Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
PENYAKIT LEPTOSPIROSIS

Mata Kuliah : Promosi Kesehatan


Dosen Pengampu : Erfan Roebiakto, SKM., MS.

Disusun Oleh :
Adinda Nurfajri Mujiono
NIM (P07134122001)

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS


PROGRAM DIPLOMA TIGA
JURUSAN ANALIS KESEHATAN
POLTEKKES KEMENKES BANJARMASIN
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmat-Nya maka penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Pemeriksaan Laboratorium Penyakit Leptospirosis” dengan tepat waktu. Tugas ini
merupakan langkah yang baik dari studi yang sesungguhnya.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih
kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini khususnya
kepada dosen mata kuliah Promosi Kesehatan yang telah memberikan tugas kepada
kami.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan baik pada teknis penulisan


maupun materi, mengingat akan kemampuan yang penulis miliki. Untuk itu kritik
dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan
pembuatan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan
pihak lain yang berkepentingan pada umumnya.

Banjarbaru, Maret 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii


DAFTAR ISI ..................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG ........................................................................... 1
B. RUMUSAN MASALAH ....................................................................... 2
C. TUJUAN PENULISAN ......................................................................... 2
D. MANFAAT PENULISAN ..................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................... 3
A. LEPTOSPIROSIS .................................................................................. 3
B. ETIOLOGI LEPTOSPIROSIS ............................................................... 4
1. Reservoir (Pembawa Penyakit) .............................................................. 4
2. Environment (Lingkungan) .................................................................... 5
C. MANIFESTASI KLINIS LEPTOSPIROSIS .......................................... 6
D. CARA PENCEGAHAN LEPTOSPIROSIS ........................................... 8
E. PEMERIKSAAN LABORATORIUM LEPTOSPIROSIS ................... 10
1. Mikroskopis ......................................................................................... 11
2. Kultur .................................................................................................. 12
3. Serologi ............................................................................................... 12
4. Rapid Diagnostic Test (RDT)............................................................... 14
5. Real Time Polymerase Chain Reaction (PCR)...................................... 15
BAB III PENUTUP .......................................................................................... 16
A. KESIMPULAN ................................................................................... 16
B. SARAN ............................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 17

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2. 1 Bakteri Leptospira ........................................................................... 3


Gambar 2. 2 Rattus sp. ......................................................................................... 5
Gambar 2. 3 Banjir dengan Sanitasi Buruk ........................................................... 6
Gambar 2. 4 Gejala Leptospirosis ........................................................................ 7
Gambar 2. 5 Pencegahan Leptospirosis ................................................................ 9
Gambar 2. 6 Bakteri Leptospira pada Mikroskop ............................................... 11
Gambar 2. 7 Kultur Leptospira .......................................................................... 12
Gambar 2. 8 Leptospira Rapid ........................................................................... 14

iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Leptospirosis telah menjadi masalah kesehatan di lingkup global
terutama ditemukan di daerah perkotaan maupun di daerah-daerah yang
kumuh. Penyakit ini dapat menyebabkan setidaknya 1,03 juta kasus dan
kematian hingga 58.900 jiwa setiap tahun yang ada di seluruh dunia (Costa et
al., 2015). Berdasarkan data International Leptospirosis Society (ILS),
leptospirosis menjadi penyumbang kematian terbesar ketiga di dunia dan
Indonesia merupakan salah satu negara dengan insidens leptospirosis yang
cukup tinggi (Pratamawati et al., 2020).

Indonesia hingga saat ini masih sering ditemukan kasus leptospirosis.


Musim hujan menyebabkan banjir dihampir sebagian kawasan di Indonesia.
Banjir yang terjadi tentunya membawa dampak yang sangat merugikan bagi
semua aspek kehidupan manusia yang salah satunya adalah timbulnya berbagai
macam penyakit pasca banjir. Perubahan lingkungan akibat banjir akan
mengakibatkan penyebaran leptospirosis (penyakit kencing tikus). Hal ini
diakibatkan karena urin hewan yang terinfeksi Leptospira akan terbawa oleh
genangan air dan mencemari lingkungan rumah (Ningsih & Wahid, 2022).
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Jatim, kasus leptospirosis pada
2022 tercatat 606 kasus. Tahun ini, terhitung hingga 5 Maret 2023, jumlah
kasus leptospirosis tercatat 249 kasus dengan 9 kasus kematian. Dari total 249
kasus itu, terbanyak ada di Pacitan, yakni 204 kasus dengan 6 kasus kematian,
Kabupaten Probolinggo 3 kasus dengan 2 kasus kematian, Gresik 3 kasus,
Lumajang 8 kasus, Kota Probolinggo 5 kasus dengan 1 kasus kematian,
Sampang 22 kasus, dan Tulungagung 4 kasus (Uswah, 2023).

