2021
Mengetahui,
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................... 1
1.1 Latar Belakang...................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................ 2
2.1 Definisi................................................................................. 2
2.2 Epidemiologi........................................................................ 2
2.3 Embriologi dan Penurunan Testis........................................ 3
2.4 Etiologi................................................................................. 5
2.5 Klasifikasi............................................................................. 6
2.6 Diagnosis.............................................................................. 7
2.6.1 Anamnesis................................................................... 7
2.6.2 Pemeriksaan Fisik....................................................... 8
2.6.3 Pemeriksaan Laboratorium......................................... 10
2.6.4 Pemeriksaan Pencitraan.............................................. 11
2.6.5 Laparoskopi................................................................. 12
2.7 Terapi.................................................................................... 12
2.7.1 Terapi Hormonal......................................................... 13
2.7.2 Terapi Pembedahan..................................................... 15
BAB III PENUTUP..................................................................................... 19
3.1 Kesimpulan........................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... iv
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Undescendcus testis (UDT) atau Kriptorkismus adalah gangguan
perkembangan yang ditandai dengan gagalnya penurunan salah satu atau
kedua testis secara komplit ke dalam skrotum.1,7
Kriptorkismus berasal dari kata cryptos (Yunani) yang berarti tersembunyi
dan orchis (latin) yang berarti testis. Nama lain dari kriptorkismus adalah
undescended testis, tetapi harus dijelaskan lanjut apakah yang di maksud
kriptorkismus murni, testis ektopik, atau pseudokriptorkismus. Kriptorkismus
murni adalah suatu keadaan dimana setelah usia satu tahun, satu atau dua testis
tidak berada didalam kantong skrotum, tetapi berada di salah satu tempat
sepanjang jalur penurunan testis yang normal. Sedang bila diluar jalur normal
disebut testis ektopik, dan yang terletak di jalur normal tetapi tidak didalam
skrotum dan dapat didorong masuk ke skrotum serta naik lagi bila dilepaskan
disebut pseudokritorkismus atau testis retraktil.1,7
2.2 Epidemiologi
Insidensi UDT pada bayi sangat dipengaruhi oleh umur kehamilan bayi
dan tingkat kematangan atau umur bayi. Pada bayi prematur sekitar 30,3% dan
sekitar 3,4% pada bayi cukup bulan. Bayi dengan berat lahir < 900 gram
seluruhnya mengalami UDT, sedangkan dengan berat lahir < 1800 gram
sekitar 68,5 % UDT. Dengan bertambahnya umur menjadi 1 tahun, insidennya
menurun menjadi 0,8 %, angka ini hampir sama dengan populasi dewasa
(tabel 1).3,4
2
Tabel 1. Data prevalensi UDT berdasarkan umur oleh Scorer dan
Farrington
Laporan serupa yang lain menyebutkan dari 7500 bayi baru lahir di
Inggris, terdapat 5,0 % kasus UDT pada saat lahir, dan menurun menjadi 1,7%
pada umur 3 bulan.8 Setelah umur 3 bulan, bayi-bayi yang lahir dengan berat
<2000 gram, 2000 - 2499 gram, dan > 2500 gram, insiden UDT berturut-turut
menjadi 7,7%, 2,5%, and 1,41%.8
3
involusi ipsilateral dari duktus mullerian. MIF juga meningkatkan reseptor
androgen pada membran sel Leydig. Sel pada minggu ke 10-11 kehamilan,
akibat stimulasi chorionic gonadotropin yang dihasilkan plasenta dan LH dari
