Oleh :
Mengetahui, Menyetujui,
Ketua Jurusan Pembimbing Praktik Umum
Ir. Siti Hudaidah, M.Sc. Deny Sapto Chondro Utomo, S.Pi., M.Si.
NIP. 196402151996032001 NIP. 198407312014041002
Mengetahui,
Dekan Fakultas Pertanian
Universitas Lampung
Segala puji bagi Allah SWT. yang telah memberikan segala nikmat, rahmat, dan
karuniaNya, semoga kita senantiasa menjadi hamba yang bertaqwa. Shalawat
teriring salam senantiasa kita haturkan kepada nabi Muhammad Saw, beserta
keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga akhir zaman.
Praktik umum merupakan salah satu matakuliah wajib yang harus diikuti oleh
mahasiswa Jurusan Perikanan dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas
Lampung. Laporan praktik umum ini berjudul “Deteksi EHP pada Udang
Vaname (Litopenaeus vannamei) dengan Metode PCR Konvensional di Loka
Pemeriksaan Penyakit Ikan dan Lingkungan (LP2IL) Serang”.
Penulis sadar bahwa dalam pembuatan laporan praktik umum ini masih terdapat
kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya
membangun. Semoga laporan praktik umum ini dapat ditrima dan bermanfaat bagi
kita semua. Aamiin.
Halaman
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
I. PENDAHULUAN
Kegiatan budidaya perairan memiliki nilai profit yang cukup tinggi, salah satu
contoh yaitu budidaya udang vaname. Udang Vaname (Litopenaeus vannamei)
merupakan salah satu filum crustacea yang dapat dibudidayakan di tambak
intensif, mampu menempati kolom air, dan memiliki pertumbuhan yang cepat.
Permasalahan utama budidaya vaname yaitu adanya penyakit, karena dapat
menurunkan produksi udang. Penyakit muncul akibat adanya interaksi antara agen
penyebab penyakit (virus, jamur, bakteri, parasit), inang, dan lingkungan
(Hanggono dan Junaidi, 2015).
Salah satu penyakit infeksi yang menyerang udang vaname dalam budidaya yaitu
EHP. Enterocytozoon hepatopenaei (EHP) merupakan salah satu jenis parasit
mikosporidia. Mikosporidia adalah jenis parasit yang sangat patogen dan
mempengaruhi budidaya udang, yang memperlambat pertumbuhan budidaya
udang. Parasit tersebut membentuk spora parasit intraselular, bereplikasi dalam
wilayah sitoplasma sel epitel tubulus di hepatopankreas (Tourtip et al., 2009).
Deteksi virus penyebab penyakit EHP tersebut perlu dilakukan sebagai upaya
pencegahan dari penyebaran virus. Salah satu metode deteksi yang digunakan
dalam mendiagnosa suatu penyakit yang disebabkan oleh virus adalah dengan
menggunakan metode Polymerase Chain Reaction (PCR). PCR bekerja secara
spesifik dan sensitif, sehingga virus yang menginfeksi udang dalam jumlah sedikit
dan belum menimbulkan gejala penyakit bisa dideteksi (Sukenda et al., 2009).
Hingga saat ini, metode pendeteksian EHP yang paling akurat adalah dengan
menggunakan metode PCR dengan mengacu kepada Standar Nasional Indonesia
dan Standar Internasional OIE (Organitationale Internationale Epizootic) (LP2IL,
2012). Salah satu tempat yang dapat melakukan deteksi EHP dengan metode PCR
yaitu di Loka Pemeriksaan Penyakit Ikan dan Lingkungan (LP2IL) Serang,
Banten.
1. Mengetahui proses dan teknik deteksi EHP pada udang vaname (Litopenaeus
vannamei) dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR).
2. Menambah pengetahuan mahasiswa mengenai penggunaan Metode
Polymerase Chain Reaction (PCR).
3. Mengaplikasikan pengetahuan/teori kuliah dalam kehidupan nyata bidang
perikanan
Pelaksanaan Praktik Umum (PU) dilaksanakan pada tanggal 17 Juli 2017 sampai
dengan 25 Agustus 2017 bertempat di Loka Pemeriksaan Penyakit Ikan dan
Lingkungan (LP2IL), Serang. Metode pelaksanaan kegiatan praktik umum ini
yaitu sebagai berikut:
Metode ini dilakukan dengan mencari studi literatur dan membaca sumber-sumber
terpercaya mengenai masalah yang dibahas dalam laporan praktik umum.
