Anda di halaman 1dari 20

BAKTERI ENTOMOPATOGEN

PAPER

OLEH :

KELOMPOK 2

NAHRISA RAHMADHANI 170301028


FARIDA NAZLI 170301032
DARMANTA STEVANUS PINEM 170301035
TIURMA BR PANJAITAN 170301037
SHINTA K D SITOHANG 170301045
AJRINA ULYANIY 170301049
RIZKY ZOFIARY 170301052
ADELYA IFANNY I SIREGAR 170301063

MATA KULIAH PENGENDALIAN HAYATI


PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2020
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat

rahmat dan hidayahnya, penulis dapat menyelesaikan paper ini tepat pada

waktunya.

Adapun judul dari paper ini adalah “Bakteri Entomopatogen” yang

merupakan salah satu syarat untuk dapat memenuhi komponen penilaian di Mata

Kuliah Pengendalian Hayati Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Dosen

Mata Kuliah Pengendalian Hayati, yaitu: Prof. Dr. Dra Maryani Cyccu Tobing,

MS yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan paper ini.

Penulis menyadari bahwa paper ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena

itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Akhir kata

penulis ucapkan terima kasih.

Medan, Februari 2020

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................i

DAFTAR ISI........................................................................................................ii

PENDAHULUAN
Latar Belakang.............................................................................................1
Tujuan Penulisan..........................................................................................3
Kegunaan Penulisan.....................................................................................3

TINJAUAN PUSTAKA
Bacillus thuringiensis...................................................................................3
1.1............................................................................................................
Mekanisme Infeksi............................................................................3
1.2............................................................................................................
Gejala Serangan.................................................................................4
Yersinia entomophaga..................................................................................6
2.1 Mekanisme Infeksi............................................................................7
2.2. Gejala Serangan................................................................................8
Xenorhabdus dan Photorhabdus..................................................................9
3.1. Mekanisme Infeksi...........................................................................9
3.2. Gejala Serangan................................................................................11
Brevibacillus brevis .....................................................................................12
4.1. Mekanisme Infeksi...........................................................................13
4.2. Gejala Serangan................................................................................13

KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Salah satu alternatif pengendalian hama yang aman bagi lingkungan dan

dapat menekan residu kimia pada produk pertanian adalah dengan pengendalian

hayati. Pengendalian hayati merupakan suatu teknik pengendalian organisme

pengganggu tanaman dengan memanfaatkan potensi keanekaragaman jenis agens

pengendali alami untuk mengelola organisme pengganggu tanaman agar tidak

mencapai batas populasi yang merugikan. Pengendali hayati (agens hayati) yang

mempunyai potensi besar sebagai pengendali alami hama termasuk dalam

golongan bakteri, jamur dan nematoda entomopatogen (Wardati et al., 2013).

Dalam penerapan pengendalian hama, salah satu komponen pengendalian

yang perlu dikembangkan dewasa ini adalah penggunaan musuh alami, dan

musuh alami yang akhir-akhir ini mendapat perhatian yang cukup besar adalah

mikroorganisme patogenik berupa cendawan, bakteri ,virus dan nematoda patogen

serangga. Entomopatogen adalah patogen yang mempunyai prospek bagus untuk

pengendalian hama, dan telah dimanfaatkan secara luas dalam pengendalian

hayati berbagai jenis hama karena dianggap murah, mudah dilaksanakan dan

aman terhadap lingkungan. Lebih dari 200 spesies serangga yang tergolong dalam

tujuh ordo serangga dapat berperan sebagai inang entomopatogen dalam kondisi

alami. Dan penggunaan entomopatogen ini menjadi harapan untuk dikembangkan

dimasa mendatang, karena patogenik, murah dan mudah, dan berwawasan

lingkungan (Sunardi et al., 2013).


