Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN KEGIATAN PPDH

ROTASI PATOLOGI ANATOMI


yang dilaksanakan di
LABORATORIUM PATOLOGI VETERINER
FKH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

“Amoebiasis, Emfisema dan Edema Pulmonum, Hipertropi,


Glomerulus, Degenerasi Melemak dan Hemoragi Pada Hewan
Kucing (Fellis catus)”

Oleh
Khusnul Khowatimi, S.KH
NIM. 170130100011030

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018

i
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PELAKSANAAN PPDH
ROTASI PATOLOGI ANATOMI
DI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
(26 - 23 Maret 2018)

Oleh:
Khusnul Khowatimi, S.KH
NIM. 170130100011030

Menyetujui,
Komisi Penguji

Penguji I Penguji II

Drh. Dyah Ayu Oktavianie, M. Biotech Drh. Fajar Shodiq Permata, M.Biotech
NIP. 19841026 200812 2 004 NIP. 19870501 201504 1 001

Mengetahui,
Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Brawijaya

Prof. Dr. Aulanni’am, Drh., DES


NIP. 19600903 198802 2 001

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberi rahmat
dan pertolongan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan
kegiatan PPDH Rotasi Patologi Anatomi. Dalam penulisan laporan ini penulis
mengucapkan terimakasih kepada:
1. Prof. Dr. Aulanni’am, drh., DES selaku Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Brawijaya.
2. drh. Dyah Ayu Oktavianie, M. Biotech dan drh. Fajar Shodiq Permata, M. Biotech,
selaku penguji ujian PPDH Rotasi Patologi Anatomi.
3. Stray Cat Deffender dan House Of Pet yang telah berkenan memberikan kucing
sebagai hewan yang diperiksa dan segala informasi yang dibutuhkan untuk penulisan
laporan ini.
4. Bapak, ibu, mba, mas dan keluarga atas do’a, kasih sayang, dukungan dan motivasi
yang tak terhingga sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan laporan ini.
5. Kelompok V “Lumbal Ke-5” PPDH gelombang 10 atas keceriaan dan kekeluargaan
yang erat.
6. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian penulisan laporan ini yang
tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan ini masih jauh dari sempurna, untuk
itu penulis mohon kritik dan saran yang bersifat membangun demi masa mendatang yang
lebih baik. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.

Malang, 22 Maret 2018

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................................................ .... i
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................... .... ii
KATA PENGANTAR ............................................................................................... ... iii
DAFTAR ISI ............................................................................................................. .... iv
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. .... v
BAB 1 PENDAHULUAN .............................................................................. ............. 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................ .... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................... .... 2
1.3 Tujuan ..................................................................................................... … 2
1.4 Manfaat ........................................................................................................ 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................... 3
2.1 Kucing .......................................................................................................... 3
2.2 Penyakit Yang Menyerang Kucing ............................................................... 4

BAB III METODE KEGIATAN ............................................................................ .... 10


3.1 Tempat dan Waktu Pelaksanaan .............................................................. .... 10
3.2 Profil Mahasiswa .................................................................................... .... 10
3.3 Alat dan Bahan ........................................................................................ .... 10
3.4 Teknik Nekropsi....................................................................................... .... 10
3.5 Prosedur Pembuatan Preparat ................................................................. .... 12
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. .... 13
4.1 Signalement ............................................................................................. .... 13
4.2 Anamnesa ................................................................................................ .... 13
4.3 Pemeriksaan Fisik .................................................................................... .... 14
4.4 Hasil Nekropsi ......................................................................................... .... 15
4.5 Hasil Pemeriksaan Makroskopis dan Mikroskopis .................................. .... 16
4.6 Diagnosa .................................................................................................. .... 25

BAB V PENUTUP .................................................................................................... ... 26

iv
5.1 Kesimpulan ............................................................................................. ... 26
5.2 Saran ........................................................................................................ .... 26
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... .... 27
LAMPIRAN.................................................................................................................... 28

v
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kucing merupakan salah satu hewan peliharaan yang terpopular di dunia.


Kucing mempunyai daya tarik tersendiri karena bentuk tubuh, mata dan warna
rambut yang beragam, sehingga dengan kelebihan-kelebihan tersebut kucing dapat
dikembangbiakkan dan dibudidayakan dan populasi kucing secara otomatis akan
meningkat. Populasi kucing yang meningkat menyebabkan resiko terpapar penyakit
akan sangat mudah. Peranan dokter hewan sangat penting di bidang kesehatan
hewan khususnya kucing untuk mendiagnosa dan mengobati penyakit agar tidak
menular ke hewan lain maupun manusia. Upaya yang dilakukan untuk mendiagnosa
suatu penyakit pada kucing salah satunya adalah pemeriksaan patologi anatomi
hewan yang diduga sakit baik secara makroskopis dan mikroskopis pada organ yang
mengalami kelainan.

Pemeriksaan patologi anatomi dapat dilakukan setelah hewan dinekropsi.


Nekropsi merupakan bedah bangkai yang dilakukan untuk menegakkan diagnosa
suatu penyakit pasca hewan mati. Nekropsi dilakukan untuk mengidentifikasi
adanya kelainan pada organ yang mengalami perubahan patologis baik
makroskopis maupun mikroskopis. Uji lanjutan untuk menentukan kelainan
mikroskopis adalah dengan pembuatan preparat histopatologi. Histopatologi adalah
salah satu cara untuk penegakkan diagnosa melalui hasil pengamatan pada jaringan
yang diduga mengalami kelainan.

Berdasarkan latar belakang diatas, kegiatan Rotasi Patologi Anatomi oleh


mahasiswa Pendidikan Profesi Dokter Hewan (PPDH) ini dilaksanakan untuk
meningkatkan kemampuan dalam teknik nekropsi, diagnosa penyakit berdasarkan
perubahan patologi anatomi serta mengetahui perubahan-perubahan patologis pada
organ dan jaringan.

1
1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dari kegiatan Pendidikan Profesi Dokter Hewan (PPDH) rotasi
patologi anatomi adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana mengidentifikasi abnormalitas atau perubahan patologis pada
organ atau jaringan kucing secara makroskopis dan mikroskopis ?
2. Bagaimana cara menetapkan diagnose berdasarkan perubahan patologis
pada organ atau jaringan kucing tersebut ?
1.3 Tujuan

Tujuan dari kegiatan Pendidikan Profesi Dokter Hewan (PPDH) rotasi patologi
anatomi adalah sebagai berikut :
1. Mahasiswa mampu mengidentifikasi abnormalitas atau perubahan patologis
pada organ atau jaringan pada kucing secara makroskopis dan
mikroskopis.
2. Mahasiswa mampu menetapkan diagnosa berdasarkan perubahan patologis
pada organ atau jaringan kucing.
1.4 Manfaat

Manfaat dari kegiatan Pendidikan Profesi Dokter Hewan (PPDH) rotasi


patologi anatomi adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui teknik nekropsi hewan yang tepat.
2. Mengetahui peran dokter hewan dalam menetapkan diagnosa berdasarkan
perubahan patologi organ hewan yang sakit.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kucing (Fellis catus)

Kucing merupakan hewan karnivora yang banyak tersebar di berbagai


belahan dunia. Kucing lokal (Fellis catus) adalah kucing hasil persilangan antara
Fellis silvetris dengan Libica yang merupakan keturunan dari Fellis silves. Ciri
khas dari kucing lokal ialah bulunya pendek dengan warna yang bermacam-
macam dan bervariasi seperti abu-abu, coklat dan perpaduan dari berbagai
warna/belang (Mason,1984).

