Anda di halaman 1dari 35

Proposal Penelitian

UJI RESISTENSI LARVASIDA SINTETIK DENGAN


PERBANDINGAN DOSIS PADA LARVA CULEX SP DI
KECAMATAN BAITO, KABUPATEN KONAWE SELATAN,
PROVINSI SULAWESI TENGGARA

Diajukan Oleh

SYAFAAT NUR DZULHAJ


NIM 2020034

KESEHATAN LINGKUNGAN DAN KESEHATAN KERJA PROGRAM


STUDI KESEHATAN MASYARAKAT SEKOLAH TINGGI ILMU
KESEHATAN TAMALATEA
MAKASSAR
2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Puji syukur kepada Allah SWT berkat Rahmat, Hidayah, dan Karunia-Nya

Kepada kita semus sehingga kami dapat menyelesaikan proposal skripsi dengan judul

“Uji Resistensi Larvasida Sintetik Dengan Perbandingan Dosis Pada Larva Culex Sp Di

Kecamatan Baito, Kab. Konawe Selatan, Provinsi Sulawsi Tenggara”. Laporan proposal

skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mengerjakan skripsi pada Program

S1 Kesehatan Lingkungan dan Kesehatan Kerja, STIK Tamalatea Makassar.

Penulis menyadari proposal skripsi ini tidak luput dari berbagai kekurangan.

Penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan dan perbaikannya sehingga

bisa dikembangkan lebih lanjut. Demikian, semoga proposal ini dapat bermanfaat bagi

para pembaca. Terima kasih.

Makassar, 16 April 2022

Syafaat Nur Dzulhaj

I
DAFTAR ISI

Table of Contents

KATA PENGANTAR ............................................ Error! Bookmark not defined.

DAFTAR ISI……………………………………………………………………..ii

BAB I Error! Bookmark not defined.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ................................... Error! Bookmark not defined.

B. Rumusan Masalah .............................. Error! Bookmark not defined.

C. Tujuan Penelitian ............................... Error! Bookmark not defined.

D. Manfaat Penelitian ............................. Error! Bookmark not defined.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengenalan Nyamauk ......................... Error! Bookmark not defined.

B. Tinjauan Umum Tentang Temephos ................................................. 19

C. Metode Uji Susceptibility ................................................................. 23

D. Kerangka Teori ................................................................................ 24

E. Kerangka Konsep Penellitian.............. Error! Bookmark not defined.

G. Definisi Konseptual .......................................................................... 26

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian................................... Error! Bookmark not defined.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian .............. Error! Bookmark not defined.

II
C. Desain Penelitian................................ Error! Bookmark not defined.

D. Teknik Pengumpulan Data ................. Error! Bookmark not defined.

E. Instrumen Penelitian ......................................................................... 29

F. Teknik Pengolahan Data................................................................... 29

G. Teknik Analisis dan Penyajian Data ................................................. 29

DAFTAR PUSTAKA

III
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tujuan pembangunan kesehatan adalah membantu seluruh rakyat Indonesia

untuk hidup sehat. Salah satunya adalah pengendalian vektor. Hal ini sesuai dengan

UU RI n. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 11 ayat 11 menyatakan bahwa

upaya kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau rangkaian kegiatan yang dilakukan

secara terpadu, terpadu, dan berkesinambungan dalam rangka memelihara dan

meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit. ,

meningkatkan kesehatan, mengobati penyakit, dan memulihkan kesehatan

pemerintah dan/atau masyarakat. Sampai saat ini penyakit pada hewan khususnya

nyamuk masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.

Pada tahun 2017 tercatat 12.677 kasus filariasis di 3 provinsi. Pada saat yang

sama, pada tahun 2018, jumlah kasus heartworm menurun 10.681, karena jumlah

kematian dan perubahan diagnosis setelah konfirmasi kasus klinis kronis yang

dilaporkan sebelumnya. Provinsi dengan kasus heartworm terbanyak pada tahun

2017 adalah Papua (307 kasus), disusul Nusa Tenggara Timur (286 kasus), Papua

Barat (12 kasus), Jawa Barat (907 kasus), Aceh (591 kasus), Kalimantan Timur ( 52

) dan Jawa Tengah (505). Selain itu, 129 kasus penyakit cacing hati kronis dilaporkan

di Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2017 (Infodatin, 2018). Salah satu strategi

pemerintah untuk mencapai hal tersebut adalah melalui Mass Preventive Drug

Administration (POPM) dan pengendalian vektor sintetik.

1
Nyamuk merupakan salah satu vektor penyakit yang disebabkan oleh parasit

atau virus terutama di daerah tropis dan subtropis. Genus nyamuk yang paling umum

adalah Aedes, Anopheles dan Culex (Wijayanti, dkk. 2015). Penyakit tular nyamuk

semakin meningkat ketika terjadi perubahan iklim seperti peralihan dari musim

kemarau ke musim hujan atau sebaliknya. Pengendaliannya harus dilakukan dengan

menjaga lingkungan dan habitatnya agar tidak menjadi tempat perkembangbiakan

nyamuk, tetapi juga dapat dikendalikan dengan perlakuan biologis dan kimiawi

secara langsung dengan insektisida (George,dkk. 2015).

Berbagai tindakan pengendalian termasuk penyemprotan (kabut) insektisida

sintetis, obat nyamuk bakar, listrik dan aerosol sintetis untuk mengganggu siklus

hidup nyamuk. Namun penggunaan insektisida sintetik sebenarnya kurang efektif

karena hanya membunuh nyamuk dewasa. Selama jentik nyamuk masih hidup,

mereka melanjutkan siklus hidup nyamuk dan kemudian dapat menginfeksi kembali.

Selain itu, efek penggunaan insektisida sintetik dapat menimbulkan masalah

lingkungan yang akan membahayakan keberadaan manusia, hewan dan makhluk

hidup lainnya.

