RESPONSI KASUS
Oleh:
Pembimbing:
2018
1
2
RESPONSI KASUS
Oleh:
Pembimbing:
2018
2
3
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL....................................................................................... 1
DAFTAR ISI................................................................................................. 2
BAB I PENDAHULUAN............................................................................ 4
2.1 Tuberkulosis............................................................................ 6
2.1.1.Definisi
6
2.1.2.Epidemiologi
6
2.1.3.Patofisiologi
8
2.1.4.Klasifikasi Tuberkulosis
11
2.1.5.Penegakan Diagnosis
13
2.1.6.Tatalaksana
18
2.1.7.Komplikasi dan Prognosis
23
3.1 Identitas.................................................................................. 27
3
4
3.2 Anamnesis.............................................................................. 27
3.3 Pemeriksaan Fisik................................................................... 28
3.4 Pemeriksaan Penunjang......................................................... 30
3.5 Problem Oriented Medical Record.......................................... 33
BAB IV PEMBAHASAN.............................................................................. 35
BAB V PENUTUP..................................................................................... 41
5.1 KESIMPULAN......................................................................... 41
5.2 SARAN................................................................................... 41
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 42
4
5
BAB I
PENDAHULUAN
5
6
penting bagi kita untuk memahami penyakit ini dengan lebih baik agar
penegakan diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat dapat dilakukan lebih
awal sehingga menurunkan angka morbiditas dan mortalitasnya.
Hepatotosik adalah efek samping mayor dari terapi tuberculosis (Al-Salmi,
2012). Tak jarang pasien TB datang dengan keluhan tersebut. Selain itu, TB
dalam Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) 2012 termasuk dalam
tingkat kemampuan 4, yang berarti sebagai dokter umum harus mampu
membuat diagnosis klinik dan memberikan penatalaksanaan secara mandiri
dan paripurna.
1.2 Tujuan
1. Memahami definisi, klasifikasi, epidemiologi, etiologi, pathogenesis dan
gambaran klinis dari tuberkulosis.
2. Meningkatkan kemampuan diagnosis, dan penatalaksanaan dari
tuberkulosis.
1.3 Manfaat
1. Dapat memberikan tambahan khasanah ilmu pengetahuan tentang
tuberkulosis
2. Dapat menjadi referensi dan rujukan untuk mendiagnosis serta
melakukan penatalaksanaan tuberkulosis
6
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tuberkulosis
2.1.1 Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit infeksius yang disebabkan oleh basil
Mycobacterium tuberculosis. Bakteri tersebut secara khusus dapat
mempengaruhi paru (TB pulmoner), tetapi dapat mempengaruhi tempat
lain juga (TB ekstrapulmoner). Penyakit ini menyebar melalui udara ketika
orang yang sakit TB pulmoner mengeluarkan bakteri tersebut, contohnya
adalah ketika batuk. Secara keseluruhan, sebagian kecil orang yang
terinfeksi dengan M. Tuberculosis akan berkembang menjadi penyakit TB.
Bagaimanapun juga, kemungkinan untuk berkembang menjadi TB lebih
tinggi pada pria daripada wanita, dan mempengaruhi kebanyakan pada
dewasa tepatnya dalam usia produktif (WHO, 2014). Tuberkulosis (TB)
adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis
complex. Infeksi Mycobacterium tuberculosis complex dapat menyerang
berbagai jaringan di tubuh manusia, namun paling sering pada parenkim
paru (TB paru). TB pada jaringan lain di luar parenkim paru disebut TB
ekstra-paru (Hopewell et al, 2016).
2.1.2 Epidemiologi
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat
yang penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization
(WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai Global Emergency.
Laporan WHO tahun 2013 menyatakan bahwa terdapat 8,6 juta kasus
baru tuberkulosis pada tahun 2013, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA
(Basil Tahan Asam) positif. Setiap detik ada satu orang yang terinfeksi
tuberkulosis di dunia ini, dan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi
kuman tuberkulosis. Jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara
yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari
jumlah penduduk, terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di Afrika
7
8
hampir 2 kali lebih besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000
pendduduk.
