Anda di halaman 1dari 50

PROPOSAL BEDAH OVARIOHESTEREKTOMI ANJING

ROTASI INTERNA HEWAN KECIL, BEDAH, DAN RADIOLOGI


yang dilaksanakan di
RUMAH SAKIT DAN KLINIK HEWAN PENDIDIKAN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA

Oleh:
Giriza Sefiardi Rachmada, S.KH
NIM/Kelompok: 180130100011018/Kelompok 2
Gelombang/Tahun: 12/2018

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan semesta alam Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah Nya serta junjungan Nabi besar Muhammad SAW,
sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kegiatan PPDH Rotasi Bedah dan Radiologi
Veteriner yang dilaksanakan di Rumah Sakit Kedokteran Hewan Fakultas Kedokteran
Hewan Universitas Brawijaya. Dalam menyelesaikan penulisan laporan ini, penulis
mengucapkan terima kasih kepada banyak pihak yang telah membantu. Pada kesempatan ini,
penulis mengucapkan terimakasih kepada drh. Viski Fitri Hendrawan M. Vet, selaku
coordinator rotasi Bedah dan Radiologi, drh. Novan Rickyawan selaku pembimbing yang
telah memberikan pengarahan dan bimbingan selama kegiatan ini dan pembuatan proposal.
Penulis juga berterimakasih kepada orang tua, keluarga atas kasih sayang dan
dukungan serta doa tak terhingga sehingga penulis mampu menyelesaikan laporan ini. Teman
-Teman Koas gadungan PPDH Kelompok 2, Duodenum gelombang 12, atas semangat dan
kekompakan. Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan penulisan laporan ini
yang tidak dapat disebut satu persatu. Akhir kata, penulis berharap semoga Allah SWT
membalas semua kebaikan yang telah diberikan agar laporan ini dapat memberikan manfaat
bagi pembacanya.

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................i
KATA PENGANTAR .........................................................................................ii
DAFTAR ISI........................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR ...........................................................................................iv
DAFTAR TABEL.................................................................................................v
BAB 1 PENDAHULUAN....................................................................................1
1.1 Latar belakang.....................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah …………………………………………………...2
1.2 Tujuan..................................................................................................2
1.3 Manfaat................................................................................................2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................2
2.1 Enterotomi.........................................................................................2
2.2 Prinsip Operasi..................................................................................3
2.3 Anatomi dan Fisiologi..........................................................................3
2.4 Kesembuhan Luka................................................................................ 3
2.5 Anastesi, Analgesik, Premedikasi, dan Antibiotik ............................4
2.6 Stadium Anestesia ............................................................................4
2.7 Teknik Operasi .................................................................................5
2.8 Terapi Cairan ....................................................................................5
BAB 3 METODOLOGI ......................................................................................6
3.1 Alat dan Bahan……………………………………………………….6
3.2 Prosedur Operasi……………………………………………………...6
3.2.1 Pre-operasi .................................................................................................6
3.2.2 Operasi…………………………………………………………6
3.3.3 Pasca Operasi…………………………………………………..7
3.3 Persiapan alat bahan,ruang dan tim operasi …………………………8
3.3.1 Persiapan Alat bahan dan ruang………………………………..8
3.3.2 Persiapan Tim Operasi…………………………………………8
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………….9

DAFTAR GAMBAR

3
Gambar 2.1…………………………………………………………..7
Gambar 3.1…………………………………………………………..
Gambar 3.2…………………………………………………………..
Gambar 3.3…………………………………………………………..
Gambar 3.4…………………………………………………………..
Gambar 4.1…………………………………………………………..
Gambar 5.1…………………………………………………………..7
Gambar 5.2…………………………………………………………..7
Gambar 5.3…………………………………………………………..
Gambar 5.4…………………………………………………………..
Gambar 5.5…………………………………………………………..
Gambar 5.6…………………………………………………………..
Gambar 5.7…………………………………………………………..
Gambar 5.7…………………………………………………………..
Gambar 5.8…………………………………………………………..
Gambar 5.9…………………………………………………………..
Gambar 5.10…………………………………………………………..
Gambar 5.11…………………………………………………………..

4
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Minat masyarakat untuk memelihara anjing sebagai hewan kesayangan semakin
meningkat. Hal ini juga tercermin dari peningkatan perhatian pemilik terhadap upaya
pemeliharaan kesehatan hewan (Satria dkk., 2008). Anjing sebagai salah satu hewan kesayangan
yang disukai banyak orang untuk dipelihara karena hewan ini memiliki tingkat kecerdasan yang
tinggi dan memiliki sifat setia, sehingga menjadi bagian kehidupan masyarakat baik sebagai
penjaga maupun teman dalam keluarga, oleh karenanya selalu dirawat dan dikontrol
kesehatannya (Sardjana dan Kusumawati, 2004).
Anjing merupakan hewan kesayangan yang banyak digemari oleh masyarakat Indonesia,
banyak diantara anjing-anjing tersebut mengalami gangguan penyakit. (Tilley and smith, 1997).
Peningkatan populasi hewan dalam jumlah besar menjadi masalah tersendiri bagi kesehatan
manusia, terutama hewan kecil seperti anjing dan kucing karena hewan-hewan tersebut dapat
menularkan dan membawa berbagai agen penyakit. Salah satu solusi untuk memecahkan
permasalahan di atas adalah melakukan tindakan sterilisasi pada anjing maupun kucing baik
pada jantan maupun betina
Ovariohisterektomi adalah operasi pengangkatan alat reproduksi pada anjing betina
(Anonimous, 2008). Sedangkan Foster dan Smith (2008) menyatakan bahwa ovariohisterektomi
adalah pengangkatan saluran reproduksi betina secara keseluruhan ovarium, oviduct, cornua
uteri, dan uterus diangkat. Prosedur ini tidak hanya mencegah kebuntingan pada hewan tapi juga
mengeliminasi siklus estrus. Bedah ini akan mengangkat sumber produksi hormon, seperti
estrogen dan progesteron (Partodihardjo, 1987). Ovarium terletak di bagian dorsal abdomen
sampai ginjal kirakira daerah vertebrae lumbalis ketiga dan keempat (Archibald, 1974)

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah dari kegiatan Pendidikan profesi dokter hewan (PPDH) rotasi interna
hewan kecil adalah untuk mengetahui bagaimana teknik ovariohesterektomi meliputi persiapan
operasi,pelaksanaan dan pengobatan pasca operasi?

1.3 Tujuan
Tujuan dari kegiatan Pendidikan profesi dokter hewan (PPDH) rotasi interna hewan kecil
adalah untuk mengehtahui Teknik ovariohesterektomi meliputi persiapan operasi,pelaksanaan
dan pengobtan pasca operasi.

1.4 Manfaat
Manfaat dari kegiatan Pendidikan profesi dokter hewan (PPDH) rotasi interna hewan
kecil adalah mahahsiswa mampu melakukan bedah ovariohesterektomi meliputi persiapan
operasi, operasi dan pengobatan pasca operasi.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Ovariohesterektomi pada anjing
Sterilisasi pada hewan betina dapat dilakukan dengan hanya mengangkat ovariumnya
saja (ovariectomy) atau mengangkat ovarium beserta dengan uterusnya (ovariohisterectomy).
Ovariohisterctomy dapat juga dilakukan untuk terapi pengobatan pada kasus-kasus reproduksi
seperti pyometra, endometritis, tumor uterus, cyste, hiperplasia dan neoplasia kelenjar mamae.
Tindakan bedah ini akan memberikan efek pada hewan seperti perubahan tingkah laku seperti
hewan tidak berahi, tidak bunting, dan tidak dapat menyusui. Perubahan tingkah laku ini dapat
terjadi akibat ketidak seimbangan hormonal (Adam,2001).
Ovariohisterectomy merupakan istilah kedokteran yang terdiri dari ovariectomy dan
histerectomy. Ovariectomy adalah tindakan mengamputasi, mengeluarkan dan menghilangkan
ovarium dari rongga abdomen. Sedangkan histerectomy adalah tindakan mengamputasi,
mengeluarkan dan menghilangkan uterus dari rongga abdomen. Beberapa indikasi dilakukannya
ovariohisterectomy adalah 1). Terapi, yaitu tumor, cysta ovarium dan tumor uterus, pyometra. 2).
Modifikasi tingkah laku yaitu, lebih mudah dikendalikan, lebih jinak, membatasi jumlah
populasi. 3). Penggemukan (Nash,2008).
Pengertian ovariohisterectomy merupakan gabungan dari pengetian diatas yaitu tindakan
pengambilan ovarium, corpus uteri dan cornua uteri (Chandler 1985). Ovariohisterectomy
dilakukan pada kasus-kasus pyometra, metritis, dan salphingitis ataupun keduanya (Meyer K
1959). Dalam istilah medis, desexing (kastrasi) kucing betina disebut “SPAYING” dan pada
jantan disebut “NEUTERING”. Keuntungan dari kastrasi anak anjing sejak usia 10-12 minggu
adalah mencegah penyebaran anjing secara berlebihan dan mengurangi kemungkinan terkena
penyakit kanker.
Usia yang masih sangat muda membutuhkan waktu bedah yang lebih singkat dan
pendarahan lebih sedikit sehingga akan sembuh lebih cepat, pada akhirnya anjing dan
pemiliknya akan mengalami stress yang lebih sedikit (Anonimus 2008).
Ovariohisterektomi merupakan salah satu tindakan bedah untuk mengatasi kelainan pada
ovarium dan saluran reproduksi hewan betina. Keputusan untuk melakukan ovariohisterektomi
dipilih ketika berbagai jenis terapi lain sudah tidak memungkinkan. Berbagai kasus yang
memungkinkan diambilnya tindakan bedah ini diantaranya adanya tumor atau kista pada
ovarium dan pada kasus pyometra yaitu penimbunan nanah pada uterus. Selain itu, tindakan
operasi ini juga dianjurkan dilakukan pada anjing betina yang sudah tua yang tidak ingin
dikawinkan lagi dengan tujuan untuk mencegah terjadinya tumor kelenjar mamae. Indikasi
dilakukannya ovariohisterectomy adalah sterilisasi, penyembuhan penyakit saluran reproduksi
(pyometra, tumor ovary, cyste ovary) tumor uterus (leiomyoma, fibroma, fibroleiomyoma),
tumor mammae, veneric sarcoma, prolapsus uterus dan vagina, hernia inguinalis, modifikasi
tingkah laku agar mudah dikendalikan dan penggemukan.