Penggunaan insektisida secara terus menerus dan jangka panjang dapat

menyebabkan resistensi. Resistensi adalah kemampuan populasi vektor untuk

bertahan hidup dengan dosis insektisida yang biasanya akan membunuh spesies

vektor. Nyamuk yang sudah resisten akan kebal atau tidak akan mati walaupun

terkena insektisida. Resistensi vektor terhadap insektisida merupakan masalah yang

sering dihadapi oleh penanggung jawab program pengendalian penyakit tular vektor

di Indonesia. Timbulnya resistensi dapat menimbulkan masalah, karena selain

2
nyamuk yang tidak mati akibat paparan pestisida, nyamuk yang sudah resisten juga

akan bereproduksi dan mengalami perubahan genetik sehingga menurunkan

resistensi keturunannya (filial piety), sehingga meningkatkan prevalensi resistensi.

vektor dalam populasi (Kemenkes RI, 2012). dalam skripsi oleh Nisa Khoirullisani,

2018).

Pengendalian dilakukan dengan membunuh larva vektor untuk memutus rantai

penularan. Secara umum penggunaan insektisida seperti larvasida dapat digunakan

oleh masyarakat untuk mengendalikan vektor tersebut. Insektisida yang umum

digunakan di Indonesia adalah Abate atau Temephos. Temephos termasuk dalam

kelompok alga organik dengan nama dagang Abate 1SG, nama kimianya

phosphorothioc acid, rumus kimianya C16H20O6P2S3, memiliki berat molekul 6, 6

dan kelarutan pada 26OC sebesar 30 gr/L. Secara kimia dan secara ilmiah, temephos

adalah non-larvisida organik sistemik dalam bentuk emulsi, bubuk (wettable powder)

dan bentuk granular yang dapat digunakan di kamar mandi domestik atau tangki air.

Senyawa murni berupa padatan kristal putih dengan titik leleh 3030,5°C, produk

berupa cairan kental berwarna coklat, tidak larut dalam air pada suhu 20°C (kurang

dari 1 ppm).

Penggunaan larvasida merupakan cara yang paling umum digunakan oleh

masyarakat untuk mengurangi habitat larva. Dosis temephos menurut WHO adalah

0,02 mg / l. Abate atau temephos dapat menyebabkan resistensi obat jika tidak

digunakan dalam dosis yang tepat. Salah satu faktor utama yang berperan terhadap

organofosfat adalah temephos, karena faktor metabolisme yang membentuk enzim

detoksifikasi terutama esterase, serta faktor penebalan epidermis dan perubahan

3
target mutasi. Penggunaan Abbot sebagai larvasida juga memiliki kelemahan: jika

dosis temephos terus ditingkatkan, hal ini akan membahayakan kesehatan

masyarakat dan lingkungan. Gugus organofosfor ini, bila dosisnya dinaikkan, akan

sangat beracun dan bagi kita, jika kontak langsung dengan temefos seperti tertelan,

akan menyebabkan keracunan.

Penggunaan larvasida merupakan metode yang paling umum digunakan oleh

masyarakat untuk mengurangi habitat larva. Dosis temephos Temephos bekerja pada

larva dengan menghambat enzim cholinesterase, menyebabkan gangguan aktivitas

saraf karena akumulasi asetilkolin dalam jaringan. Fungsi enzim kolinestease adalah

menghidrolisis asetilkolin menjadi kolin dan cuka, sehingga bila enzim tersebut

dihambat maka tidak terjadi hidrolisis asetilkolin, kontraksi otot dalam waktu lama

akan terjadi spasme, membuat larva tidak dapat . menyerap oksigen dan membunuh

larva (Cutwa, 2006).

Pada penelitian ini digunakan larva instar III. Pemilihan larva instar III karena

larva difase tersebut telah memiliki organ tubuh larva yang sudah lengkap terbentuk

dan relatif stabil terhadap pengaruh lingkungan. Selain itu, larva instar III merupakan

larva yang sedang giat-giatnya aktif mencari makanan sebelum masa dorman yaitu

instar IV saat akan menjadi pupa. Pemberian insektisida pada saat larva mencapai

instar III, dengan tujuan larvasida tersebut langsung dapat terserap oleh larva

bersamaan dengan pengambilan makanan sehingga akan memberi penggaruh atau

efek pada sistem metabolisme larva. Penggunaan insektisida sintetik khususnya

larvasida abate untuk pengendalian populasi larva nyamuk Culex sp. instar III perlu

4
dikaji manfaatnya karena relatif aman terhadap kesehatan manusia maupun

lingkungan hidup.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Lasrika S Sinaga, dkk,(2016)

persentase kematian larva Aedes Aegypti terhadap larvasida temephos setelah

pengamatan selama 24 jam, pada konsentrasi 0,0025 mg/l yaitu 69% kematian, pada

konsentrasi 0,0025 mg/l yaitu 89% kematian, pada konsentrasi 0,005 mg/l yaitu 98%

kematian, pada konsentrasi 0,02 mg/l yaitu 98% kematian, pada konsentrasi 0,04

yaitu 100% kematian, pada konsentrasi 0,08 mg/l yaitu 100%.

Dari data yang diperolah dari Puskesmas Baito kab. Konawe Selatan, pada

wilayah kerja yaitu Kecamatan Baito, Kab. Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi

Tenggara sering dilakukan abatesasi atau pemberantasan larva nyamuk

menggunakan temephos (abate).

Berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian tentang Uji Resistensi Larvasida Sintetik Dengan Perbandingan Dosis

Pada Larva Culex Sp di Kecamatan Baito, Kab. Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi

Tenggara.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah “ Seberapa resistenkah larva nyamuk jenis Culex sp pada

larvasida sintetik (temephos) di Kecamatan Baito, Kab. Konawe Selatan, Provinsi

Sulawesi Tenggara”.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

5
Untuk mengetahui resistensi larva nyamuk Culex sp terhadap larvasida sintetik

(temephos) pada variasi dosis di Kecamatan Baito, Kab. Konawe Selatan, Provinsi

Sulawesi Tenggara.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui resistensi larva nyamuk Culex sp terhadap larvasida sintetik


(temephos) dengan dosis 0,0025 mg/l.

b. Untuk mengetahui resistensi larva nyamuk Culex sp terhadap larvasida sintetik


(temephos) dengan dosis 0,005 mg/l.

c. Untuk mengetahui resistensi larva nyamuk Culex sp terhadap larvasida sintetik


(temephos) dengan dosis 0,01 mg/l.

