Anda di halaman 1dari 20

TUGAS TOKSIKOLOGI

“Toksikologi Insektisida”
Dosen : Annisa Farida Muti, S. Farm. MSc., Apt.

Disusun Oleh :

1. M Azhar Muharam 14330150


2. Miftahul Jannah 14330143
3. Nurul Fadhilah 14330147
4. Masroroh Hayatun 14330148
5. Ratu Septi Prianti 14330150
6. Nelly Veronika Silitonga 15330719
7. Dwi Nurmalasari 16330701
8. Cecilia Nova Wahyudiana 16330706
9. Elfridus Beleta Lajar 16330770

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS FARMASI
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
JAKARTA
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya, sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah yang berjudul “Toksikologi
Insektisida”.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini, khususnya kepada Ibu Annisa Farida Muti, S. Farm. MSc., Apt. ,
yang telah memberikan tugas ini. Penulis memperoleh banyak manfaat setelah menyusun
makalah ini.

Diharapkan makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua mengenai
“Toksikologi Insektisida”. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna,
oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu Kami
harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, Kami sampaikan terimakasih. Semoga
Allah SWT senantiasa meridhai hasil usaha kita. Aamiin.

Jakarta, November 2017

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... i

DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................

1.1 Latar Belakang .......................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................1
1.3 Tujuan Penulisan.......................................................................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................

2.1 Pengertian Pestisida .................................................................................1


2.2 Penggolongan Pestisida ...........................................................................1
2.3 Dosis Toksik ..............................................................................................
2.4 Mekanisme Toksisitas..............................................................................1
2.5 Manifestasi Klinik....................................................................................1
2.6 Manajemen Terapi .....................................................................................

BAB III PENUTUP ...............................................................................................

3.1 Kesimpulan ..............................................................................................5

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................6


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dahulu manusia menggunakan pestisida nabati dalam pembasmian hama, namun


sejak ditemukannya diklorodifeniltrikloroetan (DDT) tahun 1939, penggunaan pestisida
nabati sedikit demi sedikit ditinggalkan sehingga manusia beralih ke pestisida kimia. Di
Indonesia pemakaian pestisida rumah tangga mulai meningkat setelah tahun 1970-an.
Sejak itu pestisida menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan rumah tangga
masyarakat kota dan sebagian masyarakat desa. Pengendalian hama dengan pestisida yang
dilakukan secara intensif ternyata menimbulkan dampak yang merugikan, antara lain
terjadinya keracunan baik akut maupun kronis dan pencemaran lingkungan.
Food Agriculture Oganization menyatakan lebih dari 70.000 pestisida beredar di
seluruh dunia dan dipergunakan secara aktif oleh para petani. Penggunaan pestisida dalam
mengatasi organisme pengganggu tanaman telah meluas di Indonesia. Penggunaan
pestisida yang tidak terkendali akan berakibat pada kesehatan petani dan lingkungan. Pada
tahun 2000, penelitian terhadap para pekerja atau penduduk yang memiliki riwayat kontak
pestisida banyak sekali dilakukan di Indonesia. Dari berbagai penelitian tersebut diperoleh
gambaran prevalensi keracunan tingkat sedang hingga berat yaitu antara 8,5%−50%.
Penggunaan pestisida secara global dari jenis-jenis pestisida yang digunakan jika
dipresentasikan yaitu penggunaan herbisida yang paling banyak, kemudian insektisida dan
fungsida. Insektisida adalah pestisida yang paling banyak digunakan di negara maju,
sedangkan fungisida dan herbisida paling banyak digunakan di negara berkembang. Pada
kenyataannya penggunaan pestisida kimia yang tidak rasional dapat menimbulkan dampak
buruk dari segi lingkungan terutama segi kesehatan manusia. Dari segi kesehatan manusia
pestisida kimia dapat meracuni manusia melalui mulut, kulit dan pernafasan yang dapat
menyebabkan kecacatan janin (teratogenik), kanker (karsinogenik), asm, alergi, dan
mempercepat pengapuran tulang.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan pestisida?


