Anda di halaman 1dari 23

PEMERIKSAAN LEPTOSPIROSIS DENGAN METODE ENZYME-LINKED

IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA)

LAPORAN PRAKTIK KERJA LAPANGAN

DWI IVA FITRIANA


B1A015132

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2018
DETEKSI LEPTOSPIROSIS DENGAN METODE ENZYME-LINKED
IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA)

DWI IVA FITRIANA


B1A015132

Untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Sains pada Fakultas


Biologi Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto

Disetujui
pada tanggal ...

Pembimbing, Pembimbing Lapangan,

Dr. Sorta Basar Ida Simajuntak, M.Si. Dyah Widiastuti S.Si., M.Sc.
NIP.19590623 198803 2 001 NIP. 19810508 200501 2 003

Mengetahui,
Wakil Dekan Bidang Akademik Fakultas Biologi
Universitas Jenderal Soedirman

Dr. Hendro Pramono, M.S.


NIP. 19590722 198601 1 001
PRAKATA

Laporan praktik kerja lapangan (PKL) ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk
memenuhi tugas akhir pada Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman.
Penulis mengambil topik tentang pemeriksaan leptospirosis dengan metode
serologi Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) pada serum darah
manusia. Penulis mengucapkan puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga pedoman pelaksanaan PKL ini
dapat disusun. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. Sorta Basar Ida
Simajuntak, M.Si. atas bimbingan dan masukan dalam penyusunan laporan PKL
dan Dyah Widiastuti S.Si., M.Sc. atas kesediaan sebagai pembimbing lapangan,
serta semua pihak yang telah berkontribusi baik dalam pelaksanaan dan
penyusunan laporan PKL ini. Penulis berharap semoga laporan PKL ini
bermanfaat.
Purwokerto, Februari 2018

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul.................................................................................................. i
Lembar Pengesahan ...................................................................................... .. ii
Prakata ........................................................................................................... .. iii
Daftar Isi........................................................................................................ .. iv
Daftar Tabel .................................................................................................. .. v
Daftar Gambar ............................................................................................... .. vi
Daftar Lampiran ............................................................................................ .. vii
I. Pendahuluan ....................................................................................... .. 1
A. Latar Belakang
B. Tujuan
II. Materi Dan Cara Kerja ..................................................................... .. 4
A. Materi ........................................................................................... ..
B. Lokasi Dan Waktu Pkl.................................................................. ..
C. Cara Kerja ..................................................................................... ..
III. Evaluasi Kerja .................................................................................. .. 5
Daftar Referensi ............................................................................................ .. 6
Lampiran ....................................................................................................... .. 6
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 4.1.Kualitas air fisika kimia di Sungai Banjaran .......................... . .... 1
Tabel 4.2.Kelimpahan mikrozoobentos di Sungai Banjaran .................... .... 1
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 4.1.Kualitas air fisika kimia di Sungai Banjaran ............................. 1
Gambar 4.2.Kelimpahan mikrozoobentos di Sungai Banjaran .................... . 1
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
Lampiran 1. Kualitas air fisika kimia di Sungai Banjaran .......................... . .. 1
Lampiran 2. Kelimpahan mikrozoobentos di Sungai Banjaran .................... .. 1
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Leptospirosis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh bakteri


