PEMERIKSAAN LABORATORIUM
PENYAKIT LEPTOSPIROSIS
Disusun Oleh :
Adinda Nurfajri Mujiono
NIM (P07134122001)
Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmat-Nya maka penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Pemeriksaan Laboratorium Penyakit Leptospirosis” dengan tepat waktu. Tugas ini
merupakan langkah yang baik dari studi yang sesungguhnya.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih
kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini khususnya
kepada dosen mata kuliah Promosi Kesehatan yang telah memberikan tugas kepada
kami.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Leptospirosis telah menjadi masalah kesehatan di lingkup global
terutama ditemukan di daerah perkotaan maupun di daerah-daerah yang
kumuh. Penyakit ini dapat menyebabkan setidaknya 1,03 juta kasus dan
kematian hingga 58.900 jiwa setiap tahun yang ada di seluruh dunia (Costa et
al., 2015). Berdasarkan data International Leptospirosis Society (ILS),
leptospirosis menjadi penyumbang kematian terbesar ketiga di dunia dan
Indonesia merupakan salah satu negara dengan insidens leptospirosis yang
cukup tinggi (Pratamawati et al., 2020).
1
mendadak oleh karena itu WHO memberikan perhatian khusus terhadap
penyakit leptospirosis. Banyaknya kasus leptospirosis yang terjadi disebabkan
oleh pengetahuan dan sikap masyarakat yang kurang peduli terhadap penyakit
leptospirosis. Masyarakat banyak yang belum mengetahui tentang penyakit
leptospirosis, cara penularan, tanda dan gejala, serta cara pencegahan dan
penanggulangan leptospirosis (Sri Wahyuni Ningsih, Mateus Sakundarno Adi,
2019).
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu penyakit Leptospirosis?
2. Apa penyebab penyakit Leptospirosis?
3. Gejala apa yang dialami pengidap penyakit Leptospirosis?
4. Bagaimana cara pencegahan agar terhindar dari penyakit Leptospirosis?
5. Bagaimana pemeriksaan laboratorium untuk diagnosa penyakit
Leptospirosis?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui apa itu penyakit Leptospirosis.
2. Untuk mengetahui penyebab penyakit Leptospirosis.
3. Untuk mengetahui gejala yang dialami pengidap penyakit Leptospirosis.
4. Untuk mengetahui bagaimana cara pencegahan agar terhindar dari
penyakit Leptospirosis.
5. Untuk mengetahui bagaimana pemeriksaan laboratorium untuk diagnosa
penyakit Leptospirosis.
D. MANFAAT PENULISAN
1. Memberikan wawasan, pengetahuan, dan informasi baru mengenai
penyakit leptospirosis dan pemeriksaan laboratorium untuk diagnosa
penyakit leptospirosis bagi penulis dan pembaca.
2. Sebagai referensi bagi penulis lainnya dalam membahas penyakit
leptospirosis dan pemeriksaan laboratorium untuk diagnosa penyakit
leptospirosis.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. LEPTOSPIROSIS
3
Bakteri Leptospira memiliki dua lapis membran, berbentuk spiral,
lentur, tipis dengan tebal 0,1 µm dan panjang 10-20 µm. Pada kedua ujungnya
terdapat kait berupa flagelum periplasmik. Bergerak maju mundur dan
memutar sepanjang sumbunya. Bakteri ini dapat hidup di dalam air tawar
selama kurang lebih satu bulan dan peka terhadap asam. Dalam air laut, air
selokan dan air kemih yang pekat, bakteri ini akan cepat mati (Widjajanti,
2020).
B. ETIOLOGI LEPTOSPIROSIS
1. Reservoir (Pembawa Penyakit)
Leptospirosis adalah penyakit menular zoonosis yang disebabkan
oleh bakteri Leptospira sp. ditandai demam akut pada manusia dimana
infeksi terjadi karena adanya kontak hubungan yang dilakukan secara
langsung atau tidak akibat urin binatang yang sudah terinfeksi bakteri.
