BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di era sekarang banyak petani dalam melakukan pengendalian hama
menggunakan pestisida dari bahan kimia yang bertujuan agar hama bisa secara cepat
musnah,namun hal ini menimbulkan pencemaran lingkungan yang tanpa disadari oleh
petani,yaitu mengakibatkan residu yang dapat membahayakan lingkungan dan juga
manusia itu sendiri, Catatan WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) mencatat bahwa di
seluruh dunia setiap tahunnya terjadi keracunan pestisida antara 44.000 - 2.000.000
orang dan dari angka tersebut yang terbanyak terjadi di negara berkembang. Dampak
negatif dari penggunaan pestisida diantaranya adalah meningkatnya daya tahan hama
terhadap pestisida, membengkaknya biaya perawatan akibat tingginya harga pestisida
dan penggunaan yang salah dapat mengakibatkan racun bagi lingkungan, manusia
serta ternak (Kusnaedi, 1999).
Pada dasarnya pengendalian hama merupakan setiap usaha atau tindakan
manusia baik secara langsung maupun tidak langsung untuk mengusir, menghindari
dan membunuh spesies hama agar populasinya tidak mencapai aras yang secara
ekonomi merugikan. Pengendalian hama tidak dimaksudkan untuk meenghilangkan
spesies hama sampai tuntas, melainkan hanya menekan populasinya sampai pada
aras tertentu ynag secara ekonomi tidak merugikan. Oleh karena itu, taktik
pengendalian apapun yang diterapkan dalam pengendalian hama haruslah tetap dapat
dipertanggungjawabkan secara ekonomi dan secara ekologi.
Pengendalian hayati sebagai komponen utama Pengendalian Hama Terpadu
pada dasarnya adalah pemanfaatan dan penggunaan musuh alami untuk
mengendalikan populasi hama yang merugikan. Pengendalian hayati sangat
dilatarbelakangi oleh berbagai pengetahuan dasar ekologi terutama teori tentang
pengaturan populasi oleh pengendali alami dan keseimbangan ekosistem. Musuh alami
yang terdiri atas parasitoid, predator dan patogen merupakan pengendali alami utama
hama yang bekerja secara “terkait kepadatan populasi” sehingga tidak dapat dilepaskan
dari kehidupan dan perkembangbiakan hama. Adanya populasi hama yang meningkat
sehingga mengakibatkan kerugian ekonomi bagi petani disebabkan karena keadaan
lingkungan yang kurang memberi kesempatan bagi musuh alami untuk menjalankan
fungsi alaminya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengendalian Hayati
2.1.1. Pengertian Pengendalian Hayati
Secara umum pengertian pengendalian hama secara biologi/hayati adalah
penggunaan makhluk hidup untuk membatasi populasi organisme pengganggu
tumbuhan (OPT). Makhluk hidup dalam kelompok ini diistilahkan juga sebagai
organisme yang berguna yang dikenal juga sebagai musuh alami, seperti predator,
parasitoid, patogen.
Pengendalian hayati sangat dilatarbelakangi oleh berbagai pengetahuan dasar
ekologi, terutama teori tentang pengaturan populasi oleh pengendali alami dan
keseimbangan ekosistem. Pengendalian hayati merupakan komponen yang penting
dari program pengendalian hama terpadu (PHT)
2.1.2. Konsep Pengendalian Hayati
Mengenai konsep dasar sendiri, ada tiga pendekatan dalam pengendalian hayati
adalah importasi atau yang disebut pula dengan sebutan pengendalian hayati klasik,
augmentasi, dan konservasi.
1. Pendekatan importasi
Melibatkan introduksi musuh alami (pemangsa, parasitoid, dan patogen) eksotik, dan
umumnya digunakan untuk melawan hama eksotik pula. Pendekatannya didasarkan
pada pemahaman bahwa makhluk hidup yang tidak disertai dengan musuh alami asli
akan lebih bugar (fit) dan akan lebih melimpah dan lebih mampu bersaing daripada
yang menjadi subjek pengendalian alami. Untuk mengendalikannya perlu dicarikan
musuh alami yang efektif di tempat asalnya.
Introduksi (mendatangkan/mengimpor) musuh-musuh alami dari luar negeri/daerah lain
untuk dilepaskan didaerah baru. Introduksi dapat ditempuh apabila hama yang
menyerang suatu tanaman pada umumnya menimbulkan eksplosi dan diketahui hama
tersebut bukan merupakan hama asli daerah tersebut. Contohnya : import predator
Curinus coerulens dari Hawai untuk mengendalikan kutu loncat lamtoro.