Di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) tahun 2001 didapatkan bahwa penyakit pada sistem
pernapasan merupakan penyebab kematian kedua setelah sistem
sirkulasi. Pada SKRT 1992 disebutkan bahwa penyakit TB merupakan
penyebab kematian kedua, sementara SKRT 2001 menyebutkan
bahwa tuberkulosis adalah penyebab kematian pertama pada
golongan penyakit infeksi. Sementara itu dari hasil laporan yang
masuk ke subdit TB P2MPL Departemen Kesehatan tahun 2001,
terdapat 50.443 penderita BTA positif yang diobati (23% dari jumlah
perkiraan penderita BTA positif ). Tiga perempat dari kasus TB ini
berusia 15 – 49 tahun.
Global Tuberculosis Report tahun 2014 dari WHO telah
melaporkan hasil dari jumlah kasus TB dan kematiannya dari berbagai
macam negara termasuk Indonesia. Laporan tersebut secara ringkas
dapat dilihat pada gambar 2.1 dan tabel 2.1
Tabel 2.1 Perkiraan Epidemiologi Penyakit TB Seluruh Dunia
8
9
9
10
2.1.3 Patofisiologi
2.1.3.1 Tuberkulosis Primer
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas
akan bersarang di jaringan paru, dimana ia akan membentuk
suatu sarang pneumonik, yang disebut sarang primer atau afek
primer. Sarang primer ini mugkin timbul di bagian mana saja
dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang
primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening
menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh
pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis
regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis
regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini
akan mengalami salah satu dari hal berikut :
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali
(restitution ad integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain
sarang Ghon, garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
3. Menyebar dengan cara :
a. Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya Salah satu
contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian
dimana terdapat penekanan bronkus, biasanya bronkus
10
11
11
12
12
13
13
14
14
15
15
16
16
17
17
18
18
19
19
20
20
21
21
22
2.1.6 Tatalaksana
Dalam pengobatan TB, dikenal 2 fase, yaitu fase intensif dan
fase lanjutan.Sedangkan obat yang digunakan dibagi menjadi 2 lini,
yaitu sebagai berikut (WHO, 2010).
1. Lini pertama:
a. Isoniazid
b. Rifampisin
c. Pirazinamid
d. Streptomisin
e. Etambutol
2. Lini kedua:
a. Kanamisin
b. Amikasin
c. Kuinolon
d. Makrolid, amoksisilin + asam klavulanat (masih dalam penelitian)
e. Belum ada di Indonesia:
Kapreomisin
Sikloserin
PAS
Derivat Isoniazid dan Rifampisin
Thionamides (Ethionamide dan Prothionamide)
22
23
FaseIntensif FaseLanjutan
2-3 bulan 4 bulan
BB Harian Harian 3x/minggu
RHZE RH RH
150/75/400/275 150/75 150/150
30-37 2 2 2
38-54 3 3 3
55-70 4 4 4
>71 5 5 5
23
24
TahapLanjutan
TahapIntensif
3 kali seminggu
Tiaphari
BB RH (150/150) + E
RHZE (150/75/400/275) + S
(400)
Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu
30- 2 tab 4KDT 2 tab 4KDT 2 tab 4KDT
37 + 500 mg Streptomisin inj. + 2 tab Etambutol
38- 3 tab 4KDT 3 tab 4KDT 3 tab 4KDT
54 + 750 mg Streptomisin inj. + 3 tab Etambutol
55- 4 tab 4KDT 4 tab 4KDT 4 tab 4KDT
70 + 1000 mg Streptomisin inj. + 4 tab Etambutol
5 tab 4KDT 5 tab 4KDT 5 tab 4KDT
>71
+ 1000 mg Streptomisin inj. + 5 tab Etambutol
24
25
hepatitis
Bingung (diduga Sebagian besar Hentikan OAT
gangguan hepar OAT
berat bila
bersamaan dengan
kuning)
Gangguan Etambutol Hentikan Etambutol
penglihatan (setelah
gangguan lain
disingkirkan)
Syok, purpura, GGA Rifampisin Hentikan Rifampisin
Penurunan jumlah Streptomisin Hentikan Streptomisin
urin
Tatalaksana
EfekSamping
Obat Teruskan pengobatan, evaluasi
Minor
dosis obat
Tidak napsu makan, Pirazinamid, Berikan obat bersamaan dengan
mual, dan nyeri Rifampisin, makanan ringan atau sebelum tidur
perut Isoniazid dan anjurkan pasien untuk minum
obat dengan air sedikit demi sedikit.
