Anda di halaman 1dari 35

1

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM


MANAJEMEN KESEHATAN TERNAK

DisusunOleh:

KelompokV D-III A

WindaAnggraeni 23010214060008
Rani Anggraeni 23010214060013
Nisa Purnamasari 23010214060014
Lola Fenalisa Br Sinuhaji 23010214060016
Yunia Nurul N 23010214060019
Yohannes Bosco H.W 23010214060027
Franklin Ginting 23010214060042

FAKULTAS PETERNAKAN DAN PERTANIAN


UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2015
1

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : LAPORAN PRAKTIKUM MANAJEMEN KESEHATAN


TERNAK

Kelompok : V (LIMA)A

Jurusan : D-3 MANAJEMEN USAHA PETERNAKAN

Fakultas : PETERNAKAN DAN PERTANIAN

Tanggal Pengesahan : JUNI 2015

Mengetahui,

KoordinatorAsisten Praktikum Asisten Pembimbing


Manajemen Kesehatan Ternak

Kabib Efendi Ratih Wicahyaning D.


NIM. 23010111130123 NIM. 23010112120015

Menyetujui,
Koordinator Praktikum
Manajemen Kesehatan Ternak

Fajar Wahyono, Drh., MP.


NIP. 131602715
2

RINGKASAN

Kelompok VA.2015. Laporan Praktikum Manajemen Kesehatan Ternak.

(Asistesten: Ratih Wicahyaning D).

Praktikum Manajemen Kesehatan Ternak dilaksanakan 12 Mei - 30 Mei

2015 di Peternakan Kambing Desa Denkek Sari Tembalang dan Laboratorium

Ilmu Kesehatan Ternak di Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas

Diponegoro Semarang.

Praktikum Manajemen Kesehatan Ternak alat yang digunakan termometer,

stetoskop, tabung sentrifus, objek glass, pisau, gunting bedah, dan sarung tangan.

Bahan yang digunakan feses kambing segar, air untuk melarutkan feses, larutan

gula jenuh untuk memisahkan telur cacing dengan feses kambing, larutan NaCl,

preparat awetan endoparasit dan ektoparasit, serta sampel ayam broiler sakit.

Praktikum acara 1 dan 2 dengan observasi ke kandang kambing,

pemeriksaan kesehatan, mengukur suhu tubuh, menghitung detak jantung dan

rumen, menghitung frekuensi ternak. Acara 3 yaitu pemeriksaan feses kambing

dengan metode natif dan metode sentrifus menggunakan sampel feses kambing

yang masih segar dari kambing dan acara 3 preparat awetan ektoparasit dan

endoparasit Acara 4 mengamati performa fisik dari unggas yang dicurigai sakit,

mengambil sampel darah, mengamati bagian organ dalam unggas dengan

membedahnya.

Kata kunci : Anamnesa, Endoparasit, Ektoparasit, Nekropsi, Natif, Sentrifus.


3

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kita panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan

kasih-Nya, sehingga penulis pada akhirnya dapat menyelesaikan laporan

praktikum mata kuliah Manajemen Kesehatan Ternak. Penulisan laporan ini

dimaksudkan untuk memenuhi salah satu tugas dalam menempuh nilai mata

kuliah manajemen kesehatan ternak pada Fakultas Peternakan dan Pertanian

Universitas Diponegoro Semarang.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah

membantu sehingga laporan ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu kami

mengharapkan kritik dan saran unuk membangun demi kesempurnaan laporan ini,

semoga laporan ini memberikan informasi bagi masyarakat dan bermanfaat untuk

pengembangan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Jika ada kata-kata atau cara penulisan yang tidak sesuai. Penulis mohon

maaf dan kami harap dapat dimaklumi. Sekian dari penulis dan kami ucapkan

terima kasih.

Semarang, Juni 2015

Penulis
4

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL................................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN....................................................................... ii
RINGKASAN ........................................................................................... iii
KATA PENGANTAR................................................................................ iv
DAFTAR ISI.............................................................................................. v
DAFTAR TABEL...................................................................................... vii
DAFTAR ILUSTRASI.............................................................................. viii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................ 1
BAB II MATERI DAN METODE............................................................ 4
2.1. Materi........................................................................................ 2
2.1.1. Amnanesa.............................................................................. 4
2.1.2. Pengamatan parasit ................................................................ 4
2.1.3. Nekropsi ................................................................................ 5
2.2. Metode....................................................................................... 5
2.2.1. Amnanesa .............................................................................. 5
2.2.2. Pengamatan parasit ................................................................ 6
2.2.3. Nekropsi ................................................................................ 6
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN.................................................. 7
3.1. Anamnesa dan Pemeriksaan Kesehatan Ternak................................ 7
3.1.1. Pengamatan kondisi lingkungan dan kandang ternak ...... 7
3.1.2. Pemeriksaan kesehatan ternak ruminansia........................ 8
3.1.2.1. Pemeriksaan tingkah laku .............................................. 8
3.1.2.2. Pemeriksaan fisik tubuh ternak...................................... 9
5

3.2. Pemeriksaan Mikroskopis Feses...................................................... 10


3.2.1. Pemeriksaan Feses Metode Natif ..................................... 10
3.2.2. Pemeriksaan Feses Metode Sentrifus................................ 11
3.3. Pengamatan Preparat Prasit ............................................................ 12
3.3.1. Endoparasit........................................................................ 12
3.3.1.1. Ascaridia galli................................................................ 13
3.3.1.2. Fasciola gigantica........................................................... 14
3.3.2. Ektoparasit ........................................................................ 16
3.3.2.1. Hippobosca sp ............................................................... 16
3.3.2.2. Lymnaea rubiginosa ....................................................... 17
3.4. Pemeriksaan Kesehatan Ayam.......................................................... 19
3.4.1. Saluran Pernafasan............................................................ 19
3.4.2. Sistem peredaran darah ..................................................... 19
3.4.3. Sistem pencernaan ............................................................ 20
3.4.4. Sistem syaraf dan kekebalan tubuh................................... 21
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN................................................... 23
4.1. Kesimpulan............................................................................... 23
4.2.Saran .......................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 24
6