Leptospirosis menjadi salah satu masalah kesehatan di dunia,


khususnya di negara-negara yang mempunyai iklim tropis dan sub tropis
dengan tingkat curah hujan tinggi. Di negara yang beriklim tropis kejadian
leptospirosis berkisar antara 10-100 kejadian tiap 100 ribu penduduk per tahun
(WHO, 2003). Pada saat ini prevalensi penyakit leptospirosis masih tinggi di
berbagai wilayah Indonesia dan dapat mengakibatkan kematian secara

1
mendadak oleh karena itu WHO memberikan perhatian khusus terhadap
penyakit leptospirosis. Banyaknya kasus leptospirosis yang terjadi disebabkan
oleh pengetahuan dan sikap masyarakat yang kurang peduli terhadap penyakit
leptospirosis. Masyarakat banyak yang belum mengetahui tentang penyakit
leptospirosis, cara penularan, tanda dan gejala, serta cara pencegahan dan
penanggulangan leptospirosis (Sri Wahyuni Ningsih, Mateus Sakundarno Adi,
2019).

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu penyakit Leptospirosis?
2. Apa penyebab penyakit Leptospirosis?
3. Gejala apa yang dialami pengidap penyakit Leptospirosis?
4. Bagaimana cara pencegahan agar terhindar dari penyakit Leptospirosis?
5. Bagaimana pemeriksaan laboratorium untuk diagnosa penyakit
Leptospirosis?

C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui apa itu penyakit Leptospirosis.
2. Untuk mengetahui penyebab penyakit Leptospirosis.
3. Untuk mengetahui gejala yang dialami pengidap penyakit Leptospirosis.
4. Untuk mengetahui bagaimana cara pencegahan agar terhindar dari
penyakit Leptospirosis.
5. Untuk mengetahui bagaimana pemeriksaan laboratorium untuk diagnosa
penyakit Leptospirosis.

D. MANFAAT PENULISAN
1. Memberikan wawasan, pengetahuan, dan informasi baru mengenai
penyakit leptospirosis dan pemeriksaan laboratorium untuk diagnosa
penyakit leptospirosis bagi penulis dan pembaca.
2. Sebagai referensi bagi penulis lainnya dalam membahas penyakit
leptospirosis dan pemeriksaan laboratorium untuk diagnosa penyakit
leptospirosis.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. LEPTOSPIROSIS

Gambar 2. 1 Bakteri Leptospira


Sumber : http://newtstudios.com/Leptospira-bacteria

Leptospirosis pada manusia pertama kali ditemukan oleh Van der


Scheer pada tahun 1892 di Indonesia, namun isolasi baru dapat dilakukan pada
tahun 1922 oleh Vervoort (Widjajanti, 2020). Leptospirosis atau Weills
Disease adalah zoonosis yang disebabkan oleh bakteri genus Leptospira yang
dapat menginfeksi hewan vertebrata dan manusia (Ahmadi et al., 2023).
Bakteri Leptospira bersifat komensal pada ginjal mamalia, termasuk tikus.
Manusia dapat terkena leptospirosis jika ada bakteri Leptospira yang masuk ke
dalam tubuhnya melalui luka pada kulit maupun mukosa tubuh (Purnama et al.,
2022).

Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh infeksi


dari spesies Leptospira, famili Leprospiraceae ordo Spirochaetales yang
patogen, bermanifestasi klinis sebagai demam akut. Leptospira merupakan
bakteri Spirochaeta yang sangat halus, berlilit padat yang bersifat obligat aerob,
yang ditandai oleh gerakan bertipe flekuosa yang unik. Genus ini dibagi
menjadi 2 spesies, Leptospira interrogans yang patogenik dan Leptospira
biflexa yang hidup bebas (Aziz & Suwandi, 2019).

3
Bakteri Leptospira memiliki dua lapis membran, berbentuk spiral,
lentur, tipis dengan tebal 0,1 µm dan panjang 10-20 µm. Pada kedua ujungnya
terdapat kait berupa flagelum periplasmik. Bergerak maju mundur dan
memutar sepanjang sumbunya. Bakteri ini dapat hidup di dalam air tawar
selama kurang lebih satu bulan dan peka terhadap asam. Dalam air laut, air
selokan dan air kemih yang pekat, bakteri ini akan cepat mati (Widjajanti,
2020).

Berdasarkan strainnya, bakteri Leptospira dibedakan menjadi strain


yang patogen dan non- patogen. Leptospira patogen dikenal sebagai L.
interrogans, sedangkan yang non-patogen dikenal sebagai L. biflexa. Bakteri
Leptospira memiliki lebih dari 250 buah serovar patogen yang terbagi ke dalam
25 serogrup.16 Beberapa serovar yang ditemukan selama ini di Indonesia
antara lain adalah serovar hardjo, tarassovi, pomona, australis, rachmati,
bataviae, djasiman, icterohamorragie, hebdomadis, autumnalis, dan canicola
(Widjajanti, 2020).