2. Apa saja penggolongan pestisida?
3. Berapa dosis toksik dari organofosfat, karbamat, organoklorin, dan pirethrin?
4. Bagaimana mekanisme toksisitas dari organofosfat, karbamat, organoklorin, dan
pirethrin?
5. Apa saja manifestasi klinik dari organofosfat, karbamat, organoklorin, dan pirethrin?
6. Bagaimana manajemen terapi dari organofosfat, karbamat, organoklorin, dan
pirethrin?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Mahasiswa dapat mengetahui pengertian pestisida.


2. Mahasiswa dapat mengetahui penggolongan pestisida.
3. Mahasiswa dapat mengetahui dosis toksik dari organofosfat, karbamat, organoklorin,
dan pirethrin.
4. Mahasiswa dapat mengetahui mekanisme toksisitas dari organofosfat, karbamat,
organoklorin, dan pirethrin.
5. Mahasiswa dapat mengetahui manifestasi klinik dari organofosfat, karbamat,
organoklorin, dan pirethrin.
6. Mahasiswa dapat mengetahui manajemen terapi dari organofosfat, karbamat,
organoklorin, dan pirethrin.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Pestisida

Pestisida berasal dari kata “pest” yang berarti hama dan sida yang berasal dari kata
“cide” berarti pembunuh. Pestisida dapat diartikan secara sederhana sebagai pembunuh
hama. Secara umum pestisida dapat didefenisikan sebagai bahan yang digunakan untuk
mengendalikan populasi jasad yang dianggap sebagai pest (hama) yang secara langsung
maupun tidak langsung merugikan kepentingan manusia. Pengertian pestisida menurut
Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1973 dalam Kementrian Pertanian dan Permenkes RI
No.258/Menkes/Per/III/1992 adalah semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik dan
virus yang dipergunakan untuk:

1. Memberantas atau mencegah hama dan penyakit yang merusak tanaman, bagian-
bagiantanaman atau hasil-hasil pertanian
2. Memberantas rerumputan
3. Mengatur atau merangsang pertumbuhan yang tidak diinginkan
4. Memberantas atau mencegah hama-hama luar pada hewan peliharaan atau ternak
5. Memberantas atau mencegah hama-hama air
6. Memberantas atau mencegah binatang-binatang dan jasad-jasad renik dalam
bangunanrumah tangga alat angkutan, dan alat-alat pertanian
7. Memberantas atau mencegah binatang-binatang yang dapat menyebabkan
penyakit pada manusia dan binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan
tanaman, tanahdan air.