pituitary, sel-sel Leydig akan mensekresi testosteron yang sangat esensial bagi
diferensiasi duktus Wolfian menjadi epididimys, vas deferens, dan vesika
seminalis.4
Penurunan testis dimulai pada sekitar minggu ke-10. Walaupun
mekanismenya belum diketahui secara pasti, namun para ahli sepakat bahwa
terdapat beberapa faktor yang berperan penting, yakni: faktor endokrin,
mekanik (anatomik), dan neural. Terjadi dalam 2 fase yang dimulai sekitar
minggu ke-10 kehamilan segera setelah terjadi diferensiasi seksual. Fase
transabdominal dan fase inguinoscrotal. Keduanya terjadi dibawah kontrol
hormonal yang berbeda.3,7,9
Fase transabdominal terjadi antara minggu ke-10 dan 15 kehamilan, di
mana testis mengalami penurunan dari urogenital ridge ke regio inguinal. Hal
ini terjadi karena adanya regresi ligamentum suspensorium cranialis dibawah
pengaruh androgen (testosteron), disertai pemendekan gubernaculum (ligamen
yang melekatkan bagian inferior testis ke-segmen bawah skrotum) di bawah
pengaruh MIF.3,7,9,10 Dengan perkembangan yang cepat dari regio
abdominopelvic maka testis akan terbawa turun ke daerah inguinal anterior.10
Pada bulan ke-3 kehamilan terbentuk processus vaginalis yang secara bertahap
berkembang ke-arah skrotum. Selanjutnya fase ini akan menjadi tidak aktif
sampai bulan ke-7 kehamilan.1
Fase inguinoscrotal terjadi mulai bulan ke-7 atau minggu ke-28 sampai
dengan minggu ke-35 kehamilan. Testis mengalami penurunan dari regio
inguinal ke dalam skrotum dibawah pengaruh hormon androgen.
Mekanismenya belum diketahui secara pasti, namun diduga melalui mediasi
pengeluaran calcitonin gene-related peptide (CGRP). Androgen akan
merangsang nervus genitofemoral untuk mengeluarkan CGRP yang
menyebabkan kontraksi ritmis dari gubernaculum.3,7,9 Faktor mekanik yang
turut berperan pada fase ini adalah tekanan abdominal yang meningkat yang
4
menyebabkan keluarnya testis dari cavum abdomen, di samping itu tekanan
abdomen akan menyebabkan terbentuknya ujung dari processus vaginalis
melalui canalis inguinalis menuju skrotum.9,10 Proses penurunan testis ini
masih bisa berlangsung sampai bayi usia 9-12 bulan.1,13
Gambar 1. A: Skema penurunan testis menurut Hutson. Antara minggu ke 8–15 gubernaculum
(G) berkembang pada laki-laki, mendekatkan testis (T) ke-inguinal. Ligamentum suspensorium
cranialis (CSL) mengalami regresi. Migrasi gubernaculum ke skrotum terjadi pada minggu ke- 28-
35. B: Peranan gubernaculum dan CSL pada diferensiasi seksual rodent. Pada jantan CSL
mengalami regresi dan gubernaculum mengalami perkembangan; sebaliknya pada betina CSL
menetap, dan gubernaculum menipis dan memanjang.5
2.4 Etiologi
Segala bentuk gangguan pada proses penurunan tersebut di atas akan
berpotensi menimbulkan UDT (seperti terlihat pada tabel 2). Beberapa
penelitian terakhir mendapatkan bahwa mutasi pada gen INSL3 (Leydig
insulin-like hormone 3) dan gen GREAT (G protein-coupled receptor
affecting testis descent) dapat menyebabkan UDT. INSL3 dan GREAT
merupakan pasangan ligand dan reseptor yang mempengaruhi perkembangan
gubernaculum. Mutasi atau delesi pada gen-gen tertentu yang lain juga
terbukti menyebabkan UDT, antara lain gen reseptor androgen yang akan
5
menyebabkan AIS (androgen insensitivity syndrome), serta beberapa gen yang
bertanggung-jawab pada differensiasi testis semisal: PAX5, SRY, SOX9,
DAX1, dan MIS.5
Tabel 2. Etiologi UDT
2.5 Klasifikasi
Terdapat 3 tipe UDT7:
1. UDT sesungguhnya (true undescended): testis mengalami penurunan
parsial melalui jalur yang normal, tetapi terhenti. Dibedakan menjadi
teraba (palpable) dan tidak teraba (impalpable).
6
2. Testis ektopik: testis mengalami penurunan di luar jalur penurunan yang
normal.
