KEGAWATDARURATAN PENANGANAN
KERACUNAN INSEKTISIDA
Disusun Oleh :
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
Keperawatan Anak yang berjudul MANAJEMEN KASUS
KEGAWATDARURATAN PENANGANAN KERACUNAN INSEKTISIDA
dengan baik.
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................................... .ii
DAFTAR ISI .................................................................................................................. iii
DAFTAR TABEL .......................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................................................................. 1
B. Tujuan
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penulisan makalah ini untuk mengetahui
gambaran umum tentang Manajemen Kasus Kegawatdaruratan
Penanganan Keracunan Isektisida
2. Tujuan Khusus
a. Untuk lebih memahami tentang konsep Insektisida
b. Untuk lebih memahami tentang konsep Keracunan Insektisida
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Keracunan
C. Penggolongan Insektisida
Insektisida merupakan kelompok pestisida yang terbesar dan terdiri
atas beberapa sub kelompok kimia yang berbeda , yaitu :
1. Organoklorin merupakan insektisida chlorinated hydrocarbon secara
kimiawi tergolong insektisida yang relatif stabil dan kurang reaktif,
ditandai dengan dampak residunya yang lama terurai di lingkungan.
Salah satu insektisida organoklorin yang terkenal adalah DDT.
Pestisida ini telah menimbulkan banyak perdebatan. Kelompok
organoklorin merupakan racun terhadap susunan syaraf baik pada
serangga maupun mamalia. Keracunan dapat bersifat akut atau kronis.
Keracunan kronis bersifat karsinogenik (kanker).
2. Organofosfat. insektisida ini merupakan ester asam fosfat atau asam
tiofosfat. Pestisida ini umumnya merupakan racun pembasmi serangga
yang paling toksik secara akut terhadap binatang bertulang belakang
seperti ikan, burung, cicak dan mamalia. Pestisida ini mempunyai
efek, memblokade penyaluran impuls syaraf dengan cara mengikat
enzim asetilkolinesterase. Keracunan kronis pestisida golongan
organofosfat berpotensi karsinogenik
3. Karbamat, kelompok ini merupakan esterasam N-metilkarbamat.
Bekerja menghambat asetilkolinesterase. Tetapi pengaruhnya terhadap
enzim tersebut tidak berlangsung lama, karena prosesnya cepat
reversibel. Kalau timbul gejala, gejala itu tidak bertahan lama dan
cepat kembali normal. Pada umumnya, pestisida kelompok ini dapat
bertahan dalam tubuh antara 1 sampai 24 jam sehingga cepat
diekskresikan.
4. Piretroid, jenis insektisida ini yang paling banyak digunakan dalam
insektisida rumah tangga terutama pada insektisida koil/bakar dan
semprot. Berdasarkan produknya piretroid dibedakan dengan piretroid
yang berasal dari alam yang diperoleh dari bunga Chrysanthemum
cinerariaefolium dan piretroid sintetis yang merupakan sintesa dari
piretrin. Piretroid sintetis sering dikombinasikan dengan bahan kimia
lain sehingga mempunyai efek yang sinergis, menaikkan potensi
namun lebih persisten di lingkungan. Piertroid sintetis lebih lambat
terurai dibandingkan dengan piretroid yang berasal dari tanaman.
Piretroid tanaman cepat terurai oleh sinar matahari, panas dan lembab.
Piretroid pada serangga merupakan racun saraf yang bekerja
menghalangi sodium channels pada serabut saraf sehingga mencegah
transmisi impuls saraf. Piretroid sering dikombinasikan dengan
piperonyl butoxide yang merupakan penghambat enzim mikrosomal
oksidase pada serangga, sehingga kombinasi senyawa ini dengan
piretroid mengakibatkan serangga mati. Piretroid mempunyai
toksisitas rendah pada manusia karena piretroid tidak terabsorpsi
dengan baik oleh kulit. Walaupun demikian insektisida ini dapat
menimbulkan alergi pada orang yang peka. Piretroid jenis transfultrin,
dalletrin, permetrin dan sipermetrin banyak digunakan sebagai
insektisida rumah tangga baik dalam bentuk semprot non aerosol
(manual) maupun aerosol (dengan gas pendorong), elektrik maupun
koil/bakar.
