Anda di halaman 1dari 27

PROPOSAL PENELITIAN TENTANG TERAPI MUROTTAL

TERHADAP HUBUNGAN PENURUNAN TINGKAT KECEMASAN


PADA PASIEN PRAB BEDA BPH DI LINGGAU

Di Susun Oleh :

Aidil qurbandri PO.71.20.3.17.003

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN PALEMBANG
PRODI KEPERAWATAN LUBUK LINGGAUTAHUN
AKADEMIK 2018/2019
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ................................................................................... iii

KATA PENGANTAR .................................................................................. iv

DAFTAR ISI ................................................................................... vi

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ...................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ................................................................. 7

1.3 Tujuan .................................................................................. 7

1.4 Manfaat Studi Kasus ............................................................. 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Teoritis Benigna Prostat Hyperplasia ...................... 10

2.1.1 Definisi ......................................................................... 10

2.1.2 Etiologi ......................................................................... 10

2.1.3 Manifestasi Klinis ........................................................ 14

2.1.4 Anatomi........................................................................ 15

2.1.5 Patofisiologi ................................................................. 16

2.1.6 Web of Caution ............................................................ 18

2.1.7 Komplikasi ................................................................... 19

2.1.8 Pemeriksaan Penunjang ............................................... 19


2.1.9 Penatalaksanaan ........................................................... 20

2.2 Asuhan Keperawatan pada Pasien BPH................................. 25

2.2.1 Pengkajian ................................................................... 25

2.2.2 Analisa Data ................................................................. 29

2.2.3 Perumusan Diagnosa Keperawatan .............................. 31

2.2.4 Intervensi Keperawatan ............................................... 32

2.2.5 Implementasi ................................................................ 34

2.2.6 Evaluasi ........................................................................ 35

2.3 Konsep Dasar Kecemasan ...................................................... 36

2.3.1 Definisi ......................................................................... 36

2.3.2 Etiologi Cemas .............................................................. 37

2.3.3 Tanda dan Gejala Kecemasan ....................................... 38

2.3.5 Pengukuran Tingkat Kecemasan ................................... 41

2.3.5 Respon Kecemasan ....................................................... 41

2.3.6 Penatalaksanaan ............................................................ 43

2.4 Konsep Dasar Terapi Musik Murottal.................................... 45

2.4.1 Definisi . ........................................................................ 45

2.4.2 Mekanisme Murottal Terhadap Kecemasan ................. 46

2.4.3 Manfaat dari Terapi Murottal........................................ 48

2.4.4 Hasil Penelitian Menurut Jurnal.................................... 50

BAB III Kerangka Konsep ........................................................................... 52

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN


3.1 Jenis/Desain penelitian ........................................................... 53

3.2 Subjek ................................................................................... 53

3.3 Fokus ................................................................................... 54

3.4 Definisi operasional .............................................................. 54

3.5 Pengumpulan data dan instrumen ......................................... 55

3.6 Tempat dan Waktu ................................................................. 56

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Benigna Prostat hiperplasia (BPH) adalah pembesaran progresif darikelenjar

prostat, bersifat jinak disebabkan oleh hiperplasi beberapa atau semua komponen

prostat yang mengakibatkan penyumbatan uretra prostatika (Muttaqin dan Sari, 2011).

Pembesaran prostat benigna atau lebih dikenal sebagai BPH sering ditemukan pada pria

yang berusia lanjut. Istilah benigna prostat hiperplasia (BPH) sebenarnya merupakan

istilah histopatologis, yaitu terdapat hiperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitel kelenjar

prostat. Benigna prostat hiperplasia ini dapat dialami oleh sekitar 70% pria di atas usia

60 tahun. Angka ini akan meningkat hingga 90% pada pria berusia di atas 80 tahun

(Brunner & Suddarth, 2008).

Badan kesehatan dunia WHO (World Health Organization) melaporkan seiring

dengan meningkatnya angka harapan hidup ini menurut WHO (2012) penderita

benigna prostat hiperplasia diseluruh dunia mencapai 1,1 juta jiwa, sedangkan untuk di

Benua Asia mencapai 764.000 jiwa. Data WHO (2016) memperkirakan jumlah

penderita benigna prostat hiperplasia di dunia adalah sekitar 30 juta penderita dan akan

meningkat pula pada tahun-tahun mendatang. Pada usia 40 tahun sekitar 40%, usia 60-

70 tahun meningkat menjadi 50% dan usia lebih dari 70 tahun mencapai 90

Di Indonesia, penyakit Benigna prostat hiperplasia (BPH) merupakan penyakit

tersering kedua di klinik urologi di Indonesia setelah batu saluran kemih. Tahun 2013

di Indonesia terdapat 9,2 juta kasus BPH, di antaranya diderita oleh laki-laki berusia di

atas 60 tahun. Prevalensi histologi BPH meningkat dari 20% pada laki-laki berusia 41-
50 tahun, 50% pada laki-laki usia 51-60 tahun hingga lebih dari 90% pada laki-laki

berusia di atas 80 tahun

Prevalensi penderita BPH pada tahun 2014 di Rumah Sakit Umum Pusat Dr M

Husein Palembang, ditemukan 423 kasus pembesaran prostat jinak dan terjadi

peningkatan pada tahun 2015 yaitu sebanyak 617 kasus, ini dapat menunjukkan bahwa

kasus BPH adalah kasus yang paling banyak dan yang paling mudah ditemukan

(Birowo, 2015).