Leptospirosis adalah penyakit yang disebaban oleh infeksi bakteri


Leptospira berbentuk spiral yang menyerang hewan dan manusia dan dapat
hidup di air tawar selama lebih kurang 1 bulan. Kuman ini hidup dan
berkembangbiak di tubuh hewan. Leptospira menyukai tinggal di permukaan
air dalam kurun waktu yang lama dan siap menginfeksi manusia apabila kontak
dengannya. Bila infeksi terjadi, maka pada tubuh penderita dalam waktu 6-12
hari akan terbentuk zat kebal aglutinasi (Rohman et al., 2021).

B. ETIOLOGI LEPTOSPIROSIS
1. Reservoir (Pembawa Penyakit)
Leptospirosis adalah penyakit menular zoonosis yang disebabkan
oleh bakteri Leptospira sp. ditandai demam akut pada manusia dimana
infeksi terjadi karena adanya kontak hubungan yang dilakukan secara
langsung atau tidak akibat urin binatang yang sudah terinfeksi bakteri.
Contoh hewan yang bisa memiliki peran sebagai reservoir antara lain tikus,
anjing dan hewan ternak seperti sapi dan babi. Bakteri Leptospira hidup di
ginjal inang dan dikeluarkan melalui urin. Karena terpapar lingkungan

4
yang tercemar oleh Leptospira, penyakit ini kemungkinan besar ditularkan
ke manusia melalui tikus domestik. (Ilma et al., 2023).

Gambar 2. 2 Rattus sp.


Sumber : http://www.naturephoto-cz.com/rattus-rattus-photo_lat-17941.html

Tikus adalah reservoir utama dalam daur penularan leptospirosis


ke manusia. Reservoir yang ditemukan tahan terhadap infeksi bakteri
Leptospira adalah tikus got (Rattus norvegicus), tikus kebun / ladang
(Rattus exulans) dan tikus rumah asia (Rattus tanezumi). Tikus–tikus
tersebut menjadi sumber penularan pada manusia dan hewan (Ahmadi et
al., 2023). Tikus yang terinfeksi oleh bakteri Leptospira terkadang tampak
dalam keadaan sehat, karena bakteri ini bersifat komensal terhadap
binatang inangnya (Widjajanti, 2020).

2. Environment (Lingkungan)
Environment atau lingkungan adalah faktor ekstrinsik yang dapat
mempengaruhi pembawa penyakit dan memberikan kesempatan pada
pembawa penyakit untuk menyebarkan penyakit, termasuk faktor fisik,
biologi dan sosial ekonomi. Lingkungan dengan genangan air di sekitar
rumah berhubungan dengan kejadian leptospirosis, selain itu, rumah
dengan dinding dapur bukan dari tembok, tidak ada langit-langit di rumah,
tempat sampah terbuka, kondisi rumah yang tidak rapi juga berhubungan
dengan kejadian leptospirosis dan daerah yang rawan banjir. Infeksi juga
dapat terjadi jika manusia mengkonsumsi air ataupun makanan yang sudah
terkontaminasi oleh bakteri Leptospira (Widjajanti, 2020)
Penularan leptospirosis dapat terjadi akibat pengaruh dari faktor
lingkungan. Faktor lingkungan tersebut bisa berupa pengaruh dari
lingkungan abiotik maupun biotik. Adanya indeks curah hujan, suhu dan
kelembaban udara, suhu dan pH air maupun tanah, tingkat intensitas
cahaya, dan badan air alami adalah faktor lingkungan abiotik yang

5
memengaruhi penularan leptospirosis. Sedangkan jenis vegetasi, populasi
tikus dan prevalensi Leptospira pada tikus merupakan faktor lingkungan
biotik yang memengaruhi penularan leptospirosis. Pengaruh dari
lingkungan abiotik yang sesuai dengan kelangsungan hidup bakteri
Leptospira akan meningkatkan risiko infeksi penularan leptospirosis
(Nugroho et al., 2023).

Gambar 2. 3 Banjir dengan Sanitasi Buruk


Sumber : https://www.tribunnews.com/kesehatan/2020/01/03/waspada-3-penyakit-menyerang-
saat-banjir-kenali-leptospirosis-yang-disebabkan-oleh-urine-tikus

Curah hujan yang tinggi akan meningkatkan paparan bakteri


Leptospira pada manusia lewat air dan tanah yang terkontaminasi. Iklim
yang sesuai untuk perkembangan bakteri Leptospira adalah udara yang
hangat, tanah yang basah dan pH alkalis, kondisi ini banyak ditemukan di
negara beriklim tropis. Air kencing tikus terbawa aliran air kemudian
masuk ke tubuh manusia melalui permukaan kulit yang terluka, selaput
lendir mata dan hidung (Rohman et al., 2021).

