Anda di halaman 1dari 69

1

RESPONSI KASUS

PASIEN DENGAN MULTI DRUG RESISTANCE TUBERKULOSIS

Oleh:

Gita Tanesa 170070201011076


Noorivana Melina Amanda 170070201011076
Priscilla Christina Natan 170070201011076
Sarah Savitri 170070201011076
Yasmin Rachmadani P. 170070201011118
Zahra 170070201011022

Pembimbing:

dr. Teguh R. Sartono Sp.P (K)

LABORATORIUM / SMF PULMONOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. SAIFUL ANWAR MALANG

2018

1
2

RESPONSI KASUS

PASIEN DENGAN PASIEN DENGAN MULTI DRUG RESISTANCE


TUBERKULOSIS

Oleh:

Gita Tanesa 170070201011076


Noorivana Melina Amanda 170070201011076
Priscilla Christina Natan 170070201011076
Sarah Savitri 170070201011076
Yasmin Rachmadani P. 170070201011118
Zahra 170070201011076

Pembimbing:

dr. Teguh R. Sartono Sp.P (K)

LABORATORIUM / SMF PULMONOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. SAIFUL ANWAR MALANG

2018

2
3

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL....................................................................................... 1
DAFTAR ISI................................................................................................. 2

BAB I PENDAHULUAN............................................................................ 4

1.1 Latar Belakang........................................................................ 4


1.2 Tujuan..................................................................................... 5
1.3 Manfaat................................................................................... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 6

2.1 Tuberkulosis............................................................................ 6
2.1.1.Definisi

6
2.1.2.Epidemiologi

6
2.1.3.Patofisiologi

8
2.1.4.Klasifikasi Tuberkulosis

11
2.1.5.Penegakan Diagnosis

13
2.1.6.Tatalaksana

18
2.1.7.Komplikasi dan Prognosis

23

BAB III LAPORAN KASUS........................................................................ 27

3.1 Identitas.................................................................................. 27

3
4

3.2 Anamnesis.............................................................................. 27
3.3 Pemeriksaan Fisik................................................................... 28
3.4 Pemeriksaan Penunjang......................................................... 30
3.5 Problem Oriented Medical Record.......................................... 33

BAB IV PEMBAHASAN.............................................................................. 35

BAB V PENUTUP..................................................................................... 41

5.1 KESIMPULAN......................................................................... 41
5.2 SARAN................................................................................... 41

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 42

4
5

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tuberkulosis atau lebih sering disebut TB merupakan penyakit infeksi
kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. WHO
memperkirakan di dunia terdapat 8,6 juta kasus TB dengan angka kematian
di tahun 2011 adalah sebanyak 1,3 juta jiwa dan TB merupakan salah satu
penyebab kematian tertinggi pada wanita dengan 410.000 angka kematian.
Penyakit ini banyak ditemukan di negara-negara berkembang, salah satunya
Indonesia. Jumlah penderita tuberkulosis di Indonesia adalah tertinggi
keempat dari 22 negara yang memiliki angka TB tertinggi lainnya yaitu
sejumlah 331.424 penduduk dengan total jumlah penderita yang pada
pemeriksaan sputum terbukti positif BTA (basil tahan asam) sejumlah
202.319 jiwa. Sedangkan berdasarkan angka kematian karena TB,
Indonesia menduduki peringkat ketiga dibawah India dan Bangladesh,
dengan jumlah kematian 67.000 penduduk (Global Tuberculosis Report,
2013).
Terdapat sedikitnya tiga faktor yang menyebabkan tingginya kasus
TB di Indonesia. Waktu pengobatan TB yang relatif lama (6 – 9 bulan)
menjadi penyebab penderita TB sulit sembuh karena pasien TB berhenti
berobat (drop out) setelah merasa sehat meski proses pengobatan belum
selesai. Selain itu, masalah TB diperberat dengan adanya peningkatan
infeksi HIV/AIDS yang berkembang cepat dan munculnya permasalahan TB-
MDR (Multi Drugs Resistant). Masalah lain adalah adanya penderita TB
laten, dimana penderita tidak sakit namun akibat daya tahan tubuh menurun,
penyakit TB akan muncul (Yoga, 2011).
TB merupakan penyakit yang penularannya dapat dengan mudah
terjadi. Meskipun angka morbiditas dan mortalitasnya tinggi, namun dengan
penatalaksanaan yang lebih awal dan tepat maka angka ini dapat
diturunkan. Penegakan diagnosis dari penyakit ini bukanlah sesuatu yang
membutuhkan pemeriksaan penunjang yang rumit. Namun, kurangnya
kesadaran masyarakat untuk berobat dan kurangnya kemampuan kita dalam
mengenali gejala awalnya menjadi kendala tersendiri. Oleh karena itu,

5
6

penting bagi kita untuk memahami penyakit ini dengan lebih baik agar
penegakan diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat dapat dilakukan lebih
awal sehingga menurunkan angka morbiditas dan mortalitasnya.
Hepatotosik adalah efek samping mayor dari terapi tuberculosis (Al-Salmi,
2012). Tak jarang pasien TB datang dengan keluhan tersebut. Selain itu, TB
dalam Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) 2012 termasuk dalam
tingkat kemampuan 4, yang berarti sebagai dokter umum harus mampu
membuat diagnosis klinik dan memberikan penatalaksanaan secara mandiri
dan paripurna.

1.2 Tujuan
1. Memahami definisi, klasifikasi, epidemiologi, etiologi, pathogenesis dan
gambaran klinis dari tuberkulosis.
2. Meningkatkan kemampuan diagnosis, dan penatalaksanaan dari
tuberkulosis.

1.3 Manfaat
1. Dapat memberikan tambahan khasanah ilmu pengetahuan tentang
tuberkulosis
2. Dapat menjadi referensi dan rujukan untuk mendiagnosis serta
melakukan penatalaksanaan tuberkulosis

6
7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis
2.1.1 Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit infeksius yang disebabkan oleh basil
Mycobacterium tuberculosis. Bakteri tersebut secara khusus dapat
mempengaruhi paru (TB pulmoner), tetapi dapat mempengaruhi tempat
lain juga (TB ekstrapulmoner). Penyakit ini menyebar melalui udara ketika
orang yang sakit TB pulmoner mengeluarkan bakteri tersebut, contohnya
adalah ketika batuk. Secara keseluruhan, sebagian kecil orang yang
terinfeksi dengan M. Tuberculosis akan berkembang menjadi penyakit TB.
Bagaimanapun juga, kemungkinan untuk berkembang menjadi TB lebih
tinggi pada pria daripada wanita, dan mempengaruhi kebanyakan pada
dewasa tepatnya dalam usia produktif (WHO, 2014). Tuberkulosis (TB)
adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis
complex. Infeksi Mycobacterium tuberculosis complex dapat menyerang
berbagai jaringan di tubuh manusia, namun paling sering pada parenkim
paru (TB paru). TB pada jaringan lain di luar parenkim paru disebut TB
ekstra-paru (Hopewell et al, 2016).

2.1.2 Epidemiologi
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat
yang penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization
(WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai Global Emergency.
Laporan WHO tahun 2013 menyatakan bahwa terdapat 8,6 juta kasus
baru tuberkulosis pada tahun 2013, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA
(Basil Tahan Asam) positif. Setiap detik ada satu orang yang terinfeksi
tuberkulosis di dunia ini, dan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi
kuman tuberkulosis. Jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara
yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari
jumlah penduduk, terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di Afrika

7
8

hampir 2 kali lebih besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000
pendduduk.
Di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) tahun 2001 didapatkan bahwa penyakit pada sistem
pernapasan merupakan penyebab kematian kedua setelah sistem
sirkulasi. Pada SKRT 1992 disebutkan bahwa penyakit TB merupakan
penyebab kematian kedua, sementara SKRT 2001 menyebutkan
bahwa tuberkulosis adalah penyebab kematian pertama pada
golongan penyakit infeksi. Sementara itu dari hasil laporan yang
masuk ke subdit TB P2MPL Departemen Kesehatan tahun 2001,
terdapat 50.443 penderita BTA positif yang diobati (23% dari jumlah
perkiraan penderita BTA positif ). Tiga perempat dari kasus TB ini
berusia 15 – 49 tahun.
Global Tuberculosis Report tahun 2014 dari WHO telah
melaporkan hasil dari jumlah kasus TB dan kematiannya dari berbagai
macam negara termasuk Indonesia. Laporan tersebut secara ringkas
dapat dilihat pada gambar 2.1 dan tabel 2.1
Tabel 2.1 Perkiraan Epidemiologi Penyakit TB Seluruh Dunia

8
9

9
10

Gambar 2.1 Perkiraan Kejadian Penyakit TB dan kematiannya di Seluruh Dunia


Tahun 1990-2013

2.1.3 Patofisiologi
2.1.3.1 Tuberkulosis Primer
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas
akan bersarang di jaringan paru, dimana ia akan membentuk
suatu sarang pneumonik, yang disebut sarang primer atau afek
primer. Sarang primer ini mugkin timbul di bagian mana saja
dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang
primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening
menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh
pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis
regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis
regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini
akan mengalami salah satu dari hal berikut :
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali
(restitution ad integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain
sarang Ghon, garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
3. Menyebar dengan cara :
a. Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya Salah satu
contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian
dimana terdapat penekanan bronkus, biasanya bronkus

10
11

lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar


sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas
bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman
tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang
tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan
menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis
tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis.
b. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru
bersangkutan maupun ke paru sebelahnya. Penyebaran
ini juga terjadi ke dalam usus
c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Kejadian
penyebaran ini sangat bersangkutan dengan daya tahan
tubuh, jumlah dan virulensi basil. Sarang yang
ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetapi
bila tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini
akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti
tuberkulosis milier, meningitis tuberkulosa,
typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat
menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya,
misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan
sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin
berakhir dengan :
 Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya
pertumbuhan terbelakang pada anak setelah
mendapat ensefalomeningitis, tuberkuloma ) atau
 Meninggal
2.1.3.2 Tuberkulosis Post Primer
a Dari tuberkulosis primer ini akan muncul bertahun-
tahun kemudian tuberkulosis post-primer, biasanya pada usia
15-40 tahun. Tuberkulosis post primer mempunyai nama yang
bermacam macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa, localized
tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan sebagainya. Bentuk
tuberkulosis inilah yang terutama menjadi problem kesehatan
rakyat, karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis
post-primer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak

11
12

di segmen apikal dari lobus superior maupun lobus inferior.


Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumonik
kecil. Nasib sarang pneumonik ini akan mengikuti salah satu
jalan sebagai berikut :
1. Diresopsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak
meninggalkan cacat
2. Sarang tadi mula mula meluas, tapi segera terjadi proses
penyembuhan dengan penyebukan jaringan fibrosis.
Selanjutnya akan membungkus diri menjadi lebih keras,
terjadi perkapuran, dan akan sembuh dalam bentuk
perkapuran. Sebaliknya dapat juga sarang tersebut
menjadi aktif kembali, membentuk jaringan keju dan
menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar.
3. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju
(jaringan kaseosa). Kaviti akan muncul dengan
dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya
berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal
(kaviti sklerotik). Kaviti ini akan mengalami:
a. Mungkin meluas kembali dan menimbulkan sarang
pneumonik baru. Sarang pneumonik ini akan mengikuti
pola perjalanan seperti yang disebutkan diatas
b. Dapat pula memadat dan membungkus diri
(encapsulated), dan disebut tuberkuloma. Tuberkuloma
dapat mengapur dan menyembuh, tapi mungkin pula
aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi.
c. Kaviti bisa pula menjadi bersih dan menyembuh yang
disebut open healed cavity, atau kaviti menyembuh
dengan membungkus diri, akhirnya mengecil.
Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang terbungkus,
dan menciut sehingga kelihatan seperti bintang (stellate
shaped).

12
13

Gambar 2.2 Skema perkembangan sarang tuberkulosis post primer dan


perjalanan penyembuhannya

2.1.4 Klasifikasi Tuberkulosis


Pengelompokkan pasien diklasifikasikan menurut :
1. Lokasi anatomi
2. Riwayat pengobatan sebelumnya
3. Hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
4. Status HIV

2.1.4.1 Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit:


1. Tuberkulosis paru:
Adalah TB yang terjadi pada parenkim (jaringan)
paru. Milier TB dianggap sebagai TB paru karena adanya
lesi pada jaringan paru. Limfadenitis TB dirongga dada (hilus
dan atau mediastinum) atau efusi pleura tanpa terdapat
gambaran radiologis yang mendukung TB pada paru,
dinyatakan sebagai TB ekstra paru. Pasien yang menderita
TB paru dan sekaligus juga menderita TB ekstra paru,
diklasifikasikan sebagai pasien TB paru.

2. Tuberkulosis ekstra paru:


2.1.4.2 Adalah TB yang terjadi pada organ selain paru, misalnya:
pleura, kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing, kulit, sendi,

13
14

selaput otak dan tulang. Diagnosis TB ekstra paru dapat


ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau
klinis. Diagnosis TB ekstra paru harus diupayakan berdasarkan
penemuan Mycobacterium tuberculosis. Pasien TB ekstra paru
yang menderita TB pada beberapa organ, diklasifikasikan
sebagai pasien TB ekstra paru pada organ menunjukkan
gambaran TB yang terberat.

2.1.4.3 Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:


1. Pasien baru TB: adalah pasien yang belum pernah
mendapatkan pengobatan TB sebelumnya atau sudah
pernah menelan OAT namun kurang dari 1 bulan (˂ dari 28
dosis).
2. Pasien yang pernah diobati TB: adalah pasien yang
sebelumnya pernah menelan OAT selama 1 bulan atau
lebih (≥ dari 28 dosis).
Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil
pengobatan TB terakhir, yaitu:
 Pasien kambuh: adalah pasien TB yang pernah
dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap dan saat
ini didiagnosis TB berdasarkan hasil pemeriksaan
bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar
kambuh atau karena reinfeksi).
 Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah
pasien TB yang pernah diobati dan dinyatakan gagal
pada pengobatan terakhir.
 Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat
(lost to follow-up): adalah pasien yang pernah diobati
dan dinyatakan lost to follow up (klasifikasi ini
sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien setelah
putus berobat /default).
 Lain-lain: adalah pasien TB yang pernah diobati namun
hasil akhir pengobatan sebelumnya tidak diketahui.

14
15

3. Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak


diketahui.

2.1.4.4 Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan


obat
Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji
kepekaan contoh uji dari Mycobacterium tuberculosis terhadap
OAT dan dapat berupa :
 Mono resistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis
OAT lini pertama saja
 Poli resistan (TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis
OAT lini pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R)
secara bersamaan
 Multi drug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid
(H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan
 Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang
sekaligus juga resistan terhadap salah satu OAT golongan
fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT lini kedua
jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin)
 Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap Rifampisin
dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang
terdeteksi menggunakan metode genotip (tes cepat) atau
metode fenotip (konvensional).

2.1.4.5 Klasifikasi pasien TB berdasarkan status HIV


1. Pasien TB dengan HIV positif (pasien ko-infeksi
TB/HIV): adalah pasien TB dengan:
 hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang
mendapatkan ART, atau
 Hasil tes HIV positif pada saat diagnosis TB.

2. Pasien TB dengan HIV negatif: adalah pasien TB dengan:


 Hasil tes HIV negatif sebelumnya, atau

15
16

 Hasil tes HIV negatif pada saat diagnosis TB.

2.1.5 Penegakkan Diagnosis


2.1.5.1 Gejala Klinis
1. Gejala respiratorik
Keluhan yang dirasakan pasien TB dapat bermacam-
macam, mulai tidak ada gejala sampai gejala yang cukup
berat tergantung dari luas lesi.
a) Batuk. Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan
gangguan yang paling sering dikeluhkan. Batuk
berlangsung selama 2-3 minggu (Amin dan Bahar, 2009).
b) Dahak. Dahak awalnya bersifat mukoid dan keluar dalam
jumlah sedikit, kemudian berubah menjadi
mukopurulen/kuning atau kuning hijau sampai purulen
dan kemudian berubah menjadi kental bila sudah terjadi
pengejuan dan perlunakan. Jarang berbau busuk, kecuali
bila ada infeksi anaerob (Alsagaff and Mukty, 2010).
c) Batuk darah. Darah yang dikeluarkan penderita mungkin
berupa garis atau bercak-bercak darah, gumpalan-
gumpalan darah atau darah segar dalam jumlah sangat
banyak (profus). Batuk darah jarang menjadi gejala awal
dari penyakit TB karena batuk darah merupakan tanda
telah terjadi ekskavasi dan ulserasi dari pembuluh darah
pada dinding kavitas (Alsagaff and Mukty, 2010).
d) Nyeri Dada. Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada
timbul bila infiltrasi radang sudah mencapai ke pleura
sehingga menimbulkan pleuritis (Amin dan Bahar, 2009).
e) Sesak napas. Merupakan gejala dari proses lanjut
tuberkulosis paru akibat adanya restriksi dan obstruksi
saluran napas serta loss of vascular bed yang dapat
mengakibatkan gangguan difusi, hipertensi pulmonal, kor-
pulmonal (Amin dan Bahar, 2009).
2. Gejala-gejala umum
a) Panas badan. Biasanya subfebris menyerupai demam
influenza. Namun, kadang panas badan dapat mencapai
40-41oC bila proses berkembang menjadi progresif.

16
17

Seringkali panas badan sedikit meningkat pada siang


maupun sore hari (Amin dan Bahar, 2009).
b) Menggigil. Dapat terjadi bila suhu badan naik dengan
cepat, tetapi tidak diikuti pengeluaran panas dengan
kecepatan yang sama atau dapat terjadi sebagai suatu
reaksi umum yang lebih hebat (Amin dan Bahar, 2009).
c) Keringat malam. Umumnya baru timbul bila proses telah
lanjut, kecuali pada orang dengan vasomotor labil,
keringat malam dapat timbul lebih dini (Amin dan Bahar,
2009)
d) Malaise. Gejala malaise sering ditemukan berupa
anoreksia (penurunan nafsu makan), badan makin kurus
(penurunan berat badan), sakit kepala, meriang, nyeri
otot, dan lain-lain. Gejala malaise makin lama makin berat
dan terjadi hilang timbul (Amin dan Bahar, 2009).

2.1.5.2 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien
mungkin ditemukan konjungtiva mata atau kulit yang pucat
karena anemia, suhu demam (subfebris), badan kurus, atau
berat badan menurun (Amin & Bahar, 2009).
Kelainan yang didapat tergantung luas kelainan
struktur paru. Pada permulaan perkembangan penyakit
umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan.
Kelainan paru umumnya terletak di daerah lobus superior,
terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 dan S2),
serta daerah apeks lobus inferior (S6) (PDPI, 2006). Bila
dicurigai adanya infiltrat yang agak luas, maka didapatkan
perkusi yang redup dan auskultasi suara napas bronkial. Akan
didapatkan juga suara napas tambahan berupa ronki basah,
kasar, dan nyaring. Tetapi bila infiltrat ini diliputi oleh penebalan
pleura, suara napasnya menjadi vesikular melemah. Bila
terdapat kavitas cukup besar, perkusi memberikan suara
hipersonor atau timpani dan auskultasi memberikan suara
amforik (Amin & Bahar, 2009).

17
18

Pada TB Paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas


sering ditemukan atrofi dan retraksi otot-otot interkostal. Bagian
paru yang sakit menjadi menciut dan menarik isi mediastinum
atau paru lainnya. Paru yang sehat menjadi lebih hiperinflasi.
Bila jaringan fibrotik amat luas yakni lebih dari setengah jumlah
jaringan paru-paru, akan terjadi pengecilan daerah aliran darah
paru dan selanjutnya meningkatkan tekanan arteri pulmonalis
(hipertensi pulmonal) (Amin & Bahar, 2009)

2.1.5.3 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan darah rutin. Pemeriksaan ini kurang mendapat
perhatian karena hasilnya kadang-kadang meragukan,
hasilnya tidak sensitif dan juga tidak spesifik. Pada saat TB
Paru mulai aktif akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit
meninggi dengan hitung jenis pergeseran ke kiri. Jumlah
limfosit masih di bawah normal. Laju endap darah mulai
meningkat (Amin & Bahar, 2009).
2. Pemeriksaan mikrobiologi.
a) Bahan untuk pemeriksaan mikrobiologi ini dapat berasal
dari dahak, cairan pleura, cairan serebrospinal, bilasan
bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar, urin,
feses, dan jaringan biopsi (PDPI, 2006). Pemeriksaan
dahak (sputum) adalah penting karena dengan
ditemukannya BTA, diagnosis TB sudah dapat dipastikan.
Selain itu pemeriksaan dahak juga dapat memberikan
evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan
(Amin & Bahar, 2009).
b) Pemeriksaan dahak untuk penegakkan diagnosis
dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak
yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang
berurutan berupa SPS:
- S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB
datang berkunjung pertama kali.

