternyata lebih sensitif
dan lebih akurat dalam memastikan adanya persetubuhan
ditujukan untuk menemukan ada atau tidaknya salah satu
penyakit akibat hubungan seksual, yaitu misalnya Gonorrhoe.
Penyakit GO ini adalah penyakit yang paling sering tertularkan
dari suatu hubungan seksual (1:30). Apabila ditemukan adanya
penyakit ini maka dokter dapat menyimpulkan bahwa
kemungkinan besar memang telah terjadi persetubuhan, dan
dokter akan memberikan pengobatan.
Adanya kuman GO ekstrasel saja menunjukkan bahwa
pasien relatif baru terinfeksi, sedangkan adanya kuman GO
intrasel menunjukkan waktu infeksi yang lebih lama.
36
Sebaiknya diagnostik GO ditegakkan melalui pemeriksaan
kultur. Penyakit akibat hubungan seksual lainnya tidak rutin
diperiksa oleh karena frekuensi terjadinya di dalam masyarakat
yang sangat rendah, sehingga hanya akan dilakukan apabila
terdapat indikasi ke arah hal tersebut.9
37
Penatalaksanaan medis pada kasus kekerasan seksual pada
anak sama seperti pada kasus kekerasan fisik, dengan beberapa
tambahan:13
a. Mencegah kehamilan (bila perlu)
b. Berikan Kontrasepsi Darurat (Kondar) apabila kejadian
perkosaan belum melebihi 72 jam.
c. Periksa, cegah dan obati infeksi menular seksual atau rujuk ke
Rumah Sakit.
d. Berikan konseling untuk pemeriksaan HIV/AIDS dalam 6-8
minggu atau rujuk bila perlu.
Rujukan
Rujukan berupa:9
a. Rujukan medis: dilakukan dari puskesmas ke Rumah Sakit
Umum Daerah (RSUD) atau Rumah Sakit Bhayangkara
b. Rujukan non medis: dilakukan untuk memperoleh bantuan
pendampingan psikososial dan bantuan hukum antara lain ke
P2TP2A, Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (UPPA),
rumah aman/shelter atau Rumah Perlindungan Sosial Anak
(RPSA) atau Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA).
38
tersedia pada buku Pedoman Pengembangan Puskesmas Mampu
Tatalaksana KtP/A.13
39
pelayanan yang dilakukan melalui pendekatan multidisiplin. Agar
anak korban KtA memperoleh pelayanan secara komprehensif,
maka tenaga kesehatan dibawah tanggungjawab pimpinan fasilitas
pelayanan kesehatan mempunyai kewajiban melapor dugaan kasus
kekerasan terhadap anak.9
40
BAB III
KESIMPULAN
41
DAFTAR PUSTAKA
1. WHO. Definition and Typology of Violence [Internet]. WHO. 2021 [cited
2021 Oct 1]. Available from:
https://www.who.int/violenceprevention/approach/definition/en/
2. KEMENKUMHAM. Salinan Presiden Republik Indonesia Undang-Undang
Republik Indonesia No. 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2oo3 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2oo2 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang [Internet].
KEMENKUMHAM. 2018 [cited 2021 Oct 5]. Available from:
https://jdih.kemenkopmk.go.id/sites/default/files/2019-08/UU Nomor 5
Tahun 2018.pdf
3. Purwanti SH. Kekerasan pada Anak dan Wanita. Jakarta: Rayyana
Komunikasindo;
4. KBBI. Arti kata perempuan - Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
Online [Internet]. KBBI. 2021 [cited 2021 Oct 5]. Available from:
https://kbbi.web.id/perempuan
5. KEMENKUMHAM. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak [Internet]. KEMENKUMHAM.
2002 [cited 2021 Oct 5]. Available from:
https://jdihn.go.id/files/4/2002uu023.pdf
6. Harnoko BR. Dibalik Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan. Muwazah.
2010;2(1):181–8.
7. Jayani DH. Hampir 300 Ribu Kasus Kekerasan terhadap Perempuan
Terjadi pada 2020 | Databoks [Internet]. 2021 [cited 2021 Oct 5]. Available
from: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/03/12/hampir-300-
ribu-kasus-kekerasan-terhadap-perempuan-terjadi-pada-2020
8. Said A, Budiati I, Ayuni S. Statistik Gender Tematik-Mengakhiri
Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak di Indonesia. Jakarta:
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Badan
Pusat Statistik; 2017.
42
9. Kementerian Kesehatan. Peraturan Menteri Kesehatan No. 68 Tahun 2013
tentang Kewajiban Pemberi Layanan Kesehatan Untuk Memberikan
Informasi Atas Adanya Dugaan Kekerasan Terhadap Anak. Jakarta
[Internet]. Kementerian Kesehatan. 2013 [cited 2021 Oct 5]. Available
from: https://kesga.kemkes.go.id/assets/file/pedoman/PMK No. 68 ttg
Kewajiban Memberikan Informasi Kekerasan Terhadap Anak.pdf
10. Widiastuti TW. Perlindungan Bagi Wanita. Wacana Huk. 2008;VII(1):30–
42.
11. KemenPPPA. Waspada Bahaya Kekerasan dalam Pacaran. 2018.
12. DPR RI. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. 2004.
13. Mia Amalia. Kekerasan Perempuan Dalam Perspektif Hukum Dan
Sosiokultural. J Wawasan Huk. 2011;25(1):399–411.
14. KemenPPPA. Perempuan Rentan Jadi Korban KDRT, Kenali Faktor
Penyebabnya. 2018.
15. Puspitasari CD. Perempuan dan Kekerasan dalam Rumah Tangga. 2014;
16. DPR RI. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Indonesia; 1945.
17. Kania D. Hak Asasi Perempuan dalam Peraturan Perundang-Undangan Di
Indonesia The Rights of Women in Indonesian. Fak Syariah dan Hukum,
UIN Syarif Hidayatullah. 2015;
18. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
19. Peraturan Presiden RI. Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 65
Tahun 2005 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap
Perempuan. Indonesia;
20. Prawestiningtyas E. KEKERASAN PADA ANAK DAN ASPEK
MEDIKOLEGAL. In: Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan 2017
Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia. Pekanbaru: Perhimpunan Dokter
Forensik Indonesia; 2017. p. 15–6.
21. Anjari W. Fenomena Kekerasan Sebagai Bentuk Kejahatan. E-Journal
WIDYA Yust. 2014;1(1):45–51.
43
44