5. DEET, mempunyai nama IUPAC (The International Union of Pure
and Applied Chemistry) adalah -Diethyl-3- methylbenzamide atau
nama lain Diethylm-toluamide. Insektisida ini berbentuk lotion,
digunakan sebagai insektisida oles (repellent). DEET bekerja dengan
memblokade receptor olfactory pada serangga, sehingga
menghilangkan instink atau keinginan serangga untuk menggigit
manusia. Potensi DEET sebagai repellent akan meningkat dengan
tidak adanya bau keringat, DEET sukar larut dalam air, termasuk
klasifikasi D(tidak diklasifikasikan sebagai penyebab kanker pada
manusia). Meskipun demikian disarankan tidak digunakan pada
pemakaian berulang setelah 8 jam, karena DEET dapat berpenetrasi
melalui kulit sehingga berpotensi menimbulkan keracunan.
6. Fumigan, sesuai namanya, kelompok insektisida ini mencakup
beberapa jenis gas, cairan atau padatan yang mudah menguap pada
suhu rendah dan melepaskan gas yang dapat membasmi hama. Jenis
fumigan yang banyak digunakan adalah Paradiklorbenzen (PDB) atau
naftalen. PDB juga digunakan sebagai penyegar udara dan penghilang
bau. PDB, jarang menyebabkan keracunan pada manusia. PDB
mempunyai stereoisomer diklorobenzen yang lebih toksik dari bentuk
para isomernya. Naftalen dikenal dengan nama kapur barus
mempunyai bau yang tajam dan dapat menimbulkan iritasi kulit pada
orang yang alergi.
7. Asam Borat, asam borat didaftarkan sebagai pestisida sejak tahun!948
untuk mengontrol kecoa, rayap, semut, kutu, ngengat dan serangga
lainnya. Pestisida ini bekerja mempengaruhi metabolisme serangga
dan bersifat "abrasive" pada ekso skeleton serangga. Di pasaran, asam
borat tersedia dalam bentuk cairan, serbuk, umpan berbentuk pasta
atau gel. Umpan ini diletakkan pada perangkap dan ditempatkan
dibawah wastafel, kulkas atau kompor. Secara pelan, racun ini akan
membuat dehidrasi dan merusak system imun serangga. Serangga
yang masuk perangkap akan membawa racun pada sarangnya dan
membunuh serangga yang memakannya.
D. Patofisiologi
Insektisida ini bekerja dengan menghambat dan menginaktivasikan
enzim asetilkolinesterase. Enzim ini secara normal menghancurkan
asetilkolin yang dilepaskan oleh susunan saraf pusat, gangglion autonom,
ujung-ujung saraf parasimpatis, dan ujung-ujung saraf motorik. Hambatan
asetilkolinesterase menyebabkan tertumpuknya sejumlah besar asetilkolin
pada tempat-tempat tersebut.
Asetilkholin itu bersifat mengeksitasi dari neuron neuron yang
ada di post sinaps, sedangkan asetilkolinesterasenya diinaktifkan, sehingga
tidak terjadi adanya katalisis dari asam asetil dan kholin. Terjadi
akumulasi dari asetilkolin di sistem saraf tepi, sistem saraf pusatm
neomuscular junction dan sel darah merah, Akibatnya akan menimbulkan
hipereksitasi secara terus menerus dari reseptor muskarinik dan nikotinik.