DAFTAR TABEL

HALAMAN

Tabel 1. Pemeriksaan feses metode natif ................................................ 10


Tabel 2. Pemeriksaan feses metode sentrifuse ........................................ 12
Tabel 3. Ascaridia galli ........................................................................... 14
Tabel 4. Fasciola gigantica..................................................................... 15
Tabel 5. Hippobosca sp ........................................................................... 17
Tabel 6. Lymnaea rubiginosa .................................................................. 18
Tabel 7. Sistem pencernaan .................................................................... 20
7

DAFTAR ILUSTRASI

HALAMAN

Ilustrasi 1. Kondisi lingkungan dan kandang ternak ................................ 7

Ilustrasi 2. Pemeriksaan tingkah laku ....................................................... 8

Ilustrasi 3. Pemeriksaan fisik tubuh ternak................................................ 9

Ilustrasi 4. Sistem pernafasan ................................................................... 19


1

BAB I

PENDAHULUAN

Kesehatan ternak merupakan hal yang sangat penting dalam dunia

peternakan, karena kesehatan ternak sangat berpengaruh terhadap produktivitas

ternak. Pemeriksaan kesehatan ternak adalah dengan cara mengontrol tingkah laku

ternak serta mengamati kondisi fisik ternak dan organ-organ didalam tubuh

ternak. Anamnesa adalah upaya mencari tahu dengan bertanya kepada pemilik

hewan, mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan penyakit yang diderit

oleh hewan yang diperiksa (sejarah hewan sebelum sakit, dan keadaan

hewan pada saat sakit). Kegiatan ini sangat efektif untuk memahami kondisi yang

ada dalam peternakan khususnya peternakan ruminansia terutama dalam hal

kesehatan ternak. Pemeriksaan kesehatan ternak yang bisa dilakukan bisa berupa

pengamatan tingkah laku seperti mengamati jarak jauh ternak dan jarak dekat,

kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan secara fisik. Pemeriksaan kesehatan

yang dilakukan pemeriksaan fisik seperti keadaan lubang-lubang tubuh,

pandangan mata ternak, frekuensi nafas, dan lain-lain.

Parasit adalah organisme yang hidup pada atau di organisme lain yang

biasa dikenal sebagai inangnya dimana organism tersebut akan memperoleh

nutrisi. Parasit dibedakan menjadi 2 yaitu endoparasit dan ektoparasit.

Endoparasit merupakan parasit yang biasa hidup di dalam tubuh organisme atau

inang. Parasit ini dapat hidup di lingkungan intraseluler (parasit malaria di dalam

sel darah merah manusia) maupun ekstraseluler (parasit yang hidup di dalam
2

jaringan tubuh atau saluran pencernaan). Ektoparasit adalah parasit yang hidup di

permukaan tubuh dari sutau organisme. Parasit ini sering ditemukan pada ternak,

biasanya mereka menghisap darah untuk mempertahankan hidupnya.

Ayam brolier merupakan ayam yang khusus diternakkan untuk

memperoleh daging yang maksimal dengan konsumsi pakan yang seminimal

mungkin. Hal inilah yang menjadi celah untuk dilakukan kecurangan untuk

menekan biaya pemeliharaan seminimal mungkin. Pentingnya pemeriksaan

kesehatan unggas merupakan kunci dalam mengetahui apakah ayam tersebut sakit

atau terkena masalah lainnya. Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cara

nekropsi. Nekropsi merupakan pembedahan untuk mengetahui kondisi jaringan

luar ataupun jaringan dalam pada tubuh ayam. Hal ini dilakukan agar dapat

diketahui penyakit yang diderita oleh unggas sehingga dapat ditentukan

penanganan yang tepat untuk menanggulangi penyakit tersebut agar peternakan

terhindar dari kerugian finansial yang lebih besar. Nekropsi bisa dilakukan untuk

mengetahui penyakit yang sedang dialami oleh unggas, karena perbedaan spesifik

akan terlihat pada unggas yang sakit. Maka dari itu, nekropsi sangat penting untuk

dipelajari, mengingat pentingnya menjaga kesehatan unggas serta keamanan dari

kualitas unggas tersebut untuk di konsumsi.

Praktikum ini bertujuan untuk kesehatan ternak dengan cara mengamati

tingkah laku ternak dengan jarak jauh dan jarak dekat, dan juga dapat

menganalisis kesehatan dan penyakit pada ternak. Adapun manfaat dari praktikum

ini adalah untuk meningkatkan daya analisis mahasiswa dalam hal kondisi

peternakan dan kesehatan ternak yang terjadi di peternakan. Tujuan dari


3

praktikum ini adalah untuk menginformasikan kepada masyarakat bahwa

bahayanya penyakit yang disebabkan oleh parasit dan mengetahui jenis-jenis

parasit baik endoparasit maupun ektoparasit yang ada pada ternak. Manfaat dari

praktikum ini adalah agar praktikan bisa lebih mengenal berbagai jenis parasit

baik endoparasit maupun ektoparasit. Tujuan dari praktikum ini adalah agar

praktikan lebih terlatih dalam melakukan nekropsi pada unggas dan mampu

menganalisa penyakit yang diderita oleh unggas. Manfaat dari praktikum ini

adalah agar praktikan lebih memahami secara mendalam mengenai karakteristik

penampilan luar dan organ dalam unggas yang terkena penyakit.