3. Testis retractile: testis dapat diraba/dibawa ke-dasar skrotum tetapi akibat
refleks kremaster yang berlebihan dapat kembali segera ke-kanalis
inguinalis, bukan termasuk UDT yang sebenarnya.5
Pembagian lain membedakan true UDT menurut lokasi terhentinya testis,
menjadi: abdominal, inguinal, dan suprascrotal (gambar 2)4. Gliding testis
atau sliding testis adalah istilah yang dipakai pada keadaan UDT dimana testis
dapat dimanipulasi hingga bagian atas skrotum, tetapi segera kembali begitu
tarikan dilepaskan.1,14
Gambar 2: Kemungkinan lokasi testis pada true UDT dan ektopik testis.
Gliding testis harus dibedakan dengan testis yang retraktil, gliding testis
terjadi akibat tidak adanya gubernaculum attachment, dan mempunyai
processus vaginalis yang lebar sehingga testis sangat mobile dan
meningkatkan risiko terjadinya torsi.1,4 Dengan melakukan overstrecht selama
+ 1 menit pada saat pemeriksaan fisik (untuk melumpuhkan refleks
cremaster), testis yang retraktil akan menetap di dalam skrotum, sedangkan
gliding testis akan tetap kembali kekanalis inguinalis.3
2.6 Diagnosis
2.6.1 Anamnesis
7
Pada anamnesis harus digali adalah tentang prematuritas penderita
(30% bayi prematur mengalami UDT), penggunaan obat-obatan saat
ibu hamil (estrogen), riwayat operasi inguinal. Harus dipastikan juga
apakah sebelumnya testis pernah teraba di skrotum pada saat lahir atau
tahun pertama kehidupan (testis retractile akibat refleks cremaster yang
berlebihan sering terjadi pada umur 4-6 tahun). Perlu juga digali
riwayat perkembangan mental anak, dan pada anak yang lebih besar
bisa ditanyakan ada tidaknya gangguan penciuman (biasanya penderita
tidak menyadari). Riwayat keluarga tentang UDT, infertilitas, kelainan
bawaan genitalia, dan kematian neonatal.3,13
2.6.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan sebaiknya dilakukan di ruangan yang tenang dan
hangat. Pemeriksaan secara umum harus dilakukan dengan mencari
adanya tanda-tanda sindrom tertentu, dismorfik, hipospadia, atau
genitalia ambigua.3,6,13
Pemeriksaan testis sebaiknya dilakukan pada posisi terlentang
dengan ”frog leg position” dan jongkok. Dengan 2 tangan yang hangat
dan akan lebih baik bila menggunakan jelly atau sabun, dimulai dari
SIAS menyusuri kanalis inguinalis ke-arah medial dan skrotum
(gambar 3). Bila teraba testis harus dicoba untuk diarahkan ke-skrotum,
dengan kombinasi ”menyapu” dan ”menarik” terkadang testis dapat
didorong ke-dalam skrotum. Dengan mempertahankan posisi testis
didalam skrotum selama 1 menit, otot-otot cremaster diharapkan akan
mengalami ”fatigue”; bila testis dapat bertahan di dalam skrotum,
menunjukkan testis yang retractile sedangkan pada UDT akan segera
kembali begitu testis dilepas. Tentukan lokasi, ukuran dan tekstur
testis.3,6
8
Gambar 3. Teknik pemeriksaan testis. A: Menyusuri kanalis inguinalis dimulai dari
SIAS. B&C: Bila teraba testis, ‘menggiring ‘ testis dengan ujung-ujung jari. D:
Memanipulasi ke-dalam skrotum.