C. Manfaat Penelitian

1. Sebagai data atau bahan informasi bagi peneliti selanjutnya dalam bidang

pengendalian vektor/nyamuk khususnya larva nyamuk Culex sp.

2. Sebagai sumbangan ilmiah dan informasi dalam memperkaya khasanah ilmu

pengetahuan utamanya dibidang kesehatan lingkungan serta dapat menjadi bahan

bacaan atau perbandingan bagi peneliti berikutnya.

3. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi masyarakat dalam

mengembangkan strategi pengendalian dalam menggunakan penyakit yang

disebabkan oleh nyamuk Culex sp khususnya dalam penggunaan larvasida.

6
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Pengenalan Nyamuk

Nyamuk merupakan hewan invetebrata dari kelas insecta (serangga), ordo

Diptera, famili Culicidae dengan jumlah berlimpah yang tersebar di seluruh dunia

(Eldridge, 2008:4). Sebanyak 3.549 spesies nyamuk telah teridentifikasi di seluruh

dunia yang diklasifikasikan ke dalam dua subfamili dan 112 genus (Harbach,

2016:1). Indonesia memiliki 457 spesies nyamuk dari 18 genus yang tersebar di

seluruh daerah (Connor dan Sova, 1981:457). Beberapa spesies tertentu dari genus

ini menjadi vektor transmisi berbagai infeksi arbovirus dan genus Culex sp menjadi

salah satu vektor untuk transmisi penyakit filariasis ke manusia.

Di antara jenis nyamuk lainnya, nyamuk Culex sp memiliki kebiasaan yang

berbeda, terutama nyamuk Culex sp suka menyukai air yang kotor seperti genangan

air, sampah toilet, selokan, sungai yang penuh sampah. Nyamuk Culex sp memiliki

penampilan berwarna abu-abu kecokelatan dan mampu berkembang biak di segala

musim sepanjang tahun. Hanya saja jumlahnya berkurang saat musim hujan karena

larva hanyut terbawa arus. Culex sp beroperasi pada malam hari.

1. Taksonomi Culex sp

Dalam sistematika taksonomi Nyamuk Culex sp, dapat diklasifikasikan

sebagai berikut:

1. Domain : Eukaryota

2. Kingdom : Animalia

7
3. Subkingdom : Bilateria

4. Filum : Arthropoda

5. Subfilum : Mandibulata

6. Kelas : Insecta

7. Subkelas : Dicondylia

8. Ordo : Diptera

9. Subordo : Nematocera

10. Infraordo : Culicomorpha

11. Family : Culicidae

12. Genus : Culex sp

2. Morfologi

Culex sp adalah genus dari nyamuk yaitu sebagai vector penyakit yang

penting seperti West Nile Virus, Filariasis, dan Japanese enchepalitis.

Morfologi nyamuk itu culex sp terdiri dari kaput, toraks, abdomen dan memiliki

3 pasang kaki dan 1 pasang antena, Satu pasang sayap dan halter menjadi ciri

khas nyamuk dalam ordo Diptera. Sisik pada sayap dan Proboscis. Proboscis

merupakan bentuk mulut yang diperuntukkan menusuk mangsanya. Nyamuk

betina mempunyai proboscis yang lebih panjang dan tajam.

Walaupun aktifitas nyamuk culex dan Anopheles sama, yaitu lebih aktif

menghisap darah pada malam hari namun nyamuk culex sp secara morfologi

sangat berbeda dengan nyamuk Anopheles. Fisik Anopheles yaitu warna hitam

dengan bercak bercak putih , dan pada saat posisi menusuk akan membuat sudut,

8
nyamuk Anopheles jantan dan betina memiliki palpi yang hampir mirip dengan

panjang probosisnya, hanya pada nyamuk jantan dibagian palpi, apikal

berbentuk gada yang disebut club form sedangkan pada nyamuk betina ruas itu

mengecil. Bagian posterior abdomen terlihat agak lancip. Hal tersebut juga

terjadi pada nyamuk Aedes, bagian corpus berwarna coklat kehitaman serta

terdapat bercak putih di kaki atau tungkainya. Akan tetapi, perbedaan takan

terlihat pada saat menghisap, posisi nyamuk aedes tidak sejajar oleh

abdomennya, selain itu nyamuk aedes aktif dipagi hari. Pada genus Culex sp tidak

memiliki rambut pada spiracular maupun pada post spiracular. Ciri fisik lainnya

yaitu proboscis dan sayap yang berwarna gelap, selain itu, bentuk abdomen

betina nyamuk yang tidak tajam pada bagian ujungnya dan badannya yang penuh

dengan sisik-sisik. Kaput Culex sp biasanya bulat atau sferik dan memiliki 1

pasang mata dan 1 pasang antena yang terdiri dari 5 segmen dan juga 1

proboscis antena yang terdiri dari 15 segmen. Pada nyamuk jantan panjang

palpus maxillaries sama dengan proboscis.

Culex sp memiliki ciri khas yaitu pada abdomen nyamuk betina dewasa saat

menggigit terletak sejajar dengan permukaan objek yang sedang digigit dengan

posisi kaki belakang sedikit terangkat. Genus Culex sp memiliki ciri khusus

dengan struktur skeletumnya yang tribolus, ujung abdomen yang tidak tajam dan

badannya yang dipenuhi sisik. Selain itu, struktur yang menjadi perbedaan

genus ini dan genus yang lainnya adalah struktur yang disebut pulvilus yang

berdekatan dengan kuku pada ujung kaki nyamuk.

Pada toraks nyamuk terdiri dari 3 bagian yaitu protoraks, mesotorak dan

9
metatoraks. Bagian metatoraks lebih kecil dan terdapat 1 pasang sayap yang

mengalami modifikasi menjadi halter. Abdomen terdiri dari segmen yang tidak

memiliki bintik putih di tiap segmen.

Gambar 2.1 Nyamuk Dewasa Culex sp.