Contoh hewan yang bisa memiliki peran sebagai reservoir antara lain tikus,
anjing dan hewan ternak seperti sapi dan babi. Bakteri Leptospira hidup di
ginjal inang dan dikeluarkan melalui urin. Karena terpapar lingkungan
4
yang tercemar oleh Leptospira, penyakit ini kemungkinan besar ditularkan
ke manusia melalui tikus domestik. (Ilma et al., 2023).
2. Environment (Lingkungan)
Environment atau lingkungan adalah faktor ekstrinsik yang dapat
mempengaruhi pembawa penyakit dan memberikan kesempatan pada
pembawa penyakit untuk menyebarkan penyakit, termasuk faktor fisik,
biologi dan sosial ekonomi. Lingkungan dengan genangan air di sekitar
rumah berhubungan dengan kejadian leptospirosis, selain itu, rumah
dengan dinding dapur bukan dari tembok, tidak ada langit-langit di rumah,
tempat sampah terbuka, kondisi rumah yang tidak rapi juga berhubungan
dengan kejadian leptospirosis dan daerah yang rawan banjir. Infeksi juga
dapat terjadi jika manusia mengkonsumsi air ataupun makanan yang sudah
terkontaminasi oleh bakteri Leptospira (Widjajanti, 2020)
Penularan leptospirosis dapat terjadi akibat pengaruh dari faktor
lingkungan. Faktor lingkungan tersebut bisa berupa pengaruh dari
lingkungan abiotik maupun biotik. Adanya indeks curah hujan, suhu dan
kelembaban udara, suhu dan pH air maupun tanah, tingkat intensitas
cahaya, dan badan air alami adalah faktor lingkungan abiotik yang
5
memengaruhi penularan leptospirosis. Sedangkan jenis vegetasi, populasi
tikus dan prevalensi Leptospira pada tikus merupakan faktor lingkungan
biotik yang memengaruhi penularan leptospirosis. Pengaruh dari
lingkungan abiotik yang sesuai dengan kelangsungan hidup bakteri
Leptospira akan meningkatkan risiko infeksi penularan leptospirosis
(Nugroho et al., 2023).
6
Penyakit ini dapat menimbulkan kerusakan beberapa organ berupa kegagalan
hati akut, kegagalan ginjal akut, perdarahan pada paru- paru, miokarditis dan
meningoencephalitis yang berakhir pada kematian (Widjajanti, 2020).
7
dalam darah, cairan LCS, dan jaringan. Fase septikemia berlangsung 3-9 hari
kemudian berlanjut dengan fase imun (Dutta & Christopher, 2005; Levett,
2006; Zein, 2009).
8
Gambar 2. 5 Pencegahan Leptospirosis
Sumber : https://medium.com/@clinosolhr/leptospirosis-4999db2d16ed
9
4. Memberantas hewan-hewan pengerat (tikus) dari lingkungan pemukiman
terutama di pedesaan dan tempat-tempat rekreasi.
5. Memisahkan hewan peliharaan yang terinfeksi untuk mencegah
kontaminasi pada lingkungan manusia, tempat kerja, dan tempat rekreasi
oleh urin hewan yang terinfeksi.
6. Imunisasi kepada hewan ternak dan binatang peliharaan dapat mencegah
timbulnya penyakit, tetapi tidak mencegah terjadinya infeksi Leptospira.
7. Vaksin dapat diberikan tetapi harus mengandung strain domain dari
Leptospira di daerah tersebut.
8. Imunisasi diberikan kepada orang yang memiliki pekerjaan yang terpajan
dengan Leptospira jenis serovarian tertentu, hal ini dilakukan di Jepang,
Cina, Itali, Prancis, dan Israel.
9. Antibiotik profilaksis, doksisiklin telah terbukti efektif untuk mencegah
Leptospirosis pada anggota militer dengan memberikan dosis oral 200 mg
seminggu sekali selama masa penularan di Panama.