Virus, bakteri, jamur, nematoda dan protozoa dapat berperan sebagai

patogen serangga. Berbagai mikrobia ini mempunyai cara infeksi, lokasi replikasi

dan mekanisme patogenisitas yang spesifik. Beberapa mikrobia mempunyai

kisaran serangga inang sasaran yang luas namun ada pula yang mempunyai

kisaran serangga inang sempit . Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh patogen

yang akan digunakan sebagai agen pengendali hayati antara lain : 1) Mempunyai

virulensi yang tinggi terhadap serangga target di lapangan. 2) Tidak berbahaya

terhadap spesies non-target termasuk serangga yang bermanfaat dan vertebrata. 3)

Mudah diproduksi dan dapat disimpan dalam waktu yang lama tanpa mengurangi

virulensinya. 4) Mempunyai aktivitas yang cepat untuk menyerang serangga

target. 5) Tahan terhadap faktor-faktor lingkungan yang merugikan seperti sinar

matahari, panas, kelembaban dan perubahan pH (Salaki dan Langkah, 2009).

Pengendalian hayati dengan menggunakan mikroba-mikroba antagonis

memiliki beberapa keunggulan antara lain ramah lingkungan, tidak

membahayakan makhluk hidup, biaya yang tidak mahal dan dapat memperoleh

hasil pertanian yang aman bagi manusia dan makhluk hidup lainnya. Mikroba-

mikroba ini dapat mengendalikan patogen penyebab penyakit dengan cara

kompetisi, menghasilkan antibiotik, mendegradasi dinding sel patogen dan

meningkatkan ketahanan tanaman (Khamid dan Siti, 2018).

Di antara bakteri yang bersifat patogenik terhadap serangga, strain anggota

spesies Bacillus thuringiensis merupakan salah satu agensia hayati yang paling

menonjol dan potensial. B. thuringiensis mempunyai kemampuan membentuk

badan inklusi parasporal sewaktu bersporulasi. Dalam badan inklusi parasporal ini

diakumulasikan δ-endotoksin. Bila termakan oleh larva serangga yang peka, δ-


endotoksin yang berupa protoksin ini dalam saluran pencernaan insekta yang

berlingkungan basa diubah menjadi toksin aktif. Saluran pencernaan larva

serangga juga mengandung protease yang berperan dalam pengubahan toksin

menjadi toksin aktif. Selain itu, protease mengubah daya ikat reseptor dalam

saluran pencernaan sehingga toksin dapat berikatan dengan reseptor untuk

memulai daya toksiknya (Salaki dan Langkah, 2009).

Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui mekanisme

infeksi dan gejala serangan dari penggunaan bakteri entomopatogen dalam

mengendalikan serangan hama pada tanaman.

Kegunaan Penulisan

Adapun kegunaan dari penulisan ini adalah untuk memenuhi komponen

penilaian pada mata kuliah Pengendalian Hayati Program Studi Agroteknologi

Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Serta sebagai sumber informasi

bagi pihak yang membutuhkan.


TINJAUAN PUSTAKA

Bacillus thuringiensis

B. thuringiensis pertama kali diisolasi oleh Ishiwata pada tahun 1902 dari

ulat sutera sakit dan kemudian dinamainya Sotto disease bacillus. B.

thuringhiensis merupakan agensia yang mempunyai daya toksisitas terhadap

berbagai serangga karena organisme ini menghasilkan toksin selama sporulasi.

Bahan aktif yang mempunyai aktivitas larvisidal ini adalah δ-endotoksin yaitu

suatu protein yang terkandung dalam inklusi parasporal. Daya kerja δ-endotoksin

terletak pada kristal protein (Salaki dan Langkah, 2009).

Gambar 1. Bacillus thuringiensis perbesaran 100 x 10


Bacillus thuringiensis mempunyai sel vegetative berbentuk batang dengan

ukuran panjang 3-5 mm dan lebar 1-1,2 mm. Selain itu, Bt mempunyai flagella

dan bersifat gram positif yang dapat tumbuh pada media buatan dengan suhu

untuk pertumbuhan berkisar antara 150-400C. Sekitar 95% Kristal terdiri dari asam
glutamat, asam aspartat dan arginin, sedangkan 5% terdiri dari karbohidrat yaitu

mannose dan glukosa (Muharsini et al., 2003).