3. Siklus hidup

Nyamuk betina Culex sp. Mereka menghasilkan telur yang memiliki sifat

melekat satu sama lain atau dalam kelompok berbentuk rakit. Telur-telur

tersebut berbentuk seperti rakit yang duduk di atas permukaan air dan menempel

pada posisi di dinding vertikal di dalam penampung air. Nyamuk Culex sp betina

lebih menyukai tangki air yang sedikit tertutup untuk bertelur dibandingkan

dengan tangki air terbuka, karena tangki air yang sedikit tertutup lebih gelap di

bagian dalam. Telur menetas dalam 13 hari pada suhu 30°C, sedangkan telur

pada suhu 16°C membutuhkan waktu 7 hari untuk menetas. Telur bertahan hidup

tanpa air di tempat yang lembab. Telur dapat bertahan selama berbulan-bulan

pada suhu 20 hingga 42 .

Stadium larva berlangsung selama 68 hari. Tahap larva sendiri dibagi

menjadi 4 tahap atau tahap perkembangan. Tahap I terjadi setelah 12 hari

10
inkubasi telur, Tahap II terjadi setelah 23 hari inkubasi telur, Tahap III terjadi

setelah 34 hari inkubasi telur, dan Tahap IV terjadi setelah 46 hari inkubasi telur.

Tahap pupa terjadi 6 sampai 7 hari setelah telur menetas. Tahap pupa

berlangsung selama 23 hari. Durasi tahap kepompong dapat berubah tergantung

pada suhu di tempat penetasan, tetapi kepompong tidak akan berkembang pada

suhu yang sangat rendah di bawah 10 . Tahap dewasa terjadi antara 9 dan 10 hari

setelah telur menetas. Umur nyamuk Culex sp betina di alam pendek, sekitar 2

minggu, tetapi cukup waktu bagi nyamuk Culex sp betina untuk kawin, yang

biasanya terjadi pada senja hari dan kemudian mereka mencari darah untuk

pematangan telur.

Gambar 2.2 Siklus Hidup Nyamuk Culex sp

a. Stadium Telur

Nyamuk culex sp. meletakkan telur-telurnya saling berlekatan di atas

permukaan air sehingga berbentuk rakit (raft). Warna telur yang baru diletakkan

adalah putih, kemudian berubah menjadi hitam setelah 1-2 jam. Telur nyamuk

11
Culex sp. berbentuk menyerupai peluru senapan. Setiap spesies nyamuk Culex

sp. berkembang biak ditempat yang berbeda-beda, contohnya nyamuk Culex sp

quinquefasciatus bertelur di air comberan yang kotor dan keruh, nyamuk Culex

sp annulirostris bertelur di air sawah, daerah pantai dan rawa berair payau,

nyamuk Culex sp bitaeniorrhynchus bertelur di air yang mengandung lumut

dalam air tawar dan atau air payau. Dalam beberapa hari setelah kena air dalam

dua hingga tiga hari telur akan menetas menjadi jentik jentik atau larva.

b. Stadium larva

Stadium larva terbagi menjadi empat tingkatan perkembangan (instar)

yang terjadi selama 6-8 hari. Instar ke-I terjadi selama 1-2 hari setelah menetas.

Terlihat duri-duri (spinae) pada thoraks belum jelas dan corong pernafasan pada

siphon belum jelas. Instar ke-II terjadi selama 2-3 hari, dengan ciri duri-duri

belum jelas, corong kaput mulai menghitam. Instar ke-III terjadi selama 3-4 hari.

Duri-duri thoraks mulai jelas dan corong pernafasan berwarna coklat kehitaman

dan instar ke-IV terjadi selama 4-6 hari setelah telur menetas dengan kaput

berwarna. Untuk memenuhi kebutuhannya, larva mencari makan di tempat

perindukkannya. Larva nyamuk Culex sp membutuhkan waktu 6-8 hari hingga

menjadi pupa. Pertumbuhan dan perkembangan larva dipengaruhi beberapa

faktor, diantaranya temperatur, bahan makanan, pemangsa dalam air dan lain

sebagainya. Larva biasanya melakukan pergantian kulit empat kali, setiap

pergantian kulitnya diikuti dengan perkembangan instar lalu berpupasi sesudah

tujuh hari.

12
Gambar 2.3 Larva Culex sp

c. Stadium Pupa

Pupa berbentuk seperti satuan huruf “koma” yang pendek dan lebar,

merupakan stadium yang “non feeding”. Kaputnya menyatu dengan thorax yang

disebut sebagai cephalothorak. Gerakannya khas yaitu jerking movement.

Seperti larva, pupa juga mendekati permukaan air untuk bernafas dengan

menggunakan breathing tube yang terdapat pada sisi dorsal thorak. Bila

perkembangan pupa sudah sempurna, yaitu sesudah dua atau tiga hari, maka kulit

pupa akan pecah dan nyamuk dewasa keluar serta terbang.

d. Nyamuk Dewasa

Gambar 2.4 Pupa Culex sp.

13
Ciri-ciri nyamuk Culex dewasa adalah berwarna hitam belang-belang

putih, kaput berwarna hitam dengan putih pada ujungnya. Pada bagian thorak

terdapat 2 garis putih berbentuk kurva. Palpus nyamuk betina lebih pendek dari

proboscis, sedangkan pada nyamuk jantan palpus dan proboscis sama panjang.

Pada sayap mempunyai bulu yang simetris dan tanpa costa. Sisik sayap

membentuk kelompok sisik berwarna putih dan kuning atau putih dan coklat

atau putih dan hitam. Ujung abdomen nyamuk culex selalu menumpul. Dalam

keadaan istirahat, bentuk dewasa Culex sp dalam keadaan sejajar dengan

permukaan.

e. Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Larva Nyamuk Culex sp.

Faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan larva nyamuk Culex

sp. pertumbuhan larva dipengaruhi faktor temperatur, nutrien, dan ada tidaknya

binatang predator. Adapun faktor lain yang mempengaruhi larva (Ifa Ahdiyah,

2015), yaitu:

1). Suhu

Dari hasil penelitian Iswanto dkk., (2004), bahwa suhu air mempengaruhi

lama hidup nyamuk pradewasa (larva). Larva Culex sp. dapat hidup sekitar 5-6

hari, pada suhu air 28,59 ± 0,84⁰C. Faktor suhu sangat mempengaruhi nyamuk

Culex sp. dimana suhu yang tinggi akan meningkatkan aktivitas nyamuk dan

perkembangannya bisa menjadi lebih cepat tetapi apabila suhu di atas 35⁰C akan

membatasi populasi nyamuk. Suhu optimum untuk pertumbuhan nyamuk berkisar

antara 20⁰C-30⁰C. Suhu udara mempengaruhi perkembangan virus dalam tubuh

nyamuk (Agus, 2012).