18
19

- P (pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari


kedua, segera setelah bangun tidur.
- S (Sewaktu): dahak dikumpulkan pada hari kedua, saat
menyerahkan dahak pagi.
c) Pemeriksaan mikrobiologi dari spesimen dahak dan
bahan lain dapat dilakukan dengan cara mikroskopik dan
biakan. Pemeriksaan mikroskopik dapat dilakukan
dengan:
- Mikroskopik biasa: pewarnaan Ziehl-Nielsen
- Mikroskopik fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin
Teknik pewarnaan BTA ini digunakan secara rutin di
laboratorium termasuk di rumah sakit dan puskesmas.
Teknik ini lebih cepat namun sensitivitas dan spesifitasnya
lebih rendah (34%-80%) dibandingkan kultur (Lyanda,
2012). Hal ini disebabkan oleh dalam pemeriksaan BTA
diperlukan kurang lebih 5000-10.000 kuman/ml dahak
sedangkan untuk mendapatkan kuman positif pada biakan
yang merupakan diagnosis pasti memerlukan sekitar 10-
100 kuman/ml dahak (Brodie & Schluger, 2005).
lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali
pemeriksaan ialah bila :
• 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif → BTA
positif
• 1 kali positif, 2 kali negatif
• bila 3 kali negatif → BTA negatif → bila ada fasilitas foto
toraks, kemudian bila 1 kali positif
Pemeriksaan biakan M. tuberculosis dengan metode
konvensional ialah dengan cara: Egg-based media
(Lowenstein Jensen, Ogawa, Kudoh) dan agar-based
media (Middle Brook). Pada kasus-kasus tertentu
dilakukan kultur untuk konfirmasi diagnosis, karena teknik
ini memiliki sensitivitas dan spesifitas yang lebih tinggi
(80-93% dan 98%). Kendalanya memerlukan waktu yang
lama (lebih dari 1 minggu) untuk memperoleh hasil juga

19
20

diperlukan fasilitas laboratorium khusus untuk kultur


Mycobacterium yang terjamin keamanannya (Lyanda,
2012).

3. Pemeriksaan Radiologik. Pemeriksaan standar adalah foto


toraks posterior-anterior (PA). Pada pemeriksaan foto toraks,
TB Paru dapat memberi gambaran bermacam-macam
bentuk (multiform). Gambaran radiologi yang dicurigai
sebagai lesi TB aktif adalah bayangan berawan di segmen
apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior
lobus bawah, kavitas yang berjumlah lebih dari satu dan
dikelilingi bayangan opak berawan, bayangan bercak milier,
efusi pleura unilateral atau bilateral. Sedangkan gambaran
radiologi yang dicurigai lesi TB inaktif adalah gambaran
fibrotik, kalsifikasi, dan schwarte atau penebalan pleura.
Gambaran luluh paru (destroyed lung) menunjukkan
kerusakan jaringan paru yang berat. Gambaran radiologi
luluh paru terdiri dari atelektasis, ektasis atau multikavitas,
dan fibrosis parenkim paru (PDPI, 2006)
Pembagian berdasarkan luas lesi:
- Minimal tuberculosis: terdapat sebagian kecil infiltrat non
kavitas pada satu paru maupun kedua paru, tetapi
jumlahnya tidak melebihi satu lobus paru.
- Moderately advanced tuberculosis: ada kavitas dengan
diameter tidak lebih dari 4 cm. Jumlah infiltrat bayangan
halus tidak lebih dari satu bagian paru. Bila bayangannya
kasar tidak lebih dari sepertiga bagian satu paru.
- Far advanced tuberculosis: terdapat infiltrat dan kavitas
yang melebihi keadaan pada moderately advanced
tuberculosis (Amin & Bahar, 2009).

20
21

21
22

2.1.6 Tatalaksana
Dalam pengobatan TB, dikenal 2 fase, yaitu fase intensif dan
fase lanjutan.Sedangkan obat yang digunakan dibagi menjadi 2 lini,
yaitu sebagai berikut (WHO, 2010).
1. Lini pertama:
a. Isoniazid
b. Rifampisin
c. Pirazinamid
d. Streptomisin
e. Etambutol
2. Lini kedua:
a. Kanamisin
b. Amikasin
c. Kuinolon
d. Makrolid, amoksisilin + asam klavulanat (masih dalam penelitian)
e. Belum ada di Indonesia:
 Kapreomisin
 Sikloserin
 PAS
 Derivat Isoniazid dan Rifampisin
 Thionamides (Ethionamide dan Prothionamide)

Sedangkan dosis yang dianjurkan adalah sebagai berikut.

Dapat pula menggunakan Kombinasi Dosis Tetap (KDT) 4 obat


berdasarkan rentang dosis yang telah ditentukan oleh WHO, yang
merupakan dosis yang efektif dan masih termasuk dalam bata dosis
terapi dan non toksik (WHO, 2010).

22
23

FaseIntensif FaseLanjutan
2-3 bulan 4 bulan
BB Harian Harian 3x/minggu
RHZE RH RH
150/75/400/275 150/75 150/150
30-37 2 2 2
38-54 3 3 3
55-70 4 4 4
>71 5 5 5

Dalam menentukan regimen obat OAT, pasien perlu


diidentifikasi terlebih dahulu, apakah pasien masuk dalam kategori 1
atau kategori 2 (Aditama dkk, 2011).
1. Kategori 1 (2HRZE/ 4H3R3)
Belum pernah mendapatkan OAT:
a. Pasien baru TB paru BTA positif
b. Pasien TB paru BTA negative foto totaks positif
c. Pasien TB ekstraparu
2. Kategori 2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)

Telah mendapat OAT sebelumnya:


a. Pasien kambuh (pasien yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberculosis dan telah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif pada
apusan atau kultur)
b. Pasien gagal (pasien yag hasil pemeriksaan dahaknya tetap
positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih
selama pengobatan)
c. Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)
(pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih
dengan BTA positif)

23
24

TahapLanjutan
TahapIntensif
3 kali seminggu
Tiaphari
BB RH (150/150) + E
RHZE (150/75/400/275) + S
(400)
Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu
30- 2 tab 4KDT 2 tab 4KDT 2 tab 4KDT
37 + 500 mg Streptomisin inj. + 2 tab Etambutol
38- 3 tab 4KDT 3 tab 4KDT 3 tab 4KDT
54 + 750 mg Streptomisin inj. + 3 tab Etambutol
55- 4 tab 4KDT 4 tab 4KDT 4 tab 4KDT
70 + 1000 mg Streptomisin inj. + 4 tab Etambutol
5 tab 4KDT 5 tab 4KDT 5 tab 4KDT
>71
+ 1000 mg Streptomisin inj. + 5 tab Etambutol

Untuk pasien berusia 60 tahun ke atas, dosis maksimal Streptomisin


adalah 500 mg tanpa memperhatikan berat badan.Sedangkan menganai efek
samping, masing-masing OAT memiliki efek samping yang dapat dibagi
menjadi efek samping mayor dan efek samping minor.Masing-masing efek
samping memiliki cara penanganan tersendiri, baik dihentikan, maupun diberi
obat simptomatis.Efek samping OAT dan tatalaksananya disajikan dalam tabel
di bawah ini (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011).
Tatalaksana
EfekSamping
Obat Hentikan obat penyebab dan rujuk
Mayor
secepatnya
Kemerahan kulit Strptomisin, Hentikan OAT
dengan atau tanpa Isoniazid,
gatal Rifampisin,
Pirazinamid
Tuli (bukan Streptomisin Hentikan Streptomisin
disebabkan kotoran)
Pusing (vertigo, dan Streptomisin Hentikan Streptomisin
nistagmus)
Kuning (setelah Isoniazid, Hentikan OAT
penyebab lain Rifampisin,
disingkirkan), Pirazinamid

24
25

hepatitis
Bingung (diduga Sebagian besar Hentikan OAT
gangguan hepar OAT
berat bila
bersamaan dengan
kuning)
Gangguan Etambutol Hentikan Etambutol
penglihatan (setelah
gangguan lain
disingkirkan)
Syok, purpura, GGA Rifampisin Hentikan Rifampisin
Penurunan jumlah Streptomisin Hentikan Streptomisin
urin

Tatalaksana
EfekSamping
Obat Teruskan pengobatan, evaluasi
Minor
dosis obat
Tidak napsu makan, Pirazinamid, Berikan obat bersamaan dengan
mual, dan nyeri Rifampisin, makanan ringan atau sebelum tidur
perut Isoniazid dan anjurkan pasien untuk minum
obat dengan air sedikit demi sedikit.
Apabila terjadi muntah yang terus
menerus, atau ada tanda perdarahan
segera pikirkan sebagai efek samping
mayor dan segera rujuk
Nyeri sendi Pirazinamid Aspirin atau NSAID atau Paracetamol
Rasa terbakar, Isoniazid Piridoksindosis 100-200 mg/hari
kebas, atau selama 3 minggu. Sebagai profilaksis
kesemutan pada 25-100 mg/hari
tangan atau kaki
Mengantuk Isoniazid Yakinkan kembali, berikan obat
sebelum tidur
Urinberwarnakemer Rifampisin Yakinkan pasien dan sebaiknya
ahanatauoranye pasien diberitahu sebelum mulai
pegobatan
Sindrom flu Dosis Ubah pemberian dari intermiten ke
(demam, menggigil, Rifampisin pemberian harian

25
26

malaise, sakit intermiten


kepala, nyeri tulang)

Selain pemberian OAT, perlu diberikan terapi tambahan


(suportif/simptomatis) untuk mengatasi keluhan pasien.
1. Pasien rawat jalan
a. Makan makanan bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan
vitamin tambahan
b. Bila demam dapat diberikan obat penurun panas
c. Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk,
sesak napas, atau keluhan lainnya seperti mual, dan nyeri perut.
2. Pasien rawat inap
Indikasi rawat inap adalah TB paru disertai keadaan sbb:
- Batuk darah massif
- KU buruk
- Pneumotoraks
- Empiema
- Efusi pleura massif/ bilateral
- Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)

TB ekstra paru yang mengancam jiwa:


- Meningitis TB

Selain terapi menggunakan obat, dapat juga dilakukan


pembedahan, namun dengan beberapa pertimbangan sebagai berikut.
1. Indikasi mutlak
a. Semua pasien yang telah mendapat OAT adekuat tetapi dahak
tetap positif
b. Pasien batuk darah massif yang tidak dapat diatasi secara
konservatif
c. Pasien dengan fistula bronkopleura dan empyema yang tidak
dapat diatasi secara konservatif

2. Indikasi relatif
a. Pasien dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang
b. Kerusakan salah satu paru atau lobus dengan keluhan
c. Sisa kavitas yang menetap

Adapula tindakan invasive namun bukan pembedahan, yaitu


bronkoskopi, pungsi pleura, dan pemasangan Water Sealed Drainage
(WSD).

