oleh :
dr. Marcella
Peserta PPDS Obstetri dan Ginekologi
Pembimbing :
dr. H. Syahredi, Sp.OG (K)
i
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS
(PPDS) OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
ANDALAS RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
LEMBARAN PENGESAHAN
Mengetahui / menyetujui
Pembimbing Peserta PPDS
Mengetahui
KPS PPDS OBGIN
FK UNAND RS. Dr. M. DJAMIL PADANG
ii
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ................................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. vi
DAFTAR SINGKATAN ...................................................................................... vii
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
BAB II ..................................................................................................................... 6
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 6
2.1 Seks ............................................................................................................... 6
2.1.1 Definisi Seks ........................................................................................... 6
2.1.2 Definisi Kesehatan Seksual .................................................................... 6
2.1.3 Sejarah Perkembangan Ilmu Seks........................................................... 6
2.1.4 Definisi Seksualitas................................................................................. 7
2.1.5 Tujuan Seks............................................................................................. 9
2.1.6 Siklus Respon Seksual ............................................................................ 9
2.1.7 Sexual Desire vs Sexual Drive .............................................................. 12
2.1.8 Disfungsi Seksual ................................................................................. 13
2.2 Menopause................................................................................................... 24
2.2.1 Definisi Menopause .............................................................................. 24
2.2.2 Fisiologi Menopause ............................................................................. 25
2.2.3 Fase Klimakterium ................................................................................ 28
2.2.4 Diagnosis Menopause ........................................................................... 30
2.2.5 Gejala Klinis Menopause ...................................................................... 31
2.3 Hubungan Seks dan Menopause .................................................................. 36
2.3.1 Hormon dan seks .................................................................................. 38
2.3.1.1 Perubahan Hormon Selama Transisi Menopause yang Mempengaruhi
Fungsi Reproduksi / Seksual ................................................................ 41
2.3.2 Neurobiologi Seksualitas pada Menopause .......................................... 43
2.3.3 Seksualitas pada Menopause ................................................................ 44
iii
2.3.4 Disfungsi Seksual Pada Menopause ..................................................... 53
2.3.4.1 Faktor demografis ............................................................................. 54
2.3.4.2 Androgen ........................................................................................... 55
2.3.4.3 Gangguan Organ ............................................................................... 55
2.3.4.4 Masa Menopause ............................................................................... 56
2.3.4.5 Disfungsi Psiko-emosional ................................................................ 56
2.3.4.6 Budaya, agama dan sikap serta disfungsi seksual.............................. 56
2.3.4.7 Kualitas Hubungan Perkawinan ........................................................ 57
2.3.4.8 Status Pekerjaan ................................................................................. 57
2.3.5 Hambatan Aktifitas Seksual pada Menopause...................................... 58
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 60
iv
DAFTAR TABEL
v
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR SINGKATAN
vii
BAB I
PENDAHULUAN
1
dibendung dan diperkirakan di tahun 2030 nanti ada sekitar 1,2 miliar perempuan
yang berusia diatas 50 tahun. Sebagian besar dari mereka (sekitar 80%) tinggal di
negara berkembang dan setiap tahunnya populasi perempuan menopause
meningkat sekitar tiga persen. Artinya kesehatan perempuan khususnya patut
mendapatkan perhatian, sehingga akan meningkatkan angka harapan hidup dan
tercapainya kebahagiaan serta kesejahteraan secara psikologis.1 Data WHO di
negara Asia, pada tahun 2025 jumlah wanita yang menopause akan meningkat dari
107 juta jiwa menjadi 373 juta jiwa.2
Penelitian Jones di Amerika Serikat menunjukkan 7 dari setiap 10 pasangan
yang diteliti aktif secara seksual setelah usia 60 tahun, banyak diantaranya lanjut
sampai usia 70 atau 80-an. Menurut laporan Nachtigall tahun 2008 menunjukan
bahwa penurunan aktivitas seksual setelah usia 35 tahun ini disebabkan kelelahan
atau ketidaktertarikan pada pria. Mayoritas wanita yang mengalami menopause
alami tidak melaporkan penurunan dalam hasrat seksual, kesenangan erotik atau
orgasme dan penurunan potensial seksual dibanding pria selama proses penuaan.
Dalam penelitian Jones, mengenai seksualitas di Amerika Serikat, bahwa gairah
dan dorongan seksual tidak berubah dalam 60% wanita dan 20% mengalami
penurunan dorongan seksual, 70% lainnya mengalami peningkatan gairah seksual.3
Jumlah wanita usia menopause pada tahun 2010 mencapai 15,5 juta jiwa
atau sekitar 7,6% dari keseluruhan jumlah total penduduk di Indonesia dan jumlah
ini diperkirakan akan bertambah dari tahun ke tahun, meskipun demikian namun
pelayanan kesehatan reproduksi yang sangat dibutuhkan di usia menopause belum
cukup memadai.3
Mitos yang masih beredar secara luas mengatakan bahwa kehidupan seksual
perempuan telah berakhir pada saat perempuan itu memasuki masa menopause
sehingga suami menjauhi istrinya yang telah mengalami menopause. Bahkan bagi
sebagian suami menopause digunakan sebagai alasan untuk menikah lagi karena
sang istri dianggap sudah tidak mampu lagi melakukan hubungan seksual.
Anggapan yang salah ini sering berakibat buruk, seperti pasangan usia lanjut
bercerai karena masalah seksual atau pria menikah lagi dengan perempuan yang
jauh lebih muda.3
2
Banyak mitos seputar seksualitas di usia tua, yang paling umum seperti
orang tua haruslah aseksual dan tidak mempraktikkan atau menginginkan seks.
Sebaliknya, mayoritas orang yang berusia 60 tahun ke atas terus melakukan
hubungan seksual dan yang terpenting, menikmati aktivitas seksual. Selain itu
mitos keliru yang diyakini bahwa orang yang lebih tua (terutama wanita yang lebih
tua) tidak menarik dimana seks di usia lebih tua itu menjijikkan, berisiko, atau
"salah," penuaan mempengaruhi disfungsi seksual, sehingga harus dihindari di usia
tua.4
Data yang tersedia menunjukkan bahwa pria dan wanita yang lebih tua
menganggap seksualitas sebagai bagian penting dari kehidupan mereka, terus
memiliki hasrat seksual dan ingin terlibat dalam hubungan intim dan aktivitas
seksual (berciuman, berpelukan, pemanasan, hubungan seks, oral, dan masturbasi)
di frekuensi yang sama dengan orang dewasa yang lebih muda (18-59 tahun),
meskipun ada masalah seksual. Kehidupan seksual perempuan berlanjut hingga
tahun-tahun menopause dan seterusnya.4
Istilah “seksualitas” dijelaskan sebagai kapasitas perasaan seksual yang
mencakup orientasi seksual seseorang, identitas gender, keintiman, erotisme, dan
aspek sosial dari seks. Ekspresi seksualitas yang tidak terpisahkan dari setiap orang
adalah hak asasi manusia dan berlanjut sepanjang hidup ini menyiratkan bahwa
orang dewasa yang lebih tua harus, dan harus menikmati, aktif secara seksual.4
Seksualitas adalah kebutuhan fundamental, seperti halnya makan dan tidur.
Bisa dipastikan kebutuhan manusia berubah seiring dengan bertambahnya usia,
baik secara mental maupun fisik, namun seksualitas tidak hilang pada usia tertentu.
Kesempatan untuk menghayati seksualitas seseorang dapat dilihat sebagai realisasi
dari potensi manusia sendiri. Seksualitas terkait erat dengan cinta dan
keterhubungan. Mampu memberi dan menerima cinta adalah kemampuan individu
yang tidak berkaitan dengan usia. Sebagai dokter, kita bertanggung jawab untuk
memberikan perawatan yang menjamin kualitas hidup yang baik, yang tidak
mengherankan jika seksualitas memainkan peran penting.4,5
Ketertarikan pada perilaku seksual dan reproduksi wanita kemungkinan
setua spesies kita. Salah satu teks medis tertua yang diketahui, Papirus Kahun,
ditemukan di dekat piramida di El-Lahoun, Mesir, pada tahun 1800 SM, adalah teks
3
ginekologi yang menguraikan penyebab dan pengobatan untuk masalah kesehatan
reproduksi wanita, termasuk masalah kesuburan, kontrasepsi, dan kehamilan.6
Seksualitas wanita di usia paruh baya dieksplorasi dengan relatif baik dalam
kaitannya dengan kondisi medis dan masalah terkait menopause. Dalam tinjauan
literatur tentang seksualitas menopause, dikaitkan bahwa tingkat estrogen yang
lebih rendah mengurangi respon seksual dan hasrat seksual. Penelitian lain
melaporkan bahwa sebagian besar aspek seksualitas wanita tidak dipengaruhi oleh
usia, fungsi menopause atau kadar hormon. Faktor yang dikaitkan untuk
mempengaruhi seksualitas paruh baya adalah status kesehatan dan pengobatan saat
ini, status sosial, sikap budaya, dan ketidakpuasan dengan hubungan pasangan.5
Seperti pada kasus di Inggris baru baru ini, pada 1 Desember 2020, seorang
nenek berusia 80 tahun yang menikah dengan pria berusia 45 tahun, dan
mengatakan bahwa aktivitas seks yang dialami nya lebih berwarna dan bervariasi
dibandingkan dengan aktivitas seksual nya terdahulu atau kasus yang terjadi pada
dalam negeri sendiri yaitu kasus nenek 82 tahun di Minahasa, Sulawesi Utara
menikah dengan pemuda berusia 28 tahun dan aktif secara seksual seperti sebelum
memasuki usia menopause. Itu menunjukkan bahwa hasrat seks pada wanita tidak
berkurang dengan bertambahnya usia.
Di Indonesia, disfungsi seksual cukup banyak didapatkan. Disfungsi seksual
berarti gangguan fungsi seksual, yang dapat dialami oleh perempuan dan pria.
Sesuai dengan komponen fungsi seksual yang ada. Data yang dilaporkan oleh
Pangkahila (2005) menyebutkan 55,7 % wanita yang menikah tidak pernah
merasakan orgasme, dan 12,7% jarang merasakan orgasme. Disfungsi seksual
wanita semakin mendapat perhatian, bahkan dari negara yang dikenal
mengesampingkan wanita dalam hal seksualitas. Laporan Ibrahim et al (2013)
menyebutkan prevalensi disfungsi seksual di Mesir tergolong tinggi. Pada
perempuan berusia rata-rata 39,5 tahun, 52,8% mengalami disfunsgi seksual.
Sebagian besar perempuan itu mengalami keluhan premenopause.7
Masalah seksual berbeda dengan masalah lain yang terjadi dalam kehidupan
manusia. Ada beberapa perbedaan yang dapat dilihat antara masalah seksual dengan
masalah lainnya. Masalah seksual tidak selalu dapat deketahui secara nyata dan
objektif, masalah lain dapat diketahui secara lebih nyata dan objektif. Masalah
4
seksual lebih sulit diungkapkan oleh yang mengalaminya dibandingkan masalah
lain. Masalah seksual lebih sering berpengaruh terhadap pasangan dan hidup
perkawinan dibandingakan dengan masalah lain. Masalah seksual sering dikaitkan
dengan mitos tentang seks yang menyesatkan dan banyak beredar di masyarakat.