14
2). Derajat Keasaman (pH)

Selain temperature air, faktor derajat keasaman (pH) air kemungkinan juga

berpengaruh terhadap lamanya larva Culex sp. bertahan hidup. Kadar pH dalam

penelitian Iswanto dkk., (2004) berkisar antara 6,7-7,6 atau hampir sama dengan

pH optimal bagi larva Aedes albopictus.

3). Pengaruh Lama Paparan

Dari hasil penelitian Sugiyarto dkk. (2000), pengaruh lama perlakuan larva

uji terhadap kualitas air limbah mempengaruhi kehidupan larva. Pada kepadatan

rendah (lebih rendah dari kepadatan optimum), maka larva uji hidup normal,

sedang pada kepadatan tinggi aktifitas kehidupannya tidak normal.

f. Habitat

Dalam kehidupan nyamuk terdapat tiga macam tempat yang diperlukan

untuk kelangsungan hidupnya. Ketiga tempat tersebut merupakan suatu sistem

yang satu dengan lainnya saling terkait, yaitu tempat untuk berkembangbiak,

tempat untuk istirahat dan tempat untuk mencari darah. Nyamuk ini banyak

terdapat pada genangan air kotor (comberan, got, parit, dll). Nyamuk Culex sp

lebih menyukai meletakkan telurnya pada genangan air berpolutan tinggi,

berkembang biak di air keruh dan lebih menyukai genangan air yang lama

daripada genangan air yang baru. Aktif menggigit pada malam hari. Tempat

yang gelap, sejuk dan lembab merupakan tempat yang disukai untuk beristirahat.

g. Kepentingan Medis Nyamuk Dewasa Culex sp.

Nyamuk genus Culex merupakan nyamuk yang banyak terdapat di sekitar

kita. Gangguan yang ditimbulkan oleh nyamuk selain dapat menularkan

15
penyakit juga dapat sangat mengganggu dengan dengungan dan gigitannya,

sehingga bagi orang - orang tertentu dapat menimbulkan phobi (entomopobhia)

serta dapat menyebabkan dermatitis dan urticaria. Beberapa penyakit yang

penularannya lewat gigitan nyamuk Culex sp dan berperan sebagai vektor

biologis dari penyakit seperti Filiariasis , Japanese encephalitis dan , West Nile

Virus (Nurdiana, 2014).

4. Filariasis (Penyakit Kaki Gajah)

Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular menahun yang

disebabkan oleh cacing filaria yang menyerang saluran dan kelenjar getah bening

permulaanya diperantarai oleh vector nyamuk yang salah satunya yaitu Culex

sp. Cacing tersebut hidup di saluran dan kelenjar getah bening dengan

manifestasi klinik akut berupa demam berulang, peradangan saluran dan saluran

kelenjar getah bening. Pada stadium lanjut dapat menimbulkan cacat menetap

berupa pembesaran kaki, lengan, payudara dan alat kelamin.

5. Pengendalian

Pengendalian terhadap nyamuk Culex sp. dikelompokkan menjadi lima

kategori sebagai berikut :

a. Kimia

Penggunaan insektisida kimia merupakan cara yang efektif dalam

pengendalian vektor penyakit karena bekerja dan memberikan efek toksik secara

langsung. Cara kerja insektisida dalam tubuh serangga dikenal istilah mode of

action dan cara masuk atau mode of entry. Mode of action adalah cara insektisida

memberikan pengaruh melalui titik tangkap (target site) di dalam tubuh

16
serangga. Titik tangkap pada serangga biasanya berupa enzim atau protein.

Beberapa jenis insektisida dapat mempengaruhi lebih dari satu titik tangkap pada

serangga. Apabila penggunaan insektisida kimia melebihi dari dosis yang

disarankan atau terpapar terlalu lama akan menimbulkan berbagai efek samping

bagi manusia seperti mual, 16 muntah, sesak napas, dan tanda-tanda intoksikasi

lainnya sehingga menimbulkan masalah yang serius bagi manusia dan

lingkungannya. penyemprotan dinding rumah dengan insektisida (IRS/Indoors

Residual Spraying) merupakan salah satu aplikasi pengendalian vektor secara

kimia (Kemenkes RI, 2012).

b. Fisik

Metode pengendalian secara fisik dilakukan dengan pemakaian kelambu

atau menggunakan kelambu berinsektisida, kawat kassa di ventilasi, jendela dan

pintu serta raket elektrik (Kemenkes RI, 2012).

c. Biologis

Penggunaan predator vektor alami seperti bakteri, protozoa, jamur, ikan,

katak, dan predator lain untuk membunuh telur, larva dan pupa nyamuk

(Kemenkes RI, 2012).

d. Radiasi

Melakukan sterilisasi dengan bahan radioaktif tertentu terhadap nyamuk

dewasa merupakan salah satu alternatif untuk upaya pengendalian vektor.

Radiasi gamma dan neutron dapat dimanfaatkan untuk pengendalian vektor

penyakit melalui teknik TSM (Teknik Serangga Mandul). Faktor yang

berpengaruh terhadap proses kemandulan pada nyamuk ialah terjadinya

17
infekunditas (tidak dapat menghasilkan telur), inaktivasi sperma, mutasi letal

dominan, aspermia, dan ketidakmampuan kawin dari serangga betina atau

jantan. Radiasi dapat mengurangi produksi telur yang disebabkan karena tidak

terjadinya proses oogenesis sehingga tidak terbentuk oogenia atau telur.