Di Kota Lubuklinggau berdasarkan data yang didapat dari catatan rekam medik

Rumah Sakit Siti Aisyah Kota Lubuklinggau, didapat angka kejadian hiperplasia

prostat cukup tinggi dalam dua tahun terakhir, yaitu pada tahun 2017 angka kejadian

benigna prostat hyperplasia sebanyak 42 kasus, sedangkan pada tahun 2018 sebanyak

34 kasus dan data pasien yang menjalani operasi benigna prostat hiperplasia pada tahun

2018 yaitu sebanyak 27 kasus (CM Rumah Sakit Siti Aisyah Kota Lubuklinggau,

2019).

Penatalaksanaan pada pasien benigna prostat hiperplasia menurut Baradero,

Dayrit, dan Siswadi (2009) antara lain : perubahan gaya hidup, pengobatan, kateterisasi

dan pembedahan atau operasi. Tindakan operasi merupakan salah satu tindakan medis

yang mengakibatkan stressor terhadap integritas seseorang. Tindakan operasi akan

mengakibatkan reaksi stres baik fisiologis maupun psikologis. Salah satu respon stres

adalah cemas. Menurut Baradero, Dayrit, dan Siswadi (2009) menyebutkan bahwa

fenomena yang ada di masyarakat menyatakan 80% pasien yang akan menjalani operasi

mengalami kecemasan. Kecemasan akan meningkat ketika individu membayangkan

terjadinya perubahan dalam hidupnya di masa depan akibat penyakit atau akibat dari

proses penanganan suatu penyakit, serta mengalami kekurangan informasi mengenai

sifat suatu penyakit dan penanganannya.


Hasil wawancara peneliti dengan salah satu perawat penanggung jawab di

Ruang Al-Kautsar RSUD Siti Aisyah Kota Lubuklinggau mengatakan bahwa pasien

yang akan dilakukan operasi benigna prostat hiperplasia mayoritas mengalami

kecemasan. Tindakan farmakologis tidak diberikan untuk mengatasi kecemasan pada

pasien dan untuk tindakan non farmakologis hanya diajarkan untuk melakukan

relaksasi nafas dalam.

Kecemasan akan timbul karena adanya sesuatu yang tidak jelas atau tidak

diketahui sehingga mucul perasaan tidak tenang rasa khawatir atau ketakutan (Rachmat,

2009). Banyak pasien pre operasi yang mengalami gangguan antara lain peningkatan

tekanan darah, denyut, nadi, suhu tubuh, dan penurunan daya tahan tubuh. Kecemasan

pada pasien pre operasi BPH dapat menunda proses operasi, proses pemulihan semakin

lama, peningkatan rasa sakit setelah operasi, penurunan kekebalan terhadap infeksi,

peningkatan analgesik pasca operasi, dan juga lamanya waktu rawat inap yang dijalani.

(Nazari, 2012; Utomo 2016).

Berdasarkan Data dari World Health Organization (WHO) pada tahun 2013.

Menyatakan bahwa jumlah pasien pre operasi bertambah dengan klien yang mengalami

gangguan kecemasan sebelum menjalankan tindakan operasi di Amerika Serikat sekitar

20 % Pasien yang menjalankan tindakan operasi mengalami kecemasan. Di Indonesia

prevalensi kecemasan menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) pada tahun

2013 menunjukkan bahwa 6% atau sekitar 14 juta penduduk di Indonesia mengalami

gangguan emosional yang ditunjukkan dengan gejala kecemasan dan depresi. Pada

penelitian yang dilakukan oleh Bahsoan (2013) sekitar 1,2 juta jiwa atau berkisar 80%

yang mengalami kecemasan sebelum menjalankan operasi. Sedangkan menurut Mau

(2013) pasien yang mengalami kecemasan pre operasi mencapai 75%-85%. Di

Indonesia penyakit BPH menempati angka kedua sesudah batu saluran kemih, dan
secara umum meningkat diusia 50 tahun sebanyak 50%, di Indonesia sendiri sebanyak

5% pria sudah memasuki usia diatas 60 tahun (Depkes RI, 2012).