Masalah seksual bukan hanya merupakan satu jenis masalah yang dapat ditangani
secara seragam. Masalah seksual sangat beragam, mulai dari yang sangat sederhana
sampai ke masalah yang sangat rumit. 7
Lebih lanjut, kurangnya penelitian mendalam secara umum tentang subjek
seksualitas pada wanita usia menopause, di seluruh dunia dan terlebih lagi di
Indonesia, karena kesulitan seperti pewawancara dan bias responden, tingkat
tanggapan yang buruk, dan keraguan untuk melakukan penelitian mendetail ke area
yang sangat pribadi yang tabu.4
Oleh karena itu pembahasan mengenai seksualitas pada menopause menjadi
menarik untuk diangkat sebagai judul saripustaka. Harapannya sari pustaka ini
dapat berperan sebagai bahan pembelajaran mengenai menopause dan
permasalahannya.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Seks
Seks adalah alat kelamin, mengacu pada sifat-sifat biologis yang secara
kasat mata berbentuk fisik yang mendefinisikan manusia sebagai perempuan atau
laki-laki. Istilah seks seringkali diartikan sebagai kegiatan seksual tetapi dalam
konteks perbincangan tentang seksualitas seks diartikan sebagai jenis kelamin.
Penggolongan jenis kelamin yaitu laki-laki, perempuan dan interseks (seseorang
memiliki karakteristik jenis kelamin laki-laki dan perempuan).8
Kesehatan seksual adalah keadaan fisik, emosional, mental dan sosial yang
berhubungan dengan seksualitas, bukan hanya tidak adanya penyakit, disfungsi atau
kelemahan. Kesehatan seksual membutuhkan pendekatan yang positif terhadap
seksualitas dan hubungan seksual, serta kemungkinan memiliki pengalaman
seksual yang menyenangkan dan aman, bebas dari paksaan, diskriminasi dan
kekerasan. Untuk kesehatan seksual untuk dicapai dan dipertahankan, hak seksual
semua orang harus dihormati, dilindungi dan dipenuhi.8
6
Sejarah seksualitas terdapat dua bagian. Yang pertama, terjadi pada abad
ketujuh belas, ditandai dengan mekanisme represi. Munculnya larangan besar
promosi seksualitas, menjaga seks dalam perkawinan, menjaga kesopanan dengan
menutupi bagian tubuh. Yang kedua, fenomena abad kedua puluh adalah ketika
mekanisme represi mulai mengendur, beralih dari tabu seksual ke toleransi relatif
terkait dengan hubungan seks pranikah atau di luar nikah. Membuat seks tidak
hanya kepedulian individu tapi juga kepedulian negara.10
Kesehatan reproduksi adalah ilmu yang mempelajari alat dan fungsi
reproduksi, baik pada laki laki maupun perempuan, yang merupakan bagian integral
dari sistem tubuh manusia lainnya serta hubungannya secara timbal balik dengan
lingkungannya, termasuk lingkungan sosial.9
Menurut WHO pengertian kesehatan reproduksi yang diperluas pada
pertemuan International Conference on Population and Development (ICPD) tahun
1994, dengan memasukkan unsur hak asasi kesehatan reproduksi perempuan
sehingga definisi kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan kesejahteraan fisik,
mental dan sosial yang utuh dan bukan hanya tidak adanya penyakit atau
kelemahan, tetapi dalam segala hal yang berhubungan dengan sistem reproduksi
dan fungsi serta proses proses nya. Dan bukan hanya kondisi yang bebas dari
penyakit, melainkan juga bagaimana seseorang dapat memiliki seksual yang aman
dan memuaskan. Dengan definisi yang begitu kompleks, menjelaskan bahwa
peranan seksologi dalam upaya mencapai derajat kesehatan reproduksi yang
optimal, sangat besar.9
7
seksualitas dapat mencakup semua dimensi ini, tidak semuanya selalu dialami atau
diekspresikan.2,3,5 Seksualitas dapat ditinjau dari beberapa aspek, yaitu aspek
biologis, psikososial, budaya, perilaku, dan klinis.
a. Aspek Biologis
Berbagai faktor biologis berperan dalam fungsi seksual yaitu hormon seks,
pembuluh darah, otot, pola hidup. Reaksi seksual yang dialami oleh setiap orang
normal seperti ereksi penis, ereksi klitoris, perlendiran vagina, merupakan peristiwa
biologis yang dirasakan dan dialami secara objektif.7
b. Aspek Psikososial
Pengaruh faktor psikososial sangat kuat pada seksualitas. Perkembangan
seksualitas pada masa anak anak dipengaruhi oleh kekuatan faktor psikososial.
Seksualitas juga diatur oleh masyarakat melalui hukum, ketentuan budaya, dan
keluarga serta teman sebaya yang mengarahkan tentang perilaku seksual.7
c. Aspek Budaya
Banyak isu mengenai seks berhubungan dengan tradisi keagamaan dan
budaya. Budaya sebuah bangsa mengalami perubahan, perubahan budaya bangsa
yang lebih maju, menunjukkan tingkatan kualitas seks yang lebih baik.7
d. Aspek Perilaku
Perilaku seksual, menghindarkan diri menghakimi perilaku seksual orang
lain dengan menggunakan nilai pengalaman diri sendiri. Perkembangan ilmu
pengetahuan terkini seharusnya digunakan untuk menyatakan apakah perilaku
seseorang normal atau tidak normal.7
e. Aspek Klinis
Pada aspek klinis, keluhan seksual akibat gangguan yang berkaitan dengan
perilaku dan fungsi seksual. Disfungsi seksual dapat disebabkan oleh faktor fisik
atau faktor psikis. Masalah fisik seperti trauma, penyakit, atau obat-obatan dapat
mengganggu reaksi seksual. Perasaan seperti cemas, rasa bersalah, malu, depresi
dan konflik dalam hubungan pribadi dapat mengganggu fungsi seksual. 7
8
2.1.5 Tujuan Seks
9
a. Hasrat
Karakteristik umum dari fase ini, yang dapat berlangsung dari beberapa menit
hingga beberapa jam, antara lain sebagai berikut :
- Ketegangan otot meningkat.
- Denyut jantung dan pernafasan bertambah cepat.
- Kulit memerah (bercak kemerahan muncul di dada dan punggung).
- Puting menjadi mengeras atau tegak.
- Aliran darah ke alat kelamin meningkat, mengakibatkan pembengkakan
klitoris dan labia minora wanita (bibir bagian dalam), dan ereksi pada penis
pria.
- Perlendiran vagina dimulai.
- Payudara wanita menjadi lebih penuh dan dinding vagina mulai
membengkak.
- Vagina akan terjadi pelebaran dan pemanjangan pada 2/3 bagian dalam.
b. Bangkitan
Karakteristik umum dari fase ini, yang meluas ke ambang orgasme, antara lain
sebagai berikut:
- Perubahan yang dimulai pada fase satu diintensifkan.
- Seluruh 1/3 bagian luar vagina, termasuk otot membengkak karena aliran
darah yang meningkat, dan dinding vagina berubah menjadi berwarna ungu
tua. Otot yang membengkak itu dapat mencengkram penis ketika mendekati
orgasme. Vagina 1/3 bagian luar yang membengkak ini disebut orgasmic
platform.
- Klitoris wanita menjadi sangat sensitif (bahkan mungkin menyakitkan saat
disentuh).
- Pernapasan, detak jantung dan tekanan darah terus meningkat.
- Muscle spasm bisa dimulai di kaki, wajah, dan tangan.
10
c. Orgasme
Orgasme merupakan suatu puncak reaksi seksual. Puncak reaksi seksual
tercapai bila orang menerima rangsangan seksual yang efektif, baik melalui
hubungan seksual maupun cara-cara aktivitas seksual selain hubungan seksual.
Perbedaan insensitas orgasme disebabkan oleh beberapa faktor fisik seperti
rangsangan yang diterima, kondisi kesehatan, dan waktu sejak terjadinya
orgasme sebelumnya. Juga disebabkan oleh faktor psikis seperti stres,
ketidaktenangan, takut hamil dan hubungan pribadi dengan pasangan. Ketika
mencapai orgasme, wanita akan merasakan suatu sensasi erotik yang
menyenangkan atau merasakan kenikmatan seksual, tetapi secara psikis tidak
merasa senang atau tidak puas, akibatnya kepuasan seksual tidak tercapai.
Keadaan ini terjadi, Ketika hubungan seksual yang dilakukan hanya untuk
memenuhi tuntutan dorongan seksual tanpa keterlibatan emosi terhadap
pasangannya.7
Pada wanita orgasme ditandai dengan kontraksi ritmik 1/3 bagian luar
vagina, rahim, dan otot sekitar dubur, reaksi yang terjadi bersifat total seluruh
tubuh, tidak terbatas pada alat kelamin dan sekitarnya. Pada dinding depan
vagina bagian luar terdapat daerah yang disebut G spot. Rangsangan pada G
spot menimbulkan orgasme yang berbeda dibandingkan dengan rangsangan
pada klitoris. Sebagian wanita yang menerima rangsangan pada G spot
mengalami orgasme yang disertai ‘ejakulasi’. Istilah ‘ejakulasi’ pada wanita
tidak sama persis sama dengan ejakulasi pada pria. Persamaannya, dalam hal
ada cairan yang disemprotkan ke luar organ kelamin. Tetapi pada perempuan,
cairan yang dikeluarkan berasal dari kelenjar Skene, sedangkan pada pria
cairan yang dikeluarkan adalah sperma.7
Fase ini merupakan klimaks dari siklus respons seksual. Ini adalah fase
terpendek dan umumnya hanya berlangsung beberapa detik. Karakteristik
umum dari fase ini meliputi:
- Kontraksi otot yang tidak disengaja dimulai.
- Tekanan darah, detak jantung, dan pernapasan berada pada tingkat tertinggi,
dengan asupan oksigen yang cepat.
- Ada pelepasan ketegangan seksual yang tiba-tiba dan kuat.
11
- Pada wanita, otot-otot vagina berkontraksi. Rahim juga mengalami
kontraksi ritmis. Orgasmic platform dapat terjadi 3-4 kali sampai 15 kali.
Kekuatan gerakan ini tidak selalu sama pada setiap perempuan.
- Pada pria, kontraksi ritmis otot di pangkal penis menyebabkan ejakulasi air
mani.
- Ruam atau "sex flush" mungkin muncul di seluruh tubuh.
d. Resolusi
Selama fase ini, tubuh perlahan-lahan kembali ke tingkat fungsi normalnya
dan bagian tubuh yang bengkak dan tegak kembali ke ukuran dan warna semula.
Fase ini ditandai dengan perasaan sejahtera secara umum dan, seringkali,
kelelahan. Beberapa wanita mampu dengan cepat kembali ke fase orgasme
dengan rangsangan seksual lebih lanjut dan mungkin mengalami orgasme
berulang kali.11
Sexual desire atau hasrat seksual adalah keadaan motivasi dan minat pada
objek atau aktifitas seksual atau sebagai keinginan atau dorongan untuk mencari
objek seksual atau untuk terlibat dalam aktifitas seksual. Hasrat seksual adalah
aspek seksualitas seseorang yang sangat bervariasi dari satu orang ke orang lain dan
juga bervariasi tergantung pada keadaan pada waktu tertentu. Tidak setiap orang
12
mengalami hasrat seksual, mereka yang tidak mengalaminya mungkin dicap
aseksual.13
Hasrat seksual dapat dibangkitkan melalui imajinasi dan fantasi seksual atau
melihat seseorang yang dianggap menarik. Hasrat seksual juga tercipta dan
diperkuat melalui ketegangan seksual yang disebabkan oleh hasrat seksual yang
belum terpenuhi.13
Sexual drive atau dorongan seksual sangat terkait dengan faktor biologis
seperti hormonal, status gizi, usia, dan kesehatan umum. Komponen biologis ini
termasuk anatomi dan fisiologi neuroendokrin terhadap pemikiran atau rangsangan
seksual. Salah satunya ialah peran estrogen dalam keterlibatan dengan dorongan
seksual.13
Estrogen memainkan peran penting dalam mengatur fungsi seksual wanita.
