Anda di halaman 1dari 38

PENGENDALIAN HAYATI & PENGENDALIAN HAMA TERPADU

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di era sekarang banyak petani dalam melakukan pengendalian hama
menggunakan pestisida dari bahan kimia yang bertujuan agar hama bisa secara cepat
musnah,namun hal ini menimbulkan pencemaran lingkungan yang tanpa disadari oleh
petani,yaitu mengakibatkan residu yang dapat membahayakan lingkungan dan juga
manusia itu sendiri, Catatan WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) mencatat bahwa di
seluruh dunia setiap tahunnya terjadi keracunan pestisida antara 44.000 - 2.000.000
orang dan dari angka tersebut yang terbanyak terjadi di negara berkembang. Dampak
negatif dari penggunaan pestisida diantaranya adalah meningkatnya daya tahan hama
terhadap pestisida, membengkaknya biaya perawatan akibat tingginya harga pestisida
dan penggunaan yang salah dapat mengakibatkan racun bagi lingkungan, manusia
serta ternak (Kusnaedi, 1999).
Pada dasarnya pengendalian hama merupakan setiap usaha atau tindakan
manusia baik secara langsung maupun tidak langsung untuk mengusir, menghindari
dan membunuh spesies hama agar populasinya tidak mencapai aras yang secara
ekonomi merugikan. Pengendalian hama tidak dimaksudkan untuk meenghilangkan
spesies hama sampai tuntas, melainkan hanya menekan populasinya sampai pada
aras tertentu ynag secara ekonomi tidak merugikan. Oleh karena itu, taktik
pengendalian apapun yang diterapkan dalam pengendalian hama haruslah tetap dapat
dipertanggungjawabkan secara ekonomi dan secara ekologi.
Pengendalian hayati sebagai komponen utama Pengendalian Hama Terpadu
pada dasarnya adalah pemanfaatan dan penggunaan musuh alami untuk
mengendalikan populasi hama yang merugikan. Pengendalian hayati sangat
dilatarbelakangi oleh berbagai pengetahuan dasar ekologi terutama teori tentang
pengaturan populasi oleh pengendali alami dan keseimbangan ekosistem. Musuh alami
yang terdiri atas parasitoid, predator dan patogen merupakan pengendali alami utama
hama yang bekerja secara “terkait kepadatan populasi” sehingga tidak dapat dilepaskan
dari kehidupan dan perkembangbiakan hama. Adanya populasi hama yang meningkat
sehingga mengakibatkan kerugian ekonomi bagi petani disebabkan karena keadaan
lingkungan yang kurang memberi kesempatan bagi musuh alami untuk menjalankan
fungsi alaminya.

Pemahaman Tentang PHT Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan


dan teknologi, PHT tidak lagi dipandang sebagai teknologi, tetapi telah menjadi suatu
konsep dalam penyelesaian masalah lapangan. Tujuan dari PHT teknologi adalah untuk
membatasi penggunaan insektisida sintetis dengan memperkenalkan konsep ambang
ekonomi sebagai dasar penetapan pengendalian hama (Sulistiani, 2008).
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaiman konsep pengendalian hayati?
2. Bagaiman konsep pengendalian hama terpadu?
3. Bagaimana implementasi pengendalian hama terpadu dilingkungan masyarakat?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui konsep pengendalian hayati
2. Mengetahui konsep pengendalian hama terpadu
3. Mengetahui implementasi pengendalian hama terpadu dilingkungan masyarakat

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengendalian Hayati
2.1.1. Pengertian Pengendalian Hayati
Secara umum pengertian pengendalian hama secara biologi/hayati adalah
penggunaan makhluk hidup untuk membatasi populasi organisme pengganggu
tumbuhan (OPT). Makhluk hidup dalam kelompok ini diistilahkan juga sebagai
organisme yang berguna yang dikenal juga sebagai musuh alami, seperti predator,
parasitoid, patogen.
Pengendalian hayati sangat dilatarbelakangi oleh berbagai pengetahuan dasar
ekologi, terutama teori tentang pengaturan populasi oleh pengendali alami dan
keseimbangan ekosistem. Pengendalian hayati merupakan komponen yang penting
dari program pengendalian hama terpadu (PHT)
2.1.2. Konsep Pengendalian Hayati
Mengenai konsep dasar sendiri, ada tiga pendekatan dalam pengendalian hayati
adalah importasi atau yang disebut pula dengan sebutan pengendalian hayati klasik,
augmentasi, dan konservasi.
1. Pendekatan importasi
Melibatkan introduksi musuh alami (pemangsa, parasitoid, dan patogen) eksotik, dan
umumnya digunakan untuk melawan hama eksotik pula. Pendekatannya didasarkan
pada pemahaman bahwa makhluk hidup yang tidak disertai dengan musuh alami asli
akan lebih bugar (fit) dan akan lebih melimpah dan lebih mampu bersaing daripada
yang menjadi subjek pengendalian alami. Untuk mengendalikannya perlu dicarikan
musuh alami yang efektif di tempat asalnya.
Introduksi (mendatangkan/mengimpor) musuh-musuh alami dari luar negeri/daerah lain
untuk dilepaskan didaerah baru. Introduksi dapat ditempuh apabila hama yang
menyerang suatu tanaman pada umumnya menimbulkan eksplosi dan diketahui hama
tersebut bukan merupakan hama asli daerah tersebut. Contohnya : import predator
Curinus coerulens dari Hawai untuk mengendalikan kutu loncat lamtoro.
2. Praktek augmentasi
Didasarkan pada pengetahuan atau asumsi bahwa pada beberapa situasi jumlah
individu atau jenis musuh alami tidak cukup memadai untuk mengendalikan hama
secara optimal. Oleh karena itu, untuk meningkatkan efektivitas pengendalian hama,
jumlah musuh alami perlu ditambah melalui pelepasan secara periodik. Ada dua
pendekatan augmentasi, yaitu inokulasi sejumlah kecil musuh alami dan inundasi
(membanjiri) dengan jumlah yang besar, tergantung pada tujuannya.
Inokulasi, yaitu pelepasan musuh alami dalam jumlah relatif sedikit dengan harapan
pada generasi selanjutnya akan menekan populasi hama dan musuh alami tersebut
relatif menetap lebih lama. Sedangkan inundasi, yaitu pelepasan musuh alami dalam
jumlah besar (hasil pembiakan missal di laboratorium) dengan tujuan secara cepat
menekan populasi hama, sehingga populasi hama dapat analog dengan aplikasi
insektisida biologis. Karena inundasi lebih bersifat sesaat, maka pada satu musim
tanam sering kali perlu dilakukan beberapa kali pelepasan. Selain itu, pengendalian
secara augmentasi (khususnya inundasi) dapat dilakukan apabila terjadi masalah hama
dengan kriteria sebagai berikut :
v Terdapat musuh alami yang berpotensi menekan hama tetapi tidak efektif, karena
kondisi lingkungan tidak mendukung.
v Hama tidak mudah dikendalikan atau terlalu mahal apabila dikendalikan dengan metode
lain.
v Metode lain tidak dikehendaki karena beberapa alasan seperti residu pestisida, resistensi
hama atau akan timbulnya hama sekunder.
v Hanya satu atau dua jenis hama yang selalu menimbulkan kerugian dan memerlukan
pengendalian.