Berbagai literatur yang telah didapat selanjutnya dikumpulkan sebagai bahan
untuk pemecahan masalah yang sesuai dengan bahasan.
a. Preparasi sampel
b. Ekstraksi sampel
c. Amplifikasi sampel
d. Elektroforesis
e. Pembacaan hasil uji
II. GAMBARAN UMUM LOKASI PRAKTIK UMUM
Loka Pemeriksaan Penyakit Ikan dan Lingkungan (LP2IL) Serang merupakan unit
pelaksana teknis dibidang pemeriksaan hama, penyakit ikan dan lingkungan yang
berada dibawah dan bertanggungjawab kepada Direktur Jendral Perikanan
Budidaya, Kementrian Kelautan dan Perikanan. Loka Pemeriksaaan Penyakit Ikan
dan Lingkungan didirikan sejak tahun 2009 dengan nama Balai Penyidikan
Penyakit Ikan. Pada tahun 2010, akhirnya pendirian balai disetujui secara resmi
oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan berganti nama menjadi
Loka Pemeriksaan Penyakit Ikan dan Lingkungan (LP2IL).
Visi :
Menjadi laboratorium penguji dan pengawasan penyakit ikan dan lingkungan
yang terdepan dalam pengelolaan kesehatan ikan dan Lingkungan..
Misi :
Meningkatkan kualitas tata kelola organisasi menuju tata kelola menuju
pemerintah yang bersih, transparan dan akuntabel. Melakukan pelayanan yang
professional dan berorientasi pada kepuasan pelanggan. Mewujudkan LP2IL
Serang sebagai rujukan nasional di bidang pengelolaan kesehatan ikan dan
lingkungan. Meningkatkan peran LP2IL Serang dalam pengendalian mutu, khasiat
dan keamanan.
Manajer Puncak
1. Microtube 0,2 ml dan 1,5 ml disiapkan sesuai dengan jumlah sampel hasil
ekstraksi atau berapa reaksi yang akan digunakan dan ditambahkan 1 kontrol
positif dan 1 kontrol negatif. Microtube ini diletakkan pada rak ice block
sehingga komponen dari bahan reagen yang digunakan tidak rusak.
2. Bahan-bahan reagen (Tabel 1) dimasukkan kedalam microtube 1 ml dan di
vortex hingga homogen serta tidak adanya gelembung. Hasil mastermix
dibagi ke dalam microtube 0,2 ml dengan volume masing-masing sebanyak
23 μl.
3. Primer sequen PCR yang digunakan untuk deteksi EHP 510 Forward (5’-
GCCTGAGAGATGGCTCCCACGT) dan EHP 510 Reverse (5’-
GCGTACTATCCCCAGAGCCCGA) (Tang et al., 2015). Kemudian
template DNA yang akan diuji dan kontrol positif dimasukkan sebanyak 2 μl
ke dalam microtube yang berisi bahan reagen, sedangkan untuk kontrol
negatif hanya berisi campuran bahan reagen.
4. Tahap selanjutnya, profil amplifikasi pada thermalcyler harus diatur terlebih
dahulu sehingga proses amplifikasi dapat berjalan dengan baik (Tabel 2).
5. Kemudian semua microtube dimasukkan ke dalam alat thermalcyler untuk
dilakukan proses amplifikasi sehingga didapat amplikon (hasil amplifikasi).
Setelah proses amplifikasi selesai, amplikon dapat disimpan pada suhu 4ºC.
6. Profil amplifikasi sebagai berikut :
3.1.4 Elektroforesis
3.1.4.1 Pembuatan Agarose
1. 1,5 gr agarose dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan ditambahkan 100 ml 1x
TBE buffer (Gambar 6). Lalu diaduk atau erlenmeyer digoyangkan sehingga
agarose dapat larut.