Kadar estradiol mempengaruhi sel-sel di seluruh sistem saraf perifer dan pusat dan
mempengaruhi transmisi saraf. Penurunan kadar estrogen serum menyebabkan
penipisan epitel mukosa vagina dan atrofi otot polos dinding vagina. Kadar estrogen
yang menurun juga menyebabkan lingkungan yang kurang asam di saluran vagina.
Hal ini pada akhirnya dapat memicu terjadinya infeksi vagina, infeksi saluran
kencing, dan inkontinensia serta keluhan disfungsi seksual.13,14
13
Akibat disfungsi seksual bagi wanita akan mengalami perasaan kecewa,
tidak puas, jengkel, merasa bersalah tidak dapat melayani suami, dan takut suami
melakukan hubungan seksual dengan perempuan lain. Lebih jauh dapat timbul
gejala psikosomatik, seperti sulit tidur, sakit kepala, dan mudah marah. Akibat nya
dapat menghambat dan menurunkan kualitas hidup, baik secara fisik maupun
psikis.7
Definisi disfungsi seksual oleh Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan
Mental, sekarang dalam edisi keempatnya (DSM-IV). DSM-IV mengkategorikan
disfungsi seksual menjadi empat kategori utama: gangguan hasrat, bangkitan,
orgasme, dan nyeri.11
14
Gangguan hasrat seksual pada wanita disebabkan oleh multifaktor
meliputi :
a) Faktor biologis
Naluri dasar bersumber pada sistem limbik yang dipengaruhi
hormon dan dimodulasikan oleh mental, terutama mood dan arahan dari
zat neurokimiawi. Hormon saling mempengaruhi secara kompleks untuk
mengontrol intensitas libido dan perilaku seksual. Kontribusi estrogen
tampak dalam karakter seks sekunder di sentral dan perifer pada wanita
terhadap keinginan seksual. Estrogen mempengaruhi hasrat dan
rangsangan seksual pada sentral. Hormon androgen juga mempengaruhi
hasrat seksual wanita. Estrogen dan androgen mengatur organ-organ
sensoris yang merupakan target seksual dan menentukan libido.11
b) Faktor motivasi
Motivasi melakukan hubungan seksual antara lain untuk tujuan
biologis, dan reproduksi. Tujuan biologis berarti untuk memenuhi
kebutuhan dasar seksual. Tujuan reproduksi yaitu untuk mendapatkan
keturunan. Ketiadaan motivasi menimbulkan keengganan dalam
melakukan hubungan seksual.11
c) Faktor perasaan
Sejumlah faktor yang memberikan kontribusi terhadap disfungsi
seksual pada wanita mencerminkan hubungan saling memengaruhi yang
kompleks. Faktor-faktor tersebut antara lain fisiologis, psikologis,
emosional, dan relasional. Penurunan rangsangan seksual sering
berhubungan dengan proses penuaan, menopause alami, atau pembedahan.
Keinginan seksual mungkin menjadi keinginan primer dari fantasi seksual
atau mungkin sekunder terhadap motivasi kognitif pada beberapa wanita.
Keinginan seksual sekunder khususnya dalam hubungan jangka panjang,
motivasi nonseksual, misalnya kedekatan emosional dan perasaan cinta.11
15
B. Gangguan bangkitan seksual
Gangguan bangkitan atau rangsangan seksual pada wanita didefinisikan
sebagai ketidakmampuan mencapai atau mempertahankan lubrikasi genital yang
adekuat. Rangsangan seksual ini juga memerlukan respons tubuh lain yang
bersifat menetap atau berulang. Respon tubuh yang dimaksud contohnya,
berkurangnya atau tidak adanya lubrikasi vagina, respon tubuh yang lain adalah
berkurangnya relaksasi otot polos vagina serta sensitivitas puting payudara.
Walaupun gangguan rangsangan seksual disebabkan faktor berulang yang dapat
menyebabkan depresi, tetapi dapat juga disebabkan faktor medis, seperti
berkurangnya aliran darah menuju vagina atau klitoris. Problem seksual dari fakor
fisik dapat berkembang menjadi problem yang bersifat psikologis. Selanjutnya
gangguan yang berasal dari fisik dan psikologis bisa menyebabkan gangguan
rangsangan seksual.11
Wanita yang mengalami gangguan ini, tetap mempunyai dorongan
seksual yang normal. Gangguan nya dalam hal reaksi organ kelamin terhadap
gairah atau rangsangan seksual.
Penyebab umum gangguan rangsangan seksual bisa lebih dari satu faktor.
Seperti stres yang disebabkan oleh kondisi ekonomi, lelah karena pekerjaan, dan
sibuk merawat anak. Penyakit diabetes dapat menimbulkan disfungsi seksual,
baik pada pria maupun wanita. Pada wanita diabetes dapat menurunkan
rangsangan seksual, mengakibatkan rasa sakit ketika melakukan hubungan
seksual dan hambatan orgasme. 11
C. Gangguan orgasme
Gangguan orgasme adalah gangguan di mana ada penundaan atau tidak
adanya klimaks seksual atau orgasme. Ini adalah kelainan yang cukup umum
terjadi pada hampir 25% populasi.11
Wanita yang mengalami gangguan orgasme atau hambatan orgasme,
sangat sulit atau terhambat untuk merasakan orgasme. Tetapi komponen fungsi
seksual yang lain tidak mengalami gangguan. Jadi, dorongan seksual dan
rangsangan seksualnya tetap normal.9
16
Banyak wanita yang sulit merasakan orgasme, salah satu penyebabnya
adalah disfungsi seksual di pada pihak pria, khususnya disfungsi ereksi dan
ejakulasi dini.7
D. Gangguan nyeri
Gangguan nyeri telah dilaporkan oleh Laumann et al terjadi pada 14%
wanita berusia antara 18 dan 59 tahun, dan termasuk dispareunia dan
vaginismus. Dispareunia, istilah umum untuk nyeri saat berhubungan, dapat
terjadi sebagai akibat dari kondisi medis yang mendasari seperti vestibulitis,
atrofi vagina, atau infeksi, atau mungkin berasal dari psikologis. Vaginismus
adalah reaksi involuntary dari otot panggul terhadap upaya vagina penetrasi
pada otot vagina sepertiga bagian luar. Akibatnya, penis tidak dapat melakukan
penetrasi ke dalam vagina, sehingga hubugan seksual gagal dilakukan.
Seringkali, seorang wanita dengan vaginismus menjadi sangat frustasi dengan
ketidakmampuannya untuk melakukan hubungan seksual.11 Tetapi perempuan
yang mengalami vaginismus tetap dapat merasakan orgasme, karena
rangsangan pada bagian tubuh lain, misalnya rangsangan pada payudara atau
bagian tubuh lain. Gangguan nyeri seksual nonkoitus berarti timbul rasa sakit
pada kelamin perempuan yang menerima rangsangan di bagian tubuh lainnya,
misalnya rangsangan pada payudara menimbulkan rasa sakit pada kelamin.
Disfungsi seksual yang berkaitan dengan rasa sakit hanya terjadi pada
perempuan.7
17
Tabel 2. 1 Kuesioner Female Sexual Function Index (FSFI)
18
3 = memiliki keyakinan yang sedang
akan menjadi terangsang selama
hubungan seksual
2 =memiliki keyakinan yang kurang
akan menjadi terangsang selama
hubungan seksual
1 = memiliki keyakinan yang sangat
rendah atau tidak percaya akan menjadi
terangsang selama hubungan seksual
19
3 = Kadang-kadang (sekitar separuh
waktu) dalam 4 minggu ini
2 = Beberapa kali (kurang dari
separuhnya) dalam 4 minggu ini
1 = Hampir tidak pernah atau tidak
pernah dalam 4 minggu ini
20
seksual atau hubungan intim 3 = Kadang-kadang puas kadang-
antara Anda dan Suami kadang tidak puas dalam 4 minggu ini
Anda? 2 = Cukup puas dalam 4 minggu ini
1 = Sangat tidak puas dalam 4 minggu
ini
21
sakit selama atau setelah 4 = Rendah dalam 4 minggu ini
penetrasi vagina? 5 = sangat rendah atau tidak ada sama
sekali dalam 4 minggu ini
22
Faktor hormon penyebab disfungsi seksual ialah disfungsi poros
hipotalamus-hipofise-testis, operasi pengangkatan ovarium, menopause, premature
ovarian failure, penggunaan pil kontrasepsi yang lama. Keluhan yang muncul
karena faktor hormonal ialah menurunnya atau hilangnya dorongan seksual dan
gangguan bangkitan seksual.7
Faktor pembuluh darah penyebab disfungsi seksual antara lain, hipertensi,
diabetes, merokok, gangguan jantung, dll. Trauma di daerah genital atau pelvis,
seperti fraktur, trauma tumpul, akibat operasi, dapat mengakibatkan berkurangnya
aliran darah ke klitoris dan vagina, yang menimbulkan disfungsi seksual.7
Faktor syaraf sebagai penyebab disfungsi seksual misalnya pada kasus
wanita yang mengalami kerusakan pada korda spinalis sulit untuk mencapai
orgasme. Penyebab psikis meliputi semua faktor yang mengahambat reaksi seksual.
Faktor psikis dikelompokkan menjadi faktor predisposisi, faktor presipitasi dan
faktor pembinaan. Faktor predisposisi disebabkan oleh karena pandangan negatif
tentang seks, trauma seks, pendidikan seks kurang, percaya dengan mitos, dll.
Faktor presipitasi disebabkan oleh hambatan psikis karena penyakit, ketidaksetiaan
terhadap pasangan, harapan yang berlebih, depresi, dan kecemasan kehilangan
pasangan. Faktor pembinaan disebabkan oleh pengalaman sebelumnya, hilang nya
daya tarik pasangan, komunikasi yang tidak baik, dan pendidikan seks yang
kurang.7
23
a. Konseling dan edukasi
Melalui konseling, dapat digali berbagai masalah yang dialami terkait
disfungsi seksual. Kemudian dapat diberikan masukan bagaimana menghadapi
disfungsi seksual, termasuk dalam konteks dengan pasangan. Untuk edukasi dapat
diberikan informasi yang benar mengenai seks, khususnya yang berkaitan dengan
disfungsi seksual yang dialami. Melalui edukasi juga dapat diluruskan berbagai
mitos seks dan informasi salah. Dengan demikian diharapkan agar disfungsi seksual
dapat dihadapi dengan benar.
b. Sex therapy
Istilah sex therapy diperkenalkan oleh Masters dan Johnson sebagai salah
satu cara mengatasi disfungsi seksual yang terutama disebabkan oleh faktor psikis.