Apabila terjadi muntah yang terus
menerus, atau ada tanda perdarahan
segera pikirkan sebagai efek samping
mayor dan segera rujuk
Nyeri sendi Pirazinamid Aspirin atau NSAID atau Paracetamol
Rasa terbakar, Isoniazid Piridoksindosis 100-200 mg/hari
kebas, atau selama 3 minggu. Sebagai profilaksis
kesemutan pada 25-100 mg/hari
tangan atau kaki
Mengantuk Isoniazid Yakinkan kembali, berikan obat
sebelum tidur
Urinberwarnakemer Rifampisin Yakinkan pasien dan sebaiknya
ahanatauoranye pasien diberitahu sebelum mulai
pegobatan
Sindrom flu Dosis Ubah pemberian dari intermiten ke
(demam, menggigil, Rifampisin pemberian harian
25
26
2. Indikasi relatif
a. Pasien dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang
b. Kerusakan salah satu paru atau lobus dengan keluhan
c. Sisa kavitas yang menetap
26
27
27
28
28
29
29
30
30
31
2.3 Pneumothorax
Bojan M, 2015).
Pada kondisi normal, rongga pleura tidak terisi udara sehingga paru-paru
mengembang terhadap rongga dada. Adanya udara dalam cavum pleura dapat
ditimbulkan oleh karena robekan pada pleura visceralis sehingga sehingga pada
saat inspirasi udara yang berasal dari alveolus akan memasuki cavum pleura.
31
32
Pneumothorax terjadi ketika udara dalam rongga pleura memiliki tekanan yang
lebih tinggi dari pada tekanan udara dalam paru-paru. Udara memasuki rongga
pleura melalui tempat terjadinya ruptur pleurayang bekerja seperti katub 1 arah.
Kesulitan dalam proses ekspirasi akan menimbulkan keadaan terperangkapnya
udara dalam paru yang dikenal sebagai hiperinflasi. Pada keadaan infeksi, selain
terisi udara dapat juga terisi cairan dalam rongga pleura. Selain dapat
menimbulkan terjadinya obsruksi juga dapat menimbulkan tekanan pada paru
kontralateral sehingga akn mengganggu fungsi paru tersebut (Slobodan M,
Spasik M, & Bojan M, 2015).
a. Spontan pneumothorax
Terjadi pada pasien dengan dengan penyakit paru yang mendasari Sebelumnya.
Penyakit paru yang mendasari antara lain COPD, kistik fibrosis, asma bronkial,
kelainan jaringan ikat (Marfan Syndrome), pneumonia pada penderita AIDS,
pneumonia dengan abses paru,Ca paru dan pneumothorax neonatal.