Aspermia dapat menyebabkan kemandulan karena radiasi merusak

spermatogenesis sehingga tidak terbentuk sperma. Inaktivasi sperma juga dapat

menyebabkan kemandulan karena sperma tidak mampu bergerak untuk

membuahi sel telur. Faktor penyebab kemandulan yang lain ialah

ketidakmampuan kawin, hal ini karena radiasi merusak sel-sel somatik saluran

genetalia interna sehingga tidak terjadi pembuahan sel telur. Irradiasi gamma

menyebabkan penurunan yang sangat drastis terhadap presentase penetasan

telur, dosis 90 Gy mampu menurunkan persentase penetasan telur hingga lebih

dari 50%, bahkan untuk dosis 110 Gy mampu menurunkan persentase penetasan

telur hingga 96 %.

Faktor yang dianggap menyebabkan kemandulan pada serangga yang

di irradiasi adalah mutasi lethal dominan. Dalam hal ini inti sel telur atau inti

sperma mengalami kerusakan sebagai akibat radiasi sehingga terjadi mutasi gen.

Mutasi lethal dominan tidak menghambat proses pembentukan gamet jantan

maupun betina dan zigot yang terjadi juga tidak dihambat, namun embrio akan

mengalami kematian. Prinsip dasar mekanisme kemandulan ini untuk

selanjutnya dikembangkan sebagai dasar teknik pengendalian vektor penyakit,

seperti malaria, DBD dan filariasis yang disebut Teknik Serangga Mandul. TSM

menjadi salah satu alternatif pilihan cara yang dapat dipilih dan

18
dipertimbangkan, karena lebih aman, spesies spesifik, tidak menimbulkan

resistensi dan pencemaran lingkungan.

e. Lingkungan

Dalam pengendalian dengan cara pengelolaan lingkungan telah dikenal

dengan dua cara yaitu :

a. Perubahan Lingkungan (Environmental Modification) Merupakan kegiatan

pengubahan fisik yang permanen terhadap tanah, air dan tanaman yang bertujuan

untuk mencegah, menghilangkan, atau mengurangi tempat perindukan nyamuk

tanpa menyebabkan pengaruh buruk terhadap kuaalitas lingkungan hidup

manusia dan bersifat permanen. Kegiatan ini antara lain dapat berupa

penimbunan (filling), pengeringan (draining), perataan permukaan tanah dan

pembuatan bangunan, sehingga vektor dan binatang penganggu tidak mungkin

hidup.

b. Manipulasi Lingkungan (Environmental Manipulation) Merupakan rangkaian

kegiatan yang tidak memungkinkan vektor dan binatang pengganggu lainnya

berkembanng dengan baik. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan cara merubah

kadar garam (salinity), pembersihan tanaman air atau lumut, dan penanaman

pohon bakau pada pantai tempat perindukan nyamuk sehingga tempat itu tidak

mendapatkan sinar matahari.

B. Tinjauan Umum Tentang Temephos

Temephos atau abate relatif aman dan tidak menimbulkan gangguan kesehatan

pada manusia. Namun apabila digunakan pada dosis yang tidak sesuai maka akan

mengakibatkan overstimulasi sistem saraf sehingga akan terjadi pusing, mual dan

19
muntah. Pada pajanan yang tinggi dapat menimbulkan paralise nafas dan kematian.

1. Spesifikasi Temephos

Temephos merupakan salah satu dari jenis organofosfat yang dapat

digunakan untuk mengendalikan larva nyamuk dan merupakan satu-satunya

organofosfat dengan penggunaan larvasida yang diizinkan. Residu temephos tidak

berbahaya apabila ditemukan di dalam air selama dosis yang digunakan tidak

melebihi batas. Dosis temephos pada program abatisasi nasional adalah 10

gram/100 liter air, sedangkan dosis temephos penggunaan yang diperbolehkan

oleh WHO yaitu 0,02 mg/l atau pada kontainer yang biasanya menjadi tempat

nyamuk berkembang biak seperti bak mandi. Air dengan volume yang besar

seperti kolam renang dengan dosis 56 - 112 g/ha atau 5,6 – 11,5 mg/m2 (WHO,

2013). Temephos 1% hanya digunakan pada tempat air tergenang seperti bak

mandi, dan tempat penampungan sejenisnya. Temephos tidak bermanfaat

ditaburkan pada tempat-tempat air yang sulit dibersihkan. Larvasida jenis ini

dapat menimbulkan resisten terhadap larva apabila tidak menggunakan dosis yang

sesuai. (Lawrens, dkk, 2014). Temephos terbuat dari empat Ibs/gallon EC, 50%

serbuk terdispersi dalam air (WDP), 1 SG insektisida (high-density butiran pasir

ang dirancang untuk mengendalikan larva nyamuk pada vegetasi yang padat), 2 G

insektisida, 5 G insektisida (low-density butiran untuk pengendalian serangga

pada perairan terbuka dan di sepanjang pantai).

Bentuk-bentuk temephos antara lain :

a. Bentuk Sand Granules Temephos dalam bentuk sand granules berbentuk pasir,

20
berwarna putih kecoklatan dan mengandung 1% bahan aktif abate (thiodi

phenylene dan phasphorethiac) dan 99% inert ingredients, bentuk SG 1% ini

umumnya dipakai untuk pemberantasan larva nyamuk.

b. Bentuk Emulsifiable Concentrate Temephos ini berbentuk larutan serta

mengandung bahan aktif abate 50% - 90%.

c. Bentuk Technical Grade Temephos ini berbentuk cairan kental dan

mengandung bahan aktif abate murni sebanyak 85% - 90%.

d. Temephos murni Temephos murni tersusun atas O,O,O’,O’̶ Tetramethyl O,O’-

thiodi-p,- phenylenephosphorothioate minimum 85% dengan warna cairan

minyak jernih kekuning-kuningan.

2. Jenis Aplikasi pengendalian vektor

Penyakit secara umum dikenal dua jenis insektisida yang bersifat

kontak/non-residual dan insektisida residual. Insektisida kontak/non-residual

merupakan insektisida yang langsung kontak dengan tubuh serangga saat

diaplikasikan. Aplikasi kontak langsung dapat berupa penyemprotan udara

(space spray) seperti pengkabutan panas (thermal fogging), dan pengkabutan

dingin (cold fogging)/Ultra Low Volume (ULV). Insektisida residual adalah

insektisida yang diaplikasikan pada permukaan suatu tempat dengan harapan

apabila serangga melewati/hinggap pada permukaan tersebut akan terpapar dan

akhirnya mati. Umumnya insektisida yang bersifat residual adalah Insektisida

dalam formulasi wettable powder (WP), water dispersible granule (WG),

suspension concentrate (SC), capsule suspension (CS), dan serbuk.