Pengelompokan serangga ke dalam tiga tipe berdasarkan kerentanannya

terhadap B. thuringiensis. Tipe I adalah spesies yang mati karena toksin dan

serangga mengalami general paralysis dan ada kenaikan pH darah sebesar 1.0-1,5

unit, contohnya adalah Bombyx mori, Manduca Sexta dan larva nyamuk. Tipe II,

serangga tidak mengalami general paralysis dan serangga mati tanpa adanya

perubahan pH darah. Sebagian besar larva Lepidoptera masuk ke dalam kelompok

ini. Tipe III, serangga tidak mengalami general paralysis dan serangga mati tidak

hanya disebabkan oleh kristal saja tetapi juga membutuhkan adanya spora,

contohnya Anagasta kuehniella dan Galleria mellonella (Wardati et al., 2013).

1.1. Mekanisme Infeksi

Bt memiliki kristal parasporal di dalam tubuhnya. Kristal protein ini

terbentuk oleh protein Cry yang membentuk kristal yang bersifat toksin terhadap

serangga dan dapat larut dalam air serta termasuk ke dalam kelompok δ-

endotoksin bakteri. Parasporal kristal Bt yang masuk ke dalam tubuh serangga uji

akan melewati saluran pencernaan serangga. Kristal protein akan teraktivasi oleh

lingkungan basa di dalam saluran pencernaan menjadi protein δ-endotoksin atau

protoksin. Protoksin akan menjadi toksin apabila teraktivasi oleh enzim protease

serangga dan terikat secara spesifik pada reseptor di saluran pencernaan. Toksin

Cry yang menempel pada peritropik membran dapat melukai hingga

menyebabkan kebocoran sitoplasma sehingga menyebabkan kematian (Krishanti

et al., 2017).
Toksisitas B. thuringiensis terhadap serangga dipengaruhi oleh strain

bakteri dan spesies serangga yang terinfeksi. Faktor pada bakteri yang

mempengaruhi toksisitasnya adalah struktur kristalnya, yang pada salah satu strain

mungkin mempunyai ikatan yang lebih mudah dipecah oleh enzim yang

dihasilkan serangga dan ukuran molekul protein yang menyusun kristal, serta

susunan molekul asam amino dan kandungan karbohidrat dalam kristal (Wardati

et al., 2013).

1.2. Gejala Serangan

Tanda-tanda awal serangan bakteri pada serangga berhubungan dengan

aktivitas makan dan pengolahan bahan makanan. Pada tahap awal aktivitas makan

serangga menurun, bahkan dapat terhenti. Gejala muntah (keluarnya cairan dari

mulut serangga) dan diare (faeces atau kotoran serangga tidak normal seperti

padatan) dapat diamati. Pada saluran makanan dapat terjadi paralysis. Serangga

juga menunjukkan penurunan aktivitas gerakan, serangga menjadi lemah dan

kurang tanggap terhadap sentuhan. Pada infeksi lebih lanjut, paralysis dapat

terjadi pada seluruh tubuh dan diikuti oleh septisemi dan berakhir dengan

kematian serangga, dengan kondisi tubuh serangga lunak dan berisi lendir yang

merupakan massa bakteri. Kematian larva sudah mulai terjadi satu hari setelah

aplikasi B. thuringiensis dan persentase kematian meningkat sampai lima hari

setelah aplikasi (Wardati et al., 2013).


Gambar 2. Gejala Serangan Serangga Terinfeksi Bt
Gejala serangan yang terlihat pada Spodoptera litura yang telah terserang

oleh Bt yakni : gerakan lamban serta nafsu makan berkurang, kemudian larva

mulai tidak aktif atau mati, Warna tubuh hijau kecoklatan. Setelah itu tubuh larva

berwarna coklat kehitaman, tubuh lunak serta mengeluarkan cairan dan berbau

busuk. Kemudian larva busuk dan mengering dan berwarna hitam

(Tampubolon et al., 2013).