Kecemasan dapat menimbulkan adanya perubahan secara fisik maupun

psikologis yang akhirnya mengaktifkan saraf otonom simpatis sehingga meningkatkan

denyut jantung, tekanan darah, frekuensi nafas, dan secara umum mengurangi tingkat

energi pada pasien, dan akhirnya akan berdampak pada pelaksanaan proses

pembedahan (Muttaqin & Sari, 2011). Upaya untuk menurunkan kecemasan sebelum

pembedahan sangatlah penting bagi pasien. Dalam hal ini jika tidak ditangani secara

tepat dan benar oleh perawat maka akan muncul berbagai macam akibat diantaranya

akan terjadi penundaan pembedahan (Majid, Judha, dan Istianah .2011) Perawat

memiliki peran sebagai seorang edukator yang tentunya sangat diperlukan dalam hal

ini. Perawat dalam menjalankan peran sebagai pemberi pelayanan dapat memberikan

intervensi untuk menurunkan kecemasan dengan cara memberikan pre op teaching.

Salah satu pre op teaching adalah pendidikan kesehatan. Dengan memberikan

pendidikan kesehatan pre operasi pasien akan memperoleh informasi yang jelas

mengenai penyakit yang diderita dan pengalaman operasi yang akan dihadapi (Majid,

Judha, dan Istianah 2011).

Disamping itu ada cara lain yang dapat digunakan untuk mengatasi kecemasan,

yaitu distraksi. Salah satu teknik distraksi yaitu terapi musik (Young & Koopsen,

2012). Dalam perkembangannya musik memiliki efek terapi dalam mengatasi

gangguan suasana hati, seperti kecemasan (Rompas 2014). Musik dapat mengurangi

nyeri, depresi, pergolakan, dan agresi serta meningkatkan relaksasi dan suasana hati

yang positif (Young & Koopsen, 2012). Kepercayaan spiritual juga mempunyai

peranan penting dalam menghadapi kecemasan (Muttaqin dan Sari, 2009). Beberapa

penelitian telah menunjukan penurunan kecemasan pada pasien yang menggunakan doa
maupun praktik spiritualitas lainnya (Young & Koopsen, 2012). Salah satu terapi yang

menjadi bagian dari terapi musik dan terapi spiritualitas adalah terapi murottal Al-

Qur’an.

Islam merupakan agama mayoritas di Indonesia, sehingga dalam praktiknya

akan ditemukan bahwa sebagian besar pasien pra bedah juga beragama Islam. Tindakan

spiritual yang dapat digunakan untuk mengurangi kecemasan sesuai dengan ajaran

Islam adalah murotal Al Qur’an. Murotal Al Qur’an mengandung beberapa manfaat

salah satunya adalah ketenangan jiwa, sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh

Nugroho (2011) tentang konsep jiwa dalam Al Qur’an menyatakan bahwa Al Qur’an

sangat berkaitan erat dengan kesehatan jiwa seseorang.

Stimulan Al Qur’an rata-rata didominasi oleh gelombang delta. Stimulan terapi

ini sering memunculkan gelombang delta di daerah frontal dan sentral baik sebelah

kanan dan kiri otak. Adapun fungsi dari daerah frontal yaitu sebagai pusat intelektual

umum dan pengontrol emosi, sedangkan fungsi dari daerah sentral yaitu sebagai pusat

pengontrol gerakan-gerakan yang dilakukan. Sehingga, stimulan Al Qur’an ini dapat

memberikan ketenangan, ketentraman dan kenyamanan responden (Maulana, 2015). Di

dalam otak manusia terdapat pusat asosiasi penglihatan dan pendengaran yang

berfungsi menginterpretasikan objek yang dilihat dan didengar. Informasi dari pusat

yang berada pada permukaan otak tersebut akan dihantarkan ke pusat emosi yaitu

sistem limbik. Dari pusat pengatur emosi ini perasaan tenang akan muncul oleh

rangsangan suara yang lembut dan irama yang perlahan. Ketenangan dapat memberikan

dampak pada fisiologi tubuh seperti detak jantung yang melambat, pernapasan yang

dalam dan panjang, tekanan darah menurun, dan suhu tubuh meningkat (Rusdi &

Isnawati, 2009).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Maulana (2015) tentang Pengaruh

Murotal Al Qur’an Terhadap Kecemasan Pasien Pre Operasi Bedah Orthopedi di

RSUD Arifin Achmad Riau Tahun 2015, didapatkan hasil yaitu distribusi deskriptif

kecemasan sebelum dilakukan terapi musik murottal pada pasien benigna prostat

hyperplasia adalah dengan skala 27 atau kecemasan sedang dan setelah diberikan terapi

musik murottal menjadi skala 19 atau kecemasan ringan. Berdasarkan teori dan

penelitian terkait, peneliti berasumsi bahwa kecemasan yang dirasakan setelah

dilakukan terapi musik murottal yang sering muncul pada pasien adalah kecemasan

ringan. Hal ini disebabkan melalui pemberian terapi musik murottal adanya perubahan

perubahan arus listrik di otot, perubahan sirkulasi darah, perubahan detak jantung dan

kadar darah pada kulit.