2.2 Penggolongan Pestisida

A. Berdasarkan Sasaran
 Insektisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia yang bisa
mematikan semua jenis serangga. Contohnya Lebaycid, Lirocide 650 EC,
Thiodan, Sevin, Sevidan 70 WP, Tamaron
 Fungisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun dan bisa
digunakan untuk memberantas dan mencegah fungsi/cendawan. Contohnya
Benlate, Dithane M-45 80P, Antracol 70 WP, Cupravit OB 21, Delsene MX
200, Dimatan 50 WP.
 Bakterisida. Disebut bakterisida karena senyawa ini mengandung bahan aktif
beracun yang bisa membunuh bakteri. Contohnya Agrept, Agrimycin, Bacticin,
Tetracyclin, Trichlorophenol Streptomycin.
 Nermatisida, digunakan untuk mengendalikan nematoda. Contohnya Nemacur,
Furadan, Basamid G, Temik 10 G, Vydate.
 Akarisida atau mitisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia yang
digunakan untuk membunuh tungau, caplak dan laba-laba. Contohnya
Kelthene MF dan Trithion 4 E.
 Rodenstisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun yang
digunakan untuk mematikan berbagai jenis binatang pengerat, misalnya tikus.
Contohnya Kelthene MF dan Trithion 4 E.
 Moluskisida adalah pestisida untuk membunuh moluska, yaitu : siput, bekicot
serta tripisan yang banyak dijumpai di tambak. Contohnya Morestan, PLP,
Brestan 60.
 Herbisida adalah senyawa kimia beracun yang dimanfaatkan untuk membunuh
tumbuhan pengganggu yang disebut gulma. Contohnya Gramoxone, Basta 200
AS, Basfapon 85 SP, Esteron 45 P.
B. Berdasarkan Bahan Aktif
 Organoklorin (Chlorinated Hydrocarbon)
Organoklorin merupakan racun terhadap susunan saraf (neuro toxins)
yang merangsang sistem saraf baik pada serangga maupun mamalia,
menyebabkan tremor dan kejang-kejang. Contoh : DDT
 Organofosfat (Organophosphates)
Organofosfat umumnya adalah racun pembasmi serangga yang paling
toksik secara akut terhadap binatang bertulang belakang seperti ikan, burung,
kadal (cicak) dan mamalia, mengganggu pergerakan otot dan dapat
menyebabkan kelumpuhan.
 Karbamat (Carbamat)
Sama dengan organofosfat, pestisida jenis karbamat menghambat
enzimenzim tertentu, terutama cholinesterase dan mungkin dapat memperkuat
efek toksik dari efek bahan racun lain. Karbamat pada dasarnya mengalami
proses penguraian yang sama pada tanaman, serangga dan mamalia. Pada
mamalia karbamat dengan cepat diekskresikan dan tidak terbio konsentrasi
namun bio konsentrasi terjadi pada ikan. Misal : Baygon, Sevin dan Isolan.
 Pirethrin
Pirethrin merupakan salah satu insektisida tertua di dunia dan terdiri dari
beberapa campuran ester pirethin yang diektraksi dari bunga (genus
Chrysantemum). Jenis pirethrin yang relatif stabil terhadap sinar matahari
adalah deltametrin, permetrin, fenvlerate. Sedangkan yang tidak stabil terhadap
sinar matahari dan sangat beracun bagi serangga adalah difetrin, sipermetrin,
fluvalinate, siflutrin, fenpropatrin, tralometrin, sihalometrin, flusitrinate.
Pirethrin mempunyai toksisitas rendah pada manusia tetapi menimbulkan
alergi pada orang yang peka, dan mempunyai keunggulan yaitu dapat
diaplikasikan dengan takaran yang relatif sedikit, spekrum pengendaliannya
luas, dan memiliki efek melumpuhkan yang sangat baik.
 Kelompok lain
Berhubungan dengan tumbuh-tumbuhan, terdiri dari berbagai urutan
senyawa yang diproduksi secara alami oleh tumbuh-tumbuhan. Produk
tumbuhan yang secara alami merupakan pestisida yang sangat efektif dan
beberapa (seperti nikotin, rotenon ekstrak pyrenthrum, kamper dan terpentium)
sudah dipergunakan oleh manusia untuk tujuan ini sejak beberapa ratus tahun
yang lalu.