Gambar 3. Spektrum Inang dari Bt


Yersinia entomophaga

Yersinia entomophaga adalah bakteri yang pada awalnya diisolasi dari

larva kumbang rumput New Zealand (Costelytra zealandica) (Coleoptera:

Scarabaeidae). Y. Entomophaga telah terbukti menjadi patogen terhadap berbagai

jenis serangga lainnya dari ordo coleoptera, lepidoptera dan orthoptera. Penentu

virulensi utama Y. entomophaga adalah toksin kompleks (Tc) yang disebut

Yen-Tc (Hurst et al., 2019).

2.1. Mekanisme Infeksi


Yen-Tc yang mengendalikan Plutella xylostella melalui hilangnya

membran peritrofik dan kerusakan membran basal dalam waktu 24 jam.

Microvilli yang biasanya ditemukan pada luminal sel epitel usus juga tidak ada,

sel-sel tubuh mengelupas Pada 32 jam setelah aplikasi, membran basal sebagian

besar telah menghilang (Landsberg et al., 2011).

Gambar 4. Yen-tc toksin

2.2. Gejala Serangan

Setelah menelan bakteri ini, perubahan pada serangga terjadi dari warna

abu-abu menjadi warna krem dan kemudian coklat mengkilap dalam proses yang

disertai dengan regenerasi, diare akut, dan kemudian kematian serangga dalam 72

jam setelah infeksi (Hurst et al., 2011).

Xenorhabdus dan Photorhabdus

Photorhabdus merupakan bakteri Gram negatif yang secara alami

bersimbiosis dengan nematoda patogen serangga Heterorhabditis. Simbiosis

antara bakteri dan nematoda ini telah lama digunakan sebagai agen pengendalian

hayati untuk serangga hama yang hidup di tanah termasuk kurnbang penggerek

dan lepidoptera (Akhdiya et al., 2007).


P. luminescens sangat patogenik terhadap serangga baik dalam keadaan

bebas maupun bersimbiosis dengan nematoda, disebabkan oleh beberapa produk

ekstraselular yang dikeluarkan oleh bakteri saat memasuki fase stasioner. Produk

ekstraselular itu di antaranya adalah fosfolipase, lipase, protease dan beberapa

antibiotik, kompleks protein toksin (toxin complex) berberat molekul tinggi,

lipopolisakarida (LPS), serta berbagai macam antibodi. Terdapat 3 kelas toksin

insektisidal Photorhabdus yaitu pertama terdiri dari toksin kompleks yang aktif

secara oral terhadap larva serangga hama yang mana toksin jenis ini digunakan

untuk merakit tanaman transgenik. Toksin "Makes caterpillar floppy" merupakan

kelas toksin kedua. Mcf adalah toksin yang aktif bila diinjeksikan ke larva

serangga. Kelas ketiga dan terbaru adalah "Photorhabdus insect-related protein"

(PirAB), kelompok toksin ini bersifat biner karena aktif bila diberikan secara

injeksi maupunoral pada beberapa serangga (Akhdiya et al., 2007).

Bakteri simbion Enterobacteriaceae (Xenorhabdus spp. atau

Photorhabdus luminescens) yang tersimpan di dalam saluran pencernaan

nematoda dari genus Steinernema dan Heterorhabditis. Bakteri berbiak,

membunuh serangga dengan menyebabkan keracunan darah (septicemia)

sekaligus menyediakan kondisi yang sesuai untuk pertumbuhan dan reproduksi

nematoda di dalam tubuh serangga (Chaerani et al., 2007).

3.1. Mekanisme Infeksi

Fungsi bakteri simbion adalah ; (1) membunuh inang dengan cepat (24-48

jam), (2) membuat suasana lingkungan yang cocok bagi perkembangan nematoda

patogen dengan memproduksi antibiotik yang dapat menghambat mikroorganisme


sekunder, dan (3) menyediakan sumber nutrisi yang siap pakai untuk NPS

(Paster et al., 2018).

Nematoda masuk ke dalam pencernaan serangga uji dan menginfeksi

saluran pencernaannya. Proses infeksi saluran pencernaan dibantu oleh bakteri

simbionnya yang dapat mematikan serangga uji relatif lebih singkat. Tubuh

serangga uji yang terserang akan hancur dalam 3-4 hari setelah inokulasi

(Paster et al., 2018).