Menurut Ratmus (2000), klasifikasi Kucing adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Sub Phylum : Vertebrata
Kelas : Mamalia
Sub Kelas : Theria
Sub Ordo : Fissipedia
Famili : Felidae
Sub Famili : Machairodonynae
Genus : Fellis
Spesies : Fellis Catus (Kucing Lokal)

Kucing merupakan hewan peliharaan yang telah didomestikasi sejak 3000-


4000 tahun lalu pada zaman mesir kuno, kucing domestikasi (Felis domesticus)
adalah hewan domestikasi yang merupakan keturunan dari kucing eropa (Felis
sylvestris) dengan kucing hutan afrika (Felis lybica), Felis domesticus termasuk
dalam kelas mamalia, ordo karnivora, sub ordo feliformia, famili felidae (Lesmana,
2008).

3
Hewan kucing memiliki ciri-ciri antara lain panjang tubuh 76 cm, tinggi
tubuh 25-28 cm, berat tubuh jantan 3-4 kg dan betina 2-3 kg dapat hidup berkisar
selama 13-17 tahun. Kucing yang telah mengalami domestikasi dikenal dengan
nama ilmiah Felis catus atau Felis domesticus. Kucing menggunakan variasi
vokalisasi dan tipe bahasa tubuh untuk komunikasi, meliputi: meowing, purring,
hissing, growling, squeking, chriping, clicking, dan grunting (Mariandayani, 2012).

2.2 Penyakit Yang Menyerang Kucing

Ada beberapa penyakit yang sering menyerang kucing, diantaranya adalah


sebagai berikut :

a. Chlamydiosis

Feline chlamydiosis disebabkan oleh bakteri Chlamydia psitacii


(Chlamydophila felis). Masa inkubasi chlamydia adalah 2-5 hari. Tanda utama yang
muncul adalah terjadi konjungtivitis pada membran niktitan kemudian keluar cairan
dari mata berupa mucus atau mukopurulen (Jones, 2009).

Chlamydia hidup pada retikulo endotel hospes dan sel-sel epitel seperti
usus, plasenta, saluran respirasi, membrane serous dan konjungtiva. Infeksi utama
chlamydia adalah pada system vascular dimana hal ini akan menyebabkan
terjadinya thrombosis pada berbagai organ. Proliferasi endothelium terjadi
perivaskular yang terdapat infiltrasi sel mononuklear dan neutrofil.

Perubahan patologi yang terlihat pada chlamydiosis yaitu pneumonia.


Temuan makroskopis terdapat lesi dan hemoragi pada paru-paru dan paru-paru
berwarna ungu keabu-abuan. Pada temuan mikroskopis terdapat leukosit pada
eksudat alveolus. Perubahan patologis yang lain yaitu terdapat lesi pada mata dan
konjungtiva. Konjungtiva mengalami peradangan atau konjungtivitis dan
mengeluarkan cairan mukopurulen, terjadi keratitis superfisial, hiperemi dan edema
pada jaringan periorbital serta pembesaran limfonodul pada kelenjar parotid
(Pienaar and Schutte, 1990)

4
b. Leptospirosis

Leprospirosis adalah penyakit zoonosis, disebabkan oleh infeksi bakteri


Leptospira yang berbentuk spiral, tipis lentur dan panjang 10-20 µm dan tebal 0,1
µm serta memiliki dua lapis membran. Kedua ujungnya mempunyai kait berupa
flagellum periplasmik dan bergerak aktif maju mundur dengan gerakan memutar
sepanjang sumbunya. Leptospira peka terhadap asam dan dapat hidup didalam air
tawar selama kurang lebih satu bulan, tetapi didalam air laut, air selokan dan air
kemih yang tidak diencerkan akan cepat mati. Kucing dapat terinfeksi Leptospira
melalui ganangan air yang terkontaminasi urin yang terinfeksi Leptospira. Bakteri
ini masuk ke dalam tubuh melalui kulit yang luka atau membrane mukosa
(Faine,1982).

Gejala klinis pada kucing yang terinfeksi Leptospira yaitu leptospiraemia


dan leptospiruria. Selain itu terdapat perubahan patologi yaitu terjadi peradangan
pada ginjal dn hati. Kucing juga mengalami ascites, pembesaran hati dan kegagalan
fungsi hati dan icterus. Manifestasi klinis uang umum terjadi pada kucing yang
menderita leptospirosis adalah nefritis interstitialis yang disebabkan oleh sperosit
(Hertmann, 2013).

c. Panleukopenia

Feline panleukopenia (FPL) merupakan penyakit menular nonzoonosis


pada kucing, dengan nama lain Feline distemper, Infectious enteritis, Cat fever, Cat
typhoid. FPL merupakan penyakit yang menyerang segala umur kucing dan dapat
menimbulkan banyak kematian kucing terutama pada anak kucing dapat mencapai
kematian 75%. Anak kucing, kucing sakit dan kucing rumahan yang tidak divaksin
adalah lebih rentan tertular dibandingkan dengan kucing tua yang biasanya lebih
tahan karena mempunyai kekebalan bawaan atau sudah berulang kali terinfeksi.
Feline panleukopenia merupakan penyakit yang fatal pada kucing muda, yang
hamper sama seperti distemper pada anjing. Pemyakit ini disebabkan oleh virus
termasuk Famili Parvoviridae yang menyerang jaringan pembentuk darah dan
limfe, dan juga mukosa organ gastro intestinal sehingga menyebabkan penurunan

5
jumlah leukosit dan enteritis. Virus ini banyak ditemukan pada urin dan feses, tetapi
penularan dari kucing ke kucing lain melalui muntahan, urin, leleran mata maupun
hidung (Syafriati, 2004).
Gejala klinis penyakit ini adalah demam yang sangat tinggi, anoreksia,
diare, dehidrasi atau penurunan sel darah putih yang sangat tajam. Pada anak kucing
yang baru lahir virus ini menyerang perkembangan cerebellum sehingga
menyebabkan neurogical abnormalitas (Hosokawa et al, 1987).
Perubahan patologi Feline panleukopenia adalah adanya hemoragi enteritis,
kerusakan intestinal berupa pelepasan epitel usus dan terdapat cairan fibrous. Ciri-
ciri replikasi dari Feline panleukopenia adalah pemendekan vili usus karena
hilangnya sel epitel. Virus bereplikasi dalam sel yang membelah dengan cepat pada
kript liberkuhn, yang mengganggu regenerasi epitel dan menghasilkan lesi.
Kemudian pada transmisi intrauterine atau infeksi perinatal dapat mempengaruhi
perkembangan system saraf pusat yang disebut dengan “Feline Ataxia Syndrome”.
Sindrom ini terjadi akibat perkembangan otak serebelum akibat infeksi litik dari sel
purkinje pada anak kucing. Kucing yang terinfeksi virus ini akan mengalami
hypoplasia serebellar (Hartmann, 2015)
d. Feline Calicivirus