3. Pengendalian hayati konservasi


Pada dasarnya adalah melindungi, memelihara, dan meningkatkan efektivitas populasi
musuh alami yang sudah ada di suatu habitat. Konservasi merupakan pendekatan
paling penting jika kita ingin memelihara populasi musuh alami, baik asli maupun
eksotik, di dalam ekosistem pertanian.
Agen Hayati
Merupakan organisme yang bertindak sebagai musuh alami dalam melakukan
pengendalian terhadap organisme pengganggu tanaman atau organisme yang bersifat
antagonis terhadap organisme pengganggu tanaman. Dan dapat merusak,
mengganggu kehidupan atau menyebabkan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT)
sakit atau mati. Agen Hayati dapat berupa predator, parasitoid, patogen dan agens
antagonis.
Ø Predator adalah binatang yang memburu dan memakan atau menghisap cairan tubuh
mangsanya. Contoh : Lycosa pseudoannulata (laba-laba).
Ø Parasitoid adalah serangga yang hidup sebagai parasit pada atau di dalam serangga
lainnya (serangga inang) hanya selama masa pra dewasa (masa larva). Imago hidup
bebas bukan sebagai parasit dan hidup dari memakan nektar, embun madu, air dan
lain-lain. Contoh : Diadegma semiclausum (parasitoid terhadap ulat daun kubis).
Ø Patogen adalah mikroorganisme yang menyebabkan infeksi dan menimbulkan penyakit
terhadap OPT. Secara spesifik mikroorganisme yang dapat menimbulkan penyakit pada
serangga disebut mikroorganisme entomopatogen, yang terdiri dari cendawan, bakteri
dan virus.
Ø Agens Antagonis adalah mikroorganisme yang mengintervensi/menghambat
pertumbuhan patogen penyebab penyakit pada tumbuhan.
2.1.3. Manfaat Pengendalian Hayati
Manfaat dari pengendalian hayati memiliki dua sisi, satu sisi ada yang
kelebihannya dan di sisi lain ada kelemahannya.
Keuntungan pengendalian hayati sendiri yaitu (Steka, 1975 dalam Mudjiono, 1994) :
a) Selektifitas yang tinggi, agens hayati hanya membunuh OPT dan tidak membunuh
organisme non OPT ataupun musuh alami. Dengan demikian tidak akan terjadi
resurgensi atau ledakan OPT sekunder.
b) Faktor pengendali (agens) yang digunakan tersedia dilapang.
c) Agens hayati (parasitoid dan predator) dapat mencari sendiri inang atau mangsanya.
d) Agens hayati (parasitoid, predator, dan pathogen) dapat berkembangbiak dan
menyebar.
e) Tidak menimbulkan resistensi terhadap serangga inang/mangsa ataupun kalau terjadi,
sangat lambat.
f) Pengendalian ini dapat berjalan dengan sendirinya karena sifat agens hayati tersebut.
g) Tidak ada pengaruh samping yang buruk seperti pada penggunaan pestisida.
h) Ramah lingkungan (tidak merusak ekosistem pada suatu lingkungan pertanian)
i) Efisiensi tenaga dan biaya
Kelemahan pengendalian hayati (Steka, 1975 dalam Mudjiono, 1994) :
a) Pengendalian terhadap OPT berjalan lambat.
b) Hasilnya tidak dapat diramalkan.
c) Sukar untuk pengembangan dan penggunaannya.
d) Dalam pelaksanaannya pengendalian hayati memerlukan pengawasan untuk
mengetahui tingkat keberhasilannya. Pengembangan pengendalian hayati perlu
dilakukan pengawalan dengan :
§ Teknologi aplikasi yang tepat agar keberhasilannya dapat terlihat dengan nyata.
§ Modifikasi lingkungan untuk meningkatkan efektifitas agens pengendali.
Dengan melihat kelebihan dan kelemahan tersebut, maka pengendalian hayati
mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan dalam menanggulangi OPT, yang
sesuai dengan prinsip-prinsip PHT. Dengan diterapkannya pengendalian hayati
diharapkan diperoleh produk pertanian yang aman bagi konsumen dalam kaitannya
dengan residu pestisida, terutama bagi produk yang berorientasi ekspor, disamping
aman bagi lingkungan. Dalam menerapkan pengendalian hayati harus memperhatikan
factor-faktor yang dapat mempengaruhinya, diantaranya adalah
1. Lingkungan
2. Kemampuan musuh alami bertahan hidup pada suatu lingkungan.
3. Tingkat perkembangan musuh alami
2.1.4. Study Kasus Pengendalian Hayati
Lalat pengorok daun kentang (Liriomyza huidobrensis)
Gejala serangan : Daun yang terserang memperlihatkan gejala bintik-bintik putih akibat
tusukan ovipositor, dan berupa liang korokan larva yang berkelok-kelok. Serangan berat
dapat mengakibatkan hampir seluruh helaian daun penuh dengan korokan, sehingga
daun menjadi kering dan berwarna coklat seperti terbakar atau mirip gejala busuk daun.
Pengendalian :
1. Kultur teknis
· Cara ini dilakukan dengan menerapkan budidaya tanaman sehat yang meliputi :
· Penggunaan varietas yang tahan
· Sanitasi yaitu dengan membersihkan gulma
· Pemupukan berimbang
· Menimbun bagian-bagian tanaman yang terserang
2. Mekanis
· Pemangkasan daun-daun yang terserang dan daun bagian bawah yang telah tua.
· Larva dikumpulkan dari sekitar tanaman yang rusak kemudian dimusnahkan.
· Pemasangan yellow sticky trap dengan membentangkan kain kuning (lebar 0,9 m x
panjang sesuai kebutuhan atau 7 m, untuk setiap lima bedengan memanjang)
berperekat di atas tajuk tanaman kentang (Baso et al. 2000). Goyangkan pada tanaman
membuat lalat dewasa beterbangan dan terperangkap pada kain kuning.
· Pengendalian hayati dengan parasitoid hanya mungkin berhasil bila disertai upaya
pengurangan penggunaan insektisida.
3. Biologis (Pengendalian Hayati)
Dengan memanfaatkan musuh alami. Musuh alami yang dapat digunakan untuk
mengendalikan hama penggorok daun pada kentanng antara lain:
a) Hemiptarsenus varicorni
H. varicornis (Hymenoptera : Eulophidae) merupakan parasitoid penting pada
hamaLiriomyza huidobrensis. Parasitoid tersebut dapat di temukan di seluruh areal
pertanaman kentang yang terserang L. huidobrensis. Tingkat parasitasi H.
varicornisterhadap L. huidobrensis pada tanaman kentang adalah 37,33%. Nisbah
kelamin antara jantan dan betina adalah 1,5 : 1. Siklus hidup H. varicornis berkisar
antara 12-16 hari. Masa telur, larva dan pupa masing-masing 1-2 hari, 5-6 hari, dan 6-8
hari. Masa hidup betina berkisar antara 88-22 hari. Satu ekor betina mampu
menghasilkan telur sebanyak 24-42 butir.
H. varicornis merupakan parasitoid yang memiliki potensi besar sebagai pengendali
hayati untuk mengendalikan hama pengorok daun Liriomyza di Indonesia, karena
disamping pertimbangan faktor fekunditas dan lama hidup imago betinanya, juga
merupakan parasitoid lokal yang sudah beradaptasi di wilayah Indonesia. Pemanfaatan
parasitoid ini dilakukan dengan cara konservasi melalui pengaturan pola tanam dan
aplikasi teknologi pertanian ramah lingkungan.
Dengan memperhatikan data tersebut di atas, maka dapat dilakukan upaya
konservasi H. varicornis di lapangan untuk mengendalikan pengorok daun Liriomyza
spp. melalui manipulasi lingkungan (tritropic levels) dengan memadukan antara
pengaturan pola tanam dan penerapan teknologi pertanian ramah lingkungan, yaitu:
1) Pengaturan pola tanam, dengan pilihan sebagai berikut:
· Menanam tanaman kacang merah (red bean) atau buncis (snap bean) sebagai
tanaman perangkap Liromyza sekaligus tempat berkembang biaknya parasitoid H.
varicornis pada pematang atau pinggiran kebun, yang sebaiknya ditanam lebih awal
sebelum tanaman pokoknya.
· Menanam tanaman pada awal musim tanaman yang jika terserang Liriomyza spp. tidak
mengakibatkan kerugian secara ekonomis, karena menyerang daun yang sudah tua
seperti brokoli atau kubis, kemudian pada musim tanam kedua menanam kentang atau
bawang daun yang ditumpangsarikan dengan kacang merah atau buncis.
· Melakukan sistem pola tanam tumpang sari antara kacang merah dengan kentang,
buncis dengan bawang daun, buncis dengan kubis, dan lain-lain.
2) Menerapkan teknologi pertanian ramah lingkungan (organik) sehingga populasi
parasitoid di lapangan tidak terganggu. Adapun teknologi pertanian ramah lingkungan
yang dapat dilakukan dalam budidaya tanaman sayuran dan tanaman hias antara lain:
penggunaan pupuk organik baik yang sudah menjadi kompos ataupun dalam bentuk
pupuk kandang, penggunaan pestisida botani dengan memanfaatkan ekstrak bagian
dari tumbuhan untuk mengendalikan organisme pengganggu tanaman.

b) Opius sp.
Opius sp. merupakan parasitoid penting hama L. huidobrensis. Telur berbentuk
lonjong, dengan salah satu bagian ujungnya sedikit lebih membengkak dibandingkan
dengan ujung yang lain. Siklus hidupnya berkisar antara 13-59 hari. Masa telur, larva
dan pupa masing-masing 2, 6, dan 6 hari. Satu ekor betina mampu menghasilkan telur
sebanyak 49-187 butir. Instar yang paling cocok untuk perkembangan parasitoid Opius
sp., adalah instar ke-3. Pada instar tersebut masa perkembangan parasitoid lebih
singkat dan keturunan yang dihasilkan lebih banyak dengan proposi betina yang lebih
tinggi. Nisbah kelamin jantan dan betina adalah 1:1.
Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No.: 698/kpts/tp.120/8/1998 Tentang Izin
Pemasukan Beberapa Jenis Parasitoid Dari Hawaii Ke Dalam Wilayah Negara Republik
Indonesia. Memberikan izin kepada Pusat Kajian Pengendalian Hama Terpadu, Institut
Pertanian Bogor untuk memasukkan 5 (lima) jenis parasitoid dari Hawaii untuk
mengendalikan hama Liriomyza huidobrensis melalui Bandar Udara Soekarno – Hatta,
Jakarta.
Jenis-jenis parasitoid dimaksud adalah sebagai berikut :
Ø Diglyphus-begini, ektoparasitoid larva;
Ø Diglyphus-intermedius, ektoparasitoid larva;
Ø Chrysocaris-oscinidus, endoparasitoid larva-pupa;
Ø Ganaspidium-utilis, endoparasitoid larva-pupa; dan
Ø Halticoptera-circulus, endoparasitoid larva-pupa.
2.2. Pengendalian Hama Terpadu
2.2.1. Konsep Pengendalian Hama Terpadu
Konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT) Perlindungan tanaman merupakan
bagian dari sistem budidaya tanaman yang bertujuan untuk membatasi kehilangan hasil
akibat serangan OPT menjadi seminimal mungkin, sehingga diperoleh kwalitas dan
kwantitas produksi yang baik. Sejak Pelita III pemerintah telah menetapkan sistem PHT
sebagai kebijakan dasar bagi setiap program perlindungan tanaman. Dasar hukum PHT
tertera pada GBHN II dan GBHN IV serta Inpres 3/1986 yang kemudian lebih
dimantapkan melalui UU No.12/1992 tentang sistem Budidaya Tanaman. Konsep PHT
muncul dan berkembang sebagai koreksi terhadap kebijakan pengendalian hama
secara konvensional, yang sangat utama dalam manggunakan pestisida. Kebijakan ini
mengakibatkan penggunaan pestisida oleh petani yang tidak tepat dan berlebihan,
dengan cara ini dapat meningkatkan biaya produksi dan mengakibatkan dampak
samping yang merugikan terhadap lingkungan dan kesehatan petani itu sendiri maupun
masyarakat secara luas (Kusnaedi, 1999).
Secara ekonomi kebijakan pemerintah sebelum tahun 1989 memberikan subsidi
yang besar untuk Pestisida sebesar antara 100 – 150 juta US$ atau sekitar 150 milyar
rupiah pertahun, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk
meningkatkan kembali efisiensi dan efektifitas pengendalian serta untuk membatasi
pencemaran lingkungan maka kebijakan dan pengendalian secara konvensional harus
dirubah menjadi pengendalian berdasarkan konsep dan prinsip PHT. Kemudian secara
bertahap subsidi pestisida di cabut, dan baru tahun 1989 subsidi tersebut sepenuhnya
dicabut, metoda yang cukup baik dan mudah dilaksanakan melalui pola Sekolah
Lapang PHT ( SLPHT) dengan menganut pola pendidikan orang dewasa yaitu belajar
dari pengalaman sendiri langsung di lapang (Kusnaedi, 1999).
Bahwa pengendalian hama terpadu (PHT) adalah sebuah pendekatan baru untuk
melindungi tanaman dalam kontek sebuah sistem produksi tanaman. Definisi PHT
(Brader, 1979) sistem pengendalian hama yang dapat dibenarkan secara ekonomi dan
berkelanjutan yang meliputi berbagai pengendalian yang kompatibel dengan tujuan
memaksimalkan produktivitas tetapi dengan dampak negatif terhadap lingkungan
sekecil-kecilnya Disbun Propinsi NTB (2002) menginformasikan, bahwa petani
dianjurkan untuk tidak melakukan pengendalian apabila intensitas serangan OPT masih
dibawah 5 persen, menggunakan pestisida nabati apabila intensitas serangan antara 5-
20 persen, dan diperbolehkan menggunakan pestisida kimia apabila serangan sudah
diatas 20 persen. Sebagian besar petani berpendapat bahwa akan memutuskan
penyemprotan pestisida kimia apabila serangan HPT sudah di atas ambang ekonomi
(menurut persi petani), yaitu petani alumni (100%) dan non–alumni (99,3%), sedangkan
yang lainnya (6,7%) akan menyemprot begitu melihat ada gejala serangan. Setelah SL-
PHT, petani hanya menggunakan pestisida nabati (pesnab), tidak ditemukan petani
yang menggunakan pestisida kimia karena disamping keadaan intensitas serangan
HPT termasuk ringan juga harga pestisida yang mahal turut menghambat petani untuk
menggunakan (Kartasapoetra, 1991).
Ciri dan sifat dasar PHT yang membedakan dengan
pengendalian konvensional adalah(Kartasapoetra, 1991):
a. Tujuan utama PHT bukanlah pemusnahan, tetapi dikendalikan agar populasi hama
tetap berada di bawah satu tingkatan aras yang dapat mengakibatkan kerusakan atau
kerugian ekonomi. Strategi PHT bukanlah eradikasi hama tetapi pembatasan, sebab
dalam keadaan tertentu ada kemungkinan bahwa adanya individu serangga atau
binatang dapat berguna bagi manusia.
b. Dalam melaksanakan suatu pengendalian tidak mengenal satu cara pengendalian
tertentu, seperti penggunaan pestisida saja tetapi semua teknik pengendalian
dikombinasikan secara terpadu dalam suatu kesatuan pengelolaan.
c. Dalam mencapai sasaran utama PHT yaitu mempertahankan populasi hama di
bawahkerusakan ekonomi, dengan produktivitas yang tinggi, maka perlu dipertimbangkan
beberapa kendala yaitu :
 Kendala sosial ekonomi yang berarti bahwa pelaksanaan PHT harus dapat didukung oleh
kelayakan sosial ekonomi masyarakat setempat.
 Kendala ekologi yang berarti bahwa dalam penerapan PHT secara ekologi dapat
dipertanggung jawabkan dan tidak menimbulkan kegoncangan maupun kerusakan
lingkungan
2.2.2 Prinsip dan Strategi Penerapan PHT
PHT merupakan suatu cara pendekatan atau cara berpikir tentang pengendalian
OPT yang didasarkan pada dasar pertimbangan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam
rangka pengelolaan agro-ekosistem yang berwawasan lingkungan yang berkelanjutan.
Sasaran teknologi PHT adalah : 1) produksi pertanian mantap tinggi, 2) Penghasilan
dan kesejahteraan petani meningkat, 3) Populasi OPT dan kerusakan tanaman tetap
pada aras secara ekonomi tidak merugikan dan 4) Pengurangan resiko pencemaran
Lingkungan akibat penggunaan pestisida yang berlebihan. Tiga komponen komponen
dasar yang harus dibina, yaitu : Petani, Komoditi dasil pertanian dan wilayah
pengembangan dimana kegiatan pertanian berlangsung, disamping pembinaan
terhadap petani diarahkan sehingga menghasilkan peningkatan produksi serta
pendapatan petani, pengembangan komoditi hasil pertanian benar-benar berfungsi
sebagai sektor yang menghasilkan bahan pangan, bahan ekspor dan bahan baku
industri, sedangkan pembinaan terhadap wilayah pertanian ditujukan agar dapat
menunjang pembangunan wilayah seutuhnya dan tidak terjadi ketimpangan antar
wilayah ( Kusnadi, 1999).
PHT memiliki beberapa prinsip yang khas, yaitu; (1) sasaran PHT bukan
eradikasi/pemusnahan hama tetapi pembatasan atau pengendalian populasi hama
sehingga tidak merugikan, (2) PHT merupakan pendekatan holostik maka
penerapannya harus mengikutsertakan berbagai disiplin ilmu dan sektor pembangunan
sehingga diperoleh rekomendasi yang optimal, (3) PHT selalu mempertimbangkan
dinamika ekosistem dan variasi keadaan sosial masyarakat maka rekomendasi PHT
untuk pengendalian hama tertentu juga akan sangat bervariasi dan lentur, (4) PHT lebih
mendahulukan proses pengendalian yang berjalan secara alami (non-pestisida), yaitu
teknik bercocok tanam dan pemanfaatan musuh alami seperti parasit, predator, dan
patogen hama. Penggunaan pestisida harus dilakukan secara bijaksana dan hanya
dilakukan apabila pengendalian lainnya masih tidak mampu menurunkan populasi
hama, dan (5) program pemantauan/pengamatan biologis dan lingkugan sangat mutlak
dalam PHT karena melalui pemantauan petani dapat mengetahui keadaan agro-
ekosistem kebun pada suatu saat dan tempat tertentu, selanjutnya melalui analisis
agro-ekosistem (AAES) dapat diputuskan tindakan yang tepat dalam mengelola
kebunnya. Dengan bekal materi pelatihan, petani belajar melaksanakan pengambilan
keputusan dalam pengelolaan kebun, terutama pengendalian hama penyakit tanaman
(Kusnadi, 1999).
Ada 4 prinsip manejemen yang mendasari PHT yang bersifat luwes, dapat dimana
saja disesuaikan dengan daerah dan lahan setempat. Keempat prinsip tersebut
adalah ( Kusnadi, 1999):
1. Budidaya Tanaman Sehat
Tanaman yang sehat mempunyai ketahanan ekologi yang tinggi terhadap gangguan
hama.
a. Pemilihan bibit yang sehat dan varitas tahan hama, yang cocok dengan kondisi
setempat.
b. Pengairan cukup dan pemupukan yang berimbang.
c. Penyiangan gulma secara teratur.
2. Melestarikan Musuh Alami
Musuh alami (predator, parasitoid, dan patogen serangga) merupakan faktor penting
pengendali hama yang perlu dilestarikan dan dikelola agar mampu berperan secara
maksimum dalam pengaturan populasi hama di lapangan.
a. Temukan, kenali dan amati musuh-musuh alami (tanaman inang) di lahan sawah.
b. Peliharalah keseimbangan lingkungan lahan sawah agar populasi musuh alami dapat
berkembang. Jangan gunakan pestisida yang membunuh musuh alami.
3. Pengamatan Mingguan
Pengamatan atau pemantauan ekosistem pertanaman yang intensif secara rutin oleh
petani merupakan dasar analisis ekosistem untuk pengambilan keputusan dan
melakukan tindakan yang diperlukan.
4. Petani Menjadi Ahli PHT
Petani bertanggung jawab terhadap lahan dan manejemen sendiri. Petani sebagai
pengambil keputusan dan keterampilan dalam menganalisis ekosistem serta mampu
menetapkan keputusan pengendalian hama secara tepat sesuai dengan konsep PHT
2.2.3 Tujuan dan Usaha Pengendalian Hama Terpadu (PHT)
Tujuan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) adalah (Abidin, 2004):
a) Menjamin kemantapan swasembada pangan.
b) Menumbuhkan Kreativitas, dinamika dan kepemimpinan petani
c) Terselenggaranya dukungan yang kuat atas upaya para petani dalam menyebar
luaskan penerapan PHT sehingga dapat tercipta pemabngunan pertanian yang
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