4

BAB II

MATERI DAN METODE

Praktikum Manajemen Kesehatan Ternak dengan materi Anamesa

dilaksanakan pada hari Selasa, 12 Mei 2015 pukul 17.00 – 18.00 WIB di

peternakan milik Bapak Sapin Jalan Dengkek Sari RT 02 RW 04, Tembalang,

Semarang.Praktikum Manajemen Kesehatan Ternak dengan materi Pemeriksaan

Feses dilaksanakan pada tanggal 27 Mei 2015 pukul 16.00 – 18.00 WIB dan

Praktikum Manajemen Kesehatan Ternak dengan materi Nekropsi dilaksanakan

pada tanggal 30 Mei 2015 pukul 11.00 – 13.00 WIB di Laboratorium Ilmu

Kesehatan Ternak Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro,

Semarang.

2.1. Materi

2.1.1. Anamnesa

Alat yang digunakan pada praktikum Manajemen Kesehatan Ternak

dengan materi Anamesa ini adalah thermometer untuk mengukur suhu tubuh

ternak, stetoskop untuk menghitung detak jantung dan rumen ternak serta induk –

anak kambing sebagai objek pemeriksaan.

2.1.2. Pemeriksaan Parasit


5

Alat yang digunakan pada praktikum Manajemen Kesehatan Ternak

dengan materi Pemeriksaan Parasit yaitu feses kambing yang masih segar, air

yang digunakan sebagai pelarut, gula jenuh yang digunakan untuk memisahkan

antara telur cacing dan feses kambing, larutan NaCl yang digunakan untuk

memisahkan telur cacing, mikroskop yang digunakan untuk mengamati telur

cacing, sentrifuse yang digunakan untuk memutar tabung sentrifuse, tabung

sentrifuse yang digunakan untuk meletakkan sample feses, serta object glass yang

digunakan untuk mengamati sample feses pada mikroskop.

2.1.3. Nekropsi

Alat yang digunakan dalam praktikum Manajemen Kesehatan Ternak

dengan materi Nekropsi adalah ayam yang dicurigai sakit, pisau yang digunakan

untuk menyembelih ayam, meteran yang digunakan untuk mengukur panjang

organ, gunting bedah yang digunakan untuk mempermudah menyayat setiap

bagian organ, dan tambahan masker untuk menutupi hidung dan mulut serta

sarung tangan untuk melapisi tangan.

2.2. Metode

2.2.1. Anamnesa

Metode yang dilakukan pada praktikum Manajemen Kesehatan Ternak

dengan materi Anamesa ini yaitu melakukan wawancara dengan pihak peternak,
6

mengamati keadaan kandang, melakukan pemeriksaan suhu tubuh, detak jantung

dan rumen serta menghitung frekuensi nafas induk dan anak kambing.

2.2.2. Pemeriksaan Parasit

Metodeyang digunakan pada praktikum Manajemen Kesehatan Ternak

dengan materi Pemeriksaan Parasit yaitupemeriksaan feses dengan Metode Natif,

pemeriksaan ini dilakukan dengan cara mengambil sample feses sebanyak 1-2

gram lalu diletakkan pada obyek glass, setelah itu teteskan air dan retakkan

dengan lidi/kaca.

2.2.3. Nekropsi

Metode yang digunakan dalam praktikum Manajemen Kesehatan Ternak

dengan materi Nekropsi yaitumengamati performa fisik unggas, pengambilan

sample darah, permukaan kulit unggas diperiksa apakah ada kelaian atau tidak,

periksalah warna dan kondisi jaringan dibawah kulit (subkutan) dan otot dada,

memeriksa organ dalamseperti saluran pencernaan, hati, jantung, ginjal, pankreas,

bursa fabrisius, trakea, paru-paru dan syaraf.


7

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Anamnesa dan Pemeriksaan Kesehatan Ternak

3.1.1. Pengamatan kondisi lingkungan dan kandang ternak

Ilustrasi. 1 kondisi kandang dan lingkungan

Berdasarkan hasil pengamatan kondisi lingkungan dan kandang ternak

kambing kurang mendukung. Jarak kandang dengan rumah kurang lebih 5 meter,

jarak tersebut belum termasuk baik karena dapat mengganggu dengan rumah.

Lingkungan kandang sangat berpengaruh terhadap kesehatan dan pertumbuhan

kambing. Menurut Agus dan Warsito (2013) bahwa kandang kambing seharusnya

bebas dari polusi udara dan tidak terjangkit dari penyakit menular berbahaya.

Lokasi kandang lebih baik jauh dari pemukiman agar bau yang mungkin

ditimbulkan tidak mengganggu masyarakat. Lokasi yang dekat pepohonan besar

dapat mengalami pelembapan. Keadaan ini tidak baik untuk kesehatan kambing.

Hal ini sesuai dengan pendapat Suparman (2007), yang menyatakan kondisi

kandang harus memenuhi syarat kesehatan dan memiliki pendukung yang baik,
8

seperti sumber air, letak lokasi terhadap perumahan, tempat penampungan limbah,

peralatan kandang, serta keindahan dan kerapian kandang.

3.1.2. Pemeriksaan kesehatan ternak ruminansia

3.1.2.1. Pemeriksaan tingkah laku

Iluatrasi 2. Tingkah laku ternak

Berdasarkan hasil pengamatan tingkah laku ternak kambing dilihat dari

aktifitas, nafsu makan dan minum, posisi berdiri. Pengamatan jarak jauh dapat

dilihat dengan nafsu makan yang tinggi, cara berdiri ternak. Menurut pendapat

Santosa (2010) menyatakan bahwa struktur kaki yang lurus dan simetris akan

lebih kuat menopang berat badan ternak daripada kaki yang tidak lurus dan

simetris, karena beban berat tubuh akan ditahan dengan seimbang oleh kedua

kaki. Pengamatan dengan jarak dekat dapat diketahui dengan dilihat cepat

tanggapnya, hidung lembab atau tidak, mata tajam, kulit bersih dan mengkilat.