Feline calicivirus merupakan virus yang sangat pathogen dan sangat penular
pada populasi kucing. Virus ini merupakan Family dari Caliciviridae dan genus
Vesivirus. Virus calici ini merupakan salah satu dari jenis cat flu yang paling sering
menyerang kucing selain herpes virus. Virus ini masuk kedalam tubuh melalui
mata, hidung dan mulut. Partikel virus yang sangat kecil menyebabkan virus mudah
menempel pada sembarang tempat, seperti lantai, tempat tidur kucing, makanan, air
minum kucing, bahkan baju dan tangan manusia yang tidak steril. Masa inkubasi
dari virus ini relative cepat yaitu 2-4 hari. Gejala klinis yang timbul antara lain
gangguan saluran pernafasan atas, stomatitis, ulserasi pada daerah lingual, demam,
anoreksia kadang disertai dengan hipersalivasi, dyspnoe, batuk dan pneumonia (
Radford, 2015).

6
Perubahan patologis akan ditemukan ulserasi pada daerah oral. Ulcer
berawal dari vesikel yang berada di daerah lingual, kemudian mengalami rupture
pada epitel. Terdapat lesi pada paru-paru dan alveolitis, yang menyebabkan
pneumonia eksudatif akut dan berkembang menjadi proliferative dan interstitial
pneumonia. Antigen pada virus dapat diidentifikasi di kulit, mukosa hidung, paru-
paru, pancreas dan sel endothelial pada dermis yang mengalami nekrosis (Radford
et al., 2007).

e. Dermatophytosis

Dermatophytosis, secara awam dikatakan sebagai penyakit kulit yang


disebabkan oleh jamur, tanpa harus mengetahui spesies jamur kulit tersebut.
Dermatophytosis pada kucing umumnya zoonotik dan sangat tinggi penularannya.
Penanganan penyakit ini cukup sulit karena sering terjadi reinfeksi disamping
membutuhkan waktu dan biaya tinggi. Para dokter hewan kadangkala terkecoh
dalam mendiagnosa penyakit kulit jamur ini, seringkali terditeksi hanya sebagai
penyakit kulit biasa. Sporan jamur akan menetap dalam periode yang lama dalam
lingkungannya, melalui spora penyakit dapat menular tidak saja lewat kontak
terhadap hewan yang terinfeksi juga dapat melalui kandang yang pernah digunakan
hewan terinfeksi, lewat sisir grooming, collar, dan bulu kucing (Sajuthi, 2010).

Dermatophytosis pada kucing disebabkan oleh jamur Microsporum canis,


microsporum gypseum dan Trichophyton. Sebaiknya untuk kucing-kucing yang
diduga terinfeksi jamur, dilakukan pengujian laboratorium kerokan untuk diisolasi
jenis jamurnya. Gejala klinis dari dermatophytosis berhubungan dengan
pathogenesisnya, dermatophytosis menginvasi rambut dan epitel tanduk. Jamur
akan merusak rambut, dan mengganggu keratinisasi kulit normal, secara klinis bulu
rontokdan pitak dengan maupun tanpa peradangan, timbul kerak,kemerahan,
sampai lecet dapat berkembang didaerah muka,pipi, telinga, kuku, kaki depan, ekor
dan sebagian badan. Gejala klinis lain yaitu gatal, hiperpigmentasi dan kucing
dengan dermatophytosis parah akan disertai dengan muntah, konstipasi atau
hairball (Sajuthi, 2010).

7
f. Amoebiasis

Amoebiasis pada kucing disebabkan oleh Entamoeba histolytica dengan


nama lain amoeba dysentriae, Entamoeba tetragena, Entamoeba dispar dan
Entamoeba venaticurn. Entamoeba histilytica memiliki dua bentuk utama dengan
satu bentuk peralihan, yaitu bentuk tropozoit (bentuk vegetative atau bentuk
histilytica) dan bentuk kista.

Tropozoit Entamoeba histolytica berukuran 10 –60 μm, berinti bulat dengan


diameter empat sampai tujuh mikrometer. Membran intinya berupa garis dan
mempunyai kromatin, sehingga inti terlihat seperti cincin. Sitoplasma Entamoeba
histolytica terbagi menjadi dua, yakni ektoplasma dan endoplasma yang di
dalamnya terdapat vakuola makanan yang berisi eritrosit, bakteri dan reruntuhan
sel. Isi pada vakuola makanan inilah yang membedakan spesies yang patogen dan
non patogen. Terdapat juga pseudopodiayakni alat gerak semu yang bentuknya
seperti jari tangan (Soulsby, 1986). Stadium kista berbentuk bulat atau ovoid
dengan ukuran diameter 5–20 μm. Kista dewasa mempunyai empat inti, dan badan
kromatin yang panjang seperti cambuk. Sedangkan stadium kista berbentuk bulat
atau ovoid dengan ukuran diameter 5 –20 μm. Kista dewasa mempunyai empat inti,
dan badan kromatin yang panjang seperti cambuk (Soulsby, 1986).

Penyakit ini menyebabkan diare dan merusak dinding sekum dan kolon.
Parasit masuk ke dalam mukosa kemudian berkembang biak dan membentuk
koloni, selanjutnya meluas ke sub mukosa sampai ke muskularis usus. Patogenitas
Entamoeba diperkuat akibat masuknya bakteri saat infeksi, yakni Escherihcia coli
dan Aerobacter aerogenes. Kedua bakteri memperparah rusaknya jaringan
predileksi parasit, yakni dengan membentuk ulkus dan peradangan (Soulsby,1986).

g. Giardiasis

Nama lain dari Giardia lambia adalah Cercomonas intestinalis, Lamblia


intestinalis, Giardia enterica, Giardia intestinalis dan Megastoma entericum.
Habitat parasit ini di dalam duodenum, jejenum bagian atas, saluran empedu serta
kandung empedu. Selain pada manusia, parasit ini juga ditemukan pada kera.