Usaha pokok Pengendalian Hama Terpadu (PHT) (Abidin, 2004):


a) Mengembangkan sumber daya manusia antara lain menyelenggarakan pendidikan
formal dan non formal bagi petani dengan pola Sekolah Lapangan PHT, dan pelatihan
bagi petugas terkait yakni Pengamat Hama dan Penyakit (PHP), Penyuluh Pertanian
dan Instansi terkait lainya.
b) Mengadakan studi-studi lapangan dan penelitian yang memberikan dukungan atas
strategi, pengembangan metode, dan penerapan PHT untuk tanaman padi dan palawija
lainya.
c) Memperkuat kebijaksanaan, pengaturan dan penyelenggaraan pengawasan terhadap
pengadaan, pembuatan, peredaran serta pemakaian pestisida yang berwawasan
lingkungan.
d) Memasyarakatkan pengembangan konsep PHT di Indonesia.
2.2.4 Taktik Pengendalian Hama Terpadu
Pengendalian Hama Terpadu (PHT) adalah suatu cara pendekatan atau cara
berpikir tentang pengendalian OPT yang didasarkan pada pertimbangan ekologi dan
efesiensiekonomi dalam rangka pengelolaan agroekosistem yang berwawasan lingkungan.
PHT merupakan perpaduan beberapa teknik pengendalian hama yang dalam
penerapannya harus memperhitungkan dampaknya baik secara ekologi, ekonomi
maupun sosiologi sehingga secara keseluruhan diperoleh hasil yang terbaik (Hidayat,
2001).
Falsafah pengendalian hama yang harus digunakan adalah Pengendalian hama
Terpadu (PHT) yang dalam implementasinya tidak hanya mengandalkan satu taktik
pengendalian saja. Taktik pengendalian yang akan diuraikan antara lain :
A. Pengendalian Mekanik
Pengendalian mekanik mencakup usaha untuk menghilangkan secara langsung
hama serangga yang menyerang tanaman. Pengendalian mekanis ini biasanya bersifat
manual. Mengambil hama yang sedang menyerang dengan tangan secara langsung
atau dengan melibatkan tenaga manusia telah banyak dilakukan oleh banyak negara
pada permulaan abad ini. Cara pengendalian hama ini sampai sekarang masih banyak
dilakukan di daerah-daerah yang upah tenaga kerjanya masih relatif murah.
Contoh pengendalian mekanis yang dilakukan di Australia adalah mengambil ulat-
ulat atau siput secara langsung yang sedang menyerang tanaman kubis. Pengendalian
mekanis juga telah lama dilakukan di Indonesia terutama terhadap ulat pucuk daun
tembakau oleh Helicoverpa sp. Untuk mengendalikan hama ini para petani pada pagi
hari turun ke sawah untuk mengambil dan mengumpulkan ulat-ulat yang berada di
pucuk tembakau. Ulat yang telah terkumpul itu kemudian dibakar atau dimusnahkan.
B. Pengendalian Fisik
Pengendalian ini dilakukan dengan cara mengatur faktor-faktor fisik yang dapat
mempengaruhi perkembangan hama, sehingga memberi kondisi tertentu yang
menyebabkan hama sukar untuk hidup.Bahan-bahan simpanan sering diperlakukan
dengan pemanasan (pengeringan) atau pendinginan. Cara ini dimaksudkan untuk
membunuh atau menurunkan populasi hama sehingga dapat mencegah terjadinya
peledakan hama. Bahan-bahan tersebut biasanya disimpan di tempat yang kedap
udara sehingga serangga yang bearada di dalamnya dapat mati lemas oleh karena
CO2 dan nitrogen.
Pengolahan tanah dan pengairan dapat pula dimasukkan dalam pengendalian
fisik;karena cara-cara tersebut dapat menyebabkan kondisi tertentu yang tidak cocok
bagi pertumbuhan serangga. Untuk mengendalikan nematoda dapat dilakukan dengan
penggenangan karena tanah yang mengandung banyak air akan mendesak oksigen
keluar dari partikel tanah. Dengan hilangnya kandungan O2 dalam tanah, nematoda
tidak dapat hidup lebih lama.
C. Pengendalian Hayati
Pengendalian hayati adalah pengendalian hama dengan menggunakan jenis
organisme hidup lain (predator, parasitoid, pathogen) yang mampu menyerang hama.
Di suatu daerah hampir semua serangga dan tunggau mempunyai sejumlah musuh-
musuh alami. Tersedianya banyak makanan dan tidak adanya agen-agen pengendali
alami akan menyebabkan meningkatnya populasi hama. Populasi hama ini dapat pula
meningkat akibat penggunaan bahan-bahan kimia yang tidak tepat sehingga dapat
membunuh musuh-musuh alaminya. Sebagai contoh, meningkatnya populasi tunggau
di Australia diakibatkan meningkatnya penggunaan DDT.
D. Pengendalian Secara Kultur Teknik (Cultural Control)
Pada prinsipnya yang termasuk dalam pengendalian secara kultur teknik adalah
cara-cara pengendalian dengan memanfaatkan lingkungan untuk menekan
perkembangan populasi hama. Termasuk dalam cara ini adalah :
1. Pengolahan Tanah
Pengolahan tanah setelah panen menyebabkan larva-larva hama yang hidup di
dalam tanah akan mati terkena alat-alat pengolahan. Di samping itu akibat lain dari
pengolahan tanah ini akan menaikkan larva dan telur dari dalam tanah ke permukaan
tanah. Dengan demikian larva-larva yang terdapat permukaan tanah akan memberikan
kesempatan pada burung untuk memangsanya. Sedangkan telur-telurnya yang
terdapat pada permukaan tanah terkean sinar matahari secara langsung sehinga
keadaan T dan H berbeda dengan keadaan semula dan mengakibatkan telur tidak
menetas.
2. Sanitasi
Dengan membersihkan tempat-tempat yang kemungkinan dignakan oleh
serangga untuk berbiak, berlindung, menyembunyikan diri atau berdiapause, maka
perkembangan serangga hama dapat dicegah, walang sangit akan lebih cepat berbiak
bila sanitasi lingkungannya kurang baik.
3. Pemupukan .
Penggunaan pupuk, menjadikan tanaman sehat dan lebih mudah mentolrir
serangga hama. Pemupukan pada tanaman padi mengakibatkan tanaman lebih cepat
membentuk anakan sehingga adanya serangga hama sundep dapat ditolerir oleh
tumbuhnya anakan.
Contoh, Uret pada ketela pohon menyerang akar, dengan pemupukan akar akan
segera terbentuk kembali.Agromiza sp menyerang batang kedelai, dengan pemupukan
yangh baik maka akan mempercepat pertumbuhasn tunas-tunas cabang.