26
27

Setelah dilakukan prosedur tatalaksana TB dengan baik, maka


perlu dilakukan evaluasi, baik secara klinis, bakteriologi, dan
radiologi.Evaluasi klinis dan bakteriologi dilakukan di awal, sebelum
pasien mendapatkan OAT, kemudian di akhir pengobatan fase intensif,
dan selanjutnya pada akhir pengobatan.Untuk pasien yang telah
dinyatakan sembuh, setidaknya tetap dilakukan evaluasi selama 2
tahun(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011).

2.1.7 Komplikasi dan Prognosis


Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa
komplikasi,baik sebelum atau dalam massa pengobatan maupun
setelah selesai pengobatan.Beberapa komplikasi yang mungkin timbul
(PDPI, 2006) adalah:
1. Batuk darah
2. Pneumothoraks
3. Luluh paru
4. Gagal nafas
5. Gagal jantung
6. Efusi pleura

Komplikasi ini muncul akibat adanya kerusakan parenkim paru


itu sendiri karena infeksi bakteri M. tuberculosis. Kebanyakan pasien
dengan TB paru memiliki prognosis yang baik bila pasien
menyelesaikan regimen pengobatan TB hingga selesai.Angka
rekurensinya cukup rendah, yaitu 0-14% (Cox et al., 2008). Di Negara
dengan kejadian TB yang rendah, rekurensi terjadi biasanya pada 12
bulan pertama. Akan lebih banyak pasien yang ditemukan dengan
reinfeksi, di negara dengan angka kejadian TB yang tinggi. Pasien
dengan keterlibatan ekstra pulmoner, MDR TB, imunokompromise,
lansia, dan pasien yang sebelumnya pernah menderita TB dan sudah
pernah mendapat OAT, akan memiliki prognosis yang lebih buruk (van
Rie et al., 1999).

2.2 OAT induce Hepatitis

27
28

Hepatotosik adalah efek samping mayor dari terapi tuberculosis (Al-


Salmi, 2012). Patogenesis disebabkan oleh isoniazid tidak dipahami dengan
baik. Bukti histopatologi menyerupai hepatitis virus menunjukkan hepatosit
nekrosis, degenerasi dan inflamasi balon infiltrat menyarankan dosis terkait
toksisitas. Namun, kurangnya korelasi langsung antara tingkat obat serum
dan hepatotoksisitas berpengaruh terhadap efek toksik langsung (Ahitan,
2013).
Mengingat onset lambat dari DIH (drug induced hepatitis), tidak
adanya gejala biasanya berhubungan dengan hipersensitivitas seperti ruam,
demam, artralgia dan eosinofilia, dan tidak ada hepatotoksisitas pada
rechallenge dalam banyak kasus, hipersensitivitas dianggap tidak mungkin.
Tapi, adanya infiltrat eosinofilia pada biopsi hati dan kekambuhan
hepatotoxicityon pada rechallenge dengan obat menunjukkan
hipersensitivitas sebagai mekanisme mungkin (Ahitan, 2013).
Profil enzim antioksidan yang berubah dan peningkatan peroksidasi
lipid menunjukkan bahwa isoniazid dan rifampicin menginduksi
hepatotoksisitas tampaknya dimediasi melalui stres oksidatif (Ahitan, 2013).
Dibandingkan dengan isoniazid, DIH disebabkan oleh rifampisin
terjadi lebih cepat dan menghasilkan kelainan seluler yang merata dengan
ditandai inflamasi periportal (Ahitan, 2013).
Hepatitis diinduksi rifampisin terjadi sebagai bagian dari reaksi alergi
sistemik dan karena hiperbilirubinemia tak terkonjugasi sebagai akibat dari
persaingan dengan bilirubin untuk penyerapan di plasma membran hepatosit
(Ahitan, 2013).
Apakah hepatotoksisitas yang disebabkan oleh efek aditif dari
isoniazid dan rifampicin atau karena efek sinergis mereka; apakah toksisitas
adalah karena efek toksik obat atau fenomena hipersensitivitas juga masih
diperdebatkan. Peningkatan risiko hepatotoksisitas dengan isoniazid dan
rifampicin kombinasi telah dikaitkan dengan interaksi antara metabolisme
isoniazid dan rifampicin. Asetil-isoniazid, metabolit utama isoniazid, diubah
menjadi monoacetyl hidrazin (Ahitan, 2013).
Enzim mikrosomal p-450 mengubah monoacetyl hidrazin untuk
senyawa lain yang mengakibatkan hepatotoksisitas. Rifampisin diduga
meningkatkan efek ini. Kasus manusia pertama dari interaksi hepatotoksik

28
29

terbukti antara isoniazid dan rifampisin baru-baru ini dilaporkan oleh


Askgaard et al. Seorang pasien Somalia 35 tahun dengan TB milier
mengalami hepatotoksisitas setelah beberapa hari pengobatan dengan
isoniazid, rifampisin, pirazinamid dan etambutol. Setelah menghentikan
pemberian semua obat, profil hati menjadi normal dan tetap normal setelah
tantangan isoniazid. Hepatotoksisitas kambuh ketika rifampisin ditambahkan
tapi, ditoleransi ketika rifampisin itu kembali diperkenalkan tanpa isoniazid
(Ahitan, 2013).

Mekanisme patogenetik yang tepat untuk DIH disebabkan oleh


pirazinamid belum diketahui. Pada pasien yang menerima kombinasi
isoniazid, rifampisin dan pirazinamid, dua pola luka hati fulminan telah
diamati. Peningkatan aktivitas transaminase serum yang terjadi pada akhir
(biasanya setelah satu bulan) telah dikaitkan dengan pirazinamid
menginduksi hepatotoksisitas. Sedangkan peningkatan awal transaminase
(biasanya dalam 15 hari pertama) telah dikaitkan dengan rifampisin dan
Isoniazid menginduksi hepatotoksisitas (Ahitan, 2013).

29
30

30
31

2.3 Pneumothorax

2.3.1 Definisi Pneumothorax

Pneumothorax merupakan suatu kondisi dimana terdapat udara pada


rongga pleura, yaitu ruang diantara dinding dada dan paru-paru. Pneumothorak
dapat terjadi akibat adanya udara yang masuk dalam ruang potensialantara
pleura viseralis dan parietalis. Baik trauma tembus maupun tidak tembus dapat
menyebabkan pneumothorax. Laserasi paru dengan kebocoran udaramerupakan
penyebab umum pneumothorax akibat trauma tumpul (Slobodan M, Spasik M, &

Bojan M, 2015).

Gambar 2.3 Gambaran pneumohorax

2.3.2 Patofisiologi Pneumothorax

Pada kondisi normal, rongga pleura tidak terisi udara sehingga paru-paru
mengembang terhadap rongga dada. Adanya udara dalam cavum pleura dapat
ditimbulkan oleh karena robekan pada pleura visceralis sehingga sehingga pada
saat inspirasi udara yang berasal dari alveolus akan memasuki cavum pleura.

31
32

Pneumothorax terjadi ketika udara dalam rongga pleura memiliki tekanan yang
lebih tinggi dari pada tekanan udara dalam paru-paru. Udara memasuki rongga
pleura melalui tempat terjadinya ruptur pleurayang bekerja seperti katub 1 arah.
Kesulitan dalam proses ekspirasi akan menimbulkan keadaan terperangkapnya
udara dalam paru yang dikenal sebagai hiperinflasi. Pada keadaan infeksi, selain
terisi udara dapat juga terisi cairan dalam rongga pleura. Selain dapat
menimbulkan terjadinya obsruksi juga dapat menimbulkan tekanan pada paru
kontralateral sehingga akn mengganggu fungsi paru tersebut (Slobodan M,
Spasik M, & Bojan M, 2015).

2.3.3 Klasifikasi Pneumothorax

Berdasarkan etiologinya, pneumothorax dibagi menjadi Spontan


pneumothorax dan traumatik.

a. Spontan pneumothorax

1. Pneumothorax Spontan Primer

Terjadi tanpa adanya penyakit paru yang mendasari. Pneumothorax jenis


ini dikaitkan dengan kebiasaan merokok. Resiko terjadinya pneumothorax lebh
tinggi pada perokok berat ( >20 batang/hari ) dari pada yang tidak merokok.
Pneumothorax spontan primer sebagai akibat dari pecahnya bleb subpleura.

2. Pneumothorax Spontan Sekunder

Terjadi pada pasien dengan dengan penyakit paru yang mendasari Sebelumnya.
Penyakit paru yang mendasari antara lain COPD, kistik fibrosis, asma bronkial,
kelainan jaringan ikat (Marfan Syndrome), pneumonia pada penderita AIDS,
pneumonia dengan abses paru,Ca paru dan pneumothorax neonatal.

32
33

b. Pneumothorax Traumatik

Terjadi akibat adanya cedera traumatik pada dinding dada. Trauma bisa
bersifat menembus atau tumpul. Pneumothorax jenis ini dibedakan lagi menjadi
2 jenis antara lain :

1. Pneumothorax traumatik non-latrogenik : pneumothorax yabg terjadi


akibat jejas kecelakaan, misalnya jejas pada dinding dada.

2. Pneumothorax traumatik latrogenik :pneumothorax yang terjadi akibat


komplikasi dari tindakan medis seperti parasestesis dada, biopsi pleura,
laparoskopi, torakosentesis.