Disfungsi seksual yang disebabkan oleh faktor fisik tidak dapat diatasi dengan sex
therapy. Sex therapy adalah suatu cara latihan yang dilakukan oleh seseorang yang
mengalami dsifungsi seksual yang dilakukan dengan bantuan pasangan.
c. Obat dan alat bantu
24
dikarakterisikkan dengan segudang gejala, diantara nya ialah gejala vasomotor,
gejala urogenital, disfungsi tidur dan perubahan suasana hati.15
NICE mengeluarkan definisi menopause adalah diagnosis klinik yang
ditegakkan pada wanita di atas 45 tahun yang sudah tidak menstruasi tanpa ada
penyebab lain yang mendasari amenore tersebut. Jika wanita di atas 45 tahun dan
tidak menstruasi selama setidaknya 12 bulan, maka disebut menopause. Atau jika
mengalami gejala vasomotor dan siklus yang ireguler, maka bisa disebut sebagai
perimenopause.16
25
Gambar 2. 2 Perbedaan kadar hormonal pada masa premenopause dan postmenopause.17
26
kali lipat lebih tinggi dibandingkan yang ditemukan pada fase folikular pada wanita
reroduktif. Estradiol ditemukan 50% dari kadar pada fase folikular pada masa
reproduktif, dan lanjut menurun setelah menstruasi akhir untuk mencapai titik
terendah mereka 2-3 tahun kemudian. Pada waktu ini, estradiol sudah berkurang
sekitar 90%.17
Gambar 2. 3 Perbandingan kadar FSH dan estradiol pada tahun sekitar menopause.17
27
Gambar 2. 4 Transisi Menopause.18
28
2. Perimenopause
Perimenopause merupakan masa perubahan antara pramenopuse dan
pascamenopause. Fase ini dimulai dari awal munculnya gejala klinis, biologi dan
endokrin dari awal menopause seperti gejala vasomotor dan siklus menstruasi yang
ireguler hingga akhir 12 bulan setelah menstruasi terakhir.20
3. Menopause
Setelah memasuki usia menopause selalu ditemukan kadar FSH yang tinggi
(>25 mIU/ml). Pada awal menopause kadang-kadang kadar estrogen rendah. Pada
wanita gemuk kadar estrogen biasanya tinggi. Bila seorang wanita tidak haid
selama 12 bulan dan dijumpai kadar FSH >25 IU/L dan kadar estradiol < 30 pg/ml,
maka wanita tersebut dapat dikatakan telah mengalami menopause.21
Seorang wanita disebut senium bila telah memasuki usia pasca menopause
lanjut sampai usia > 65 tahun.23
29
2.2.4 Diagnosis Menopause
30
kadar FSH dan Estradiol (E2) darah dan FSH biasanya > 25 mIU/ml dan kadar
estradiol sudah berada <30 pg/ml.15
1. Gejala Vasomotor
31
flushes. Serangan dapat berlangsung 1-5 menit ditandai dengan berkeringat,
memerah, menggigil,kaku, cemas dan kadang-kadang berdebar-debar.21
Mekanisme fisiologis yang mendasari hot flushes tidak sepenuhnya
dipahami. Peristiwa sentral, mungkin dimulai di hipotalamus, mendorong
peningkatan suhu inti tubuh, laju metabolisme, dan suhu kulit, reaksi ini
menyebabkan vasodilatasi perifer dan berkeringat pada beberapa wanita.
Peristiwa sentral dapat dipicu oleh aktivasi noradrenergik, serotoninergik, atau
dopaminergik. Gejala vasomotor adalah konsekuensi dari penghentian estrogen,
bukan hanya defisiensi estrogen.24
2. Atrofi Urogenital
32
sinus urogenital yang memiliki reseptor estrogen yang sama, sehingga keluhan
iritatif bladder seperti micturisi yang sering, urgensi, disuria dan infeksi
berulang.20
Pelumas adalah alternatif non-hormonal untuk mengurangi
ketidaknyamanan saat berhubungan dengan atrofi urogenital. Terapi estrogen
vagina tampaknya mengurangi gejala kencing, seperti frekuensi dan urgensi dan
telah terbukti mengurangi kemungkinan infeksi saluran kemih berulang pada
wanita pascamenopause.24
3. Osteoporosis
4. Depresi
Meskipun sebagian besar wanita perimenopause tidak mengalami
masalah kejiwaan, diperkirakan 20% mengalami depresi pada suatu saat selama
menopause. Studi tentang suasana hati selama menopause secara umum
mengungkapkan peningkatan risiko depresi selama perimenopause resiko akan
menurun sejalan dengan lamanya pascamenopause. The Penn Ovarian Aging
Study, sebuah studi kohort, menunjukkan gejala depresi meningkat selama
transisi menopause, dan menurun setelah menopause. Prediktor terkuat dari
33
suasana depresi adalah riwayat depresi sebelumnya, bersama dengan fluktuasi
kadar hormon reproduksi yang terkait dengan depresi.24
Peneliti dari Harvard Study of Moods and Cycles merekrut wanita
pramenopause berusia 36-44 tahun tanpa riwayat depresi berat dan
menindaklanjuti wanita ini selama 9 tahun untuk mendeteksi serangan baru
depresi berat. Wanita yang memasuki peri-menopause dua kali lebih mungkin
dibandingkan wanita yang belum melalui transisi menopause dalam mengalami
gejala depresi yang signifikan secara klinis.25
Depresi selama perimenopause kemungkinan besar disebabkan oleh
fluktuasi dan penurunan kadar estrogen. Hormon steroid, seperti estrogen,
bekerja di sistem saraf pusat (SSP) melalui berbagai mekanisme, misalnya
merangsang sintesis neurotransmiter, ekspresi reseptor, dan mempengaruhi
permeabilitas membran.24
Estrogen meningkatkan efek serotonin dan norepinefrin, yang dianggap
sebagai neurotransmitter yang paling terkait dengan penyebab fisiologis depresi.
Di antara mekanisme lainnya, estrogen menurunkan aktivitas monoamine
oksidase (MAO) di SSP, menghambat pemecahan serotonin dan norepinefrin.
Selain itu, estrogen meningkatkan sintesis serotonin, meningkatkan reseptor 5-
hidroksitriptamin (5-HT1), dan menurunkan reseptor 5-HT2. Estrogen juga
meningkatkan aktivitas norepinefrin di otak, mungkin dengan mengurangi
pengambilan ulang dan degradasi karena penghambatan enzim MAO dan
katekol-O-metiltransferase.24
Meskipun mekanisme tepatnya belum diketahui, regulasi serotonin dan
norepinefrin dapat berubah karena tingkat estrogen berfluktuasi dan dengan
demikian berkontribusi pada depresi. Karena estrogen memfasilitasi kerja
serotonin dan norepinefrin, penurunan konsentrasi estrogen pada gilirannya
dapat menurunkan kadar hormon ini.24
5. Fungsi Kognitif
34
yang menggambarkan peningkatan kognisi dengan HRT mendukung peran
etiologi estrogen dalam gangguan kognitif yang diekspresikan oleh wanita
perimenopause dan postmenopause. Hubungan yang jelas antara transisi
menopause dan kesulitan kognitif pada beberapa wanita menunjukkan bahwa
gangguan kognitif tersebut mungkin terkait dengan perubahan hormonal pada
menopause. Kesulitan kognitif mungkin merupakan konsekuensi dari gangguan
tidur akibat rasa panas di malam hari atau akibat dari efek perubahan lingkungan
hormonal di daerah otak yang mempengaruhi kognisi.24
Wanita berisiko lebih besar terkena penyakit Alzheimer dibandingkan
pria. Beberapa uji coba kecil dan studi observasi menunjukkan bahwa
penggunaan HRT dapat menurunkan risiko penyakit Alzheimer. Sebuah studi
acak terkontrol pada wanita dengan penyakit Alzheimer ringan sampai sedang,
bagaimanapun, menunjukkan bahwa pengobatan estrogen selama 1 tahun tidak
memperlambat perkembangan penyakit atau meningkatkan kognisi.24
6. Gangguan Seks
Banyak wanita mengalami gangguan seks, meskipun insidensi dan etiologi
yang tepat masih belum diketahui. Gangguan seks mungkin melibatkan
penurunan minat atau keinginan untuk memulai aktivitas seksual, serta
penurunan gairah atau kemampuan untuk mencapai orgasme selama hubungan
seksual. Etiologi disfungsi seksual disebabkan oleh banyak faktor, termasuk
masalah psikologis seperti depresi atau gangguan kecemasan, konflik dalam
hubungan, masalah yang berkaitan dengan penyimpangan seksual, penggunaan
obat, atau masalah fisik yang membuat aktivitas seksual menjadi tidak nyaman.24
Disfungsi seksual wanita setelah menopause adalah masalah yang kompleks
dengan berbagai etiologi. Evaluasi seksama dari segi fisiologis, psikologis, gaya
hidup, dan hubungan variabel diperlukan untuk mengoptimalkan terapi.
Pengobatan kecemasan dan depresi, penyesuaian obat antidepresan, dan
konseling hubungan dapat meningkatkan fungsi seksual. Latihan khusus sering
dilakukan di bawah bimbingan seorang terapi seks, membantu banyak
perempuan dan pasangan dengan disfungsi seksual. Pengobatan khusus atrofi
genitourinari dengan terapi estrogen vagina sistemik atau lokal atau pelumas
vagina efektif mengurangi dispareunia dan dapat meningkatkan gairah seksual.
35
Terapi androgen mungkin memiliki peran dalam pengobatan disfungsi seksual
pada wanita menopause yang memiliki tingkat androgen rendah dan tidak ada
penyebab lain yang dapat diidentifikasi terhadap masalah seksual. 20,24
Menopause adalah salah satu tahapan evolusi yang dialami semua wanita
menuju penuaan, dan fenomena ini menyebabkan perubahan. Penurunan kadar
estrogen pada tahap awal masa menopause menyebabkan berbagai gejala yang
dapat mempengaruhi fisik wanita, kesehatan mental dan seksual dan mempengaruhi
pekerjaan, aktifitas sosial, suasana hati, komunikasi dengan orang lain, kesenangan
hidup, dan akhirnya kualitas hidup mereka. Faktanya, wanita pada masa menopause
mengalami masa transisi yang jika seseorang merasa bahwa dia tidak dapat
mengubah struktur hidupnya, mungkin ada krisis perkembangan dalam hidupnya,
dan perubahan fisiologis dari periode ini mungkin berdampak besar pada perasaan
dan kepuasan pribadinya dengan kehidupannya.26
Seksualitas dan fungsi seksual sebagai salah satu isu yang dapat dimasukkan
dalam hal ini. Seperangkat aspek psikososial seperti rangsangan seksual dan seksual
disebut fungsi seksual. Seksualitas didefinisikan sebagai kondisi kesejahteraan
fisik, emosional, psikologis, dan sosial yang berkaitan dengan hubungan seksual,
bukan hanya kekurangan penyakit, disfungsi, atau disabilitas. Pada tahap kehidupan
ini, perempuan akan menghadapi banyak masalah dan komplikasi dari hormon
seks. Penyebab gangguan seksual pada periode ini adalah perubahan fisiologis
tubuh, masalah psikologis dan pengetahuan seksual, yang menyebabkan periode
sensitif menopause menjadi sangat berisiko, karena gangguan seksual yang
menyebabkan kerusakan kesehatan mental keluarga dengan menciptakan atau
mengintensifkan masalah psikologis yang menyebabkan kerusakan mental. Dalam
hal ini, banyak agresi, kontroversi, dan konsultasi serta kontrol pasangan dalam
aktivitas satu sama lain dapat mengalami gangguan ini. Mengenali dan perilaku
seksual manusia adalah salah satu masalah kesehatan masyarakat yang paling
penting, terutama kesehatan mental.26
Seksualitas bukan hanya fenomena fisik, tetapi bergantung pada gaya hidup
individu, pemahaman yang mendalam dan komprehensif tentang seseorang dari
36
dirinya sebagai manusia, sikap orang lain terhadap dirinya dan faktor lainnya.