2.3 Dosis Toksik

A. Dosis Toksik Organofosfat


Ada spektrum potensial relatif senyawa organofosfat (Tabel I). Tingkat
keparahan dan tempo keracunan juga dipengaruhi oleh tingkat paparan (akut versus
kronis), degradasi metabolik dan eliminasi agen yang sedang berlangsung.
Table I. Organofosfat
Toksisitas Rendah Toksisitas Sedang Toksisitas Tinggi
(LD50 > 1000 mg/kg) (LD50 50–1000 mg/kg) (LD50 < 50 mg/kg)
Bromophos Acephate Azinphos-methyl
Etrimfos Bensulide Bomyl
Iodofenphos (jodfenphos) Chlorpyrifos Carbophenothion
Malathion Crotoxyphos Chlorfenvinphos
Phoxim Cyanophos Chlormephos
Primiphos-methyl Cythioate Coumaphos
Propylthiopyrophosphate DEF Cyanofenphos
Temephos Demeton-S-methyl Demeton
Tetrachlorvinphos Diazinon Dialifor
Dichlofenthion Dicrotophos
Dichlorvos (DDVP) Disulfoton
Dimethoate EPN
Edifenphos Famphur
EPBP Fenamiphos
Ethion Fenophosphon
Ethoprop Fensulfothion
Fenthion Fonofos
Fenitrothion Isofenphos
Formothion Isofluorphate
Heptenophos Mephosfolan
IBP (Kitacin) Methamidophos
Isoxathion Methidathion
Leptophos Mevinphos
Methyl trithion Monocrotophos
Naled Parathion
Oxydemeton-methyl Phorate
Oxydeprofos Phosfolan
Phencapton Phosphamidon
Phenthoate Prothoate
Phosalone Schradan
Phosmet Sulfotep
Pirimiphos-ethyl Terbufos
Profenofos Tetraethylpyrophosphate
Propetamphos Triorthocresylphosphate
Pyrazophos
Pyridaphenthion
Quinalphos
Sulprofos
Thiometon
Triazophos
Tribufos
Trichlorfon

B. Dosis Toksik Karbamat

Tabel II. Karbamat

Toksisitas Rendah Toksisitas Sedang Toksisitas Tinggi


(LD50 > 200 mg/kg) (LD50 50–200 mg/kg) (LD50 < 50 mg/kg)

BPMC (Fenocarb) Benfuracarb Aldicarb


Carbaryl Bufencarb Aldoxycarb
Ethiofencarb Carbosulfan Aminocarb
Isoprocarb Dioxacarb Bendiocarb
MPMC (Meobal) Propoxur Carbofuran
MTMC (Metacrate) Pirimicarb Dimetilan
XMC (Cosban) Promecarb Formetanate
Thiodicarb Isolan
Trimethacarb Mecarbam
Methiocarb
Methomyl
Mexacarbate
Oxamyl

C. Dosis Toksik Organoklorin


Dosis toksik akut dari senyawa ini sangat bervariasi, dan laporan keracunan
manusia akut terbatas. Tabel I memberi peringkat toksisitas relatif beberapa senyawa
umum.
Tabel III. Organoklorin
Toksisitas Rendah Toksisitas Sedang Toksisitas Tinggi
( LD50 > 1 g/kg) ( LD50 > 50 mg/kg) (LD50 < 50 mg/kg)
Ethylan (Perthane) Chlordane Aldrin
Hexachlorobenzene DDT Dieldrin
Methoxychlor Heptachlor Endrin
Kepone Endosulfan
Lindane
Mirex
Toxaphene

D. Dosis Toksik Pirethrin


Dosis oral beracun pada mamalia lebih besar dari 100-1000 mg / kg, dan dosis
oral akut yang berpotensi mematikan adalah 10-100 g. Pirethrin tidak diserap dengan
baik di kulit maupun saluran pencernaan. Pirethrin telah digunakan selama bertahun-
tahun sebagai agen anthelmintik oral dengan efek samping minimal selain gangguan
gastrointestinal ringan.

