Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN PRAKTIKUM EPIDEMIOLOGI

Oleh:
MEIRITA TIFFANY
NIM. 155050107111173
Kelompok F5

PROGRAM STUDI PETERNAKAN


FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018

1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya,
sehingga penulisan laporan akhir praktikum Epidemiologi 2018. Laporan ini merupakan salah
satu syarat untuk memperoleh kelulusan menempuh mata kuliah epidemiologi.
Dengan terselesaikannya laporan ini, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesarbesarnya
kepada yang terhormat:
1. Prof. Dr. Sc. Agr. Ir. Suyadi, MS., selaku Dekan Fakultas Peternakan Universitas
Brawijaya dan Dr. Agus Susilo, S.Pt, MP., selaku Ketua Program Studi Peternakan
beserta staff yang telah banyak membina kelancaran proses studi.
Prof. Dr. Drh. Pratiwi Trisunuwati, MS selaku Pembimbing Utama dan Dr. Ir. Ita Wahju
Nursita, M.Sc., selaku Pembimbing Pendamping atas saran dan bimbingannya.
2. Arik Yuswati, S.Pt., selaku laboran Laboratorium Epidemiologi Fakultas Peternakan
Universitas Brawijaya
Akhir kata, penulis berharap semoga Allah SWT membalas semua kebaikan yang telah
diberikan dan semoga laporan ini dapat memberikan manfaat dan menambah pengetahuan bagi
penulis dan pembaca.

Malang, April 2017

Penulis

2
DAFTAR ISI
Isi Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................................. ii
RINGKASAN ............................................................................................................... iv
DAFTAR ISI ................................................................................................................ vi
DAFTAR TABEL ........................................................................................................ viii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................ x

BAB I TINJAUAN PUSTAKA


1.1 Pengiriman spesimen bahan........................................................................... 6
1.2 Pengamatan endoparasit pada feses.
1.3 Pengamatan endoparasit pada kerokan mukosa usus
1.4 Pengamatan ektoparasit scabiosis
1.5 Pengamatan susu mastitis dan uji CMT
1.6 Pemeriksaan residu antibiotik

BAB II METODE KEGIATAN


2.1 Pengiriman spesimen bahan........................................................................... 6
2.2 Pengamatan endoparasit pada feses.
2.3 Pengamatan endoparasit pada kerokan mukosa usus
2.4 Pengamatan ektoparasit scabiosis
2.5 Pengamatan susu mastitis dan uji CMT
2.6 Pemeriksaan residu antibiotik

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1 Pengiriman spesimen bahan........................................................................... 6
3.2 Pengamatan endoparasit pada feses.
3.3 Pengamatan endoparasit pada kerokan mukosa usus
3.4 Pengamatan ektoparasit scabiosis
3.5 Pengamatan susu mastitis dan uji CMT
3.6 Pemeriksaan residu antibiotic

BAB IV PENUTUP
4.1 Pengiriman spesimen bahan........................................................................... 6
4.2 Pengamatan endoparasit pada feses.
4.3 Pengamatan endoparasit pada kerokan mukosa usus
4.4 Pengamatan ektoparasit scabiosis
4.5 Pengamatan susu mastitis dan uji CMT
4.6 Pemeriksaan residu antibiotik

3
DAFTAR PUSTAKA
5.1 Pengiriman spesimen bahan........................................................................... 6
5.2 Pengamatan endoparasit pada feses.
5.3 Pengamatan endoparasit pada kerokan mukosa usus
5.4 Pengamatan ektoparasit scabiosis
5.5 Pengamatan susu mastitis dan uji CMT
5.6 Pemeriksaan residu antibiotik
LAMPIRAN ................................................................................................................. 36

4
PENGIRIMAN SPESIMEN BARANG

5
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
Pengambilan specimen atau bahan pemeriksaan merupakan langkah awal yang sangat
menentukan hasil pemeriksaan dalam rangka memperoleh jawaban yang menentukan
penyebab infeksi. Dapat terjadi bahwa yang diisolasi bukan penyebab tetapi organisme flora
normal sehingga akan memberikan intreprestasi hasil laboratorium yang keliru dan
menyebabkan langkah terapi yang salah (Pinta Murni,dkk, 2015).
Terhindar dari kemungkinan kontaminasi baik dari alat, lingkungan, bagian tubuh lain,
dan petugas pengambil. Alat dan tempat spesimen harus steril dan sesuai. Misalnya
pengambilan urine atau sputum sebaiknya dengan pot bermulut lebar. Setelah bahan
ditampung hendaknya ditutup rapat dan dicegah adanya kebocoran untuk menghindari
kontaminasi dan pencemaran dari dan pada lingkungan (Armedy Ronny,dkk, 2016).
Tinja dapat dikirim tanpa medium transport bila tidak terlalu lama. Apabila jarak
pengiriman jauh sehingga memerlukan waktu lebih dari 4 jam, maka perlu digunakan media
transport yang sekaligus merupakan medium selektif bagi jenis kuman tertentu. Medium
transport atau selektif ini berupa medium cair, misalknya : Air peptone alkali, Selenit Broth,
dsb. Perlu diperhatikan suhu dan hindarkan dari kekeringan (Kartika Dewi,dkk,2013).
Penggunaan SOP sebagai salah satu pedoman di laboratorium ternyata masih belum
dilakukan sepenuhnya, terutama bagi negara yang belum menerapkan prinsip biosafety
laboratorium sebagai prioritas utama ( Drs. Chairlan, dkk, 2011).
Laboratorium klinik sebagai subsistem pelayanan kesehatan menempati posisi penting
dalam diagnosis invitro. Terdapat lima (5) alasan pemeriksaan laboratorium diperlukan,
yaitu : skrining, diagnosis, pemantauan progresifitas penyakit, monitor pengobatan dan
prognosis penyakit. Oleh karena itu setiap laboratorium harus dapat memberikan data hasil
tes yang teliti, akurat, sensitif, spesifik, cepat dan tidak mahal (Supri Hartini, 2013).