10. Menutupi luka dan lecet dengan pembalut kedap air terutama sebelum
bersentuhan dengan lumpur atau air yang mungkin terinfeksi oleh bakteri
Leptospira.
10
dengan membiakan Leptospira dari darah, urin dan cairan serebrospinal
(Ningsih & Wahid, 2022).
1. Mikroskopis
Spesimen dari darah, urin dan cairan LCS dapat diperiksa langsung dengan
mikroskop lapangan gelap atau pewarnaan negatif (burry), tetapi
sensitivitas dan spesifisitasnya rendah karena adanya artefak yang
menganggu pembacaan (Levett, 2006; Vinetz, 2012).
11
2. Kultur
Leptospira dapat dikultur dari spesimen darah atau urine pada media yang
mengandung serum/albumin. Kultur membutuhkan waktu yang lama (2-4
minggu) sehingga sulit diterapkan dalam penatalaksanaan pasien (Levett,
2006; Vinetz, 2012)..
3. Serologi
Pemeriksaan serologi menjadi dasar utama dalam diagnosis leptospirosis.
a. Microscopic Agglutination Test (MAT)
Pengujian MAT ini membutuhkan serum berpasangan untuk dapat
membedakan infeksi akut dan infeksi kronis. Terdapatnya peningkatan
titer empat kali dari serum berpasangan menandakan infeksi
leptospirosis akut. Selain membutuhkan serum berpasangan, aglutinasi
pada uji MAT harus dilihat di bawah mikroskop lapang gelap sehingga
membutuhkan tenaga terampil untuk melakukannya. Kelemahan MAT
yaitu memerlukan fasilitas biakan untuk memelihara Leptospira,
pemeriksaannya sulit dan lama. Keuntungan MAT antara lain dapat
memberikan gambaran umum tentang serovar yang terdapat di dalam
populasi dan merupakan uji yang cukup baik untuk serosurvei
epidemiologi (Depkes RI, 2003; Aslantas, 2005).
12
b. IgM-ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay)
Uji ELISA sangat popular dapat mendeteksi IgM dan kadang-kadang
juga digunakan untuk mendeteksi IgG. Terdapatnya IgM merupakan
pertanda adanya infeksi baru Leptospira atau infeksi yang terjadi
beberapa minggu terakhir; sedangkan IgG untuk infeksi terdahulu. Uji
ELISA cukup sensitif untuk mendeteksi infeksi oleh Leptospira dengan
cepat pada fase akut. Uji ini dapat mendeteksi IgM yang muncul pada
minggu pertama sakit sehingga cukup efektif untuk mendiagnosis
penyakit. Kelemahan uji ELISA antara lain kurang spesifik bila
dibandingkan dengan uji MAT karena dapat terjadi reaksi silang
dengan penyakit lain dan tidak dapat menentukan jenis serovar
sehingga harus dikonfirmasi dengan uji MAT (Depkes RI, 2003; Dohe
et al., 2009).
c. IgM Dipstick assay (LDS)/Lepto Dipstick Assay
Lepto Dipstick Assay dapat mendeteksi IgM yang spesifik Leptospira
dalam serum. Metode ini sederhana, relatif praktis dan cepat karena
hanya memerlukan waktu antara 2,5 sampai 3 jam. Peralatannya terdiri
dari tabung reaksi, reagen, pita celup dipstick dan sentrifus untuk
memproses serum pasien. Pemeriksaan ini tidak memerlukan tempat
khusus seperti MAT dan relatif aman karena menggunakan antigen
Leptospira yang telah difiksasi dan dilekatkan pada pita celup. Hasil
evaluasi Lepto Dipstick Assay di 22 negara termasuk Indonesia
menunjukkan sensifitas 84,5%, spesifisitas 87,5%. Uji ini tersedia
secara komersial (Depkes RI, 2003; Setiawan, 2008; Dohe et al., 2009).
d. Lepto Tek Dri-Dot Uji
Uji Leptotek Dri-Dot berdasarkan aglutinasi partikel lateks, harganya
tidak mahal, pengerjaannya praktis dan cepat karena hasil dapat dilihat
dalam 30 detik. Uji ini merupakan reaksi aglutinasi untuk mendeteksi
antibodi aglutinasi seperti MAT. Pemeriksaan dilakukan dengan
meneteskan 10 μl serum menggunakan pipet pada kertas aglutinasi dan
dicampur dengan reagen. Hasil dibaca setelah 30 detik dan dinyatakan
positif bila ada aglutinasi (Depkes RI, 2003; Dohe et al., 2009).