3.2. Gejala Serangan

Xenorhabdus sp dan Photorhabdus sp adalah bakteri yang hidup

bersimbiosis dengan nematoda Heterorhabditis dan Steinernema. Kedua bakteri

tersebut mampu membunuh serangga hama dengan waktu yang sangat cepat

sekitar 24-48 jam karena mengeluarkan racun (toksin). Pada umumnya gejala

serangga hama yang terserang oleh nematoda adalah adanya perubahan warna,

tubuh menjadi lembek dan bila di bedah jaringan menjadi cair tetapi tidak berbau

(Wartono dan Tri 2009).

Gambar 5. Gejala Serangan Bakteri Simbion Xenorhabdus

Bagian tubuh serangga yang terinfeksi NPS menunjukan gejala perubahan


warna, makin lama tubuh rayap akan menjadi hitam kecoklatan dibagian seluruh

tubuhnya. Perubahan warna tubuh rayap dimulai dari bagian kepala hingga

menyeluruh dari bagian tubuh rayap. Kematian yang terjadi karena aktivitas

enzimatis bakteri Xenorhabdus menyebabkan hancurnya jaringan tubuh serangga

uji menjadi lunak berair dan lama-lama akan hancur (Paster et al., 2018).

Gambar 6. Gejala Serangan Bakteri Simbion Photorhabdus


Brevibacillus brevis

Brevibacillus brevis dulu dikenal sebagai Bacillus brevis. B. brevis adalah

bakteri gram positif dan bersifat aerob. Dalam bentuk spora sering dijumpai di

tanah, udara, air dan bahan-bahan yang mengalami pelapukan. B. brevistumbuh

optimal pada suhu 35 –55C, membentuk spora motil dan memiliki aktivitas

katalase positif, amylase negatif, kasein negatif, gelatinase positif dan indole

negatif (Ahda dan Lel, 2016).

Bacillus Cereus dan Bacillus Megaterium sebagai Pengendali Spodoptera litura

Fabr

B. cereus merupakan bakteri tular tanah tanah yang gram positif, aerob

fakultatif dan dapat membentuk spora (endospora) berukuran panjang sel 3 µm

dan diameter 1.2 µm. Spora B. cereus lebih tahan pada panas kering dari pada

panas lembab dan dapat bertahan lama pada produk yang kering. Selnya

berbentuk batang besar (bacillus). B. cereus memiliki kemampuan

menghancurkan sel darah merah yang bersifat hymolitik dengan jenis toksin beta
hemotoksin. B. cereus adalah juga ditemukan dalam mikroflora usus invertebrata,

B. cereus masuk kedalam pencernaan Arthopoda melalui pakan yang dikonsumsi.

Tahap ini B. cereus, juga dikenal sebagai tahap Arthromitus, meliputi pelekatan

dari endospore yang dikeluarkan oleh sel B. cereus dan diikuti dengan

pertumbuhan filament serta bergerak motil pada jaringan epitel usus Arthopoda

(Agaisse & Lereclus, 1995).

B. megaterium merupakan bakteri endofit dan merupakan agen hayati

yang sangat potensial. Beberapa strain B. megaterium dapat memfiksasi nitrogen.

Metabolisme B. megaterium didalam lingkungan tanah menjadi aktif ketika

substrat yang cocok untuk pertumbuhan tersedia. Pembentukan spora terjadi

ketika kondisi lingkungan dan inang tidak mendukung (BP2TP NTB. 2014).

4.1. Mekanisme Infeksi

Bakteri pathogen serangga mengeluarkan aktivitas hemolisin yang

menjadi toksin pada serangga. Hemolisin bakteri berfungsi sebagai eksotoksin,

yang mengakibatkan pecahnya sel yang menyebabkan paralisis pada serangga,

daya kerja δ-endotoksin pada Bacillus sp terletak pada kristal protein. Faktor

penentu keefektifan δ-endotoksin antara lain, adalah strain bakteri, daya larut

kristal protein dalam saluran makanan, serta kepekaan serangga terhadap toksin

(Busvine, 1971).