6
BAB II
MATERI DAN METODE

3.1 Lokasi dan Waktu


Laboratorium Epidemiologi Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya
3.2 Bahan dan Peralatan
Tinja atau isi usus :
 Jenis bahan yang dikirim
 Pengawet
3.3 Prosedur Kerja
 Nama dan alamat dokter hewan, pejabat yang akan ditunjuk, atau alamat
kepada Laboratorium Diagnostik penyakit harus jelas
 Cantumkan gejala penyakit dengan tanda-tanda klinis
 Pemeriksaan yang diinginkan (bakteriologis, pathologis klinis, pathologi
anatomi yang lain)
 Keterangan tentang ternak yang terserang, misalnya umur, spesies, kelamin
dan bangsa
 Jumlah ternak yang terserang dalam populasi
 Jumlah kematian
 Jenis bhan yang dikirim
 Pengawet yang digunakan sesuai dengan tujuan pemeriksaan
 Bila laporan hasil sangat diperluka, dapat ditulis segera melalui telegram

7
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada saat praktikum dijelaskan bahwa pengiriman specimen barang harus melewati
tahap pemeriksaan. Hal ini sebanding pernyataan dari Hartini. S (2016) yang menyatakan
bahwa pemeriksaan laboratorium tiap parameternya harus dilakukan segera. Akan tetapi
bila diperlakukan untuk penyimpanan spesimen, pengiriman dan penundaan pemeriksaan
seperti pemadaman listrik, kerusakan alat, reagen yang habis dan jumlah sampel yang
banyak, maka sampel harus disimpan. Dalam Pedoman Pemeriksaan Kimia Klinik ada
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi stabilitas spesimen seperti kontaminan oleh
kuman dan bahan kimia, terkena paparan sinar matahari, pengaruh suhu dan metabolisme
dari sel-sel hidup seperti sel darah. Sehingga terdapat beberapa cara penyimpanan untuk
sampel darah yaitu disimpan dalam bentuk serum di dalam lemari es dengan suhu 2-80C.
Dengan begitu stabilitas serum akan bertahan selama 5-7 hari.
Dalam pengiriman kita harus memberikan keterngan alamt dokter dan penyakit yang
jelas. Hal ini sebanding dengan pernyataan dari Chlairin (2013) yang menyatakan bahwa
laboratorium perifer mengirim spesimen ke laboratorium rujukan atau laboratorium yang
lebih spesialistik untuk pemeriksaan-pemeriksaan yang tidak dapat dilakukan di
laboratorium setempat. Sebagai contoh, pemeriksaan serologis untuk infeksi treponemal
atau tifoid; kultur feses untuk deteksi Vibrio cholerae; dan pemeriksaan histologis bahan
biopsi.
Pengiriman bahan serta beberapa keterangan harus ditempelkan pada botol atau
pembungkus. Hal ini sebanding dengan pernyataan dari Puspa.D, dkk, (2013) yang
menyatakan bahwapemeriksaan konfirmasi rutin spesimen menjadi salah satu komponen
yang penting dalam pemastian mutu pemeriksaan dalam jejaring laboratorium campak.
Walau bagaimanapun, pengiriman spesimen serum dari laboratorium nasional ke
laboratorium rujukan cukup mahal, khususnya saat pengiriman dengan cold chain.
Kegunaan SOP laboratorium sangat beragam, salah satunya berkaitan dengan tindakan
pencegahan dalam keselamatan (safety precaution). Hal ini sebanding dengan pernyataan
dari Rony Armedy,dkk (2016) yang menyatakan bahwa (Standar pembuatan SOP harus
mengikuti ketentuan yang berlaku dan sesuai standar GLP. Berbagai SOP dapat disusun
asalkan sesuai dengan standar yang ada dan bertujuan untuk meningkatkan mutu
laboratorium. Berbagai jenis SOP dapat dikembangkan diantaranya SOP pendaftaran,
pengambilan spesimen, penyimpanan spesimen, pengelolaan spesimen hingga penyerahan
hasil pemeriksaan spesimen. SOP lainnya dapat berupa SOP penggunaan alat pemeriksaan,
kecelakaan kerja, sistem pelaporan kecelakaan kerja dan lainnya. Untuk menjamin kualitas
yang sudah ada maka SOP juga harus selalu dievaluasi secara berkala.
Pembungkus specimen untuk pengiriman harus melewati tahap pemeriksaan. Hal ini
sesuai dengan pernyataan dari Murni.P, dkk (2015) yang menyatakan bahwa engertian
kedua dari herbarium adalah spesimen (koleksi tumbuhan), baik koleksi basah maupun
kering. Spesimen kering pada umumnya telah dipres dan dikeringkan, serta ditempelkan
pada kertas (kertas mounting), diberi label berisi keterangan yang penting dan sulit dikenali
secara langsung dari spesimen kering tersebut, diawetkan serta disimpan dengan baik
ditempat penyimpanan yang telah disediakan. Spesimen basah yaitu koleksi yang
diawetkan dengan menggunakan larutan tertentu, seperti FAA atau alcohol.

8
BAB IV PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Penundaan pemeriksaan seperti pemadaman listrik, kerusakan alat, reagen yang habis
dan jumlah sampel yang banyak, maka sampel harus disimpan. Dalam Pedoman
Pemeriksaan Kimia Klinik ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi stabilitas
spesimen seperti kontaminan oleh kuman dan bahan kimia, terkena paparan sinar matahari,
pengaruh suhu dan metabolisme dari sel-sel hidup seperti sel darah. Sehingga terdapat
beberapa cara penyimpanan untuk sampel darah yaitu disimpan dalam bentuk serum di
dalam lemari es dengan suhu 2-80C. Dengan begitu stabilitas serum akan bertahan selama
5-7 hari.

5.2 Saran
Lebih kondusif lagi pada saat praktikum.
DAFTAR PUSTAKA
Chairlan dan Lestari. E. 2011. Teknik Laboratorium Kesehatan. Buku Kedokteran EGC.
Yogyakarta.
Hartini. S dan Eka. M. 2016. Uji Kualitas Serum Simpanan terhadap Kadar Kolestrol dalam
Darah di Poltekkes Kemenkes KALTIM. Jurnal Ilmiah. Vol 2(1), 65-6.
Murni. P, Muswita, Harlis, Upik Yelianti dan Winda. D. W. 2015. Lokakarya Pembuatan
Herbarium untuk Pengembangan Media Pembelajaran Biologi di MAN Cendekira
Muaro Jambi. Jurnal Pengabdian pada Masyarakat. Vol 3 (2): 1-23.
Puspa. D. K, Mursinah, Ratumas. R dan Budianto. 2013. Stabilitas Imunoglobulin M (IgM)
Campak pada Dried Serum Spots. Jurnal Kefarmasian Indonesia Vol
3.2.2013:46-51.
Ronny. M, Hasugian1 dan Vivi. L. 2016. Peran Standar Operasional Prosedur Penanganan
Spesimen untuk Implementasi Keselamatan Biologik (Biosafety) di Laboratorium
Klinik Mandiri. Jurnal Peran Standar Operasional Prosedur. 1-10.