8
Bentuk tropozoit dari genus Giardia adalah piriform sampai elipsoid, dan
simestris bilateral, tampak depan terlihat seperti buah pir. Tropozoit Giardia
memiliki panjang 10 –18 μm dengan ketebalan 2 –4 μm. Ujung anterior berbentuk
bulat dan melebar sedangkan ujung posteriornya meruncing. Memiliki cakram
penghisap yang berada di sisi ventral. Terdapat dua inti anterior, dua axostyle serta
terdapat delapan flagela yang letaknya rata pada permukaan epitel (Prasetyo, 2004).
Giardia memiliki kista yang berbentuk oval, mempunyai dua atau empat inti,
berdinding tebal sehingga tampak sebagai garis ganda (Levine, 1995).
Kebanyakan infeksi Giardia tidak memperlihatkan gejala klinis, namun
pada sebagian kecil spesies yang terinfeksi akan menampakkan gejala yakni diare
menahun. Penyebaran giardiosis yang berasal dari air menjadi perhatian yang terus
meningkat (Levine, 1995).

9
BAB III

METODE KEGIATAN

3.1 Tempat dan Waktu Pelaksanaan

Kegiatan Pendidikan Profesi Dokter Hewan (PPDH) Rotasi Patologi


Anatomi dilaksanakan pada tanggal 26-23 Maret 2018 di Laboratorium
Patologi Anatomi dan Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Brawijaya.

3.2 Profil Mahasiswa

Profil mahasiswi yang mengikuti kegiatan PPDH Rotasi Patologi


Anatomi :

Nama : Khusnul Khowatimi

NIM : 170130100011030

Program Studi : Pendidikan Profesi Dokter Hewan (PPDH)

Alamat : Jl. MT Haryono Gg IX No.42 Malang

Nomor telepon : 085746082356

Email : khusnulkhowatimi15@gmail.com

3.3 Alat dan Bahan

Alat yang dipergunakan dalam kegiatan ini yaitu dissecting set, papan
nekropsi, tempat organ, microtome, water bath dan objek glas. Adapun bahan yang
dibutuhkan yaitu seekor kucing sakit, formalin 10%, etanol bertingkat (70%, 80%,
90% dan 95%), xylol I-III, akuades, etanol absolut I-III, parafin, putih telur, gelatin,
pewarna hematoksilin dan pewarna eosin.

3.4 Teknik Nekropsi

Nekropsi pada kucing dilakukan dengan tujuan untuk memeriksa dan


menerapkan diagnosa penyakit atau penyebab kematian. Alat dan bahan yang

10
digunakan untuk nekropsi yaitu pinset anatomis, gunting tajam tumpul, scalpel,
glove, masker, formalin 10%, pot organ, kertas label dan nampan.

Teknik nekropsi pada kucing sebagai berikut :

1) Jika kucing masih dalam keadaan hidup, maka dilakukan pemeriksaan fisik
terlebih dahulu dan diamati kelainan-kelainan tertentu.
2) Pada kucing dalam kondisi masih hidup dieutanasi dengan cara pemberian
obat anantesi umum.
3) Pada kucing yang sudah mati atau bangkai direbahkan pada nampan dengan
posisi rebah dorsal.
4) Dibuat irisan pada kulit mulai daerah abdomen diteruskan ke anterior pada
daerah thorax sampai mandibular. Irisan pada kulit tersebut juga diteruskan
ke bagian posterior di daerah abdomen. Kulit dikuakkan sampai
mengekspose bagian muskulus.
5) Ditusuk bagian bawah arcus ischiadicus pada sternum dengan hati-hati
kemudian iris kedua sisi costae pada bagian posterior menuju ke vertebrae.
Pada bagian sternum potong costae pada bagian costochondral kearah
anterior sehingga bagian rongga thorax dapat terbuka.
6) Membuat irisan pada bagian abdomen dengan cara memotong linea alba kea
rah posterior hingga anus, sehingga cavum abdomen dapat terekspose.
7) Diperiksa bagian organ pada cavum thorax dan cavum abdomen dan diamati
kemungkinan adanya cairan, eksudat, transudat atau darah di dalamnya.
8) Dikeluarkan isi cavum thorax mulai dari lidah trachea hingga paru-paru
bersamaan dengan jantung.
9) Dikeluarkan organ hati dan limpa serta dilakukan pemeriksaan
10) Dikeluarkan isi cavum abdomen mulai dari esophagus, lambung dan usus
dan dilakukan pemeriksaan pada semua organ.
11) Dikeluarkan organ uropoetika mulai dari ginjal, vesika urinaria dan urethra.
12) Digunakan instrument steril untuk mempreparir setiap organ dan
mengamati kelainan yang ditemukan.

11
13) Dikoleksi semua potongan organ yang diduga mengalami perubahan
patologis dan dimasukkan kedalam pot organ yang berisi formalin 10%.

3.5 Prosedur Pembuatan Preparat

Proses pembuatan preparat histologi terdiri dari fiksasi, dehidrasi,


clearing, infiltrasi parafin, embedding, sectioning, penempelan dan pewarnaan.
Tahapan pembuatan preparat dimulai dengan melakukan fiksasi yaitu
merendam organ dalam formalin 10% selama 24 jam, kemudian diiris dengan
ukuran 2x1x0,5 cm agar dapat dimasukkan ke dalam kotak untuk diproses
dalam tissue processor. Selanjutnya tahapan dehidrasi yaitu potongan organ
dimasukkan ke dalam etanol 70%, etanol 80%, etanol 90% , etanol 95%, etanol
absolut I,II dan III masing-masing 20 menit. Tahapan clearing menggunakan
xylol I, II dan III dimasukkkan selama masing-masing 20 menit. Infiltrasi
menggunakan parafin cair I, II dan III masing-masing 1 jam di dalam inkubator
dengan suhu 600C. Embedding merupakan tahapan menanam jaringan atau
sampel yang digunakan. Parafin cair dituangkan ke dalam cetakan sampai
penuh kemudian sampel ditanam dengan posisi yang benar. Sectioning
dilakukan dengan memotong sampel menggunakan microtome dengan
ketebalan 3-10 mikron. Potongan organ diambil dan diletakkan di water bath
dengan suhu 400C agar potongan organ yang terlipat menjadi mengembang.
Staining atau pewarnaan adalah proses pewarnaan dengan menggunakan
hematoxylin dan eosin. Tahapan pewarnaan yang lebih lengkap dapat dilihat
pada Lampiran 2. Mounting atau penutupan menggunakan kaca penutup dan
direkatkan menggunakan entellan serta diberi label sebagai identitas pada
preparat.

12
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Signalement

Jenis hewan : Kucing

Ras : Domestic Short Hair (DSH)

Warna : Orange putih

Jenis kelamin : Jantan

Umur : ± 4-5 bulan

Berat badan : ± 1,6 kg

Waktu kematian : 22 Februari 2018

Tanggal Nekropsi : 27 Februari 2018

Gambar 4.1 Performa kucing domestik (Dokumentasi pribadi, 2018)

4.2 Anamnesa

- Tanggal 21 Februari 2018

Anamnesa dari klien, kucing muntah 3x ( pagi, siang, malam) berwarna


kuning, diare, anoreksia dan lethargi. Pada pemeriksaan fisik ditemukan
alopecia pada kaki depan kiri dan reflek menelan lambat.