2.2 Prinsip operasi


Pada prinsipnya Ovariohisterektomi dilakukan untuk mencegah terjadinya estrus,
menghindari perkawinan yang tidak dikehendaki dan kebuntingan yang tidak diinginkan,
mengurangi gejala patologis dari suatu hewan misalnya metritis, pyometra, hiperplasia
endometrium, tumor uterus, trauma atau cedera pada uterus (Yusuf, 1995).
Ada beberapa aturan yang dibuat oleh W.S halsted seorang ahli bedah yang sering
dikenal dengan Halsted principles (Yool.2012) diantaranya :
1. Operasi Yang Aseptis
Hal ini bertujuan untuk mengurangi terjadinya kontaminasi pada saat operasi. Aseptis
yang dimaksud adalah mulai dari alat,bahan,ruangan operator dan tim serta hewan
2. Alat Bedah Harus Tajam
Untuk mengurangi terjadinya trauma fisik akibat benda yang tumpul
3. Hati-Hati Saat perlakuan jaringan yang lembut
Untuk mengurangi rasa nyeri dan trauma fisik
4. Suplai darah ke jaringan harus tersedia
Penting untuk tetap menjaga vaskularisasi jaringan, ketika antar jaringan di kaitkan harus
diperhatikan dengan seksama karena jaringan membutuhkan suplai nutrisi dan okssigen
untuk dapat mencapai kesembuhan luka.
5. Hemostasis
Jangan sampai terjadi perdarahan yang banyak dan sering karena sangat menggangu
proses operasi maupun pasca operasi maka dari itu hemostasis harus segera ditangani
sesegera mungkin
6. Dead Space
Adalah terbentuk nya ruang kosong diaman kejadian ini harus dihindari karena apabila
sampai terjaadi dead space akan menghambat kesembuhan luka

7. Tensi
Tensi yang terlalu tinggi atau rendah dapat menghambat kesembuhan luka, kesembuhan
luka dapat secara optimal apabila posisi luka tertaut dengan baik tanpa adanya tensi yang
dapat menyebabkan inversi dan overlapping atau penumpukan jaringan.
2.3 Anatomi dan fisiologi
Organ reproduksi anjing betina terletak di dalam abdomen yang dimulai dari paling luar
organ genital anjing tersusun dari vulva,vestibulum dan vagina. Orificium urethrae terletak pada
dasar vagina mengarah ke vesical urinaria. Urin mengalir melalui vestibulum oleh karena itu
kejadian infeksi pada saluran kemih dapat mempengaruhi system reproduksi anjing betina.
Genetalia betina terdiri dari dua buah ovarium, dua buah tuba fallopii, uterus, vagina dan
vulva. Ovum yang dilepaskan dari ovarium dan diterima oleh infundibulum lalu dibawa masuk
ke toba fallopii, dimana pada saluran tuba fallopii (ampula) terjadi proses fertilisasi dalam
perjalanan ovum itu dari ovarium menuju ke uterus. Di dalam uterus ovum yang telah dibuahi itu
berkembang menjadi embrio, kemudian berkembang menjadi foetus yang akhirnya keluar dari
uterus menuju saluran kelahiran (vagina dan vulva) sebagai neonatal (Frandson, 1993).

Ovarium merupakan sepasang kelenjar yang terdiri dari ovarium dexter dan sinister, yang
terletak dibagian belakang ginjal. Organ ini ditunjang dan dipertaukan oleh bagian ligamentum
lata yang disebut mesovarium di sebelah dorsal dan lateral dan oleh ligamen utero-ovarial
disebelah medial (Frandson, 1993). Mempunyai fungsi ganda yaitu sebagai alat eksokrin yang
menghasilkan ovum atau sel telur dan sebagai alat endokrin yang mensekresikan hormon
kelamin betina yaitu estrogen dan progesteron.
Ovarium anjing berbentuk oval dan pipih, berukuran lebih kurang dua sentimeter dan
bergantung pada fase siklus birahi. Berat ovarium anjing berkisar antara satu sampai delapan
gram (Mc Donald, 1980). Jumlah folikel de Graaf yang terbentuk pada satu siklus birahi
tergantung pada hereditas dan faktor-faktor lingkungan. Pada anjing 3-15 folikel de Graaf
matang pada setiap estrus (Mc Donald, 1980). Segera setelah ovulasi rongga folikel diisi oleh
darah dan limfe membentuk corpus haemorrhagicum, dan untuk kemudian berubah menjadi
korpus luteum. Korpus luteum anjing mempunyai bentuk agak membulat dengan diameter dua
sampai lima milimeter. Jika terjadi fertilisasi, korpus luteum ini akan terus berfungsi untuk
mempertahankan kebuntingan. Jika fertilisasi tidak terjadi, corpus luteum tetap akan berfungsi
sampai akhir masa estrus (Stabenfeldt and Shille, 1977).
Sel-sel kecambah akan tumbuh dan berkembang dalam mencapai kematangannya
berturut-turut folikel primer, sekunder, tertier dan folikel de Graaf. Dengan bantuan hormon
estrogen yang cukup yang disekresikan oleh sel-sel theca interna, folikel de Graaf ini akan
pecah, sehingga keluarlah ovum dari ovarium. Peristiwa ini disebut ovulasi.
( Dominique,2004)
Gambar 2.1 Organ reproduksi anjing betina
Uterus terletak pada perpanjangan vagina dan terdapat beberapa bagian berupa
leher,badan,tuba uteriia kanan dan kiri. Ovarium terletak pada akhir tuba,organ lain berupa
glandula mammae 3,4,5 pasang pada bagian dada (Sturz,R and Lori.2012)
Uterus adalah organ yang bentuknya bervariasi dari satu sel spesies ke spesies lain.
Uterus merupakan tempat implantasi dan perkembangan foetus yang terdiri dari 2 kornua,
korpus dan serviks. Fungsi uterus adalah :
1. Tempat untuk menerima sperma
2. Transport sperma dari tempat deposisi ke oviduct untuk fertilisasi
3. Memberikan lingkungan yang sesuai untuk : a. Implantasi embrio b. Memberi makan embrio
dan foetus selama kebuntingan
4. Proteksi mekanis terhadap foetus
5. Mengeluarkan foetus pada akhir kebuntingan
6. Terlibat dalam mekanisme luteolitik korpus luteum (Yatim, 1990).
Membrana mukosa yang menyelimuti uterus adalah suatu struktur kelenjar yang disebut
tunika mukosa (endometrium). Ketebalan membran mukosa ini bervariasi berdasarkan kepada
vaskularisasi perubahan-perubahan hormon ovaria ketika dalam masa kebuntingan. Epitel yang
menutupi endometrium pada anjing merupakan epitel kolumnar sederhana.
2.4 Kesembuhan Luka
Fase hemostasis terjadi sesaat setelah luka yang ditandai dengan pembentukan agregasi
trombosit. Proses ini diperlukan untuk menutup kerusakan yang terjadi pada pembuluh darah
(Sorg,2017) dan (Mori,2008).
Fase berikutnya adalah inflamasi terjadi 1–4 hari setelah luka. Fase ini ditandai dengan
infiltrasi sel neutrofil dan makrofag pada jaringan luka. Sel makrofag akan mengeluarkan
mediator inflamasi dan enzim-enzim untuk memulai fase selanjutnya.
fase proliferasi. Fase proliferasi terjadi 4 sampai 21 hari setelah terjadinya luka, ditandai
dengan angiogenesis, deposisi kolagen, pembentukan jaringan granuloma, kontraksi luka, dan
epitelisasi.
Fase yang terakhir adalah remodeling yang terjadi 21 hari sampai dengan 2 tahun setelah
terjadi luka. Fase ini ditandai dengan pembentukan jaringan baru yang telah utuh (Balqis,2014).

2.5 Pramedikasi dan Anastesi


2.5.1 Premedikasi, Anastesi dan Antibiotik
Premedikasi yang digunakan pada operasi enterotomi ialah Atropine Sulfat degan dosis
0,025 mg/kg berat badan secara subkutan, kemudian pemberian acepromazine 0,05 mg/kg berat
badan lalu di infus NaCl 0,9%. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya muntah,
hipersalivasi dan sebagai sedatif. Setelah itu dilanjutkan dengan pemberian anastesi umum,
diberikan Ketamin 5-10mg/kg berat badan, Xylazin 0,5-2mg/kg berat badan yang
dikombinasikan dalam satu spuit secara intra muskulus. Kombinasi obat anastesi dilakukan
untuk mendapatkan anastesi yang sempurna, dimana kedua obat ini mempunyai efek kerja yang
berlawanan, sehingga efek buruk yang ditimbulkan berkurang.
Ketamin mempunyai sifat analgesik dan kataleptik dengan kerja singkat. Sifat
analgesiknya sangat kuat untuk sistem somatik, tetapi lemah untuk sistem viseral. Tidak
menyebabkan relaksasi otot lurik, bahkan kadang-kadang tonusnya meninggi. Ketamin mimilik
kekurangan yaitu sangat lemah sifat analgesik pada viseral karena itu tidak dapat diberikan
secara tunggal untuk prosedur operasi (Fossum, 2002) Sedangkan xylazin mempunyai efek
sedasi, analgesi,anastesi dan relaksasi otot pada dosis tertentu.
Xylazin mempunyai efek terhadap sistem sirkulasi, penapasan dan penurunan suhu
tubuh. Selain itu dapat menyebabkan bradiaritmia, dan diikuti oleh hipotensi yang berlangsung
lama (Artbeiter, 1972). Setelah hewan benar-benar terbius olesi mata dengan salep mata
chloramphenicol agar mata hewan tidak mengalami dehidrasi, baru dilakukan penyayatan pada
linea alba daerah abdomen dengan posisi dorso recumbency dari mulai kulit sampai menembus
lapisan peritonium. Pada saat penyayatan lapisan peritonium hendaknya dibantu dengan jari
tangan untuk menghindari tersayat atau tergunting organ visceral. Selama berlangsung stadium
anastesi, cardiolog memonitor frekuensi denyut jantung dan pernafasan setiap 5 menit sekali
sampai pembedahan selesai (Tilley dan Smith, 1997).
Amoxicilin adalah antibiotik spektrum sedang yang aktif terhadap bakteri gram positif
serta beberapa organisme gram negatif. Amoxicillin diberikan asam clavulanic untuk
meningkatkan susceptibilitasnya (Plumb, 2008). Amoxicillin sangat efektif untuk infeksi yang
disebabkan bakteri gram positif. Efek samping biasanya dapat ditoleransi dan terdapat alergi.
Diare dan muntah biasanya terjadi jika diberikan melalui per oral. Dosis untuk anjing dan kucing
adalah 10 mg/kg BB.