9
PENGAMATAN ENDOPARASIT PADA FESES
1. Single egg of C. infudibulum
2. Ascaridia galli
3. Davainea proglottina

10
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
Sampel kemudian disimpan dalam larutan formalin 4% untuk kemudian diperiksa ada
tidaknya endoparasitnya. Pemeriksaan endoparasit dilakukan di Bidang Zoologi, Pusat (
Kartika dewi,2012).
Penyakit pada ternak akibat cacing parasit dapat merugikan secara ekonomis, karena
dapat menurunkan produktifitas dari ternak tersebut. Penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui prevalensi dan intensitas infeksi telur cacing parasit pada sapi potong (Novese
Tantri,dkk, 2013).
Keberhasilan peternak sapi perah dipengaruhi oleh cara perawatan dan
pengawasannnya, sehingga kesehatan ternak sapi perah tersebut tetap terjaga (Resti
Puttama, dkk, 2017).
Faktor yang dapat menyebabkan penurunan produktivitas ternak adalah gangguan
kesehatan yang dapat disebabkan oleh bakteri, virus, dan parasit baik berupa ektoparasit
maupun endoparasit (Rikardo Silaba,dkk,2011).
Feses sapi potong yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan biogas dapat
mengandung mikroorganisme endoparasit seperti cacing yang dapat menyebabkan
gangguan sistem ekologis diantaranya penyebaran penyakit terhadap ternak maupun
manusia (Nugraheni, dkk,2013).

11
BAB II
MATERI DAN METODE
3.1 Lokasi dan Waktu
Laboratorium Epidemiologi Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya
3.2 Bahan dan Peralatan
 Tinja baru (diambil dari rectum atau segar) 1 sdt
 Cairan fisiologis atau air bersih
 Lidia tau gelas pengaduk
 Obyek glass dan penutup
 Mikroskop
3.3 Prosedur Kerja
 Ambil obyek glass dan penutup, bersihkan
 Ambil tinja sapu satu ujung korek api, lwtakkan pada obyek glass
 Teteskan sediit air, aduk pelan dengan lidi, buang bagian yang kasar
 Tutupkan gelas penutup, jangan sampai ada udara teroerangkap
 Amati dibawah mikroskop
 Gambarlah saudara lihat

12
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada saat praktikum dijelaskan bahwa telur cacing berkembang pada feses ternak. Hal
ini sebanding dengan pernyataan dari Dewi.K (2013) bahwa secara perkembangan, telur
belum infektif ketika dikeluarkan inang melalui feses dan akan berkembang menjadi
infektif jika menemukan lingkungan yang menguntungkan. Tingkat prevalensi Ascaris pada
babi sangat dipengaruhi tercemarnya pakan oleh telur infektif tersebut. Selain hal tersebut
pada babi liar yang hidup dalam kelompok kecil dengan area jelajah yang luas akan
memiliki prevalensi Ascaris yang lebih kecil dibandingkan kelompok besar dengan
kepadatan yang tinggi
Pada saat praktikum dijelaskan bahwa telur yang berada di feses ayam buras salah
satuny adalah fasciolah hepatica. Hal ini sebanding dengan pernyataan dari Fasciola
hepatica dapat menginfeksi inang melalui makanan, berupa rumput yang mengandung telur
parasit yang terbawa Lymnae sp. Infeksi dapat pula terjadi akibat sapi yang meminum air
yang bersumber dari aliran air yang mengandung telur yang terbawa oleh siput tersebut.
Setelah serkaria menemukan inang, serkaria tersebut bergerak menuju usus halus kemudian
menjadi mirasidium yang akan berkembang dan menuju hati inang
Prevalensi tertinggi infeksi telur cacing parasit berasal dari kelas Nematoda dengan
persentase 100%, diikuti cacing parasit Trematoda 36,5% dan cacing parasit Cestoda 15%.
Hal ini sebanding dengan pernyataan dari Tantri.N, dkk (2016) menyatakan bahwa
prevalensi dan intensitas telur cacing parasit yang ditemukan pada 80 sampel feses berbeda.
Prevalensi tertinggi ditemukan pada Ascaris infertil (100%) dan terendah pada Taenia
saginata (3,37%). Intensitas serangan tertinggi pada T. saginata (111 butir/ ind) dan
terendah pada F. hepatica (1,31 butir/ ind
Ayam buras memiliki banyak parasite pada feses. Hal ini sebanding dengan pernyataan
dari Silaban.R, dkk (2011) menyatakan bahwa ayam yang terserang parasit dapat
mengalami penurunan berat badan. Ayam dapat terinfeksi oleh endoparasit melalui
makanan. Endoparasit dapat ditularkan melalui makanan dengan kondisi yang kurang
bersih. Selain itu penyebaran endoparasit dapat melalui air dan peralatan yang digunakan
pada pemeliharaan ternak
Bakteri mesofilik dengan suhu antara 20ºC- 45ºC sedangkan cacing endoparasit tidak
dapat bertahan hidup pada kondisi suhu melebihi 37ºC sehingga cacing tidak dapat
bertahan hidup dan akhirnya mati. Hal ini sebanding dengan pernyataan dari Nugraheni.
N, dkk (2015) menyatakan bahwa dari kelas Trematoda cacing yang teridentifikasi adalah
Fasciola sp, dan Paramphistomum sp. Kedua cacing ini memerlukan siput sebagai hospes
perantara. Infeksi pada hospes definitif terjadi pada saat ternak memakan rumput atau
meminum air yang mengandung metaserkaria kedua cacing ini.

13
BAB IV PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Ayam dapat terinfeksi oleh endoparasit melalui makanan. Endoparasit dapat ditularkan
melalui makanan dengan kondisi yang kurang bersih. Selain itu penyebaran endoparasit dapat
melalui air dan peralatan yang digunakan pada pemeliharaan ternak. Dan pada saat melakukan
praktikum kelompok kai tidak menemukan telur cacing atau sejenisnya.
5.2 Saran
Lebih kondusif lagi pada saat praktikum.