13
- Tanggal 22 Februari 2018
Berat badan mengalami penurunan menjadi 1,56 kg, suhu 33oC, reflek
menelan memburuk, tidak mau minum, muntah, lethargi, hipotermia,
selaput lendir pucat, turgor ± 5 detik, CRT ± 4 detik, membrane niktitan
terlihat, respon tubuh menurun kemudian mati.

4.3 Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum
- Pertumbuhan badan : Baik
- Sikap berdiri : Tidak berdiri tegak
- Gizi : Kurang baik
Kulit dan Rambut
- Permukaan kulit : Tidak ada lesi
- Rambut : Alopecia pada kaki kiri
Kepala dan Leher
- Mata : Cekung
- Membran niktitan : Terlihat pink
- Hidung : Tidak ada discharge
- Mukosa mulut : Pucat
- Lidah : Berwarna kemerahan
- Telinga : Tidak ada discharge
- Posisi kepala : Agak menunduk
- Trakhea : Teraba
- Esopagus : Teraba, respon menelan lambat
Alat kelamin
- Anus : Bersih
Ekstremitas : Kompak dan simetris

14
4.4 Pemeriksaan Hasil Nekropsi

Pemeriksaan makroskopis organ dilakukan untuk mengetahui


kondisi organ secara fisik untuk mengetahui lesi yang terdapat pada organ
sebelum dilakukan pemeriksaan mikroskopis dengan pembuatan preparat
histopatologi.

Tabel 4.1 Hasil Pemeriksaan Organ Kucing

No Organ Hasil pemeriksaan Hasil Pemeriksaan


Makroskopis Mikroskopis
1 Mata Mukosa mata tampak -
sedikit pucat
2 Hidung Tidak ada discharge -
3 Mulut Tidak ada kelainan -
4 Lidah Ada kemerahan pada -
pangkal lidah
5 Trachea Tidak ada kelainan -
6 Esophagus Tidak ada kelainan -
7 Lambung Terdapat perlemakan di Terdapat nekrosis liquefaktif
dinding lambung dan amoeba di tunika
submucosa
8 Pancreas Tidak ada kelainan -
9 Hepar Terdapat spot berwarna Terdapat nekrosis liquefaktif
agak kehitaman pada dan hemoragi
lobus hepar, tepi hepar
agak tumpul
10 Jantung Tidak ada kelainan -
11 Paru-paru Hiperemi pada lobus paru- Pembesaran alveolus dan
paru penumpukan cairan
12 Spleen Tidak ada kelainan -
13 Ginjal Terdapat perlemakan Hipertropi glomerulus

15
14 Duodenum Tidak ada kelainan -
15 Jejunum Hemoragi Nekrosis liquefaktif dan
jaringan ikat di vili
16 Ileum Tidak ada kelainan -
17 Colon Tidak ada kelainan -
18 Vesika urinaria Tidak ada kelainan -

4.5 Hasil Pemeriksaan Makroskopis Dan Mikroskopis

Pemeriksaan dilakukan dengan mengamati lesi yang ditemukan pada


jaringan dari organ yang mengalami lesi. Lesi yang ditemukan pada jaringan
akan sangat membantu dalam meneguhkan diagnosa penyakit yang tepat.
Berikut adalah hasil pemeriksaan secara makroskopis dan mikroskopis pada
organ lambung, jejunum, paru-paru, hati dan ginjal.

Gambar 4.2 Gambar makroskopis lambung kucing terlihat perlemakan di


dinding lambung (lingkaran merah)

16
B

Gambar 4.3 Gambaran mikroskopis organ lambung ditemukan adanya lapisan


tunika muskularis (A), lapisan tunika submucosa (B) yang mengalami nekrosis
liquefaktif (panah kuning) dan terdapat tropozoit amoeba (panah merah)
(perbesaran 400x, pewarnaan HE).

Hasil pemeriksaan mikroskopis organ lambung secara menyeluruh dengan


perbesaran 400x terdapat batas antara tunika muskularis dan tunika submukosa
yang masih terlihat jelas. Pada lapisan tunika submukosa mengalami nekrosis
liquefaktif sebagaimana terlihat pada Gambar 4.3. Nekrosis merupakan kematian
sel sebagai akibat dari adanya kerusakan selakut atau trauma (misalnya:
kekurangan oksigen, perubahan suhu yang ekstrem,dan cedera mekanis), di mana
kematian sel tersebut terjadi secara tidak terkontrol yang dapat menyebabkan
rusaknya sel, adanya respon peradangan dan berpotensi menyebabkan masalah
kesehatan yang serius. Nekrosis biasanya disebabkan karena stimulus yang
bersifat patologis. Selain karena stimulus patologis, kematian sel juga dapat terjadi
melalui mekanisme kematian sel yang sudah terprogram di mana setelah mencapai
masa hidup tertentu maka sel akan mati. Mekanisme ini disebut apoptosis, sel akan
menghancurkan dirinya sendiri (bunuh diri/suicide), tetapi apoptosis dapat juga
dipicu oleh keadaan iskemia.

Nekrosis liquefaktif biasanya berhubungan dengan kerusakan seluler dan


nanah. Nekrosis liquefaktif ditandai oleh larutnya jaringan akibat lisis enzimatik

17
sel-sel yang mati. Proses ini biasanya terjadi di otak sewaktu terjadi pelepasan
enzim-enzim otokatalik dari sel-sel yang mati. Nekrosis liquefaktif juga terjadi
pada peradangan purulent akibat efek heterolitik leukosit polimorfonuklear pada
pus. Jaringan yang mengalami likuefaksi menjadi lunak, mudah mencair, dan
tersusun oleh sel-sel yang mengalami disintegrasi dan cairan. Pada Gambar 4.3
terlihat adanya cairan yang berwarna pink kental menunjukkan bahwa terjadi
kematian sel-sel di daerah tunika submukosa.

Pada Gambar 4.3 juga ditemukan adanya amoeba yang berbentuk


tropozoit. Amoeba yang sering menginfeksi kucing adalah Entamoeba sp.
Predileksi Entamoeba adalah di lumen gastrointestinal dan bisa juga menyerang
mukosa usus sehingga dapat menyebabkan terjadinya hemoragi ringan hingga
parah dan ulseratif. Tropozoit akan bergerak menuju ke sitoplasma yang
mengandung sel darah merah sebagai nutrisi dari tropozoit. Entamoeba juga
memiliki enzim yang dapat mencerna sel epitel serta menghidrolisis jaringan
hospes sehingga menyebabkan kelainan patologis. Dalam kasus ini kelainan
patologis yang muncul adalah terjadinya nekrosis liquefaktif pada tunika
submukosa. Selain pada gastrointestinal Entamoeba juga dapat bermigrasi ke
limfonodul mesenterika kemudian mauk ke hati yang dapat menyebabkan abses
dan nekrosis (Bowman, 2014).

Gambar 4.4 Gambar makroskopis jejunum pada kucing terlihat adanya hemoragi
(lingkaran kuning).