Seksualitas lebih terlibat daripada aktifitas lain dalam budaya, masyarakat, dan
nilai-nilai emosional. Oleh karena itu, hasrat seksual mempengaruhi semua aspek
kehidupan individu.26
Telah diketahui hubungan seksual tidak sekedar ditunjukkan untuk
reproduksi melainkan juga untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang bersifat
psikologis yang jika terpenuhi manusia akan merasa puas, bahagia, nyaman,
tentram, dan mengalirkan energi baru pada tubuh. Menurut Bambang et al, faktor
seks cukup besar pengaruhnya terhadap keharmonisan suami-istri yang dapat
mencapai 30%. Keinginan seks biasanya menurun pada masa menopause, tetapi
dapat pulih sesudah gejala menghilang. Menurut Bambang et al, wanita menopause
masih melakukan hubungan seks dan merasa bergairah hingga usia menjelang 80
tahunan. Berhentinya hubungan seksual adalah dikarenakan ketiadaan pasangan.
Hal ini sama dengan pendapat Manuaba, yang mengatakan bahwa pada usia lanjut
bukanlah halangan untuk melakukan hubungan seksual. Dan karena sudah tidak
takut akan hamil, maka kepuasan seks dapat meningkat.3
Perubahan aktivitas seksual di usia menopause tidak hanya dipengaruhi oleh
perubahan yang terjadi akibat penurunan fungsi reproduksi tetapi juga dipengaruhi
oleh kurangnya informasi dan pengetahuan tentang dampak penurunan fungsi
reproduksi terhadap penurunan respon seksual di usia menopause yang sebenarnya
dapat diperoleh melalui program pelayanan kesehatan reproduksi lansia di fasilitas
kesehatan.3
Banyak wanita diliputi oleh rasa kecemasan menjelang menopause. Mereka
takut akan kehilangan kewanitaannya, kehilangan nafsu dan kemampuan koitus,
kehilangan rasa cinta sang suami. Telah diketahui hubungan seksual tidak sekedar
ditunjukkan untuk reproduksi melainkan juga untuk memenuhi kebutuhan dasar
manusia yang bersifat psikologis yang jika terpenuhi manusia akan merasa puas,
bahagia, nyaman, tentram, dan mengalirkan energi baru pada tubuh.3
Meskipun hubungan antara hormon dan libido telah diteliti secara ekstensif.
Banyak penelitian menunjukkan bahwa terdapat faktor lain yang mempengaruhi
perubahan libido. Avis et al mempelajari fungsi seksual 200 wanita yang
mengalami menopause alami dalam Studi Kesehatan Wanita Massachusetts II.
37
Pada sampel penelitian tidak ada yang melakukan terapi hormon, dan semua wanita
memiliki pasangan seksual, kesimpulan nya ialah status menopause tidak lagi
memiliki hubungan yang signifikan dengan libido.3
Salah satu faktor yang berperan sangat penting dalam fungsi seksual ialah
hormon. Dalam tubuh ada beberapa kelenjar yang mengahsilkan hormon dengan
fungsi nya masing masing, yaitu kelenjar pinealis, hipotalamus, hipofise, tiroid,
paratiroid, timus, adrenalis, pancreas, ovarium, dan testis.
Hormon yang dihasilkan oleh testis dan ovarium disebut dengan hormon
reproduksi, atau disebut juga dengan hormon seksual reproduksi. Hormon seksual
reproduksi secara langsung berkaitan dengan fungsi seksual, yaitu hormon
testosteron dan estrogen.7
a. Testosteron
Hormon testosteron merupakan hormon androgen yang diproduksi oleh pria
dan wanita. Hormon testosterone merupakan hormon androgen utama di dalam
sirkulasi darah. Pada perempuan, androgen diproduksi oleh ovarium (25%),
kelenjar adrenalis (25%) dan konversi perifer (50%) dari
prehormoneandrostenedione dan precursor dehydroepiandrosterone (DHEA).
Androstenodione diproduksi di dalam ovarium (50%) dan di kelenjar adrenalis
(50%), sedangkan DHEA diproduksi di hamper seluruhnya di kelenjar adrenalis
(90-95%).7
Dorongan seksual pada pria dan wanita dipengaruhi oleh 4 faktor. Petama,
hormon testosteron. Kedua, faktor psikis. Ketiga, keadaaan kesehatan tubuh.
Keempat, pengalaman seksual sebelumnya. Peranan testosteron pada dorongan
seksual sangat jelas. Banyak penelitian yang memastikan bahwa dorongan seksual,
baik pada pria dan wanita, dipengaruhi oleh hormon testosteron. Pada perempuan,
mempunyai peranan penting bagi dorongan seksual. Jaringan vagina mengandung
androgen receptors (ARs) dan ekspresi reseptor tersebut diatur di bagian proksimal
oleh androgen, dan di bagian distal oleh estrogen. Relaksasi otot polos vagina
nonvascular difasilitasi oleh androgen dan dihambat oleh estrogen. Observasi ini
didukung oleh sintesis dan aktifitas nitric oxide synthase yang meningkat di bagian
38
proksimal jaringan vagina dalam bereaksi terhadap androgen, dan berkurang dalam
bereaksi terhadap estrogen. Menjelaskan bahwa androgen berperan pada bangkitan
seksual, yaitu berupa reaksi klitoris dan vagina.7
Kadar testosteron yang meningkat pada sepertiga bagian tengah siklus
menstruasi diyakini sebagai penyebab meningkatnya dorongan seksual perempuan
pada saat ovulasi. Pada perempuan yang mengalami menopause karena operasi,
pemberian kombinasi testosteron dan estrogen dapat meningkatkan dorongan
seksual, bangkitan seksual dan fantasi seksualnya. Dengan pemberian estrogen saja,
tidak didapatkan perbaikan dorongan seksual dan bangkitan seksual. Pemberian
testosteron pada perempuan yang tidak responsif secara seksual pada usia subur,
menunjukkan peningkatan dalam kesenangan melakukan hubungan seksual, fantasi
seksual, frekuansi orgasme, dan lubrikasi vagina.7
b. Estrogen
Hormon estrogen merupakan hormon yang berpengaruh besar dalam hidup
manusia. Hormon estrogen berpengaruh dengan organ seksual dan reproduksi,
terutama berhubungan dengan uterus dan siklus menstruasi. Selain organ seksual
dan reproduksi, beberapa organ yang juga bereaksi terhadapat estrogen antara lain
otak, hati, payudara, kulit, tulang dan pembuluh darah, apabila terjadi perubahan
pada kadar estrogen, maka banyak tanda dan keluhan yang muncul dan dirasakan
oleh perempuan.7
Tanda dan gejala akibat kekurangan estrogen tampak pada masa
menopause, yaitu kulit menjadi tipis, payudara mengecil, fungsi seksual menurun,
kurangnya perlendiran pada vagina, daya memori menurun, dan lain lain. Ada tiga
jenis estrogen yang utama di dalam tubuh, yaitu E1 disebut estron, E2 disebut
estradiol, E3 disebut estriol.7
Kadar estron yang tinggi merangsang jaringan rahim dan payudara.
Keadaan ini diyakini meningkatkan risiko terjadinya kanker rahim dan payudara.
Sebelum menopause estron diproduksi di ovarium, kelenjar adrenalis, hepar, dan
sel lemak. Di dalam ovarium, estron dikonversi menjadi estradiol. Tetapi setelah
menopause, hanya sedikit estron dikonversi menjadi estradiol karena menurunnya
fungsi ovarium. Setelah estron diproduksi di dalam sel lemak dan sedikit di hepar
dan kelenjar adrenalis. Karena itu, semakin banyak lemak tubuh, semakin banyak
39
estron di dalam tubuh. Akibatnya, perempuan obesitas mempunyai rasio estron-
estradiol yang meningkat.7
Estradiol adalah jenis estrogen yang paling kuat, yaitu sekitar 12 kali lebih
kuat daripada estron dan 80 kali lebih kuat daripada estriol. Estradiol merupakan
estrogen utama yang terutama di produksi di produksi ovarium, sebelum
menopause. Pengaruh estradiol antara lain membantu penyerapan kalsium,
magnesium, dan zinc, meningkatkan kadar kolesterol DHL, menurunkan kolesterol
total dan trigleserid, meningkatkan growth hormone, serotonin, dan endorphin,
membantu mempertahankan memori, memperbaiki kenyamanan tidur dan
mengurangi kelelahan.7
Estriol mempunyai pengaruh rangsangan yang kurang kuat terhadap rahim
dan payudara, dibandingkan estron dan estradiol. Estriol tidak merangsang
terjadinya kanker payudara. Beberapa peran estriol ialah mengendalikan gejala
menopause, meningkatkan kolesterol HDL dan menurunkan kolesterol LDL,
mempertahankan pH vagina sehingga mencegah infeksi saluran kencing.7
c. Progesteron
Hormon progesteron adalah hormone gestasi yang mempersiapkan lapisan
uterus bagi ovum yang telah difertilisasi dan mempertahankan kehamilan. Hormon
ini berasal dari corpus luteum yang dibentuk di dalam ovarium dari folikel yang
pecah. Progesteron adalah precursor hormone. Hormon tersebut dapat dikonversi
oleh tubuh menjadi hormon steroid yang lain.7
Progesteron yang berkurang menimbulkan beberapa gejala dan keluhan
seperti cemas, depresi, mudah tersinggung, perasaan labil, insomnia, nyeri dan
radang, osteoporosis, HDL berkurang, dan menstruasi berlebihan.7
Progesteron yang artifisial atau progestin adalah hormon sintetik yang
sangat mirip dengan progesterone yang dihasilkan oleh tubuh, tetapi berbeda dalam
kepentingannya. Kedua hormone, baik yang natural maupun sintetik,
berkemampuan untuk mendukung lapisan vagina dan uterus, tetapi progestin tidak
mempunyai seluruh kisaran aktifitas biologi seperti pada progesteron natural.
Progestin ternyata menghambat biosintesis progesteron. Progestin dapat
mengakibatkan berhentinya menstruasi yang abnormal, retensi cairan, mual,
insomnia, depresi, berat badan berfluktuasi.7
40
2.3.1.1 Perubahan Hormon Selama Transisi Menopause yang Mempengaruhi
Fungsi Reproduksi / Seksual
Seksualitas bagi banyak wanita di usia paruh baya penuh dengan perubahan,
dan mungkin terkait dengan perubahan psikososial saat anak-anak tumbuh menjadi
dewasa, dan atau variasi biologis saat lingkungan hormonal tubuh wanita berubah
pada transisi menopause. Meskipun banyak wanita merasa bahwa penghentian
menstruasi merupakan kelegaan yang menyenangkan, bagi beberapa wanita
menopause dapat disertai dengan gejala yang berkisar dari yang hanya mengganggu
hingga masalah yang sangat menyakitkan dan membuat fungsi sehari-hari menjadi
sebuah tantangan. Untuk lebih memahami dampak menopause pada fisiologi
seksual, tinjauan singkat tentang fisiologi reproduksi yang diketahui perlu
dilakukan.27
Pengaturan siklus hormonal terjadi melalui interaksi yang kompleks antara
hipotalamus, kelenjar hipofisis anterior, dan ovarium, yang disebut sumbu HPG.
Hipotalamus melepaskan hormon pelepas gonadotropin (GnRH), yang bekerja
pada kelenjar hipofisis anterior untuk melepaskan LH dan FSH. FSH bekerja pada
sel granulosa ovarium untuk menghasilkan estrogen dan inhibin. LH merangsang
sel teka ovarium untuk memproduksi testosteron, beberapa di antaranya diubah
menjadi estrogen oleh sel granulosa sebelum dilepaskan ke sirkulasi. Sebaliknya,
estrogen bekerja pada hipofisis anterior untuk menghambat pelepasan LH,
sementara inhibin menurunkan pelepasan FSH (juga pada hipofisis anterior),
menjaga keseimbangan sistem.27
Tahap reproduksi diklasifikasikan berdasarkan perubahan pola menstruasi
dan kadar FSH. Sebelum terjadinya perubahan menstruasi atau gejala menopause,
dimulainya transisi menopause dimulai dengan fluktuasi produksi GnRH, yang
mengubah pola pelepasan FSH dan LH. Sepanjang hidup seorang wanita, jumlah
folikel yang ada di ovarium terus menurun. Umumnya, beberapa saat setelah usia
40 tahun, jumlah folikel cukup rendah untuk menyebabkan perubahan menstruasi.