DAFTAR PUSTAKA
Dewi.K dan Nugraha. 2012. ENDOPARASIT PADA FESES BABI KUTIL (Sus
verrucosus) DAN PREVALENSINYA YANG BERADA DI KEBUN
BINATANG SURABAYA. Jurnal Peternakan. Vol 4 (1): 67-78.
Irsya. P. R, Mairawita, dan Henny. JENIS-JENIS PARASIT PADA SAPI PERAH DI
KOTA PADANG PANJANG SUMATERA BARAT. JURNAL
METAMORFOSA IV (2): 189-19.
Nugraheni. N, Eulis. T, dan Yuli. 2015. Identifikasi Cacing Endoparasit pada Feses Sapi
Potong Sebelum dan Sesudah Proses Pembentukan Biogas Digester Fixed-Dome.
Indonesian Journal of Veterinary Science and Medicine. Vol. 1(1): 17-20.
Silaban. R, Febriansyah, dan Pulungan. 2013. Penyakit Menular Pada Intensifikasi Unggas
Lokal dan Cara Penanggulangannya. Jurnal Peternakan. Vol 2(1): 57-75.
Tantri. N, Tri Rima dan Siti. 2013. Prevalensi dan Intensitas Telur Cacing Parasit pada Feses
Sapi (Bos Sp.) Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Pontianak Kalimantan Barat.
Protobiont . Vol 2 (2): 102 – 10.

14
PENGAMATAN ENDOPARASIT PADA KEROKAN MUKOSA
USUS
1. Fasciola hepatica
2. Gaigeria pachycelis
3. Chabertia ovina

15
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
Kecacingan tergolong penyakit neglected disease yaitu infeksi yang kurang
diperhatikan dan penyakitnya bersifat kronis tanpa menimbulkan gejala klinis yang jelas dan
dampak yang ditimbulkannya baru terlihat dalam jangka panjang (Afifah. D.S, 2016.) .
Rattus norvegicus perlu diwaspadai mengingat pasar merupakan tempat yang penuh
aktivitas masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari, karena berpotensi
menyebarkan berbagai penyakit parasite (Solomon. S, dkk, 2016).
Endoparasit dapat ditemukan pada otak, hati, paru-paru, jantung, ginjal, otot, kulit,
darah dan saluran pencernaan ( Rismawati, dkk, 2009).
Ascaridia galli (A. galli) adalah cacing gelang bertubuh besar dan tergolong cacing
nematoda. Investigasi epidemiologi ascaridiosis yang disebabkan oleh infestasi A. galli pada
unggas tersebar hampir di seluruh dunia (Darmawi, dkk, 2013).
Larva stadium L3 A. galli diperoleh dari isi lumen dan mukosa usus halus ayam petelur
yang telah diinfeksi dengan dosis 6000 telur infektif A. galli (Santos, et all, 2011).

16
BAB II
MATERI DAN METODE
3.1 Lokasi dan Waktu
Laboratorium Epidemiologi Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya
3.2 Bahan dan Peralatan
 Siapkan usus ayam buras, keroklah dengan scalpel
 Cairan fisiologi atau air bersih
 Gelas obyek dan gelas penutup
 Mikroskop
3.3 Prosedur Kerja
 Pisahkan menjadi 3 bagian : proventrikulus, usus halus dan caecum
 Buka tiap bagian dengan guntng, kemudian keroklah bagian mukosa dengan scalpel
 Lakukan pemeriksaan seperti pada tugas II, tentukan apakah protozoa, larva cacing,
cacing dewasa atau telur cacing pada sampel
 Tentukan jenis yang saudara lihat,gambarlah

17
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
Endoparasit yang menyerang vertebrata adalah protozoa, virus, bakteri, trematoda,
cestoda dan nematoda. Salah satu yang banyak diinfeksi oleh parasit adalah ungags. Hal ini
sebanding dengan pernyataan dari Setyaningrum (2016) bahwa parasit helmint atau cacing
secara alami ditemukan pada berbagai jenis unggas liar dan unggas peliharaan. Endoparasit
yang sering menginfeksi unggas peliharaan seperti bebek, itik, burung dan ayam adalah
Nematoda. Endoparasit dapat menyerang ayam pada semua umur. Ayam yang terinfeksi
endoparasit memiliki gejala seperti lesu, pucat, kondisi tubuh menurun bahkan
mengakibatkan kematian. Endoparasit dapat menghambat pertumbuhan dan mengakibatkan
penurunan produksi ayam kampung.
Penyebaran endoparasit terhadap hewan ternak dapat melewati pakan, air dan peralatan
ternak. Hal ini sebanding dengan Shufferaw. S,et all (2016) keberadaan parasit di dalam
tubuh ayam kampung dapat menyebabkan kerusakan organ-organ tertentu. Serangan parasit
menimbulkan penyakit yang menyebabkan kerugian bagi peternak berupa kematian dan
menurunkan hasil produksi telur dan daging. Ayam yang terserang penyakit ini akan
mengalami penurunan berat badan sehingga ayam menjadi lemah dan kurus bahkan
menyebabkan kematian.
Kebiasaan makan ayam kampung yang bersifat omnivora adalah sebagai sebab akibat
ayam kampung terserang penyakit parasit. Hal ini sebanding dengan Rismawati, dkk (2011)
menyatakan bahwa eimeria yang ditemukan diduga berasal dari air yang diminum pada ayam
kampung. Eimeria merupakan penyebab terjadinya penyakit koksidiosis pada ayam umur
muda.
Penyebab tingginya angka prevalensi pada ayam kampung ini diperkirakan karena sistem
pemeliharaan, masalah pakan tidak bersih dan faktor lingkungan. Hal ini sebanding dengan
pernyataan dari Darmawi (2013) yang menyatakan bahwa sistem pemeliharaan ayam
kampung secara tradisional yaitu pemeliharaan ayam yang dilepaskan pada siang hari dan
pada malam hari dikandangkan, mengakibatkan ayam kampung mempunyai peluang lebih
besar untuk terjangkit parasit.
Trematoda yang ditemukan pada usus ayam kampung adalah Echinostoma (4%) dan
Schistosoma. Hal ini sebanding dengn Santos, et all ( 2011) yang menyatakan bahwa
Trematoda memiliki bagian paling luar disebut tegume, ujung anterior tubuh terdapat batil
isap (oral sucker) dan bagian ventralnya terdapat sucker (Bowman 1999). Prevalensi
Echinostoma sp (16%) ditemukan pada itik (Anas javanica) di Pasar tradisional Surabaya
(Suheni et al. 2010). Pada umumnya infeksi ringan cacing Echinostoma tidak pathogen.