Testis yang atropi atau vanishing testis dapat dijumpai pada jalur
penurunan yang normal. Kemungkinan etiologinya adalah iskemia
masa neonatal akibat torsi. Testis kontra lateralnya biasanya mengalami
hipertrofi.3
Lokasi UDT tersering terdapat pada kanalis inguinalis (72%),
diikuti supraskrotal (20%), dan intra- abdomen (8%). Sehingga
pemeriksaan fisik yang baik akan dapat menentukan lokasi UDT
tersebut.5
Adanya UDT bilateral yang tidak teraba gonad/testis apalagi
disertai hipospadia dan virilisasi, harus dipikirkan kemungkinan
intersex, individu dengan kromosom XX yang mengalami female
pseudo-hermaphroditism yang berat; atau Anorchia kongenital sebagai
akibat torsi testis in utero.3,13,15 Sedangkan simple UDT merupakan hal
yang seringkali dijumpai terutama pada bayi yang prematur, akan tetapi
masih dapat terjadi penurunan testis dalam tahun pertama
kehidupannya.13
9
Tabel 3: Interpretasi beberapa petanda klinis yang menyertai UDT
bilateral tidak teraba testis
10
antara 2-10x bahkan 20x. Pada masa kanak-kanak, peningkatannya
sekitar 5-10x. Sedangkan pada masa pubertas, dengan meningkatnya
kadar testosteron basal, maka peningkatan setelah stimulasi hCG hanya
sekitar 2-3x.16
Tabel 4. Beberapa macam hCG test yang direkomendasikan Honour.16
11
teraba menjadi semakin berkurang. Metode ini paling baik digunakan
untuk menentukan vanishing testis ataupun anorchia.4,5 Dengan metode
ini akan dapat dievaluasi pleksus pampiniformis, parenkim testis, dan
blind-ending dari vena testis (pada anorchia). 5 Kelemahannya selain
infasif, juga terbatas pada umur anak-anak yang lebih besar mengingat
kecilnya ukuran vena-vena gonad.4,5
2.6.5 Laparoskopi
Metode laparoskopi pertama kali digunakan untuk mendeteksi
UDT tidak teraba testis pada tahun 1976. Metode ini merupakan metode
infasif yang cukup aman oleh ahli yang berpengalaman. Sebaiknya
dilakukan pada anak yang lebih besar dan setelah pemeriksaan lain
tidak dapat mendeteksi adanya testis di inguinal.3,4,6
Beberapa hal yang dapat dievaluasi selama laparoskopi adalah:
kondisi cincin inguinalis interna, processus vaginalis (patent atau non-
patent), testis dan vaskularisasinya serta struktur wolfian-nya. 6 Tiga hal
yang sering dijumpai saat laparoskopi adalah: blind-ending pembuluh
darah testis yang mengindikasikan anorchia (44%), testis intra-abdomen
(36%), dan struktur cord (vasa dan vas deferens) yang keluar ke-dalam
cincin inguinalis interna.3
2.7 Terapi
Tujuan terapi UDT yang utama dan dianut hingga saat ini adalah
memperkecil risiko terjadinya infertilitas dan keganasan dengan melakukan
reposisi testis kedalam skrotum baik dengan menggunakan terapi hormonal
ataupun dengan cara pembedahan (orchiopexy).3,6
Alasan utama dilakukan terapi adalah5,6
1. Meningkatnya risiko infertilitas
2. Meningkatnya risiko keganasan testis
3. Meningkatnya risiko torsio testis
4. Risiko trauma testis terhadap tulang pubis
5. Faktor psikologis terhadap kantong skrotum yang kosong
12
Faktor yang perlu diperhatikan dalam penatalaksanaan UDT adalah:4
1) Identifikasi yang tepat anatomi, posisi dan viabilitas testis
2) Identifikasi kemungkinan kelainan sindrom yang menyertai
3) Penempatan testis di dalam skrotum dengan baik untuk mencegah
kerusakan testis terhadap fungsi infertitilitas atau endokrin.