C. MANIFESTASI KLINIS LEPTOSPIROSIS


Manusia yang terkena leptospirosis akan mengalami gejala mulai dari
gejala ringan seperti influenza hingga kondisi berat seperti gagal ginjal dan
hati, gangguan paru hingga kematian (Nugroho et al., 2023).

Gejala klinis leptospirosis setelah masa inkubasi berupa demam,


menggigil, sakit kepala, nyeri otot, batuk, rasa tidak nyaman di badan, muntah,
nyeri pada perut, diare, sufusi konjungtiva, jaundice, urin berwarna seperti teh,
oliguria, anuria, batuk berdarah, perdarahan pada kulit, pusing dan lesu.

6
Penyakit ini dapat menimbulkan kerusakan beberapa organ berupa kegagalan
hati akut, kegagalan ginjal akut, perdarahan pada paru- paru, miokarditis dan
meningoencephalitis yang berakhir pada kematian (Widjajanti, 2020).

Manifestasi klinis Leptospirosis sangat bervariasi mulai dari infeksi


subklinik, demam anikterik ringan seperti influenza, sampai dengan yang berat
yaitu penyakit weil (weil’s disease atau weil’s syndrome). Gejala yang timbul
akibat infeksi Leptospira antara lain demam, menggigil, sakit kepala, malaise,
muntah, konjungtivitis (conjunctival suffusion) tanpa disertai eksudat
serous/purulen, dan rasa nyeri pada otot terutama otot betis (nyeri pada daerah
gastrocnemius) dan otot punggung. Gejala-gejala di atas biasanya akan tampak
antara 4-9 hari (Aziz & Suwandi, 2019).

Gambar 2. 4 Gejala Leptospirosis


Sumber : http://physio-pedia.com/Leptospirosis

Manifestasi klinis Leptospirosis tergantung pada strain Leptospira yang


menginfeksi, jumlah bakteri yang masuk, dan status imun pejamu. Manifestasi
klinis leptospirosis umumnya dibagi menjadi dua yaitu leptospirosis anikterik
dan sindrom Weil. Leptospirosis anikterik merupakan bentuk leptospirosis
yang ringan dan paling sering terjadi. Leptospirosis anikterik dapat sembuh
sendiri. Leptospirosis anikterik dibagi dalam dua fase yaitu fase septikemia dan
fase imun (Ministry Of Health Malaysia, 2011) (Anggraini, 2021).

Gejala pada fase septikemia yaitu demam mendadak, menggigil, sakit


kepala, mialgia, ruam kulit, mual, muntah, conjunctival suffusion, dan lemah.
Demam dapat mencapai 40ºC dan bersifat remiten. Nyeri otot biasanya
dirasakan pada otot betis, abdomen, dan paraspinal. Leptospira akan ditemukan

7
dalam darah, cairan LCS, dan jaringan. Fase septikemia berlangsung 3-9 hari
kemudian berlanjut dengan fase imun (Dutta & Christopher, 2005; Levett,
2006; Zein, 2009).

Infeksi Leptospira fase imun ditandai dengan munculnya antibodi IgM


dalam serum dan Leptospira dieliminasi dari tubuh kecuali pada ginjal, mata,
dan otak yang bertahan lebih lama (mingguan sampai bulanan). Leptospira
yang terdapat pada ginjal akan keluar melalui urin (leptospiruria). Pasien akan
mengalami demam dan gejala konstitusional lainnya. Komplikasi yang muncul
pada fase ini antara lain meningitis, uveitis, dan pneumonia (Duta &
Christopher, 2005; Levett, 2006; Zein, 2009).

Leptospirosis ikterik (sindrom Weil) biasanya disebabkanL.


icterohaemorrhage. Manifestasi klinis utama sindrom Weil yaitu demam tinggi
dan ikterik. Sejumlah kelainan organ ditemukan pada keadaan ini berupa
disfungsi renal, paru, jantung, perdarahan, hepatomegali dan multi organ
failure (MOF) (Dutta & Christopher, 2005; CDC, 2015).

D. CARA PENCEGAHAN LEPTOSPIROSIS


Salah satu upaya pencegahan dan pengendalian kasus leptospirosis
adalah pemberian intervensi pengetahuan masyarakat. Pelaksanaan intervensi
pengetahuan masyarakat merupakan upaya primer untuk mencegah penularan
leptospirosis pada manusia. Adanya pengetahuan tentang leptospirosis maka
tindakan pencegahan atau pengendalian leptospirosis dapat dilaksanakan
secara optimal. Intervensi pengetahuan masyarakat dilaksanakan dengan
berbagai metode baik secara langsung atau tidak langsung (Sri Wahyuni
Ningsih, Mateus Sakundarno Adi, 2019).

Pencegahan leptospirosis dilakukan dengan meminimalisir masuknya


bakteri ini ke tubuh manusia dengan memiliki perilaku hidup bersih dan sehat
dan juga menjaga kesehatan lingkungan sekitar (Widjajanti, 2020).