32
33
b. Pneumothorax Traumatik
Terjadi akibat adanya cedera traumatik pada dinding dada. Trauma bisa
bersifat menembus atau tumpul. Pneumothorax jenis ini dibedakan lagi menjadi
2 jenis antara lain :
1. Pneumothorax tertutup
Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka pada
dinding dada) sehingga tidak ada hubungan dengan dunia luar. Tekanan pada
rongga pleura awalnya kemungkinan positif , namun kemudia berubah menjadi
negatif karena diserap oleh jaringan paru disekitarnya. Pada kondisi tersebut
paru belum mengalami re-ekspansi, sehingga masih ada rongga pleura,
meskipun tekanan didalamnya sudah kembali negatif.
2. Pneumothorax terbuka
Pada saat inspirasi tekanan menjadi negatif dan pada saat ekspirasi
tekanan menjadi positif. Selain itu, pada saat inspirasi mediastinum dalam
keadaaan normal, namun pada ssat ekspirasi mediastinum akan bergeser pada
dinding dada yang terluka.
33
34
3. Tension pneumothorax
- nyeri dada, didapatkan hampir pada 75-90% pasien. Nyeri dirasakan tajam
pada sisi yang sakit, terasa berat dan tertekan, serta nyeri bertambah saat
gerakan bernapas.
- berat ringannya pneumothorax bergantung juga pada keadaan paru yang lain
serta ada tidaknya jalan napas (Noppen M & De K, 2015).
a. Anamnesis
34
35
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan dengan melihat bagian dada pasien baik sisi
depan maupun belakang. Pemeriksaan ini meliputi :
1. Inspeksi :
- pada saat bernapas, akan nampak bagian dada yang sakit gerakannya
akan tertinggal.
2. Palpasi :
- pada sisi yang sakit, ruang antar iga (intercostal) dapat normal atau
melebar.
- stem fremitus akan melemah atau menghilang pada sisi yang sakit.
3. Perkusi :
4. Aukultasi :
c. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto thorax
35
36
a. bagian pneumothorax akan tampak lusen, rata dan paru yang kolaps
akan nampak garis yang merupakan tepi paru. Kadang paru yang kolaps
tidak membentuk garis, namun berbentuk lobuler sesuai dengan lobus
paru.
b. paru yang kolaps akan nampak seperti masa radioopaq yang berada
pada daerah hilus.
c. jantung dan trakea terdorong pada sisi yang sehat, diafragma mendatar
dan tertekan kebawah.
b. empisema subkutan, bila ada byangan hitam dibawah kulit. Udara yang
terjebak dimediastinum lama-lama akan naik ke daerah yang lebih tinggi.
Disekitar leher terdapat banyak jaringan ikat yang mampu di tembus
udara sehingga udara akan terjebak di daerah jarigan ikat tersebut.
3. CT-Scan thorax
36
37
c. torakotomi
d. tindakan pembedahan.
37
38
2.4.1 Definisi
2.4.2 Patofisiologi
Terjadinya resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel β-
pankreas telah diketahui sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2,
dimana kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat daripada yang
diperkirakan sebelumnya. Selain otot, liver dan sel beta, organ lain seperti:
jaringan lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi incretin), sel
alpha pancreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan
otak (resistensi insulin), seluruhnya turut berperan dalam menimbulkan
terganggunya toleransi glukosa pada DM tipe-2. DeFronzo pada tahun 2009
38
39
menyampaikan, bahwa tidak hanya otot, liver dan sel beta pankreas saja yang
berperan sentral dalam patogenesis penderita DM tipe-2 tetapi terdapat organ
lain yang berperan. Organ-organ tersebut dikenal sebagai the ominous octet
(Rudijanto et al., 2015).
2.4.3 Diagnosis
39
40
Tabel 2.7 Karakteristik pasien TB Paru dengan dan tanpa DM, data adalah
persentase, kecuali tertulis selainnya (Alisjahbana et al., 2007).