Ketika peningkatan pelepasan FSH dan LH tidak dapat lagi mengkompensasi
berkurangnya jumlah folikel ovarium, sejumlah perubahan hormonal muncul
sintesis androgen menurun dalam sel teka (meskipun adrenal terus memproduksi
sejumlah kecil androgen), tingkat estrogen turun, dan sintesis progesteron di korpus
41
luteum berkurang. Periode menstruasi terakhir (FMP) pada wanita menopause
alami menandakan kegagalan ovarium.27
Satu tahun setelah FMP, seorang wanita dianggap pascamenopause.
Hipotalamus dan hipofisis anterior terus berfungsi sepanjang hidup wanita, dan
pada menopause dini, kadar FSH dan LH meningkat hingga 20 kali lipat dari tingkat
pramenopause mereka dalam upaya untuk merangsang produksi hormon di
ovarium. Tingkat FSH dan LH terus menurun setelah usia 55 tahun, dan terus
menurun hingga usia 70 tahun.27
Pengurangan tingkat hormon yang bersirkulasi mempengaruhi berbagai
sistem. Jaringan urogenital termasuk vulva, vagina, uterus, uretra, dan kandung
kemih mengandung reseptor estrogen yang tinggi, berkurangnya estrogen
menyebabkan atrofi di jaringan ini. Ukuran uterus berkurang, vulva serta vagina
kehilangan ketebalan dan vaskularitas. Sekresi dari serviks dan kelenjar Bartholin
berkurang, berkontribusi pada kekeringan vagina. Perubahan flora vagina
menyebabkan penurunan produksi asam dan peningkatan pH. Atrofi dan
kekeringan vagina dapat menyebabkan pruritus, dispareunia, dan peningkatan
angka infeksi. Estrogen sangat penting dalam menjaga integritas jaringan ikat
panggul, dan berkurangnya selama menopause dapat mengakibatkan penurunan
kekuatan di ligamen panggul, meningkatkan risiko inkontinensia stres urin dan
prolaps uterus dan kandung kemih.27
Jaringan pada payudara juga sensitif terhadap estrogen. Banyak wanita
pascamenopause mengalami penurunan sensitivitas sentuhan di payudara mereka.
Penurunan estrogen menyebabkan berkurangnya kandungan lemak di payudara,
serta menurunkan sensitivitas puting dan ereksi selama gairah seksual. Perubahan
ini berarti bahwa rangsangan yang lebih besar diperlukan untuk mencapai
rangsangan seksual.27
Sekitar 75% dari wanita menopause mengalami 'hot flashes', sensasi panas
tiba-tiba yang tidak nyaman, disertai takikardia, peningkatan suhu kulit, kemerahan,
dan keringat dari wajah dan tubuh bagian atas. Frekuensi, intensitas, dan durasi ‘hot
flashes’ sangat bervariasi, tetapi bagi banyak wanita gejala ini bisa sangat
menyusahkan. Pada sekitar 50% wanita yang mengalami ‘hot flashes’, gejala
42
berakhir setelah 5 tahun, tetapi 10% wanita terus mengalaminya selama 15 tahun
atau lebih.27
Pada perempuan, kerusakan atau penekanan kelenjar adrenalis dan ovarium
mengakibatkan berkurangnya sekresi androgen. Keadaan ini menimbulkan
gangguan dorongan seksual dan bangkitan seksual. Akibatnya, lubrikasi vagina,
relaksasi vagina, dan ereksi klitoris tidak terjadi. Karena itu, perempuan dengan
keluhan dorongan seksual menurun, energi berkurang, dan bangkitan seksual
berkurang memerlukan pemeriksaan hormon testosteron. Pada keadaan kadar
testosterone yang berkurang, dorongan seksual terhambat, selanjutnya bangkitan
seksual tidak terjadi, dan reaksi seksual selanjutnya gagal.7
43
Studi terbaru menjelaskan efek estrogen pada respon seksual wanita setelah
menopause. Modelska et al menemukan bahwa kadar estrogen yang lebih rendah
pada lansia, wanita pascamenopause berkorelasi dengan penurunan fungsi seksual.
Namun, tampaknya masih ada perdebatan berkaitan dengan kadar estrogen, karena
kadar yang lebih tinggi dikaitkan dengan peningkatan SHBG (sex hormone binding
globulin), sehingga mengikat lebih banyak testosteron, dan mengurangi
bioavaibilitas.27
Progesteron dikaitkan dengan penerimaan terhadap kontak seksual yang
dimulai oleh pasangan. Progestin yang dilepaskan oleh ovarium dan adrenal
membantu dalam mempertahankan struktur dan fungsi genital, tetapi juga dapat
menjadi anti-estrogenik dengan menurunkan produksi estrogen. Estrogen,
testosteron, dan progestin mempengaruhi bioavaibilitas satu sama lain.27
Sejumlah neurotransmitter memberikan pengaruh pada fungsi seksual.
Dopamin mempengaruhi hasrat seksual dan perasaan subjektif dari gairah dan
dorongan untuk melanjutkan aktivitas seksual setelah dimulai. Norepinefrin adalah
neurotransmiter prinsip dalam tahap gairah respon seksual, baik di otak dan genital.
Di jaringan perifer, serotonin juga tampaknya terlibat dalam memicu gairah seksual
genital melalui efek pada tonus pembuluh darah dan aliran darah. Ini juga dapat
memediasi kontraksi uterus selama orgasme.27
44
Asosiasi Dunia untuk kesehatan seksual mengatakan, seksualitas di usia tua
merupakan komponen penting dan sentral baik dalam kesehatan fisik maupun
kesejahteraan. Ekspresi seksualitas pada orang tua mempengaruhi kualitas hidup
mereka, meningkatkan status fungsional, situasi kognitif, dan suasana hati
mereka.29
Fungsi seksual umumnya dipelajari dalam hal kepuasan, frekuensi aktivitas
(hubungan seksual, masturbasi), keinginan (termasuk minat dan pikiran atau fantasi
seksual), gairah, sikap terhadap seksualitas, dan kesulitan seperti rasa sakit selama
hubungan dan masalah mencapai orgasme. Studi cross-sectional pada populasi
wanita tidak menunjukkan hubungan yang jelas antara perimenopause dan fungsi
seksual. Meskipun beberapa penelitian menemukan minat seksual yang lebih
rendah di antara wanita perimenopause atau postmenopause dibandingkan dengan
wanita pramenopause. Penelitian lain tidak menemukan hubungan antara status
menopause dan fungsi seksual.28
SWAN (Study of Women's Health Across the Nation) adalah salah satu studi
berbasis komunitas terbesar yang mencakup berbagai domain fungsi seksual dan
kovariat yang relevan. SWAN adalah studi kohort multietnis observasional tentang
transisi menopause pada 3.302 wanita di 7 lokasi di seluruh Amerika Serikat. Pada
penelitian tersebut Dengan desain studi, hampir setengah sampel berkulit putih
(47%) dengan separuh lainnya terdiri dari wanita Afrika-Amerika (28%), Hispanik
(8,7%), Cina (7,5%), dan Jepang (8,5%).28
Variabel seksualitas diukur pada setiap kunjungan studi menggunakan 20
item kuesioner yang dirancang untuk membahas aktivitas dan fungsi seksual pada
wanita dengan atau tanpa pasangan. Variabel minat termasuk dalam domain
pentingnya seks, hasrat seksual, frekuensi aktifitas (hubungan seksual dan
masturbasi) dan kesenangan fisik, kepuasan emosional dengan pasangan, gairah,
dan rasa sakit. Semua wanita yang diteliti ditanyai seberapa penting seks dalam
hidup mereka, seberapa sering mereka merasakan keinginan dalam 6 bulan terakhir
untuk terlibat dalam segala bentuk aktivitas seksual (baik sendiri atau dengan
pasangan), frekuensi melakukan masturbasi dalam 6 bulan terakhir, dan apakah
mereka melakukan aktivitas seksual dengan pasangan dalam 6 bulan terakhir.
Responden yang melaporkan pernah melakukan aktivitas seksual dengan pasangan
45
dalam 6 bulan terakhir ditanyai tentang frekuensi hubungan seksual, gairah saat
melakukan aktivitas seksual, serta tingkat kepuasan emosional dan kenikmatan fisik
dari hubungan mereka dengan pasangan. Wanita yang melaporkan melakukan
hubungan seksual dalam 6 bulan terakhir juga ditanyai tentang frekuensi nyeri pada
vagina atau panggul saat berhubungan.28
Analisis dasar yang membandingkan wanita premenopause dan
perimenopause awal menemukan bahwa wanita perimenopause awal mengalami
nyeri yang lebih besar saat berhubungan badan daripada wanita pramenopause.
Wanita perimenopause sekitar 40% lebih mungkin melaporkan sering mengalami
nyeri saat berhubungan dibandingkan wanita pramenopause. Kedua kelompok
tidak berbeda dalam hal frekuensi hubungan seksual, keinginan, gairah, atau
kepuasan fisik atau emosional.28
Kepuasan dan pentingnya dikaitkan dengan aktivitas seksual terkait dengan
kesejahteraan. Dengan demikian, wanita yang lebih tua yang melaporkan kepuasan
lebih dengan aktivitas seksual mereka memiliki kesehatan mental yang lebih baik
dibandingkan dengan wanita dengan kepuasan rendah. Lamater et al mencatat
bahwa pria dan wanita di atas 65 tahun yang menilai pentingnya seksualitas bagi
kesejahteraan mereka lebih aktif secara seksual. Selain itu, hubungan positif
ditemukan antara sikap terhadap seksualitas dan kepuasan seksual. Dalam sebuah
studi yang meneliti hubungan antara kualitas hidup seksual dan penuaan, Forbes
menemukan bahwa kualitas hidup seksual dan penuaan cenderung menurun selama
penuaan, tetapi penurunan tersebut terkait dengan faktor-faktor seperti frekuensi
aktivitas seksual dan jumlah pemikiran dan upaya yang diinvestasikan aspek
seksual kehidupan. Hasil studi ini menekankan pentingnya seksualitas dalam
penuaan yang berhasil.29
Survei terhadap orang dewasa berusia 60 tahun ke atas menunjukkan bahwa
lebih dari separuh (53%) melaporkan aktivitas seksual pada bulan sebelumnya,
sedangkan faktor utama aktifitas seksual adalah usia, pendidikan, rasa percaya diri.
nilai, kepuasan pernikahan, dan lamanya pernikahan. Demikian pula, hasil survei
yang dilakukan di Amerika Serikat menunjukkan bahwa pada kelompok usia 57
hingga 64 tahun, 53% melakukan aktifitas seksual tetapi prevalensinya menurun
seiring bertambahnya usia. Di antara peserta berusia 75 hingga 85 tahun, 26%
46
melakukan aktivitas seksual. Selain itu, wanita dari segala usia melaporkan lebih
sedikit aktivitas seksual dibandingkan pria, dan alasannya adalah karena mereka
lebih jarang memiliki pasangan atau hubungan intim lainnya. Di antara sampel 688
orang Tionghoa, ditemukan bahwa 51,32% pria dan 41,26% wanita dilaporkan
terlibat dalam beberapa bentuk aktivitas seksual. Sebuah survei yang dilakukan di
delapan negara di Eropa (Swedia, Inggris, Belgia, Jerman, Austria, Prancis,
Spanyol, dan Italia) Nicolosi dan di Australia, Moreira menemukan bahwa minat
seksual dan aktifitas seksual di antara orang tua, banyak yang mengalami disfungsi
seksual dan kesulitan. Meskipun demikian, hanya sedikit yang mencari bantuan
medis, dikarenakan mereka tidak menganggap kesulitan ini serius atau
mengganggu.29
Santos-Iglesias et al menemukan bahwa sekitar dua pertiga dari peserta
mereka dalam penelitian mereka yang berada dalam hubungan saat ini telah
mengalami setidaknya satu kesulitan seksual, tetapi hanya seperempat yang
tertekan karenanya. Seksualitas di masa dewasa akhir berubah dan mencakup
berbagai ekspresi. Gott et al mencatat bahwa ketika hubungan seksual penuh tidak
lagi mungkin karena keterbatasan fisik, keintiman fisik melalui pelukan dan
'sentuhan' tampaknya menjadi pusat kesejahteraan. Sehingga, Santos- Iglesias et al
menunjukkan bahwa orang tua yang berada dalam suatu hubungan sering
melakukan aktivitas seksual genital dan non-genital.29
The Penn Ovarian Aging Study adalah studi longitudinal kohort berbasis
populasi dari 436 wanita (setengah Afrika Amerika dan setengah Kaukasia) yang
direkrut dari tahun 1996 hingga 1997 ketika wanita berusia 35 hingga 47 tahun.