B. cereus dan B. megaterium merupakan agen yang mempunyai daya

toksisitas terhadap berbagai serangga karena organisme ini menghasilkan toksin

selama sporulasi. Bahan aktif yang mempunyai aktivitas larvisidal ini adalah δ-

endotoksin. Selain itu imunitas dari larva juga mempengaruhi toksisitas bakteri.

Isolat B. meganterium memiliki persentase lebih rendah membunuh larva S. litura


dari B. cereus hal ini diduga disebabkan jenis toksin dari bakteri patogen serangga

berbeda (Kanneth, 2012).

Masa Inkubasi Isolat bakteri B. cereus dan B. megaterium dalam

menginfeksi S. Litura membutuhkan waktu yang bervariasi dari 29.84 hingga

22.52 jam, bakteri B. cereus lebih patogenik dari B. megaterium. Perbedaan

tersebut disebabkan toksisitas dari patogen berbeda dalam menginfeksi larva S.

litura dan kemampuan bakteri untuk memproduksi toksin berbeda setelah berada

didalam tubuh serangga (Mandal et al., 2003).

KESIMPULAN
1. Pengendalian hayati merupakan teknik pengendalian organisme

pengganggu tanaman dengan memanfaatkan potensi keanekaragaman jenis

agens pengendali alami untuk mengelola OPT agar tidak mencapai batas

populasi yang merugikan

2. Bakteri yang menyerang serangga dapat dibedakan menjadi 2 kelompok

yaitu bakteri yang tidak membentuk spora dan bakteri yang membentuk

spora

3. B. thuringhiensis merupakan agensia yang mempunyai daya toksisitas

terhadap berbagai serangga karena organisme ini menghasilkan toksin

selama sporulasi

4. Yersinia entomophaga adalah bakteri yang pada awalnya diisolasi dari

larva kumbang rumput New Zealand (Costelytra zealandica) (Coleoptera:

Scarabaeidae).
5. Bakteri simbion Enterobacteriaceae (Xenorhabdus spp. atau Photorhabdus

luminescens) membunuh serangga dengan menyebabkan keracunan darah

(septicemia).

6. B. cereus dan B. megaterium merupakan agen yang mempunyai daya

toksisitas terhadap berbagai serangga karena organisme ini menghasilkan

toksin selama sporulasi.

DAFTAR PUSTAKA
Agaisse, H. & Lereclus, D. 1995. How does Bacillus thuringiensis produce so
much insecticidal crystal protein. Journal of Bacteriology.177 : 6027
6032.

Ahda, Y dan Lel, F. 2016. Karakterisasi Bakteri Potensial Pendegradasi Oli Bekas
Pada Tanah Bengkel di Kota Padang. Jurnal Saintek Vol 8 No 2.

Akhdiya, A., Etty, P dan Samudra. 2007. Protein Toksin Insektisidal dari Bakteri
Patogen Serangga Photorhabdus luminescens HJ. Berita Biologi Vol 8 No
6.

BP2TP NTB. 2014. Wawancara serangan Spodoptera litura di Desa Setanggor


Lombok Tengah.

Buchori, D. 2014. Pengendalian Hayati dan Konservasi Serangga untuk


Pembangunan Indonesia Hijau. IPB.Bogor.

Busvine, J. R. 1971. A Critical Review of The Techniquesfor Testing


Insecticides.Commonwealth Agricultural Bureaux. London: 345 pp.

Chaerani, Suryadi, Priyatno, Koswanudin, Rahmat, Sujatmo, Yusuf dan Griffin.


2007. Isolasi Nematoda Patogen Serangga Steinernema dan
Heterorhabditis. Jurnal Hpt Tropika Vol 7 No 1.
Hurst, Sandra, A., Tan, B., Lincoln, Trevor, A dan Travis, R. 2011. The Main
Virulence Determinant of Yersinia entomophaga MH96 is a Broad-Host-
Range Toxin Complex Active Against Insects. Journal of Bacteriology Vol
193 No 8.

Hurst,M., Sandra,A., Amy, B., Chikako, Anthony dan Mikhael, B. 2019.