Berdasarkan fistulanya, pneumothorax dapat dibedakan menjadi 3 jenis


antara lain :

1. Pneumothorax tertutup

Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka pada
dinding dada) sehingga tidak ada hubungan dengan dunia luar. Tekanan pada
rongga pleura awalnya kemungkinan positif , namun kemudia berubah menjadi
negatif karena diserap oleh jaringan paru disekitarnya. Pada kondisi tersebut
paru belum mengalami re-ekspansi, sehingga masih ada rongga pleura,
meskipun tekanan didalamnya sudah kembali negatif.

2. Pneumothorax terbuka

Dimana adanya hubungan antara rongga pleura dengan bronkus (adanya


luka terbuka pada dada). pada kondisi ini tekanan dalam pleura sama dengan
tekanan udara luar. Perubahan tekanan ini sesuai dengan tekanan yang
disebabkan oleh gerakan pernapasan.

Pada saat inspirasi tekanan menjadi negatif dan pada saat ekspirasi
tekanan menjadi positif. Selain itu, pada saat inspirasi mediastinum dalam
keadaaan normal, namun pada ssat ekspirasi mediastinum akan bergeser pada
dinding dada yang terluka.

33
34

3. Tension pneumothorax

Adalah pneumothorax dengan tekanan intrapleura yang positif dan


semakin lama akan semakin bertambah besar dengan adanya fistula pada
pleura visceralis yang bersifat ventil. Udara yang terkmpul dalam rongga pleura
dapat menekan paru sehingga sering menimbulkan gagal napas (Slobodan M,
Spasik M, & Bojan M, 2015).

2.3.4. Gejala klinis Pneumothorax

Pada pneumothorax didapatkan gejala antara lain :

- sesak napas , didapatkan hampir pada 80-100% pasien. Seringkali sesak


dirasakan mendadak dan semakin lama akan tersasa semakin berat. Penderita
akan bernapas pendek pendek dengan mulut terbuka.

- nyeri dada, didapatkan hampir pada 75-90% pasien. Nyeri dirasakan tajam
pada sisi yang sakit, terasa berat dan tertekan, serta nyeri bertambah saat
gerakan bernapas.

- batuk . didapakan pada 25-35% pasien.

- denyut jantung meningkat

- kulit tampak sianosis karena kadar oksigen dalam darah berkurang

Berat ringannya gejala bergantung pada tipe pneumothorax :

- pneumothorax tertutup dan terbuka sering tidak berat

- pneumothorax ventil sering dirasakan lebih berat

- berat ringannya pneumothorax bergantung juga pada keadaan paru yang lain
serta ada tidaknya jalan napas (Noppen M & De K, 2015).

2.3.5 Diagnosis Pneumothorax

a. Anamnesis

34
35

Menggali data informasi pasien mengenai keluhan dan gejala. Perjalanan


gejala maupun penyakit maupun penyakit penyerta. Menggali riwayat pola
kebiasaan, keluarga, trauma dan penyakit yang diderita.

b. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik dilakukan dengan melihat bagian dada pasien baik sisi
depan maupun belakang. Pemeriksaan ini meliputi :

1. Inspeksi :

- dapat terjadi pencembungan dada pada sisi yang sakit (hiperekspansi


didnding dada )

- pada saat bernapas, akan nampak bagian dada yang sakit gerakannya
akan tertinggal.

- trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat.

2. Palpasi :

- pada sisi yang sakit, ruang antar iga (intercostal) dapat normal atau
melebar.

- iktus jantung terdorong pada posisi dada yang sehat

- stem fremitus akan melemah atau menghilang pada sisi yang sakit.

3. Perkusi :

- suara ketok pada sisi yang sakit hipersonor

4. Aukultasi :

- pada bagian yang sakit suara napas melemah bahkan menghilang.

c. Pemeriksaan Penunjang

1. Foto thorax

Gambaran radiologis pada foto thorax menunjukkan :

35
36

a. bagian pneumothorax akan tampak lusen, rata dan paru yang kolaps
akan nampak garis yang merupakan tepi paru. Kadang paru yang kolaps
tidak membentuk garis, namun berbentuk lobuler sesuai dengan lobus
paru.

b. paru yang kolaps akan nampak seperti masa radioopaq yang berada
pada daerah hilus.

c. jantung dan trakea terdorong pada sisi yang sehat, diafragma mendatar
dan tertekan kebawah.

Pada pneumothorax perlu diperhatikan adanya kemungkinan keadaan


sebagai berikut :

a. Pneumomediastinum, terdapat ruang atau celah hitam pada tepi


jantung. Hal ini terjadi apabila pecahnya fistel mengarah mendekati hilus,
sehingga udara yang dihasilakan akan terjebak di mediastinum.

b. empisema subkutan, bila ada byangan hitam dibawah kulit. Udara yang
terjebak dimediastinum lama-lama akan naik ke daerah yang lebih tinggi.
Disekitar leher terdapat banyak jaringan ikat yang mampu di tembus
udara sehingga udara akan terjebak di daerah jarigan ikat tersebut.

c. bila disertai cairan di rongga pleura, maka akan tampak permukaan


cairan sebagai garis datar diatas diafragma.

2. Blood Gas Analisis (BGA)

Analisa gas darah pada pembuluh darah arteri akan menunjukkan


gambaran hipoksemia.

3. CT-Scan thorax

CT scan akan lebih spesifik untuk membedakan empisema bullosa


dengan pneumothorax, batas antara udara dengan cairan intra dan ekstra
pulmoner dan untuk membedakan pneumothorax spontan primer dan sekunder
(Slobodan M, Spasik M, & Bojan M, 2015).

2.3.6 Tatalaksana Pneumothorax

36
37

Tujuan utama tatalaksana pneumothorax adalah mengelurkan udara dari


rongga pleura . pada prinsipnya tatalaksan pneumothorax sebagai berikut :

a. observasi dan pemberian O2

b. tindakan dekompresi : sebaiknya dilakukan seawal mungkin. Tindakan


ini bertujuan untuk mengurangi tekanan intra pleura dengan cara
menusukkan jarum pada dinding dada sampai kedalam rongga pleura,
dengan demikian tekanan udara positif pada rongga pleura akan berubah
menjadi negatif karena mengalir keluar. Pada tindakan ini dapat dilakukan
dengan menggunakan infus set, abocath, dan pipa WSD.

c. torakotomi

d. tindakan pembedahan.

e. pemberian antibiotik profilaksis setelah tindakan.

f. intirahat total untuk menghindari kerja paru yang berat

g. Rehabilitasi : penderita yang sembuh dari pneumothorax harus


dilakukan pengobatan sesuai dengan penyakit penyerta, sebagai contoh
apabila pasien TB maka diberikan OAT. Untuk sementara waktu pasien
dilarang mengejan dan batuk secara keras (Slobodan M, Spasik M, &
Bojan M, 2015).

2.3.7 Prognosis Pneumothorax pada Penderita TB Paru

Pneumothorax yang terjadi pada penderita TB merupakan suatu


komplikasi. Keadaan ini terdapat pada proses pneumothorax sekunder dimana
terjadi ruptur lesi paru yang terletak di dekat permukaan pleura sehingga udara
inspirasi memperoleh akses ke dalam rongga pleura. Pada pneumothorax
spontan sekunder, keadaan penderita tampak serius dan kadang mengancam
kehidupan karena adanya penyakit paru yang mendasarinya. Kekambuhan pada
kasus pneumothorax sangat mungkin terjadi. Kondisi pada pasien pneumothorax
pasca evakuasi bergantung pada terapi dari penyakit yang mendasarinya (Aulia
W, Khairsyaf O, & Basyar M, 2012).

37
38

2.4 Diabetes Melitus

2.4.1 Definisi

Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2012, diabetes


melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi kerana kelainan sekresi insulin, gangguan kerja insulin
atau keduanya, yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal,
saraf, dan pembuluh darah. Menurut Perkeni tahun 2015, DM merupakan suatu
kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi
karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (Rudijanto et al.,
2015).

Tabel 2.6 Klasifikasi Diabetes Melitus (Rudijanto et al., 2015)

2.4.2 Patofisiologi

Terjadinya resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel β-
pankreas telah diketahui sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2,
dimana kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat daripada yang
diperkirakan sebelumnya. Selain otot, liver dan sel beta, organ lain seperti:
jaringan lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi incretin), sel
alpha pancreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan
otak (resistensi insulin), seluruhnya turut berperan dalam menimbulkan
terganggunya toleransi glukosa pada DM tipe-2. DeFronzo pada tahun 2009

38
39

menyampaikan, bahwa tidak hanya otot, liver dan sel beta pankreas saja yang
berperan sentral dalam patogenesis penderita DM tipe-2 tetapi terdapat organ
lain yang berperan. Organ-organ tersebut dikenal sebagai the ominous octet
(Rudijanto et al., 2015).

2.4.3 Diagnosis

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan


adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:

 Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat


badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
 Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.

Kriteria diagnosis DM tipe 2 adalah sebagai berikut :

 Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl. Puasa adalah kondisi


tidak ada asupan kalori minimal 8 jam.
 Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2-jam setelah Tes Toleransi
Glukosa Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram.
 Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan klasik.
 Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode yang
terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program
(NGSP) (Rudijanto et al., 2015)).

2.4.4 TB Paru pada Diabetes Melitus

Penyebab infeksi TB paru pada penderita DM adalah karena defek fungsi


sel-sel imun dan mekanisme pertahanan tubuh, termasuk gangguan fungsi dari
epitel pernapasan serta motilitas silia. Paru pada penderita DM akan mengalami
perubahan patologis, seperti penebalan epitel alveolar dan lamina basalis kapiler
paru yang merupakan akibat sekunder dari komplikasi mikroangiopati sama
seperti yang terjadi pada retinopati dan nefropati. Gangguan neuropati saraf
autonom berupa hipoventilasi sentral dan sleep apneu. Perubahan lain yang juga
terjadi yaitu penurunan elastisitas rekoil paru, penurunan kapasitas difusi
karbonmonoksida, dan peningkatan endogen produksi karbondioksida
(Wulandari dan Sugiri, 2017).

39
40

Tabel 2.7 Karakteristik pasien TB Paru dengan dan tanpa DM, data adalah
persentase, kecuali tertulis selainnya (Alisjahbana et al., 2007).