2. Praktek augmentasi
Didasarkan pada pengetahuan atau asumsi bahwa pada beberapa situasi jumlah
individu atau jenis musuh alami tidak cukup memadai untuk mengendalikan hama
secara optimal. Oleh karena itu, untuk meningkatkan efektivitas pengendalian hama,
jumlah musuh alami perlu ditambah melalui pelepasan secara periodik. Ada dua
pendekatan augmentasi, yaitu inokulasi sejumlah kecil musuh alami dan inundasi
(membanjiri) dengan jumlah yang besar, tergantung pada tujuannya.
Inokulasi, yaitu pelepasan musuh alami dalam jumlah relatif sedikit dengan harapan
pada generasi selanjutnya akan menekan populasi hama dan musuh alami tersebut
relatif menetap lebih lama. Sedangkan inundasi, yaitu pelepasan musuh alami dalam
jumlah besar (hasil pembiakan missal di laboratorium) dengan tujuan secara cepat
menekan populasi hama, sehingga populasi hama dapat analog dengan aplikasi
insektisida biologis. Karena inundasi lebih bersifat sesaat, maka pada satu musim
tanam sering kali perlu dilakukan beberapa kali pelepasan. Selain itu, pengendalian
secara augmentasi (khususnya inundasi) dapat dilakukan apabila terjadi masalah hama
dengan kriteria sebagai berikut :
v Terdapat musuh alami yang berpotensi menekan hama tetapi tidak efektif, karena
kondisi lingkungan tidak mendukung.
v Hama tidak mudah dikendalikan atau terlalu mahal apabila dikendalikan dengan metode
lain.
v Metode lain tidak dikehendaki karena beberapa alasan seperti residu pestisida, resistensi
hama atau akan timbulnya hama sekunder.
v Hanya satu atau dua jenis hama yang selalu menimbulkan kerugian dan memerlukan
pengendalian.
b) Opius sp.
Opius sp. merupakan parasitoid penting hama L. huidobrensis. Telur berbentuk
lonjong, dengan salah satu bagian ujungnya sedikit lebih membengkak dibandingkan
dengan ujung yang lain. Siklus hidupnya berkisar antara 13-59 hari. Masa telur, larva
dan pupa masing-masing 2, 6, dan 6 hari. Satu ekor betina mampu menghasilkan telur
sebanyak 49-187 butir. Instar yang paling cocok untuk perkembangan parasitoid Opius
sp., adalah instar ke-3. Pada instar tersebut masa perkembangan parasitoid lebih
singkat dan keturunan yang dihasilkan lebih banyak dengan proposi betina yang lebih
tinggi. Nisbah kelamin jantan dan betina adalah 1:1.
Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No.: 698/kpts/tp.120/8/1998 Tentang Izin
Pemasukan Beberapa Jenis Parasitoid Dari Hawaii Ke Dalam Wilayah Negara Republik
Indonesia. Memberikan izin kepada Pusat Kajian Pengendalian Hama Terpadu, Institut
Pertanian Bogor untuk memasukkan 5 (lima) jenis parasitoid dari Hawaii untuk
mengendalikan hama Liriomyza huidobrensis melalui Bandar Udara Soekarno – Hatta,
Jakarta.
Jenis-jenis parasitoid dimaksud adalah sebagai berikut :
Ø Diglyphus-begini, ektoparasitoid larva;
Ø Diglyphus-intermedius, ektoparasitoid larva;
Ø Chrysocaris-oscinidus, endoparasitoid larva-pupa;
Ø Ganaspidium-utilis, endoparasitoid larva-pupa; dan
Ø Halticoptera-circulus, endoparasitoid larva-pupa.
2.2. Pengendalian Hama Terpadu
2.2.1. Konsep Pengendalian Hama Terpadu
Konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT) Perlindungan tanaman merupakan
bagian dari sistem budidaya tanaman yang bertujuan untuk membatasi kehilangan hasil
akibat serangan OPT menjadi seminimal mungkin, sehingga diperoleh kwalitas dan
kwantitas produksi yang baik. Sejak Pelita III pemerintah telah menetapkan sistem PHT
sebagai kebijakan dasar bagi setiap program perlindungan tanaman. Dasar hukum PHT
tertera pada GBHN II dan GBHN IV serta Inpres 3/1986 yang kemudian lebih
dimantapkan melalui UU No.12/1992 tentang sistem Budidaya Tanaman. Konsep PHT
muncul dan berkembang sebagai koreksi terhadap kebijakan pengendalian hama
secara konvensional, yang sangat utama dalam manggunakan pestisida. Kebijakan ini
mengakibatkan penggunaan pestisida oleh petani yang tidak tepat dan berlebihan,
dengan cara ini dapat meningkatkan biaya produksi dan mengakibatkan dampak
samping yang merugikan terhadap lingkungan dan kesehatan petani itu sendiri maupun
masyarakat secara luas (Kusnaedi, 1999).