4. Irigasi
Pengelolaan air dapat menghambat perkembangan hama tertentu. Akan tetapi
bila cara pengelolaan air kurang tepat dapat menyebabkan meningkatnya
perkembangan populasi hama. Penggenangan pada sawah-sawah setelah panen
selama kurang lebih 5 hari merupakan cara yang baik untuk memberentas larva
maupun pupa penggerek batang padi. Penggenangan pada areal bekas pertanaman
ketela pohon dapat membunuh uret.
5. Strip Farming
Yaitu bercocok tanam menurut jalur-alur memanjang. Bercocok tanaman
monokultur akanmemudahkan tanaman terserang hama. Serangan dari hama-hama
tertentu dapat diatasi dengan cara : Catch crop” yaitu bercocok tanam secara berselang
seling antara tanaman yang berumur panjang dengan tanaman yang berumur pendek.
Cara pengendalian seperti ini sering dilakukan bersama cara pengendalian yang lain.
Sebagai contoh yaitu pemberantasan walang sangit.
6. Rotasi Tanaman
Menanam tanaman yanmg berbeda-beda jenisnya dalam satu tahun dapat
memutus /meotong siklus atau daun hidup hama terutama hama-hama yang sifatnya
monofagus. Contoh : Hama Sundep. Hama ini menyukaitanaman padi, maka dengan
menanam tanaman palawija, setelah padi maka serangan hama ini akan berkurang.
7. Pengaturan waktu tanam.
Penggeseran waktu tanam dapat mengurangi serangan hama-hama
tertentu..Sebagai contoh hama sundep. Hama sundep pada musim kemarau
berdaiapause dalam tanah kemudian menjadi kupu dan bertelur. Kupu bertelur setelah
penerbangan pertama dan biasanya meletakkan telurnya pada tanaman pembibitan
yang berumur dua minggu. Penggeseran waktu tanam menyebabkan kupu tidak dapat
bertelur pada waktunya (pada saat akan bertelur tidak terdapat tanaman yang berumur
dua minggu).
E. Pengendalian Dengan Tanaman Tahan Hama
Menurut Painter yang dimaksud dengan tanaman tahan hama adalah tanaman
yang mempunyai turunan yang kualtas atau sifatnya menyebabkan tanaman mampu
menyembuhkan diri terhadap kerusakan yang diakibatkan oleh serangan hama.
Keuntungan penggunaan varitas /tanaman tahan antara lain :
1. Sangat mudah dilakukan dengan biaya yang minimal
2. Tekniknya sederhana sehingga mudah dilakukan oleh petani
3. Persisten (sifat pengendaliannya tetap dalam jangka waktu yang lama)
4. Sifatnya spesifik (mengarah pada satu macam hama)
5. Komulatif, yaitu pengaruh sekarang dan berikutnya akan menurunkan
populasi hama
6. Serasi terhadap lingkngan, artinya tidak menghasilkan residu terhadap
lingkungan.
7. Compatibel dengan cara pengendalian lainnya
Kelemahannya :
1. Memerlukan tenaga dan waktu yang banyak untuk pengembangannya
2. Timbulnya biotipe yaitu strain baru yang biasa menyesuaikan diri pada
tanaman yang tadinya tidak disukai.
3. Keterbatasan dari sumber genetiknya
4. Sifat-sifat ketahanannya yang bertentangan, artinya tanaman unggul
terhadap hama tertentu tetapi peka terhadap hama lainnya.
Sifat-sifat ketahanan datangnya dari sifat morfologi, biokmia, biofisik atau perilau
dari hama. Untuk memperoleh tanaman tahan hama bukan merupakan suatu hal yang
mudah dan cepat, dibutuhkan pengetahuan yang luas mengenai morfologi, fisiologi,
genetika tanaman, perilaku serangga dan pengetahuan lainnya. Oleh karena banyak
faktor probabiltas yang berpengaruh terhadap program pemuliaan, maka untuk
mendapatkan varitas baru yang dijamin kelanggengan sifatnya, diperlukan waktu yang
cukup lama 6-10 tahun..
Langkah pokok yang perlu dikerjakan dalam PHT adalah :
1) Mengidentifikasi dan analisa status hama yang harus dikelola apakah termasuk utama,
hama kedua, hama potensial, hama migran dan yang bukan hama.
2) Mempelajari saling tindak komponen dalam ekosistem yang berpengaruh terhadap
hama utama, termasuk inventarisasi beberapa musuh alami.
3) Penetapan dan pengembangan ambang ekonomi merupakan ketetapan tentang
pengambilan keputusan kapan harus menggunakan pestisida.
4) Pengembangan sistem pengamatan dan monitoring hama untuk mengetahui letak dan
keadaan suatu jenis hama pada suatu waktu dan tempat terhadap ambang ekonomi
hama tersebut.
5) Pengembangan model diskriptif dan peramalan hama menggunakan taktik ganda
pengendalian dalam suatu kesatuan sistem yang terkoordinasi serta mengusahakan
agar populasi atau kerusakan tetap berada di bawah aras toleransi manusia.
6) Penyuluhan pada petani agar menerima dan menerapkan PHT agar mempunyai
kemampuan untuk dapat mengamati dan mengambil keputusan pengendalian.
7) Pengembangan organsasi PHT mengharuskan adanya suatu organisasi yang efesien
dan efektif yang dapat bekerja secara tepat dalam menanggapi setiap perubahan yang
terjadi pada ekosistem.
2.2.5 Kelebihan dan Kelemahan Pengendalian Hama Terpadu
a) Kelebihan
PHT mendukung praktek pertanian yang baik, peningkatan efisiensi terutama
diperoleh dari penekanan input produksi seperti benih, pupuk, dan pestisida.
Berkurangnya penggunaan pestisida dan meningkatnya pemakaian bahan organik
diharapkan dapat memperbaiki kondisi lahan dan menekan pencemaranlingkungan,
sehingga produk lebih aman dan kelangsungan proses produksi menjadi lebih terjamin
(Kartasapoetra, 1991).
b) Kekurangan
Bebarapa kekurangan penerapan pengendalian hama terpadu antara lain
(Kartasapoetra, 1991):
1) Proses difusi teknologi PHT masih berjalan lambat atau bahkan stagnasi. Disisi lain,
perubahan pengetahuan dan sikap petani dalam pengendalian hama penyakit sesuai
paket teknologi PHT juga masih rendah.
2) Rendahnya penyebaran teknologi antara lain dengan terbatasnya pembinaan terutama
pasca SLPHT. Kurangnya melibatkan aparat penyuluh pertanian, menyebabkan
ketergantungan terhadap para pemandu SLPHT sangat tinggi.
3) Sikap dan persepsi yang kuat terhadap penggunaan pestisida kimiawi sebagai cara
praktis dan ampuh dalam pengendalian hama penyakit. Kenyataan ini mempersulit
mengubah persepsi kearah penggunaan pestisida secara bijaksana dan dalam
pemasyarakatan penggunaan pestisida nabati.
4) Pengambilan keputusan terkait pengendalian hama penyakit atau keputusan dalam hal
budidaya cenderung bersifat individual, dan belum dilakukan secara kelompok terutama
pasca pelatihan. Kelompok tani belum berfungsi dalam pengambilan keputusan
pengendalian hama penyakit atau kegiatan budidaya lainnya.
5) Masih terbatasnya dukungan pemerintah daerah dalam membina petani dan
melanjutkan program SLPHT dengan sumberdaya dari daerah. Mengingat kegiatan
SLPHT dari pemerintah pusat sudah selesai.
6) Masih terbatasnya dukungan berbagai kelembagaan seperti pemasaran hasil, dan
permodalan dalam membantu petani untuk ebih meningkatkan kinerja usahataninya
2.2.6 Studi kasus Penerapan Pengendalian Hama Terpadu
1. Penerapan Teknologi Pengendalian Hama Terpadu (PHT) Pada Perkebunan Jambu
Mete
Jambu mete (Anacardium moccidentale) merupakan komoditi perkebunan yang
mempunyai prospek baik untuk dikembangkan sebagai komoditi ekspor. Tahun 2000,
ekspor nasional jambu mete mencapai 27.617 ton atau sama dengan 31.502 US$
denganlaju pertumbuhan ekspor selama sepuluh tahun terakhir (tahun 1990-2000)
mencapai 47,8persen per tahun (Direktorat Jenderal Perkebunan Rakyat, 2002). Dalam
memasuki era perdagangan bebas, Indonesia sebagai negara produsen jambu mete,
harus melakukan langkah-langkah perbaikan untuk meningkatkan daya saingproduk.
Upaya perbaikan disamping aspek efisiensi produksi dan kualitas produk, juga
diproduksi secara ramah lingkungan. N. Hakim. (2003) menginformasikan, bahwa
sebagian dari konsumen kopi yang sekaligus pemerhati lingkungan akhir-akhir ini
menganggap bahwa beberapa negara produsen sudah tidak lagi memperhatikan
tatanan lingkungan, hanya mengeksploitasi lahan untuk tujuan memperoleh hasil yang
sebesar-besarnya sehingga menyebabkan erosi dan banjir di musim hujan, hilangnya
populasi satwa (burung, serangga, dan lainnya), serta rusaknya ekosistem mikro.
Melihat permasalahan tersebut, pemerintah cq Departemen Pertanian sejak
tahun 1997 mengintroduksikan teknologi Pengendalian Hama Terpadu (PHT) yang
ramah lingkungan kepada petani perkebunan rakyat melalui Sekolah Lapang
Pengendalian Hama Terpadu (SL-PHT). Pelaksanaan SL-PHT mencakup enam
komoditi utama yaitu kopi, kakao, jambu mete, teh, kapas, serta lada, masing-masing
dilaksanakan di satu Propinsi sentra produksi. Pelatihan SL-PHT jambu mete
dilaksanakan di Propinsi NTB tahun 2001, sampai tahun 2002 sudah dihasilkan 800
petani SL-PHT tersebar di Lombok Barat (65,6%), Lombok Timur (18,8%), dan
Sumbawa (15,6%) .
Pada dasarnya materi pelatihan SL-PHT mencakup empat prinsip yang
dikembangkan, yaitu (a) petani mampu untuk mengusahakan budidaya tanaman sehat,
(b)memahami dan memanfaatan musuh alami, (c) melakukan pengamatan agro-
ekosistem kebun secara berkala, dan (d) petani mampu menjadi manager usahatani
(Untung, 1997). Petani sebagai manager berarti petani harus tahu dan mampu
memutuskan penerapan tiga prinsip SL-PHT sebelumnya dalam mengelola kebunnya
yaitu, mengusahakan budidaya tanaman sehat, memahami dan memanfaatan musuh
alami, dan melakukan pengamatan agro-ekosistem kebun secara berkala.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Pengendalian hayati dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk menekan hama
yang terjadi dengan memanfaatkan makhluk hidup secara alami yang ada di alam.
2. PHT merupakan pengelolaan hama secara ekologis, teknologis, dan multidisiplin
dengan memanfaatkan berbagai taktik pengendalian yang kompatibel dalam satu
kesatuan koordinasi sistem pengelolaan pertanian berwawasan lingkungan dan
berkelanjutan.
3. Implementasi PHT memerlukan dukungan dari berbagai pihak, termasuk petani,
peneliti, pemerhati lingkungan, penentu kebijakan, dan bahkan politisi. Pendekatan
pertanian berkelanjutan untuk pengelolaan hama, yang meliputi kombinasi
pengendalian hayati, kultur teknis, dan pemakaian bahan kimia secara bijaksana,
merupakan alat dalam merintis pertanian ekonomis, pelestarian lingkungan, dan
menekan risiko kesehatan.

DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Z. 2004. Pengendalian Hama dan Penyakit Utama Pada Tanaman Tembakau. BPTD.
Medan.
Hidayat, A. 2001. Metode Pengendalian Hama. Tim Program Keahlian Budidaya Tanaman.
Departemen Pendidikan Nasional. Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan. Jakarta
Kartasapoetra, 1991. Hama Hasil Tanaman Dalam Gudang. Rineka Cipta. Jakarta.
Kusnaedi, 1999. Pengendalian Hama tanpa Pestisida. Jakarta. Penebar Swadaya.
Sulistiani, Rini. 2008. Kelebihan dan Kekurangan Beberapa Teknik Pengendalian Hama Terpadu.
USU press. Medan

http://abdurochman27.blogspot.co.id/2014/12/pengendalian-hayati-pengendalian-hama.html

PATOGEN
PATOGEN

I. PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Kehidupan tumbuhan sangat dipengaruhi oleh faktor luar. Dalam keadaan normal masyarakat
tumbuhan dapat mempertahankan keseimbangan biologi satu dengan lainnya untuk mendapatkan
ruangan, cahaya, kelembapan, dan makanan. Hal yang demikian merupakan faktor minimum
yang harus dipertahankan agar tidak dapat diganggu oleh suatu organisme pengganggu tanaman.
Salah satu organisme pengganggu tanaman yaitu patogen, yang mana akan dijelaskan dalam
makalah ini.
Pengetahuan mengenai patogen ini sangat penting untuk dipelajari, karena agar tidak
terjadinya gangguan yang eksplosif atau epidemi yang potensial terhadap tanaman yang
dibudidayakan. Setiap kerugian dari gangguan dapat mengurangi hasil rata-rata per unit tanaman,
dan kerugian ini lebih menekan tanah yang tersedia untuk menghasilkan produksi pertanian,
akibatnya akan menambah masalah dalam melayani pertumbuhan penduduk dunia. Oleh karena
itu, dalam makalah ini akan diulas mengenai definisi dari patogen itu sendiri, jenis-jenisnya serta
bagaimana cara pengendaliannya.

b. Tujuan
1. Mengetahui pengertian patogen dan macam-macamnya.
2. Mengetahui cara pengendalian patogen.

II. ISI
Patogen adalah agen biologis yang menyebabkan penyakit pada inangnya. Sebutan lain dari
patogen adalah mikroorganisme parasit. Umumnya istilah ini diberikan untuk agen yang
mengacaukan fisiologi normal hewan atau tumbuhan multiseluler (Warren, 2008).
Patogen juga merupakan salah satu organisme pengganggu tanaman yang dapat menyebabkan
penurunan potensi hasil yang secara langsung karena menimbulkan kerusakan fisik, gangguan
fisiologi dan biokimia, atau kompetisi hara terhadap tanaman budidaya. Oleh karena itu,
pengendalian terhadap patogen ini sangat penting dalam perlindungan tanaman, yang mana
bertujuan untuk membudidayakan tanaman.
Patogenesitas adalah kemampuan pathogen menyebabkan penyakit, sedangkan inokulum adalah
patogen atau bagian patogen yang dapat meyebabkan infeksi (Agrios, 1996).
Patogen diklasifikasikan ke dalam beberapa jenis, yaitu virus, bakteri, fungi, dan nematoda.

1. Virus
Virus adalah parasit yang bukan merupakan mahluk hidup, namun memiliki materi genetik
berupa asam nukleat (DNA/RNA) yang membutuhkan keberadaan sel prokariot atau eukariot
yang hidup untuk melakukan replikasi atau perbanyakan dari asam nukleat tersebut. Virus dapat
menginfeksi binatang, manusia, tanaman, fungi, bakteri, protozoa, serangga dan hampir semua
jenis mahluk hidup.
Contoh: Cowpea Aphid Borne Virus (CABMV) pada tanaman kacang panjang.
Penyakit ini merupakan penyakit yang paling banyak dijumpai pada tanaman kacang panjang.
Vektor pembawa virusnya adalah aphid. Kerugian yang ditimbulkan pada kacang panjang ialah
pertumbuhan dan hasil polong yang tidak normal. Penampakan visual tanaman kacang panjang
yang tertular CABMV ialah tulang daun berwarna kuning, sehingga daun terlihat menguning
atau berwarna belang hijau pucat dan keriput atau terjadi perubahan bentuk daun. Gangguan
penyakit mosaik timbul karena adanya interaksi antara tanaman inang, patogen/vector, dan
lingkungan.
Pengendalian terhadap gangguan penyakit CABMV ialah dengan penyemprotan insektisida.
Perlakuan terhadap insektisida dapat membuat kacang panjang dapat tumbuh normal dan subur.
Secara alamiah kacang panjang mempunyai ketahanan tertentu terhadap penyakit, yaitu
ketahanan yang dikendalikan oleh gen. Perkembangan gen ketahanan terjadi sebagai hasil
evolusi tanaman inang dan patogen yang telah berlangsung lama dan dapat terbentuk banyak
tanaman dengan tingkat ketahanan yang beragam.
Pengendalian yang lebih ekonomis adalah penggunaan varietas yang tahan atau toleran. Dengan
penanaman varietas tahan atau toleran, maka penggunaan pestisida dapat dikurangi. Selain itu,
cara ini lebih aman terhadap lingkungan dan manusia serta kehilangan hasil dan biaya produksi
dapat ditekan. Hasil polong lebih sehat dan konsumen tidak enggan mengkonsumsi.

2. Bakteri
Bakteri, yang termasuk dalam organisme prokariot, merupakan patogen yang umum pada
mahluk hidup seperti tanaman.
Contoh: Penyakit layu bakteri

Penyakit ini disebabkan oleh Pseudomonas solanacearum Smith. Mula-mula


tanaman terlihat layu seperti kekurangan air, terutama pada daun-daun muda
(bagian atas dari tanaman) kemudian tanaman menjadi layu keseluruhannya
dan mati. Bila pada pangkal batang dipotong melintang ataupun membujur
akan terlihat pembuluh kayunya berwarna coklat. Bila bagian yang paling
dekat dengan perakaran (pangkal batang) dipotong miring kemudian
dimasukkan ke dalam gelas berisi air jernih, maka tak lama kemudian akan
keluar cairan (lendir) yang berwarna putih (sepintas seperti asap yang keluar
dari batang rokok). Lendir tersebut akan mengendap ke dasar gelas. Lendir ini
merupakan massa bakteri. Adanya massa bakteri ini dipakai untuk
membedakan penyakit layu bakteri dengan layu fusarium (pada layu fusarium
tidak keluar cairan putih ini). Pada akar sering tampak sebagian akarnya
menjadi coklat busuk.
Pengendalian yang dapat dilakukan antara lain pengapuran pada tanah yang
memiliki pH asam, perbaikan aerasi dan drainase tanah, pergiliran (rotasi)
tanaman, pencabutan dan pemusnahan tanaman yang sakit, dan perlakuan bibit
sebelum tanam. Perlakuan bibit sebelum tanam dilakukan dengan cara
merendam bidang perakaran bibit dan mediumnya dan larutan bakterisida.

3. Fungi
Fungi adalah organisme prokariot yang termasuk dalam kingdom protista dengan sekitar 75.000
spesies yang sudah diidentifikasi (Ramage et al., 2001).
Contoh: Akar gada kubis
Penyakit yang menyerang akar kubis ini disebabkan oleh jamur Plasmodiophora brassicae. Akar
akan mengalami reaksi pembelahan dan pembesaran sel serta membentuk bintil-bintil atau
kelenjar yang tidak teratur. Bintil-bintil tersebut bersatu membentuk bengkakan. Selain itu daun
akan berwarna hujau kelabu dan cepat layu. Hal ini disebabkan karena jaringan pengangkut yang
telah rusak.
Penggunaan fungisida dapat menjadi salah satu cara pengendalian penyakit akar gada. Selain itu,
dapat disediakan dan digunakan bibit bebas patogen dan pemberian abu atau kapur yang dapat
mengurangi infeksi pada tanaman yang diserang.

4. Nematoda
Nematoda pada umumnya berukuran kecil 300-1000 μm, kadang panjangnya mencapai 4 μm dan
lebar 15-35 μm, diameternya sangat kecil. Tubuhnya bersifat transparan dan ditutupi kutikula
yang tidak berwarna.

Contoh: Bisul akar atau puru akar.

Bisul akar disebabkan oleh Meloidogyne sp. Inang utamanya yaitu jagung atau tomat dengan
inang alternatif tembakau, tebu, dan kentang. Bagian yang diserang yaitu akar dengan gejala
daun berguguran dan timbul bisul pada akar.
Pencegahan penyakit yang disebabkan nematoda ini adalah dengan
menggunakan benih bebas nematoda dari tanaman yang sehat. Bila biji yang akan ditanam
diragukan kesehatannya, biji tersebut dapat terlebih dahulu direndam di dalam air panas. Adapun
cara pengendaliannya yaitu dengan melakukan rotasi tanaman dan penggunaan nematisida.
Secara umum, patogen yang menyebabkan penyakit dapat dikendalikan
dengan beberapa cara seperti pengendalian dengan eksklusi (mencegah masuknya patogen dari
suatu daerah ke daerah lain), meniadakan patogen dari inang, eradikasi atau memusnahkan
patogen, imunisasi atau meningkatkan ketahanan inang, dan perlindungan langsung tumbuhan
dari patogen. Selain cara-cara tersebut juga dapat dilakukan pengendalian penyakit tumbuhan
secara terpadu. Pengendalian terpadu adalah upaya mengendalikan tingkat populasi atau tingkat
serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT) dengan menggunakan satu atau lebih teknik
pengendalian yang dikembangkan dalam satu kesatuan untuk mencegah dan mengurangi
timbulnya kerugian secara ekonomis dan kerusakan lingkungan hidup
Patogen menyerang tumbuhan inang dengan berbagai macam cara guna memperoleh zat
makanan yang dibutuhkan oleh patogen yang ada pada inang. Untuk dapat masuk kedalam inang
patogen mampu mematahkan reaksi pertahanan tumbuhan inang.
Dalam menyerang tumbuhan, patogen mengeluarkan sekresi zat kimia
yang akan berpengaruh terhadap komponen tertentu dari tumbuhan dan juga berpengaruh
terhadap aktivitas metabolisme tumbuhan inang. Beberapa cara patogen untuk dapat masuk
kedalam inang diantaranya dengan cara mekanis dan cara kimia.
Cara mekanis yang dilakukan oleh patogen yaitu dengan cara penetrasi langsung ke tumbuhan
inang. Dalam proses penetrasi ini seringkali dibantu oleh enzim yang dikeluarkan patogen untuk
melunakkan dinding sel.
Pada jamur dan tumbuhan tingkat tinggi parasit, dalam melakukan penetrasi sebelumnya
diameter sebagian hifa atau radikel yang kontak dengan inang tersebut membesar dan
membentuk semacam gelembung pipih yang biasa disebut dengan appresorium yang akhirnya
dapat masuk ke dalam lapisan kutikula dan dinding sel.
Skema penetrasi patogen terhadap dinding sel tanaman
Pengaruh patogen terhadap tumbuhan inang hampir seluruhnya karena proses biokimia akibat
dari senyawa kimia yang dikeluarkan patogen atau karena adanya senyawa kimia yang
diproduksi tumbuhan akibat adanya serangan patogen.
Cara Kimia: Substansi kimia yang dikeluarkan patogen diantaranya enzim, toksin dan zat
tumbuh dan polisakarida. Dari keempat substansi kimia tersebut memiliki peranan yang berbeda-
beda terhadap kerusakan inang. Misalnya saja, enzim sangat berperan terhadap timbulnya gejala
busuk basah, sedang zat tumbuh sangat berperan pada terjadinya bengkak akar atau batang.
Selain itu toksin berpengaruh terhadap terjadinya hawar.
1. Enzim
Secara umum enzim dari patogen berperan dalam memecah struktur komponen sel inang,
merusak substansi makanan dalam sel dan merusak fungsi protoplas. Toksin berpengaruh
terhadap fungsi protoplas, merubah permeabilitas dan fungsi membran sel. Zat tumbuh
mempengaruhi fungsi hormonal sel dalam meningkatkan atau mengurangi kemampuan
membelah dan membesarnya sel. Sedang polisakarida hanya berperan pasif dalam penyakit
vaskuler yang berkaitan dengan translokasi air dalam inang dan ada kemungkinan polisakarida
bersifat toksik terhadap sel tumbuhan.
Enzim oleh sebagian besar jenis patogen dikeluarkan setelah kontak dengan tumbuhan inang.
Tempat terjadinya kontak antara patogen dengan permukaan tumbuhan adalah dinding sel
epidermis yang terdiri dari beberapa lapisan substansi kimia. Degradasi setiap lapisan tersebut
melibatkan satu atau beberapa enzim yang dikeluarkan patogen.
Contoh bagian tanaman yang telah rusak akibat adanya enzim dari patogen tanaman.