2.4 Mekanisme Toksisitas

A. Mekanisme Toksisitas Organofosfat


Senyawa organofosfat menghambat enzim asetilkolinesterase (AChE) yang
ditemukan dipersimpangan sinapsis, sel darah merah dan butyrylcholinesterase
(pseudocholinesterase atau plasma cholinesterase) dalam darah. Blokade AChE
menyebabkan akumulasi asetilkolin yang berlebihan pada reseptor muskarinik (sel
efusi kolinergik), reseptor nikotinik, dan di SSP.
Penghambatan permanen asetilkolinesterase dapat terjadi melalui pengikatan
kovalen oleh organofosfat ke enzim. Senyawa dimetil (misalnya dimetoat) umumnya
lebih cepat dari pada agen dietil (misalnya chlorpyrifos).
B. Mekanisme Toksisitas Karbamat
Karbamat menghambat asetilkolinesterase dan menyebabkan akumulasi
asetilkolin, serupa dengan efek organofosfat. Karbamat juga menyebabkan reaktivasi
enzim asetilkolinesterase lebih cepat. Toksisitas biasanya singkat dan terbatas pada diri
sendiri. Aldicarb adalah karbamat penting karena relatif lebih manjur dan ditranslokasi
secara sistemik oleh tanaman tertentu (misalnya melon) dan terkonsentrasi pada
buahnya. Sebagian besar karbamat dapat diserap oleh rute inhalasi, oral, dan dermal.
C. Mekanisme Toksisitas Organoklorin
Organoklorin adalah neurotoksin yang mengganggu transmisi impuls saraf,
terutama di otak, mengakibatkan perubahan perilaku, aktivitas otot tak sadar, dan
depresi pusat pernafasan. Mereka mungkin juga menyadarkan miokardium terhadap
efek aritmogenik katekolamin, dan banyak dapat menyebabkan luka hati atau ginjal,
kemungkinan karena pembentukan metabolit toksik. Selain itu, beberapa organoklorin
dapat bersifat karsinogenik.
D. Mekanisme Toksisitas Pirethrin
Pada serangga, pirethrin dengan cepat menyebabkan kematian dengan
melumpuhkan sistem saraf melalui gangguan sistem transport ion membran pada akson
saraf, dan memperlambat masuknya sodium. Mamalia umumnya mampu
memetabolisme senyawa ini dengan cepat dan dengan demikian membuat mereka tidak
berbahaya.

2.5 Manifestasi Klinik

A. Manifestasi Klinik Organofosfat


 Ekskresi saliva berlebihan
 Lacrimation
 Diaphoresis
 Gangguan gastrointestinal
 Emesis
 Bronkospasme
 Penglihatan kabur
 Bradikardia atau takikardia
 Hipotensi
B. Manifestasi Klinik Karbamat
 Pupil atau mata menyempit
 Penglihatan kabur
 Mata berair
 Mulut berbusa
 Ekskresi saliva berlebihan
 Sakit kepala
 Detak jantung sangat cepat
 Mual
 Muntah-muntah
 Diare
 Lumpuh
C. Manifestasi Klinik Organoklorin
 Mual
 Muntah
 Parestesia di lidah, bibir, dan wajah
 Gemetar
 Koma
 Kejang
 Depresi pernapasan
 Aritmia
 Asidosis metabolik
D. Manifestasi Klinik Pirethrin
 Bronkospasme
 Edema orofaring
 Memicu asma
 Kulit terbakar
 Kesemutan
 Eritema
 Cedera kornea
 Kejang
 Koma
 Gangguan saluran pernapasan
2.6 Manajemen Terapi