Hal ini sesuai dengan pendapat Bambang (1998) yang menyatakan bahwa ternak
9

yang memiliki kesehatan yang baik ditandai dengan bagian mulutya tidak

mengeluarkan lendir, kaki simetris, dan mata besinar.

3.1.2.2. Pemeriksaan fisik tubuh ternak

Ilustrasi 3. Pemeriksaan fisik tubuh ternak

Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik tubuh ternak pada kambing betina

bagian tubuh yang nampak sakit adalah bagian vagina berwarna merah muda

kepucatan dan keluar lendir putih bening kental. Hal ini sesuai dengan pendapat

Irkham et al., (2011) yang dilakukan pemeriksaan penelitian alat kelamin luar

(warnamukosa, sifat lendir yang keluar dari vagina) bahwa warna mukosa

dikategorikan merah denganmerahmuda kepucatan dan dengan sekreta

lendirvagina, sekreta bersifat viscous, beningmenggantung atau membasahi sekitar

vulva. Pengaruhnya ternak menjadi lemah beraktifitas bergerak.Pengobatan yang

dilakukan secara sementara dilakukan pengguntingan pada bulu di area

anus,temperatur tubuhnya sekitar 40°C. Menurut pendapat yang dikemukakan

oleh Smith dan Mangkoewidjojo (1998) ; Kelly (1974) menyatakan bahwa rerata

suhu tubuh fisiologis pada kambing dewasa adalah 39,4°. Gerakan pernafasan
10

pada kambing tenang teratur dan pergerakan rumen tercatat 23 kali/menit. Hal ini

sesuai dengan pendapat Irkham et al., (2003) menyatakan bahwa peningkatan

gerak rumen memungkinkan berkaitan dengan aktifitas konsumsi pakan yang

padat (rumput/hijauan) dan peningkatan aktifitas metabolik rumen yang telah

dimulai dan semakin meningkat sejak umur 4 minggu. Pula kondisi feses yang

dikeluarkan padat bentuk permukaan bulat. Dibandingkan dengan ternak yang

sehat dapat dilihat dengan aktifitas gerakannya lincah, berdirinya dan berjalannya

tegap dan kakinya menopang dengan kuat, dan anggota geraknya seperti telinga,

kepala, telinga, ekor aktif bergerak. Nafsu makan dan minum baik lancar.

3.2. Pemeriksaan Mikroskopis Feses

3.2.1. Pemeriksaan feses metode natif

Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilaksanakan diperoleh hasil

sebagai berikut :

Tabel 1. Pemeriksaan feses metode natif

Sumber : Data Primer Praktikum Sumber : http://www.zoofirma.ru


Kesehatan Ternak, 2015
11

Berdasarkan pengamatan yang telah dilaksanakan dengan melakukan

pemeriksaan feses dengan metode natif ditemukan parasit berupa cacing kelas

trematoda yaitu schistosoma. Cacing schistosoma memiliki memiliki ciri-ciri

tubuh tidak bersegmen, semua organ dikelilingi sel-sel parenkim, badan tidak

berongga dan mempunyai mulut penghisap. Menurut Nezar (2014), bahwa genus

schistosoma memiliki mulut penghisap yang dapat menyerang sistem peredaran

darah ternak. Telur cacing genus schistosoma memiliki bentuk bulat dan berwarna

coklat.Hal ini sesuai dengan pendapat Sandjaja (2014) bahwa telur schistosoma

memiliki tonjolan disebelah lateral, berwarna coklat dan berbentuk bulat. Parasit

yang ditemukan berupa cacing Schistoma nasalis pada feses indukan kambing..

Menurut Levine, 1994 jenis Schistosoma nasalis terdapat pada vena selaput

hidung.

3.2.2. Pemeriksaan Feses Metode Sentrifuse

Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilaksanakan diperoleh hasil

sebagai berikut :

Tabel 2. Pemeriksaan feses metode sentrifuse


12

Sumber : Data Primer Praktikum Sumber : googleusercontent.com


Kesehatan Ternak, 2015

Berdasarkan hasil pengamatan bahwa pemeriksaan feses metode sentrifus

ditemukan berupa cacing Schistoma bovis pada feses indukan kambing. Menurut

Levine (1994) jenis Schistosoma bovis umumnya terdapat pada bagian vena dan

vena mesenterika. Hal ini sesuai dengan pendapat Kusumamihardja (1992), bahwa

jenis cacing ini mempunyai kemampuan untuk menembus mukosa usus dan

keluar bersama tinja dan kadang-kadang melalui air kencing. Kemudian cacing

berkumpul akan masuk mengikuti aliran darah.

3.3. Pengamatan Preparat Parasit

3.3.1. Endoparasit

Pengamatan endoparasit yang dilakukan adalah pada Ascaridia galli dan

Fasciola Gigantica.
13

3.3.1.1.Ascaridia galli, Ascaridia galli adalah cacing yang sering menginfeksi di

dalam usus ayam dan termasuk cacing nematoda. Hal ini sesuai dengan pendapat

Darmawi et al., (2013) bahwa Ascaridia galli (A. galli) adalah cacing gelang

bertubuhbesar dan tergolong cacing nematoda. Ascaridosis, merupakan penyakit

yang diserang cacing Ascaridia galli. Investigasi epidemiologi ascaridiosis yang

disebabkan oleh infestasi A. galli pada unggas tersebar hampir di seluruh dunia.

