Anda di halaman 1dari 9

PEMERIKSAAN TOKSOPLASMOSIS METODE ELISA DAN

CARD AGGLUTINATION TOXOPLASMA TEST (CATT)

Oleh :
NIKI ANDALUSI
B1A015082

USULAN MINI RISET MAHASISWA MAGANG

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2018

i
PEMERIKSAAN TOKSOPLASMOSIS METODE ELISA DAN
CARD AGGLUTINATION TOXOPLASMA TEST (CATT)

NIKI ANDALUSI
B1A015082

Diajukan sebagai Pedoman Mini Riset di Balai Penelitian dan


Pengembangan Penyakit Bersumber Binatang (P2B2)
Banjarnegara

Disetujui
pada tanggal ....................

Pembimbing,

Tri Wijayanti, SKM, M.Sc.


NIP. 19761009200212 2 002

ii
iii
PRAKATA

Usulan praktik mini riset ini ditulis sebagai syarat berakhirnya magang kerja
di Balai Litbang P2B2 Banjarnegara. Penulis mengambil topik Pemeriksaan
Toksoplasmosis Metode ELISA dan Card Agglutination Toxoplasma Test (CATT).
Penulis mengucapkan puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga pedoman pelaksanaan mini riset ini dapat disusun.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. Sorta Basar Ida S, M.Si atas
bimbingan dan masukan dalam penyusunan usulan PKL dan Tri Wijayanti, SKM,
M.Sc atas kesediaan sebagai pembimbing lapangan, serta semua pihak yang telah
berkontribusi baik dalam penyusunan usulan mini riset ini. Penulis berharap semoga
usulan mini riset ini bermanfaat.

Purwokerto, Februari 2018

Penulis

iv
DAFTAR ISI

Halaman Judul ............................................................................................................. i


Prakata ....................................................................................................................... ii
Daftar Isi .................................................................................................................... iii
Daftar Tabel ............................................................................................................. v
Pendahuluan ............................................................................................................. 1
Materi dan Cara Kerja ...............................................................................................4
Daftar Referensi ......................................................................................................... 6

v
I. PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Penyakit infeksi yang diakibatkan oleh parasit kurang mendapat perhatian


dari masyarakat karena pada umumnya tidak mengancam jiwa sehingga masyarakat
cenderung mengabaikannya dan mulai menyadari ketika penyakit sudah memasuki
fase kronis. Penyakit infeksi yang masih endemis namun tidak memperoleh respon
dari masyarakat adalah toksoplasmosis (Wahyu, 2007 dalam Agustin & Mukono
2015). Toxoplasma gondii pertama kali ditemukan sejak tahun 1908 pada hewan
pengerat Ctenodactylus gondii di Sahara, Afrika Utara (Quintero-Betancourt et al.,
2002 dalam Nurcahyo et al., 2014).
Kejadian toksoplasmosis di Indonesia telah tersebar ke seluruh kepulauan
nusantara (Subekti & Kusumaningtyas, 2011). Tingkat prevalensi Toxoplasma gondii
di Indonesia berkisar antara 2-63% pada manusia, 35-73% pada kucing, 11-36%
pada babi, 11- 61% pada kambing, 75% pada anjing, dan <10% pada ternak lain
(Nurcahyo, 2011 dalam Nurcahyo, 2014). Toksoplasmosis menyebar dengan cara
kontaminasi kista pada daging khususnya daging babi dan kambing, melalui plasenta
pada wanita hamil, atau dengan jalan menelan oosista yang infektif berasal dari feses
kucing (Quintero-Betancourt et al., 2002 dalam Nurcahyo et al., 2014). Selain hal
tersebut, penularan toxkoplasmosis dapat juga terjadi karena kecelakaan di
laboratorium, karena kontaminasi luka, per oral maupun konjungtiva, penyuntikan
merozoit secara tidak sengaja, dan melalui transfusi leukosit penderita
toksoplasmosis (Siregar & Yuswandi, 2014).
Bentuk infektif pertama dari T. gondii adalah takizoit atau tropozoit yang
terdapat dalam cairan tubuh, bentuk kedua adalah bradizoit atau kista terdapat dalam
jaringan, dan bentuk ketiga adalah sporozoit terdapat dalam oosista. Bentuk kista
banyak ditemukan pada organ terutama otak, otot skelet dan jantung dari induk
semang penderita. Kista dapat bertahan dalam tubuh induk semang terinfeksi
toksoplasma selama perjalanan penyakit atau selama hidupnya, karena tidak dapat
ditembus oleh kekebalan humoral maupun kekebalan selular (Subekti &
Kusumaningtyas, 2011).
Toksoplasmosis tidak selalu menyebabkan keadaan patologis pada inangnya,
penderita bahkan seringkali tidak menyadari bahwa dirinya telah terinfeksi karena