Wanita menerima 10 penilaian studi selama 9 tahun. Gracia et al melaporkan data
fungsi seksual yang dikumpulkan selama periode 3. Fungsi seksual dinilai oleh
Indeks Fungsi Seksual Wanita, 19 item ukuran yang mencakup hasrat, gairah,
lubrikasi, orgasme, kepuasan, dan rasa sakit. Status menopause diadaptasi dari
sistem STRAW untuk penuaan reproduksi. 28
Dalam hasil nya, yang disesuaikan dengan usia dan berbagai variabel lain,
disfungsi seksual meningkat secara signifikan di antara wanita menopause transisi
akhir, tetapi tidak pada wanita di awal transisi. Analisa spesifik dari fungsi seksual
mengungkapkan bahwa nilai lubrikasi dan orgasme menurun secara signifikan pada
47
awal transisi, sedangkan gairah, lubrikasi, orgasme, dan nyeri semuanya menurun
di akhir transisi.28
Survei Nasional Kesehatan dan Perkembangan Dewan Riset Medis adalah
studi longitudinal kesehatan individu di Inggris, Skotlandia, dan Wales yang lahir
pada tahun 1946. Sejak tahun 1992, sampel kelompok berusia 47 tahun, kuesioner
dikirim setiap tahun kepada 1778 wanita. Mishra dan Kuh melaporkan data fungsi
seksual yang dikumpulkan dari 1993 hingga 2000. Fungsi seksual diukur dari sudut
pandang perubahan dalam kehidupan seks dan kesulitan dalam hubungan seksual.
Status perimenopause didefinisikan sebagai antara 3 dan 12 bulan amenore atau
periode tidak teratur dalam 12 bulan sebelumnya (ini menggabungkan kategori
perimenopause awal dan akhir dari sistem STRAW untuk penuaan reproduksi pada
wanita). 28
Analisis didasarkan pada kategori transisi menopause selama 2 tahun
berturut-turut. Menariknya, wanita pada tahap perimenopause melaporkan
perubahan yang lebih besar secara signifikan dalam kehidupan seks dan kesulitan
berhubungan, sedangkan wanita yang beralih dari premenopause ke perimenopause
tidak berbeda secara signifikan dari wanita yang premenopause. Wanita yang
melaporkan kekeringan vagina lebih mungkin melaporkan fungsi seksual yang
lebih buruk. Kurangnya hubungan antara transisi menopause dan frekuensi
hubungan seksual atau kepuasan dengan pasangan menunjukkan bahwa domain
fungsi seksual ini tidak secara langsung berkaitan dengan transisi menopause.28
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa gejala atrofi vulvovaginal (VVA)
yang dilaporkan sebagai gejala kekeringan vagina telah mencapai 83,9% pada
wanita selama periode pascamenopause. Keluhan fisik terjadi pada wanita
pascamenopause seperti berkurangnya elastisitas vagina, hot flashes, dan
penurunan libido seksual dikaitkan dengan berkurangnya hormon seks steroid,
aliran darah, dan efek saraf otonom yang memasoki organ genitalia. Atrofi
urogenital akan menghasilkan kekeringan vagina dan pruritus, dispareunia, disuria,
dan urgensi urinary. Dapat disimpulkan bahwa penuaan adalah penyebab paling
banyak atas perubahan fungsi seksual.30
Hubungan antara atrofi vagina akibat penurunan kadar estrogen selama
menopause dan dispareunia juga tidak jelas. Dispareunia pascamenopause biasanya
48
dianggap sebagai akibat dari atrofi jaringan dinding vagina dan kelenjar Bartholin,
yang menyebabkan kesulitan pelumasan dan nyeri selama hubungan seksual.
Namun, sebuah penelitian Denmark tahun 1997 menemukan bahwa penurunan
kadar estrogen selama menopause secara signifikan dikaitkan dengan atrofi vagina,
tidak ada hubungan dengan kekeringan vagina atau dispareunia. Studi ini
menyimpulkan bahwa keluhan vagina kering dan dispareunia tidak secara otomatis
dikaitkan dengan atrofi vagina yang terkait dengan menopause.30
Studi terbaru menunjukkan bahwa beberapa faktor mempengaruhi seksualitas
pascamenopause antara lain ialah kesehatan umum, komorbiditas medis, perubahan
tingkat hormon seperti estrogen, testosteron, dan progestin, fungsi seksual pada
pasangan, faktor hubungan, dan harapan wanita terhadap fungsi seksualnya.29,30
Untuk lebih memeriksa peran faktor hubungan dalam fungsi seksual wanita
di usia paruh baya, sebuah penelitian di Australia baru-baru ini mewawancarai 438
wanita berusia 45-55 tahun yang masih menstruasi pada saat wawancara awal.
Dilakukan penelitian selama delapan tahun tersisa 336 wanita. Kuesioner dan
pengambilan darah dilakukan untuk mengevaluasi wanita untuk usia, kadar hormon
(estrogen dan free testosteron), status menopause dan status pasangan. Secara
keseluruhan, aktifitas seksual sebelum perimenopause dan faktor hubungan
terhadap pasangan ditemukan lebih penting daripada faktor hormonal pada wanita
perimenopause.29,30
Pada masa postmenopause, keintiman hubungan antara suami dan istri
menjadi hal krusial untuk dipertahankan. Keintiman fisik dan emosional harus
dibuktikan dengan komunikasi positif yang ditetapkan oleh suami dan istri.
Sebagian besar pasangan menggambarkan perubahan yang terjadi selama periode
pascamenopause, salah satunya adalah reaksi pasangan mereka saat menghadapi
perubahan fungsi seksual yang dialami oleh pasangannya. Berdasarkan hasil
analisis, respons pasangan yang dilaporkan oleh istri setelah mereka memasuki
periode menopause adalah perubahan keintiman dengan pasangan yang mencakup
komunikasi dan romantisme pasangan dan mengurangi keintiman fisik dengan
pasangan.29
Terdapat beberapa faktor faktor yang mempengaruhi aktivitas seksual pada
wanita yang sudah memasuki usia menopause. Diantara nya ialah sebagai berikut:29
49
1. Sosiodemografi : usia dan status kesehatan
a. Usia : Analisis longitudinal menunjukkan penurunan fungsi seksual yang
signifikan terkait dengan penuaan dan transisi menopause. Sebuah tinjauan
studi menunjukkan bahwa ada korelasi negatif antara usia dan fungsi
seksual. Beberapa penelitian juga menemukan hubungan negatif antara usia
suami dan fungsi seksual istri.29
b. Status kesehatan : Kesehatan yang baik merupakan salah satu faktor penting
dalam menjaga minat seksual seperti yang diungkapkan di berbagai negara
Eropa. Namun, masalah kesehatan yang meningkat seiring bertambahnya
usia, seperti penurunan fungsi atau berbagai penyakit yang bersamaan,
menyebabkan masalah dalam seksualitas. Bentuk disfungsi seksual yang
paling umum di antara pria yang lebih tua adalah impotensi, dan di antara
wanita, bentuk paling umum dari gangguan seksual disebabkan oleh
perubahan pascamenopause.29
2. Status pernikahan dan jenis kelamin:
a. Sebagian besar aktivitas seksual dan hubungan intim berdampak besar pada
aktivitas seksual. Namun, pada pria dilaporkan bahwa mereka memiliki
lebih sering melakukan hubungan intim daripada wanita. Selain itu, sikap
yang lebih positif terhadap seksualitas dan tingkat hasrat seksual yang lebih
tinggi ditemukan di antara orang yang tinggal dengan pasangan.29
b. Hubungan antara tingkat hasrat seksual dan memiliki pasangan lebih kuat
pada wanita dibandingkan pria. Clarke dkk menunjukkan perubahan di
antara wanita yang menikah lagi setelah usia 50 tahun pada pentingnya
hubungan seksual dan gairah untuk pelukan, kasih sayang, dan hubungan
intim.29
3. Status ekonomi: Penghasilan tinggi berhubungan dengan hasrat seksual yang
lebih tinggi, sikap positif terhadap aktivitas seksual, dan pengetahuan
seksual.29
4. Pendidikan: Aktivitas seksual secara signifikan dikaitkan dengan tingkat
pendidikan yang lebih tinggi, dengan tingkat Pendidikan yang rendah
dilaporkan aktivitas seksual yang lebih sedikit. Tingkat pendidikan yang tinggi
juga dapat mengurangi stereotip negatif ekspresi seksual oleh orang tua.
50
Beckman dkk. menemukan peningkatan aktivitas seksual di antara orang tua
dalam beberapa tahun terakhir. 29
51
penerimaan diri, pengetahuan diri, dan kepercayaan dirinya saat menghadapi
periode menopause.31
Sebagian besar menyatakan bahwa seiring bertambahnya usia, keintiman
fisik mereka dengan pasangan menurun, di sisi lain keintiman emosional mereka
tidak berubah. Untuk menjaga keharmonisan hubungan, mereka tidak hanya
membutuhkan keintiman fisik melalui aktivitas kontak seksual tetapi juga
membutuhkan keintiman emosional yang diperoleh melalui komunikasi dan
dukungan sebagai life partnership seperti yang tertera pada penelitian sebelumnya.