18
BAB IV PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Endoparasit dapat menyerang ayam pada semua umur. Ayam yang terinfeksi
endoparasit memiliki gejala seperti lesu, pucat, kondisi tubuh menurun bahkan
mengakibatkan kematian. Endoparasit dapat menghambat pertumbuhan dan mengakibatkan
penurunan produksi ayam kampung. Pada saat praktikum tidak menemukan adanya cacing
di mukosa usus gelombang kami.Penyebaran endoparasit terhadap hewan ternak dapat
melewati pakan, air dan peralatan ternak.
5.2 Saran
Lebih kondusif lagi pada saat praktikum
DAFTAR PUSTAKA
Darmawi1, Ummu. B, Risa Fachriyan, dan Razali. D. 2012. Populasi L3 pada ayam petelur
yang diinfeksi dengan dosis 6000 L2 Ascaridia galli. Jurnal Kedokteran Hewan
1(2): 71-76.
Shiferaw. S, Firaol, Askale. G, Dagmawit. A, and Abreham Mekibib. 2016. Study on
Prevalence of Helminthes of Local Backyard and Exotic Chickens in and Around
Ambowest Shoa Zone, Oromia Regional State, Ethiopia. J Veter Sci Med. Vol.
4 (2): 68-87.
Rismawati, Yusfiati, dan Radith. 2011. Prevalensi infeksi cacing saluran pencernaan itik
jawa (Anas javanica) yang dipotong dan dijual di beberapa pasar tradisional Kota
Surabaya. Vol. 1(3): 58-76.
Santos TC,Murakami A, and Fanhani Oliveira. 2011. Production and Reproduction of Egg-
and Meattype Quails Reared in Different Group Sizes. Brazilian Journal of
Poultry Science. Vol. 4 (1): 69-78.
Setyaningrum. D.A. 2016. Jenis Tikus dan Endoparasit Cacing dalam Usus Tikus di Pasar
Rasamala Kelurahan Srondol Wetan Kecamatan Banyumanik Kota Semarang.
Jurnal Kesehatan Masyarakat. Vol. 4 (3): 8-18.

19
PENGAMATAN EKTOPARASIT SCABIOSIS
1. Sarcoptes scabiei

20
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
Burrow ink test adalah suatu cara untuk mengetahui kanal terowongan (papul) dalam
kulit yang dibuat oleh Sarcoptes scabiei sebagai karakteristik kelainan kulit dari scabies
(Isa Ma’rufi, dkk, 2012).
Tungau Sarcoptes scabiei berukuran 400 x 300 𝜇m dan hampir tidak terlihat dengan
mata telanjang. Putih seperti mutiara, tidak memiliki mata, tembus cahaya, kecil, berbentuk
oval, dan perutnya rata. Tungau memiliki delapan kaki yang melekat pada ventral
permukaan cephalothorax. (Mayang, 2011).
Tempat tempat yang menjadi favorit bagi sarcoptes scabei adalah daerahdaera lipatan
kulit, seperti telapak tangan, kaki, selangkangan, lipatan paha, lipatan perut, ketiak dan
daerah vital (Parman, dkk, 2017).
Secara morfologi Sarcoptes scabiei pada kambing dan kelinci tidak ada perbedaan, yaitu
ektoparasit yang berukuran kecil, bentuk bulat dengan garis luar kasar (Ririen, dkk, 2012)
Sarcoptes dibedakan dengan genus lain berdasar adanya leg sucker (pulvilus), dimana
pada Sarcoptes jantan dapat dijumpai adanya leg sucker pada kaki ke-1, 2 dan 4, sedang
pada yang betina dapat dijumpai pada kaki ke-1 dan 2 Beberapa peneliti menyatakan bahwa
1 coptes mempunyai spesies atau varian yang berbeda (Zainal. N, dkk, 2011).

21
BAB II
MATERI DAN METODE

3.1 Lokasi dan Waktu


Laboratorium Epidemiologi Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya
3.2 Bahan dan Peralatan
 Siapkan kerokan kulit penderita kudisan (scabiosis) kelinci atau kambing
 KOH 10%
 Gelas ar;oji atau pot plastic
 Mikroskop
3.3 Prosedur Kerja
 Ambil kerokan mukosa letakkan dalam pot atau gelas arloji
 Tambahkan KOH 10%
 Aduk pelan kemudia diambkan 5-10 menit
 Buatlah preparat sederhana pada gelas obyek dengan penutup
 Lihat dibawah mikroskop
 Tentukan jenis ektoparasit yang terlihat,gambarlah

22
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
Diagnosis scabies yang berlaku selama ini masih didasarkan pada gejala klinis dan
pemeriksaan mikroskopis dari scraping kulit yang menunjukkan gejala krusta. Hal ini
sebanding pernyataan dari Ngesti. R, dkk (2009) menyatakan bahwa scabies karena iritasi
akibat tungau yang aktif membentuk terowongan sehingga temak lebih cenderung
menggaruk dan menggigit karena gatal yang hebat sehingga mengakibatkan pembengkaan
disertai eksudat membeku dan membentuk krusta pada permukaan kulit.
Kambing dan kelinci yang menunjukkan gejala scabies seperti timbulnya krusta dan
penebalan kulit pada daerah telinga, moncong, sekitar mata atau leher dan punggung. Hal
ini sebanding pernyataan dari Ma’rufi, dkk (2010) menyatakan bahwa Scabies atau kudis
adalah penyakit kulit yang gatal dan menular pada mamalia domestik maupun mamalia liar
yang disebabkan oleh ektoparasit jenis tungau (mite) Sarcoptes scabiei, dengan berbagai
varietas seperti pada kambing dan kelinci.
Perbedaan morfologi berdasarkan ukuran tungau jantan dan betina serta ingin
mengetahui bagaimana profil protein sarcoptes pada kambing dan kelinci. Hali ini
sebanding dengan pernyataan Kusuma. M, dkk (2011) yang menyatakan bahwa melakukan
pengukuran (diameter) sarcoptes jantan dan betina baik pada kelinci maupun kambing.
Sebagian isolat dicuci dengan PBS dan disentrifus dengan kecepatan 3000 rpm selama 10
menit untuk membersihkan kotoran serta darah yang terbawa waktu scraping, pencucian
tersebut dilakukan sampai tiga kali.
Skabies adalah penyakit kulit menular yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi
tungau Sarcoptes scabiei dan produknya. Sinonim atau nama lain skabies adalah kudis, the
itch, gudig, budukan dan gatal agogo. Hal ini sebanding pernyataan dari Zainal. N (2013)
yang menyatakan bahwa Skabies terjadi baik pada laki-laki maupun perempuan, pada
semua kelompok usia, ras dan kelas sosial. Namun menjadi masalah utama pada daerah
yang padat dengan gangguan sosial, sanitasi yang buruk, dan negara dengan keadaan
perekonomian yang kurang. Skabies ditularkan melalui kontak fisik langsung dengan
penderita (skin-to-skin) maupun tidak langsung.
Skabies mempunyai tiga presentasi klinik yaitu classic, crusted, dan nodular. Hal ini
sebanding pernyataan dari Parman, dkk (2017) yang menyatakan bahwa S scabiei
var.caprae, pada domba S.scabiei var.ovis, pada kelinci S.scabiei var.cuniculi pada anjing
S scabiei var. canis, pada manusia S.scabiei var.hominis dan pada babi S.scabiei var.suis.
Meskipun antara mamalia satu dengan lainnya berbeda varietas namon dimungkinkan
terjadi penularan pada induk semang lainnya. Prevalensi scabies pada populasi kambing
lebih fluktuatif, mulai kurang dari 5% sampai mendekati 100% dan mortalitas cukup tinggi
antara 67 - lOO% pada kambing berumur muda dan sekitar 11% untuk kambing dewasa