Secara radiologis, TB paru pada penderita DM sering menunjukkan


gambaran dan distribusi radiografi yang atipikal; pada penderita TB tanpa DM
kavitas atau infiltrat banyak ditemukan pada lobus atas, sedangkan pada
penderita TB paru disertai DM, lapangan paru bawah lebih sering terlibat (29%
pada kasus dengan DM, 4,5% pada kasus non-DM), diikuti lobus atas kemudian
tengah. Keterlibatan paru bilateral sebesar 50%, 33% berkaitan efusi pleura, dan
30% terdapat kavitas. Gambaran radiologi termasuk fibrosis, konsolidasi,
opasitas homogenus dan heterogenus (Bukhary, 2008).

2.4.4 Tata Laksana

Tatalaksana pengobatan pada penderita TB paru yang memiliki DM sama


dengan penderita TB paru saja, akan tetapi lebih sulit, terutama karena ada

40
41

beberapa hal penting yang harus diperhatikan, yaitu interaksi antarobat TB paru
dengan obat DM dan efek samping obat.Hingga saat ini, belum ada rekomendasi
kuat berdasarkan evidence mengenai tatalaksana pengobatan TB paru pada
penderita DM maupun sebaliknya. International Union Against Tuberculosis and
Lung Disease (IUATLD) dan WHO memberikan rekomendasi terapi TB paru
pada penderita DM menggunakan regimen yang sama sesuai standar (Wulandari
dan Sugiri, 2017). Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) menyarankan
pemberian OAT dan lama pengobatan pada prinsipnya sama dengan TB paru
tanpa DM, dengan syarat gula darah harus terkontrol. Apabila gula darah tidak
terkontrol, pengobatan perlu dilanjutkan hingga 9 bulan. Tahun 2012, American
Diabetes Association (ADA) merekomendasikan target HbA1c kurang dari 7%
atau setara dengan gula darah sewaktu sebesar 130 mg/dL.

Dua studi di Indonesia menunjukkan bahwa DM tidak mempengaruhi


farmakokinetik OAT selama fase intensif pengobatan TB paru, tetapi mungkin
berpengaruh pada rifampisin dalam fase lanjut. Hal ini didukung dengan kultur
sputum yang masih positif setelah pengobatan fase lanjut, tetapi tidak setelah
fase intensif. Hipotesis perbedaan pengaruh DM terhadap farmakokinetik OAT
selama pengobatan fase intensif dan fase lanjut karena adanya perbedaan
induksi rifampisin (Ruslami et al., 2010).

2.4.5 Prognosis TB Paru pada Penderita DM

Penderita TB paru dengan DM memiliki risiko kematian lebih tinggi


dibandingkan penderita TB paru tanpa DM selama terapi dan juga peningkatan
risiko kekambuhan setelah pengobatan dan penularan yang lebih besar (Dobbler
et al. 2012).

BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Identitas Pasien
Nama : Tn. Ngateno

41
42

Jenis kelamin : Laki-laki

Tanggal lahir : 01 Januari 1968

Umur : 50 tahun

Alamat : Dusun Sidodadi RT 23/ RW 04 Kelurahan Tirtoyudo

Malang

Pekerjaan : Petani

Pendidikan : SD

Status : menikah

Etnis/Suku : Jawa

Agama : Islam

No. RM : 11393848

3.2 Anamnesis
Keluhan utama : Sesak napas

Sesak napas sejak 10 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit. Pasien

mengaku tidur terganggu dan sering terbangun pada malam hari, serta memakai

2-3 bantal saat tidur, pasien lebih nyaman dengan posisi duduk atau miring ke

kiri. Memberat dengan aktivitas dan membaik dengan istirahat. Riwayat alergi

disangkal.

Pasien mengeluh batuk selama 3 bulan, dahak berwarna kuning, batuk darah

disangkal. Batuk terjadi terus menerus memberat saat malam hari. Tidak ada

demam dan keringat malam. Didiagnosa TB sejak Mei 2018 dan mendapat OAT

namun konsumsi tidak rutin.

Pasien mengeluh nyeri dada kiri kurang lebih 10 hari menjalar sampai lengan

atas hilang timbul. Nyeri seperti ditekan. Tidak ada faktor memperberat gejala.

Pasien juga mengeluh kedua kaki bengkak sejak 2 minggu yang lalu.

42
43

Tidak ada penurunan berat badan.

Mual muntah disangkal. Buang air kecil dan buang air besar normal tidak

terdapat gangguan.

 Riwayat penyakit dahulu :


- Pasien memiliki riwayat hipertensi dengan pengobatan tidak rutin

(pasien lupa dengan nama obat yang dikonsumsi). Didiagnosa

hipertensi sejak 5 tahun yang lalu.


- Pasien memiliki riwayat diabetes mellitus dengan pengobatan

glibenklamid dan diganti dengan insulin 1 kali saat malam.


 Riwayat keluarga :
- Di keluarga pasien tidak ada yang memiliki penyakit seperti

pasien.
 Riwayat imunisasi :
- Pasien lupa akan status imunisasinya.
 Riwayat pribadi :
- Riwayat alergi : disangkal
 Olahraga : pasien jarang sekali berolahraga
 Kebiasaan makan : 3 x sehari
 Merokok : 2 pak perhari selama kurang lebih 30 tahun dan

berhenti sejak 1 tahun yang lalu.


 Minum alkohol : -
 Hubungan seks : -

Riwayat Penyakit Dahulu:


Riwayat Hipertensi (+) diabetes mellitus (-). Penyakit kuning (-)
Riwayat Pengobatan dan Opname
Pasien tidak pernah opname sebelumnya
Riwayat Keluarga
Keluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan yang serupa
dengan pasien.

Riwayat Sosial
Pasien seorang petani dan mempunyai 3 anak. Rumah pasien saling
berdekatan dengan tetangga sebelahnya. Merokok (-), alkohol (-), riwayat
kontak dengan penderita TB (-), riwayat free sex (-) IVDU (-) tato (-) transfusi
(-).

43
44

Review of System
 Sistem saraf pusat: nyeri kepala (-), pelo (-), merot (-),kejang
(-), lemah ½ badan (-) , gringgingen ½ badan (-), pandangan
dobel dan kabur (-), ganguan pendengaran (-), penurunan
kesadaran (-).
 Sistem kardiovaskular dan respirasi: jantung berdebar (-),
sesak nafas (+),serak (-), batuk lama (+).
 Sistem gastrointestinal: mual (-) muntah (-), diare (-),
konstipasi (-), penurunan nafsu makan (+), oral ulcers (+).
 Sistem genitourinari: disuria (-) discharge (-)
 Sistem muskuloskeletal: nyeri sendi (-), back pain (-), kaku
sendi (-), bengkak pada anggota badan (+ , pada kedua kaki).
 Dermatologi: ruam kulit (-), gatal (-).

3.3 Pemeriksaan Fisik

44
Keadaan  GCS 456
Umum
 Nafas agak sesak
45
 Kesan gizi kurang

 Wajah tidak dismorfik, tidak anemis, tidak ikterik, tidak


sianosis, dan tidak edema

 Kulit berwarna sawo matang, tidak pucat, tidak biru, tidak


ikterus

 Pakaian dan higienitas cukup baik


Tanda-tanda Tekanan darah : 170/80mmHg
Vital Denyut jantung : 84 kali/menit, reguler, kuat angkat

Laju napas : 24 kali/menit, reguler, spontan

Suhu aksila : 36,2 0C

Kepala Ukuran : normosefal

Rambut : warna hitam, tidak mudah dicabut

Wajah : simetris, deformitas (-), rash(-), sianosis (-)

Mata : konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), edema


palpebra (-/-), mata cowong (-/-), air mata
(normal), pupil bulat isokor 3 mm/3 mm, reflek
cahaya (+/+) fotosensitivitas (-)

Telinga : bentuk dan ukuran normal, posisi normal,

sekret (-)

Hidung : bentuk simetris, deviasi (-), sekret (-), perdarahan


(-), hiperemi (-), pernapasan cuping hidung (-)
Mulut : mukosa bibir kering (-), mukosa sianosis (-),
faring hiperemi (-), pembesaran tonsil (-)

Leher Inspeksi : simetris, pembesaran kelenjar leher (-), massa (-)

Palpasi : pembesaran kelenjar limfe leher (-|-), trakea di


tengah, kaku kuduk (-)

Toraks Inspeksi: bentuk dada simetris, retraksi dinding dada (-),


deformitas (-), jaringan parut (-),

Jantung:

Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : ictus cordis teraba di ICS V MCL S

Auskultasi : bunyi jantung S1, S2 tunggal regular, murmur


(-), gallop (-)

Paru:

Inspeksi : statis D<S , dinamis D>S


45

Palpasi : stem fremitus berkurang pada sisi kiri

Auskultasi :
46

3.4 Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium 15 Juni 2018

Hasil Pemeriksaan Satuan Angka Normal


Hb 10,30 gr/dl 13,4 – 17,7
6 3
Eritrosit 3,87 10 /mm 4.0 – 5.5
3
Leukosit 7,52 10 /mm3 4.300 – 10.300
Hematokrit 32,10 % 40 – 47
3
Trombosit 584 /mm 142.000 – 424.000
MCV 82,9 fL 80 – 93
MCH 26,6 pg 27 – 31
MCHC 32,1 g% 32 – 36
Eosinofil 0,4% % 0–4
Basofil 0,4% % 0–1
Neutrofil 76,7% % 51 – 67
Limfosit 14,0% % 25 – 33
Monosit 8,5% % 2–5
Albumin 2,51 % 3.5-5.5
Glukosa darah sewaktu 250 Mg/dl <200
Kimia klinik
Total protein 5.06 g/dl <3
Glukosa 39 Mg/dl >60
LDH 43 Iu/l
Cairan Tubuh (ANALISA CAIRAN PLEURA)
Makroskopik
warna Putih kekuningan
bekuan Negatif
kejernihan Sangat keruh
Mikroskopik
Eritrosit 199.000
Leukosit 112.395
PMN 87%
MN 13%

46
47

47
48

Pemeriksaan foto Thorax (5 Mei 2015)