Para responden masih berhubungan intim dengan pasangannya, meskipun jarang
terjadi kontak fisik dengan mereka. Wanita yang sudah memasuki usia menopause
akan melakukan hal-hal positif seperti rutin berolahraga, mengonsumsi makanan
sehat, dan berusaha menerima keadaan saat ini.31
Dengan menerima menopause, wanita menjadi lebih siap secara fisik dan
mental untuk menghadapi perubahan dalam periode ini dan akan mencari cara
untuk mengurangi keparahan gejala yang mengganggu. Hasil penelitian ini sejalan
dengan penelitian sebelumnya yang menjelaskan sebagian besar intervensi pada
wanita menopause difokuskan pada intervensi pendidikan, aktivitas fisik, perbaikan
pola makan sehat, manajemen stres, perilaku sehat, pencegahan penyakit tertentu
yang menghadapi perubahan pascamenopause.31
Olah raga merupakan salah satu cara krusial untuk mengatasi masalah fisik
dan fisiologis yang dialami oleh wanita pascamenopause. Ini mengurangi risiko
penyakit jantung dengan merangsang sirkulasi, mengontrol berat badan, dan
meningkatkan kesejahteraan emosional.28
Faktor psikososial dan penuaan sering dilaporkan sebagai faktor penentu
yang lebih penting daripada fungsi ovarium dari fungsi seksual di antara wanita
paruh baya. Beberapa faktor ini termasuk ketersediaan pasangan, aktivitas seksual
sebelumnya, perilaku dan kualitas hubungan, fungsi psikologis, kesehatan fisik dan
ras / etnis.28
Dalam penelitian kohort oleh Melbourne Women’s Midlife Health Project
tingkat fungsi seksual dan faktor hubungan sebelumnya lebih penting daripada
faktor penentu hormonal dari fungsi seksual, faktor terpenting yang mempengaruhi
libido. Frekuensi aktivitas seksual tidak dipengaruhi oleh kadar estradiol, tetapi
52
diprediksi oleh tingkat aktivitas seksual sebelumnya, perasaan terhadap pasangan,
dan tingkat respons seksual.28
SWAN menemukan bahwa kesehatan, fungsi psikologis dan pentingnya
aktivitas berhubungan dengan outcome fungsi seksual. Usia, rasa atau etnis, status
perkawinan dan perubahan hubungan. Perbedaan ras atau etnis ditemukan pada
wanita Cina dan Jepang dilaporkan kurang penting nya aktivitas seksual dan lebih
sedikit hasrat, masturbasi, gairah, sedangkan wanita Afrika-Amerika melaporkan
penting nya aktivitas seksual, frekuensi berhubungan seks, kepuasan emosional,
dan kesenangan fisik daripada wanita Kaukasia.28
Dalam Analisa yang dilakukan transisi menopause tidak terkait dengan
gairah, frekuensi aktivitas seksual, kesenangan fisik, atau kepuasan dengan
pasangan. Meskipun gejala vasomotor sebagian besar tidak terkait dengan fungsi
seksual, kekeringan vagina sangat terkait dengan hasrat seks yang lebih rendah,
kepuasan emosional, dan kesenangan fisik. Variabel terpenting yang terkait dengan
fungsi seksual adalah pentingnya seks, yang sangat terkait dengan semua hasil.
Status psikologis, kesehatan fisik, dan status hubungan.28
Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Dombek et al. tingkat disfungsi
seksual dilaporkan 70,3% di antara wanita pascamenopause. Selain itu, Jonusiene
et al. melaporkan 67,9% di antara wanita pascamenopause di Lithuania. Dalam
studi sectional yang dilakukan oleh Masliza et al., prevalensi disfungsi seksual pada
wanita di Malaysia adalah 85,2%. Blümel dkk. melaporkan prevalensi disfungsi
seksual antara 21% dan 98,5%, dan perbedaan ini terkait dengan negara dan
populasi yang diteliti. Di Iran, Kabudi, dalam penelitiannya tentang pengetahuan
menopause dan fungsi seksual perempuan di atas 35 tahun di Kermanshah,
melaporkan bahwa respon disfungsi seksual pada dua fase seksualitas dan ereksi
pada 141 perempuan menopause adalah 70%. Namun, Yazdanpanahi et al.
melaporkan prevalensi disfungsi seksual selama menopause sebanyak 88,7%.26
Dalam laporan lain pada tahun 2002 dari Amerika Serikat, angka ini
mencapai 30%. Nazarpour dkk. dalam penelitian mereka yang bertujuan untuk
memeriksa hubungan antara fungsi seksual dan kualitas hidup 405 wanita
53
pascamenopause Iran, ditentukan bahwa skor total rata-rata fungsi seksual adalah
24,11 ± 1,10. Selanjutnya, skor terendah dan tertinggi masing-masing terkait
dengan ereksi dan kepuasan. Menurut penelitian lain, prevalensi disfungsi seksual
selama menopause mencapai 51,3% di Chili, 40,4% di Nigeria, dan 35,9% di Brasil.
Lebih lanjut, dalam studi berbasis populasi, yang dilakukan di 28 kota di Iran,
diperkirakan 39% wanita berusia di atas 50 tahun mengalami disfungsi seksual.
Dalam hal ini, dalam studi review, da Silva Lara et al. menemukan bahwa 22%
wanita pascamenopause terlibat dalam aktivitas seksual hanya untuk kepuasan
suami, dan mereka tidak bersedia berpartisipasi dalam aktivitas tersebut. Hashemi
dkk. dalam studi cross-sectional lainnya pada 225 wanita pascamenopause antara
45 dan 65 tahun di Iran, mengungkapkan bahwa 70% wanita yang diteliti
setidaknya menderita satu masalah seksual. Lebih lanjut, dalam studi yang
dilakukan oleh Topatan dan Yıldız pada 450 wanita pascamenopause di Turki,
hubungan positif diamati antara beberapa disfungsi seksual dan tingkat intensitas
gejala menopause. Simon et al. dalam penelitiannya pada 2000 wanita dan pria
pascamenopause di Amerika Utara, menunjukkan bahwa ketidaknyamanan vagina
menyebabkan hilangnya hasrat seksual (64%), dan nyeri seksual (64%), dan hampir
30% wanita dan pria menyatakan ketidaknyamanan pada vagina sebagai alasannya
untuk menghentikan hubungan seksual. Dalam beberapa penelitian, keluhan
seksual seperti berkurangnya aktivitas seksual, penurunan respons seksual,
kesulitan mencapai orgasme, dan hilangnya sensasi genital berhubungan dengan
penurunan kadar estradiol. Sebagaimana disebutkan, faktor-faktor yang
mempengaruhi fungsi seksual dapat dikategorikan dalam tiga domain: fisik,
emosional, dan sosial. Fungsi seksual wanita pasca menopause seringkali
dipengaruhi oleh vasomotor, neurogenik, endokrin, otot, psikotik, kantuk serta
gejala gangguan metabolisme dan psikologis.26
54
wanita. Di bidang pendidikan, sejumlah penelitian mengungkapkan adanya
hubungan positif antara tingkat pendidikan perempuan atau pasangan seksual
dengan fungsi seksual. Beygi et al. Menganggap pendidikan pasangan sebagai
elemen efektif dalam fungsi seksual wanita pascamenopause. Studi yang dilakukan
oleh Dennerstein et al. menegaskan hubungan antara pendidikan pasangan dan
disfungsi seksual wanita.26
2.3.4.2 Androgen
55
sebagai salah satu masalah medis lainnya. Peningkatan aktivitas seksual diamati
pada wanita dengan indeks massa tubuh lebih rendah. Faktor lain terkait dengan
aktivitas fisik. Berkaitan dengan hal tersebut, hasil penelitian menunjukkan bahwa
olahraga merupakan variabel yang berhubungan secara signifikan dengan kepuasan
seksual.26
56
Lebih jauh, ekspektasi sosial berdampak negatif pada hasrat seksual. Beberapa
budaya percaya bahwa wanita yang lebih tua dialihkan dari seksualitas. Nisar dan
Ahmed Sohoo mendemonstrasikan bahwa wanita pascamenopause dari masyarakat
tradisional seringkali cenderung merawat anak, cucu, dan praktik keagamaan
selama masa ini, dan bahwa partisipasi dalam aktivitas seksual diamati sebagai
prioritas selanjutnya bagi mereka. Bukti dari penelitian lain menunjukkan bahwa
prevalensi disfungsi seksual dipengaruhi oleh faktor ras, agama, budaya dan sikap
karena sikap sosial, peran budaya dan kepercayaan agama dapat mempengaruhi
orientasi seksual perempuan yang lebih tua. García Padilla et al membuktikan
bahwa peningkatan disfungsi seksual dan gejala menopause lainnya di antara para
wanita ini terkait dengan rendahnya kesadaran seksual mereka.26
57
lainnya. Dalam studi lain, lebih sedikit masalah yang terkait dengan hubungan
seksual dengan peningkatan harapan hidup. Dalam studi lain, lama pernikahan
perempuan dapat menurunkan fungsi seksual mereka dan risiko tinggi disfungsi
seksual secara signifikan terkait dengan durasi pernikahan.26
58
memberikan dampak pada ketidakmampuan fisik, yang dikenal sebagai
impotensia.32
59
DAFTAR PUSTAKA
1. BPS. Statistik Penduduk Lanjut Usia 2019. Badan Pusat Statistik; 2019.
2. Sutarjo US. Indonesia Health Profile 2017. Ministry of Health RI; 2018.
6. Pfaus JG, Jones SL, Flanagan-Cato LM, Blaustein JD. Female Sexual
Behavior. In: Knobil and Neill’s Physiology of Reproduction. Elsevier;
2015:2287-2370. doi:10.1016/B978-0-12-397175-3.00050-8
10. Foucault M. The History of Sexuality. 1st American ed. Pantheon Books;
1978.
12. Georgiadis JR, Kringelbach ML. The human sexual response cycle: Brain
imaging evidence linking sex to other pleasures. Progress in Neurobiology.
2012;98(1):49-81. doi:10.1016/j.pneurobio.2012.05.004
13. Holloway V, Wylie K. Sex drive and sexual desire: Current Opinion in
Psychiatry. 2015;28(6):424-429. doi:10.1097/YCO.0000000000000199
14. Berman JR. Physiology of female sexual function and dysfunction. Int J Impot
Res. 2005;17(S1):S44-S51. doi:10.1038/sj.ijir.3901428
60
16. Chaplin S. NICE guideline: diagnosis and management of the menopause:
Menopause. Prescriber. 2016;27(1):27-32. doi:10.1002/psb.1427
18. Georgiadis JR, Kringelbach ML. The human sexual response cycle: Brain
imaging evidence linking sex to other pleasures. Progress in Neurobiology.
2012;98(1):49-81. doi:10.1016/j.pneurobio.2012.05.004
20. Hoffman BL, Schorge JO, Bradshaw KD, Halvorson LM, Schaffer JI, Corton
MM. Menopausal Transition. In: Williams Gynecology. ; 2016:471-491.
22. Shifren JL, Schiff I. Menopause. In: Berek & Novak’s Gynecology. 15th ed.
Wolters Kluwer Health/Lippincott Williams & Wilkins; 2012.
23. Hoffman BL, Schorge JO, Bradshaw KD, Halvorson LM, Schaffer JI, Corton
MM. Williams Gynecology.; 2016.
25. Maartens LWF, Knottnerus JA, Pop VJ. Menopausal transition and increased
depressive symptomatology. Maturitas. 2002;42(3):195-200.
doi:10.1016/S0378-5122(02)00038-5
27. Clayton AH, Hamilton DV. Sexuality during Menopause: Deconstructing the
Myths. In: Soares CN, Warren M, eds. Key Issues in Mental Health. Vol 175.
KARGER; 2009:18-40. doi:10.1159/000209599
28. Avis NE, Green R. The Perimenopause and Sexual Functioning. Obstetrics
and Gynecology Clinics of North America. 2011;38(3):587-594.
doi:10.1016/j.ogc.2011.05.009
61
30. Woods NF, Mitchell ES, Smith-Di Julio K. Sexual Desire During the
Menopausal Transition and Early Postmenopause: Observations from the
Seattle Midlife Women’s Health Study. Journal of Women’s Health.
2010;19(2):209-218. doi:10.1089/jwh.2009.1388
62