Berdasarkan data diatas dan mengingat pentingnya penerapan terapi murottal

terhadap penurunan kecemasan maka membuat penulis tertarik untuk melakukan studi

kasus “Penerapan Terapi Musik Murottal Al-Qur’an Terhadap Penurunan Tingkat

Kecemasan Pada Pasien Pra Bedah Benigna Prostat Hyperplasia Di RSUD Siti Aisyah

Kota Lubuklinggau Tahun 2019”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan yang telah dijelaskan maka rumusan masalah pada

studi kasus ini adalah “Bagaimanakah tingkat kecemasan pada pasien pra bedah

benigna prostat hyperplasa setelah dilakukan intervensi pemberian terapi murattal di

RSUD Siti Aisyah Kota Lubuklinggau Tahun 2019?”


1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui Penerapan Terapi

Musik Murottal Terhadap Penurunan Tingkat Kecemasan Pada Pasien Pra

Bedah Benigna Prostat Hyperplasia Di Ruangan Rawat Inap RSUD Siti Aisyah

Kota Lubuklinggau Tahun 2019.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui pengkajian pada pasien pra bedah benigna prostat

hyperplasia di RSUD Siti Aisyah Kota Lubuklinggau Tahun 2019.

2. Untuk mengetahui diagnosa keperawatan pada pasien pra bedah bedah

Benigna prostat hyperplasia di RSUD Siti Aisyah Kota Lubuklinggau Tahun

2019.

3. Untuk mengetahui intervensi keperawatan khususnya dengan pemberian

terapi musik murottal terhadap penurunan tingkat kecemasan pasien pra

bedah benigna prostat hyperplasia di RSUD Siti Aisyah Kota Lubuklinggau

Tahun 2019.

4. Untuk mengetahui implementasi keperawatan pada pasien pra bedah bedah

benigna prostat hyperplasia di RSUD Siti Aisyah Kota Lubuklinggau Tahun

2019.

Untuk mengetahui evaluasi keperawatan pada pasien pra bedah bedah benigna

prostat hyperplasia di RSUD Siti Aisyah Kota Lubuklinggau tahun 2009

1.4 Manfaat Studi Kasus

1.4.1 Bagi Peneliti


Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan

serta memberikan pengalaman peneliti tentang pengaplikasian terapi murattal

Al-Qur’an pada pasien yang mengalami kecemasan, terutama pada keperawatan

medikal bedah.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Teoritis Benigna Prostat Hyperplasia

2.1.1 Definisi

Benigna Prostat hiperplasia adalah keadaan kondisi patologis yang

paling umum pada pria lansia dan penyebab kedua yang paling sering

ditemukan untuk intervensi medis pada pria di atas usia 50 tahun (Wijaya dan

Putri, 2013).

Benigna Prostat hiperplasia (BPH) adalah pembesaran progresif

darikelenjar prostat, bersifat jinak disebabkan oleh hiperplasi beberapa atau


semua komponen prostat yang mengakibatkan penyumbatan uretra prostatika

(Muttaqin dan Sari, 2011).

BPH (Benigna Prostat Hyperplasia) adalah pembesaran jinak kelenjar

prostate yang disebabkan karena hyperplasia beberapa atau semua komponnen

prostate (Nugroho, 2011)

Dapat disimpulkan bahwa BPH (Benigna Prostatic hyperplasia)

merupakan pembesaran pada kelenjar prostat yang dapat menyumbat aliran urin

yang sering terjadi umumnya pada pria.

2.1.2 Etiologi

Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti etiologi/penyebab

terjadinya BPH, namun beberapa hipotesis menyebutkan bahwa BPH erat

kaitanya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses

menua. Terdapat perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria

usia 30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi

perubahan patologikanatomi yang ada pada pria usia 50 tahun, dan angka

kejadiannya sekitar 50%, untuk usia 80 tahun angka kejadianya sekitar 80%,

dan usia 90 tahun sekitar 100% (Muttaqin dan Sari, 2011)

Etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesa yang

diduga menjadi penyebab timbulnya Benigna Prosat, teori penyebab BPH

menurut Muttaqin & Sari (2011) yaitu meliputi :

1. Teori Dehidrotestosteron (DHT)

Dehidrotestosteron/ DHT adalah metabolit androgen yang sangat

penting pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Aksis hipofisistestis dan

reduksi testosteron menjadi dehidrotestosteron (DHT) dalam sel prostat

merupakan factor terjadinya penetrasi DHT kedalam inti sel yang dapat
menyebabkan inskripsi pada RNA, sehingga dapat menyebabkan terjadinya

sintesis protein yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat. Pada berbagai

penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh berbeda dengan

kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH, aktivitas enzim alfa–

reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini

menyebabkan sel-sel prostat pada BPH lebih sensitive terhadap DHT

sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan prostat

normal.