2. Toksin
Toksin merupakan substansi yang sangat beracun dan efektif pada konsentrasi yang sangat
rendah. Toksin dapat menyebabkan kerusakan pada sel inang dengan merubah permeabilitas
membran sel, inaktivasi atau menghambat kerja enzim sehingga dapat menghentikan reaksi-
reaksi enzimatis. Toksin tertentu juga bertindak sebagai antimetabolit yang mengakibatkan
defisiensi faktor pertumbuhan esensial.
Toksin yang dikeluarkan oleh patogen dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu patotoksin,
vivotoksin dan fitotoksin.
a. Patotoksin
Patotoksin ialah toksin yang sangat berperan dalam menentukan tingkat keparahan penyakit.
Berdasarkan luas kisaran inangnya patotoksin digolongkan menjadi dua, yaitu spesifik dan non-
spesifik. Vivotoksin dan fitotoksin umumnya bersifat non-spesifik.
b. Vivotoksin
Vivotoksin ialah substansi kimia yang diproduksi oleh patogen dalam tumbuhan inang dan atau
oleh inang itu sendiri yang ada kaitanya dengan terjadinya penyakit, tetapi toksin ini bukan agen
yang memulai terjadinya penyakit. Beberapa kriteria yang ditunjukkan oleh vivotoksin
diantaranya: dapat dipisahkan dari tumbuhan inang sakit, dapat dipurifikasi dan karakterisasi
kimia, menyebabkan dari sebagian gejala kerusakan pada tumbuhan sehat, dan dapat diproduksi
oleh organisme penyebab penyakit.
c. Fitotoksin
Fitotoksin adalah toksin yang diproduksi oleh parasit yang dapat menyebabkan sebagian kecil
atau tidak sama sekali gejala kerusakan pada tumbuhan inang oleh pathogen. Tidak ada
hubungan antara produksi toksin oleh patogen dengan patogenesitas penyebab penyakit.
Contoh gejala pada tanaman inang akibat toksin nonspesifik

Contoh gejala pada tanaman inang akibat toksin spesifik


3. Zat Tumbuh
Zat tumbuh yang terpenting yaitu auksin, giberellin dan sitokinin, selain itu etilen dan
penghambat tumbuh juga memegang peranan penting dalam kehidupan tumbuhan. Patogen
tumbuhan dapat memproduksi beberapa macam zat tumbuh atau zat penghambat yang sama
dengan yang diproduksi oleh tumbuhan, dapat memproduksi zat tumbuh lain atau zat
penghambat yang berbeda dengan yang ada dalam tumbuhan, atau dapat memproduksi substansi
yang merangsang atau menghambat produksi zat tumbuh atau zat penghambat oleh tumbuhan.
Patogen seringkali menyebabkan ketidak seimbangan sistem hormonal pada tumbuhan dan
mengakibatkan pertumbuhan yang abnormal sehingga pada tumbuhan yang terinfeksi oleh
patogen tersebut akan timbul gejala kerdil, pertumbuhan berlebihan, terlalu banyaknya akar-akar
cabang dan berubahnya bentuk batang.

Contoh gejala pembengkakan pada akar tanaman


4. Polisakarida
Beberapa pathogen mungkin dapat mengeluarkan substansi lender yang menyelubungi tubuh
pathogen tersebut untuk melindungi diri dari factor lingkungan luar yang tidak menguntungkan.
Peranan polisakarida pada penyakit tumbuhan hanya terbatas pada layu. Pada vaskuler,
polisakarida dalam jumlah yang cukup banyak akan terakumulasi pada xilem yang akan
menyumbat aliran air pada tanaman.

III. PENUTUP
a. Kesimpulan
1. Patogen adalah agen biologis yang menyebabkan penyakit pada inangnya (tumbuhan).
2. Patogen dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa jenis, yaitu virus, bakteri, fungi/jamur,
dan nematoda.
3. Pencegahan dan pengendalian patogen berbeda-beda menurut jenis patogennya. Meskipun
demikian, secara umum pengendaliannya dapat dilakukan dengan eksklusi, eradikasi, imunisasi,
perlindungan langsung tumbuhan dari patogen, dan pengendalian terpadu.
b. Saran
Kerugian karena patogen dapat diminimalisir dengan pencegahan dari awal tanam. Dengan
monitoring pada lahan, petani dapat mengetahui lebih awal gejala tanaman terkena patogen dan
adanya vector yang membawa patogen. Jika tanaman sudah terkena patogen, agar tidak menulari
tanaman lain sebaiknya tanaman tersebut segera dicabut dan dimusnahkan. Selain itu vector yang
ada harus ikut dimusnahkan, walaupun hanya ada satu. Karena penyebaran patogen dengan
vector, contohnya serangga vector sangat cepat.

DAFTAR PUSTAKA

Agrios, G. N. 1996. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.s
Anonim. 2008. Ralstonia solanacearum. <http://www.eppo.org/QUARANTINE/
bacteria/Ralstonia_solanacearum/PSDMSO_images.htm>. Diakses pada tanggal 18 Desember
2010.

Anonim. 2009. Diseases. <http://www.agroatlas.ru/en/content/diseases/Solani/


Solani_Ralstonia_solanacearum/>. Diakses pada tanggal 18 Desember 2010.Ramage, G.,
VandeWalle K, Wickes BL, López–Ribot JL. 2001. Characteristics of biofilm formation by
Candida albicans. Rev Iberoam Micol 18:163—170.

Dicklow, M. B. 2010. Clubroot of brassicas. <http://www.umassvegetable.org/soil_


crop_pest_mgt/disease_mgt/images/broccoli_club_root.jpg>. Diakses pada tanggal 18 Desember
2010.

El Frandho, E. 2010. Layu bakteri. <http://www.agrilands.net/read/full/agriwacana /hama-


penyakit/2010/11/14/layu-bakteri.html>. Diakses pada tanggal 18 Desember 2010.

Muhidin. 1993. Dasar Hama dan Penyakit Tumbuhan. Universitas Muhammadiyah. Malang.

Purnomo, R. 2010. CABMV Penyakit utama pada tanaman kacang panjang.


<http://www.agrilands.net/read/full/agriwacana/budidaya/2010/10/23/cabmv-penyakit-penting-
tanaman-kacang-panjang.html>. Diakses pada tanggal 18 Desember 2010.

Warren, Levinson. 2008. Review of Medical Microbiology & Immunology Tenth Edition. The
McGraw-Hill Companies, Inc. New York.

http://treavanda.blogspot.co.id/2010/12/patogen.html
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bakteri
Bakteri merupakan tumbuhan bersel satu dan berdinding sel, tetapi bersifat prokariotik (tidak
mempunyai membran inti). Bakteri mempunyai kemampuan mereproduksi individu sel dalam
jumlah sangat banyak dengan waktu singkat sehingga menjadi penyebab penyakit yang
mempunyai sifat merusak pada inang. Penyebaran bakteri tidak melalui spora, sehingga secara
adaptif tidak dapat disebarkan melalui angin. Akan tetapi, bakteri patogenik mampu berpindah
dengan perantara air, percikan air hujan, binatang, dan manusia.
Bacillus thuringiensis (BT) Bt telah dikenal sebagai biokontrol agen sejak tahun 1950-an.Bakteri
ini tersebar di berbagai tempat pada hampir semua penjuru dunia. Pertama kali dijumpai di
Jepang pada tahun 1901yang membunuh ulat sutera di tempat pemeliharaan. B. thuringiensis
merupakan bakteri grampositif berbentuk batang. aerobik dan membentuk spora.
B. thuringiensis adalah bakteri yang menghasilkan kristal protein yang bersifat membunuh
serangga (insektisidal) sewaktu mengalami proses sporulasinya (Hofte dan Whiteley, 1989).
Kristal protein yang bersifat insektisidal ini sering dise-but dengan δ endotoksin. Kristal ini
sebenarnya hanya merupakan pro-toksin yang jika larut dalam usus se-rangga akan berubah
menjadi poli-peptida yang lebih pendek (27-149 kd) serta mempunyai sifat insektisi-dal. Pada
umumnya kristal Bt di alam bersifat protoksin, karena ada-nya aktivitas proteolisis dalam sistem
2.2 Virus
Salah satu agen hayati yang berperan penting sebagai pengendali hama secara alamiah adalah
Nuclear Polyhedrosis Virus (NPV) yang berstatus sebagai musuh alami bagi ulat grayak. Virus
ini memiliki sifat menguntungkan antara lain:1. Memiliki inang spesifik, 2. Tidak mempengaruhi
parasitoid dan predator, 3. Dapat mengatasi masalah resistensi akibat penggunaan insektisida
serta ramah lingkungan. Bahan aktif VIREXI/VIR-X adalah patogen serangga Spodoptera
exigua Nuclear Polyhedrosis Virus (Se-NPV) sedangkan VITURA/VIR-L berasal dari patogen
serangga Spodoptera litura Nuclear Polyhedrosis Virus (Sl-NPV). Pestisida ini tidak
mengandung bahan kimia beracun dan merupakan pengendali alternatif yang efektif membunuh
hama sasaran dan tidak berdampak negatif. Virus patogen serangga dari ulat bawang S. exigua
dan S. litura termasuk ke dalam famili Baculoviridae (Baculovirus). NPV adalah virus yang
berbentuk segi banyak dan terdapat di dalam inclusion bodies yang disebut polihedra dan
melakukan replikasi atau memperbanyak diri di dalam inti sel (nukleus) inangnya.
Bio insektisida VIREXI/VIR-X dan VITURA/VIR-L secara spesifik hanya digunakan sebagai
pengendali ulat grayak Spodoptera exigua dan Spodoptera litura yang menyerang tanaman
bawang merah, bawang putih, bawang daun, kacang-kacangan, tembakau, tomat dan cabe.
Proses infeksi SeNPV dan SlNPV di mulai dari tertelannya polihedral (berisi virus) bersama
makanan ulat. Di dalam saluran pencernaan yang bersuasana alkalis, polihedra larut sehingga
membebaskan virus (virion). Selanjutnya virus menginfeksi sel-sel yang rentan. Dalam waktu 1
– 2 hari setelah polihedra tertelan, ulat yang terinfeksi akan mengalami gejala abnormal secara
morfologis, fisiologis dan perilakunya. Masa infeksi NPV sampai larva yang terserang mati
dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya umur larva, suhu dan banyaknya PIB yang tertelan.
Isolat virus yang lebih virulen (ganas) dapat mematikan larva dalam 2 - 5 hari, tetapi isolat yang
kurang virulen membutuhkan 2 – 3 minggu untuk mematikan inangnya. Infeksi juga dapat terjadi
pada larva yang baru menetas akibat telur yang terinfeksi. Hal ini karena larva yang baru
menetas harus makan korion waktu membuat lubang untuk keluar. Apabila korion yang
mengandung NPV masuk ke dalam tubuh larva dan menginfeksi organ-organ tubuhnya maka
kematian akan terjadi 1 – 2 hari kemudian. Gejala ulat terinfeksi NPV secara morfologis terlihat,
hemolimfa ulat yang semula jernih berubah keruh dan secara fisiologis ulat tampak berminyak
dan perubahan warna tubuh menjadi pucat kemerahan, terutama bagian perut. Sedangkan secara
perilaku, ulat cenderung merayap ke pucuk tanaman, yang kemudian mati dalam keadaan
menggantung dengan kaki semunya pada bagian tanaman.
Permukaan kulit ulat akan mengalami perubahan warna dari pucat mengkilap pada awal
terinfeksi kemudian akan menghitam dan hancur. Apabila tersentuh, tubuh ulat akan
mengeluarkan cairan kental berbau seperti nanah yang berisi partikel virus. Ulat mati dalam
waktu 3 – 7 hari setelah polihedra tertelan. Sebelum mati ulat masih dapat merusak tanaman,
namun kerusakan yang diakibatkan ulat yang sudah terinfeksi sangat rendah, karena terjadi
penurunan kemampuan makan dari ulat grayak sampai 84%. SeNPV diaplikasikan menggunakan
alat penyemprot, sama halnya seperti yang digunakan untuk menyemprot pestisida kimia
(knapsack sprayer). Sebelumnya alat semprot dibersihkan/dicuci terlebih dahulu bila sehabis
dipakai untuk menyemprot pestisida kimia. Dapat pula dicampur dengan pupuk cair organik
(POC). Jangan dicampur dengan pestisida kimia. Aplikasi sebaiknya ditujukan untuk
mengendalikan ulat instar 1 – 3. Penyemprotan sebaiknya diarahkan ke permukaan daun bagian
bawah dan dilakukan pada sore atau malam hari agar tidak langsung terkena pengaruh sinar
matahari, disamping itu ulat grayak Spodoptera exigua dan Spodoptera litura memiliki sifat
nocturnal yaitu mencari makan pada malam hari.

BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Bakteri Sebagai Musuh Alami
3.1.1 Sejarah Bacillus thuringiensis (bt)
Bt telah dikenal sebagai biokontrol agen sejak tahun 1950-an.Bakteri ini tersebar di berbagai
tempat pada hampir semua penjuru dunia. Pertama kali dijumpai di Jepang pada tahun 1901yang
membunuh ulat sutera di tempat pemeliharaan. Sepuluh tahun kemudian, di Jerman ditemukan
strain baru dari Bt pada larva yang menyerang biji-bijian (serealia) di gudang penyimpanan.
Karena strain berikutnya ditemukan di Propinsi Thuringen, maka bakteri ini disebut Bacillus
thuringiensis, yaitu nama yang di berikan pada famili bakteri yang memproduksi kristal
paraspora yang bersifat insektisidal. Semula bakteri ini hanya diketahui menyerang larva dari
serangga kelas Lepidoptera sampai kemudian ditemu-kan bahwa bakteri ini juga menyerang
Diptera dan Coleoptera.
B. thuringiensis merupakan bakteri grampositif berbentuk batang. aerobik dan membentuk spora.
Banyak strain dari bakteri ini yang menghasilkan protein yang beracun bagi serangga. Sejak
diketahuinya potensi dari protein kristal Bt sebagai agen pengendali serangga, berbagai
isolat Bt dengan berbagai jenis protein kristal yang dikandungnya telah teridentifikasi. Sampai
saat ini telah diidentifikasi protein kristal yang beracun terhadap larva dari berbagai ordo
serangga yang menjadi hama pada tanaman pangan dan hortikultura. Kebanyakan dari protein
kristal tersebut lebih ramah lingkungan karena mempunyai target yang spesifik sehingga tidak
mematikan serangga bukan sasaran dan mudah terurai sehingga tidak menumpuk dan mencemari
lingkungan.
Jika nutrien di mana dia hidup sangat kaya, maka bakteri ini hanya tumbuh pada fase vegetatif,
namun bila suplai makanannya menurun maka akan membentuk spora dorman yang
mengandung satu atau lebih jenis kristal protein. Kristal ini mengandung protein yang disebut δ-
endotoksin, yang bersifat letal jika dimakan oleh serangga yang peka. Produksi bioinsektisida Bt
berkembang dengan pesat dari 24 juta dolar Amerika Serikat pada 1980 menjadi 107 juta dolar
Amerika Serikat pada tahun 1989. Kenaikan permodalan diperkirakan mencapai 11% per tahun,
di mana pada tahun 1999 mencapai 300 juta dolar Amerika Serikat.
Bt yang dikomersialkan dalam bentuk spora yang membentuk inklusi bodi. Inklusi bodi ini
mengandung kristal protein yang dikeluarkan pada saat bakteri lisis pada masa phase stationary.
Produk ini digunakan sebanyak 10-50 g per acre atau 1020 molekul per acre. Potensi
toksisitasnya berlipat kali dibandingkan dengan pestisida, misalnya 300 kali dibandingkan
dengan sintetik pyrethroid.
Penggunaan Bt tidak hanya dalam bentuk microbial spray yang berkembang di lapang, tetapi
juga dalam bentuk tanaman transgenik Bt. Sebagai contoh luas penanaman transgenik Bt di USA
meningkat hampir 3 kali lipat, yaitu dari 4 juta ha pada tahun 1997 menjadi 11,5 ha pada tahun
2000 .
3.1.2 Mekanisme Patogenisitas Bacillus thuringiensis (bt)
Kristal protein yang termakan oleh serangga akan larut dalam lingkungan basa pada usus
serangga. Pada serangga target, protein tersebut akan teraktifkan oleh enzim pencerna protein
serangga. Protein yang teraktifkan akan menempel pada protein receptor yang berada pada
permukaan sel epitel usus. Penempelan tersebut mengakibatkan terbentuknya pori atau lubang
pada sel sehingga sel mengalami lysis. Pada akhirnya serangga akan mengalami gangguan
pencernaan dan mati.

3.1.3 Cara Isolasi


Isolat Bt dapat diisolasi dari tanah, bagian tumbuhan, kotoran hewan, serangga dan bangkainya
dan sumber lain. Salah satu cara isolasi yang cukup efektif adalah dengan seleksi asetat.
Beberapa gram sumber isolat disuspensikan ke dalam media pertumbuhan bakteri (misal LB)
yang mengandung natrium asetat kemudian dikocok. Media asetat tersebut menghambat
pertumbuhan spora Bt menjadi sel vegetatif. Setelah beberapa jam media tersebut di-panaskan
pada suhu 80°C selama beberapa menit. Pemanasan ini akan membunuh sel-sel bakteri atau
mikroorganisme yang sedang tumbuh termasuk spora-spora bakteri lain yang tumbuh. Kemudian
sebagian kecil dari suspensi yang telah dipanaskan diratakan pada media padat. Koloni-koloni
yang tumbuh kemudian dipindahkan ke media sporulasi Bt. Koloni yang tumbuh pada media ini
dicek keberadaan spora.
Tidak semua isolat Bt beracun terhadap serangga. Untuk itu perlu dilakukan penapisan daya
racun dari isolat-isolat yang telah diisolasi. Ada dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk hal
ini. Pertama dengan pendekatan molekular dan kedua dengan bioasai.Pendekatan molekular
dilakukan dengan PCR menggunakan primer-primer yang dapat menggandakan bagian-bagian
tertentu dari gen-gen penyandi protein kristal (gen cry). Hasil PCR ini dapat dipakai untuk
memprediksi potensi racun dari suatu isolat tanpa terlebih dulu melakukan bioasai terhadap
serangga target. Dengan demikian penapisan banyak isolat untuk kandungan gen-gen cry tertentu
dapat dilakukan dengan cepat.
Untuk menguji lebih lanjut daya beracun dari suatu isolat maka perlu dilakukan bioasai dengan
mengumpankan isolat atau kristal protein dari isolat tersebut kepada serangga target. Dari bioasai
ini dapat dibandingkan daya racun antar isolat. Dengan pendekatan seperti ini BB-Biogen telah
mengidentifikasi beberapa isolat Bt lokal yang mengandung gen cry1 dan beracun terhadap
beberapa serangga dari ordo Lepidoptera seperti Ostrinia furnacalis (penggerek jagung), Plutella
xylostella (hama kubis), Spodoptera litura (ulat grayak), S. exigua (hama).

3.1.4 Cara Perbanyakan


Perbanyakan bakteri Bt dalam media cair dapat dilakukan dengan cara yang mudah dan
sederhana. Karena yang kita perlukan sebagai bioinsektisida adalah protein kristalnya, maka
diperlukan media yang dapat memicu terbentuknya kristal tersebut. Media yang
mengandung tryptose telah diuji cukup efektif untuk memicu sporulasi Bt. Dalam 2–5
hari Bt akan bersporulasi dalam media ini dengan pengocokan pada suhu 30°C.
Perbanyakan Bt ini dapat pula dilakukan dalam skala yang lebih besar dengan fermentor.
3.1.5 Potensi Sebagai Bioinsektisida
Untuk bahan dasar bioinsektisida biasanya digunakan sel-sel spora atau protein kristal Bt dalam
bentuk kering atau padatan. Padatan ini dapat diperoleh dari hasil fermentasi sel-sel Bt yang
telah disaring atau diendapkan dan dikeringkan. Padatan spora dan protein kristal yang diperoleh
dapat dicampur dengan bahan-bahan pembawa, pengemulsi, perekat, perata, dan lain-lain dalam
formulasi bioinsektisida.
Bioinsektisida sebagai alternatif teknologi untuk menurunkan populasi hama. Bacillus
thuringiensis (Bt), merupakan famili bakteri yang memproduksi kristal protein di inclusion
bodynya pada saat ia bersporulasi. Bioinsektisida Bt merupakan 90-95% dari bioinsektisida yang
dikomersialkan untuk dipakai oleh petani di berbagai negara. Dengan kemajuan teknologi, gen
insektisidal Bt ini telah dapat diisolasi dan diklon sehingga membuka kemungkinan untuk
diintroduksikan ke dalam tanaman. Tanaman yang mengekspresikan gen Bt ini dikenal dengan
sebutan tanaman transgenik Bt. Tanaman transgenik Bt pertama kali dikomersialkan pada tahun
1995/96 dan sejak itu luas pertanaman ini meningkat
3.1.6 Contoh Aplikasi Musuh Alami dari Bakteri Bacillus Thuringiensis
Salah satu musuh alami Nyamuk adalah bakteri Bacillus thuringiensis atau sering disingkat Bt.
Kemampuan Bt untuk membunuh larva nyamuk Ae. aegypti sudah tidak diragukan lagi.
Hebatnya lagi, Bt ini sangat spesifik, dia hanya membunuh larva Ae. aegypti. Larva nyamuk lain
bahkan serangga lain tidak terkena sarangan racun Bt ini. Kemampuan Bt ini dapat dimanfaatkan
untuk membuat bioinsektisida yang ramah lingkungan untuk mengendalikan nyamuk Ae.aegypti.
Bt relatif mudah dikembangbiakan atau diproduksi secara masal. Dengan teknologi yang
sederhana dan bahan-bahan yang relatif murah. Bioinsektisida bisa dibuat dengan bahan aktif sel
Bt, endospora, atau ekstrak kristal proteinnya. Bioinsektisida ini disebarkan di tempat-tempat
habitat nyamuk Ae. aegypti dan wilayah-wilayah yang endemik DBD. Memang pengaruhnya
tidak secepat insektisida kimia. Namun demikian, cara ini bisa dijadikan langkah preventif dalam
mengendalikan wabah penyakit DBD dengan cara yang ramah lingkungan.
3.2. Virus Sebagai Musuh Alami
3.2.1 Nuclear Polyhedrosis Virus (NPV)
Nuclear Polyhedrosis Virus (NPV) merupakan suatu agen pengendali bagi hama, statusnya
sebagai musuh alami bagi ulat grayak. Keunggulan dari penggunaan NPV efektif membunuh
hama ulat yang menyerang tanaman.Ulat yang telah terinfeksi virus ini akan mati, kemudian
dapat dijadikan pengendali hama berikutnya bagi ulat yang sehat.
Bahan aktif virus Sl NPV berasal dari patogen serangga Spodoptera litura Nuclear Polyhedrosis
Virus. Secara spesifik hanya digunakan sebagai pengendali ulat grayak Spodoptera
exigua dan Spodoptera litura yang menyerang tanaman. Bahan itu tidak berbahaya bagi musuh
alami ulat, tidak berbau dan tidak berbahaya, atau beracun bagi manusia dan hewan
peliharaan/ternak.
NPV adalah virus yang berbentuk segi banyak dan terdapat di dalam inclusion bodies yang
disebut polihedra dan bereplikasi di dalam inti sel (nukleus). NPV memiliki badan inklusi
berbentuk polihedral yang merupakan kristal protein pembungkus virion dengan diameter 0.2 –
20 mm. Kristal protein ini disebut dengan protein polihedrin yang berukuran kurang lebih 29.000
sampai 31.000 Dalton. Kristal protein ini berfungsi sebagai pelindung infektifitas partikel virus
dan menjaga viabilitasnya di alam serta melindungi DNA virus dari degradasi akibat sinar ultra
violet matahari.
NPV telah ditemukan pada 523 spesies serangga, sebagian besar NPV bersifat spesifik inang,
yaitu hanya dapat menginfeksi dan mematikan spesies inang alaminya. Sehingga pada mulanya
penamaan NPV disesuaikan dengan nama inang asli dimana dia pertama kali diisolasi sebagai
contoh NPV yang menginfeksi ulat Spodoptera litura dinamai Spodoptera
litura Nucleopolyhedrovirus (SlNPV) dan yang menginfeksi ulat Spodoptera
exigua dinamai Spodoptera exigua Nucleopolyhedrovirus (SeNPV).