dari genus Leptospira. Penyakit ini tersebar luas di seluruh dunia, terutama negara
beriklim tropis dan subtropis yang memiliki curah hujan tinggi (Febrian &
Solikhah, 2013). Menurut Musso dan Scola (2013), terdapat lebih dari 500.000
kasus leptospirosis di dunia dengan 0,1-1 kejadian tiap 100.000 orang pada negara
beriklim sedang, 10-100 kejadian tiap 100.000 orang pada negara beriklim
subtropis, dan lebih dari 100 kejadian leptospirosis pada negara beriklim tropis
setiap tahunnya.
Leptospirosis adalah salah satu penyakit infeksi yang endemis pada
pekerja yang berhubungan dengan air dan tanah di Karibia, Amerika Serikat,
Amerika Selatan, Asia Tenggara, dan Oceania. Beberapa tahun terakhir, terjadi
peningkatan kasus leptospirosis di Amerika Serikat, Amerika Selatan, dan Asia
Tenggara dari <5% menjadi 30% (Musso & Scola, 2013). Munurut International
Leptospirosis Society, Indonesia merupakan negara tropis dengan kasus kematian
akibat leptospirosis peringkat tiga di dunia, yaitu berkisar antara 2,5%-16,45%
atau rata-rata 7,1% (Febrian & Solikhah, 2013).
Annual incidence menyatakan leptospirosis di Indonesia termasuk dalam
kategori sedang, berkisar antara 1-10 per 100.000 penduduk. Leptospirosis di
Indonesia tersebar di Propinsi Jawa Tengah, Jawa Barat, Daerah Istimewa
Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi
Utara, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat (Saraswati et al., 2017).
Manusia dapat terinfeksi Leptospira melalui kontak langsung dengan urin,
darah, atau jaringan dari hewan reservoir leptospirosis atau masuk ke dalam tubuh
melalui luka pada kulit. Leptospira juga dapat menginfeksi manusia melalui
kontak dengan air atau tanah basah yang terkontaminasi bakteri tersebut, karena
bakteri tersebut dapat bertahan hidup di dalam air yang bersifat basa hingga enam
bulan. (Kusmiyati et al., 2005).
Gejala klinis leptospirosis pada manusia bervariasi, umumnya berupa
demam tinggi, sakit kepala, nyeri otot, menggigil, penyakit kuning (mata dan kulit
kuning), mata merah, nyeri punggung, diare, dan ruam. Gejala yang ditimbulkan
serng salah didiagnosis sebagai penyakit lain, seperti demam berdarah, dengue,
hepatitis, dan lain-lain, sehingga diperlukan penegakan diagnosis leptospirosis
secara dini dengan cepat dan tepat untuk pengobatan yang tepat serta mencegah
komplikasi klinis yang parah, yaitu dengan pemeriksaan laboratorium (Kanagavel
et al., 2017).
Pemeriksaan laboratorium leptospirosis dapat dilakukan secara
konvensional, serologis, maupun molekuler. Deteksi konvensional berdasarkan
ditemukannya bakteri di dalam darah atau urin. Pemeriksaan ini membutuhkan
waktu yang lama, sehingga giagnosis umumnya berdasarkan serologis, yaitu
MAT ataupun ELISA. Pemeriksaan serologi MAT (Microscopic Agglutination
Test) merupakan metode serologi standar untuk pemeriksaan leptospirosis.
Metode ini membutuhkan waktu yang lebih lama dan tenaga ahli yang
berpengalaman (Sabri et al., 2017), sehingga untuk mengatasi hal tersebut
dikembangkannya pemeriksaan leptospirosis secara serologis dengan ELISA
(Setiawan, 2007). ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay) merupakan
suatu teknik immunoassay untuk mendeteksi suatu substansi secara kuantitatif
yang didasarkan pada reaksi imunologi. Metode ELISA menggunakan prinsip
perubahan warna larutan pada sumuran yang kemudian dapat dibaca melalui
ELISA reader. Indirect ELISA merupakan salah satu varian ELISA, yang
digunakan untuk mendeteksi adanya antibodi dalam serum (Kemeny, 1990).
B. Tujuan

Tujuan dari Praktik Kerja Lapangan ini, yaitu mengetahui dan memahami
metode Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) yang digunakan untuk
mendeteksi penyakit leptospirosis pada serum darah manusia.
II. MATERI DAN CARA KERJA

A. Materi

Alat-alat yang digunakan dalam Praktek Kerja Lapangan mengenai

“Pemeriksaan Leptospirosis dengan Metode Enzyme-Linked Immunosorbent

Assay (ELISA)” antara lain, ELISA microwell plate reader, mikropipet 100 µL,

inkubator, stopwatch, shaker, vortex, tabung falcon, dan alumunium foil.