2. Teori hormone ( ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron)

Pada usia yang semakin tua, terjadi penurunan kadar testosteron

sedangkan kadar estrogen relative tetap, sehingga terjadi perbandingan antara

kadar estrogen dan testosterone relative meningkat. Hormon estrogen

didalam prostat memiliki peranan dalam terjadinya poliferasi sel-sel kelenjar

prostat dengan cara meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan

menurunkan jumlah kematian sel-selprostat (apoptosis). Meskipun

rangsangan terbentuknya sel-sel baru akibat rangsangan testosterone

meningkat, tetapi sel-sel prostat telah ada mempunyai umur yang lebih

panjang sehingga masa prostat jadi lebih besar.

3. Faktor interaksi Stroma dan epitel epitel

Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung

dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator yang disebut Growth

factor. Setelah sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol,

sel-sel stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya

mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri intrakrin dan autokrin, serta

mempengaruhi sel-sel epitel parakrin. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya


poliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma. Basic Fibroblast Growth Factor

(BFGF) dapat menstimulasi sel stroma dan ditemukan dengan konsentrasi

yang lebih besar pada pasien dengan pembesaran prostat jinak. BFGF dapat

diakibatkan oleh adanya mikro trauma karena miksi, ejakulasi atau infeksi.

4. Berkurangnya sel yang mati (apoptosis)

Progam kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme

fisiologik untuk mempertahankan homeostatis kelenjar prostat. Pada

apoptosis terjadi kondensasi dan fragmentasi sel, yang selanjutnya sel-sel

yang mengalami apoptosis akan difagositosis oleh sel-sel disekitarnya,

kemudian didegradasi oleh enzim lisosom. Pada jaringan normal, terdapat

keseimbangan antara laju poliferasi sel dengan kematian sel. Pada saat terjadi

pertumbuhan prostat sampai pada prostat dewasa, penambahan jumlah sel-sel

prostat baru dengan yang mati dalam keadaan seimbang. Berkurangnya

jumlah sel-sel prostat baru dengan prostat yang mengalami apoptosis

menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi meningkat,

sehingga terjadi pertambahan masa prostat.

5. Teori sel stem

Sel-sel yang telah apoptosis selalu dapat diganti dengan sel-sel baru.

Didalam kelenjar prostat istilah ini dikenal dengan suatu sel stem, yaitu sel

yang mempunyai kemampuan berpoliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel

ini sangat tergantung pada keberadaan hormone androgen, sehingga jika

hormone androgen kadarnya menurun, akan terjadi apoptosis. Terjadinya

poliferasi sel-sel BPH dipostulasikan sebagai ketidaktepatan aktivitas sel

stem sehingga terjadi produksi yang berlebihan sel stroma maupun sel epitel.

2.1.3 Manifestasi Klinis


Menurut Purnomo (2014) tanda dan gejala dari BPH yaitu :

1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah..

a. Gejala obstruksi meliputi : Retensi urin (urin tertahan dikandung kemih

sehingga urin tidak bisa keluar), hesitansi (sulit memulai miksi), pancaran

miksi lemah, Intermiten (kencing terputus-putus), dan miksi tidak puas

(menetes setelah miksi)

b. Gejala iritasi meliputi : Frekuensi, nokturia, urgensi (perasaan ingin miksi

yang sangat mendesak) dan disuria (nyeri pada saat miksi).

2. Gejala pada saluran kemih bagian atas

Keluhan akibat hiperplasi prostat pada saluran kemih bagian atas

berupa adanya gejala obstruksi, seperti nyeri pinggang, benjolan dipinggang

(merupakan tanda dari hidronefrosis), atau demam yang merupakan tanda

infeksi atau urosepsis.

3. Gejala diluar saluran kemih

Timbulnya penyakit ini dikarenakan sering mengejan pada saat miksi

sehingga mengakibatkan tekanan intra abdominal. Adapun gejala dan tanda

lain yang tampak pada pasien BPH, pada pemeriksaan prostat didapati

membesar, kemerahan, dan tidak nyeri tekan, keletihan, anoreksia, mual dan

muntah, rasa tidak nyaman pada epigastrik, dan gagal ginjal dapat terjadi

dengan retensi kronis dan volume residual yang besar.

2.1.4 Anatomi BPH

Menurut Wibowo dan Paryana (2009). Kelenjar prostat terletak dibawah

kandung kemih, mengelilingi uretra posterior dan disebelah proksimalnya berhubungan

dengan buli-buli, sedangkan bagian distalnya kelenjar prostat ini menempel pada

diafragma urogenital yang sering disebut sebagai otot dasar panggul.