Ulat Spodoptera litura Ulat Spodoptera exigua


Melihat besarnya manfaat SlNPV dan SeNPV sebagai agensia hayati pada ulat grayak yang
biasanya menyerang tanaman kacang-kacangan, tembakau dan sayuran, maka NPV berpeluang
besar untuk dikembangkan sebagai bio-pestisida yang memiliki prospek komersial, tidak
berdampak negatif bagi pengguna (user) serta ramah lingkungan.
Bio-insektisida VIR-X (VIREXI) secara spesifik hanya digunakan sebagai pengendali ulat
grayak Spodoptera exigua yang menyerang tanaman bawang merah, bawang putih, bawang daun
dan kucai. Sedangkan VIR-L (VITURA) hanya untuk mengendalikan ulat grayak Spodoptera
litura yang biasanya menyerang tanaman cabe, kedelai/kacang-kacangan, dan tembakau. Namun
tidak menutup kemungkinan juga menyerang tanaman sayuran daun/buah yang lain, karena
ulat Spodoptera litura tergolong polifag (memiliki inang banyak).
3.2.2 PEMANFAATAN NPV SEBAGAI BIO-INSEKTISIDA
Potensi pemanfaatan NPV untuk mengendalikan hama pertama kali diketahui pada awal tahun
1900-an. Saat ini di luar negeri, beberapa jenis NPV telah diperjualbelikan sebagai produk bio-
insektisida, misalnya : Elcar (berbahan aktif HzNPV) digunakan untuk
mengendalikan Helicoverpa zea pada tanaman kapas di Amerika Serikat, Helicoverpa
armigera NPV digunakan pada tanaman kapas, tomat dan tembakau di Cina, SAN 404 (berbahan
aktif AcMNPV) dan Diprion (berbahan aktif NsSNPV) telah dipasarkan secara bebas.
Di Indonesia pemanfaatan NPV sebelumnya hanya terbatas pada tingkat petani-petani pemandu
PHT yang jumlahnya sangat kecil, dan belum diproduksi secara komersial di dalam negeri. Pada
tahun 1999, Laboratorium Pertanian Sehat (LPS) Dompet Dhuafa, melakukan uji coba bio-
pestisida NPV secara massal di Kab. Brebes pada tanaman bawang merah dan kedelai sebagai
bagian dari program pengembangan PHT. Mulai tahun 2002, LPS-DD mengembangkan SeNPV
dan SlNPV tersebut dalam bentuk produk bio-pestisida dengan merk VITURA (VIR-L) dan
VIREXI (VIR-X) yang memiliki efektivitas tinggi, ekonomis dan mudah diaplikasikan oleh
petani.
3.2.3. MEKANISME DAN SIKLUS HIDUP NPV DI ALAM
Di alam, NPV biasanya ditemukan pada permukaan tanaman dan tanah. Manakala termakan oleh
serangga inang (ulat) dan masuk ke dalam saluran pencernaan yang memiliki pH tinggi (> 10),
maka polihedra akan pecah melepaskan virion infektif. Virion yang terlepas dari matrik protein
(pembungkus) akan memulai infeksi ke dalam sel-sel saluran pencernaan ulat yang kemudian
DNA akan mengadakan reflikasi di inti sel.
Proses infeksi SlNPV atau SeNPV dimulai dari tertelannya polihedra (berisi virus) bersama
pakan. Di dalam saluran pencernaan yang bersuasana alkalis, polihedra larut sehingga
membebaskan virus (virion). Selanjutnya virus menginfeksi sel-sel yang rentan. Dalam waktu 1
– 2 hari setelah polihedra tertelan, ulat yang terinfeksi akan mengalami gejala abnormal secara
morfologis, fisiologis dan perilakunya.
Secara morfologis, hemolimfa ulat yang semula jernih berubah keruh dan secara fisiologis, ulat
tampak berminyak dan perubahan warna tubuh menjadi pucat kemerahan, terutama bagian perut.
Sedangkan secara perilaku, ulat cenderung merayap ke pucuk tanaman, yang kemudian mati
dalam keadaan menggantung dengan kaki semunya pada bagian tanaman.
Permukaan kulit ulat akan mengalami perubahan warna dari pucat mengkilap pada awal
terinfeksi kemudian akan menghitam dan hancur. Apabila tersentuh, tubuh ulat akan
mengeluarkan cairan kental berbau seperti nanah yang berisi partikel virus. Ulat mati dalam
waktu 3 – 7 hari setelah polihedra VIR (berisi virus) tertelan. Sebelum mati ulat masih dapat
merusak tanaman, namun kerusakan yang diakibatkan ulat yang sudah terinfeksi sangat rendah,
karena terjadi penurunan kemampuan makan dari ulat grayak sampai 84 %.
Gambar . Cara kerja VIR menginfeksi ulat

3.2.4. TEKNIK APLIKASI DAN EFEKTIVITAS


VIR-L dan VIR-X yang berbahan aktif SeNPV dan SlNPV diaplikasikan dengan alat semprot,
sama seperti yang digunakan untuk menyemprot pestisida (knapsack sprayer). Aplikasi
sebaiknya ditujukan untuk mengendalikan ulat instar 1 – 3. Penyemprotan sebaiknya diarahkan
ke permukaan daun bagian bawah dan dilakukan pada sore atau malam hari agar tidak langsung
terkena pengaruh sinar matahari, disamping itu ulat grayak Spodoptera memiliki sifat
nocturnal yaitu mencari makan pada malam hari. (instar : fase antar 2 ganti kulit larva/ulat)
Cara penyimpanan, letakkan dus VIR ditempat yang tidak terkena langsung sinar matahari dan
VIR dapat disimpan pada suhu kamar selama lebih kurang 4 bulan. Untuk penggunaan VIR
dalam waktu yang cukup lama, sebaiknya simpan dus VIR tersebut dalam lemari es (virus akan
bertahan hidup pada suhu dingin)
Sinar ultra violet matahari penyebab utama menurunnya efektivitas NPV di lapangan. Selain itu
NPV juga peka terhadap suhu. Pada suhu 40 0C efektivitasnya masih stabil, tetapi dengan
meningkatnya suhu efektivitasnya cepat berkurang. Untuk mengurangi kepekaan terhadap sinar
matahari, maka virus ini diberi bahan pelindung berupa talk dan molase. Persistensi/ketahanan
NPV di lapangan setelah disemprotkan, mampu bertahan sampai dengan 7 hari.
3.2.5 Keuntungan NPV
Memiliki inang spesifik dalam genus/famili yang sama, sehingga aman terhadap organisme
bukan sasaran.
Tidak mempengaruhi parasitoid, predator dan serangga berguna lainnya.
Dapat mengatasi masalah resistensi ulat grayak terhadap insektisida kimia.
Kompatibel dengan insektisida kimiawi yang tidak bersifat basa kuat.
Efektif membunuh hama/ulat sasaran yang menyerang pada tanaman bawang merah, bawang
putih, bawang daun, kacang-kacangan, tembakau, tomat dan cabe.
Ulat yang telah terinfeksi akan mati, kemudian dapat dijadikan pengendali hama berikutnya bagi
ulat yang sehat.
Tidak berbahaya bagi musuh alami ulat tersebut
Tidak berbau dan tidak berbahaya atau beracun bagi manusia dan hewan perliharaan/ternak.
Dapat dicampur dengan perekat atau pupuk organik cair
Ramah lingkungan
Spesifik selektif (hanya dapat menginfeksi ulat dari spesies atau genus dimana dia diisolasi)
Efektif untuk hama-hama yang sudah resisten terhadap pestisida
Dapat dipadukan dengan teknologi pengendalian yang lainnya
BAB IV
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Bacillus thuringiensis merupakan bakteri gram positif berbentuk batang. aerobik dan membentuk
spora.
Bakteri ini menghasilkan protein yang beracun bagi serangga.
Pada mekanismenya kristal protein yang termakan oleh serangga akan larut dalam lingkungan
basa pada usus serangga
Isolat Bt dapat diisolasi dari tanah, bagian tumbuhan, kotoran hewan, serangga dan bangkainya
dan sumber lain
Perbanyakan bakteri Bt dalam media cair dapat dilakukan dengan cara yang mudah dan
sederhana
Bacillus thuringiensis berpotensi sebagai bioinsektisida untuk menurunkan populasi hama
Bakteri Bacillus Thuringiensis dapat digunakan sebagai musuh alami larva nyamuk Ae. Aegypti
NPV adalah virus yang berbentuk segi banyak dan terdapat di dalam inclusion bodies yang
disebut polihedra dan bereplikasi di dalam inti sel (nukleus).
NPV telah ditemukan pada 523 spesies serangga, sebagian besar NPV bersifat spesifik inang,
yaitu hanya dapat menginfeksi dan mematikan spesies inang alaminya.
Keuntungan NPV antara lain:
Memiliki inang spesifik dalam genus/famili yang sama,
Tidak mempengaruhi parasitoid, predator dan serangga berguna lainnya
Dapat mengatasi masalah resistensi ulat grayak terhadap insektisida kimia,
Kompatibel dengan insektisida kimiawi yang tidak bersifat basa kuat.

http://widyariska.blogspot.co.id/2010/01/musuh-alami-bakteri-dan-virus_02.html

Anda mungkin juga menyukai