Bahan-bahan yang digunakan, yaitu sampel serum darah manusia, ELISA

Leptospira IgG kit NovaTec (yang berisi microplate yang telah dilapisi antigen

leptospira, larutan pengencer sampel, stop solution, washing buffer, konjugat anti

Ig-G leptospira, substrat TMB, kontrol positif leptospira Ig-G, kontrol negatif

leptospira Ig-G, kontrol cut-off leptospira Ig-G).

B. Lokasi dan Waktu Praktek Kerja Lapangan

Praktek Kerja Lapangan ini akan dilaksanakan selama 30 hari, dimulai

tanggal 22 Januari-20 Februari 2018 di Balai Penelitian dan Pengembangan

Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang (P2B2) Banjarnegara.

C. Cara Kerja

3.1. Preparasi Sampel

Sampel berupa serum darah manusia di laboratorium Mikrobiologi,

Imunologi, dan Biomolekuler Balai Penelitian dan Pengembangan Penyakit

Bersumber Binatang (P2B2) Banjarnegara.

3.2. ELISA

3.2.1. Pengenceran Sampel

Sebelum dilakukan uji ELISA, terlebih dahulu 10 µL sampel

serum diencerkan pada 1 mL larutan pengencer sampel. Uji dilakuakn


dengan menggunkan 101 µL sampel yang telah diencerkan. Sampel

yang akan diuji kemudian divortex.

3.2.2. Uji ELISA

Pemeriksaan ELISA dilakukan dengan cara 100 µL larutan

standard/kontrol, dan sampel yang telah diencerkan dipipetkan pada

micro plate ELISA yang telah dilapisi antigen Leptospira, kecuali

pada sumuran A1 untuk blanko substrat. Micro plate ELISA ditutup

dengan alumunium foil yang terdapat pada kit dan kemudian

diinkubasi selama 1 jam ± 5 menit pada suhu 37o C. Setelah inkubasi

selesai, dilakukan pencucian dengan 300 µL washing buffer.

Pencucian diulang sebanyak tiga kali. Setelah proses pencucian

selesai, 100 µL konjugat pipetkan ke dalam tiap-tiap sumuran, kecuali

sumuran A1 dan diinkubasi selama 30 menit pada suhu ruang dengan

ditutupi kertas alumunium foil agar terhindar dari paparan cahaya

langsung. Selama proses inkubasi micro plate diletakkan pada shaker

untuk optimasi reaksi. Setelah inkubasi selesai, dilakukan pencucian

ke dua dengan 300 µL washing buffer dan diulang sebanyak tiga kali.

Tahap berikutnya, yaitu 100 µL substrat TMB dipipetkan ke seluruh

sumuran dan diinkubasi pada suhu ruang selama 15 menit serta dalam

keadaan gelap. Penghentian reaksi dilakukan dengan penambahan 100

µL stop solution. Absorbansi dibaca dengan ELISA reader pada

panjang gelombang 450 nm. Hasil dalam unit dihitung dengan rumus:

Rata−rata sampel x 10
𝑁𝑜𝑣𝑎𝑇𝑒𝑐 𝑢𝑛𝑖𝑡𝑠 (𝑁𝑇𝑈) = yang dinyatakan
𝑐𝑢𝑡−𝑜𝑓𝑓

dalam NTU. Interpretasi hasil yang diperoleh, didasarkan pada:

Cut-off 10 NTU
Positif > 11 NTU Antibodi terhadap Leptospira terbentuk dan
kontak dengan antigen.
Diragukan 9-11 NTU Antibodi terhadap Leptospira tidak dapat
dideteksi dengan jelas dan sebaiknya
dilakukan uji ulang sampel yang baru pada
infeksi minggu ke 2-4. Apabila hasil diragukan
maka dinyatakan negatif.
Negatif < 9 NTU sampel tidak mengandung antibodi terhadap
Leptospira.
III. EVALUASI KERJA