2.5.2 Stadium Anastesi


Stadium I (stadium analgesia) yang dikenal juga sebagai stadium eksitasi yang disadari
atau disorientasi, stadium ini berlangsung antara saat induksi dilakukan sampai hilangnya
kesadaran hewan penderita. Pada stadium ini pupil tidak melebar (midriasis) akibat terjadinya
rangsangan psikosensorik.
Stadium II dimulai dari hilangnya kesadaran, terjadi reaksi berlebihan maupun refleks
yang tidak terkendali terhadap segala bentuk rangsangan, refleks faring yang berhubungan
dengan menelan dan muntah meningkat. Pada stadium ini pupil mengalami midriasis akibat
rangsangan simpatik pada otot dilatator. Stadium I dan II adalah stadium menyulitkan ahli
anestesi karena bisa berbahaya bagi hewan penderita, oleh karena itu diupayakan bisa melewati
secepatnya untuk mencapai stadium III (Sardjana dan Kusumawati, 2011).
Stadium III adalah stadium anestesi (stadium pembedahan), pupil mengalami midriasis
disebabkan pelepasan adrenalin. Stadium pembedahan ini dilakukan bila pupil dalam posisi
terfiksasi di tengah dan respirasi teratur. Pada anestesi yang dalam pupil mengalami dilatasi
maksimal akibat paralisis saraf kranial III.
Stadium IV disebut stadium overdosis, hewan mengalami henti napas dan henti jantung
yang berakhir dengan kematian (Sardjana dan Kusumawati, 2011).
2.6 Teknik Operasi
Menurut Fossum (2012), teknik operasi ovariohisterektomi dengan metode laparotomi pada
Anjing adalah sebagai berikut.
1. Bagian area pembedahan pada ventral abdomen dipersiapkan, mulai darixyphoid
sampai pubis.
2. Identifikasi umbilikal, dan secara visual bagilah abdomen menjadi 3 bagian
(cranial, medial dan caudal).Badan uterus pada kucing terletak lebih caudal dan lebih
sulit untuk dijangkau, untuk itu sayatan yang dilakukan pada kucing yaitu pada 1/3
bagian caudal abdomen.
3. Penyayatan 4-8 cm dilakukan didaerah orientasi yaitu daerah lineaalba
(laparotomi medianus).Pertama kali penyayatan dilakukan pada kulit, subkutan,
kemudianlinea alba dan peritoneum.
4. Setelah rongga abdomen terbuka dilakukan eksplorasi uterus. Masukkan ovary
hook/telunjuk ke sepanjang dindingabdomen, setelah itu putar ke arah medial untuk
mendapatkancornua uteri sebelah kanan dan ligamen-ligamen kemudian angkat dari
ruang abdomen.
Gambar 2.2 Penggunaan spay hook atau ovary hook

5. Eksplorasi cornua uteri yang didapatkan sampai didapatkanovarium. Jika ovarium


sudah ditemukan potong ligamentum suspensory dengan menariknya perlahan kearah
caudoventral. Ligamentum suspensory merupakan ligamnetum yang menghubungkan
ovarium dengan dinding pelvis.

Gambar 2.3 Penarikan ligamen suspensory

6. Bagian mesovarium dijepitdengan dua arteri clamp dibagian proksimal


ovariumkemudian diikat melingkar dengan kuatmenggunakan benang diantara dua arteri
clamp tersebut. Bagian distal ovarium dijepit juga dengan satu arteri clamp.
7. Benang yang digunakan menggunakan benang absorbable. Ikatan dilakukan
dengan menggunakan jarum ujung bulat, ditusukkan pada bagian tengah ligamen
kemudian diputar mengelilingi setengah bagian lalu kembali ke tusukkan awal dan
benang diputar kembali mengelilingi setengah bagian lainnya. Ikatan ini dilakukan dua
kali.
Gambar 2.4 Teknik pengikatan atau ligasi

8. Potong ligamen antara ikatan yang mengikat ligamen suspensory dengan artery
clamp yang menjepit ovarium.Setelah yakin tidak terjadi pendarahan, arteri clamp
dilepas.Prosedur ini dilakukan pada masing-masing ovarium kanan dan kiri.

Gambar 2.5 Pemotongan ligamen

9. Bagian uterus ditelusuri sampai mencapai


bifurcatio dan corpus uteri. Bagian corpus uteri
dijepit dengan klem, kemudian dilanjutkan
untuk menelusuri cornua uteri yang satu lagi. Lakukan penjepitan dan pemotongan
ovarium seperti sebelumnya.
10. Angkat dua cornua uteri yang telah di potong tadi sampai didapatkan corpus
uteri. Ligasi semua ligamen, lalu corpus uteri dijpeit dengan arteri clamp seperti yang
dilakukan pada pemotongan ovarium, pada bagian cranial dari servik. Menggunakan
tiga arteri clamp, dua dibagian proksimal dan satu dibagian distal.
Gambar 2.6 Pemotongan corpus uterus

11. Diantara dua arteri clamp dibagian distal, corpus uteri diikat
menggunakan metode ikatan yang sama seperti sebelumnya. Buatlah dua
ikatan dan corpus uteri dipotong. Setelah yakin tidak terjadi pendarahan,
klem dilepas. Reposisi uterus dan omentum ke dalam abdomen.
12. Tutup bagian abdomen dengan menjahit tiga lapisan. Lapisan
fascia atau linea alba, subkutan dan kulit.

2.7 Terapi Cairan


Cairan digunakan untuk mengganti cairan dalam tubuh hewan yang hilang
secara normal, dapat dibedakan menjadi dua, pertama kehilangan yang dapat
diukur, yang keluar dalam bentuk urin (sensible loss). Volumenya sebanyak 2/3
dari total volume cairan maintenan (27 – 40 ml/kg BB/hari). Yang kedua,
kehilangan cairan secara normal yang tidak dapat diukur (insensible loss) yaitu
cairan yang hilang pada saat respirasi, terengah-engah dan keringat, dan melalui
feses. Volumenya sebanyak 1/3 dari volume cairan maintenan (13 – 20
ml/kgBB/hari). Jadi secara total volume cairan maintenan yang dibutuhkan
berkisar 40 – 60 ml/kgBB/hari. Ada juga yang menyebutkan cairan yang hilang
lewat urin sebanyak 20ml/kg BB/hari, dan cairan yang keluar lewat feses dan
respirasi sebanyak 20 ml/kgBB/hari. Cairan ini harus dihitung dan diberikan
ketika pasien tidak mampu untuk makan dan minum (Lorenz et al., 1987).
Jenis cairan yang digunakan dalam terapi cairan dikelompokkan menjadi
larutan kristaloid dan koloid. Larutan kristaloid adalah larutan yang dapat
menembus membran sel dengan mudah. Larutan ini mengandung elektrolit dalam
berbagai macam komposisi. Kandungan utamanya adalah natrium. Apabila
dimasukkan ke dalam tubuh, lebih dari 75% larutan kristaloid akan meninggalkan
ruang intravaskular dalam waktu 30 menit setelah pemberian (Willyanto, 2010).
Larutan koloid adalah larutan yang memiliki osmolalitas lebih tinggi dari cairan
ekstraseluler. Larutan koloid tidak dapat menembus dinding pembuluh darah dan
menjaga tekanan osmotik cairan darah. Pemberian cairan koloid bersamaan
dengan cairan kristaloid pada waktu resustensi atau maintenance akan
memulihkan dan mempertahankan tekanan intravaskular.
Secara umum larutan polionik dan isotonic seperti larutan laktat ringer
adalah larutan serbaguna karena komposisinya mirip dengan larutan ekstraselular.
Laktat ringer adalah larutan alkalin karena mengandung laktat sebagai precursor
bicarbonate. Larutan ringer mengandung sejumlah chlor sebagai pengganti laktat
yang berfungsi sebagai larutan penetral asam. Laktat ringer dan larutan ringer
mengandung kalium (kalium) dalam jumlah kecil. Penambahan kalium chlorida
(KCl) pada larutan diperlukan untuk pasien dengan kondisi kehilangan kalium
yang banyak (hipokalemia) (Hall, 1983; Lorenz et al., 1987).

Larutan hipotonik adalah larutan yang memiliki osmolalitas lebih rendah


dari serum darah (cairan ekstraseluler) contoh larutan hipotonik adalah 0,45%
NaCl atau 2,5% dektrose/NaCl. Larutan ini tidak digunakan dalam keadaaan
shock, tetapi dapat digunakan sebagai cairan maintenance pada pasien yang
memiliki risiko retensi cairan atau gagal jantung.

Larutan isotonik adalah larutan yang memiliki osmolalitas sama dengan


serum darah. Sangat bergunan untuk maintenance dan terapi shock. Contoh
larutan isotonik: Lactated ringer’s solution, Normosol, dan NaCl 0,9%. Natrium
chloride (0.9%) atau saline sering disebut larutan fisiologis, mengandung natrium
(Na) dan Chloride. Tidak mengandung kalsium. Kalium, dan magnesium.
Konsentrasi natrium (Na) mirip dengan cairan ekstraselular tetapi konsentrasi
chloridanya lebih tinggi. Peningkatan jumlah chloride dapat menyebabkan
keasaman cairan ekstraselular meningkat (hiperchloremik metabolic acidosis).
Larutan ini harus dihindari pada pasien yang menderita gagal jantung, hipertensi,
dan asidosis metabolik (Baldwin, 2001b).

Larutan lactate ringers solution (LRS) mengandung kalsium, kalium dan


laktat. Kandungan laktatnya akan diubah menjadi karbonat oleh hati. Larutan ini
harus dihindari pada pasien penderita penyakit hati, kanker, hiperkalsemia, dan
hiperkalemia. Normosol menyerupai LRS tetapi mengandung magnesium dan
mengandung asetat dan glukonat, asetat dan glukonat dimetabolisme di otot
(Willyanto, 2010).

Larutan hipertonik adalah larutan yang memiliki osmolalitas lebih tinggi


dari serum. Contohnya adalah 7,5% NaCl. Cairan ini baik diberikan pada
penderita shock untuk meningkatkan tekanan intravaskular. Biasanya diberikan
dalam bentuk bolus kecil (3-5ml/kg). Cairan ini bekerja dengan cara menarik
cairan dari rongga interstitial dan intraseluler.

Larutan glukosa 5% juga bersifat isotonis. Awalnya digunakan untuk


menyuplai air untuk mengurangi dehidrasi karena kehilangan air murni (pure
water) (hipernatremia) seperti pada kasus kelelahan karena hipertermia.