23
BAB IV PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Diagnosis scabies yang berlaku selama ini masih didasarkan pada gejala klinis
dan pemeriksaan mikroskopis dari scraping kulit yang menunjukkan gejala krusta
dantungau yang aktif membentuk terowongan sehingga temak lebih cenderung
menggaruk dan menggigit karena gatal yang hebat sehingga mengakibatkan
pembengkaan disertai eksudat membeku dan membentuk krusta pada permukaan kulit.
Hasil praktikum kelompok kami terdapat s Sarcoptes scabiei

5.2 Saran
Lebih kondusif lagi pada saat praktikum.

DAFTAR PUSTAKA
Dewi. K. M dan Nasrul Wathoni. 2011. Diagnosis dan Regnosis Pengobatan Scabies.
Jurnal Anm. Vol. 2(5): 67-78.
I Ma’rufi. I, Erdi Istiaji dan EriWitcahyo. 2011. Hubungan Personal Hygiene Santri
Dengan Kejadian Penyakit Kulit Infeksi Scabies Dan Tinjauan Sanitasi
Lingkungan Pondok Pesantren Darel Hikmah Kota Pekanbaru. Jurnal
Ilmiah. Vol 1(4): 22-45.
Parman, Hamdani, Irwandi. R dan Angga Pratama. 2017..Survey on the importance of
mange in the aetiology of skin lesions in goats in Peninsular Malaysia.
Trop.Anim. Vol. 1(26) :81-86.
Zainal. N, Farida dan Sri Vitayani . 2013. EFEKTIVITAS KRIM EKSTRAK BIJI
MIMBA 10% PADA PENDERITA SKABIES. JST Kesehatan.Vol.3 No.2
: 196 – 202
.

24
PENGAMATAN SUSU MASTITIS DAN UJI CMT

25
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
Uji CMT, susu dari pemerahan pancaran kedua atau ketiga dari setiap puting lalu
ditampung pada paddle. Setelah itu ditambahkan reagen CMT (1:1). Setelah ditambahkan
reagen, paddle diputar perlahan-lahan secara sirkuler selama 10-15 detik dan dilihat perubahan
pada larutan yaitu berupa pembentukan gel berwarna putih abu-abu dalam larutan berwarna
ungu pada dasar paddle (Puguh Surjowardojo,dkk, 2008).
Sapi perah merupakan jenis sapi yang meghasilkan susu melebihi kebutuhan untuk
anaknya. Produksi susu sapi perah dipengaruhi oleh faktor antara lain: bangsa dan individu,
tingkat laktasi, kecepatan sekresi susu, pemerahan, umur, siklus birahi, periode kering, pakan,
lingkungan serta penyakit (Puguh Surjowardojo, 2011).
Mastitis adalah peradangan pada jaringan internal ambing atau kelenjar mammaeoleh
mikroba, zat kimiawi dan luka akibat mekanis atau panas. Mastitis juga merupakan penyakit
yang umum terjadi pada peternakan sapi perah di seluruh dunia dan secara nyata menurunkan
produksi susu (Z. Riza, 2011).
Proses terjadinya mastitis subklinis merupakan interaksi antara host/induk semang
(sapi), agen penyebab dan lingkungan. Pada sapi perah, kejadian mastitis lebih sering
disebabkan oleh infeksi bakteri dibandingkanoleh agen penyebab lainnya seperti cendawan atau
kapang (Nurhayati, S,I, 2015).
Path Análisis salah satu kajian epidemiologi untuk mengetahui faktor-faktor yang
berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap mastitis pada sapi perah Koperasi di
Kabupaten Pasuruan Jawa Timur (Budiarto, 2008).

26
BAB II
MATERI DAN METODE

3.1 Lokasi dan Waktu


Laboratorium Epidemiologi Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya
3.2 Bahan dan Peralatan
Air susu mastitis dari 4 putting
Paddle dengan 4 lubang
3.3 Prosedur Kerja
 Tuangkan air susu setiap putting pada setiap lubang pada paddle
 Aduk dan lihat apakah terdapat mucous/lender
 Amati perubahan yang terjadi
 Cari cara pembacaan dengan CMT

27
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada saat praktikum dijelaskan bahwa air susu mengalami mastitis akan mengalami
perubahan warna, baud an visikositas. Hal ini sebanding dengan pernyataan dari Puguh, S,
dkk (2008) bahwa reaksi ini ditandai dengan adanya peradangan pada ambing untuk
menetralisir rangsangan yang ditimbulkan oleh luka serta untuk melawan kuman yang
masuk kedalam kelenjar susu agar dapat berfungsi normal. mastitis dapat menyebabkan
perubahan fisik, kimia, dan bakteriologi dalam susu serta perubahan patologi dalam
jaringan glandula mammae. Perubahan yang kelihatan dalam susu meliputi perubahan
warna, terdapat gumpalan dan munculnya leukosit dalam jumlah besar.
Penyebab Sapi Perah mengalami mastitis karena kebersihan kandang yang kurang
sehingga terdapat banyak kuman. Hal ini sebanding dengan pernyataan dari Puguh, S
(2011) bahwa sanitasi kandang yang kurang baik menyebabkan mikro organisme patogen
berkembang baik di sekitar kandang dan manajemen pemerahan yang kurangbaik
menyebabkan puting mudah kontak langsung dengan mikro organisme patogen penyebab
mastitis. Infeksi mastitis secara keseluruhan belum menunjukkan tingkat keparahan yang
sangat seperti yang terlihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Grafik jumlah putting yang terinfeksi karena mastitis