Secara ekonomi kebijakan pemerintah sebelum tahun 1989 memberikan subsidi
yang besar untuk Pestisida sebesar antara 100 – 150 juta US$ atau sekitar 150 milyar
rupiah pertahun, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk
meningkatkan kembali efisiensi dan efektifitas pengendalian serta untuk membatasi
pencemaran lingkungan maka kebijakan dan pengendalian secara konvensional harus
dirubah menjadi pengendalian berdasarkan konsep dan prinsip PHT. Kemudian secara
bertahap subsidi pestisida di cabut, dan baru tahun 1989 subsidi tersebut sepenuhnya
dicabut, metoda yang cukup baik dan mudah dilaksanakan melalui pola Sekolah
Lapang PHT ( SLPHT) dengan menganut pola pendidikan orang dewasa yaitu belajar
dari pengalaman sendiri langsung di lapang (Kusnaedi, 1999).
Bahwa pengendalian hama terpadu (PHT) adalah sebuah pendekatan baru untuk
melindungi tanaman dalam kontek sebuah sistem produksi tanaman. Definisi PHT
(Brader, 1979) sistem pengendalian hama yang dapat dibenarkan secara ekonomi dan
berkelanjutan yang meliputi berbagai pengendalian yang kompatibel dengan tujuan
memaksimalkan produktivitas tetapi dengan dampak negatif terhadap lingkungan
sekecil-kecilnya Disbun Propinsi NTB (2002) menginformasikan, bahwa petani
dianjurkan untuk tidak melakukan pengendalian apabila intensitas serangan OPT masih
dibawah 5 persen, menggunakan pestisida nabati apabila intensitas serangan antara 5-
20 persen, dan diperbolehkan menggunakan pestisida kimia apabila serangan sudah
diatas 20 persen. Sebagian besar petani berpendapat bahwa akan memutuskan
penyemprotan pestisida kimia apabila serangan HPT sudah di atas ambang ekonomi
(menurut persi petani), yaitu petani alumni (100%) dan non–alumni (99,3%), sedangkan
yang lainnya (6,7%) akan menyemprot begitu melihat ada gejala serangan. Setelah SL-
PHT, petani hanya menggunakan pestisida nabati (pesnab), tidak ditemukan petani
yang menggunakan pestisida kimia karena disamping keadaan intensitas serangan
HPT termasuk ringan juga harga pestisida yang mahal turut menghambat petani untuk
menggunakan (Kartasapoetra, 1991).
Ciri dan sifat dasar PHT yang membedakan dengan
pengendalian konvensional adalah(Kartasapoetra, 1991):
a. Tujuan utama PHT bukanlah pemusnahan, tetapi dikendalikan agar populasi hama
tetap berada di bawah satu tingkatan aras yang dapat mengakibatkan kerusakan atau
kerugian ekonomi. Strategi PHT bukanlah eradikasi hama tetapi pembatasan, sebab
dalam keadaan tertentu ada kemungkinan bahwa adanya individu serangga atau
binatang dapat berguna bagi manusia.
b. Dalam melaksanakan suatu pengendalian tidak mengenal satu cara pengendalian
tertentu, seperti penggunaan pestisida saja tetapi semua teknik pengendalian
dikombinasikan secara terpadu dalam suatu kesatuan pengelolaan.
c. Dalam mencapai sasaran utama PHT yaitu mempertahankan populasi hama di
bawahkerusakan ekonomi, dengan produktivitas yang tinggi, maka perlu dipertimbangkan
beberapa kendala yaitu :
Kendala sosial ekonomi yang berarti bahwa pelaksanaan PHT harus dapat didukung oleh
kelayakan sosial ekonomi masyarakat setempat.
Kendala ekologi yang berarti bahwa dalam penerapan PHT secara ekologi dapat
dipertanggung jawabkan dan tidak menimbulkan kegoncangan maupun kerusakan
lingkungan
2.2.2 Prinsip dan Strategi Penerapan PHT
PHT merupakan suatu cara pendekatan atau cara berpikir tentang pengendalian
OPT yang didasarkan pada dasar pertimbangan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam
rangka pengelolaan agro-ekosistem yang berwawasan lingkungan yang berkelanjutan.