Hal ini diperkuat dengan pendapat Zalizar dan Satrija (2009) bahwa Infeksi cacing

Ascaridia galli (A. galli) dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang besarsetiap

tahun. Ayam‐ayam yang terinfeksi ataudiinfeksi buatan dengan cacing

tersebutmenyebabkan perlambatan pertumbuhan danpenurunan pertambahan

bobot badan.

Ciri-ciri dari Ascaridia galli jantan adalah mempunyai ekor kecil,

bentuknya besar dan berwarna putih kekuning-kuningan. Hal ini sesuai dengan

pendapat Balqis et al., (2009) bahwa Cacing A. galli merupakan cacing terbesar

dalam kelas nematoda pada unggas. Tampilan cacing dewasa adalah

semitransparan, berukuran besar, dan berwarna putih kekuning-kuningan.

Menurut Dwipayanti (2008) bahwa siklus hidup Ascaridia galli berlangsung

sederhana Telur keluar bersama ekskreta dan berkembang menjadi stadium

infektif di atas tanah. Telur infektif tertelan oleh ayam dan menetas dalam

proventrikulus atau usus halus.Beberapa larva masuk ke dalam dinding usus

halus, tetapi kebanyakan tetap di dalam lumen. Seminggu kemudian pada periode

pertumbuhan, larva merayap dan membenam di dalam mukosa usus yang

menyebabkan pendarahan usus halus. Rata-rata cacing menghabiskan waktu 18


14

hari dalam selaput lendir usus halus untuk melakukan proses moulting menjadi

cacing muda. Telur yang dihasilkan oleh cacing Ascaridia galli dewasa dihasilkan

di dalam usus halus unggas dan dikeluarkan bersama ekskreta pada saat defekasi.

Telur cacing Ascaridia galli akan mencapai tahap infektif dalam waktu 10 hari

atau lebih.

Tabel 3. Ascaridia galli

Sumber : Data Primer Praktikum Sumber :


Kesehatan Ternak, 2015 http://en.wikipedia.org/wiki/Ascaridia_galli

3.3.1.2. Fasciola Gigantica, berdasarkan hasil praktikum bahwa Fasciola

gigantica dapat diperoleh hasil bahwa cacing hati atau Fasciola gigantica adalah

cacing hati yang banyak ditemukan pada sapi terutama organ hati. Hal ini sesuai

dengan pendapat Munadi (2011) bahwa Fasciolasis merupakan penyakit yang

disebabkan oleh infeksi cacing famili Trematoda denganspesies Fasciola

hepatica dan Fasciola gigantica. Kedua cacing ini pada temak ditularkan

melalui siput dan famili Lymnaeidae. Hal ini diperkuat dengan pendapat

Damwesh dan Ardo (2013) bahwa Fasciolosis adalah infeksi hati parasit
15

ruminansia liar dan domestic yang disebabkan oleh trematoda dari genus Fasciola

gigantica dan Fasciola hepatica.

Ciri-ciri cacing hati adalah berwarna putih keabu-abuan, bentuknya pipih

memanjang dan kepala berwarna putih. Menurut Balqis et al.,(2013) bahwacacing

tersebut berbentuk daun, pipih sehingga tergolong cacing trematoda. Hal ini

sesuai dengan pendapat Purnomo et al., (2005) bahwa siklus hidup Fasciola

gigantica adalah di dalam tubuh hospes yaitu ternak, cacing dewasa hidup di

dalam hati dan bertelur di usus, kemudian telur keluar bersama dengan feses.

Telur tersebut menempel pada rumput yang basah dan menetas menjadi larva,

larva tersebut berenang-renang hinggap pada siput yang hidup ditempat-tempat

yang basah. Didalam tubuh siput, larva cacing hati mengalami perkembangan

dengan cara membelah diri dan berubah bentuk.

Tabel 4. Fasciola gigantica

Sumber : Data Primer Praktikum Sumber : S. Widjajanti (2004)


Kesehatan Ternak, 2015

3.3.2. Ektoparasit
16

Pengamatan ekstoparasit dilakukan pada Hippbosca sp dan Lymnea

rubiginosa.

3.3.2.1. Hippobosca sp, berdasarkan hasil praktikum pengamatan ektoparasit

hippobosca sp atau yang biasa dikenal dengan lalat sumba mempunyai 6 kaki,

berukuran besar, berwarna hitam kecoklatan biasanya lalat ini menyerang kuda

dan sapi. Hal ini sesuai dengan pendapat Putra (2012) bahwa lalat Hippobosca sp.

banyak menginfestasi sapi dan kuda.Lalat ini mengisap darah pada daerah

perineum dan di antara kaki belakang.Lalat Hippobosca sp. banyak terdapat pada

daerah dengan temperatur tinggi. Menurut Himawan (2014) bahwa daur hidup

dari lalat Hippobosca bahwa lalat Hippobosca jarang terbang, biasanya hanya

merayap di permukaan tubuh inang.Umumnya di siang hari baik jantan maupun

betina mengisap darah dan beristirahat pada inang, terutama kuda dan sapi.Lalat

ini termasuk ke dalam kelompok pupipara.Pupa ini berbentuk agak bulat,

berukuran 5 x 4 mm dan mempunyai bercak gelap pada ujung posterior.Pupa

biasanya banyak ditemukan pada batang atau pelepah pohon kelapa atau pohon

lainnya yang terlindung, atau tanah yang berlumpur (lembab).Lamanya periode

pupa banyak dipengaruhi oleh suhu.Pendewasaan larva pada tubuh betina

membutuhkan waktu sekitar seminggu, pengerasan dan penghitaman larva yang

disimpan memakan waktu enam jam. Pupa yang diproduksi di musim panas akan

memakan waktu sekitar satu bulan untuk berkembang, di negara-negara beriklim

4 musim, lalat melewati musim dingin dalam stadium pupa dan peningkatan

jumlah lalat pada musim panas lalat dewasa akan terbang langsung menuju inang.