Infeksi mastitis dapat terjadi melalui beberapa tahapan, yaitu pertama melalui kontak
dengan mikroorganisme. Hal ini sebanding pernyataan dari Riza Z.A (2011) bahwa
sejumlah mikroorganisme mengalami multiplikasi di sekitar lubang puting (sphincter),
setelah itu dilanjutkan dengan masuknya mikroorganisme ke dalam jaringan akibat lubang
puting yang terbuka ataupun karena adanya luka.Tahap selanjutnya terjadi respon imun
pada induk semang. Respon pertahanan pertama ditandai dengan berkumpulnya lekosit-
lekosit untuk mengeliminasi mikroorganisme yang telah menempel pada sel-sel ambing.
Apabila respon ini gagal, maka mikroorganisme akan mengalami multiplikasi dan sapi
dapat memperlihatkan respon yang lain, misalnya demam.
Tindakan pencegahan sangat diperlukan sebagai salah satu upaya pengendalian
penyakit mastitis pada sapi perah di lapangan, terutama dengan deteksi dini penyakit
mastitis subklinis. Hal ini sebanding dengan pernyataan dari Inas dan Martindah (2015)
Pengendalian mastitis klinis pada umumnya dapat segera dilakukan karena gejala klinis
yang muncul sangat jelas, sebaliknya pengendalian mastitis subklinis sering kali terlambat
dilakukan karena gejala klinisnya tidak jelas, akibatnya menimbulkan kerugian yang sangat
besar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi pengelolaan masa periode kering
memiliki pengaruh penting pada tingkat kejadian mastitis pada laktasi berikutnya. Dengan

28
demikian,pemahaman tentang epidemiologi dan dinamika infeksi ntramamary selama masa
kering sangat penting untuk meningkatkan kualitas susu dan kontrol penyakit mastitis
Terjadinya mastitis dapat merugikan dalam hal perekonomian untuk para oeternak .
Hal ini sebanding dengan pernyataan dari Budiarto (2010) bahwa mastitis atau radang
ambing merupakan masalah utama dalam tata laksana usaha peternakan sapi perah yang
sangat merugikan peternak, karena dapat menurunkan produksi susu dalam jumlah besar,
juga berpengaruh terhadap penurunan kualitas susu yang dihasilkan, yang secara langsung
atau tidak langsung akan merugikan konsumen dan industri pengolahan susu. Kerugian
akibat mastitis sub klinis dapat berupa turunnya produksi susu sebesar 10-40 %, penolakan
susu oleh koperasi sebesar 20-30 %,

29
BAB IV PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Pengujian kualitas susu dengan organoleptik menunjukkan susu masih dalam kondisi
normal walaupun melalui pengujian alifornia Mastitis Test (CMT) terdapat susu yang
positif California Mastitis Test (CMT) dan semua putting/sampel memiliki total bakteri di
atas ambang batas maksimum cemaran mikroba. Hal ini bisa terjadi karena saat
pengambilan sampel untuk pengujian organoleptik berasal dari putting yang tidak
mengalami mastitis subklinis.
5.2 Saran
Lebih kondusif lagi pada saat praktikum.

DAFTAR PUSTAKA
Budiarto. 2010. Path Analysis Mastitis pada Sapi Perah Koperasi Di Kabupaten Pasuruan - Jawa
Timur. Veteranaria Medika. Vol 3(1): 56-90
Imas, S, N dan E, Martindah. 2015. Pengendalian Mastitis Subklinis melalui Pemberian
Antibiotik Saat Periode Kering pada Sapi Perah. WARTAZOA Vol 25( 2): 065-074
Puguh, S. 2011. Tingkat Kejadian Mastitis dengan Whiteside Test dan Produksi Susu
Sapi Perah Friesien Holstein. J.Ternak Tropika Vol 12(1): 46-55
Puguh, S, Suyadi, Luqman, H dan Aulani’am. 2008. Ekspresi Produksi Susu pada Sapi
Perah Mastitis. J. Ternak Tropika. Vol 9(2): 1-11
Riza, Z, A. 2011. Mastitis Mikotik di Indonesia. Jurnal Peternakan. Vol 4(7): 45-78

30
PEMERIKSAAN RESIDU ANTIBIOTIK

31
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
Pemakaian antibiotika yang tidak beraturan dapat menyebabkan residu dalam jaringan
organ yang dapat menyebabkan reaksi alergi, resistensi dan mungkin keracunan sehingga
cukup berbahaya bagi kesehatan manusia (Yuningsih, 2008).
Contoh antibiotika yang digunakan ialah tetrasiklin yang berfungsi sebagai antibakteri
yang bekerja secara bakteriostatik dan dapat mencegah penyakit yang ditimbulkan baik oleh
bakteri gram positif maupun negative (Castello, 2013).
Residu antibiotik akan menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada media agar.
Penghambatan dapat dilihat dengan terbentuknya daerah hambatan disekitar kertas cakram
(Agus, dkk, 2014).
Bahaya atau hazard yang berkaitan dengan keamanan pangan asal ternak diantaranya
adalah penyakit ternak, penyakit yang ditularkan melalui pangan (food borne diseases) serta
cemaran atau kontaminan bahan kimia dan bahan toksik termasuk cemaran antibiotic
(Etikanningrum, 2014).
Ditemukannya residu antibiotik dalam makanan asal hewan erat kaitannya dengan
penggunaan antibiotik untuk pencegahan dan pengobatan penyakit ternak serta penggunaan
sebagai aditif pakan (Dewi, dkk, 2014).