4) Fiksasi permanen testis pada posisi normal dalam skrotum yang
memudahkan pemeriksaan palpasi
5) Perlindungan kerusakan testis lebih lanjut akibat terapi
2.7.1 Terapi Hormonal
Bila kemungkinan turunnya testis masih diragukan pada
kriptorkismus dan kasusnya diperkirakan disebabkan oleh kekurangan
gonadotropin sentral, kasus tersebut dapat diberikan suntikan hCG
500 unit secara intra muskuler dua kali seminggu selama 5 minggu
pada usia 1-6 tahun, dan 1000 unit dua kali seminggu pada anak yang
lebih besar. Bila hasilnya tidak memuaskan, bisa dilanjutkan dengan
pembedahan Pemberian rekombinan human FSH (r-hFSH)
merangsang pertumbuhan prepubertal testis dan peningkatan kadar
inhibin B dalam sirkulasi. Hal ini terjadi karena rangsangan imatur
kepada sel sertoli. Pubertas berhasil dengan rangsangan hCG dan r-h
FSH. Inhibin B digunakan untuk memonitor aktivitas spermatogenesis
pada bayi laki-laki yang diobati dengan hCG 17
1) Human chorionic gonadotropic hormone (hCG)
Human chorionic gonadotropin (hCG) telah digunakan
untuk pengobatan kriptorkismus sejak lama. hCG ini mempunyai
cara kerja seperti LH melalui perangsangan terhadap sel Leydig
untuk memproduksi testosteron yang kemudian secara sendiri atau
melalui Dehidro-testosteron (DHT) akan menginduksi turunnya
testis. Keberasilan pengobatan dengan menggunakan hCG ini
sangat bervariasi, berkisar antara 20-55%. Keberasilan terapi
dengan hCG ini banyak ditentukan oleh posisi testis sebelum
13
terapi. Hasil yang lebih baik didapatkan pada testis letak tinggi di
inguinal dan testis yang retraktil, sedangkan pada testis yang
terdapat di rongga abdomen hasilnya kurang memuaskan.
Rekomendasi yang sering digunakan adalah dari International
Health Foundation dan WHO yang merekomendasikan pemberian
250 IU untuk bayi < 12 bulan, 500 IU untuk umur 1-6 tahun, dan
1.000 IU untuk umur > 6 tahun, masing masing kelompok umur
diberikan 2x seminggu selama 5 minggu.3,4
2) Luteinizing hormon-releasing hormon (LHRH)
LHRH diberikan pada penderita kriptorkismus dengan
maksud terjadinya perangsangan terhadap hipotalamus untuk
menghasilkan LH dan FSH yang kemudian akan merangsang sel
Leydig untuk menghasilkan testosteron yang berfungsi dalam
proses penurunan testis. LHRH diberikan secara nasal spray dosis
1,2 mg perhari. Nasal spray ini diberikan 200 μg perkali
semprotan tiap lubang hidung sebanyak 3 kali sehari. Hasil
pengobatan dengan LHRH ini sangat bervariasi. Pada penelitian
yang dilakukan Bertelsen dkk dengan menggunakan dosis 1,2 mg
LHRH perhari selama 4 minggu didapatkan penurunan testis pada
24% kasus.
3) Kombinasi LHRH dengan hCG
Beberapa peneliti melakukan pengobatan kombinasi antara
LHRH dengan hCG. Pada permulaan diberikan LHRH nasal spray
kemudian dilanjutkan dengan hCG. Mereka mendapatkan hasil
yang lebih baik. Terapi kombinasi ini dilakukan untuk mengurangi
terjadinya relaps pada pengobatan dengan LHRH saja.17
Angka keberhasilan terapi hCG berkisar 25-55 % pada
penelitian tanpa kontrol, dan sekitar 6-21% pada penelitian buta
acak. Faktor yang mempengaruhi keberhasilan terapi adalah:
makin distal lokasi testis makin tinggi keberhasilannya, makin tua
14
usia anak makin respon terhadap terapi hormonal, UDT bilateral
lebih responsif terhadap terapi hormonal daripada unilateral.3,4
Terapi hormonal dengan HCG, LHRH atau kombinasi
keduanya merupakan salah satu cara untuk menurunkan testis ke
dalam skrotum. Terapi hormonal dapat segera dimulai setelah usia
6 bulan untuk kriptorkismus dan gliding testis. Testis retraktil
bukan merupakan indikasi untuk terapi hormonal.16
Pengobatan dinyatakan gagal apabila testis tidak berada di
dasar skrotum setelah terapi hormonal. Evaluasi pengobatan
dilakukan selama pengobatan, pada akhir pengobatan, serta 1, 3, 6,
dan 12 bulan kemudian. Relaps setelah pengobatan cukup sering
sehingga pemantauan setelah pengobatan sangat penting dan jika
terjadi dikonsulkan ke bagian Bedah Urologi.16
2.7.2 Terapi Pembedahan
Pada usia 2 tahun diusahakan agar posisi testis sudah pada
tempatnya. Jika pada umur 2 tahun testis belum turunmaka pasien
diindikasikan untuk orkidopeksi.