A. Manajemen Terapi Organofosfat


 Tindakan darurat dan suportif
Penyelamat dan penyedia layanan kesehatan harus mengambil tindakan
untuk mencegah kontak langsung dengan kulit atau pakaian korban yang
terkontaminasi, karena kontaminasi sekunder dan penyakit serius dapat terjadi,
terutama dengan pestisida atau agen saraf yang ampuh.
 Pertahankan jalan nafas terbuka dan bantu ventilasi jika perlu (lihat Airway).
Perhatikan baik-baik kelemahan otot pernafasan karena penangkapan
pernapasan mendadak dapat terjadi. Hal ini sering didahului dengan
meningkatnya kelemahan otot fleksi leher. Jika intubasi diperlukan, agen
nondepolarisasi (lihat Pemblokir Neuromuskular) harus digunakan karena
efek suksinilkolin akan diperluas sekunder akibat penghambatan PChE.
Berikan oksigen tambahan.
 Mengobati pneumonitis hidrokarbon (lihat Hidrokarbon), kejang (kejang), dan
koma (koma dan pingsan) jika terjadi. Kejang harus diobati dengan
benzodiazepin seperti diazepam (lihat Benzodiazepin [Diazepam, Lorazepam,
dan Midazolam]).
 Amati pasien asimtomatik paling sedikit 8-12 jam untuk menyingkirkan gejala
onset tertunda, terutama setelah paparan kulit yang luas atau konsumsi agen
yang sangat larut dalam lemak.
 Obat-obatan dan antidot khusus. Pengobatan spesifik meliputi agen antimuscarinic
atropin dan enzim reaktivasi pralidoxime.
 Beri atropin, 0,5-2 mg IV pada awalnya (lihat BAL), kemudian dobaki
dosisnya setiap 5 menit sampai tanda atropinisasi ada (penurunan sekresi dan
wheezing, peningkatan denyut jantung). Indikasi yang paling penting secara
klinis untuk melanjutkan pemberian atropin adalah mengi atau bronkore terus-
menerus. Takikardia bukanlah kontraindikasi terhadap atropin lebih. Catatan:
Atropin akan membalik efek muskarinik tapi tidak nikotinik.
 Pralidoxime (2-PAM, Protopam; lihat Pralidoxime [2-Pam] dan Other
Oximes) adalah obat penawar khusus yang bertindak untuk meregenerasi
aktivitas enzim di semua tempat yang terkena dampak sebelum penuaan.
Oksigen lainnya termasuk obidoksim dan HI-6. Oksik mungkin kurang efektif
melawan senyawa dimetil dibandingkan dengan agen dietil. Sebuah.
Pralidoxime harus diberikan segera untuk membalikkan kelemahan otot dan
fasciculations: 1-2 g dosis bolus awal (20-40 mg / kg pada anak-anak) IV
selama 5-10 menit, dilanjutkan dengan infus kontinu (lihat Pralidoxime [2-
PAM] dan Oximes lainnya). Hal ini paling efektif jika dimulai lebih awal,
sebelum fosforilasi ireversibel enzim, namun mungkin masih efektif jika
diberikan kemudian, terutama setelah terpapar senyawa larut dalam lipid.
Tidak jelas berapa lama terapi oksim harus dilanjutkan, namun tampaknya
masuk akal untuk melanjutkannya selama 24 jam setelah pasien menjadi tidak
menunjukkan gejala.
 Dekontaminasi
Tim penyelamat harus mengenakan pakaian pelindung kimia dan sarung
tangan saat menangani korban yang sangat terkontaminasi. Jika ada
kontaminasi cairan berat dengan pelarut seperti xylene atau toluene,
penghapusan pakaian dan dekontaminasi korban harus dilakukan di luar
ruangan atau di ruangan dengan ventilasi aliran tinggi.
 Kulit : hapus semua pakaian yang terkontaminasi dan cuci area yang terpapar
dengan sabun dan air, termasuk rambut dan di bawah kuku. Airkan mata yang
terpapar dengan air hangat atau air garam yang berlebihan.
 Tertelan : berikan arang aktif secara oral jika kondisinya sesuai (lihat Tabel I-