18
Hasil pengamatan secara makroskopis pada organ jejunum
menunjukkan adanya hemoraghi disepanjang jejunum yang terlihat
kemerahan.

Gambar 4.5 Gambaran mikroskipis organ jejunum. Terlihat adanya vili usus
(A) yang tergantikan oleh jaringan ikat (panah merah) dan mengalami nekrosis
liquefaktif disekitar vili (panah kuning) (perbesaran 100x, pewarnaan HE).

Hasil pemeriksaan mikroskopis organ jejunum secara menyeluruh dengan


perbesaran 100x sebagaimana terlihat pada Gambar 4.5, menunjukkan batas
antar vili yang tidak jelas, epitel antar vili saling melekat dan tergantikan oleh
jaringan ikat serta vili mengalami nekrosis liquefaktif. Nekrosis merupakan jenis
kematian sel yang bersifat irreversible yang terjadi ketika terdapat cidera berat
atau lama hingga suatu sel tidak mampu beradaptasi atau memperbaiki dirinya
sendiri. Umumnya perubahan-perubahan lisis yang terjadi dalam jaringan
nekrotik dapat melibatkan sitoplasma sel, perubahan paling jelas bermanifestasi
pada inti. Pada kasus ini nekrosis yang terjadi pada jaringan jejunum adalah
liquefaktif dimana terdapat cairan pada jaringan karena reaksi enzimatis sehingga
keadaan inti sel sudah tidak tampak lagi dan tidak dapat diwarnai dan benar-benar
menghilang.

Pengaruh nekrosis mengakibatkan hilangnya fungsi pada daerah yang


nekrosa. Pada beberapa keadaan daerah nekrotik dapat menjadi focus infeksi yang

19
merupakan medium pembiakan yang sangat baik bagi pertumbuhan organisme
tertentu kemudian dapat menyebar ke tempat lain dalam tubuh. Jaringan yang
mengalami nekrosis dapat menginduksi respon peradangan dari jaringan yang
berdekatan. Jaringan nekrosa akan hancur dan hilang memberi jalan bagi proses
perbaikan yang mengganti daerah nekrotik dengan sel-sel yang beregenerasi dan
digantikan dengan jaringan ikat (jaringan parut) sebagaimana yang terlihat pada
Gambar 4.5 (Price dan Wilson, 2006).

Gambar 4.6 Gambar makroskopis paru-paru pada kucing terlihat hiperemi


(lingkaran kuning).

A
Gambar 4.7 Gambaran mikroskopis organ paru-paru. Terlihat adanya alveolus
(A) yang mengalami emfisema dan pada septa interalveolar (B) yang mengalami
edema (perbesaran 100x, pewarnaan HE).

20
Hasil pemeriksaan mikroskopis pada organ paru-paru secara keseluruhan
dengan perbesaran 100x, sebagaimana pada Gambar 4.7, menunjukkan adanya
pembesaran pada alveolus yang disebut dengan emfisema dan terdapat
penumpukan cairan pada septa interalveolar atau edema. Berdasarkan
pemeriksaan mikroskopis organ paru-paru, diagnosis morfologisnya yaitu edema
pulmonum.

Emfisema merupakan kondisi terjadinya kerusakan pada dinding kantung


udara (alveoli) paru-paru. Alveoli adalah kantung udara kecil, berdinding tipis,
sangat rapuh yang terletak pada ujung bronkial didalam paru-paru. Emfisema pada
kasus ini terjadi karena adanya pembesaran kantung alveolus sehingga ruang antar
alveolus saling bergabung. Emfisema pulmonum pada hewan umumnya bersifat
sekunder karena selalu terjadi setelah adanya gangguan aliran udara. Berdasarkan
daerah paru-paru yang terpengaruh, emfisema diklasifikasikan menjadi emfisema
alveolar dan emfisema interstitial. Emfisema alveolar dikarakteristikkan dengan
distensi dan rupturnya dinding alveolar, sehingga membentuk gelembung udara
dengan berbagai ukuran di parenkim paru-paru. Emfisema interstitial terjadi saat
akumulasi udara menembus dinding alveolar dan dinding bronkhioli kemudian
masuk ke jaringan ikat interlobular, sehingga menyebabkan distensi dari septa
interlobular (McGavin dan Zachary, 2001).

Kelainan lain yang teramati yaitu adanya edema pada septa interalveolaris.
Edema terlihat dengan adanya cairan yang terkumpul dikapiler-kapiler septa
interalveolaris. Pengumpulan cairan di dalarn alveoli, bronki dan jaringan
interlobuler paru-paru. Cairan ini menghambat udara yang masuk kedalam
alveoli. Karena didalam bronki cairan itu bercampur dengan udara maka akan
terbentuk busa. Ada dua bentuk edema pulmonum, yaitu edema yang bersifat
bukan radang dan edema radang. Warna dari cairan edema tergantung pada ada
tidaknya perdarahan. Jika tidak ada perdarahan maka cairan edema agak
kekuningan dan busanya berwarna putih. Secara alami dan berdasarkan
eksperimental telah dibuktikan bahwa beberapa hal yang menyebabkan kejadian
edema pulmonum antara lain : perubahan fungsi jantung kiri secara akut atau

21
menahun, pneumoni yang disebabkan bakteri, virus atau cacing, keracunan, syok
termasuk syok pasca bedah, perangsangan paru-paru karena gas atau debu dan
edema karena pengaruh syaraf (Adi, 2014).

Gambar 4.8 Gambar makroskopis hati kucing terlihat tepi hati tumpul dan
berwarna merah kegelapan (lingkaran kuning).

Hasil pemeriksaan secara makroskopis organ hati pada kucing


terlihat adanya tepi hati yang tumpul dan berwarna merah kegelapan di tepi-
tepi lobus hati.

a b

A A
B B
Gambar 4.9 (a) Gambaran mikroskopis organ hati kucing terlihat adanya sel-sel
hepatosit (A) dan sinusoid (B) yang mengalami hemoragi (panah kuning)
(perbesaran 100x, pewarnaan HE). (b) Gambaran mikroskopis organ hati kuucing
tampak adanya nekrosis liquefaktif (panah merah) disekitar hepatosit (A)
(perbesaran 400x, pewarnaan HE).

22
Hasil pemeriksaan mikroskopis organ hati ditunjukkan adanya hemoragi
sebagaimana yang terlihat pada Gambar 4.9. Hemoragi (perdarahan) adalah
kondisi yang ditandai dengan keluarnya darah dari dalam vaskula akibat kerusakan
dinding vaskula. Kebocoran dinding ada dua macam yaitu melalui kerobekan (per
rhexis) dan melalui perenggangan jarak antara sel-sel endotel dinding vaskula
(diapedesis). Hemoragi per diapedesis umumnya terjadi pada pembuluh kapiler.
Hemoragi per rhexis dapat terjadi pada vaskuler apa saja, bahkan dapat terjadi bila
dinding jantung robek atau bocor. Penyebab hemoragi bisa karena bahan toksik
yang merusak endotel kapiler seperti keracunan arsen, Sipermetrin (bahan obat
nyamuk) yang dapat menghambat penggumpalan darah sehingga terjadi perdarahan
dan toksin yang dapat merusak endotel pembuluh darah.