Lalat yang baru menetas tidak makan selama 24 jam pertama, lalu akan makan
17

dengan frekuensi tinggi beberapa kali dalam sehari. Lalat yang baru keluar dari

pupa membutuhkan waktu 4-11 hari untuk dewasa kelamin, hidup lalat mencapai

8-9 minggu saat musim panas. Lama hidup lalat betina dewasa lebih lama

daripada lalat jantan dewasa. H. equina dewasa berkumpul di bagian tubuh inang

(sapi dan kuda) yang mempunyai kulit tipis dan sedikit rambut.

Tabel 5. Hippobosca sp

Sumber : Data Primer Praktikum Sumber : Joni (2012)


Kesehatan Ternak, 2015

3.3.2.2. Lymnaea rubiginosa, berdasarkan hasil praktikum Lymnaea rubiginosa

adalah siput air tawar yang merupakan induk semang dari fasciola gigantica. Hal

ini sesuai dengan pendapat Widjajanti (1998) bahwa sebagai penunjang upaya

pengendalian penyakit cacing hati (fasciolosis) pada ruminansia yang disebabkan

oleh Fasciola gigantica, pelu diketahui perkembangan hidup induk yaitu

Lymnaea rubiginosa. Hal ini diperkuat dengan pendapat Suhardono et al., (2000)

siput L.rubiginosa yang berperan sebagai satu - satunya induk semang antara

cacing hati (Fasciola gigantica) di Indonesia. Menurut Sayuti (2007) bahwa


18

siklus hidup Lymnaea rubiginosa merupakan induk semang dari cacing hati

sehingga telur yang keluar bersama feses kemudian telur tersebut menetas dan

berubah menjadi larva mirasidium tubuh miracidium diliputi ciliae yang berfungsi

sebagai alat penggerak di air. Gerakan mirasidium dipengaruhi oleh cahaya (Foto

taxis). Miracidium berenang selama beberapa jam dan kemudian menebus tubuh

siput (Lymnaea rubiginosa). Miracidium hanya waktu singkat (24 jam) untuk

mencari siput sebagai induk semang. Apabila ditemukan siput yang sesuai

miracidium akan melekat dan menusukkan papillanya. Setelah miracidium

berhasil menembus jaringan siput, ciliae dilepaskan, kemudian menempati rumah

siput tersebut.

Tabel 6. Lymnaea rubiginosa

Sumber : Data Primer Praktikum Sumber : S. Widjajanti (2004)


Kesehatan Ternak, 2015

3.4. Pemeriksaan Kesehatan Ayam

3.4.1. Sistem saluran pernafasan


19

Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilaksanakan diketahui bahwa:

Ilustrasi 4. Sistem saluran pernafasan

Gambaran patologis anatomis menunjukkan adanya peradangan saluran

pernafasan bagian atas, kantung udara keruh dan menebal, serta pembentukan

jaringan fibrin pada selaput hati dan jantung. Menurut Szathmary dan Stipkovits

(2006), bahwa nfeksi terjadi jika bakteri Mycoplasma gallisepticum masuk ke

saluran pernafasan bersamaan dengan aliran udara yang telah terkontaminasi, dan

menempel pada mukosa saluran pernafasan dan merusak sel-selnya. Hal ini sesuai

dengan pendapat Soeripto (2009), bahwa selama beberapa minggu bakteri tetap

menetap dalam saluran pernafasan dan menginfeksi secara akut ketika ayam

mengalami stres dan terinfeksi agen lain seperti E- coli sehingga berkembang

CRD kompleks. Menurut Abdul (1990), ciri-ciri CRD (Chronic Respiratory

Disease) seperti ujung hidung keluar lendir kotor yang lama semakin banyak,

ayam sering batuk disertai ngorok, mukanya bengkak, pertumbuhannya menurun,

dan tubuh kurus kering.

3.4.2. Sistem peredaran darah


20

Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan diketahui bahwasistem

peredaran darah pada unggas berlangsung disebabkan karna adanya kerja jantung

beserta salurannya baik pembuluh darah arteri, pembuluh rh vena, pembuluh

darah kapiler, dan pumbuluh darah nadi. Menurut Sturkie (1976), bahwa arah

pada unggas berfungsi untuk penyerapan dan transport zat-zat nutrien dari saluran

pencerrnaan ke seluruh jaringan, mengangkut gas-gas dalam darah dari dan

menuju jaringn-jaringan dan membuang hasil metabolisme. Sistem darah

berfungsi untuk mengalirkan darah dari jantung ke seluruh tubuh dan kembali lagi

ke jantung.Hal ini sesuai dengan pendapat Fadillah (2011) menyatakan bahwa

darah yang ada dalam tubuh ayam berfungsi sebagai membawa oksigen dari sel

tubuh ke seluruh tubuh dan menyerap makanan dari saluran penyuplai.