Sasaran teknologi PHT adalah : 1) produksi pertanian mantap tinggi, 2) Penghasilan
dan kesejahteraan petani meningkat, 3) Populasi OPT dan kerusakan tanaman tetap
pada aras secara ekonomi tidak merugikan dan 4) Pengurangan resiko pencemaran
Lingkungan akibat penggunaan pestisida yang berlebihan. Tiga komponen komponen
dasar yang harus dibina, yaitu : Petani, Komoditi dasil pertanian dan wilayah
pengembangan dimana kegiatan pertanian berlangsung, disamping pembinaan
terhadap petani diarahkan sehingga menghasilkan peningkatan produksi serta
pendapatan petani, pengembangan komoditi hasil pertanian benar-benar berfungsi
sebagai sektor yang menghasilkan bahan pangan, bahan ekspor dan bahan baku
industri, sedangkan pembinaan terhadap wilayah pertanian ditujukan agar dapat
menunjang pembangunan wilayah seutuhnya dan tidak terjadi ketimpangan antar
wilayah ( Kusnadi, 1999).
PHT memiliki beberapa prinsip yang khas, yaitu; (1) sasaran PHT bukan
eradikasi/pemusnahan hama tetapi pembatasan atau pengendalian populasi hama
sehingga tidak merugikan, (2) PHT merupakan pendekatan holostik maka
penerapannya harus mengikutsertakan berbagai disiplin ilmu dan sektor pembangunan
sehingga diperoleh rekomendasi yang optimal, (3) PHT selalu mempertimbangkan
dinamika ekosistem dan variasi keadaan sosial masyarakat maka rekomendasi PHT
untuk pengendalian hama tertentu juga akan sangat bervariasi dan lentur, (4) PHT lebih
mendahulukan proses pengendalian yang berjalan secara alami (non-pestisida), yaitu
teknik bercocok tanam dan pemanfaatan musuh alami seperti parasit, predator, dan
patogen hama. Penggunaan pestisida harus dilakukan secara bijaksana dan hanya
dilakukan apabila pengendalian lainnya masih tidak mampu menurunkan populasi
hama, dan (5) program pemantauan/pengamatan biologis dan lingkugan sangat mutlak
dalam PHT karena melalui pemantauan petani dapat mengetahui keadaan agro-
ekosistem kebun pada suatu saat dan tempat tertentu, selanjutnya melalui analisis
agro-ekosistem (AAES) dapat diputuskan tindakan yang tepat dalam mengelola
kebunnya. Dengan bekal materi pelatihan, petani belajar melaksanakan pengambilan
keputusan dalam pengelolaan kebun, terutama pengendalian hama penyakit tanaman
(Kusnadi, 1999).
Ada 4 prinsip manejemen yang mendasari PHT yang bersifat luwes, dapat dimana
saja disesuaikan dengan daerah dan lahan setempat. Keempat prinsip tersebut
adalah ( Kusnadi, 1999):
1. Budidaya Tanaman Sehat
Tanaman yang sehat mempunyai ketahanan ekologi yang tinggi terhadap gangguan
hama.
a. Pemilihan bibit yang sehat dan varitas tahan hama, yang cocok dengan kondisi
setempat.
b. Pengairan cukup dan pemupukan yang berimbang.
c. Penyiangan gulma secara teratur.
2. Melestarikan Musuh Alami
Musuh alami (predator, parasitoid, dan patogen serangga) merupakan faktor penting
pengendali hama yang perlu dilestarikan dan dikelola agar mampu berperan secara
maksimum dalam pengaturan populasi hama di lapangan.
a. Temukan, kenali dan amati musuh-musuh alami (tanaman inang) di lahan sawah.
b. Peliharalah keseimbangan lingkungan lahan sawah agar populasi musuh alami dapat
berkembang. Jangan gunakan pestisida yang membunuh musuh alami.
3. Pengamatan Mingguan
Pengamatan atau pemantauan ekosistem pertanaman yang intensif secara rutin oleh
petani merupakan dasar analisis ekosistem untuk pengambilan keputusan dan
melakukan tindakan yang diperlukan.