40
41
beberapa hal penting yang harus diperhatikan, yaitu interaksi antarobat TB paru
dengan obat DM dan efek samping obat.Hingga saat ini, belum ada rekomendasi
kuat berdasarkan evidence mengenai tatalaksana pengobatan TB paru pada
penderita DM maupun sebaliknya. International Union Against Tuberculosis and
Lung Disease (IUATLD) dan WHO memberikan rekomendasi terapi TB paru
pada penderita DM menggunakan regimen yang sama sesuai standar (Wulandari
dan Sugiri, 2017). Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) menyarankan
pemberian OAT dan lama pengobatan pada prinsipnya sama dengan TB paru
tanpa DM, dengan syarat gula darah harus terkontrol. Apabila gula darah tidak
terkontrol, pengobatan perlu dilanjutkan hingga 9 bulan. Tahun 2012, American
Diabetes Association (ADA) merekomendasikan target HbA1c kurang dari 7%
atau setara dengan gula darah sewaktu sebesar 130 mg/dL.
BAB III
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
Nama : Tn. Ngateno
41
42
Umur : 50 tahun
Malang
Pekerjaan : Petani
Pendidikan : SD
Status : menikah
Etnis/Suku : Jawa
Agama : Islam
No. RM : 11393848
3.2 Anamnesis
Keluhan utama : Sesak napas
Sesak napas sejak 10 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit. Pasien
mengaku tidur terganggu dan sering terbangun pada malam hari, serta memakai
2-3 bantal saat tidur, pasien lebih nyaman dengan posisi duduk atau miring ke
kiri. Memberat dengan aktivitas dan membaik dengan istirahat. Riwayat alergi
disangkal.
Pasien mengeluh batuk selama 3 bulan, dahak berwarna kuning, batuk darah
disangkal. Batuk terjadi terus menerus memberat saat malam hari. Tidak ada
demam dan keringat malam. Didiagnosa TB sejak Mei 2018 dan mendapat OAT
Pasien mengeluh nyeri dada kiri kurang lebih 10 hari menjalar sampai lengan
atas hilang timbul. Nyeri seperti ditekan. Tidak ada faktor memperberat gejala.
Pasien juga mengeluh kedua kaki bengkak sejak 2 minggu yang lalu.
42
43
Mual muntah disangkal. Buang air kecil dan buang air besar normal tidak
terdapat gangguan.
pasien.
Riwayat imunisasi :
- Pasien lupa akan status imunisasinya.
Riwayat pribadi :
- Riwayat alergi : disangkal
Olahraga : pasien jarang sekali berolahraga
Kebiasaan makan : 3 x sehari
Merokok : 2 pak perhari selama kurang lebih 30 tahun dan
Riwayat Sosial
Pasien seorang petani dan mempunyai 3 anak. Rumah pasien saling
berdekatan dengan tetangga sebelahnya. Merokok (-), alkohol (-), riwayat
kontak dengan penderita TB (-), riwayat free sex (-) IVDU (-) tato (-) transfusi
(-).
43
44
Review of System
Sistem saraf pusat: nyeri kepala (-), pelo (-), merot (-),kejang
(-), lemah ½ badan (-) , gringgingen ½ badan (-), pandangan
dobel dan kabur (-), ganguan pendengaran (-), penurunan
kesadaran (-).
Sistem kardiovaskular dan respirasi: jantung berdebar (-),
sesak nafas (+),serak (-), batuk lama (+).
Sistem gastrointestinal: mual (-) muntah (-), diare (-),
konstipasi (-), penurunan nafsu makan (+), oral ulcers (+).
Sistem genitourinari: disuria (-) discharge (-)
Sistem muskuloskeletal: nyeri sendi (-), back pain (-), kaku
sendi (-), bengkak pada anggota badan (+ , pada kedua kaki).
Dermatologi: ruam kulit (-), gatal (-).