2.2 Konsep Dasar Kecemasan

2.2.1 Definisi

Cemas adalah suatu keadaan yang membuat seseorang tidak nyaman dan

terbagi dalam beberapa tingkatan. Jadi, cemas berkaitan dengan perasaan yang

tidak pasti (Kusnawati, et al 2012).

Kecemasan adalah suatu perasaan tidak santai yang samar-samar karena

ketidaknyamanan atau rasa takut yang disertai suatu respons (penyeab tidak

spesifik atau tidak diketahui oleh individu). Perasaan takut dan tidak menentu

sebagai sinyal yang menyadarkan bahwa peringatan bahaya yang akan datang

dan memperkuat individu mengambil tindakan menghadapi ancaman (Yusuf,

Ah .2015).

Berdasarkan dua definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kecemasan

adalah suatu perasaan yang tidak tenang, gelisah, dan tidak nyaman serta

perasaan takut yang tidak menentu.

2.2.2 Etiologi Cemas

Faktor yang dapat menjadi penyebab seseorang merasa cemas dapat

berasal dari diri sendiri (faktor internal) maupun dari luar (faktor eksternal)

Handayani (2012).

Menurut Stuart, yang mempengaruhi kecemasan pasien pre operasi adalah:

1. Faktor eksternal :
a. Ancaman integritas diri, meliputi ketidakmampuan fisiologis atau

gangguan terhadap kebutuhan dasar (penyakit, trauma fisik, pembedahan

yang akan dilakukan).

b. Ancaman sistem diri antara lain : ancaman terhadap identitas diri, harga

diri, dan hubungan interpersonal, kehilangan serta perubahan status/peran.

c. Pemberian informed consent.

2. Faktor internal antara lain :

a. Usia : Seseorang yang mempunyai umur lebih muda ternyata lebih mudah

mengalami gangguan akibat kecemasan daripada seseorang yang lebih

tua, tetapi ada juga yang berpendapat sebaliknya.

b. Jenis kelamin : Gangguan panik merupakan gangguan cemas yang

ditandai oleh kecemasan yang spontan dan episodik, gangguan ini lebih

sering dialami oleh wanita dari pada pria.

c. Pendidikan dan status ekonomi : tingkat pendidikan dan status ekonomi

yang rendah pada seseorang akan menyebabkan orang tersebut mudah

mengalami kecemasan, tingkat pendidikan seseorang atau individu akan

berpengaruh terhadap kemampuan berfikir, semakin tinggi tingkat

pendidikan akan semakin mudah berfikir rasional dan menangkap

informasi baru termasuk dalam menguraikan masalah yang baru.

d. Potensi stressor : stressor psikososial merupakan setiap keadaan atau

peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang

sehingga itu terpaksa mengadakan adaptasi.

e. Maturitas : individu yang memiliki kematangan kepribadian lebih sukar

mengalami gangguan kecemasan, karena individu yang matur mempunyai

daya adaptasi yang lebih besar terhadap kecemasan.


f. Keadaan fisik : seseorang mengalami gangguan fisik seperti cidera,

operasi akan mudah mengalami kelelahan fisik sehingga lebih mudah

mengalami kecemasan

(Handayani, 2012)

2.2.3 Tanda dan Gejala Kecemasan

Menurut Hawari, instrumen lain yang dapat digunakan untuk mengukur

skala kecemasan adalah Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS) yaitu

mengukur aspek kognitif dan afektif yang meliputi :

1. Perasaan cemas yang ditandai dengan : cemas, firasat buruk, takut akan

pikiran sendiri, mudah tersinggung.

2. Ketegangan yang ditandai dengan : merasa tegang, lesu, tidak dapat istirahat

tenang, mudah terkejut, mudah menangis, gemetar, gelisah, mudah terkejut.

3. Ketakutan yang ditandai dengan : ketakutan pada gelap, ketakutan ditinggal

sendiri, ketakutan pada orang asing, ketakutan pada binatang besar, ketakutan

pada keramaian lalu lintas, ketakutan pada kerumunan orang banyak.

4. Gangguan tidur yang ditandai dengan : sukar masuk tidur, terbangun malam

hari, tidur tidak nyenyak, bangun dengan lesu, mimpi buruk, mimpi yang

menakutkan.

5. Gangguan kecerdasan yang ditandai dengan : sukar konsentrasi, daya ingat

buruk, daya ingat menurun.

6. Perasaan depresi yang ditandai dengan : kehilangan minat, sedih, bangun dini

hari, kurangnya kesenangan pada hobi, perasaan berubah sepanjang hari,

7. Gejala somatik yang ditandai dengan : nyeri pada otot, kaku, kedutan otot,

gigi gemeretak, suara tidak stabil.


8. Gejala sensorik yang ditandai dengan : tinitus, penglihatan kabur, muka

merah dan pucat, merasa lemah, perasaan ditusuk-tusuk.