1
tidak mengalami tanda-tanda dan gejala-gejala yang jelas, terutama pada penderita
yang mempunyai imunitas tubuh yang baik. Toksoplasmosis akan memberikan
kelainan yang jelas pada penderita yang mengalami penurunan imunitas misalnya
pada penderita penyakit keganasan, HIV-AIDS serta penderita yang mendapatkan
obat–obat imunosupresan. Gejala klinis yang timbul adalah demam, rasa tidak enak
badan, sakit pada jaringan otot, pneumonia, radang selaput otak, korioretinitis,
hidrosefalus, mikrosefalus, gangguan psikomotor dan keguguran (Iskandar, 1999).
Kucing dan beberapa golongan Felidae sangat berperan penting sebagai kunci
perkembangan dan penyebaran toksoplasmosis. Biasanya oosista Toxoplasma akan
dilepaskan oleh kucing dalam keadaan belum bersporulasi. Setelah sporulasi, di
dalam oosista tersebut berkembang menjadi 2 sporosista yang masing-masing
mengandung 4 sporozoit. Kucing di seluruh dunia merupakan sumber laten dari
infeksi T. gondii. Antibodi terhadap toksoplasmosis terdeteksi pada kucing sebesar
20-90% (Dubey & Jones, 2008 dalam Nurcahyo et al., 2014). Umumnya kucing
tertular toksoplasmosis karena memakan bahan yang terkontaminasi (food born
pathogen) atau makan tikus yang terinfeksi. Parasit ini akan menginfeksi sel-sel
traktus intestinal kucing dan menyebar ke seluruh tubuh melalui sistem peredaran
darah atau sistem limfoid (Frenkel et al., 1989 dalam Nurcahyo et al., 2014).
Oosista pada kucing yang terinfeksi oosista per oral dapat menembus organ-
organ dalam dan berkembang lebih lanjut sebagaimana di dalam jaringan inang
antara (perkembangan endodiagoni dan pembentukan sista). Setelah melampaui
perkembangan tersebut, parasit kembali ke dinding usus dan mengalami
perkembangan secara skizogoni dan gametogoni (Nurcahyo, 2012 dalam Hanafiah et
al., 2017). Stadium seksual diawali dengan perkembangan merozoit menjadi
makrogamet dan mikrogamet di dalam sel epitel usus. Kedua gamet mengalami
proses fertilisasi dan terbentuk zigot yang akan tumbuh menjadi oosista. Oosista
masuk ke dalam lumen usus dan keluar dari tubuh kucing bersama dengan kotoran
kucing (Iskandar, 2010 dalam Agustin & Mukono, 2015).
Diagnosis toksoplasmosis dapat dilakukan dengan uji serologis dengan
memperhatikan adanya Imunoglobulin M (IgM) dan imunoglobulin G (IgG) (Subekti
& Kusumaningtyas, 2011). Pemeriksaan kada IgG lebih dianjurkan dibandingakan
pemeriksaan IgM, hal tersebut dikarenakan IgG dapat bertahan lebih lama di dalam
tubuh Subekti, 2004, Robert & Janovy, 2001 dalam Agustin & Mukono, 2015). IgM
terbentuk segera setelah terjadi infeksi, titernya akan meningkat dengan cepat

2
kemudian akan menurun dalam beberapa waktu. IgG akan terbentuk beberapa bulan
setelah terinfeksi dan kadarnya akan terus meningkat dalam beberapa bulan,
kemudian kadar IgG akan menurun secara perlahan (Agustin & Mukono, 2015).
Beberapa teknik pemeriksaan serologis untuk diagnosis toksoplasmosis yaitu
uji warna Sabin-Feldman, indirect immunofluorescent antibody test (IFAT), latex
agglutination test (LAT), indirect hemagglutination (IHA), dan enzyme-linked
immunosorbent assay (ELISA) yang memiliki spesifisitas dan sensitivitas tinggi
(Sabin & Feldman, 1948; Figueiredo et al., 2001; Udonsom et al., 2010; Subekti &
Kusumaningtyas, 2011), Beberapa teknik diagnosis yang digunakan di Indonesia
yaitu CAT dan LAT pada hewan serta IHA, dan ELISA pada manusia (Subekti et al,
2005).

1.2 Tujuan

1. Mengetahui pemeriksaan Toksoplasmosis dengan metode ELISA


2. Mengetahui pemeriksaan Toksoplasmosis dengan metode CATT
3. Membandingkan pemeriksaan toksoplasmosis dengan metode ELISA dan
CATT

3
DAFTAR REFERENSI

Agustin, P. D. & J. Mukono. 2015. Gambaran Keterpaparan Terhadap Kucing


dengan Kejadian Toksoplasmosis Pada Pemelihara dan Bukan Pemelihara
Kucing Di Kecamatan Mulyorejo, Surabaya. Jurnal Kesehatan Lingkungan.
8(1): 103–117.
Hanafiah, M., Wisnu N., Joko P., & Sri H. 2017. Gambaran Histopatologi
Toksoplasmosis pada Kucing Peliharaan. Jurnal Veteriner. 18(1) : 11-17
Iskandar, T. 1999. Tinjauan Tentang Toksoplasmosis pada Hewan dan Manusia.
Wartazoa. 8(2): 58-63.
Nurcahyo, W., Joko P., & Priyowidodo. 2014.Identifikasi Toksoplasmosis Pada
Feses Kucing Secara Mikroskopis dan Serologis. Jurnal Kedokteran Hewan.
8(2): 147-150.
Siregar, R.Y., & Yuswandi. 2014. Prevalensi Toksoplasmosis pada Domba yang
Dipotong di RPH Ngampilan Yogyakarta dengan Metode CATT. Sain
Veteriner. 32(1): 78-92.
Subekti, D. T., Artama, W. T., & Iskandar, T. 2005. Perkembangan Kasus dan
Teknologi Diagnosis Toksoplasmosis. Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis,
253–264.
Subekti, Didik T. & E. Kusumaningtyas. 2011. Perbandingan Uji Serologi
Toksoplasmosis dengan Uji Cepat Imunostik, ELISA dan Aglutinasi Lateks.
JITV. 16(3): 224-233.

Anda mungkin juga menyukai