2.8 Perlakuan saat gawat darurat


Tindakan gawat darurat yag dapat terjadi selama proses bedah enterotomi
yaaitu, kolapse,pendarahan,sesak nafas dan kejang. Perubahan kondisi pasien bisa
berubah sewaktu-waktu. Untuk mengtasi hal ini maka operator dan tim operasi
harus segera melakukan tindakan dengan sigap dan benar untuk mencegah
terjadinya kematian.
Tindakan gawat darurat saat pre-operasi yaitu jika anastesiolog salah
dalam melakukan perhitungan dosis yang mengakibatkan hewan overdosis
anastesi. Salah satu efek yang bisa saja trjadi ketika overdosis anastesi adalah
terjadinya paralisa
2.9 Perawatan pasca operasi
Pada saat melakukan observasi Diperhatikan membran mukosa,selaput
lendir, Hate rate, respiration rate, capilari respon time serta pasien diberikan obat
untuk mengatasi rasa nyeri selama 1 sampai 3 hari setelah operasi. Diberikan infus
bila terjadi muntah dan diare hebat, disfungsi ginjal dan penyakit hati dengan
memperhatikan laju infus dan jenis infus yang diberikan. Apabila pasien
hypothermia, diberi penghangat menggunakan air hangat, diberikan suplemen
oksigen, kateter apabila diperlukan (Theresa, 2007).
Hewan yang menjalani operasi saluran reproduksi harus dipantau pasca
operasi untuk rasa sakit, perdarahan, dan infeksi. Analgesic pasca bedah diberikan
untuk mengurangi rasa sakit. Kondisi luka harus dipantau dan kegiatan hewan
harus dikurangi umumnya sekitar 10-14 hari, apabila hewan tidak muntah dapat
diberikan makanan 6-12 jam pasca operasi (Fossum, 2013).
Tindakan post operasi yang dilakukan meliputi pengobatan, perawatan, dan
observasi. Pengobatan meliputi pemberian antibiotik injeksi, pemberian analgesik,
dan pemberian salep topical pada luka untuk mendukung persembuhan.
Pengobatan yang dilakukan yaitu dengan pemberian antibiotik cefotaxime IV 6
hari berturut-turut, dilanjutkan dengan co amoxiclav oral, pemberian yunan
baiyao untuk mengobati luka dalam pasca operasi, juga pemberian salep topical
bonti. Dilakukan observasi luka setiap hari dan di perah susu agar tidak terjadi
pembengkakan dan mastitis.
MATERI DAN METODOLOGI

3.1 Alat dan Bahan


Alat dan bahan yang digunakan pada bedah enterotomi dapat dilihat pada
tabel dibawah ini;
Tabel 3.1 Alat dan bahan yang digunakan pada bedah Ovariohesterektomi.
Nama Alat Jumlah Nama Bahan Jumlah
Towel clamp 4 buah Catgut chromic 3.0 1 buah
Blade 23 2 buah Benang Vicryl 0/0 1 buah
Alice tissue 2 buah Infus NS 1 buah (500ml)
forceps
Spuit 5cc 1 buah Tampon steril Secukupnya
Pinset anatomis 1 buah Kasa steril Secukupnya
Pinset cirurgis 1 buah Kapas Secukupnya
Artery clamp 2 buah` Masker 3 buah
(Rochester pean)
Artery clamp 6 buah Gloves 3 pasang
(mosquito)
Needle holder 1 buah Spuit 3 cc 1 buah
Gunting tajam 1 buah Underpad 3 buah
tumpul
Gunting tajam 1 buah IV catheher 24 G 1 buah
tajam
Gunting tumpul 1 buah Alcohol 70% Secukupnya
tumpul
Needle taper 12 1 buah Iodine 1 % Secukupnya
Isofluran 2 jam 10 Royal canine 1 buah
menit recoveri
Neddle round 12 1 buah
Nierbeken 1 buah Hipafix Secukupnya
Termometer 1 buah Atropin sulfate 3.2 ml
digital
Stetoskop 1 buah Ketamin 3,2ml
Drape 1 buah Xylazine 1.6ml
Infus set 1 buah Amoxicilin
Ketoprofen
NS flushing
Bonti
3.2 Prosedur Operasi
3.2.1 Pra Operasi
Pasien yang digunakan adalah anjing Golden retriver, jenis kelamin betina,
umur kira-kira 1 tahun dengan berat badan 32,5 kg. Sebelum operasi
dilaksanakan, Pasien diperiksa keadaan fisik secara umum, kemudian dipuasakan
selama 12 jam. Sehari sebelum operasi hewan dimandikan dengan air bersih.
Puasa sebelum operasi dilakukan dengan tujuan mengosongkan isi lambung agar
tidak terjadi emesis.Sebelum melaksanakan operasi dilakukan pencukuran rambut
di area yang akan diinsisi yaitu daerah abdomen.

3.2.2 Operasi
Tindakan operasi dilakukan secara aseptis dimulai dengan disinfeksi area
abdomen, pemasangan kain drape dan sayatan untuk laparotomi (Kroner et al.,
2016). Sayatan kulit dilakukan di area linea alba posterior yang meliputi kulit,
subkutan, muskulus dan peritoneum sepanjang 6-10 cm. Kulit dan jaringan
subkutan dipreparasi menggunakan mayo scissors, preparasi tumpul dilakukan
untuk mencapai linea alba, kemudian bagian kiri dan kanan linea alba dijepit
dengan allis tissue forceps, dengan ujung scalpel dibuat sayatan kecil pada linea
alba (Kroner et al., 2016).
Setelah persiapan pre-operasi selesai maka dilanjutkan dengan persiapan
pelaksanaan operasi, setelah semua alat dan tempat siap operator dan co-opertator
memasuki area steril terlebih dahulu dengan mencuci tangan dengan
chlorhexidine 4% selama 5 menit setelah itu memakai glove dan headcap yang
sudah disterelisasi. Anastesiolog dan asisten kotor melakukan pra medikasi
anasetsi pada hewan dengan selalu dimonitoring kondisi hewan agar selalu berada
pada standar hewan operasi.
Setelah semua siap diberikan antibiotic berupa amoksisilin 0.325ml
sebagai antibiotic pramedikasi untuk mencegah terjadinya infeksi, lalu setlah
sekitar 10-15 menit di injek atropine sulfat dengan dosis 3.25ml. Setelah itu
lakukan pemasangan IV cathteter dan infus NaCl fisiologis untuk
mempertahankan volume cairan didalam tubuh dan menghindari syok akibat
kehilangan cairan secara tiba-tiba atau adanya perdarahan saat proses operasi.
Setelah semua terpasang dilanjutkan dengan pemberian anastesi berupa kombinasi
ketamin 0,325ml dan xylazine 0.16ml IM
Anjing nenei direbahkan dorsal diatas meja operasi dan di ikat ke empat
kakinya menggunakan tali,inhalasi berupa isoflurane juga diberikan untuk
memainten anastesi yang lebih lama. Area sekitar yang akan di incise di beri
povidone iodine 10% agar steril, setelah itu dilakukan pemasangan drape untuk
mengurangi resiko kontaminasi daerah operasi.
Dilakukan incise dengan blade mulai dari mengincisi kulit sepanjang 6-10
cm setelah kulit berhasil di sobek lanjutkan pada bagian subcutan dengan Panjang
yang sama. Setelah itu incisi bagian muskulus setelah itu dirasa incise sudah
cukup besar dan terlihat rongga abdomen lakukan eksplorasi terhadap cornua uteri
anjing nenei yang diduga berisi fetus yang sudah mati, setelah koruna ditemukan
kemudian dikeluarkan dengan maksimal dari abdomen. Pembuluh darah yang
mensuplai darah ke fetus di clamp menggunakan hemostatic forceps. Ovarium
kanan diambil diklamp mesovarium dan pembuluh darah, kemudian diligasi
dengan benang dilakukan gerakan memutar menggunakan vicryl absorbable.
Semua pembuluh darah yang berpotensi mengalami perdarahan diligasi sebelum
akhirnya dipotong bagian mesovarium dekat ovarium kanan. Kemudian diulangi
pada ovarium kiri .
Ekspose uterus sedalam mungkin lalu diklamp ovarium sedekat mungkin
pada serviks, kemudian ligase uterus dan pembuluh darah yang ada disana dengan
benang vicryl kemudian lakukan pemotongan pada uterus .
Cornua uteri dan ovarium yang telah terpotong diangkat dan dimasukan ke
dalam nearbaken dan di flushing rongga abdomen dengan NaCl fisiologis. Lalu
dilakukan penjahitan muskulus dengan pola simple interrupted dengan benang
vicryl absorbable dan dilanjutkan dengan subkutan dan kulit jahitan intradermal
emnggunakan vicryl.

3.2.3 Pasca operasi


Setelah operasi selesai, daerah incisi dibersihkan dan diolesi dengan
povidone iodin 10%, ke dalam daerah bekas operasi dioleskan gentamicin salep,
Kemudian diberi analgesik secara IM, antibiotic dan supportif diberikan selama
tiga hari berturut-turut.
Pasien dimasukkan ke dalam kandang yang bersih, kering dan terang.
Selama masa perawatan diberikan makanan yang mudah dicerna, luka operasi
dijaga kebersihannya, jahitan dibuka setelah luka operasi kering dan pada bekas
operasi dioles povidon iodin 10%.

3.3 Persiapan alat,Bahan,Ruang dan Tim operasi


3.3.1 Persiapan Alat dan bahan ruang
Ruang operasi dibersihkan menggunakan desinfektan. Sedangkan meja
operasi didesinfeksi dengan menggunakan alkohol 70%. Penerangan ruang
operasi sangat penting untuk menunjang operasi, oleh karena itu sebelum
diadakanya operasi persiapan lampu operasi harus mendapatkan penerangan yang
cukup agar daerah/situs operasi dapat terlihat jelas.
Alat-alat yang akan digunakan untuk operasi harus dalam keadaan steril,
desinfeksi dapat dilakukan dengan menggunakan desinfetan cair seperti
fenol,alkohol,halida,aldehid,komponen amonia,kloroform. Selain itu terdapat cara
sterelisasi lain yaitu sterelisasi uap,sterelisasi kimia (gas),sterelisasi plasma,radiasi
ion dan sterelisasi kimia dingin (fossum.2010)
Perlengkapan bedah seperti Hand gloves, Hair cap, dan Masker
disterilisasi dengan cara dibungkus koran kemudian dimasukkan ke dalam oven
dengan suhu 1210C selama 15 menit. Sterilisasi pada alat bedah minor dilakukan
dengan cara mencuci bersih seluruh alat-alatnya kemudian dikeringkan.
Selanjutnya semua peralatan dibungkus koran dan disterilkan menggunakan oven
dengan suhu 1210C selama 15 menit. Setelah itu, gunting dan jarum disterilisasi
kembali dengan menggunakan alkohol 70% sebelum digunakan.