A. Deskripsi Umum Lokasi PKL

1. Profil Instansi
a. Nama instansi : Balai Penelitian dan Pengembangan Penyakit Bersumber
Binatang (P2B2) Banjarnegara
b. Alamat instansi : Jl. Selamanik No. 16 A Banjarnegara (53415), Telepon
(0286)594972, Faksimile (0286)594972, e-mail:
balai_ban@litbang.depkes.go.id, loka_banjarnegara@yahoo.com.
2. Sejarah Singkat Balai Litbang P2B2
Balai Litbang P2B2 merupakan salah satu instansi kesehatan yang
melaksanakan program penelitian dan pengembangan serta program
pencegahan dan pengendalian terhadap vektor-vektor penyakit menular,serta
program kesehatan lain. Vektor-vektor penyakit yang diteliti dan
dikembangkan di Balai Litbang P2B2 Banjarnegara antara lain vektor penyakit
Malaria, Demam Berdarah dan Filariasis.
Balai Litbang P2B2 membawahi wilayah kerja tertentu dan mempunyai
bidang-bidang kegiatan dalam rangka penelitian, pengembangan dan
pencegahan penyakit yang bersumber dari binatang. Wilayah kerja Balai
Litbang P2B2 Banjarnegara adalah seluruh Indonesia. Bidang kegiatan tersebut
antara lain pembiakan binatang-binatang yang menjadi vektor penyakit (yaitu
binatang pengerat dan serangga), usaha penagkapan dan pengamatan secara
langsung terhadap lokasi yang mengalami kejadian dan dicurigai sebagai
sumber munculnya penyakit, pengendalian dan terhadap binatang vektor
penyakit, penelitian dan pelaporan kasus (Gotama, Indra)