8
Gambar 2. 5 Pencegahan Leptospirosis
Sumber : https://medium.com/@clinosolhr/leptospirosis-4999db2d16ed

Dalam Medical Journal of Lampung University, menurut (Aziz &


Suwandi, 2019) Pencegahan Leptospirosis berdasarkan faktor resiko dapat
dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1. Memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang cara-cara penularan


penyakit ini, antara lain tidak berenang atau menyebrangi sungai yang
airnya diduga tercemar oleh Leptospira serta menggunakan alat-alat
pelindung yang diperlukan apabila harus bekerja pada perairan yang
tercemar. penyuluhan dapat dilakukan dengan penyebaran leaflet, poster
dan baliho.
2. Melindungi para pekerja yang bekerja di daerah yang tercemar dengan
menyediakan sepatu boot, sarung tangan, dan apron.
3. Mengenali tanah dan air yang berpotensi terkontaminasi dan mengeringkan
air tersebut, jika memungkinkan dapat dilakukan pencegahan Leptospirosis
pada tempat penampungan air dan genangan air di lingkungan rumah
dengan pemberian sodium hipoklorit (gentong, sumur, bak air, MCK
umum, kubangan air parit dan air sawah) dan chlorin diffuser (kolam,
kubangan air sungai dan air hujan).

9
4. Memberantas hewan-hewan pengerat (tikus) dari lingkungan pemukiman
terutama di pedesaan dan tempat-tempat rekreasi.
5. Memisahkan hewan peliharaan yang terinfeksi untuk mencegah
kontaminasi pada lingkungan manusia, tempat kerja, dan tempat rekreasi
oleh urin hewan yang terinfeksi.
6. Imunisasi kepada hewan ternak dan binatang peliharaan dapat mencegah
timbulnya penyakit, tetapi tidak mencegah terjadinya infeksi Leptospira.
7. Vaksin dapat diberikan tetapi harus mengandung strain domain dari
Leptospira di daerah tersebut.
8. Imunisasi diberikan kepada orang yang memiliki pekerjaan yang terpajan
dengan Leptospira jenis serovarian tertentu, hal ini dilakukan di Jepang,
Cina, Itali, Prancis, dan Israel.
9. Antibiotik profilaksis, doksisiklin telah terbukti efektif untuk mencegah
Leptospirosis pada anggota militer dengan memberikan dosis oral 200 mg
seminggu sekali selama masa penularan di Panama.
10. Menutupi luka dan lecet dengan pembalut kedap air terutama sebelum
bersentuhan dengan lumpur atau air yang mungkin terinfeksi oleh bakteri
Leptospira.

E. PEMERIKSAAN LABORATORIUM LEPTOSPIROSIS


Pemeriksaan mikrobiologi sangat penting dalam menegakkan diagnosis
penyakit leptospirosis secara dini dengan cepat dan tepat. Manfaat pemeriksaan
laboratorium antara lain untuk memastikan diagnosis leptospirosis karena
penyakit ini secara klinis sangat sulit dibedakan dengan penyakit lain dan dapat
menentukan jenis serogrup-serovar penyebab infeksi yang dapat digunakan
untuk mengetahui sumber penularan (Ningsih & Wahid, 2022).

Diagnosis leptospirosis dapat dilakukan baik pada hewan maupun


manusia. Pada tikus diagnosis dilakukan menggunakan serum dan jaringan
(hati, ginjal, paru, kandung kemih, jantung) sedangkan pada manusia diagnosis
dilakukan pada serum, urin dan cairan serebrospinal. Diagnosis kasus
leptospirosis pada manusia dapat dilakukan pada saat masa akut, transisi dari
masa akut ke masa imun dan fase imun. Pada masa akut diagnosis dilakukan

10
dengan membiakan Leptospira dari darah, urin dan cairan serebrospinal
(Ningsih & Wahid, 2022).

Dalam Jurnal Penelitian Biologi, Botani, Zoologi dan Mikrobiologi,


menurut (Depkes RI, 2003; Dohe et al., 2009; Fraga et al., 2014) diagnosis
leptospirosis dapat dibagi dalam tiga klasifikasi yaitu :

1. Suspect, bila ada gejala klinis tanpa dukungan uji laboratorium.


2. Probable, bila gejala klinis sesuai leptospirosis dan hasil uji serologi
skrining positif.
3. Definitive, bila hasil pemeriksaan laboratorium langsung positif atau gejala
klinis sesuai dengan leptospirosis dan hasil uji MAT/ELISA menunjukkan
adanya serokonversi (perubahan antibodi terhadap antigen tertentu).

Pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis Leptospirosis di antaranya:

1. Mikroskopis
Spesimen dari darah, urin dan cairan LCS dapat diperiksa langsung dengan
mikroskop lapangan gelap atau pewarnaan negatif (burry), tetapi
sensitivitas dan spesifisitasnya rendah karena adanya artefak yang
menganggu pembacaan (Levett, 2006; Vinetz, 2012).