21
3. Mekanisme resistensi

Mekanisme resistensi dapat digolongkan dalam dua kategori, yaitu

biokimiawi dan perilaku (behavioural resistance).

4. Mekanisme Biokimiawi

Mekanisme biokimiawi berkaitan dengan fungsi enzimatik di dalam tubuh

vektor yang mampu mengurai molekul insektisida menjadi molekul-molekul

lain yang tidak toksik (detoksifikasi). Molekul insektisida harus berinteraksi

dengan molekul target dalam tubuh vektor sehingga mampu menimbulkan

keracunan terhadap sistem kehidupan vektor untuk dapat menimbulkan

kematian. Detoksifikasi insektisida terjadi dalam tubuh spesies vektor karena

meningkatnya populasi yang mengandung enzim yang mampu mengurai

molekul insektisida. Tipe resistensi dengan mekanisme biokimiawi ini sering

disebut sebagai resistensi enzimatik.

5. Resistensi Perilaku (Behavioural Resistance)

Individu dari populasi mempunyai struktur eksoskelet sedimikian rupa

sehingga insektisida tidak mampu masuk dalam tubuh vektor. Secara alami

vektor menghindar kontak dengan insektisida, sehingga insektisida tidak

mencapai target.

6. Knockdown Time

Knockdown Time (KT) adalah waktu yang dibutuhkan oleh insektisida

untuk menjatuhkan serangga. Knockdown time diukur dengan menghitung

jumlah serangga yang jatuh selama interval waktu yang dibutuhkan agar semua

serangga mati. Waktu yang dibutuhkan agar seluruh serangga mati disebut

22
KT100, sedangkan waktu yang dibutuhkan agar insektisida dapat menjatuhkan

setengah dari populasi disebut Median Knockdown Time (MKDT) atau KT50.

C. Metode Uji Susceptibility

Uji resistensi sesuai panduan WHO (susceptibility test) bertujuan untuk

mengetahui perubahan-perubahan tingkat kerentanan vektor sebelum, selama dan

setelah penggunaan insektisida dilakukan (Kemenkes R.I., 2012). Analisis status

resistensi dengan menggunakan garis regresi, dengan membandingkan garis regnesi

pada kematian larva pada kelompok control (rentan).

Menurut WHO (1998) yang dikutip dari Nur handayani tahun 2016, status

resistensi serangga terhadap insektisida diklasifikasikan menjadi 3 bagian, yaitu :

1. Rentan, 98-100% kematian larva uji

2. Toleran 80-97% kematian larva uji

3. Resisten <80% kematian larva uji.

23
D. Kerangka Teori

Larvasida sintetik (temephos)


dengan dosis:
-0,0025 mg/l
-0,005 mg/l
-0,01 mg/l.

Resitensi larva nyamuk Culex


sp. terhadap larvasida sintetik
(temephos).

Lingkungan

Gambar 2.5 Kerangka Teori

24
E. Kerangka Konsep

Larva Nyamuk
Culex sp.

1. Rentan
2. Toleran
Larvasida Sintetik 3. Resistensi
(Temephos)
- 0,0025 mg/l
- 0,005 mg/l
- 0,01 mg/l.

Kondisi Lingungan

Keterangan :

: Variabel independen

: Variabel dependen

: Variabel yang diteliti

: Variabel yang tidak diteliti

Gambar 2.6 Kerangka Konsep Penelitian

25
F. Definisi Konseptual

Berikit adalah penjelasan mengenai Defenisi Konseptual dalam penelitian ini

Tabel 2.1

Defenisi Konseptual

No Variabel Definisi Konseptual

1. Larva Nyamuk Vektor nyamuk penyebab penyakit Filariasis (kaki gajah)

Culex Sp

2. Larvasida Sintetik Organofosfat yang dapat digunakan untuk

(Temephos) mengendalikan larva nyamuk di Kecamatan Baito

3. Kondisi Adanya faktor lingkungan yaitu suhu, Ph, dan

Lingkungan kelembaban yang mempengaruhi perkembangbiakan

nyamuk di Kecamatan Baito

4. Klasifikasi hasil -Rentan, jika kematian larva uji 98-100%

uji yaitu Rentan, -Toleran, jika kematian larva uji 80-97%

Toleran, dan -Resistensi, jika kematian larva uji <80%

Resistensi.

26
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Gambaran Umum

1. Jenis Penelitian

Adapun jenis penelitian ini adalah eksperimen murni dengan rancangan

post test only with control group design menggunakan larvasida sintetik

(temephos).

3. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian

1. Lokasi Penelitian

pengambilan sampel larva nyamuk Culex sp yaitu di Kecamatan Baito Kab,

Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara dan pemeriksaan dilakukan di

Puskesmas Baito.

2. Waktu Penelitian

Waktu pelaksanaan penelitian ini mulai dari pengumpulan sampel hingga

percobaan ketiga yaitu pada bulan Mei-Juni 2022.

B. Desain Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui resistensi larva nyamuk

Culex sp. terhadap larvasidsa sintetik (temephos) pada variasi dosis di Kecamatan Baito,

Kab. Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara.

27
Tabel 3.1 Desain Penelitian

Jenis Interval Dosis

Larva Waktu
0,0025 mg/l 0,005 mg/l 0,01mg/l 0mg(Control)
Nyamuk

Larva 24 Jam Percobaan 1 Percobaan 1 Percobaan 1 Percobaan 1

Nyamuk Percobaan 2 Percobaan 2 Percobaan 2 Percobaan 2

Culex sp Percobaan 3 Percobaan 3 Percobaan 3 Percobaan 3

C. Teknik Pengumpulan Data

1. Data primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari subjek penelitian

dengan menggunakan alat pengukur atau pengambilan data langsung pada

subjek sebagai sumber informasi yang dicari. Data primer dari penelitian ini

diperoleh berdasarkan hasil suspectibility test apakah larva nyamuk jenis Culex

sp. resisten terhadap larvasida sintetik (temephos).