3.3.2 Persiapan Tim Operasi


Sebelum operasi dilakukan, operator dan co-operator terlebih dahulu
mencuci tangan dari ujung jari sampai ke siku dengan air sabun dan dibilas
dengan air bersih. Tangan dikeringkan dengan handuk bersih kemudian
didesinfeksi dengan alkohol 70 %. Kemudian operator dan co-operator
mengunakan sarung tangan dan pakaian khusus bedah. Keadaan tersebut
dipertahankan sampai operasi selesai.
Anastesiolog didalam tim berfungsi untuk menghitung dosis pramedikasi
dan anastesi yang tepat bertujuan agar operasi berjalan lancer dan hewan operasi
pulih dengan baik

BAB 4
HASIL
4.1Anamnesa
Anjing nenei dibawa ke RSHP UB pada 29 November 2019 dengan keterangan
pemilik bahwa kemarin subuh melahirkan 3 anak yang mati. Merupakan lahiran
pertama dan terjadi perdarahan terus menerus
4.2 Sinyalemen
Gambar 4.1 Anjing Nenei
Nama : Nenei
Ras : Golden Retriver
Berat Badan : 32.5 Kg
Jenis kelamin Betina
Warna : Putih kuning
Suhu : 40.3 C
CRT & Turgor : 2 detik
Mukosa : Pink

4.3Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan hematologi,
kimia darah dan X-ray.

Tabel 4.1 Hasil Pemeriksaan Hematologi dan Kimia Darah Anjing Nenei

RUMAH SAKIT HEWAN PENDIDIKAN


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
Kampus II UB, Puncak Dieng Eksklusif, Desa Kalisongo, Dau, Malang, Jawa
Timur 65151
Telp. 081230232044, Email: rshp.brawijaya@gmail.com

No. Kartu : No. Lab : 1000


Nama Pasien : Nenei Pemilik : Ditasari
Jenis/Ras : Anjing/Golden Retriever Alamat/Telp :-
Jenis Kelamin : Betina Tanggal periksa : 29/11/19
Umur : 8 tahun Dokter Hewan : drh. Ricky
Anamnesa : Post partus (anaknya meninggal semua), perdarahan terus
menerus

Kisaran Normal
Pemeriksaan Hasil Satuan
Anjing
Hematologi:
Sel Darah Putih
7.1 10^ 3/µL 6.0-17.0
(WBC)
Sel Darah Merah
5.7 10^ 6/µL 5.5-8.5
(RBC)
Hemoglobin
9.9 g/dL 12.0-18.0
(Hb)
Hematocrit
41.4 % 37.0-55.0
(HCT)
MCV 72.6 fL 60.0-77.0
MCH 17.4 Pg 19.5-24.5
MCHC 23.9 g/dL 32.0-36.0
Trombosit (PLT) 317 10^ 3/µL 200-500
Limfosit 29.8 % 12.0-30.0
Monosit 4.3 % 3.0-10.0
Granulosit 65.9 % 60.0-80.0
Limfosit 2.1 10^ 3/µL 1.0-4.8
Monosit 0.3 10^ 3/µL 0.15-1.35
Granulosit 4.7 10^ 3/µL 3.5-14.0
RDW-CV 14.7 % 12.0-16.0
RDW-SD 45.2 fL 35-56
PCT 0.264 % 0.0-2.9
MPV 8.3 fL 6.7-11.0
PDW 4.9 fL 0.0-50.0
P-LCR 27.8 % 13-43
Kimia Darah
ALT/SGPT 31 U/L 8.2-57.3
Ureum (BUN) 9 mg/dL 10-20
Kreatinin 0.8 mg/dL 0.5-2
Total Protein 7.5 g/dL 5.4-7.5
Albumin 2.2 g/dL 2.6-4.0
Globulin 5.3 g/dL 2.7-4.4
Ratio A/G 0.41 g/dL 0.6-1.1
Total Bilirubin 0.4 mg/dL 0.07-0.61
ALP 83 U/L 10.6-100.7
Glukosa 78 mg/dL 60-100
Amilase 737 U/L 269.5-1462.4
Elektrolit
Na 146 Mmol/L 140-153
K 3.9 Mmol/L 3.8-5.6
Ca 9 mg/dL 8.7-11.8
P 4 mg/dL 2.6-6.8

Gambar 4.2 Hasil radiografi abdomen anjing Nenei posisi right lateral
recumbency
4.4 Obat-obatan
Tabel 4.2 Tabel Obat
FUNGSI OBAT DOSIS VOLUME RUTE WAKTU
(mg/kg (ml) ADMINISTRASI
BB)
Premedikasi Atropin sulfat 3.25 0.88 SC
Sedasi isofluran
Ketamine 10 3.25 IV
Xylazine 2 1.625 IV
Induksi anastesi Keta-Xyla 1.76 IV
Antibiotik pre op Amoxicillin 10 0,325 IM
Analgesik Ketoprofen 2 0.65 IM
Antibiotik pos op -Cefotaxime 15 4.8 IV
-Co Amoxiclav 20 650 PO

Atropin sulfat : 32,5kg x 0.025 mg/kg BB = 3,25 ml


0.25 mg/ml
Ketamine : 32,5kg x 10 mg/kg BB = 3,25 ml
100 mg/ml
Xylazine : 32,5kg x 1mg/kg BB = 1,625 ml
20 mg/ml
Amoxicillin : 32.5kg x 10 mg/kg BB = 0.325 ml
200 mg/ml
Ketoprofen inject : 32.5kg x 2 mg/kg BB = 0.65 ml
100 mg/ml
Cefotaxim : 32.5kg x 15 mg/kg BB = 4.8 ml IV
100 mg/ml
Co-amoxiclav : 32.5kg x 20 mg/kg BB = 650mg PO
Kg

4.5 Monitoring Hewan Selama Operasi


Tabel 4.3 Tabel Monitoring Pre Operasi dan Operasi
WAKTU I
PARAMETER PRE- 0' 5' 10' 15' 20' 25' 30' 35' 40' 45' 50' 55' 60'
ANESTESI
RESPIRASI
32 36 20 36 32 32 16 16 20 32 40 44 28 32
(x/menit)
DENYUT JANTUNG
(x/menit)
100 40 96 116 112 84 92 92 96 104 100 100 108 96

TEMPERATUR 38.1 39 39.2 38.7 38.2 38.1 38.1 37.6 37.9 37.3 37.1 37.1 37.2 38.8

WAKTU II
PARAMETER PRE- 65' 70' 75' 80' 85' 90' 95' 100' 105' 110' 115' 120' 125'
ANESTESI
RESPIRASI 28 24 24 36 28 24 28 20 24 20 20 20 24
(x/menit)
DENYUT JANTUNG 100 100 104 96 108 94 100 116 100 100 96 108 116
(x/menit)

TEMPERATUR 36 36.8 37.4 36.7 37.2 36.7 37.2 36.8 37.1 37.2 36.6 37.2 37.1

WAKTU III
PARAMETER PRE- 130' 135' 140'
ANESTESI
RESPIRASI 20 20 20
(x/menit)
DENYUT 100 132 120
JANTUNG
(x/menit)
TEMPERATUR 37. 36.9 37.3
1