4. Petani Menjadi Ahli PHT
Petani bertanggung jawab terhadap lahan dan manejemen sendiri. Petani sebagai
pengambil keputusan dan keterampilan dalam menganalisis ekosistem serta mampu
menetapkan keputusan pengendalian hama secara tepat sesuai dengan konsep PHT
2.2.3 Tujuan dan Usaha Pengendalian Hama Terpadu (PHT)
Tujuan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) adalah (Abidin, 2004):
a) Menjamin kemantapan swasembada pangan.
b) Menumbuhkan Kreativitas, dinamika dan kepemimpinan petani
c) Terselenggaranya dukungan yang kuat atas upaya para petani dalam menyebar
luaskan penerapan PHT sehingga dapat tercipta pemabngunan pertanian yang
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
4. Irigasi
Pengelolaan air dapat menghambat perkembangan hama tertentu. Akan tetapi
bila cara pengelolaan air kurang tepat dapat menyebabkan meningkatnya
perkembangan populasi hama. Penggenangan pada sawah-sawah setelah panen
selama kurang lebih 5 hari merupakan cara yang baik untuk memberentas larva
maupun pupa penggerek batang padi. Penggenangan pada areal bekas pertanaman
ketela pohon dapat membunuh uret.
5. Strip Farming
Yaitu bercocok tanam menurut jalur-alur memanjang. Bercocok tanaman
monokultur akanmemudahkan tanaman terserang hama. Serangan dari hama-hama
tertentu dapat diatasi dengan cara : Catch crop” yaitu bercocok tanam secara berselang
seling antara tanaman yang berumur panjang dengan tanaman yang berumur pendek.
Cara pengendalian seperti ini sering dilakukan bersama cara pengendalian yang lain.
Sebagai contoh yaitu pemberantasan walang sangit.
6. Rotasi Tanaman
Menanam tanaman yanmg berbeda-beda jenisnya dalam satu tahun dapat
memutus /meotong siklus atau daun hidup hama terutama hama-hama yang sifatnya
monofagus. Contoh : Hama Sundep. Hama ini menyukaitanaman padi, maka dengan
menanam tanaman palawija, setelah padi maka serangan hama ini akan berkurang.
7. Pengaturan waktu tanam.
Penggeseran waktu tanam dapat mengurangi serangan hama-hama
tertentu..Sebagai contoh hama sundep. Hama sundep pada musim kemarau
berdaiapause dalam tanah kemudian menjadi kupu dan bertelur. Kupu bertelur setelah
penerbangan pertama dan biasanya meletakkan telurnya pada tanaman pembibitan
yang berumur dua minggu. Penggeseran waktu tanam menyebabkan kupu tidak dapat
bertelur pada waktunya (pada saat akan bertelur tidak terdapat tanaman yang berumur
dua minggu).
E. Pengendalian Dengan Tanaman Tahan Hama
Menurut Painter yang dimaksud dengan tanaman tahan hama adalah tanaman
yang mempunyai turunan yang kualtas atau sifatnya menyebabkan tanaman mampu
menyembuhkan diri terhadap kerusakan yang diakibatkan oleh serangan hama.
Keuntungan penggunaan varitas /tanaman tahan antara lain :
1. Sangat mudah dilakukan dengan biaya yang minimal
2. Tekniknya sederhana sehingga mudah dilakukan oleh petani
3. Persisten (sifat pengendaliannya tetap dalam jangka waktu yang lama)
4. Sifatnya spesifik (mengarah pada satu macam hama)
5. Komulatif, yaitu pengaruh sekarang dan berikutnya akan menurunkan
populasi hama
6. Serasi terhadap lingkngan, artinya tidak menghasilkan residu terhadap
lingkungan.
7. Compatibel dengan cara pengendalian lainnya
Kelemahannya :
1. Memerlukan tenaga dan waktu yang banyak untuk pengembangannya
2. Timbulnya biotipe yaitu strain baru yang biasa menyesuaikan diri pada
tanaman yang tadinya tidak disukai.
3. Keterbatasan dari sumber genetiknya
4. Sifat-sifat ketahanannya yang bertentangan, artinya tanaman unggul
terhadap hama tertentu tetapi peka terhadap hama lainnya.
Sifat-sifat ketahanan datangnya dari sifat morfologi, biokmia, biofisik atau perilau
dari hama. Untuk memperoleh tanaman tahan hama bukan merupakan suatu hal yang
mudah dan cepat, dibutuhkan pengetahuan yang luas mengenai morfologi, fisiologi,
genetika tanaman, perilaku serangga dan pengetahuan lainnya. Oleh karena banyak
faktor probabiltas yang berpengaruh terhadap program pemuliaan, maka untuk
mendapatkan varitas baru yang dijamin kelanggengan sifatnya, diperlukan waktu yang
cukup lama 6-10 tahun..
Langkah pokok yang perlu dikerjakan dalam PHT adalah :
1) Mengidentifikasi dan analisa status hama yang harus dikelola apakah termasuk utama,
hama kedua, hama potensial, hama migran dan yang bukan hama.