38). Gastric lavage mungkin tepat segera setelah menelan sedang sampai
besar, namun karena kemungkinan kejang atau status mental yang berubah
dengan cepat, pembilasan sebaiknya dilakukan hanya setelah intubasi.
 Peningkatan eliminasi : dialisis dan hemoperfusi umumnya tidak ditunjukkan
karena volume distribusi organofosfat yang besar.
B. Manajemen Terapi Karbamat
 Tindakan darurat dan suportif
Penyelamat dan penyedia layanan kesehatan harus mengambil tindakan
untuk mencegah kontak langsung dengan kulit atau pakaian korban yang
terkontaminasi, karena kontaminasi sekunder dan penyakit serius dapat terjadi,
terutama dengan pestisida atau agen saraf yang ampuh.
 Pertahankan jalan nafas terbuka dan bantu ventilasi jika perlu (lihat Airway).
Perhatikan baik-baik kelemahan otot pernafasan karena penangkapan
pernapasan mendadak dapat terjadi. Hal ini sering didahului dengan
meningkatnya kelemahan otot fleksi leher. Jika intubasi diperlukan, agen
nondepolarisasi (lihat Pemblokir Neuromuskular) harus digunakan karena
efek suksinilkolin akan diperluas sekunder akibat penghambatan PChE.
Berikan oksigen tambahan.
 Mengobati pneumonitis hidrokarbon (lihat Hidrokarbon), kejang (kejang), dan
koma (koma dan pingsan) jika terjadi. Kejang harus diobati dengan
benzodiazepin seperti diazepam (lihat Benzodiazepin [Diazepam, Lorazepam,
dan Midazolam]).
 Amati pasien asimtomatik paling sedikit 8-12 jam untuk menyingkirkan gejala
onset tertunda, terutama setelah paparan kulit yang luas atau konsumsi agen
yang sangat larut dalam lemak.
 Obat-obatan dan antidot khusus. Pengobatan spesifik meliputi agen antimuscarinic
atropin dan enzim reaktivasi pralidoxime.
 Beri atropin, 0,5-2 mg IV pada awalnya (lihat BAL), kemudian dobaki
dosisnya setiap 5 menit sampai tanda atropinisasi ada (penurunan sekresi dan
wheezing, peningkatan denyut jantung). Indikasi yang paling penting secara
klinis untuk melanjutkan pemberian atropin adalah mengi atau bronkore terus-
menerus. Takikardia bukanlah kontraindikasi terhadap atropin lebih. Catatan:
Atropin akan membalik efek muskarinik tapi tidak nikotinik.
 Pralidoxime (2-PAM, Protopam; lihat Pralidoxime [2-Pam] dan Other
Oximes) adalah obat penawar khusus yang bertindak untuk meregenerasi
aktivitas enzim di semua tempat yang terkena dampak sebelum penuaan.
Oksigen lainnya termasuk obidoksim dan HI-6. Oksik mungkin kurang efektif
melawan senyawa dimetil dibandingkan dengan agen dietil. Sebuah.
Pralidoxime harus diberikan segera untuk membalikkan kelemahan otot dan
fasciculations: 1-2 g dosis bolus awal (20-40 mg / kg pada anak-anak) IV
selama 5-10 menit, dilanjutkan dengan infus kontinu (lihat Pralidoxime [2-
PAM] dan Oximes lainnya). Hal ini paling efektif jika dimulai lebih awal,
sebelum fosforilasi ireversibel enzim, namun mungkin masih efektif jika
diberikan kemudian, terutama setelah terpapar senyawa larut dalam lipid.
Tidak jelas berapa lama terapi oksim harus dilanjutkan, namun tampaknya
masuk akal untuk melanjutkannya selama 24 jam setelah pasien menjadi tidak
menunjukkan gejala.
 Dekontaminasi
Tim penyelamat harus mengenakan pakaian pelindung kimia dan sarung
tangan saat menangani korban yang sangat terkontaminasi. Jika ada
kontaminasi cairan berat dengan pelarut seperti xylene atau toluene,
penghapusan pakaian dan dekontaminasi korban harus dilakukan di luar
ruangan atau di ruangan dengan ventilasi aliran tinggi.