Proses elektroforesis dilakukan agar dapat melihat hasil dari pengujian dengan
menggunakan agarose dan alat elektroforesis. Sampel uji yang dimasukkan ke
dalam satu plate agarose berdasarkan jumlah sampel pada STP (Surat Tanda
Pengujian), hal ini dilakukan untuk mempermudah proses dokumentasi dan
pembacaan hasil. Pemeriksaan DNA dengan PCR perlu adanya kontrol positif dan
kontrol negatif. Kontrol positif pada lempeng agarose terdapat pita DNA/RNA,
hal ini untuk menghindari kesalahan dalam menganalisis atau membaca hasil yang
didapat. Kontrol negatif pada lempeng agarose setelah elektroforesis terlihat
bersih, jika terdapat pita DNA/RNA maka dapat dikatakan terjadi kontaminan
(Yusuf, 2010).
Pita DNA yang dihasilkan pada proses elektroforesis dapat menunjukkan kualitas
DNA itu sendiri. Kualitas DNA yang baik akan menghasilkan pita DNA yang
tebal, jelas, lebih terang pada saat dilihat di UV Transilluminator dan pita sampel
terlihat sejajar dengan pita kontrol positif, jika sampe terdeteksi (positif). Hal ini
sesuai dengan, Kasper dan Lenz (2004) yang menyatakan bahwa, kualitas DNA
dapat terlihat dari pita DNA yang dihasilkan sejajar serta tidak terdapat smear.
Smear merupakan DNA yang terpotong-potong dan berukuran kecil. Kualitas
DNA yang baik dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain suhu yang
digunakan pada proses penyimpanan, penyimpanan DNA dalam jangka waktu
yang lama serta terlalu banyak sampel yang digunakan pada saat ekstraksi.
Penyimpanan pada suhu dingin atau beku lebih efektif untuk mempertahankan
DNA. Zetzsche dan Gemeinholzer (2009), menyebutkan penyimpanan pada suhu
-20 ºC lebih baik dibandingkan pada suhu -4 ºC.
Ekstraksi merupakan suatu tahap dalam proses PCR, dimana hasil ekstraksi
(genom) ini sangat penting untuk tahap selanjutnya sehingga pada tahap ekstraksi
harus bebas dari kontaminasi. Kontaminan yang umum terjadi yaitu adanya
polisakarida yang dapat menggangu proses PCR, karena dapat menghambat
aktivitas dari Taq polimerase. Sampel yang digunakan pada saat ekstraksi tidak
boleh terlalu banyak, jika terlalu banyak sampel yang digunakan maka akan
mempengaruhi hasil dari ekstraksi serta hasil pengujian. Sampel yang digunakan
hanya 25-50 mg, hal ini dilakukan untuk menghindari adanya DNA lain dan
menghindari dominasi DNA hewan uji (udang). Proses ekstraksi ini menggunakan
beberapa larutan yaitu larutan DNAzol®, etanol 96%, etanol 75% dan NaOH.
DNAzol® berfungsi untuk menghancurkan dinding sel dari sampel tersebut,
sedangkan larutan etanol berfungsi untuk persipitasi protein dan komponen-
komponen lain sehingga yang didapat hanya DNA murni. Larutan NaOH
berfungsi untuk melarutkan DNA yang dihasilkan dan menjaga DNA agar tidak
mudah rusak (Wyban, 1991).
3.2.3 Amplifikasi
PCR adalah suatu proses perbanyakan (replikasi) DNA secara enzimatis untuk
mendapatkan replikasi DNA dalam jumlah besar dan dalam waktu yang singkat.
Prinsip kerja PCR yaitu memperbanyak segmen spesifik DNA yang diawali
dengan perlekatan. PCR dapat menggandakan DNA sekitar 106-107 kali dari
jumlah semula. Proses ini terjadi pada alat thermalcycler. Proses PCR merupakan
proses siklus yang berulang, proses ini meliputi denaturasi, annealing dan ekstensi
(Giridaran dan Uma, 2017).
Denaturasi atau peleburan merupakan suatu proses DNA yang utas ganda (Double
strain) menjadi utas tunggal (Single strain), terjadi pada suhu 94 0C untuk
memecah ikatan hidrogennya, proses ini terjadi selama 15 detik. Annealing atau
penempelan merupakan proses penempelan primer pada DNA template yang
komplemen pada urutan basanya. Suhu maksimal pada proses annealing maksimal
60 0C. Ekstensi atau pemanjangan yaitu proses DNA polymerase melengkapi utas
tunggal (Single strain) menjadi utas ganda (Double strain) dengan
memperpanjang fragmen primer. Proses ekstensi juga memerlukan dNTP sebagai
penyusun rantai DNA, terjadi pada suhu 72 0C selama satu menit (Tang et al,
2015).