4.5 Monitoring Hewan Harian


Tabel 4.4 Tabel Monitoring Pasca Operasi

Hari/
No. Pagi Keterangan Sore Keterangan
Tanggal
1. Sabtu T (oC) : 38,8 T/ Yunan baiyo 2 T (oC) : 37,4 T/Yunan Baiyo 2
30/11/19 HR (bpm) :120 caps po HR (bpm) : 128 caps po
RR (x/menit) : 60 T/ Amoxan 1 caps RR (x/menit) : 36 T/ Ranitidin 2,56
SL : pink po SL : pink mL
CRT : 2s T/ TF I caps po CRT : <2s Ganti perban
Tur : 2s T/ Metronidazole Tur : 2s Bonti
Pee : - 1 cap po Pee : -
Poo : - T/ Ranitidin 2,56 Poo : -
Vom : + ml Vom : +++
Ma : - Ganti perban Ma : +
Mi : +++ Bonti Mi : +++
Minggu T (oC) : 39,4 T/Yunan baiyo 2 T (oC) : 39,4 T/Yunan baiyo 2
1/12/19 HR (bpm) : 84 caps po HR (bpm) : 112 caps po
RR (x/menit) : 80 T/Ranitidin 2,56 RR (x/menit) : 128 T/Ranitidin 2,56
SL : pink mL SL : agak merah mL
CRT : <2s T/Ondansetron CRT : 1s T/Ondansetron
Tur : <2s 1,6 mL Tur : 1s 1,6 mL
2.
Pee : - T/Sucralfate 5 mL Pee : ++ T/Sucralfate 5 mL
Poo : - Ganti perban Poo : - T/Cefotaxime 4,8
Vom : - Bonti Vom : - mL
Ma : + Perah susu Ma : ++ Ganti perban
Mi : + Mi : - Bonti
Perah susu
Senin T (oC) : 37,8 T/Yunan baiyo 2 T (oC) : 37,1 T/Yunan baiyo 2
2/12/19 HR (bpm) : 116 caps po HR (bpm) : 56 caps po
RR (x/menit) : 178 T/Ranitidin 2,56 RR (x/menit) : 60 T/Ranitidin 2,56
SL : pink mL SL : pink mL
CRT : <2s T/Ondansetron CRT : <2s T/Ondansetron
Tur : <2s 1,6 mL Tur : <2s 1,6 mL
3.
Pee : ++ T/Sucralfate 5 mL Pee : - T/Sucralfate 5 mL
Poo : - T/Cefotaxime 4,8 Poo : - T/Cefotaxime 4,8
Vom : + mL Vom : - mL
Ma : + Ganti perban Ma : ++ Ganti perban
Mi : + Bonti Mi : + Bonti
Perah susu Perah susu
Selasa T (oC) : 38,5 T/Yunan baiyo 2 T (oC) : 37,9 T/Yunan baiyo 2
3/12/19 HR (bpm) : 68 caps po HR (bpm) : 88 caps po
RR (x/menit) : 60 T/Ranitidin 2,56 RR (x/menit) : 40 T/Ranitidin 2,56
SL : pink mL SL : pink mL
CRT : 2s T/Ondansetron CRT : <1s T/Ondansetron
Tur : <2s 1,6 mL Tur : <2s 1,6 mL
4.
Pee : - T/Sucralfate 5 mL Pee : - T/Sucralfate 5 mL
Poo : - T/Cefotaxime 4,8 Poo : - T/Cefotaxime 4,8
Vom : - mL Vom : - mL
Ma : ++ Ganti perban Ma : +++ Ganti perban
Mi : + Bonti Mi : ++ Bonti
Perah susu Perah susu
Rabu T (oC) : 39,2 T/Yunan baiyo 2 T (oC) : 39,9 T/Yunan baiyo 2
4/12/19 HR (bpm) : 96 caps po HR (bpm) : 48 caps po
RR (x/menit) : 64 T/Ranitidin 2,56 RR (x/menit) : 36 T/Ranitidin 2,56
SL : pink mL SL : pink mL
CRT : 2s T/Ondansetron CRT : 1s T/Ondansetron
5. Tur : 1s 1,6 mL Tur : 2s 1,6 mL
Pee : - T/Sucralfate 5 mL Pee : + T/Sucralfate 5 mL
Poo : - T/Cefotaxime 4,8 Poo : - T/Cefotaxime 4,8
Vom : - mL Vom : - mL
Ma : +++ Bonti Ma : +++ Bonti
Mi : ++ Perah susu Mi : ++ Perah susu
6. Kamis T (oC) : 38,7 T/Yunan baiyo 2 T (oC) : 38,4 T/Yunan baiyo 2
5/12/19 HR (bpm) : 108 caps po HR (bpm) : 84 caps po
RR (x/menit) : 36 T/Cefotaxime 4,8 RR (x/menit) : 72 T/Cefotaxime 4,8
SL : pink mL SL : pink mL
CRT : 1s T/TF I caps po CRT : <2s Bonti
Tur : 1s Bonti Tur : 1s Perah susu
Pee : + Perah susu Pee : ++
Poo : - Poo : -
Vom : - Vom : -
Ma : +++ Ma : +++
Mi : ++ Mi : ++
Jumat T (oC) : 38,9 T/Yunan baiyo 2 T (oC) : 38,1 T/Yunan baiyo 2
6/12/19 HR (bpm) : 100 caps po HR (bpm) : 52 caps po
RR (x/menit) : 36 T/Cefotaxime 4,8 RR (x/menit) : 48 T/Cefotaxime 4,8
SL : pink mL SL : pink mL
CRT : 1s T/TF I caps po CRT : <2s Bonti
7. Tur : 1s Bonti Tur : <2s Perah susu
Pee : ++ Perah susu Pee : -
Poo :++ Poo : -
Vom : - Vom : -
Ma : +++ Ma : +++
Mi : ++ Mi : ++
Sabtu T (oC) : 38,4 T/Yunan baiyo 2 T (oC) : 39 T/Yunan baiyo 2
7/12/19 HR (bpm) : 108 caps po HR (bpm) : 80 caps po
RR (x/menit) : 56 T/Co amoxiclav 1 RR (x/menit) : 92 T/Co amoxiclav 1
SL : pink tab SL : pink tab
CRT : <2s T/TF I caps po CRT : <2s Bonti
8. Tur : <2s Bonti Tur : <2s Perah susu
Pee : ++ Perah susu Pee : ++
Poo : - Poo : -
Vom : - Vom : -
Ma : +++ Ma : +++
Mi : ++ Mi : ++
9. Minggu T (oC) : 38,5 T/Yunan baiyo 2 T (oC) : 38,2 T/Yunan baiyo 2
8/12/19 HR (bpm) : 84 caps po HR (bpm) : 92 caps po
RR (x/menit) : 40 T/Co amoxiclav 1 RR (x/menit) : 84 T/Co amoxiclav 1
SL : pink tab SL : pink tab
CRT : <2s T/TF 1 caps po CRT : <2s T/Tetes telinga
Tur : <2s T/Tetes telinga Tur : <2s Bonti
Pee : ++ Bonti Pee : + Perah susu
Poo : + Perah susu Poo : -
Vom : - Vom : -
Ma : +++ Ma : +++
Mi : ++ Mi : ++
Senin T (oC) : 38,1 T/Yunan baiyo 2 T (oC) : 38,4 T/Yunan baiyo 2
9/12/19 HR (bpm) : 96 caps po HR (bpm) : 104 caps po
RR (x/menit) : 68 T/Co amoxiclav 1 RR (x/menit) : 48 T/Co amoxiclav 1
SL : pink tab SL : pink tab
CRT : <2s T/TF 1 caps po CRT : <2s T/Tetes telinga
10. Tur : <2s T/Tetes telinga Tur : <2s Bonti
Pee : + Bonti Pee : - Perah susu
Poo : - Perah susu Poo : -
Vom : - Vom : -
Ma : +++ Ma : +++
Mi : ++ Mi : ++
Selasa T (oC) : 38,3 T/Yunan baiyo 2 T (oC) : 38,9 T/Yunan baiyo 2
10/12/19 HR (bpm) : 84 caps po HR (bpm) : 80 caps po
RR (x/menit) : 56 T/Co amoxiclav 1 RR (x/menit) : 64 T/Co amoxiclav 1
SL : pink tab SL : pink tab
CRT : <2s T/TF I caps CRT : <1s T/Tetes telinga
11. Tur : <2s T/Tetes telinga Tur : <1s Bonti
Pee : - Bonti Pee : ++ Perah susu
Poo : - Perah susu Poo : -
Vom : - Vom : -
Ma : +++ Ma : +++
Mi : ++ Mi : ++
12. Rabu T (oC) : 38,1 T/Yunan baiyo 2 T (oC) : 38,4 T/Yunan baiyo 2
11/12/19 HR (bpm) : 88 caps po HR (bpm) : 96 caps po
RR (x/menit) : 48 T/Co amoxiclav 1 RR (x/menit) : 76 T/Co amoxiclav 1
SL : pink tab SL : pink tab
CRT : <2s T/TF I caps CRT : <2s T/Tetes telinga
Tur : <2s T/Tetes telinga Tur : <2s Bonti
Pee : - Bonti Pee : ++ Perah susu
Poo : - Perah susu Poo : -
Vom : - Vom : -
Ma : +++ Ma : +++
Mi : ++ Mi : ++
Kamis T (oC) : 38 T/Yunan baiyo 2 - Pulang
12/12/19 HR (bpm) : 92 caps po
RR (x/menit) : 44 T/Co amoxiclav 1
SL : pink tab
CRT : <1s T/TF I caps
13. Tur : <1s T/Tetes telinga
Pee : - Bonti
Poo : - Perah susu
Vom : -
Ma : ++
Mi : ++

4.6 Perkembangan Luka


Tabel 4.5 Perkembangan Luka
No Hari/Tanggal Foto Keterangan
.
1. Jumat 29/11/19 Luka post operasi

2. Sabtu 30/11/19 Luka hari ke-1 pasca operasi


3. Minggu 1/12/19 Luka hari ke-2 pasca operasi
terlihat luka tampak mengering
dan kemerahan berkurang

4. Senin 2/12/19 Luka hari ke-3 pasca operasi,


terlihat luka mongering, di
bagian atas luka terlihat jahitan
terlepas. Pada hari ini jahitan
intradermal semua terlepas dan
dijahit kembali dengan benang
silk
5. Selasa 3/12/19 Luka hari ke-4 pasca operasi
seroma merembes dari tepi
bagian insisi atas

6. Rabu 4/12/19 Luka hari ke-5 pasca operasi


seroma yang merembes keluar
dari luka semakin banyak
7. Jumat 6/12/19 Luka hari ke-7 pasca operasi,
luka terlihat mengering, seroma
masih keluar namun tidak
sebanyak hari ke-5

8. Sabtu 7/12/19 Luka hari ke-8 pasca operasi,


jahitan telah dibuka, luka terlihat
mengering, seroma masih keluar
namun tidak sebanyak hari ke-5