2) Mempelajari saling tindak komponen dalam ekosistem yang berpengaruh terhadap
hama utama, termasuk inventarisasi beberapa musuh alami.
3) Penetapan dan pengembangan ambang ekonomi merupakan ketetapan tentang
pengambilan keputusan kapan harus menggunakan pestisida.
4) Pengembangan sistem pengamatan dan monitoring hama untuk mengetahui letak dan
keadaan suatu jenis hama pada suatu waktu dan tempat terhadap ambang ekonomi
hama tersebut.
5) Pengembangan model diskriptif dan peramalan hama menggunakan taktik ganda
pengendalian dalam suatu kesatuan sistem yang terkoordinasi serta mengusahakan
agar populasi atau kerusakan tetap berada di bawah aras toleransi manusia.
6) Penyuluhan pada petani agar menerima dan menerapkan PHT agar mempunyai
kemampuan untuk dapat mengamati dan mengambil keputusan pengendalian.
7) Pengembangan organsasi PHT mengharuskan adanya suatu organisasi yang efesien
dan efektif yang dapat bekerja secara tepat dalam menanggapi setiap perubahan yang
terjadi pada ekosistem.
2.2.5 Kelebihan dan Kelemahan Pengendalian Hama Terpadu
a) Kelebihan
PHT mendukung praktek pertanian yang baik, peningkatan efisiensi terutama
diperoleh dari penekanan input produksi seperti benih, pupuk, dan pestisida.
Berkurangnya penggunaan pestisida dan meningkatnya pemakaian bahan organik
diharapkan dapat memperbaiki kondisi lahan dan menekan pencemaranlingkungan,
sehingga produk lebih aman dan kelangsungan proses produksi menjadi lebih terjamin
(Kartasapoetra, 1991).
b) Kekurangan
Bebarapa kekurangan penerapan pengendalian hama terpadu antara lain
(Kartasapoetra, 1991):
1) Proses difusi teknologi PHT masih berjalan lambat atau bahkan stagnasi. Disisi lain,
perubahan pengetahuan dan sikap petani dalam pengendalian hama penyakit sesuai
paket teknologi PHT juga masih rendah.
2) Rendahnya penyebaran teknologi antara lain dengan terbatasnya pembinaan terutama
pasca SLPHT. Kurangnya melibatkan aparat penyuluh pertanian, menyebabkan
ketergantungan terhadap para pemandu SLPHT sangat tinggi.
3) Sikap dan persepsi yang kuat terhadap penggunaan pestisida kimiawi sebagai cara
praktis dan ampuh dalam pengendalian hama penyakit. Kenyataan ini mempersulit
mengubah persepsi kearah penggunaan pestisida secara bijaksana dan dalam
pemasyarakatan penggunaan pestisida nabati.
4) Pengambilan keputusan terkait pengendalian hama penyakit atau keputusan dalam hal
budidaya cenderung bersifat individual, dan belum dilakukan secara kelompok terutama
pasca pelatihan. Kelompok tani belum berfungsi dalam pengambilan keputusan
pengendalian hama penyakit atau kegiatan budidaya lainnya.
5) Masih terbatasnya dukungan pemerintah daerah dalam membina petani dan
melanjutkan program SLPHT dengan sumberdaya dari daerah. Mengingat kegiatan
SLPHT dari pemerintah pusat sudah selesai.
6) Masih terbatasnya dukungan berbagai kelembagaan seperti pemasaran hasil, dan
permodalan dalam membantu petani untuk ebih meningkatkan kinerja usahataninya
2.2.6 Studi kasus Penerapan Pengendalian Hama Terpadu
1. Penerapan Teknologi Pengendalian Hama Terpadu (PHT) Pada Perkebunan Jambu
Mete
Jambu mete (Anacardium moccidentale) merupakan komoditi perkebunan yang
mempunyai prospek baik untuk dikembangkan sebagai komoditi ekspor. Tahun 2000,
ekspor nasional jambu mete mencapai 27.617 ton atau sama dengan 31.502 US$
denganlaju pertumbuhan ekspor selama sepuluh tahun terakhir (tahun 1990-2000)
mencapai 47,8persen per tahun (Direktorat Jenderal Perkebunan Rakyat, 2002). Dalam
memasuki era perdagangan bebas, Indonesia sebagai negara produsen jambu mete,
harus melakukan langkah-langkah perbaikan untuk meningkatkan daya saingproduk.