13
e. Indirect Hemagglutination Assay (IHA)
Pemeriksaan Indirect Hemagglutination Assay dikembangkan oleh
Communicable Disease Control (CDC) dan tersedia secara komersial.
Pemeriksaan ini mempunyai sensitifitas 79% dan spesifisitasnya 95,8%.
IHA merupakan salah satu metode deteksi yang praktis, namun reagen-
reagen yang digunakan memiliki masa pakai yang singkat. (Bajani et
al., 2003).
14
5. Real Time Polymerase Chain Reaction (PCR)
Real-time PCR merupakan suatu metode analisis yang dikembangkan dari
reaksi PCR. Dalam ilmu biologi molekuler, real-time PCR juga dikenal
sebagai quantitative real time Polymerase Chain Reaction Q-
PCR/qPCR/rPCR) atau kinetic polymerase chain merupakan suatu teknik
PCR di laboratorium untuk mengamplifikasi sekaligus menghitung
(kuantifikasi) jumlah target molekul DNA hasil amplifikasi tersebut.
Keunggulan real-time PCR dibandingkan dengan teknik PCR konvensional
antara lain sensitifitas dan spesifisitas yang lebih tinggi dan waktu analisis
yang lebih singkat karena tidak perlu dilakukan elektroforesis (Ningsih &
Wahid, 2022).
15
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh infeksi
dari spesies Leptospira. Tikus adalah reservoir utama dalam daur penularan
leptospirosis ke manusia. Environment atau lingkungan adalah faktor
ekstrinsik yang dapat mempengaruhi pembawa penyakit dan memberikan
kesempatan pada pembawa penyakit untuk menyebarkan penyakit, termasuk
faktor fisik, biologi dan sosial ekonomi.
B. SARAN
Makalah ini tentunya masih banyak memiliki kesalahan dan
kekurangan. Oleh karena itu, penulis berharap agar nanti ada penulis
selanjutnya yang bisa menyempurnakan makalah ini dan tentunya mengacu
kepada sumber-sumber yang terpercaya
16
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, H., Chusna, D., & Syafriadi, M. (2023). Determinan Aspek Lingkungan
Yang Berisiko Terjadinya Penularan Bakteri Leptospira sp Dari Tikus
Terkonfirmasi di Kabupaten Bondowoso. 22(1), 1–12.
Anggraini, D. (2021). Pemeriksaan Laboratorium Untuk Diagnosis Leptospirosis.
Jurnal Kesehatan Saintika Meditory, 4(2), 8.
https://doi.org/10.30633/jsm.v4i2.1225
Aslantaş, Ö., & Özdemir, V. (2005). Determination of the seroprevalence of
leptospirosis in cattle by MAT and ELISA in Hatay, Turkey. Turkish Journal
of Veterinary and Animal Sciences, 29, 1019–1024.
Aziz, T., & Suwandi, J. F. (2019). Leptospirosis : Intervensi Faktor Resiko
Penularan. Medical Journal of Lampung University, 8(1), 232–236.
http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/majority/article/view/2325/2292.
Bajani, M. D., Ashford, D. A., Bragg, S. L., Woods, C. W., Aye, T., Spiegel, R. A.,
Plikaytis, B. D., Perkins, B. A., Phelan, M., Levett, P. N., & Weyant, R. S.
(2003). Evaluation of four commercially available rapid serologic tests for
diagnosis of leptospirosis. Journal of Clinical Microbiology, 41(2), 803–809.