Dampak terbanyak dari kasus ini adalah pada sistem saraf pusat
yang akan mengakibatkan penurunan tingkat kesadaran dan depresi
pernapasan. Fungsi kardiovaskuler mungkin juga terganggu, sebagian
karena efek toksik langsung pada miokard dan pembuluh darah perifer,
dan sebagian lagi karena depresi pusat kardiovaskular di otak. Hipotensi
yang terjadi mungkin berat dan bila berlangsung lama dapat menyebabkan
kerusakan ginjal, hipotermia terjadi bila ada depresi mekanisme
pengaturan suhu tubuh. Gambaran khas syok mungkin tidak tampak
karena adanya depresi sistem saraf pusat dan hipotermia, Hipotermia yang
terjadi akan memperberat syok, asidemia, dan hipoksia.
G. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan khusus, misalnya pengukuran kadar AChE dalam sel
darah merah dan plasma, penting untuk memastikan diagnosis
keracunan akut maupun kronik.
a) Keracunan akut :
1) Ringan 40 70 % N
2) Sedang 20 % N
3) Berat < 20 % N
b) Keracunan kronik : bila kadar AChE menurun sampai 25 50 %,
setiap individu yang berhubungan dengan insektisida ini harus
segera disingkirkan dan baru diizinkan bekerja kembali bila kadar
AChE telah meningkat > 75 % N.
3. Pemeriksaan PA
Pada keracunan acut, hasil pemeriksaan patologi biasanya tidak
khas. Sering hanya ditemukan edema paru, dilatasi kapiler, hiperemi
paru,otak dan organ-oragan lainnya.
H. Penatalaksanaan
1) Survey Primer
1) Resusitasi (ABCD).
1) Airway
Periksa klancaran jalan napas, gangguan jalan napas sering
terjadi pada klien dengan keracunan baygon, botulisme karena
klien sering mengalami depresi pernapasan seperti pada klien
keracunan baygon, botulinun. Usaha untuk kelancaran jalan
napas dapat dilakukan dengan head tilt chin lift/jaw
trust/nasopharyngeal airway/ pemasangan guedal.
Cegah aspirasi isi lambung dengan posisi kepala pasien
diturunkan, menggunakan jalan napas orofaring dan pengisap.
Jika ada gangguan jalan napas maka dilakukan penanganan
sesuai BHD (bantuan hidup dasar). Bebaskan jalan napas dari
sumbatan bahan muntahan, lender, gigi palsu, pangkal lidah dan
lain-lain. Kalau perlu dengan Oropharyngealairway, alat
penghisap lendir. Posisi kepala ditengadahkan (ekstensi), bila
perlu lakukan pemasangan pipa ETT.
2) Breathing = pernapasan.
Kaji keadekuatan ventilasi dengan observasi usaha ventilasi
melalui analisa gas darah atau spirometri. Siapkan untuk
ventilasi mekanik jika terjadi depresi pernpasan. Tekanan
ekspirasi positif diberikan pada jalan napas, masker kantong
dapat membantu menjaga alveoli tetap mengembang. Berikan
oksigen pada klien yang mengalami depresi pernapasan, tidak
sadar dan syock. Jaga agar pernapasan tetap dapat berlangsung
dengan baik.
3) Circulation
Jika ada gangguan sirkulasi segera tangani kemungkinan
syok yang tepat, dengan memasang IV line, mungkin ini
berhubungan dengan kerja kardio depresan dari obat yang
ditelan, pengumpulan aliran vena di ekstremitas bawah, atau
penurunan sirkulasi volume darah, sampai dengan meningkatnya
permeabilitas kapiler. Kaji TTV, kardiovaskuler dengan
mengukur nadi, tekanan darah, tekanan vena sentral dan suhu.
Stabilkan fungsi kardioaskuler dan pantau EKG.
4) Disability (evaluasi neurologis)
Pantau status neurologis secara cepat meliputi tingkat
kesadaran dan GCS, ukuran dan reaksi pupil serta tanda-tanda
vital. Penurunan kesadaran dapat terjadi pada klien keracunan
alcohol dan obat-obatan. Penurunan kesadaran dapat juga
disebabkan karena penurunan oksigenasi, akibat depresi
pernapasan seperti pada klien keracunan baygon, botulinum.