1) Orkidopeksi diindikasikan untuk:
2) Kegagalan terapi hormonal
3) Testis ektopik
4) UDT dengan hernia
5) UDT pada usia pubertas16
15
Tujuan operasi bedah adalah untuk mobilisasi testis dan arteri
spermatika yang adekuat, operasi hernia yang menyertainya dan fiksasi
testis adekuat di dalam skrotum.
16
Berbagai teknik operasi pada testis yang tidak teraba dapat
dilakukan, seperti berikut (Tabel 5.)5:
Komplikasi Orchiopexy4,6
17
Gambar 4: Algoritma penatalaksanaan UDT pada anak. Anak yang lebih besar sebaiknya segera
dirujuk saat diagnosis ditegakkan. LH=luteinizing hormone; FSH=follicle-stimulating hormone;
MIS=mullerian inhibiting substance; hCG=human chorionic gonadotropin.
18
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Undescensus testis (UDT) atau Kriptorkismus adalah gangguan
perkembangan yang ditandai dengan gagalnya penurunan salah satu atau
kedua testis secara komplit ke dalam skrotum. Kriptorkismus berasal dari
kata cryptos (Yunani) yang berarti tersembunyi dan orchis (latin) yang
berarti testis.
2. Klasifikasi UDT terbagi atas 3 yakni: (1) UDT sesungguhnya (true
undescended), (2) Testis ektopik, (3) Testis retractile.
3. Hal-hal yang dapat membantu penegakkan diagnosis yakni dengan
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan
pencitraan, dan laparoskopi.
4. Tujuan terapi UDT yang utama dan dianut hingga saat ini adalah
memperkecil risiko terjadinya infertilitas dan keganasan dengan
melakukan reposisi testis kedalam skrotum baik dengan menggunakan
terapi hormonal ataupun dengan cara pembedahan (orchiopexy).
19
DAFTAR PUSTAKA
iv
12. Kubotal Y, Temelcos C, Bathgate RAD, Smith KJ et al. The role of insulin 3,
testosterone, Müllerian inhibiting substance and relaxin in rat gubernacular
growth. Molecular Human Reproduction 2002; 8 (10): 900–5
13. Cryptorchidism. Abnormal Genitalia. In: Wales JKH, Wit JM, Rogol AD,
eds. Pediatric Endocrinology and Growth. Edinburgh, London, New York:
Saunders, 2003: 173-4.
14. Zhang RD, Wen XH, Kong LS et al. A quantitative (stereological) study of
the effects of experimental unilateral cryptorchidism and subsequent
orchiopexy on spermatogenesis in adult rabbit testis. Reproduction 2002;124:
95–105.
15. Ritzen M, Hintz RL. Hypospadias/virilization. In: Hoechberg Z, Haifa, eds.
Practical Algorithms in Pediatric Endocrinology. Druck, Basel (Switzerland):
Karger AG, 1999: 38-9
16. Pedoman Pelayanan Medis IDAI. Tatalaksana Kriptorkismus. Buku-PPM-
Jilid2.standar pelayanan medik pdf. 2011
17. Wayan Bikin, S. Polimorfisme Gen Insl3 Dan Lgr8, Kadar Hormon Insl3 Dan
Estradiol Sebagai Faktor Risiko Kriptorkismus Pada Anak. Universitas
Udayana. Denpasar. 2011