Hemoragi pada hati merupakan tahap kerusakan selanjutnya dari kongesti,


karena sinusoid sudah tidak mampu untuk membendung darah dan pada akhirnya
pembuluh-pembuluh darah yang ada di sinusoid pecah. Apabila terjadi kerusakan
berupa hemoragi maka asupan nutrisi dan zat lain ke hati akan terhenti sehingga
sel-sel akan kekurangan nutrisi, dan apabila kerusakan ini berangsur dalam jangka
waktu yang lebih lama maka akan menyebabkan sel hati mengalami degradasi
atau nekrosis akibatnya hati tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

Kelainan patologis lain yang ditemukan adalah nekrosis liquefaktif.


Nekrosis merupakan kematian sel jaringan akibat jejas saat individu masih hidup.
Secara makroskopis organ yang mengalami nekrosis liquefaktif terdapat bentukan
kerusakan rongga dan berair. Secara mikroskopis terdapat hancuran sel disertai
edema namun sedikit sel radang. Pada nekrosis liquefaktif terjadi reaksi enzimatis
pada sel-sel di jaringan yang mengalami kerusakan, kemudian emzim merusak
jaringan disekitarnya dan terjadi denaturasi protein. Manifestasi nekrosis
liquefaktif yaitu agen infeksi kaya akan enzim pencernaan dan cenderung
menimbulkan peradangan, dan menyebabkan proses sel-sel tercerna. Enzim
dihasilkan oleh agen infeksi dan lisosom sel-sel yang mati.

Nekrosis hepatosit dicirikan oleh sitoplasma hepatosit yang berwarna lebih


gelap dan inti sel yang piknosis hingga lisis. Menurut McGavin dan Zachary

23
(2001), nekrosis hepatosit dikarakteristikkan dengan sitoplasma yang membesar,
organel sel hancur dan robeknya membran plasma. Nekrosis pada sel hepatosit
biasanya diikuti dengan reaksi fibrosis jika peradangan bersifat kronis. Respon
hati lainnya terhadap peradangan adalah regenerasi dan hiperplasia buluh empedu.
Pada Gambar 4.9 menunjukkan bahwa sel mengalami nekrosis liquefaktif
dimana inti sel mengalami kariolisis yang ditandai dengan inti sel yang melebur
atau lisis.

Gambar 4.10 gambar makroskopis ginjal terlihat adanya perlemakan (lingkaran


kuning).

a b
B
A
A

Gambar 4.11 (a) Gambaran mikroskopis organ ginjal kucing terlihat adanya
tubulus (A) dan glomerulus (B) yang mengalami hipertropi (panah merah)
(perbesaran 100x, pewarnaan HE). (b) gambaran mikroskopis organ ginjal ayam
terlihat pada bagian tubulus (A) mengalami degenerasi melemak (panah kuning)
(perbesaran 400x, pewarnaan HE).

24
Gambar 4.11 (a) menunjukkan adanya hipertropi glomerulus. Hipertropi
yakni kerusakan jaringan yang ditandai dengan pertambahan ukuran organ akibat
bertambahnya ukuran sel sehingga sel yang satu dengan yang lainnya saling lepas.
Hipertropi merupakan gejala awal nekrosis. Hipertropi glomerulus bisa terjadi
karena adanya penyumbatan senyawa yang bersifat toksik, walaupun
konsentrasinya rendah namun terkontaminasi cukup lama dalam tubuh (Mandia et
al., 2013). Ressang (1984) menjelaskan pembengkakan glomerulus terjadi
proliferasi kapsula Bowman yang mengakibatkan adhesi antara glomerulus dengan
kapsula Bowman serta penyempitan ruang Bowman., parahnya kerusakan
glomerulus akan membuat sistem vaskular peritubular terganggu dan berpotensi
mengalirkan zat racun ke tubulus.

Kelainan patologis lain pada ginjal adalah terdapat degenerasi melemak


pada tubulus ginjal seperti terlihat pada Gambar 4.11 (b). Degenerasi merupakan
suatu kondisi ketika sel kehilangan struktur normalnya yang kemudian menuju
kematian sel dan merupakan tanda dimulainya kerusakan sel karena adanya toksin.
Degenerasi melemak merupakan akumulasi lemak abnormal di dalam sitoplasma,
vakuola besarnya variasi dan mendesak inti ketepi. Degenerasi melemak
menggambarkan adanya penimbunan abnormal trigliserid dalam sel parenkim.
Etiologi dari degenerasi melemak adalah toksin, malnutrisi protein, diabetes
melitus, obesitas dan anoksia. Gangguan fungsi sel akan terjadi jika timbunan
lemaknya berlebihan yang kemudian akan menyebabkan perubahan perlemakan
dalam sel dan dapat mengakibatkan nekrosis (Suhita et al., 2013).

4.6 Diagnosa

Berdasarkan dari temuan klinis dan patologis serta kondisi hewan pada
kucing upin mengalami perlemakan pada lambung dan ginjal, hemoragi jejunum,
paru-paru mengalami hiperemi dan terdapat spot hitam pada hati. Hasil
pemeriksaan mikroskopik memunjukan adanya perubahan patologis yaitu pada
lambung terdapat amoeba dan nekrosis, jejunum mengalami nekrosis, emfisema
dan edema pulmonum, hemoragi dan nekrosis hati, serta hipertropi glomerulus.

25
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan pemeriksaan makroskopis dan mikroskopis, kucing upin
mengalami Amoebiasis. Amoeba yang sering menginfeksi kucing adalah
Entamoeba sp. Predileksi Entamoeba adalah di lumen gastrointestinal dan bisa juga
menyerang mukosa usus sehingga dapat menyebabkan terjadinya hemoragi ringan
hingga parah, nekrosis dan ulseratif. Pada jejunum mengalami nekrosis liquefaktif
dan terbentuk jaringan ikat. Pada paru-paru mengalami emfisema dan edema
pulmonum. Emfisema merupakan pembesaran pada alveolus. Emfisema pada kasus
ini terjadi karena adanya pembesaran kantung alveolus sehingga ruang antar
alveolus saling bergabung. Sedangkan edema pulmonum terjadi karena adanya
timbunan cairan pada daerah septa interalveolaris. Pada hati mengalami hemoragi
dan nekrosis liquefaktif. Pada ginjal terjadi hipertropi glomerulus dan degenerasi
melemak. Pembengkakan glomerulus terjadi proliferasi kapsula Bowman yang
mengakibatkan adhesi antara glomerulus dengan kapsula Bowman serta
penyempitan ruang Bowman. Degenerasi lemak merupakan akumulasi lemak
abnormal di dalam sitoplasma, vakuola besarnya variasi dan mendesak inti ketepi.