Gambar 3.1 Gambar Sejarah Balai Litbang P2B2 Banjarnegara


Sejarah Balai Litbang P2B2 Banjarnegara yaitu dari Proyek
Intensification of Communicable Disease Control – Asian Development Bank
(ICDC-ADB) yang dimulai pada tahun 1998, yaitu suatu proyek itensifikasi
Pemberantasan Penyakit Menular (IPPM) yang meliputi penyakit Malaria,
ISPA, TBC dan Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I).
Proyek ICDC-ADB ini dilaksanakan di enam propinsi yaitu: Jawa Barat, Jawa
Tengah, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah dan Nusa
Tenggara Timur. Proyek ini terdistribusi 21 Kabupaten di enam Provinsi
tersebut.
Guna menunjang upaya menurunkan kejadian malaria di daerah
ICDCADB maka dibangun institusi penunjang proyek bernama Stasiun
Lapangan Pemberantasan Vektor (SLPV) di enam Provinsi, salah satunya di
Provinsi Jawa Tengah, SLPV ini berkedudukan di Banjarnegara Provinsi Jawa
Tengah dengan Annual Parasite Incidence tertinggi diantara empat kabupaten
pelaksana proyek ICDC-ADB lainnya di Jawa Tengah, yaitu: Banjarnegara,
Jepara, Kebumen, dan Pekalongan. SLPV ini secara adminstratif bertanggung
jawab kepada Kanwil Departemen Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, tetapi
secara teknis kepada Kepala Direktur Pemberantasan Penyakit Bersumber
Binatang (P2B2).
SLPV Banjarnegara mulai beroperasi tanggal 15 Agustus 1999 yang
menempati rumah kontrakan di Jalan Al Munawaroh No. 11 Banjarnegara
sampai dengan bulan September 2000. Gedung baru kemudian dibangun di atas
tanah Pemda Banjarnegara dengan luas tanah 1360 m2. Pembangunan gedung
mulai tanggal 6 Januari 2000 dan selesai tanggal 3Mei 2000. Kemudian baru
ditempati sejak tanggal 14 September 2000. Berlakukannya UU No. 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan diDaerah, SLPV tidak diintegrasikan ke dalam
Dinas Kesehatan Provinsi, tetapi masih merupakan UPT Pusat dibawah Badan
Litbangkes bernama UPF-PVRP. Hal ini dimaksudkan agar SLPV dapat
bermanfaat lebih luasbagi kabupaten/provinsi lain di luar Jawa Tengah.
Dengan berakhirnya Proyek ICDC-ADB aset UPF-PVRP yang ada di Provinsi
harus diberdayakan. Untuk itu oleh Badan Litbangkes dan dibantu oleh
DitjenPPM-PL diusulkanlah kelembagaan UPF-PVRP kepada Menpan.
Dengan persetujuan Menpan, Menteri Kesehatan dengan SK
Nomor:1406/MENKES/SK/IX/2003, tanggal: 30 September 2003 menetapkan
kelembagaan UPF-PVRP di enam Provinsi menjadi Loka Litbang P2B2.
Merujuk Peraturan Menteri Kesehatan Nomor: 894/Menkes/Per/IX/2008,
Loka Litbang P2B2 Banjarnegara mempunyai Unggulan Penelitian dan
Pengembangan di bidang Penyakit Bersumber Rodensia.
Melalui Permenkes 920/MENKES/V/2011 Loka Litbang P2B2
Banjarnegara ditingkatkan status kelembagaannya menjadi Balai Litbang
P2B2 Banjarnegara, 3 (tiga) Balai Litbang P2B2 di lingkungan Kementerian
Kesehatan yaitu yang berlokasi di Donggala Sulawesi Tengah, Banjarnegara
Jawa Tengah dan Tanah Bumbu Kalimantan Selatan (Balai Litbang P2B2).
3. Visi Misi Balai P2B2 Banjanegara
a. Visi
Sebagai centre of excellence penelitian dan pengembangan penyakit
bersumber binatang, khususnya penyakit bersumber rodensia.
b. Misi
1) Menghimpun, mengkaji, mengembangkan, dan menyebarkan
informasi IPTEK tentang vektor, reservoir, bionomik serta dinamika
penularan P2B2.
2) Meningkatkan profesionalisme SDM dalam bidang pengamatan dan
pengkajian vektor, reservoir dan dinamika penularan serta cara
pengendaliannya.
3) Menggalang dan mengembangkan kemitraan lintas program dan sektor
terkait dalam pengamatan dan pengkajian vektor dan reservoir serta
dinamika penularan penyakit.
4. Struktur Organisasi