 Kulit : hapus semua pakaian yang terkontaminasi dan cuci area yang terpapar
dengan sabun dan air, termasuk rambut dan di bawah kuku. Airkan mata yang
terpapar dengan air hangat atau air garam yang berlebihan.
 Tertelan : berikan arang aktif secara oral jika kondisinya sesuai (lihat Tabel I-
38). Gastric lavage mungkin tepat segera setelah menelan sedang sampai
besar, namun karena kemungkinan kejang atau status mental yang berubah
dengan cepat, pembilasan sebaiknya dilakukan hanya setelah intubasi.
 Peningkatan eliminasi : dialisis dan hemoperfusi umumnya tidak ditunjukkan
karena volume distribusi organofosfat yang besar.
C. Manajemen Terapi Organoklorin
 Tindakan darurat dan suportif
 Pertahankan jalan nafas terbuka dan bantu ventilasi jika perlu. Berikan oksigen
tambahan. Karena sebagian besar produk cair diformulasikan dalam pelarut
organik, amati bukti aspirasi paru.
 Pasang monitor elektrokardiografi dan amati pasien paling sedikit 6-8 jam.
 Obat-obatan dan antidot khusus
 Dekontaminasi
 Kulit dan mata : hapus pakaian yang terkontaminasi dan cuci kulit yang
terkena dengan sabun dan air berlebihan, termasuk rambut dan kuku. Airkan
mata yang terpapar dengan air hangat atau air garam yang berlebihan. Tim
penyelamat harus berhati-hati untuk menghindari keterpaparan pribadi.
 Tertelan : berikan arang aktif secara oral jika kondisinya sesuai.
 Peningkatan eliminasi
 Arang aktif atau resin kolestiramin dosis berulang dapat diberikan untuk
meningkatkan eliminasi dengan mengganggu sirkulasi enterohepatik.
 Transfusi pertukaran, dialisis peritoneal, hemodialisis, dan hemoperfusi tidak
mungkin bermanfaat karena volume distribusi bahan kimia ini sangat besar.
D. Manajemen Terapi Pirethrin
 Tindakan darurat dan suportif
 Perlakukan bronkospasme (lihat Bronkospasme) dan anafilaksis (reaksi
anafilaksis dan anafilaktoid) jika terjadi.
 Amati pasien dengan riwayat ingestions besar paling sedikit 4-6 jam untuk
tanda-tanda depresi SSP atau kejang.
 Obat-obatan dan antidot khusus.
 Dekontaminasi
 Terhirup : hapus korban dari paparan dan berikan oksigen tambahan jika
dibutuhkan.
 Kulit : cuci dengan sabun dan air yang berlebihan. Aplikasi topikal vitamin
E dalam minyak sayur dilaporkan anekdot untuk meringankan parestesia.
 Mata : irigasi dengan air yang berlebihan. Setelah irigasi, lakukan
pemeriksaan fluorescein dan rujuk korban ke dokter mata jika ada bukti
adanya cedera kornea.
 Tertelan : pada sebagian besar kasus, dosis subtoksik telah tertelan dan
tidak perlu dilakukan dekontaminasi. Namun, setelah konsumsi kapur
China atau larutan konsentrat yang banyak, berikan arang aktif secara oral
jika kondisinya sesuai. Gastric lavage tidak diperlukan setelah ingestions
kecil sampai sedang jika arang aktif dapat diberikan segera.
 Peningkatan eliminasi : senyawa ini dimetabolisme dengan cepat oleh tubuh, dan
metode elimesorporeal eliminasi tidak diharapkan untuk meningkatkan eliminasi
mereka.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA

Sutikno, S. 1992. Dasar-Dasar Pestisida dan Dampak Penggunaannya. Jakarta: Gramedia


Pustaka Utama.

Olson, K. R. 2006. Poisoning and Drug Overdose, Fifth Edition. USA: Lange Medical Books.

Hudayya, Abdi. 2012. Pengelompokan Pestisida Berdasarkan Cara Kerjanya (Mode of


Action). Bandung: Yayasan Bina Tani Sejahtera.

Anda mungkin juga menyukai