9. Gejala kardiovaskuler yang ditandai dengan : takikardia, berdebar-debar,

nyeri dada, denyut nadi mengeras, rasa lemas seperti mau pingsan, detak

jantung hilang sekejap.

10. Gejala pernafasan yang ditandai dengan : rasa tertekan atau sempit di dada,

perasaan tercekik, merasa nafas pendek/ sesak, sering menarik nafas panjang.

11. Gejala gastrointestinal yang ditandai dengan : sulit menelan, mual, perut

melilit, gangguan pencernaan, nyeri lambung sebelum atau sesudah makan,

rasa panas di perut, perut terasa kembung atau penuh, muntah, defekasi

lembek, berat badan menurun, konstipasi (sukar buang air besar).

12. Gejala urogenital yang ditandai dengan : sering kencing, tidak dapat

menahan kencing, amenorrhoe, menorrhagia, masa haid berkepanjangan,

masa haid amat pendek, haid beberapa kali dalam sebulan, frigiditas,

ejakulasi prekok, ereksi melemah, ereksi hilang, impoten

13. Gejala otonom yang ditandai dengan : mulut kering, muka merah kering,

mudah berkeringat, pusing, sakit kepala, kepala terasa berat, bulu- bulu

berdiri.

14. Perilaku sewaktu wawancara, ditandai oleh : gelisah, tidak tenang, jari

gemetar, mengerutkan dahi atau kening, muka tegang, tonus otot meningkat,

nafas pendek dan cepat, muka merah (Hawari, Dadang 2011).

2.2.4 Pengukuran Tingkat Cemas

Cara penilaian kecemasan menurut skala Hamilton Anxiety Rating Scale

(HARS) adalah dengan memberikan nilai dengan kategori :

1. Penilaian skor
Skor 0 : tidak ada gejala sama sekali

Skor 1 : 1 dari gejala yang ada

Skor 2 : separuh dari gejala yang ada

Skor 3 : lebih dari separuh gejala yang ada

Skor 4 : semua gejala ada

2. Penilaian hasil

Penilaian hasil yaitu dengan menjumlahkan nilai skor item 1 sampai dengan

14 dengan ketentuan sebagai berikut :

Skor <14 : tidak ada kecemasan

Skor 14-20 : kecemasan ringan

Skor 21-27 : kecemasan sedang

Skor 28-41 : kecemasan berat

Skor 42-56 : kecemasan berat sekali/panik

2.2.5 Respon Kecemasan

Kecemasan dapat mempengaruhi kondisi tubuh seseorang, respon

kecemasan menurut Suliswati (2014) antara lain:

1. Respon Fisiologis terhadap Kecemasan

Secara fisiologis respon tubuh terhadap kecemasan adalah dengan

mengaktifkan sistem saraf otonom (simpatis maupun parasimpatis). Sistem

saraf simpatis akan mengaktivasi proses tubuh, sedangkan sistem saraf

parasimpatis akan meminimalkan respon tubuh. Reaksi tubuh terhadap

kecemasan adalah “fight” atau“flight”. Fight merupakan reaksi isotonik

tubuh untuk melarikan diri, dimana terjadi peningkatan sekresi adrenalin ke


dalam sirkulasi darah yang akan menyebabkan meningkatnya denyut jantung

dan tekanan darah sistolik, sedangkan fight merupakan reaksi agresif untuk

menyerang yang akan menyebabkan sekresi noradrenalin, rennin angiotensin

sehingga tekanan darah meningkat baik sistolik maupun diastolik. Bila

korteks otak menerima rangsang akan dikirim melalui saraf simpatis ke

kelenjar adrenal yang akan melepaskan adrenalin atau epinefrin sehingga

efeknya ntara lain napas menjadi lebih dalam, nadi meningkat. Darah akan

tercurah terutama ke jantung, susunan saraf pusat dan otot. Dengan

peningkatan glikogenolisis maka gula darah akan meningkat.

2. Respon Psikologis terhadap Kecemasan

Kecemasan dapat mempengaruhi aspek interpersonal maupun personal.

Kecemasan tinggi akan mempengaruhi koordinasi dan gerak refleks.

Kesulitan mendengarkan akan mengganggu hubungan dengan orang lain.

Kecemasan dapat membuat individu menarik diri dan menurunkan

keterlibatan dengan orang lain.

3. Respon Kognitif

Kecemasan dapat mempengaruhi kemampuan berpikir baik proses pikir

maupun isi pikir, diantaranya adalah tidak mampu memperhatikan,

konsentrasi menurun, mudah lupa, menurunnya lapang persepsi, dan

bingung.

4. Respon Afektif

Secara afektif klien akan mengekspresikan dalam bentuk kebingungan

dan curiga berlebihan sebagai reaksi emosi terhadap kecemasan.