Assessment of Yersinia entomophaga as a Control Agent of the
Diamondback Moth Plutella xylostella. Journal of Invertebrate Pathology
Vol 162.

Khamid. M. B. R, dan Siti. L.S. 2018. Efektivitas Bakteri Entomopatogen Dari


Tanah Sawah Asal Kecamatan Cilebar Kabupaten Karawang Terhadap
Intensitas Serangan, Mortalitas Hama Ulat Grayak (Spodoptera litura)
Pada Hasil Tanaman Kubis Bunga (Brassica oleraceae L.). Universitas
Singaperbangsa. Karawang.

Kenneth, Todar. 2012. Textbook of Bacteriology. University of Wisconsin.


Department of Bacteriology.

Krishanti, N.P., Pratiwi, Z dan Deni, Z. 2017. Bakteri Entomopatogen Sebagai


Agen Biokontrol terhadap Larva Spodoptera Litura (F.). Berita Biologi
Vol 16 No 1.

Landsberg, M., Sandra, Rosalba, Jason, N., Sean, D., Robert, Shaun, L., Ben, H
Dan Mark, R. 2011. 3D Structure Of The Yersinia Entomophaga Toxin
Complex And Implications For Insecticidal Activity. Proceedings of the
National Academy of Sciences Vol 108 No 51.

Mandal, S.M.A., B.K. Mishra, and P.R. Mishra. 2003. Efficacy and economics of
some biopesticides in managing Helicoverpa armigera (Hubner) on
chickpea. Annuals of Plant Protection Sciences 11: 201 - 203.

Muharsini, S., April, H, W., H. Ruzaani, B. Amirhuzein. 2003. Karakterisasi


Isolat Bacillus thuringiensis dari Beberapa Daerah di Jawa dan Sulawesi
Selatan untuk Kontrol Biologi Lalat Myasis Chrysomya bezziana. Balai
Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian. Bogor.

Paster, A., Indri, H dan Tris, H. 2018. Uji Patogenisitas Nematoda Patogen
Serangga (Steinernema carpocapsae) dari Tanah Gambut terhadap Rayap
Tanah (Coptotermes curvignathus). Jurnal Perkebunan Lahan Tropika Vol
8 No 2.

Rini, M.S., Rully, R., Mochammad, H dan Deni, Z. 2016. Uji Efikasi Beberapa
Isolat Bakteri Entomopatogen terhadap Kecoa (Orthoptera) Periplaneta
Americana (L.) dan Blatella Germanica (L.) dalam Skala Laboratorium.
Jurnal Biologi Vol 5 No 2.
Salaki, C.L., Langkah, S. 2009. Prospek Pemanfaatan Bakteri Entomopatogenik
sebagai Agensia Pengendali Hayati Serangga Hama. Prosiding Seminar
Nasional UNY. Yogyakarta.

Sunardi. T, Nadrawati dan Sempurna. G. 2013. Eksplorasi Entomopatogen dan


Patogenesitasnya Pada Aphis craccivora Koch. Universitas Bengkulu.
Bengkulu.

Sunarno. 2010. Pengendalian Hayati ( Biologi Control ) sebagai Salah Satu


Komponen Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Universitas Halmahera.
Maluku.

Tampubolon, D.Y., Yuswani, P., Fatimah, Z., Fatiani, M.2013.Uji Patogenesitas


Bacillus thuringiensisTerhadap Mortalitas Spodoptera litura Fabr di
Laboratorium. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Wardati, I., Dyah, N.E., Cherry, T Dan Usken, F. 2013. Patogenisitas Bakteri,
Jamur Dan Nematoda Entomopatogen Terhadap Hama Penggerek Buah
Kapas (Gossypium Hirsutum L.). Jurnal Ilmiah Inovasi Vol 13 No 1.

Wartono dan Tri, P. 2009. Pertumbuhan Bakteri Photorhabdus luminescens pada


Berbagai Media dan Produksi Eksotoksin sebagai Racun Serangga. Jurnal
Entomologi Indonesia Vol 6 No 2.

Anda mungkin juga menyukai