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari berbagai referensi baik

artikel – artikel, buku maupun literatur yang lain yang dianggap dapat

mendukung teori yang ada, serta dianggap memiliki keterkaitan dengan

penelitian ini.

28
D. Instrumen Penelitian

1. Alat

 4 wadah

 Timbangan Analitik

 Timba plastik

 Senter

 Alat tulis

2. Bahan

 Larvasida sintetik (temephos)

 Air bersih

 Handscoon

 Kertas label

E. Teknik Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan secara manual dengan bantuan alat hitung dan

dianalisa secara deskriptif.

F. Teknik Analisis dan Penyajian Data

Tehnik Penyajian data pada penelitian ini yaitu disajikan dengan

menggunakan penjelasan Deskriptif dengan menggambarkan objek penelitian

secara detail dengan uraian

29
DAFTAR PUSTAKA

Ahdiyah, Ifa. 2015. Pengaruh Ekstrak Daun Mangkokan (Nothopanax Scutellarium)


Sebagai Larvasida Nyamuk Culex Sp. Surabaya: Jurusan Biologi Fakultas
Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh
Nopember Surabaya 2015. Dari:
http://ejurnal.its.ac.id/index.php/sains_seni/article/view/10804 Diakses
pada 14 Januari 2022.
Cutwa M.M, O’meara G.F. 2006. Photographic Guide to Common Mosquitoes of Jurnal
PENA Vol.34 No.2 Edisi September 2020 8 Florida. Florida Medical
Entomology Laboratory. Dari: https://www.myadapco.com/wp-
content/uploads/2014/04/atlas.pdf Diakses pada 14 Januari 2022.
George, L., dkk. 2015. CommunityEffectiveness of Temephos for Dengue Vector
Control: A Systematic Literature Review. PLoS Negl Trop Dis. V.9(9).
Dari: https://journals.plos.org/plosntds/article?id=
10.1371/journal.pntd.0004006 Diakses pada 14 Januari 2022.
Handayani, Nur., dkk. 2016. Status Resistensi Larva Aedes Aegypti Terhadap Temephos
Di Wilayah Perimeter Dan Buffer Pelabuhan Tanjung Emaskota Semarang.
Fakultas Sains Dan Matematika Unversitas Dipanegoro. Jurnal Kesehatan
Masyarakat (E-Jurnal) Volume 4 Nomor 1, Januaro 2016 (ISSN : 2356-
3346). Dari: http://eprints.undip.ac.id/47653/ Diakses pada 24 Juni 2022.
Infodation. 2018. Menuju Indonesia Bebas Filariasis. Jakarta: Pusat Data dan Informasi
Kementerian Kesehatan RI. Dari
https://pusdatin.kemkes.go.id/article/view/20010200001/infodatin-situasi-
filariasis-di-indonesia.html Diakses pada 14 Januari 2022.
Iswanto., M., Sugeng J., dan Baskoro, T. 2004. Tabel Kehidupan dan Fekunditas Culex
quinquefasciatus Say (Diptera: Culicidae) Kota Yogyakarta dan Semarang
di Laboratorium. Sains Kesehatan, 17 (1), Januari 2004. Dari: http://i-
lib.ugm.ac.id/jurnal/detail. php?dataId=2474 Diakses pada 16 Januari 2022.
Kemenkes R.I., 2012, Pedoman Penggunaan Insektisida (Pestisida) dalam Pengendalian
Vekto, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Khoirullisani, Nisa. 2018. Uji Resistensi Insektisida Malathion Dengan Metode
Susceptibility Test Dan Biokimia Pada Populasi Nyamuk Aedes Sp. Di
Kabupaten Banyumas. Purwokerto: Kementerian Riset, Teknologi, Dan
Pendidikan Tinggi Universitas Jenderal Soedirman Fakultas Ilmu-Ilmu
Kesehatan Jurusan Kesehatan Masyarakat, Purwokerto. Dari:
https://www.academia.edu/
43707692/UJI_RESISTENSI_INSEKTISIDA_MALATHION_DENGAN
_METODE_SUSCEPTIBILITY_TEST_DAN_BIOKIMIA_PADA_POPU
LASI_NYAMUK_Aedes_sp_DI_KABUPATEN_BANYUMAS Diakses
pada 14 januari 2022.
Sugiyarto. 2000. Reduksi Air Limbah Rumah Tangga oleh Larva Nyamuk Culex quinquefasciatus
Say. Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta. Bio SMART. Volume 2, Nomor 2
Oktober 2000. ISSN: 1411-321X. Halaman: 8-14. Dari:
https://anzdoc.com/download/reduksi-air-limbah-rumah-tangga-oleh-larva-nyamuk-
culex-quin.html Diakses pada 14 Januari 2022.
S Sinaga, Lasrika, dkk. 2016. Status Resistensi Larva Aedes Aegypti (Linnaeus) Terhadap
Temephos (Studi Di Kelurahan Jatiasih Kecematan Jatiasih Kota Bekasi Provinsi Jawa
Barat). Universitas Dipanegoro. JUrnal Kesehatan Masyarakat (e-jurnal) Volume 4,
Nomor 1, Januari 2016 (ISSN: 2356-3346). Dari:
https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jkm/article/view/11684 Diakses pada 24 Juni
2022.
Who. Instruction For Determining The Susceptibility Or Resistance Of Mosquitoes Larvae To
Insecticide. (Internet). Who/Vbc/81.807.1981.P.6. Dari:
https://www.who.int/iris/handle/ 10665/69615 Diakses pada 16 Januari 2022.
Wijayanti, M.P., Yuliawati, S., & Hestiningsih, R. 2015. Uji toksisitas ekstrak daun tembakau
(Nicotiana tobacum L.) dengan metode maserasi terhadap mortalitas larva Culex
Jurnal kesehatan Masyarakat (e-jurnal), 3(1). 143-151.
https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/ jkm/article/view/11281 Diakses pada 16
Januari 2022.

Anda mungkin juga menyukai