• AP position: asimetris
• Soft tissue normal
• Bone : costae D/S normal; ICS D/S normal; vertebrae normal
• Trachea in the middle
• Cor : Site: di tengah
Size: ukuran kesan normal
Shape: normal
• Hemidiaphragm
Dekstra: dome-shaped
Sinistra: dome-shaped
• Sudut Phrenicocostalis
Dekstra: tajam
Sinistra: tajam
• Pulmo
Dekstra: infiltrate (+) dan fibrosis (+) di seluruh lapang paru kanan
kavitas 4x3 cm lapang paru tengah
Sinistra: Normal
• Conclusion : TB paru far advanced-lesion

48
49

Pemeriksaan Elektrokardiografi (31 Maret 2015)

• Sinus rhythm, Heart rate 100 bpm


• Frontal Axis : Normal
• Horizontal Axis : Normal
• PR interval : 0.12”
• QRS complex : 0.08”
• QT interval : 0.36”
Kesimpulan: sinus rhythm dengan HR 100 kali/menit

49
3.5 Problem Oriented Medical Record
CUE AND CLUE PL Idx PDx PTx PMo & PEd

Tn. N/ 44 tahun/ R.29/ JKN 1. - Subjektif (sesak, batuk)


Anamnesis Hydropneum - 2-4 lpm NC -VS (RR, SpO2)
- Sesak napas sejak 5 bulan yang lalu othorax - Konsul BTKV -CXR ulang setelah
- Batuk berdahak sejak 5 bulan yang lalu sinstra dd untuk memasang evakuasi cairan
Pemeriksaan Fisik Piopneumoth thorax drain Edukasi: Rencana
Thorax: orax sinistra diagnosis, perjalanan
nspeksi : Statis D<S, Dinamis D>S penyakit, prognosis
P: Ekspansi dinding dada simetris, stem
fremitus menurun pada paru lobus tengah
dan bawah kanan
Pe s hs SN v v↓ rh - - wh --
s hs v v↓ - - --
s d v v↓ - - --
Penunjang:
CXR:
Hydropneumothorax S
Analisa Cairan Pleura:
Warna: keruh kekuningan
PMN / MN : 94% / 6%
51

Leukosit: 7612 /uL

51
52

CUE AND CLUE PL Idx PDx PTx PMo & PEd

Tn. MSI/ 44 tahun/ R.29/ JKN 2. Infeksi 2.1 Gram - IV Ceftriaxone Subjektif (sesak,
paru akut Pneumoni Smear 2x1g batuk)
Anamnesis
a CAP Sputum
-VS (RR, SpO2)
- Sesak napas sejak 5 bulan yang lalu
PO:
-CXR ulang setelah
- Batuk berdahak kuning kental sejak 5
NAC tab 3 x 200 mg evakuasi cairan
bulan yang lalu
Azithromycin tab Edukasi: Rencana
Pemeriksaan Fisik
1x500mg diagnosis, perjalanan
Thorax: penyakit, prognosis

nspeksi : Statis D<S, Dinamis D>S


P: Ekspansi dinding dada simetris, stem
fremitus menurun pada paru lobus
tengah dan bawah kanan
Pe s hs SN v v↓ rh - - wh --
s hs v v↓ - - --

s d v v↓ - - --

52
53

Penunjang:

Diff count : Neutrofilia (77,3%)

CUE AND CLUE PL Idx PDx PTx PMo & PEd

Tn. MSI/ 44 tahun/ R.29/ JKN 3. Infeksi 3.1 - PO: Subjektif (sesak,
paru Lung batuk)
Anamnesis  OAT
kronis TB
kategori 1 -VS (RR, SpO2)
- Sesak napas sejak 5 bulan yang lalu  Vitamin B6
1x10 mg Edukasi: Rencana
- Batuk berdahak kuning kental sejak 5
diagnosis, perjalanan
bulan yang lalu
penyakit, prognosis
-Tidak ada riwayat TB Paru dahulu
KIE untuk rutin
Pemeriksaan Fisik meminum obat setiap
hari sesuai dengan
Thorax:
program pengobatan

53
54

nspeksi : Statis D<S, Dinamis D>S agar kuman tidak


P: Ekspansi dinding dada simetris, stem
resisten. KIE orang
fremitus menurun pada paru lobus
terdekat untuk
tengah dan bawah kanan
memakai masker
Pe s hs SN v v↓ rh - - wh --
s hs v v↓ - - --

s d v v↓ - - --

Penunjang:

Hasil Pemeriksaan TCM 17/4/2018

Sampel : Dahak

Hasil : MTB Detected High,Rifampicin


resistance not detected

54
55

CUE AND CLUE PL Idx PDx PTx PMo & PEd

Tn. MSI/ 44 tahun/ R.29/ JKN 4. DM tipe 2on - -Diet DM Monitor : Lab GD 1/2
OAD
Anamnesis -Konsul IPD

- Riwayat DM dengan konsumsi Edukasi: Rencana


glibencamid 1x5mg diagnosis, perjalanan
penyakit, prognosis
Pemeriksaan Fisik
KIE tentang penyakit
-
bahwa penyakit DM
Penunjang: hanya dapat dikontrol
dengan minum obat
HbA1c = 8,6%
setiap hari

55
56

Laki-laki/55 tahun 2. Chronic 2.1 TB BTA SPS, O2 2-4 lpm NC Subjektif


lung infection Paru kultur IVFD NS 0,9% 20 vital sign
Anx: media LJ, tpm
Batuk kronis Gene P.Edu:
Nyeri dada bila expert TB OAT kategori 2 Diagnose,
batuk Pirydoksin (B6) planning
Keringat malam diagnose,
dan terapi
PE:
TD: 120/80
HR: 120 x / menit
RR:24x/m
Tax : 38,4

Lab:
Leucocyte 9.310
Limfosit 65%
Monosit 25%

Laki-laki/55 tahun 3. Oral ulcer 3.1 - Konsul TS THT Subjektif


Stomatitis Luas ulcer
Anx: aphtous
Sariawan di lidah recurent P.Edu:
Diagnose,
PE: 3.2 planning
Terdapat ulkus pada Herpes diagnose,
ujung lidah bagian simpleks dan terapi
ventral dengan tepi
tegas ukuran 1 x 1 3.3
cm berwarna merah Erythroplak
tua ia

56
57

Laki-laki/55 tahun 2. Chronic 2.1 TB BTA SPS, O2 2-4 lpm NC Subjektif


lung infection Paru kultur IVFD NS 0,9% 20 vital sign
Anx: media LJ, tpm
Batuk kronis Gene P.Edu:
Nyeri dada bila expert TB OAT kategori 2 Diagnose,
batuk Pirydoksin (B6) planning
Keringat malam diagnose,
dan terapi
PE:
TD: 120/80
HR: 120 x / menit
RR:24x/m
Tax : 38,4

Lab:
Leucocyte 9.310
Limfosit 65%
Monosit 25%

57
58

BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Assessment 1: Hepatitis induced OAT


Anamnesa Teori
 Pasien adalah laki-laki berumur 55 tahun Berdasarkan Konsensus Tuberkulosis
 mual dan muntah sejak 4 hari yang lalu. oleh PDPI (2014). Salah satu efek samping
Gejala tesebut dialami tiap makan dengan mayor pada penggunaan OAT adalah kuning
jumlah ± 100cc (ikterik). OAT harus dihentikan bila terdapat
 Pasien pernah didiagnosis sebagai
gejala seperti mual muntah, nyeri perut, dan
tuberculosis di dokter umum 2 minggu yang
ikterus dengan lab SGOT/SGPT meningkat
lalu sehingga pasien menerima obat
lebih dari 3 x lipat dan/atau Bilirubin total > 2
racikan dalam kapsul dengan dosis 1 x 3
mg/dL. Pada pasien asimptomatik OAT harus
dan pyrazinamid 3 x 500mg. Batuk tidak
dihentikan bila SGOT/SGPT meningkat lebih
berkurang tetapi pasien merasa mual dan
dari 5x
muntah.

Pemeriksaaan Fisik Teori


 Nadi 120x/mnt Pada pemeriksaan fisik didapatkan
 RR 24 x/mnt mengarah ke hepatitis akut dimana ditandai
 Tax 38,4o C
 Terdapat ikterik pada sklera dengan sclera ikterik, dyspepsia syndrome,
 Terdapat nyeri tekan pada kuadran kanan

58
59

atas dan urin berwarna seperti teh. Pada pasien


 Liver span sebesar 15 cm
ini tidak terdapat perubahan warna urin. dan
 Liver teraba 4 cm dibawah arcus costae
tidak terdapat perubahan warna feses.
dengan permukaan rata, dan batas tegas
Hepatitis yang terinduksi oleh obat dapat
dipertimbangkan bila terdapat riwayat
penggunaan obat yang hepatotoksik.
Pemeriksaan Penunjang Teori
 Laboratorium: Pada pemeriksaan laboratorium
SGOT : 382 terdapat peningkatan transaminase
SGPT : 349 sebanyak 9x lipat. Dengan peningkatan
Bilirubin T/D/I : 4,51/4,23/0,28
SGPT dan SGOT. Hal ini menandakan
terdapat kerusakan sel hepar yang akut. Dari
hasil bilirubin didapatkan hiperbilirubinemia
dengan yang paling tinggi adalah bilirubin
direk. Bilirubin direk yang tinggi tanpa
peningkatan bilirubin indirek biasanya
mengindikasikan adanya proses post
hepatik. Tetapi belum dapat dipastikan
karena belum ada pemeriksaan penunjang
yang lain
Penatalaksanaan Teori
 Stop OAT OAT harus dihentikan bila terdapat

59
60

 Reintroduced OAT bila Bilirubin <2 gejala seperti mual muntah, nyeri perut, dan
g/dL ikterus dengan lab SGOT/SGPT meningkat
 OT/PT <3x nilai normal lebih dari 3 x lipat dan/atau Bilirubin total > 2
mg/dL. Pada pasien asimptomatik OAT harus
dihentikan bila SGOT/SGPT meningkat lebih
dari 5x. OAT boleh direintroduced secara
bertahap bila bilirubin dan OT/PT kembali
normal.

4.2 Assessment 2: TB paru far-advanced lesion


Anamnesa Teori
 Pasien adalah seorang laki-laki berusia 55 Faktor resiko menderita penyakit TB
tahun. secara umum bergantung pada faktor
endogen, seperti usia dan status imun
pasien. Insiden tertinggi tuberkulosis paru
biasanya mengenai usia dewasa muda. Di
Indonesia diperkirakan 75% penderita TB
Paru adalah kelompok usia produktif yaitu
15-50 tahun. Pada kelompok usia 25-34
tahun wanita lebih berisiko menderita TB

60
61

daripada pria. Sedangkan pada usia yang


lebih tua terjadi kebalikannya, yaitu laki-laki
lebih beresiko daripada wanita.