Gambar 2. 6 Bakteri Leptospira pada Mikroskop


Sumber : https://www.drugtargetreview.com/condition/Leptospira-bacteria/

11
2. Kultur
Leptospira dapat dikultur dari spesimen darah atau urine pada media yang
mengandung serum/albumin. Kultur membutuhkan waktu yang lama (2-4
minggu) sehingga sulit diterapkan dalam penatalaksanaan pasien (Levett,
2006; Vinetz, 2012)..

Gambar 2. 7 Kultur Leptospira


Sumber : https://sfaturimedicale.ro/leptospiroza/

3. Serologi
Pemeriksaan serologi menjadi dasar utama dalam diagnosis leptospirosis.
a. Microscopic Agglutination Test (MAT)
Pengujian MAT ini membutuhkan serum berpasangan untuk dapat
membedakan infeksi akut dan infeksi kronis. Terdapatnya peningkatan
titer empat kali dari serum berpasangan menandakan infeksi
leptospirosis akut. Selain membutuhkan serum berpasangan, aglutinasi
pada uji MAT harus dilihat di bawah mikroskop lapang gelap sehingga
membutuhkan tenaga terampil untuk melakukannya. Kelemahan MAT
yaitu memerlukan fasilitas biakan untuk memelihara Leptospira,
pemeriksaannya sulit dan lama. Keuntungan MAT antara lain dapat
memberikan gambaran umum tentang serovar yang terdapat di dalam
populasi dan merupakan uji yang cukup baik untuk serosurvei
epidemiologi (Depkes RI, 2003; Aslantas, 2005).

12
b. IgM-ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay)
Uji ELISA sangat popular dapat mendeteksi IgM dan kadang-kadang
juga digunakan untuk mendeteksi IgG. Terdapatnya IgM merupakan
pertanda adanya infeksi baru Leptospira atau infeksi yang terjadi
beberapa minggu terakhir; sedangkan IgG untuk infeksi terdahulu. Uji
ELISA cukup sensitif untuk mendeteksi infeksi oleh Leptospira dengan
cepat pada fase akut. Uji ini dapat mendeteksi IgM yang muncul pada
minggu pertama sakit sehingga cukup efektif untuk mendiagnosis
penyakit. Kelemahan uji ELISA antara lain kurang spesifik bila
dibandingkan dengan uji MAT karena dapat terjadi reaksi silang
dengan penyakit lain dan tidak dapat menentukan jenis serovar
sehingga harus dikonfirmasi dengan uji MAT (Depkes RI, 2003; Dohe
et al., 2009).
c. IgM Dipstick assay (LDS)/Lepto Dipstick Assay
Lepto Dipstick Assay dapat mendeteksi IgM yang spesifik Leptospira
dalam serum. Metode ini sederhana, relatif praktis dan cepat karena
hanya memerlukan waktu antara 2,5 sampai 3 jam. Peralatannya terdiri
dari tabung reaksi, reagen, pita celup dipstick dan sentrifus untuk
memproses serum pasien. Pemeriksaan ini tidak memerlukan tempat
khusus seperti MAT dan relatif aman karena menggunakan antigen
Leptospira yang telah difiksasi dan dilekatkan pada pita celup. Hasil
evaluasi Lepto Dipstick Assay di 22 negara termasuk Indonesia
menunjukkan sensifitas 84,5%, spesifisitas 87,5%. Uji ini tersedia
secara komersial (Depkes RI, 2003; Setiawan, 2008; Dohe et al., 2009).
d. Lepto Tek Dri-Dot Uji
Uji Leptotek Dri-Dot berdasarkan aglutinasi partikel lateks, harganya
tidak mahal, pengerjaannya praktis dan cepat karena hasil dapat dilihat
dalam 30 detik. Uji ini merupakan reaksi aglutinasi untuk mendeteksi
antibodi aglutinasi seperti MAT. Pemeriksaan dilakukan dengan
meneteskan 10 μl serum menggunakan pipet pada kertas aglutinasi dan
dicampur dengan reagen. Hasil dibaca setelah 30 detik dan dinyatakan
positif bila ada aglutinasi (Depkes RI, 2003; Dohe et al., 2009).

13
e. Indirect Hemagglutination Assay (IHA)
Pemeriksaan Indirect Hemagglutination Assay dikembangkan oleh
Communicable Disease Control (CDC) dan tersedia secara komersial.
Pemeriksaan ini mempunyai sensitifitas 79% dan spesifisitasnya 95,8%.
IHA merupakan salah satu metode deteksi yang praktis, namun reagen-
reagen yang digunakan memiliki masa pakai yang singkat. (Bajani et
al., 2003).