3.4.3. Sistem pencernaan

Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilaksanakan diketahui bahwa:

Tabel 7. Sistem perncernaan

Sumber : Data Primer Praktikum Sumber


Kesehatan Ternak, 2015

:http://hannayuri.wordpress.com
21

Berdasarkan hasil praktikum diketahui bahwa ayam terinfeksi

colibacillosis menunjukkan gejala lemah, merunduk, dan nafas terdengar

mengorok. Menurut Barnes et al., (2003), penyebab penyakit di atas adalah

bakteri E. coli yang mempunyai sifat oportunistis, yaitu secara normal terdapat

pada saluran pencernaan ayam dalam jumlah yang terkendali, tetapi saat kondisi

ayam menurun akibat stres bisa berkembang menjadi patogen. Akibatnya, apabila

disekresikan bersama feses dapat mencemari lingkungannya, terutama pada

kandang. Penularan penyakit ini terutama dari kondisi lingkungan yang basah dan

kotor. Menurut Vandekerchove et al., (2004) menyatakan bahwa colibacillosis

termasuk lima besar penyakit yang sering berkomplikasi dengan gumboro,

Newcastle diseases (ND), Salmonella pullorum, dan CRD. Hal ini sesuai dengan

pendapat Turpin et al., (2002) serupa juga berpotensi terjadi ketika saluran

pencernaan terkena infeksi penyakit lain. Kondisi cuaca yang seringkali berubah

secara drastis menyebabkan ayam stres dan kondisi tubuh ayam cenderung

menurun. Akibatnya pertahanan tubuhnya menjadi tidak optimal sehingga

peluang terjadinya colibacillosis semakin besar.

3.4.3. Sistem syaraf dan kekebalan tubuh

Berdasarkan praktikum diketahui bahwa keadaan syaraf yang normal

menyatakan bahwa ternak tersebut sehat. Sistem syaraf yang normal berwarna

putih tidak pucat dan tidak putus pada saat ditarik dan tidak terdapat

pembengkakan. Menurut Akoso (2000) pada hewan terdapat tiga macam sistem
22

syaraf yaitu syaraf pusat, syaraf tepi, dan syaraf simpatetik. Salah satu penyakit

yang menggangu sistem syaraf pada unggas yaitu marek, kelainan pasca mati

penyakit Marek yang utama dapat digolongkan ke dalam dua kelompok, yakni

kerusakan syaraf dan pembentukan limfoma. Menurut Payne (1985) Selain

kerusakan syaraf dan pembentukan tumor, marek dapat pula menimbulkan

aterosklerosis pada arteri koronarius, aorta dan cabang-cabangnya.


23

BAB IV

SIMPULAN DAN SARAN

4.1. Simpulan

Berdasarkan hasil praktikum dapat disimpulkan bahwa melalui

pengamatan anamnesa dapat diketahui penyakit yang dialami oleh ternak. Hal ini

dapat dilakukan dengan pengamatan tingkah laku ternak anatomis tubuh serta

dengan melakukan pemeriksaan fisik menggunakan stetoskop, termometer dan

pungsimeter.Pemeriksaan feses ditemukan dua jenis parasit yaitu endoparasit dan

ektoparasit. Endoparasit berada didalam tubuh ternak.Sedangkan, ektoparasit

berada diluar tubuh ternak. Endoparasit dalam tubuh ternak ditemukan cacing

gelang (Ascaring sp), cacing hati (Fasciola Gigantica), schistosoma nasalis dan

schistosoma bovis. Sedangkan, ektoparasit ditemukan lalat sumba (Hippobosca

sp) dan Lymnaea rubuginosa.ayam yang sakit dapat diketahui melalui

pengamatan tingkah laku dan nekropsi dengan mengamati kelainan dari organ

sistem pernafasan, organ sistem peredaran darah, organ sistem pencernaan, dan

sistem syaraf dan kekebalan tubuh.

4.2. Saran

Untuk mendiagnosa suatu penyakit yang dialami oleh ternak sebaiknya

dilakukan uji laboratorium untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat.


24

DAFTAR PUSTAKA

Agus, Andoko dan Warsito. 2013. Beternak Kambing Unggul. Jakarta: Agro
Media.

Akoso, B.T. 2000. Kesehatan Sapi. Kanisius, Yogyakarta.

Balqis, U., Darmawi., Hambal, M., dan R. Tiuria. 2009. Perkembangan Telur
InfektifAscaridia galli melalui Kultur In Vito. J. Kedokteran Hewan.
3(2):227-233.

Balqis, U., Darmawi., Aisyah S., dan M. Hambal. 2013. Perubahan Patologi
Anatomi Hati dan Saluran Empedu Sapi Aceh yang Terinfeksi Fasciola
gigantica. J. Agripet

Bambang, C. 1998. Beternak Domba dan Kambing. Yogyakarta: Kanisius


Damwesh, SD., dan MB. Ardo. 2013. Detection of Fasciola gigantica Antibodies
using Pourquier ELISA kit. Sokoto J. of Veterinary. 11(2):43-48

Darmawi., Balqis, U., Tiura, R., Soedjoeno, R. D., Pasaribu, F. H., Hambal, M dan
R.Daud. 2013. Respons Antibodi Ayam Petelur yang DiberikanProtein
Ekskretori/ Sekretoridan Ditantang dengan Infektif Ascaridia galli.J.
Kedokteran Hewan.7(2):145-149.

Dwipayanti, Y. 2008. Profil Organ dalam Serta Histopatologi Usus dan Hati Ayam
KampungTerinfeksi Cacing Ascaridia galli yang Diberi Tepung Daun
Jarak (Jathropa curcos L.). Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.
(Skripsi)

Dudung., A. M. 1990. Memelihara Ayam Kampung Sistem Battery. Kanisius,


Yogyakarta.
Griffiths. 1991. Manual untuk Paramedis Kesehatan Hewan. PT Tiara
Wacana.Yogyakarta.

Himawan, F, P. 2014. Dinamika populasi lalat sumba (Hippobosca equina) di


kawasan usaha peternakan sapi perah Cibungbulang Kabupaten Bogor.
Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. (Skripsi).

Irkham Widiyono, Hastari Wuryastuti, S. Indarjulianto, dan Hary Purnamaningsih.