Gambar 3.2 struktur organisasi Balai Litbang P2B2 Banjarnegara


B. Hasil dan Pembahasan

Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri dari


genus Leptospira. Leptospirosis tersebar merata hampir di seluruh dunia dan
merupakan penyakit endemik pada negara beriklim tropis. Leptospirosis
merupakan salah satu penyakit zoonosis yang paling sering terjadi, penyakit ini
menyebar melalui kontak secara langsung ataupun tidak langsung, antara mukosa
kulit manusia yang mengalami luka dengan hewan yang terinfeksi seperti tikus,
anjing, kucing, dan hewan rumahan lain (Shakinah, 2015).
Pemeriksaaan leptospirosis dilakukan dengan dengan beberapa uji, salah
satunya uji serologi dengan metode ELISA. Metode ELISA umumnya digunakan
umtuk mendeteksi antibodi IgG dan atau IgM terhadap Leptospira. Infeksi
Leptospira menyebabkan IgM meningkat relatif cepat, tetapi tidak bertahan lama,
sehingga uji ELISA untuk deteksi IgM dapat membantu diagnosis pada infeksi
awal, uji ini dapat mendeteksi IgM sejak 4 hari paska infeksi. Sedangkan
Leptospira IgG serum cenderung meningkat 14 sampai 21 hari setelah infeksi dan
memuncak pada hari ke-30 dan tetap memiliki tingkat yang tinggi untuk waktu
yang lebih lama, sehingga uji ELISA untuk deteksi IgG dapat digunakan untuk
deteksi sampel yang telah terinfeksi lebih lama (Todd-Jenkins, 2017).
Pemeriksaan leptospirosis dengan metode ELISA memiliki prinsip, yaitu
antibodi pada sampel akan berikatan dengan antigen spesifik yang telah dicoating
pada permukaan mikroplat. Setelah proses pencucian dengan washing solution,
antibodi yang tidak berikatan dengan antigen pada dinding mikroplat akan tercuci
dan terbuang. Kemudian ditambahkan antibodi sekunder yang telah dikonjugasi
dengan enzim horseradish peroxidase (HRP). Antibodi sekunder ini akan
berikatan dengan antibodi pada sampel yang sebelumnya berikatan degan anti
leptospira pada dinding mikroplat sehingga terbentuk kompleks imun. Setelah
pencucian yang ke dua untuk membuang antibodi yang tidak berikatan,
ditambahkan substrat kromogenik, Tetramethylbenzidine (TMB) yang akan
menghasilkan produk reaksi berwarna biru. Banyaknya produk yang dihasilkan
bergantung pada jumlah antibodi spesifik pada sampel. Asam sulfat ditambahkan
pada tahapir untuk mengehentikan reaksi dan akan menyebabkan perubahan
warna menjadi kuning. Absorbansi dibaca dengan menggunakan ELISA reader
pada panjang gelombang 450 nm (Petunjuk kit).
ELISA merupakan uji serologis untuk mendeteksi adanya ikatan antara
antigen (Ag) dengan antibodi (Ab) dengan perubahan warna yang terjadi pada
substrat pereaksi sesuai dengan label atau imunoprob (immuno probe) konjugat
Ab-enzim. Tahapan umum ELISA meliputi penempelan (trapping) Ag atau Ab
pada media reaksi (solid phase), seperti mikroplat ELISA, diikuti penambahan
konjugat Ab-enzim, dan diakhiri dengan penambahan substrat serta buffer
penghenti reaksi (blocking buffer) (Suryadi et al., 2009).
Komponen utama perangkat ELISA terdiri atas Ab, Ag, Ab-enzim
(imunoprob), substrat, reagen penghenti reaksi (blocking reagent), bufer, dan
mikroplat ELISA. Perangkat ELISA dapat dirakit sendiri oleh peneliti atau
diperoleh secara komersial dari berbagai perusahaan. Antibodi (Ab) adalah
immunoglobulin (Ig), molekul glikoprotein yang diproduksi oleh sel plasma
akibat respon terhadap imunogen. Antibodi dibedakan menjadi antibodi
poliklonal dan antibodi monoklonal, sedangkan menurut bentuk molekulnya
antibodi juga dibedakan menjadi antibodi primer dan antibodi sekunder. Antigen
merupakan partikel virus, sel bakteri, propagul jamur, atau senyawa protein dan
polisakarida patogen yang antigenik, dapat merangsang timbulnya antibodi pada
hewan yang diinfeksi. Imunoprob (Immunoprobe) ELISA dibuat dengan
mengkonjugasikan Antibodi dengan suatu enzim menjadi konjugat Ab-enzim.
Konjugat ini dapat dibuat dengan mengkonjugasikan antibodi primer atau antibodi
sekunder dengan enzim tertentu. Enzim yang digunakan untuk membuat konjugat
beragam, yang paling umum adalah Alkaline Phosphatase (AP) dan Horse-radish
Peroxidase (HRP) (Suryadi et al., 2009).
Substrat untuk reaksi enzimatik bergantung pada enzim yang dugunakan.
Enzim HRP menggunakan substrat tetramethyl benzidine (TMB) yang dilarutkan
dalam dimethylsulsulfoxide (DMSO), substrat ini dihidrolisis menjadi enzim
menjadi produk berwarna biru. Reagen lain yang diperlukan dalam ELISA adalah
buffer, blocking reagent, dan pelarut substrat. Bufer dasar yang paling sering
digunakan dalam ELISA adalah bufer fosfat (Phosphate-Buffered Saline, PBS).
Senyawa yang sering digunakan untuk blocking reagents adalah bovine serum
albumin (BSA), ovalbumin (OA), gelatin, susu skim, NaOH, dan asam sulfat
(H2SO4). Tempat reaksi ELISA yang mumumnya digunakan adalah mikroplat 96
sumuran buah yang memiliki kemampuan pengikatan Ab (Ab binding capacity)
yang bervariasi, sehingga pengguna perlu melakukan uji coba untuk memperoleh
hasil optimal (Suryadi et al., 2009).
Metode ELISA beragam, metode yang umumnya dilakukan adalah ELISA
langsung (direct ELISA), tidak langsung (indirect ELISA), sandwich ELISA, dan
ELISA kompetitif (Bald, 2016). Metode yang digunakan untuk pemeriksaan
leptospirosis pada sampel darah ini, yaitu metode ELISA tidak langsung (indirect
ELISA). Metode ELISA tidak langsung memiliki tahapan, yaitu antigen
ditambahkan dan dilapiskan (coating) ke mikroplat, kemudian deteksi
menggunkan antibodi primer yang spesifik terhadap antigen tertentu. Tahap
selanjutnya, yaitu pengikatan antibodi sekunder bertaut enzim dengan antibodi
primer (Boster, ).
Deteksi leptospirosis dilakukan dengan menggunakan sampel serum
manusia. Serum dipindahkan ke tube 1,5 ml yang telah diberi label menggunakan
mikropipet. Sampel tersebut diencerkan terlebih dahulu dengan cara
mengencerkan 10 µL sampel dengan 1 mL IgG sample diluent dan kemudian
divortex. Uji leptospirosis dengan metode indirect ELISA dimulai dengan
mempersiapkan mikroplat 96 sumuran yang sedah dicoat antigen Leptospira.
Tahapan selanjutnya yaitu pembentukan kompleks antiodi primer dengan antigen.
Proses ini dilakukan dengan cara memipetkan 100 µL kontrol positif, kontrol
negatif, cut off, sampel dipipetkan pada masing-masing sumuran berbeda, kecuali
sumuran A1 untuk substrate blank. Kemudian sumuran ditutup dengan
alumunium foil pada mikroplat dan diinkubasi pada suhu 37o C ± 1o C selama 1
jam. Setelah inkubasi selesai, alumunium foil dibuka, isi mikroplat dituang dan
dicuci dengan 300 µL washing buffer sebanyak tiga kali pengulangan. Menurut
(Biesiadecki & Jin, 2011), proses washing bertujuan untuk menghilangkan
antibodi yang tidak berikatan dengan antigen spesifik.