4. Rapid Diagnostic Test (RDT)


Uji ini dilakukan untuk mendeteksi lgM Leptospira. Deteksi Leptospira–
specific imunoglobulin M menggunakan sistem lateral flow. Sistem ini
terdiri dari suatu pita nitroselulosa yang dilapisi salah satu sisinya dengan
bantalan reagen dried colloidal gold labeled anti human lgM antibody dan
bantalan penyerap pada sisi yang lain. Ketika sampel diteteskan ke dalam
sumur sampel dan diikuti dengan penambahan larutan buffer, maka sampel
dan antibody-gold conjugate akan bergerak sepanjang membran yang
selanjutnya akan membentuk garis berwarna yaitu:
a. Negatif : Terlihat satu garis berwarna merah pada kontrol.
b. Positif : Terlihat dua garis berwarna merah pada kontrol dan uji.
c. Invalid : Terlihat satu garis berwarna merah pada uji, jumlah sampel
yang tidak sesuai atau prosedur kerja yang kurang tepat dapat
mengakibatkan hasil seperti ini.

Gambar 2. 8 Leptospira Rapid


Sumber : https://www.semanticscholar.org/paper/Clinical-Evaluation-of-Rapid-Diagnostic-Test-
Kit-as-Lee-Park/becd7b23e216edc64ee4fc522c380bcd2c57a614

14
5. Real Time Polymerase Chain Reaction (PCR)
Real-time PCR merupakan suatu metode analisis yang dikembangkan dari
reaksi PCR. Dalam ilmu biologi molekuler, real-time PCR juga dikenal
sebagai quantitative real time Polymerase Chain Reaction Q-
PCR/qPCR/rPCR) atau kinetic polymerase chain merupakan suatu teknik
PCR di laboratorium untuk mengamplifikasi sekaligus menghitung
(kuantifikasi) jumlah target molekul DNA hasil amplifikasi tersebut.
Keunggulan real-time PCR dibandingkan dengan teknik PCR konvensional
antara lain sensitifitas dan spesifisitas yang lebih tinggi dan waktu analisis
yang lebih singkat karena tidak perlu dilakukan elektroforesis (Ningsih &
Wahid, 2022).

15
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh infeksi
dari spesies Leptospira. Tikus adalah reservoir utama dalam daur penularan
leptospirosis ke manusia. Environment atau lingkungan adalah faktor
ekstrinsik yang dapat mempengaruhi pembawa penyakit dan memberikan
kesempatan pada pembawa penyakit untuk menyebarkan penyakit, termasuk
faktor fisik, biologi dan sosial ekonomi.

Gejala yang timbul akibat infeksi Leptospira antara lain demam,


menggigil, sakit kepala, malaise, muntah, konjungtivitis (conjunctival
suffusion) tanpa disertai eksudat serous/purulen, dan rasa nyeri pada otot
terutama otot betis (nyeri pada daerah gastrocnemius) dan otot punggung.
Gejala-gejala di atas biasanya akan tampak antara 4-9 hari. Pencegahan
leptospirosis dilakukan dengan meminimalisir masuknya bakteri ini ke tubuh
manusia dengan memiliki perilaku hidup bersih dan sehat dan juga menjaga
kesehatan lingkungan sekitar.

Pemeriksaan mikrobiologi sangat penting dalam menegakkan diagnosis


penyakit leptospirosis secara dini dengan cepat dan tepat. Manfaat pemeriksaan
laboratorium antara lain untuk memastikan diagnosis leptospirosis. Diagnosis
leptospirosis dapat dilakukan baik pada hewan maupun manusia. Pada tikus
diagnosis dilakukan menggunakan serum dan jaringan (hati, ginjal, paru,
kandung kemih, jantung) sedangkan pada manusia diagnosis dilakukan pada
serum, urin dan cairan serebrospinal. Diagnosis kasus leptospirosis pada
manusia dapat dilakukan pada saat masa akut, transisi dari masa akut ke masa
imun dan fase imun.

B. SARAN
Makalah ini tentunya masih banyak memiliki kesalahan dan
kekurangan. Oleh karena itu, penulis berharap agar nanti ada penulis
selanjutnya yang bisa menyempurnakan makalah ini dan tentunya mengacu
kepada sumber-sumber yang terpercaya