2003. Frekuensi Napas Pulpus Dan Gerak Rumen Serta Suhu Tubuh
25

Pada Kambing Peranakan Ettawa Selama 3 Bulan Pertama Kehidupan


Pasca Panen. J. Sain Vet. XXI(2)
Irkham Widiyono, Prabowo Purwono Putro, Sarmin , Pudji Astuti, Claude Mona
Airin. 2011. Kadar Estradiol dan Progesteron Serum Tampilan Vulva dan
Sitologi Apus Vagina Kambing Bligon Selama Siklus Birahi. Vol. 12 No.
4: 263-268

Iskandar , T. 1982. Invasi ulang skabies (Sarcoptes scabiei) pada kerbau lumpur
(Bos bubalus) dengan pengobatan salep asuntol 50 WP konsentrasi 2% dan
perubahan patologik kulit. Penyakit Hewan. 23: 21- 23.

Joni., P. 2012. Identifikasi lalat sumba (hippobosca sp.) Pada sapiperah di


kawasan usaha peternakan sapi perahcibungbulang kabupaten bogor.
Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Kelly, W.R. 1997. Veterinary Clinical Diagnosis, 2nd ed. Beilliere Tindal, London.
p-p. 1-362

Kusumamihardja, S., 1992, Parasit dan Parasitosis Pada Hewan Ternak dan
Hewan Piaraan di Indonesia. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Munadi. 2011. Tingkat Infeksi Cacing Hati Kaitannya dengan Kerugian Ekonomi
Sapi Potong yang Disembelih di Rumah Potong Hewan Wilayah Eks-
Kresidenan Banyumas. Jurnal Agripet. 11(1): 45-50

Nezar, M. R. 2014. Jenis Cacing Pada Feses Sapi di TPA Jatibarang dan KTI
Sidomulyo Desa Nongko Sawit. Universitas Negri Semarang, Semarang

Nurbaety Puspitasari Dwiyani, Ning Setiati, Priyantini Widiyaningrum. 2014.


Ektoparasit Pada Ordo Artiodactyla Di Taman Margasatwa Semarang. J.
Science 3 (2).

PaynPayne, L.N. 1985. Marek’s Disease: Scientific Basis and Methods of Control.
Martinus Nijhoff Pub. Boston. Dordrecht. Lancaster.

Purnomo., J. Gunawan W., Magdalena L.J., Ayda R., dan Harijani A.M. 2005.
Atlas Helmintologi Kedokteran. Gramedia Pustaka Utama

Putra, J. 2012. Identifikasi lalat sumba (Hippobosca sp) pada sapi perah di
kawasan usaha peternakan sapi perah Cibungbulang Kabupaten Bogor.
Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. (Skripsi)
26

Putri, R. H. 2011. Identifikasi endoparasit pada sampel feses Nasalis larvatus,


Presbytis comata, dan Presbytis siamensis dalam penangkaran
menggunakan metode natif dan pengapungan dengan sentrifugasi.
Universitas Indonesia. (Skripsi).

Roni, F., dan A. Polana. 2011. Mengatasi 71 Penyakit pada Ayam. Agro Media
Pustaka. Jakarta.

Sandjaja, B. 2014. Parasitologi Kedokteran Hematologi Kedokteran. Prestasi


pustaka publisher, Jakarta.

Smith, J.B. dan S. Mangkoewidjojo. 1988. Pemeliharaan Pembiakan dan


Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta: Universitas
Indonesia

Santosa, U. 2010. Mengelola Peternakan Sapi secara Profesional. Jakarta: Penebar


Swadaya

Sayuti, L. 2007. Kejadian Infeksi Cacing Hati (Fasciola spp) pada Sapi Bali di
Kabupaten Karangasem, Bali. Fakultas Kedokteran Hewan, Insititut
Pertanian Bogor. (Skripsi)

Sudana, I. G. dan Syarwani, I. 1986.Pengamatan perkembangan peternakan


kambing di desa Salam, Balaris, Kabupaten Tapin, Kalimantan
Selatan.Dit.Kes. Wan. Dit.Jend.Nak.
Suhardono., Kosasih, Z., dan Sudrajat. 2000. Dinamika populasi siput Lymnaea
rubiginosa dan kejadian fasciolosis pada kerbau rawa di kecamatan Danau
Panggang. Seminar Nasional dan Veteriner. Bogor.

Suparman. 2007. Beternak Kambing. Jakarta: Azka Press

Soeripto. 2009. Chronic respiratory diseases (CRD) pada ayam. Wartazoa.


19(3):134-143.

Sturkie, P. D. 1976. Avian Physiology Third Edition. Springer Verlag. New York.

Szathmary, S. and L. Stipkovits. 2006. Interaction of mycoplasma and the chicken


immune system. International Novartis Poultry Symposium. Puerto
Vallarta, Jalisco, Mexico: 1-24.

Turpin, E.A., L.E. Perkins, and D.E. Swayne. 2002. Experimental infection of
turkeys with avian pneumovirus and either newcastle disease virus or
Escherichia coli. Avian Diseases. 46:12-22.
27

Vandekerchove, D., P. De Herdt, H. Laevens, and F. Pasmans. 2004. Colibacillosis


in caged layer hens: Characteristics of the disease and the aetiological
agent. Avian Pathol. 33:117-125.

Widjajanti, S. 1998. Estimasi populasi siput Lymnaea rubiginosa dan siput air
tawar lainnya disawah dan kolam di bogor, jawa barat. J. Ilmu Ternak dan
Veteriner. 3(2):124-128

Widjajanti. S, 2004. Fasciolosis pada manusia:mungkinkah terjadi diindonesia?. J.


Wartazoa 14 : 65 – 72.

Zalizar, L., dan F. Satrija. 2009. Pengaruh Perbedaan Dosis Infeksi Ascaridia galli
dan Pemberian Piperazin terhadap Jumlah Cacing dan Bobot Badan
Ayam Petelur. J. Animal Production. 11(3):176-182.

Anda mungkin juga menyukai