Gambar 3.3. Washing


Tahapan selanjutnya, yaitu 100 μl konjugat dipipetkan ke seluruh sumuran,
kecuali sumuran A1 untuk substrate blank dan diinkubasi pada suhu ruang selama
30 menit. Inkubasi dilakukan tanpa terpapar cahaya (ruang gelap). Penambahan
konjugat ini akan membentuk kompleks ikatan antigen-antibodi-antibodi.
Konjugat yang ditambahkan berupa antibodi IgG manusia yang telah dilabel
dengan enzim HRP. Tahapan berikutnya adalah pencucian dengan 300 μl washing
buffer selama tiga kali ulangan. Pencucian ke dua ini bertujuan untuk membuang
antibodi sekunder tertaut enzim signal yang tidak berinteraksi dengan antibodi
spesifik (Biesiadecki & Jin, 2011). Larutan kromogen TMB sebanyak 100 μl
dipipetkan pada semua sumuran dan diinkubasi pada suhu ruang selama 15 menit
dalam keadan gelap. Substrat ini anantinya akan bereaksi dengan enzim HRP.
Setelah proses inkubasi selesai, akan terbentuk kompleks warna biru. Perubahan
warna terjadi akibat hidrolisa enzimatik pada reaksi antara konjugat dengan
substratnya, sehingga hasil ELISA lebih peka dan dapat dikuantifikasi (Suryadi et
al., 2009). Menurut Gan dan Patel (2013), intensitas warna yang terbentuk
berkaitan dengan konsentrasi antibodi primer yang berikatan.