2) Survey Sekunder
Kaji adanya bau baygon dari mulut dan muntahan, sakit
kepala, sukar bicara, sesak nafas, tekanan darah menurun, kejang-
kejang, gangguan penglihatan, hypersekresi hidung, spasme laringks,
brongko kontriksi, aritmia jantung dan syhock.
Langkah selanjutnya setelah survey primer (resusitasi) dan
survey skunder adalah sebagai berikut :
1. Dekontaminasi
Merupakan terapi intervensi yang bertujuan untuk menurunkan
pemaparan terhadap racun, mengurangi absorpsi dan mencegah
kerusakan. Ada beberapa dekontaminasi yang perlu dilakukan yaitu:
a. Dekontaminasi pulmonal
Dekontaminasi pulmonal berupa tindakan menjauhkan korban dari
pemaparan inhalasi zat racun, monitor kemungkinan gawat napas dan
berikan oksigen 100% dan jika perlu beri ventilator.
b. Dekontaminasi mata
Dekontaminasi mata berupa tindakan untuk membersihkan mata
dari racun yaitu dengan memposisikan kepala pasien ditengadahkan
dan miring ke posisi mata yang terburuk kondisinya. Buka kelopak
matanya perlahan dan irigasi larutan aquades atau NaCL 0,9%
perlahan sampai zat racunnya diperkirakan sudah hilang.
c. Dekontaminasi kulit (rambut dan kuku)
Tindakan dekontaminasi paling awal adalah melepaskan pakaian,
arloji, sepatu dan aksesoris lainnnya dan masukkan dalam wadah
plastik yang kedap air kemudian tutup rapat, cuci bagian kulit yang
terkena dengan air mengalir dan disabun minimal 10 menit
selanjutnya keringkan dengan handuk kering dan lembut.
d. Dekontaminasi gastrointestinal
Penelanan merupakan rute pemaparan yang tersering, sehingga
tindakan pemberian bahan pengikat (karbon aktif), pengenceran atau
mengeluarkan isi lambung dengan cara induksi muntah atau aspirasi
dan kumbah lambung dapat mengurangi jumlah paparan bahan toksik.
2. Eliminasi
Tindakan eliminasi adalah tindakan untuk mempercepat
pengeluaran racun yang sedang beredar dalam darah, atau dalam
saluran gastrointestinal setelah lebih dari 4 jam. Langkah-langkahnya
meliputi :
a. Emesis, merangsang penderita supaya muntah pada penderita yang
sadar atau dengan pemberian sirup ipecac 15 30 ml. Dapat diulang
setelah 20 menit bila tidak berhasil.
b. Katarsis, (intestinal lavage), dengan pemberian laksan bila diduga
racun telah sampai diusus halus dan besar.
c. Kumbah lambung atau gastric lavage, pada penderita yang
kesadarannya menurun, atau pada penderita yang tidak kooperatif.
Hasilnya paling efektif bila kumbah lambung dikerjakan dalam 4 jam
setelah keracunan.
Emesis, katarsis dan kumbah lambung sebaiknya hanya
dilakukan bila keracunan terjadi kurang dari 4-6 jam. pada koma
derajat sedang hingga berat tindakan kumbah lambung sebaiknya
dukerjakan dengan bantuan pemasangan pipa endotrakeal
berbalon,untuk mencegah aspirasi pnemonia.
3. Antidotum
Pada kebanyakan kasus keracunan sangat sedikit jenis racun yang
ada obat antidotumnya dan sediaan obat antidot yang tersedia secara
komersial sangat sedikit jumlahnya. Salah satu antidotum yang bisa
digunakan adalah Atropin sulfat (SA) yang bekerja menghambat efek
akumulasi AKH pada tempat penumpukannya.