44
Keadaan GCS 456
Umum
Nafas agak sesak
45
Kesan gizi kurang
sekret (-)
Jantung:
Paru:
Auskultasi :
46
46
47
47
48
• AP position: asimetris
• Soft tissue normal
• Bone : costae D/S normal; ICS D/S normal; vertebrae normal
• Trachea in the middle
• Cor : Site: di tengah
Size: ukuran kesan normal
Shape: normal
• Hemidiaphragm
Dekstra: dome-shaped
Sinistra: dome-shaped
• Sudut Phrenicocostalis
Dekstra: tajam
Sinistra: tajam
• Pulmo
Dekstra: infiltrate (+) dan fibrosis (+) di seluruh lapang paru kanan
kavitas 4x3 cm lapang paru tengah
Sinistra: Normal
• Conclusion : TB paru far advanced-lesion
48
49
49
3.5 Problem Oriented Medical Record
CUE AND CLUE PL Idx PDx PTx PMo & PEd
51
52
Tn. MSI/ 44 tahun/ R.29/ JKN 2. Infeksi 2.1 Gram - IV Ceftriaxone Subjektif (sesak,
paru akut Pneumoni Smear 2x1g batuk)
Anamnesis
a CAP Sputum
-VS (RR, SpO2)
- Sesak napas sejak 5 bulan yang lalu
PO:
-CXR ulang setelah
- Batuk berdahak kuning kental sejak 5
NAC tab 3 x 200 mg evakuasi cairan
bulan yang lalu
Azithromycin tab Edukasi: Rencana
Pemeriksaan Fisik
1x500mg diagnosis, perjalanan
Thorax: penyakit, prognosis
s d v v↓ - - --
52
53
Penunjang:
Tn. MSI/ 44 tahun/ R.29/ JKN 3. Infeksi 3.1 - PO: Subjektif (sesak,
paru Lung batuk)
Anamnesis OAT
kronis TB
kategori 1 -VS (RR, SpO2)
- Sesak napas sejak 5 bulan yang lalu Vitamin B6
1x10 mg Edukasi: Rencana
- Batuk berdahak kuning kental sejak 5
diagnosis, perjalanan
bulan yang lalu
penyakit, prognosis
-Tidak ada riwayat TB Paru dahulu
KIE untuk rutin
Pemeriksaan Fisik meminum obat setiap
hari sesuai dengan
Thorax:
program pengobatan
53
54
s d v v↓ - - --
Penunjang:
Sampel : Dahak
54
55
Tn. MSI/ 44 tahun/ R.29/ JKN 4. DM tipe 2on - -Diet DM Monitor : Lab GD 1/2
OAD
Anamnesis -Konsul IPD
55
56
Lab:
Leucocyte 9.310
Limfosit 65%
Monosit 25%
56
57
Lab:
Leucocyte 9.310
Limfosit 65%
Monosit 25%
57
58
BAB IV
PEMBAHASAN
58
59
59
60
Reintroduced OAT bila Bilirubin <2 gejala seperti mual muntah, nyeri perut, dan
g/dL ikterus dengan lab SGOT/SGPT meningkat
OT/PT <3x nilai normal lebih dari 3 x lipat dan/atau Bilirubin total > 2
mg/dL. Pada pasien asimptomatik OAT harus
dihentikan bila SGOT/SGPT meningkat lebih
dari 5x. OAT boleh direintroduced secara
bertahap bila bilirubin dan OT/PT kembali
normal.
60
61
Batuk kering sejak 2 bulan yang lalu, tidak Gejala klinis TB paru dapat dibagi
berdahak. Bila batuk atau cegukan dada menjadi 2 golongan yaitu gejala lokal dan
dirasakan nyeri. Nyeri dirasakan seperti gejala sistemik. Gejala respiratorik meliputi
ditusuk. Dada tidak nyeri bila pasien tidak batuk lebih dari 2 minggu, batuk darah.
batuk.Nyeri dada bila batuk Sesak nafas, dan nyeri dada. Gejala sistemik
Demam malam hari dialami oleh pasien meliputi demam, malaise, keringat malam,
sejak 3 minggu yang lalu. Demam tidak anoreksia, dan penurunan berat badan.
seberapa tinggi dan dirasakan tiap malam
hari serta menurun pada pagi hari.