Upaya perbaikan disamping aspek efisiensi produksi dan kualitas produk, juga
diproduksi secara ramah lingkungan. N. Hakim. (2003) menginformasikan, bahwa
sebagian dari konsumen kopi yang sekaligus pemerhati lingkungan akhir-akhir ini
menganggap bahwa beberapa negara produsen sudah tidak lagi memperhatikan
tatanan lingkungan, hanya mengeksploitasi lahan untuk tujuan memperoleh hasil yang
sebesar-besarnya sehingga menyebabkan erosi dan banjir di musim hujan, hilangnya
populasi satwa (burung, serangga, dan lainnya), serta rusaknya ekosistem mikro.
Melihat permasalahan tersebut, pemerintah cq Departemen Pertanian sejak
tahun 1997 mengintroduksikan teknologi Pengendalian Hama Terpadu (PHT) yang
ramah lingkungan kepada petani perkebunan rakyat melalui Sekolah Lapang
Pengendalian Hama Terpadu (SL-PHT). Pelaksanaan SL-PHT mencakup enam
komoditi utama yaitu kopi, kakao, jambu mete, teh, kapas, serta lada, masing-masing
dilaksanakan di satu Propinsi sentra produksi. Pelatihan SL-PHT jambu mete
dilaksanakan di Propinsi NTB tahun 2001, sampai tahun 2002 sudah dihasilkan 800
petani SL-PHT tersebar di Lombok Barat (65,6%), Lombok Timur (18,8%), dan
Sumbawa (15,6%) .
Pada dasarnya materi pelatihan SL-PHT mencakup empat prinsip yang
dikembangkan, yaitu (a) petani mampu untuk mengusahakan budidaya tanaman sehat,
(b)memahami dan memanfaatan musuh alami, (c) melakukan pengamatan agro-
ekosistem kebun secara berkala, dan (d) petani mampu menjadi manager usahatani
(Untung, 1997). Petani sebagai manager berarti petani harus tahu dan mampu
memutuskan penerapan tiga prinsip SL-PHT sebelumnya dalam mengelola kebunnya
yaitu, mengusahakan budidaya tanaman sehat, memahami dan memanfaatan musuh
alami, dan melakukan pengamatan agro-ekosistem kebun secara berkala.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Pengendalian hayati dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk menekan hama
yang terjadi dengan memanfaatkan makhluk hidup secara alami yang ada di alam.
2. PHT merupakan pengelolaan hama secara ekologis, teknologis, dan multidisiplin
dengan memanfaatkan berbagai taktik pengendalian yang kompatibel dalam satu
kesatuan koordinasi sistem pengelolaan pertanian berwawasan lingkungan dan
berkelanjutan.
3. Implementasi PHT memerlukan dukungan dari berbagai pihak, termasuk petani,
peneliti, pemerhati lingkungan, penentu kebijakan, dan bahkan politisi. Pendekatan
pertanian berkelanjutan untuk pengelolaan hama, yang meliputi kombinasi
pengendalian hayati, kultur teknis, dan pemakaian bahan kimia secara bijaksana,
merupakan alat dalam merintis pertanian ekonomis, pelestarian lingkungan, dan
menekan risiko kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Z. 2004. Pengendalian Hama dan Penyakit Utama Pada Tanaman Tembakau. BPTD.
Medan.
Hidayat, A. 2001. Metode Pengendalian Hama. Tim Program Keahlian Budidaya Tanaman.
Departemen Pendidikan Nasional. Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan. Jakarta
Kartasapoetra, 1991. Hama Hasil Tanaman Dalam Gudang. Rineka Cipta. Jakarta.
Kusnaedi, 1999. Pengendalian Hama tanpa Pestisida. Jakarta. Penebar Swadaya.
Sulistiani, Rini. 2008. Kelebihan dan Kekurangan Beberapa Teknik Pengendalian Hama Terpadu.
USU press. Medan
http://abdurochman27.blogspot.co.id/2014/12/pengendalian-hayati-pengendalian-hama.html
PATOGEN
PATOGEN
I. PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Kehidupan tumbuhan sangat dipengaruhi oleh faktor luar. Dalam keadaan normal masyarakat
tumbuhan dapat mempertahankan keseimbangan biologi satu dengan lainnya untuk mendapatkan
ruangan, cahaya, kelembapan, dan makanan. Hal yang demikian merupakan faktor minimum
yang harus dipertahankan agar tidak dapat diganggu oleh suatu organisme pengganggu tanaman.
Salah satu organisme pengganggu tanaman yaitu patogen, yang mana akan dijelaskan dalam
makalah ini.