16
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, H., Chusna, D., & Syafriadi, M. (2023). Determinan Aspek Lingkungan
Yang Berisiko Terjadinya Penularan Bakteri Leptospira sp Dari Tikus
Terkonfirmasi di Kabupaten Bondowoso. 22(1), 1–12.
Anggraini, D. (2021). Pemeriksaan Laboratorium Untuk Diagnosis Leptospirosis.
Jurnal Kesehatan Saintika Meditory, 4(2), 8.
https://doi.org/10.30633/jsm.v4i2.1225
Aslantaş, Ö., & Özdemir, V. (2005). Determination of the seroprevalence of
leptospirosis in cattle by MAT and ELISA in Hatay, Turkey. Turkish Journal
of Veterinary and Animal Sciences, 29, 1019–1024.
Aziz, T., & Suwandi, J. F. (2019). Leptospirosis : Intervensi Faktor Resiko
Penularan. Medical Journal of Lampung University, 8(1), 232–236.
http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/majority/article/view/2325/2292.
Bajani, M. D., Ashford, D. A., Bragg, S. L., Woods, C. W., Aye, T., Spiegel, R. A.,
Plikaytis, B. D., Perkins, B. A., Phelan, M., Levett, P. N., & Weyant, R. S.
(2003). Evaluation of four commercially available rapid serologic tests for
diagnosis of leptospirosis. Journal of Clinical Microbiology, 41(2), 803–809.
Costa, F., Hagan, J. E., Calcagno, J., Kane, M., Torgerson, P., Martinez-Silveira,
M. S., Stein, C., Abela-Ridder, B., & Ko, A. I. (2015). Global Morbidity and
Mortality of Leptospirosis: A Systematic Review. PLoS Neglected Tropical
Diseases, 9(9), 0–1. https://doi.org/10.1371/journal.pntd.0003898
Dohe, V. B., Pol, S. S., Karmarkar, A. P., & Bharadwaj, R. S. (2009). Two test
strategy for the diagnosis of leptospirosis. Bombay Hospital Journal, 51(1),
18–21.
Dutta TK & Christopher M, 2005, Leptospirosis-An Overview, JAPI, 53: 545-51.
Fraga,T.R., Carvalho E., Isaac L, Barbosa, A. . (2014). Leptospira and
Leptospirosis. In Molecular Medical Microbiology (Second Ed, pp. 1973–
1990).
Ilma, K., Martini, M., & Raharjo, M. (2023). Literatur Review : Faktor Kondisi
Lingkungan dengan Kejadian Leptospirosis. VIII(1).
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Buku Pedoman Penyelidikan dan
Penanggulangan Kejadian Luar Biasa Penyakit Menular dan Keracunan
Pangan.
Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2011. 1-97
Ningsih, I., & Wahid, M. H. (2022). Leptospirosis Ditinjau dari Aspek
Mikrobiologi. EKOTONIA: Jurnal Penelitian Biologi, Botani, Zoologi Dan
Mikrobiologi, 7(1), 31–43. https://doi.org/10.33019/ekotonia.v7i1.3141
Nugroho, A., Adi, M. S., & Nurjazuli, N. (2023). Analisis Faktor Lingkungan
Abiotik Sebagai Sumber Penularan Leptospirosis di Indonesia: Literature
Review. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat, 12(01), 57–64.

17
https://doi.org/10.33221/jikm.v12i01.1821
Pratamawati DA, Widjajanti W, Handayani FD, Trapsilowati W, Lestari WD.
Strategi Penguatan Peran Lintas Sektor untuk Intervensi Lingkungan
dalam Sistem Kewaspadaan Dini Leptospirosis di Kota Semarang Tahun
2017-2018. Media Penelit dan Pengemb Kesehat [Internet]. 2020 May
31;30(1):75–88. Available from :
https://ejournal2.litbang.kemkes.go.id/index.php/mpk/article/view/1665
Purnama, S. E., Hartono, B., Studi, P., Ilmu, M., Masyarakat, K., Masyarakat, F.
K., & Indonesia, U. (2022). Faktor Risiko Kejadian Leptospirosis Di
Indonesia.6.http://tanjungpriok.karantina.pertanian.go.id/?faktor_risiko_keja
dian_leptospirosis_di_indonesia&tab=tulisan&id=87
Rohman, A. F. N., Utomo, B., & Firdaust, M. (2021). Eksplorasi Bakteri Leptospira
Pada Tikus Di Daerah Leptospirosis Di Kecamatan Cilongok Kabupaten
Banyumas. Buletin Keslingmas, 40(3), 1–6.
Sri Wahyuni Ningsih, Mateus Sakundarno Adi, L. D. S. (2019). Systematic Review
Metode Intervensi Pengetahuan Masyarakat Dalam Pengendalian Kasus
Leptospirosis Di Wilayah Kota Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat (e-
Journal), 7(1), 211–220.
Vinetz JM, 2012, Leptospirosis in Infectious Diseases, Harrison’s Principles of
Internal Medicine, 18th Edition, Editor: Longo DL, Fauci AS, Kasper DL,
Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J, USA: Mc-GrawHill, 1392-6
Widjajanti, W. (2020). Epidemiologi, diagnosis, dan pencegahan Leptospirosis.
Journal of Health Epidemiology and Communicable Diseases, 5(2), 62–68.
https://doi.org/10.22435/jhecds.v5i2.174
Zein U, 2009, Leptospirosis dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V, Editor:
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, Jakarta : Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI.

18

Anda mungkin juga menyukai