 Batuk kering sejak 2 bulan yang lalu, tidak Gejala klinis TB paru dapat dibagi
berdahak. Bila batuk atau cegukan dada menjadi 2 golongan yaitu gejala lokal dan
dirasakan nyeri. Nyeri dirasakan seperti gejala sistemik. Gejala respiratorik meliputi
ditusuk. Dada tidak nyeri bila pasien tidak batuk lebih dari 2 minggu, batuk darah.
batuk.Nyeri dada bila batuk Sesak nafas, dan nyeri dada. Gejala sistemik
 Demam malam hari dialami oleh pasien meliputi demam, malaise, keringat malam,
sejak 3 minggu yang lalu. Demam tidak anoreksia, dan penurunan berat badan.
seberapa tinggi dan dirasakan tiap malam
hari serta menurun pada pagi hari.
 Pasien pernah didiagnosis sebagai Klasifikasi TB menurut riwayat
tuberculosis di dokter umum 2 minggu yang pengobatan sebelumnya dibedakan menjadi
lalu sehingga pasien menerima obat 2, yaitu pasien baru TB dan pasien yang
racikan dalam kapsul dengan dosis 1 x 3 pernah diobati TB.
Pasien baru TB adalah pasien yang
dan pyrazinamid 3 x 500mg
belum pernah mendapatkan pengobatan TB
sebelumnya atau sudah pernah menelan
OAT namun kurang dari 1 bulan (<28 dosis)
Pasien yang pernah diobati TB adalah

61
62

pasien yang sebelumnya pernah menelan


OAT selama 1 bulan atau lebih (>28 dosis).
Pada kasus TB biasanya digunakan
FDC untuk pengobatan, dan diminum 1 kali
tidak terbagi dalam 3 waktu yang berda.
Pemeriksaaan Fisik Teori
Pemeriksaan fisik toraks pada pasien ini Kelainan yang didapat tergantung luas
didapatkan: kelainan struktur paru. Pada permulaan
 Inspeksi didapatkan pernafasan perkembangan penyakit umumnya tidak
statis=dinamis (atau sulit sekali) menemukan kelainan.
 Perkusi dalam batas normal
 Auskultasi dalam batas normal Kelainan paru umumnya terletak di daerah
lobus superior, terutama daerah apeks dan
segmen posterior (S1 dan S2), serta daerah
apeks lobus inferior (S6). Mycobacterium
tuberculosis merupakan kuman obligat aerob
yang menyukai daerah yang banyak oksigen.
Oleh karena itu, mycobacterium tuberculosis
senang tinggal di daerah apeks paru yang
memiliki kandungan oksigen tinggi Kelainan
yang didapatkan bisa berupa suara napas
tambahan seperti ronki basah, kasar, dan
nyaring yang menunjukkan adanya infiltrat

62
63

pada apeks paru.

Pemeriksaan Penunjang Teori


 Laboratorium: Pemeriksaan darah rutin pada kasus TB
Leukosit 9.310/µL tidak sensitif dan juga tidak spesifik. Pada
Hitung jenis: 0/ 0,2/0/8/65/25
saat TB Paru mulai aktif akan didapatkan
(limfositosis, monositosis)
jumlah leukosit yang sedikit meninggi dengan
hitung jenis pergeseran ke kiri. Jumlah
limfosit masih di bawah normal. Laju endap
darah mulai meningkat
 Pada foto thorax AP didapatkan: Pemeriksaan standar ialah foto toraks
Soft tissue : normal PA dengan atau tanpa foto lateral. Pada
Bone : normal pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat
Trakea : di tengah
Hillus : memberi gambaran bermacam-macam
- Dekstra : normal bentuk (multiform).
- Sinistra : normal Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai
Cor : lesi TB aktif :
• Bayangan berawan / nodular di segmen
- Posisi : ditengah
- Ukuran : kesan normal apikal dan posterior lobus atas paru dan
- Bentuk : normal segmen superior lobus bawah
• Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi

63
64

Pulmo : oleh bayangan opak berawan atau nodular •


- D : infiltrat (+), kavitas (+) 4x3 cm di Bayangan bercak milier
• Efusi pleura unilateral (umumnya) atau
lapang paru tengah, fibrosis (+)
- S : normal bilateral (jarang)
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB
Hemidiafragma :
inaktif
- D : dome shaped • Fibrotik pada segmen apikal dan atau
- S : dome shaped
posterior lobus atas
Sudut costophrenicus : • Kalsifikasi atau fibrotik
- D : tajam • Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan
- S : tajam atau penebalan pleura.
Klasifikasi TB berdasarkan radiologis (luas
Kesimpulan:
lesi) :
 TB paru far-advanced lesion
-Minimal tuberculosis: terdapat sebagian
kecil infiltrat non kavitas pada satu paru
maupun kedua paru, tetapi jumlahnya tidak
melebihi satu lobus paru.
-Moderately advanced tuberculosis: ada
kavitas dengan diameter tidak lebih dari 4
cm. Jumlah infiltrat bayangan halus tidak
lebih dari satu bagian paru. Bila
bayangannya kasar tidak lebih dari sepertiga
bagian satu paru.

64
65

- Far advanced tuberculosis: terdapat infiltrat


dan kavitas yang melebihi keadaan pada
moderately advanced tuberculosis
Pada pasien ini akan dilakukan pemeriksaan Proses diagnosis TB adalah melalui
sebagai berikut untuk kepentingan diagnostik pemeriksaan sputum BTA S/P/S. Teknik
 Sputum BTA S/P/S
pewarnaan BTA ini digunakan secara rutin di
 Kultur BTA media LJ
 Gene Expert\ laboratorium termasuk di rumah sakit dan
 puskesmas. Interpretasi hasil sputum BTA
S/P/S adalah:
• 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif
→ BTA positif
• 1 kali positif, 2 kali negatif → BTA positif
• bila 3 kali negatif → BTA negatif
Teknik BTA S/P/S memang lebih cepat
namun sensitivitas dan spesifitasnya lebih
rendah (34%-80%) dibandingkan kultur. Hal
ini disebabkan dalam pemeriksaan BTA
diperlukan kurang lebih 5000-10.000
kuman/ml dahak sedangkan untuk
mendapatkan kuman positif pada biakan
yang merupakan diagnosis pasti memerlukan
sekitar 10-100 kuman/ml dahak. Sehingga

65
66

diperlukan juga pemeriksaan kultur BTA pada


media Lowenstein Jensen. Teknik ini memiliki
sensitivitas dan spesifitas yang lebih tinggi
(80-93% dan 98%). Kendalanya adalah
memerlukan waktu yang lama (lebih dari 1
minggu).
 Pasien menggunakan OAT selama 1 Tatalaksana pada pasien TB dengan
minggu dihentikan karena terdapat efek klasifikasi pasien baru TB adalah OAT
samping mayor kategori 1 yang terdiri dari 2(HRZE) / 4(HR)3.
Pengobatan akan direintroduksi bila bilirubin
<2 g/dL dan OT/PT < 5x lipat

66
67

BAB V
PENUTUP

5.1. Kesimpulan
1. Penyakit tuberkulosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri M.Tuberkulois yang dapat menginfeksi paru dan
ektraparu dengan gambaran klinis yang bermacam-macam yang tidak sama pada setiap penderitanya.
2. Penyakit tuberkulosis memiliki gejala dan tanda yang khas yang dapat muncul pada penderita dan dapat ditatalaksana
sesuai dengan keadaan klinis penderita dan dapat di eradikasi dengan baik jika penderita patuh terhadap pengobatan.

5.2. Saran
1. Mencari literatur yang lebih baru dan bermacam-macam guideline sehingga didapatkan perbandingan dari guideline-
guideline yang ada

67
68

DAFTAR PUSTAKA

Al-Salmi, Zaher. “Anti-Tuberculosis Drug-Induced Hepatitis in Renal Transplant Patient with Pulmonary and Extra Pulmonary
Tuberculosis.” Saudi Pharmaceutical Journal : SPJ 20.2 (2012): 181–185.
Ahitan Baljit, Dedicoat Martin. 2013. Guideline for the Management of Anti-Tuberculosis Therapy Induced Liver Injury. National Health
Service: UK
Alsagaff, Hood, Mukty, Abdul.2010. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru, Edisi Ke Airlangga University Press, Surabaya : 85-88, 88-96, 108-
109.
Amin, Z., Bahar, A. 2006. BAB 242 Tuberkulosis Paru in: Sudoyo, Aru (eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi IV Jilid II : 988-993.
British Thoracic Society (BTS). Guidelines for the management of community acquired pneumonia in adults: update 2009. Thorax,
2009;64(Suppl III):iii1–iii55. doi:10.1136/thx.2009.121434.
Currie, G.P; Alluri, R; Christie, G.L et al. 2007. Pneumothorax: an Update. Postgrad Med J 2007;83:461-465. Doi:
10.11136/pgmj.2007.056978
Levy, Mark L., et.al. Guideline Summary : Primary care summary of the British Thoracic Society Guidelines for the management of
community acquired pneumonia in adults: 2009 update. Primary Care Respiratory Journal (2010); 19(1): 21-27.
MacDuff, A; Arnold A; Harvey, J. 2010. Management of Spontaneous Pneumothorax: British Thoracic Society Pleural Disease Guideline
2010. Thorax 2010;65 (Suppl 2):ii18-ii31. Doi:10.1136/thx.2010.136986
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2003. Konsensus Pneumonia Komunitas. Jakarta.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2011. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.2006. Tuberkulosis, Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Citra Grafika, Jakarta :
2-4.
Sahn SA, Heffner JE. Spontaneuos pneumothorax. N Eng J Med 2000; 342: 868
Van Rie A, Warren R, Richardson M, Victor TC, Gie RP, Enarson DA, et al. Exogenous reinfection as a cause of recurrent tuberculosis
after curative treatment. N Engl J Med. Oct 14 1999;341(16):1174-9.

68
69

WHO, 2013. Global Tuberculosis Report 2013, WHO Press, Switzerland, p.1-2; 11; 29

69

Anda mungkin juga menyukai