32
BAB II
MATERI DAN METODE

3.1 Lokasi dan Waktu


Laboratorium Epidemiologi Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya
3.2 Bahan dan Peralatan
 Tabung Reaksi
 Pipet 1 ml
 Penangas air
 Larutan penicillin 0,005 IU
 Starter yogurt aktif
3.3 Prosedur Kerja
 Sediakan 8 tabung reaksi, masing-masing diisi dengan 4 ml sampel air susu
 4 tabung untuk sampel C1 (putting depan kanan), C2 (putting depan kiri, D1
(putting belakang kanan), D2 (putting belakang kiri)
 2 tabung untuk sampel A1 dan A2 (sampel susu putting sehat)
 2 tabung yang tersisa untuk sampel B1 dan B2 diisi dengan sampel susu
mastitis
 Siapkan larutan penicillin 0,5 IU/ml
 Panaskan seluruh tabung reaksi yang berisi sampel A1, A2, B1, B2, C1, C2,
C3 dan C4 pada suhu 80-85 °C selama 10 menit
 Dinginkan sampai mencapai suhu 45 °C
 Tambahkan 3% starter yigurt aktif pada semua tabung
 Masukkan ke incubator semua tabung pada temperatur43 °C selama 3-4 jam
 Amati perubahan yang terjadi
- Susu yang menjadi yogurt akan terjadi perubahan konsistensi dari encer
menjadi kental, berarti tidak ada antibiotika dalam susu
- Susu tetap encer berarti ada antibiotika dalam susu

33
34
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
Daging, telur dan susu dapat mengandung bahaya biologis dan kimia. Salah satu bahaya
kimia yang terdapat pada produk tersebut adalah residu antibiotika. Hal ini sebanding dengan
pernyataan dari Dewi, dkk (2014) yang menyatakan bahwa residu antibiotika dalam pangan
dapat mengancam kesehatan masyarakat. Ancaman tersebut antara lain resistensi bakteri, alergi
terhadap pangan dan juga keracunan. Masalah residu antibiotika pada produk pangan hewan
diakibatkan praktik yang kurang baik dalam penggunaan antibiotika di peternakan. Penggunaan
antibiotika saat ini adalah untuk pengobatan dan juga pemacu pertumbuhan. Penggunaan
antibiotika yang tidak memperhatikan masa henti obat, akan menimbulkan residu antibiotika
pada produk pangan hewan.
Produk hewan yang berkualitas baik akan mempunyai nilai jual yang tinggi disamping
akan mampu berkompetisi di dalam perdagangan secara luas. Hal ini sebanding dengan
pernyataan dari Consaleisius, dkk (2014) yang menyatakan bahwa masih banyak permasalahan
yang berkaitan dengan mutu dan keamanan produk hewan yang diindikasikan antara lain;1)
banyak produk tidak memenuhi syarat mutu dan keamanan karena adanya cemaran kimia dan
mikroba yang tinggi, penanganan selama rantai produksi kurang baik sehingga belum dapat
bersaing di pasar internasional. 2) masih banyak kasus keracunan makanan. 3) masih rendahnya
pengetahuan, ketrampilan dan tanggung jawab produsen produk hewan.
Daging, telur dan susu merupakan pangan hewani yang mempunyai nilai gizi yang
tinggi. Hal ini sebanding dengan pernyataan dari Saniwati (2015) yang menyatakan bahwa
terutama mengandung asam amino esensial yang diperlukan oleh tubuh untuk pertumbuhan sel-
sel baru, pergantian sel-sel yang rusak, serta proses metabolisme tubuh. Daging termasuk ke
dalam pangan yang mudah busuk dan juga berpotensi membawa bahaya bagi kesehatan.
Keamanan pangan asal ternak selalu merupakan isu aktual yang perlu mendapat
perhatian dari produsen, konsumen, dan para penentu kebijakan, karena selain berkaitan dengan
kesehatan masyarakat. Hal ini sebanding dengan pernyataan Muslikah, dkk (2016) yang
menyatakan bahwa pentingnya keamanan pangan ini sejalan dengan semakin baiknya
kesadaran masyarakat akan pangan asal ternak yang berkualitas, artinya selain nilai gizinya
tinggi, produk tersebut aman dan bebas dari cemaran mikroba, bahan kimia atau cemaran yang
dapat mengganggu kesehatan.
Penggunaan antibiotika saat ini adalah untuk pengobatan dan juga pemacu
pertumbuhan. Hal ini sebanding dengan pernytaan dari Murdiati, dkk (2009) yang menyatakan
bahwa pengawasan residu dalam pangan asal hewan sangat penting terutama dalam kaitannya
dengan perlindungan kesehatan dan keamanan konsumen. Salah satu upaya yang dapat
dilakukan adalah dengan melakukan monitoring dan surveilans residu secara teratur.

35
BAB IV PENUTUP
5.1 Kesimpulan
. Ancaman tersebut antara lain resistensi bakteri, alergi terhadap pangan dan juga
keracunan. Masalah residu antibiotika pada produk pangan hewan diakibatkan praktik yang
kurang baik dalam penggunaan antibiotika di peternakan. Penggunaan antibiotika saat ini
adalah untuk pengobatan dan juga pemacu pertumbuhan. Penggunaan antibiotika yang
tidak memperhatikan masa henti obat, akan menimbulkan residu antibiotika pada produk
pangan hewan.
5.2 Saran
Lebih kondusif lagi pada saat praktikum.

DAFTAR PUSTAKA

Detha. A. 2014. Detection of antibiotic residues in milk, Jurnal Kajian Veteriner. Vol. 2(2):
203-208.
Etikaningrum dan S. Iwantoro. 2017. Kajian Residu Antibiotika pada Produk Ternak
Unggas di Indonesi. Vol. 5 (1): 34-78.
Marliana N, Zubaidah E, Sutrisno A. 2015. Pengaruh Pemberian Antibiotika saat Budidaya
terhadap Keberadaan Residu pada Daging dan Hati Ayam Pedaging dari
Peternakan Rakyat. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan 25 (2): 10-19.
Mudiarti, T. B., 2010. Teknik Deteksi Residu Antimikroba dalam Produk Peternakan. J.
Vet. Vo;. 2(3): 45-89.
Sudarwanto M, Sudarnika E. 2008. Hubungan antara pH susu dengan Jumlah Sel
Somatik sebagai parameter mastitis subklinis. Media Peternakan 31(2): 107-
113.

36
Skema Ektoparasit Ektoparasit scabies

Uji CMT Nama- nama bakteri, protozoa dll

UjiResidu
Antibiotik

37
38
39

Anda mungkin juga menyukai