BAB III

Kerangka Konsep

Benigna Prostat Hyperplasia (BPH)

Pengkajian Diagnosa Intervensi Evaluasi


Keperawatan
Klien Cemas Pemberian Kecemasan
sebelum Ansietas terapi klien Pra
Operasi berhubungan Murottal Bedah
Prostatektomi dengan krisis Benigna
situasional Prostat
(proses penyakit Hyperplasia
dan rencana berkurang
operasi)

Skema 2.2 Kerangka Konsep

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis/Desain Penelitian

Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan menggunakan metode pendekatan

studi kasus. Studi kasus adalah penelitian yang dilakukan dengan meniliti suatu

permasalahan melalui suatu kasus yang terdiri dari unit tunggal dengan pokok

pertanyaan yang berkenaan dengan “how” atau “why”. Unit tunggal dapat berarti satu

orang atau sekelompok penduduk yang terkena suatu masalah (Notoatmodjo, 2010).

Studi kasus ini bertujuan untuk menganalisis asuhan keperawatan yang akan dilakukan
yaitu Terapi Musik Murottal terhadap penurunan tingkat kecemasan pasien pra bedah

benigna prostat hyperplasia di RSUD Siti Aisyah Kota Lubuklinggau Tahun 2019.

3.2 Subjek

Subjek dalam penelitian ini adalah dua orang pasien Pra operasi benigna prostat

hyperplasia (BPH) di Ruang Rawat Inap RSUD Siti Aisyah Kota Lubuklinggau

Kriteria inklusi subjek dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Klien yang bersedia menjadi responden penelitian.

2. Klien yang akan direncanakan operasi benigna prostat hyperplasia

3. Klien yang mengalami kecemasan sebelum operasi

4. Klien pre operasi dengan tingkat kesadaran composmentis

5. Klien yang beragama Islam.

6. Klien yang tidak mengalami gangguan pendengaran.

7. Klien yang belum pernah mendapatkan terapi Murottal sebelumnya

Kriteria ekslusi subjek dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Klien dengan pra operasi benigna prostat hyperplasia dengan kondisi yang buruk

3.3 Fokus

Fokus studi dalam penelitian ini adalah penurunan tingkat kecemasan pasien pra

operasi benigna prostat hyperplasia setelah mendapatkan intervensi keperawatan

dengan terapi Musik Murottal.

3.4 Definisi Operasional

1. Benigna prostat hyperplasia (BPH)


BPH (Benigna Prostatic hyperplasia) merupakan Pembesaran pada kelenjar

prostat yang dapat menyumbat aliran urin yang sering terjadi umumnya pada pria.

2. Cemas

Cemas dapat diartikan sebagai suatu respon perasaan yang tidak berdaya, tidak

terkendali dan muncul perasaan terancam yang dapat menyebabkan perubahan

Fisiologi dan Psikologi yang akan diukur menggunakan skala HARS.

2. Murottal

Murottal adalah rekaman suara Al-Quran yang dilakukan seorang qori’ dengan

baik dan jelas bacaanya, menggunakan surah Ar Rahman selama ± 15 menit.

3.5 Pengumpulan Data dan Instrumen

1. Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah dengan metode observasi

terhadap penurunan kecemasan pasien Pra bedah benigna prostat hyperplasia

setelah dilakukan terapi musik muroottal.

2. Instrumen

Instrumen penelitian adalah alat-alat yang akan digunakan untuk

mengumpulkan data. Instrumen penelitian ini dapat berupa : kuesioner /lembar

cheklist (daftar pertanyaan), formulir observasi, formulir-formulir lain yang

berkaitan dengan pencatatan data dan sebagainya (Notoatmodjo, 2010).

Pada penelitian ini peneliti menggunakan pedoman observasi (Cheklist)

HARS, earphone/hedshet, dan handphone yang berisi lagu tentang terapi murottal

yang telah dirancang sebelumnya dengan memperhitungkan aspek-aspek yang


terkait. Validitas adalah suatu ukuran yang enunjukkan tingkat-tingkat kevalidan

atau kesahihan suatu instrumen, sebuah instrumen dikatakan valid apabila mampu

mengukur apa yang diinginkan. Sedangkan pada tingkat kecemasan menggunakan

kuesioner HARS. Skala HARS telah dibuktikan memiliki validitas dan reliabilitas

cukup tinggi untuk melakukan pengukuran kecemasan dan sudah dilakukan

penelitian oleh Maulana (2015) didapatkan hasil yaitu distribusi deskriptif

kecemasan sebelum dilakukan terapi musik murottal adalah dengan skala 27 atau

kecemasan sedang dan setelah diberikan terapi musik murottal menjadi skala 19 atau

kecemasan ringan.

3.6 Tempat dan Waktu

Penelitian ini akan dilakukan di Ruang Rawat Inap RSUD Siti Aisyah Kota

Lubuklinggau bulan Maret 2019.

Anda mungkin juga menyukai