Adapun prosedurnya adalah sebagai berikut :
a. Pengobatan Pada pasien yang sadar :
1. Kumbah lambung
2. Injeksi sulfas atropin 2 mg (8 ampul) Intra muscular
3. 30 menit kemudian berikan 0,5 mg SA (2 ampul) IM, diulang tiap
30 menit sampai terjadi artropinisasi.
4. Setelah atropinisasi tercapai, diberikan 0,25 mg SA (1 ampul) IM
tiap 4 jam selama 24 jam .
b. Pada pasien yang tidak sadar
1) Injeksi sulfus Atropin 4 mg intra vena (16 ampul)
2) 30 menit kemudian berikan SA 2 mg (8 ampul) IM, diulangi setiap
30 menit sampai klien sadar.
3) Setelah klien sadar, berikan SA 0,5 mg (2 ampul) IM sampai
tercapai atropinisasi, ditandai dengan midriasis, fotofobia, mulut
kering, takikardi, palpitasi, dan tensi terukur.
4) Setelah atropinisasi tercapai, berikan SA 0,25 mg (1 ampul) IM tiap
4 jam selama 24 jam.
c. Pada Pasien Anak
1. Lakukan tindakan cuci lambung atau membuat klien muntah.
2. Berikan nafas buatan bila terjadi depresi pernafasan dan bebaskan
jalan nafas dari sumbatan sumbatan.
3. Bila racun mengenai kulit atau mukosa mata, bersihkan dengan air.
4. Atropin dapat diberikan dengan dosis 0,015 0,05 mg / Kg BB
secara intra vena dan dapat diulangi setiap 5 10 menit sampai
timbul gejala atropinisasi. Kemudian berikan dosis rumat untuk
mempertahankan atropinisasi ringan selama 24 jam.
5. Protopan dapat diberikan pada anak dengan dosis 0,25 gram secara
intra vena sangat perlahan lahan atau melalui IVFD
6. Pengobatan simtomatik dan suportif.
PENUTUP
1. Kesimpulan
Intoksikasi (keracunan) adalah masuknya zat atau senyawa kimia
dalam tubuh manusia yang menimbulkan efek merugikan pada yang
menggunakannya. Istilah peptisida pada umumnya dipakai untuk semua
bahan yang dipakai manusia untuk membasmi hama yang merugikan
manusia, terutama insektisida.
Semua insektisida adalah toksik, yang berbeda hanya derajat
toksisitasnya. Pajanan terhadap insektisida yang berlebihan, dalam jangka
panjang dapat berakibat buruk pada kesehatan. Pada rumah tangga,
insektisida yang digunakan secara terus menerus, dalam ruangan tertutup,
memungkinkan terjadinya akumulasi. Terjadinya akumulasi ini tergantung
antara lain dari formulasi insektisida, rute/jalan masuk pajanan insektisida,
sikap/perilaku pengguna insektisida.
Penggunaan insektisida rumah tangga akan aman jika insektisida
diperlakukan dengan bijak. Keracunan akut maupun kronis insektisida
rumah tangga dapat dihindari dengan tidak menggunakan insektisida
berlebihan dan sikap perilaku yang baik dari pengguna insektisida dengan
mematuhi petunjuk keamanan yang tertera pada label.
2. Saran
Sebaiknya rumah tangga tidak menggunakan insektisida setiap
hari. Agar tidak terjadi akumulasi maka harus ada jeda waktu beberapa
hari dalam sebulan untuk tidak menggunakan insektisida. Selain itu juga
harus ada pengenalan terhadap golongan pestisida, tingkat toksisitas
pestisida, serta cara pencegahan keracunan juga harus dilakukan, tentunya
agar dapat meminimalisir tingkat keracunan akibat insektisida.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Rusepno, dkk. 2000. Buku Kuliah 3 Ilmu Kesehatan Anak. Infomedika :
Jakarta