5.2 Saran

Perlu dilakukan uji lanjutan untuk mendiagnosa suatu kelainan atau


penyakit agar lebih mudah memastikan penyakit tersebut.

26
DAFTAR PUSTAKA

Adi, Anak. Agung. 2014. Patologi Veteriner Sistemik: Sistema Prenafasan. Cetakan
1. Mandra Ketut. Denpasar.
Bowman, Anastasia.2014. Entamoeba histolytica. American Association of
Veterinary Parasitologist. USA
Faine, S,1982. Guidelines For The Control Of Leptospirosis. World Health
Organization, Geneva.
Hartmann, Karin. 2015. Feline Panleukopenia. ABCD Guidelines on Prevention
and Management. Journal of Feline Medicine and Surgery.
Hartmann, Katrin. 2013. Leptospira Species Infection In Cats. ABCD Guidelines
on Prevention and Management. Journal of Feline Medicine and
Surgery.
Himawan, s. 1992. Kumpulan Kuliah Patologi. Jakarta: UI Press.
Hosokawa S.,S.Ichijo and H.Goto (1987). Clinical, Hematological and Pathological
Findings in Specific Pathogen-Free Cats Experimentally Infected with
Feline Panleukopenia Virus. Jpn. J. Vet. Sci.49(1): 43−50.
Jones. 2009. Chlamydia Infections Of Cats. Departement of Clinical Veterinary
Science. University of Bristol, UK.
Levine, N. D. 1995. Protozoologi Veteriner (terjemahan). Alih bahasa: Soekardono,
S.Gadjah Mada Press. Yogyakarta
Mandia. S, Netti. M, Putra.S. 2013. Analisis Histologis Ginjal Ikan Asang
(Osteochilus hasseltii) di Danau Maninjau dan Singkarak, Sumatera
Barat.Jurnal Biologi Universitas Andalas.
McGavin MD, Zachary JF. 2001. Pathologic Basis of Veterinary Disease. Ed ke-4.
Missouri: Mosby Inc.
Piennar J.G and Schutte A.P., 1990. The Occurrence And Phatology Of
Chlamydiosis In Domestic And Laboratory Animals. Onderstepoort J.
vet. Res.42 (3) 77-90.
Prasetyo, R. H. 2004. Atlas Berwarna Protozoologi Veteriner. Airlangga University
Press.

27
Price,SA dan Wilson LM. 2006. Patofisiologi.Edisi VI. Volume I. EGC,
Philadelphia.
Radford. Alan, Coyne.Karen, Dawson.Susan, Porter.Carol, Gaskell.Rosalind.
2007. Feline Calicivirus. University of Liverpool Veterinary Teaching
Hospital. UK
Redford, Alan.2015. Feline Calicivirus Infection. ABCD Guidelines on Prevention
and Management. Journal of Feline Medicine and Surgery.
Ressang, A. A. 1984. Patologi Khusus Veteriner. Edisi Kedua. Bali Cattle Disease
Investigation Unit. Denpasar.
Sajuthi. Cucu Kartini, 2010. Dermatophytosis Pada Kucing Sebagai Penyakit
Zoonosis: Monitoring Dan Pencegahan Reinfeksi. Lokakarya Nasional
Penyakit Zoonosis. PDHB Sunter.
Soulsby, E. J. L. 1986. Helminths, Arthropods and Protozoa of Domestic Animals.
5th Edition. The English Language Book Soc and Bailliere Tindall.
London.
Suhita, N.L.P.R., I.W. Sudira, dan I.B.O. Winaya. 2013. Histopatolgi ginjal tikus
putih akibat pemberian ekstrak pegagan (Centella asiatica) peroral.
Buletin Veteriner Udayana. 5(2):71-78
Syafriati, Tatty. 2004. Deteksi Antibodi Penyakit Feline Panleukopenia Pada
Kucing Dengan Menggunakan Teknik ELISA. Seminar NAsional
Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor.
Thomas, c. 1988. Histopatologi: Buku Teks dan Atlas Untuk Pelajaran Patologi
Umum dan Khusus. Edisi 10. Alih Bahasa Tonang, dkk. Jakarta: EGC.

28
LAMPIRAN

Lampiran 1 Prosedur Nekropsi

Siapkan alat dan bahan

- Eutanasi
- Diletakkan dengna posisi rebah dorsal
- Incisi bagian abdomen ke posterior sampai mandibula
- Diincisi bagian abdomen kearah posterior sampai anus
- Dikuakkan bagian kulit
- Ditusuk arcus ischiadicus dipotong ke arah samping mengikuti kostae
- Dipotong costochondral siteruskan sampai mandibula
- Dipotong muskulus pada abdomen sampai anus
- Diperhatikan dan diamati organ viscera thorax dan abdomen
- Diambil isi rongga thorax dari lidah sampai paru-paru serta jantung
- Diambil isi rongga abdomen dari lambung sampai kolon serta hati empedu
- Diambil saluran urinaria
- Dibuka semua isi saluran cerna an diamati perubahan
- Koleksi organ yang mengalami perubahan dan direndam pada larutan
formalin 10%

Buang bangkai sesuai prosedur dan lakukan desinfeksi peralatan

29
Lampiran 2 Skema Pembuatan Preparat Histologi

Fiksasi kucing dengan formalin 10%

- Potong organ 1x1x1 cm dan letakkan di tissue cassete


- Dicuci pada air mengalir 30 menit
- Dehidrasi alkohol masing-masing 20 menit dimulai dari 70%, 80%, 90%,
95%, 100% (I,II dan III)
- Clearing mengguanakan xylol I,II dan III masing-masing 20 menit
- Infiltrasi parafin cair I, II dan III masing-masing 1 jam pada inkubator suhu
600C
- Embedding pada suhu ruang
- Sectioning menggunakna mikrotom
- Staining dengan hematoksilin dan eosin
- Mounting dengan entellan

Pengamatan

30
Lampiran 3 Prosedur pewarnaan Hematoksilin dan Eosin

Preparat pada objek glass

- Deparafinisasi menggunakan xylol I, II dan III masing-masing 20 menit


- Rehidrasi menggunakan ethanol bertingkat menurun masing-masing 10
menit
- Pewarnaan hematoksilin 5 menit
- Dicuci air mengalir 10 menit
- Pewarnaan eosin 15 menit
- Dehidrasi mengguankan ethanol bertingkat sampai ethanol 100% (I)
dengan teknik celup dan ethanol 100% (II dan III) masing masing 5 menit
- Clearing menggunakan xylol I, II dan III masing-masing 5 menit
- Mounting

Pengamatan

Lampiran 4 Dokumentasi Anamnesa dengan Pemilik

31
Lampiran 5 Dokumentasi Pembuatan Preparat Histoteknik

NO PROSES DOKUMENTASI
1. Fiksasi

2. Hasil Trimming

3. Dehidrasi

4. Clearing

5. Infiltrasi parafin

32
6. Embedding

7. Sectioning

8. Staining

9. Mounting dan
Pengamatan
preparat

33

Anda mungkin juga menyukai