9. Minggu 8/12/19 Luka hari ke-9 pasca operasi,


luka mongering

10. Senin 9/12/19 Hari ke-10 pasca operasi, luka


telah menutup sempurna

11. Selasa 10/12/19 Hari ke-11 pasca operasi, luka


telah menyatu sempurna, namun
pada bagian luka atas terdapat
kemerahan dimana selanjutnya
membuka kembali dan
mengeluarkan seroma
BAB V
PEMBAHASAN
5.1 Analisa Prosedur dan Analisa Hasil Operasi
Prosedur yang dilakukan pada proses pembedahan ovaroihesterektomi
adalah Teknik dengan melakukan pembukaan pada abdomen dengan Panjang 6-
10cm dilakukan dengan aseptis baik sebelum dilakukan operasi pada saat operasi
dan pasca operasi. Untuk mendapatkan aseptis sebelum dilakukn operasi alat-alat
yang akan digunakan dilakukan sterelisasi daengan menggunakan pemanas atau
oven dengan suhu 121C selama 15 menit sebelum di oven alat-alat dibalut dengan
kertas atau koran, selain alat-alat yang digunakan untuk pelaksanaan operasi
operator,co-operator dan tim operator juga mempersiapkan pakaian khusus
operasi,glove,masker dan headcap untuk ikut disterilisasi dengan tujuan
memperkecil resiko kontaminasi. Setelah semua alat selesai di sterelisasi
kemudian tempat untuk operasi dilakukan tindakan agar aseptis dengan cara di
bersihkan setelah itu dilakukan penyinaran dengan sinar UV selama 1 jam dengan
tujuan untuk sterelisasi tempat. Sebelumnya hewan dilakukan puasa selama 12
jam utuk mencegah terjadinya muntah dan salivasi diaman nantinya bisa
mengganggu jalannya operasi dan beberapa waktu sebelum operasi hewan
dilakukan pemeriksaan fisik, uji darah berupa hematologi untuk menetukan hewan
siap dilakukan operasi. Menurut (Erwin et al., 2018), sebelum prosedur bedah
dilakukan pemeriksaan klinis hewan meliputi pemeriksaan suhu tubuh, frekuensi
degup jantung, frekuensi pernafasan dan membran mukosa. Pemerik- saan profil
darah sebelum dan setelah operasi untuk mengetahui kondisi sistemik tubuh
anjing. Pemeriksaan profil darah meliputi; jumlah eritrosit, jumlah total leukosit,
diferensial leukosit, hemoglobin, hematokrit, dan trombosit.
Setelah persiapan pre-operasi selesai maka dilanjutkan dengan persiapan
pelaksanaan operasi, setelah semua alat dan tempat siap operator dan co-opertator
memasuki area steril terlebih dahulu dengan mencuci tangan dengan
chlorhexidine 4% selama 5 menit setelah itu memakai glove dan headcap yang
sudah disterelisasi. Anastesiolog dan asisten kotor melakukan pra medikasi
anasetsi pada hewan dengan selalu dimonitoring kondisi hewan agar selalu berada
pada standar hewan operasi.
Setelah semua siap diberikan antibiotic berupa amoksisilin 0.325ml
sebagai antibiotic pramedikasi untuk mencegah terjadinya infeksi, lalu setlah
sekitar 10-15 menit di injek atropine sulfat dengan dosis 3.25ml. Setelah itu
lakukan pemasangan IV cathteter dan infus NsCl 0,9%, infus kristaloid yang
berisi natrium ini dipakai karena komposisinya yang mirip dengan cairan
ekstraseluler yang banyak terdapat natrium juga dimana merupakan elektrolit
yang penting dalam mekanisme transport aktif Na-K(Schott.2006).Cairan ini
bersifat isotonis dan tidak toksik dan berfungsi mempertahankan volume cairan
didalam tubuh dan menghindari syok akibat kehilangan cairan secara tiba-tiba
atau adanya perdarahan saat proses operasi. Setelah semua terpasang dilanjutkan
dengan pemberian anastesi berupa kombinasi ketamin 0,325ml dan xylazine
0.16ml IM
Anjing nenei direbahkan dorsal diatas meja operasi dan di ikat ke empat
kakinya menggunakan tali,inhalasi berupa isoflurane juga diberikan untuk
memainten anastesi yang lebih lama. Area sekitar yang akan di incise di beri
povidone iodine 10% agar steril, setelah itu dilakukan pemasangan drape untuk
mengurangi resiko kontaminasi daerah operasi.
Dilakukan incisi dengan blade mulai dari mengincisi kulit
sepanjang 6-10 cm (Gambar 5.1). (Kroner et al., 2016) menyebutkan bahwa Kulit
dan jaringan subkutan dipreparasi menggunakan mayo scissors, preparasi tumpul
dilakukan untuk mencapai linea alba, kemudian bagian kiri dan kanan linea alba
dijepit dengan allis tissue forceps, dengan ujung scalpel dibuat sayatan kecil pada
linea alba.
Setelah kulit berhasil di sobek lanjutkan pada bagian subcutan dengan
Panjang yang sama (Gambar 5.2). Setelah itu incisi bagian muskulus setelah itu
dirasa incise sudah cukup besar dan terlihat rongga abdomen lakukan eksplorasi
terhadap cornua uteri anjing nenei yang diduga berisi fetus yang sudah mati
(Gambar 5.3), setelah koruna ditemukan kemudian dikeluarkan dengan maksimal
dari abdomen (Gambar 5.4). Pembuluh darah yang mensuplai darah ke fetus di
clamp menggunakan hemostatic forceps (Gambar 5.5).
Ovarium kanan diambil diklamp mesovarium dan pembuluh darah,
kemudian diligasi dengan benang dilakukan gerakan memutar menggunakan
vicryl absorbable. Semua pembuluh darah yang berpotensi mengalami perdarahan
diligasi sebelum akhirnya dipotong bagian mesovarium dekat ovarium kanan.
Kemudian diulangi pada ovarium kiri (Gambar 5.6).
Ekspose uterus sedalam mungkin lalu diklamp ovarium sedekat mungkin
pada serviks, kemudian ligase uterus dan pembuluh darah yang ada disana dengan
benang vicryl (Gambar 5.7) kemudian lakukan pemotongan pada uterus (Gambar
5.8).
Cornua uteri dan ovarium yang telah terpotong diangkat dan dimasukan ke
dalam nearbaken (Gambar 5.12) dan di flushing rongga abdomen dengan NaCl
fisiologis. Lalu dilakukan penjahitan muskulus dengan pola simple interrupted
dengan benang vicryl absorbable (Gambar 5.9) dan dilanjutkan dengan subkutan
(Gambar 5.10) dan kulit jahitan intradermal emnggunakan vicryl (Gambar 5.11).
Hewan yang menjalani terapi operasi pada saluran reproduksinya harus
dipantau secara rutin dan berkala dikarenakan hewan bisa saja masih merasakan
skait, perdarahan, bahkan terjadi infeksi. Hewan dipantau jangan sampai hewan
banyak melakukan gerakan sekitar 10-14 hari dan apabila hewan tidak muntah
dapat diberikan makan 6-12 jam pasca operasi (Foasum.2013). Untuk mengurangi
rasa sakit pasca operasi maka nenei diberikan ketoprofen sebagai analgesik.
Setelah operasi maka dilanjutkan dengan perlakuan post operasi dimana
nenei diberi antibiotik secara injeksi, diberi analgesic dan salep untuk
mempercepat kesembuhan luka. Pengobatan yang diberikan kepada nenei adalah
antibiotic cefotaxime secara IV selama 6 hari berturut-turut, kemudian diberikan
co-amoxiclav secara oral ditmbah yunan baiyo yaitu obat herbal cina yang dapat
mempercepat clotting darah dan hemostasis. Menurut (Lee et al.2017), selain anti
perdarahan obat ini memiliki efek sebagai anti inflamasi.
Proses kesembuhan luka nenei diamatai pada hari 1 sampai hari ke 3
terlihat luka mulai menunjukan perubahan dimana jahitan pada luka incisi mulai
mengering, tetapi pada pengamatan hari ke 3 sore saat dilakukan pengecekan pada
luka nenei jahitan intradermal nya terlepas sehingga harus dilakukan penjahitan
ulang mencegah terjadinya organ yang keluar atau infeksi. Setelah dijahit ulang
dilakukan pengamatan pada hari ke 4 seroma terlihat dari keluar dari luka nenei
dan seroma keluar terus mengalir sehingga luka menjadi basah lalu luka yang
mengeluarkan seroma dilakuka pengompresan agar mengurangi bengkak dan
semua seroma keluar dan tidak mengendap.
3 hari setelahnya atau pada hari ke 7 setelah operasi seroma mulai terlihat
berkurang dan luka jahitan sudah mulai mengering. Besoknya atau hari ke 8
jahitan nenei sudah bisa di buka dan dihari ke 10 luka sudah menutup dengan
sempurna.
Gambar 5.1 Gambar 5.2
Gambar 5.3 Gambar 5.4

Gambar 5.5 Gambar 5.6


Gambar 5.7 Gambar 5.8

Gambar 5.9 Gambar 5.10


Gambar 5.11 Gambar 5.12

5.2 Obat-obatan yang dipakai


5.2.1 Atropin Sulfat
Atropin sulfat merupakan antikolinergik yang paling sering digunakan.
Obat-obat golongan ini disebut juga anti muskarinik atau parasimpatolitik.
Mekanisme kerjan atropin sulfat pada umumnya menghambat pada tempat yang
disarafi oleh serabut postganglion kolinergik, dimana asetilkolin sebagai neuro
transmitor. Atropin digunakan sebagai premedikasi anestesi dengan tujuan untuk
menekan produksi air liur dan jalan nafas dan juga untuk mencegah reflek yang
menimbulkan gangguan jantung atau mencegah timbulnya bradikardi. Meskipun
demikian pemberian atropin sulfat berpengaruh pada susunan syaraf pusat yang
kemudian merangsang medula oblongata, pada mata menimbulkan medriasis,
mengurangi sekret hidung, mulut, faring dan bronkus (Sardjana dan Kusumawati,
2004).
Atropin sulfat bersifat reversibel dan pada pemberiannya dapat
dimetabolisme oleh semua spesies. Dosis yang diberikan untuk anjing dan kucing
adalah 0,022-0,044 mg/kg BB (Plumb, 1988). Atropine dapat diberikan secara
subkutan, intramusckuler atau intravena. Pemberian secara intravena digunakan
apabila ining efek cepat (Fosum, 2013).

5.2.2 Acepromazine
Acepromazine tergolong phenothiazine yang berwarna kuning, tidak
berbau, rasanya pahit dan berbentuk bubuk dan cair. Acepromazine mendepres
susunan syaraf pusay sehingga menghasilkan efek sedasi trelaksasi otot,
penurunan aktifitas reflek. (Plumb, 2008). Acepromazine digunakan sebagai
transquilizer pada anjing, kucing dan kuda. Acepromazine bersifat anti–
kholinergik, anti-emetik, antispasmodik, antihistamin dan memblok alpha-
adrenergik. Acepromazine menyebabkan hipotesis dan menurunkan vasomotorik.
Dapat juga berpengaruh pada respirasi, denyut jantung dan suhu tubuh.
Acepromazine dimetabolisme dihati dan dieksresikan lewat urine.
Acepromazien digunakan sebagai pre anestesi, sebagai kontrol satwa liar,
antiemetik pada anjing dan kucing dan sebagai tranquilizer pada kuda.
Acepromazine mempunyai efek depresan SSP berarti lebih sedikit opiat yang
diperlukan untuk mencapai jumlah sedasi yang sama dan mencegah aritmia dan
muntah yang ditimbulkan oleh opiat. Acepromzine dapat diberikan secara
intravena, intramuskular dan subkutan, pada anjing dosis yang digunakan adalah
0,03-0,05 mg/kg BB untuk pemakaian premedikasi. Sedangkan untuk restrain atau
sedasi dapat digunakan dosis sebesar 0,025-0,2 mg/kgBB (Plumb, 2008). Pada
operasi ini acepromazine diberikan dengan dosis 0,029 mg/kgbb IM.