Costa, F., Hagan, J. E., Calcagno, J., Kane, M., Torgerson, P., Martinez-Silveira,
M. S., Stein, C., Abela-Ridder, B., & Ko, A. I. (2015). Global Morbidity and
Mortality of Leptospirosis: A Systematic Review. PLoS Neglected Tropical
Diseases, 9(9), 0–1. https://doi.org/10.1371/journal.pntd.0003898
Dohe, V. B., Pol, S. S., Karmarkar, A. P., & Bharadwaj, R. S. (2009). Two test
strategy for the diagnosis of leptospirosis. Bombay Hospital Journal, 51(1),
18–21.
Dutta TK & Christopher M, 2005, Leptospirosis-An Overview, JAPI, 53: 545-51.
Fraga,T.R., Carvalho E., Isaac L, Barbosa, A. . (2014). Leptospira and
Leptospirosis. In Molecular Medical Microbiology (Second Ed, pp. 1973–
1990).
Ilma, K., Martini, M., & Raharjo, M. (2023). Literatur Review : Faktor Kondisi
Lingkungan dengan Kejadian Leptospirosis. VIII(1).
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Buku Pedoman Penyelidikan dan
Penanggulangan Kejadian Luar Biasa Penyakit Menular dan Keracunan
Pangan.
Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2011. 1-97
Ningsih, I., & Wahid, M. H. (2022). Leptospirosis Ditinjau dari Aspek
Mikrobiologi. EKOTONIA: Jurnal Penelitian Biologi, Botani, Zoologi Dan
Mikrobiologi, 7(1), 31–43. https://doi.org/10.33019/ekotonia.v7i1.3141
Nugroho, A., Adi, M. S., & Nurjazuli, N. (2023). Analisis Faktor Lingkungan
Abiotik Sebagai Sumber Penularan Leptospirosis di Indonesia: Literature
Review. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat, 12(01), 57–64.
17
https://doi.org/10.33221/jikm.v12i01.1821
Pratamawati DA, Widjajanti W, Handayani FD, Trapsilowati W, Lestari WD.
Strategi Penguatan Peran Lintas Sektor untuk Intervensi Lingkungan
dalam Sistem Kewaspadaan Dini Leptospirosis di Kota Semarang Tahun
2017-2018. Media Penelit dan Pengemb Kesehat [Internet]. 2020 May
31;30(1):75–88. Available from :
https://ejournal2.litbang.kemkes.go.id/index.php/mpk/article/view/1665
Purnama, S. E., Hartono, B., Studi, P., Ilmu, M., Masyarakat, K., Masyarakat, F.
K., & Indonesia, U. (2022). Faktor Risiko Kejadian Leptospirosis Di
Indonesia.6.http://tanjungpriok.karantina.pertanian.go.id/?faktor_risiko_keja
dian_leptospirosis_di_indonesia&tab=tulisan&id=87
Rohman, A. F. N., Utomo, B., & Firdaust, M. (2021). Eksplorasi Bakteri Leptospira
Pada Tikus Di Daerah Leptospirosis Di Kecamatan Cilongok Kabupaten
Banyumas. Buletin Keslingmas, 40(3), 1–6.
Sri Wahyuni Ningsih, Mateus Sakundarno Adi, L. D. S. (2019). Systematic Review
Metode Intervensi Pengetahuan Masyarakat Dalam Pengendalian Kasus
Leptospirosis Di Wilayah Kota Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat (e-
Journal), 7(1), 211–220.
Vinetz JM, 2012, Leptospirosis in Infectious Diseases, Harrison’s Principles of
Internal Medicine, 18th Edition, Editor: Longo DL, Fauci AS, Kasper DL,
Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J, USA: Mc-GrawHill, 1392-6
Widjajanti, W. (2020). Epidemiologi, diagnosis, dan pencegahan Leptospirosis.
Journal of Health Epidemiology and Communicable Diseases, 5(2), 62–68.
https://doi.org/10.22435/jhecds.v5i2.174
Zein U, 2009, Leptospirosis dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V, Editor:
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, Jakarta : Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI.
18