Gambar 3.4. Penambahan Substrat TMB


Tahapan berikutnya adalah penambahan 100 μl stop solution ke seluruh
sumuran. Stop solutin yang ditambahkan tersusun atas asam sulfur yang akan
merubah menjadi keadaan asam sehingga warna biru berubah menjadi kuning.
Tahapan selanjutnya, yaitu pembacaan absorbansi dengan panjang gelombang
450 nm.
Gambar 3.4. Penambahan Stop solution

Gambar 3.3. Hasil uji leptospirosis dengan metode ELISA


Penentuan hasil dilakukan dengan perhitungan NTU (NovaTec Units), yaitu
dengan nilai rata-rata absorbansi sampel dikalikan 10 kemudian dibagi dengan
nilai absorbansi cut off. Interpretasi hasil positif apabila nilai 10 NTU lebih dari
11 NTU, antibodi terhadap Leptospira terbentuk dan kontak dengan antigen. Hasil
diragukan apabila nilai 10 NTU berkisar antara 9-11 NTU, antibodi terhadap
Leptospira tidak dapat dideteksi dengan jelas dan sebaiknya dilakukan uji ulang
sampel yang baru pada infeksi minggu ke 2-4. Apabila hasil diragukan maka
dinyatakan negatif. Interpretasi hasil negatif apabila nilaii 10 NTU kurang dari 9
NTU, sampel tidak mengandung antibodi terhadap Leptospira.
Metode ELISA tidak langsung (indirect ELISA) memiliki banyak
keunggulan, yaitu dapat digunkan untuk deteksi sampel dengan konsentrasi yang
sangat sedikit (Gan & Patel, 2013), berbagai macam antibodi sekunder berlabel
enzim tersedia secara komersial, serba guna, banyak antibodi primer dapat dibuat
pada satu spesies dan antibodi sekunder terlabel yang sama dapat digunakan untuk
deteksi. Selain itu, imunoreaktivitas antibodi primer tidak dipengaruhi oleh
penautan enzim signal ke antibodi sekunder, serta tingkat sensitifitas meningkat
karena setiap antibodi primer (yang diinginkan) mengandung beberapa epitop
yang mampu berikatan dengan natibodi sekunder. Selain memiliki banyak
keunggulan, metode ELISA ini juga memiliki kekurangan, yaitu membutuhkan
waktu yang lebih lama dibandingkan dengan metode ELISA langsung (direct
ELISA) (Biofoster, ).
IV. KESIMPULAN

Berdasarkan Kerja Praktik Lapangan yang dilakukan dapat disimpulkan


bahwa, pemeriksaan leptospirosis dapat dilakukan menggunakan metode indirect
ELISA dengan tahapan pelapisan (coating) antigen spesifik pada mikroplat ELISA,
pembentukan ikatan antigen dengan antibodi primer pada sampel serum, pengikatan
konjugat (antibodi yang telah dilabel enzim) dengan antibodi primer, pembentukan
kompleks enzim-substrat serta penambahan stop solution untuk menghentikan reaksi,
kemudian pembacaan nilai absorbansi pada ELISA reader. Hasil positif dengan nilai
NovaTec Unit (NTU) > 11, negatif apabila NTU < 9 dan equivocal apabila 9-11 NTU.
DAFTAR REFERENSI

Todd-Jenkins, K., 2017. Leptospirosis: New Tests Improve Diagnostic Capabilities.


American Veterinarian, 2(3), 30-31.

Kanagavel, M., Shanmughapriya, S., Aishwarya, K.V.L., Ponmurugan, K., Murugan,


K., Al-Dhabi, N.A. and Natarajaseenivasan, K., 2017. Peptide specific
monoclonal antibodies of Leptospiral LigA for acute diagnosis of leptospirosis.
Scientific Reports, 7(1), p.3250.

Kemeny, D. M. 1990. A Practical Guide to ELISA. New York , Pergamon Press.

Anda mungkin juga menyukai