5.2.3 Xylazin
Xilazine merupakan salah satu golongan alpha2-adrenoceptor stimulant.
Alpha-2 agonist seperti xilazine dan medetomidin merupakan preanastetikum
yang sering digunakan pada anjing dan kucing untuk menghasilkan sedasi,
analgesi dan pelemas otot. Xilazine bekerja melalui mekanisme yang menghambat
tonus simpatik karna xilazine mengaktivasi reseptor postsinapa2-adrenoreseptor
sehingga menyebabkan medriasis, relaksasi otot, penurunan denyut jantung,
penurunan peristaltik, relaksasi saluran cerna dan sedasi. Aktivitas xxilazine pada
susunan syaraf pusat adalah melalui aktivasi dan stimulasi reseptor a2-
adrenoseptor, menyebabkan penurunan pelepasan simpatis, mengurangi
pengeluaran norepineprin dan dopamin. Xilazine akan menghipnotis yang dalam
dan lama, dengan dosis ditingkatkan menyebabkan sedasi lebih dalam dan lama
serta panjang.
Efeksamping dari xilazine adalah mengalami penurunan setelah kenaikan
awal tekanan darah dalam perjalanan efeknya vasodilatasi tekanan darah dan juga
dapat menyebabkan bradikardi. Pengaruh xilazine dapat dibatalkan dengan
menggunakan antagonis reseptor adregenik. Khusus pada kucing xilazine juga
merangsang pusat muntah, sehingga obat tersebut digunakan sebagai enetik.
Peningkatan urinasi sering terjadi pada kucing, sedangkan pada anjing cenderung
banyak menelan udara. Dosis yang dipakai pada anjing yaitu sebesar 1,1 mg/kg
BB secara IV dan 2,2 mg/kg secara IM. Pada operasi ini pemberian ketamin pada
injeksi pertama dengan dosis 0,44 mg/kgbb, lalu apabila hewan kembali sadar
diberikan lagi 1/3 dari dosis yaitu 0,22 mg/kgbb

5.2.4 Ketamin
Ketamine merupakan obat golongan fenyl cyclohexylamine. Ketamine
mempunyai efek analgesi yang kuat sekali, akan tetapi efek hipnotiknya kurang
(tidur ringan) yang disertai penerimaan keadaan lingkungan yang salah.
Ketamine merupakan zat anestesi dengan aksi satu arah yang berarti efek
analgesinya akan hilang bila obat itu telah didetokdikasi atau disekresi, dengan
demikian pemakaian lama harus dihindarkan. Anastetik ini adalah suatu derivat
dari pencyclidine suatu obat anti psikosa. Induksi ketamine pada prinsipnya
sama dengan tiopentan. Namun penampakan pasien pada saat sadar berbeda
dengan bila menggunakan barbiturat.
Efek yang terjadi pada pemakaian ketamine adalah analgesi yang kuat
sehingga meskipun pasien sudah sadar, tetapi efek analgesinya tetap ada, tidak
memiliki daya pelemas otot, bersifat hipnotik, merangsang pelepasan
katekolamin andogen sehingga menyebabkan peningkatan denyut nadi, tekanan
darah dan curah jantung, menyebabkan dilatasi bronkus dan bersifat antagonis
terhadap efek kontraksi bronkus oleh histamin, tekanan darah naik baik sistole
maupun diastole. Dosis ketamin yang digunakan pada anjing yaitu 10 mg/kg BB.
Pada operasi ini pemberian xylazin pada injeksi pertama dengan dosis 0,44
mg/kgbb, lalu apabila hewan kembali sadar diberikan lagi 1/3 dari dosis yaitu
0,22 mg/kgbb

5.2.5 Amoxicilin
Amoxicillin adalah antibiotik spektrum sedang yang aktif terhadap bakteri
gram positif serta beberapa organisme gram negatif. Amoxicillin diberikan asam
clavulanic untuk meningkatkan susceptibilitasnya (Plumb, 2008). Amoxicillin
sangat efektif untuk infeksi yang disebabkan bakteri gram positif. Efek samping
biasanya dapat ditoleransi dan terdapat alergi. Diare dan muntah biasanya terjadi
jika diberikan melalui per oral. Dosis untuk anjing dan kucing adalah 10 mg/kg
BB. Pada operasi ini amoxicillin diberikan dengan dosis 0,44 mg/kgbb IM

5.2.6 Ketoprofen
Ketoprofen merupakan obat antiinflamasi non sterodi yang bekrja
menghambat sintesis prostaglandin dan leukotrien. Obat ini memiliki onset kerja
30 menit dengan durasi 6 jam. Metabolisme ketoprofen terjadi di hepar dengan
metabolit utama berupa glukoronida hasil konjugasi ketoprofen dan ketoprofen
terhidroksilasi.
Obat ini diberiakan secara beramaan ata dalam 24 jam dengan NSAID dan
glukokortikoid lainnya. Dosis untuk anjing adalah 5 mg/kg BB secara subkutan,
intravena dan intramuskular, intraena dengan waktu 24 jam, dapat diulang
hingga 3 hari berturut-turut dosis 0,8 mg/kg IM
5.2.7 Cefotaxime
Merupakan antibiotik cefalosporin generasi ke-3 yang berikatan dengan
protein yang terlibat dalam sintesis dinding sel bakteri sehingga berefek
mengurangi kekuatan dinding sel bakteri serta pemelahan sel. Antibiotik ini
tahan terhadap bakteri yang menghasilkan beta lactamse serta ampuh dalam
elawan enterobacterium (BSAVA.2014)

5.2.8 Co-amoxiclav
Amoksisilin pada umumnya resisten terhadap bakteri gram negative pada
pencernaan dan stapylococus tetapi ketika digabung dengan asam klavulanat
kedua akndungan ini dapat digunakan untuk mengobati luka infeksi kulit,infeksi
saluran urin,infeksi luka dalam dan infeksi pernafasan (Papich.2007).
Pemberian obat ini akan lebih efektif diberikan setelelah makan secara oral
dimana waktu paruh obat ini 1,3 jam dan asam klavulanat yaitu 1 jam. Sekitar 50-
70% amoksisilin dan 25-40% asam klavulanat yang dapat diserap. Obat ini harus
diberikan secara hati-hati pada hewan yang alergi obat seperti penicillin. Efek
samping dari obat ini diare,nyeri pada lambung,kemerahan pada kulit dan
utikaria,muntah serta vaginitis (FDA.2012)

DAFTAR PUSTAKA

Sorg H, Tilkorn DJ, Hager S, Hauser J, Mirastschijski U. Skin wound healing: an update
on the current knowledge and concepts. Eur Surg Res. 2017;58(1–2):81–94.
Mori R, Shaw TJ, Martin P. Molecular mechanism linking wound inflammation and
fibrosis: knockdown of osteopontin leads to rapid repair and reduced scarring. J
Exp Med. 2008;205(1):43–51.
Sardjana IKW, Kusumawati D. 2011. Bedah veteriner. Cetakan 1.Surabaya (ID):Pusat
Penerbitan dan Percetakan Unair (AUP).
Tilley. P.L. and F.W.K. Smith. (2000). The Five Minutes Veterinary Consult Canine and
Feline. 2 nd ed. Lippicont. Philadelphia
Lorenz MD, Cornelius LM, Ferguson DC. 1994. Small animal medical therapeutics. JB
lippincott Co.Philadelphia New York.
Chandler EA. 1985. Feline Medicine and Therapeutics. London.
Meyer K. 1957. Canine Surgery. American Veterinary Publication, Inc. Santa Barbara
California
Frandson, R.D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Edisi keempat. Universitas Gadjah
Mada Press, Yogyakarta.
Fossum,T.W.2010.Small animal surgery.mosby Elsevier.China p.702-774.

Fossum. TW., Curtis. WD., Caroline. VH., Ann. LJ., Catriona. MMP., MaryAnn.GR.,
Kurt. SS., Michael. DW. 2013. Small Animal Surgery. 4thEdition. Elsevier. St.
Louis Missouri 63043.

Food and drug administration (FDA).2012. Amoxicilin Clavulanet Pottasium.U.S


Departement of health and human service
Nash H DVM. 2008. Spaying - Why it's a Good Idea. www.peteducation.com.[25 Juli
2008].
Douglas, S. 2003. Small Animal Surgery. 2nd ed. J.B. Lippincolt Company. Philadelphia
Erwin,Rusli,Amirudin,Deni Noviana,Raden Roro Soesatyoratih,Arni Diana fitri,Sitaria.
(2018).Penanganan Obstruksi Duodenum pada anjing.Jurnal Veteriner.RSHP
Fakultas kedokteran hewan IPB
Papich,M.G.2007.Saunders handbook of veterinary drugs second edition.st
louis.missuouri.saunders elsevier
Adam R. 2001. Veterinary Pharmacology and Theurapeutics. Blackwell Publishing
Company. Iowa.
Archibald, J. 1974. Canine Surgery. 2nd ed. American Veterinary Publication, Inc. Santa
Barbara, California.
Foster dan Smith, 2008. Spaying (Ovariohysterectomy): The Benefits in Dogs.
http://www.peteducation.com/author.cfm
Yusuf, I. (1995). Penuntun Praktikum dan Penuntun Koasistensi, Fakultas Kedokteran
Hewan, Unsyiah, Banda Aceh.Kroner KT, Budgeon C, Colopy SA. 2016. Update
on surgical principle and equipment. Vet. Clin North Am Exot Anim Pract
19(1):13- 32. doi: 10.1016/j.cvex.2015.08.011
Nurwahidi.2009.Ovariohesterekteomi.case report.Klinik Bedah fakultas kedokteran
hewan universitas syahkuala.Aceh
Yatim, W. (1990). Reproduksi dan Embriologi. Penerbit tarsito, Bandung.
Yolo,D.2012. small animal soft tissue surgery.scotland:CABI
Yang,B.Z.Q.Xu Zhang.F.Y.XU.X.Y.Shi.Z.Zou.C.Q.Ling.L.Tang.2014. Review article the
efficacy of yunan baiyo on haemostasis and anticeluler A systematic review and
Meta Analysis of randomized controlled trials int J clin Exp Med 2014 :7(3):461-
482.
Schott.C.M.D.2010. Fluid resuscitation 0,9% Normal saline VS Lacted ringer VS
albumin.EVMS journal club review 350 (22):2247-2256.
Dominique, G., Josee and V. Jean-pierre. 2004. The Royal Canin Dog Encylopaedia.
Aniwa S. A. French.
Mc Donald, L. E., 1980. Reproductive Patterns of Dogs. In : L. E. Mc Donald, ed.
rd
Veterinary Endocrinology and Reproductions. 3 Ed. Lea and Febiger,
Philadelphia
Stabenfeldt, G. H. and V. M. Shille., 1977. Dog. In: H. H Cole and P. T. Cupps, ed.
Reproduction in the Domestic Animals. 3rd Ed. Academic Press Inc., New York,
San Francisco, London.
Sturtz, R. and Lori Asprea. 2012. Anatomy and Physiology for Veterinary Technicians
st
and Nurses: A Clinical Approach. 1 ed. Blackwell Publishing. Ames, Iowa. USA.
Theresa, Welch., Fossum. 2007. Small Animal Surgery 3rd Edition. Mosby Elsevier
Missouri.

Anda mungkin juga menyukai