Pasien pernah didiagnosis sebagai Klasifikasi TB menurut riwayat
tuberculosis di dokter umum 2 minggu yang pengobatan sebelumnya dibedakan menjadi
lalu sehingga pasien menerima obat 2, yaitu pasien baru TB dan pasien yang
racikan dalam kapsul dengan dosis 1 x 3 pernah diobati TB.
Pasien baru TB adalah pasien yang
dan pyrazinamid 3 x 500mg
belum pernah mendapatkan pengobatan TB
sebelumnya atau sudah pernah menelan
OAT namun kurang dari 1 bulan (<28 dosis)
Pasien yang pernah diobati TB adalah
61
62
62
63
63
64
64
65
65
66
66
67
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
1. Penyakit tuberkulosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri M.Tuberkulois yang dapat menginfeksi paru dan
ektraparu dengan gambaran klinis yang bermacam-macam yang tidak sama pada setiap penderitanya.
2. Penyakit tuberkulosis memiliki gejala dan tanda yang khas yang dapat muncul pada penderita dan dapat ditatalaksana
sesuai dengan keadaan klinis penderita dan dapat di eradikasi dengan baik jika penderita patuh terhadap pengobatan.
5.2. Saran
1. Mencari literatur yang lebih baru dan bermacam-macam guideline sehingga didapatkan perbandingan dari guideline-
guideline yang ada
67
68
DAFTAR PUSTAKA
Al-Salmi, Zaher. “Anti-Tuberculosis Drug-Induced Hepatitis in Renal Transplant Patient with Pulmonary and Extra Pulmonary
Tuberculosis.” Saudi Pharmaceutical Journal : SPJ 20.2 (2012): 181–185.
Ahitan Baljit, Dedicoat Martin. 2013. Guideline for the Management of Anti-Tuberculosis Therapy Induced Liver Injury. National Health
Service: UK
Alsagaff, Hood, Mukty, Abdul.2010. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru, Edisi Ke Airlangga University Press, Surabaya : 85-88, 88-96, 108-
109.
Amin, Z., Bahar, A. 2006. BAB 242 Tuberkulosis Paru in: Sudoyo, Aru (eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi IV Jilid II : 988-993.
British Thoracic Society (BTS). Guidelines for the management of community acquired pneumonia in adults: update 2009. Thorax,
2009;64(Suppl III):iii1–iii55. doi:10.1136/thx.2009.121434.
Currie, G.P; Alluri, R; Christie, G.L et al. 2007. Pneumothorax: an Update. Postgrad Med J 2007;83:461-465. Doi:
10.11136/pgmj.2007.056978
Levy, Mark L., et.al. Guideline Summary : Primary care summary of the British Thoracic Society Guidelines for the management of
community acquired pneumonia in adults: 2009 update. Primary Care Respiratory Journal (2010); 19(1): 21-27.
MacDuff, A; Arnold A; Harvey, J. 2010. Management of Spontaneous Pneumothorax: British Thoracic Society Pleural Disease Guideline
2010. Thorax 2010;65 (Suppl 2):ii18-ii31. Doi:10.1136/thx.2010.136986
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2003. Konsensus Pneumonia Komunitas. Jakarta.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2011. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.2006. Tuberkulosis, Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Citra Grafika, Jakarta :
2-4.
Sahn SA, Heffner JE. Spontaneuos pneumothorax. N Eng J Med 2000; 342: 868
Van Rie A, Warren R, Richardson M, Victor TC, Gie RP, Enarson DA, et al. Exogenous reinfection as a cause of recurrent tuberculosis
after curative treatment. N Engl J Med. Oct 14 1999;341(16):1174-9.
68
69
WHO, 2013. Global Tuberculosis Report 2013, WHO Press, Switzerland, p.1-2; 11; 29
69