3.2.4 Elektroforesis
Elektroforesis merupakan teknik pemisahan komponen atau molekul
bermuatan berdasarkan perbedaan tingkat migrasinya dalam suatu matriks
yang dipengaruhi oleh medan listrik. Komponen atau molekul tersebut dapat
berupa DNA, RNA, maupun Protein dari pengotor lain. Elektroforesis
menyediakan informasi mengenai ukuran, muatan, dan jenis komponen yang
dielektroforesis. Prinsip kerja elektroforesis gel dimulai saat molekul yang
bermuatan listrik ditempatkan pada medium berisi tenaga listrik. Molekul
yang digunakan dalam elektroforesis adalah molekul DNA yang bermuatan
negatif. Molekul akan bermigrasi menuju kutub positif atau kutub negatif
berdasarkan muatan yang terkandung di dalamnya. Arah migrasi DNA adalah
dari kutub negatif ke kutub positif.
Migrasi DNA dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu ukuran molekul DNA,
konsentrasi gel, bentuk molekul, densitas muatan, pori-pori gel, voltase, dan
larutan buffer elektroforesis. Hasil DNA elektroforesis harus dibandingkan
dengan DNA marker. Marker adalah segmen DNA yang spesifik dan telah
diketahui ukurannya. Marker berfungsi sebagai acuan untuk mengetahui
ukuran DNA hasil ampifikasi. DNA Marker berfungsi sebagai penanda
posisi pasangan basa dari molekul DNA yang bermigrasi (Daryono, 2013).
HASIL UJI
Pictures Information
Lane 1: Marker
1 EHP 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
100
Lane 5 (U/10/ VII /17):
Sampel tidak
terdeteksi
EHP
Lane 32 (U/37/VII/17):
Sampel tidak
terdeteksi
EHP
Selain dari kontrol positif, kontrol negatif dan sampel yang terdapat dalam gel
agarose juga terdapat marker. Marker merupakan segmen DNA yang spesifik dan
telah diketahui ukurannya. Marker berfungsi untuk mengetahui ukuran DNA hasil
apmlifikasi. Marker DNA yang terdapat dalam gel elektroforesis berfungsi
sebagai penanda posisi molekul DNA yang bermigrasi untuk menentukan
perkiraan pasang basa. Pada EHP pasang basa terdapat pada 514bp (Tang et al.,
2015). Dari Tabel 3 hasil uji tersebut dapat dilihat bahwa terdapat sampel yang
terserang EHP atau dikatakan positif EHP pada lane 7-9. Hal ini ditunjukan
dengan muncul band pada 514 bp atau sejajar dengan kontrol positif. Pada
sampel yang diuji dan dikatakan negatif ditunjukan dengan tidak terdapat band
yang muncul pada 514bp.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Adapun Kesimpulan yang dapat diambil dari proses Praktik Umum (PU) berjudul
Deteksi Penyakit EHP pada Udang Vaname dengan Metode PCR Konvensional
yaitu:
1. Tahapan proses PCR Konvensional dimulai dari preparasi sampel,
ekstraksi sampel, amplifikasi yang didalamnya terdapat proses denaturasi,
annealing dan ekstensi, kemudian dilanjutkan tahap elektroforesis dan
pembacaan hasil pada UV transiluminator.
2. Dari beberapa sampel yang di uji EHP menunjukan hasil yang negatif atau
sampel tidak terserang EHP. Jika sampel terserang EHP maka akan
terdapat pita yang berpendar pada saat dilihat dalam UV transiluminator
dan letaknya sejajar dengan control positif yakni berukuran 514bp.
4.2 Saran
Adapun saran yang dapat diberikan pada kegiatan laboratorium yaitu disraankan
perlu adanya penanganan dalam peralatan yang digunakan dalam pengujian
dengan metode secara PCR konvensional agar waktu pelaksanaan lebih efisiensi.
DAFTAR PUSTAKA