Pengetahuan mengenai patogen ini sangat penting untuk dipelajari, karena agar tidak
terjadinya gangguan yang eksplosif atau epidemi yang potensial terhadap tanaman yang
dibudidayakan. Setiap kerugian dari gangguan dapat mengurangi hasil rata-rata per unit tanaman,
dan kerugian ini lebih menekan tanah yang tersedia untuk menghasilkan produksi pertanian,
akibatnya akan menambah masalah dalam melayani pertumbuhan penduduk dunia. Oleh karena
itu, dalam makalah ini akan diulas mengenai definisi dari patogen itu sendiri, jenis-jenisnya serta
bagaimana cara pengendaliannya.
b. Tujuan
1. Mengetahui pengertian patogen dan macam-macamnya.
2. Mengetahui cara pengendalian patogen.
II. ISI
Patogen adalah agen biologis yang menyebabkan penyakit pada inangnya. Sebutan lain dari
patogen adalah mikroorganisme parasit. Umumnya istilah ini diberikan untuk agen yang
mengacaukan fisiologi normal hewan atau tumbuhan multiseluler (Warren, 2008).
Patogen juga merupakan salah satu organisme pengganggu tanaman yang dapat menyebabkan
penurunan potensi hasil yang secara langsung karena menimbulkan kerusakan fisik, gangguan
fisiologi dan biokimia, atau kompetisi hara terhadap tanaman budidaya. Oleh karena itu,
pengendalian terhadap patogen ini sangat penting dalam perlindungan tanaman, yang mana
bertujuan untuk membudidayakan tanaman.
Patogenesitas adalah kemampuan pathogen menyebabkan penyakit, sedangkan inokulum adalah
patogen atau bagian patogen yang dapat meyebabkan infeksi (Agrios, 1996).
Patogen diklasifikasikan ke dalam beberapa jenis, yaitu virus, bakteri, fungi, dan nematoda.
1. Virus
Virus adalah parasit yang bukan merupakan mahluk hidup, namun memiliki materi genetik
berupa asam nukleat (DNA/RNA) yang membutuhkan keberadaan sel prokariot atau eukariot
yang hidup untuk melakukan replikasi atau perbanyakan dari asam nukleat tersebut. Virus dapat
menginfeksi binatang, manusia, tanaman, fungi, bakteri, protozoa, serangga dan hampir semua
jenis mahluk hidup.
Contoh: Cowpea Aphid Borne Virus (CABMV) pada tanaman kacang panjang.
Penyakit ini merupakan penyakit yang paling banyak dijumpai pada tanaman kacang panjang.
Vektor pembawa virusnya adalah aphid. Kerugian yang ditimbulkan pada kacang panjang ialah
pertumbuhan dan hasil polong yang tidak normal. Penampakan visual tanaman kacang panjang
yang tertular CABMV ialah tulang daun berwarna kuning, sehingga daun terlihat menguning
atau berwarna belang hijau pucat dan keriput atau terjadi perubahan bentuk daun. Gangguan
penyakit mosaik timbul karena adanya interaksi antara tanaman inang, patogen/vector, dan
lingkungan.
Pengendalian terhadap gangguan penyakit CABMV ialah dengan penyemprotan insektisida.
Perlakuan terhadap insektisida dapat membuat kacang panjang dapat tumbuh normal dan subur.
Secara alamiah kacang panjang mempunyai ketahanan tertentu terhadap penyakit, yaitu
ketahanan yang dikendalikan oleh gen. Perkembangan gen ketahanan terjadi sebagai hasil
evolusi tanaman inang dan patogen yang telah berlangsung lama dan dapat terbentuk banyak
tanaman dengan tingkat ketahanan yang beragam.
Pengendalian yang lebih ekonomis adalah penggunaan varietas yang tahan atau toleran. Dengan
penanaman varietas tahan atau toleran, maka penggunaan pestisida dapat dikurangi. Selain itu,
cara ini lebih aman terhadap lingkungan dan manusia serta kehilangan hasil dan biaya produksi
dapat ditekan. Hasil polong lebih sehat dan konsumen tidak enggan mengkonsumsi.
2. Bakteri
Bakteri, yang termasuk dalam organisme prokariot, merupakan patogen yang umum pada
mahluk hidup seperti tanaman.
Contoh: Penyakit layu bakteri
3. Fungi
Fungi adalah organisme prokariot yang termasuk dalam kingdom protista dengan sekitar 75.000
spesies yang sudah diidentifikasi (Ramage et al., 2001).
Contoh: Akar gada kubis
Penyakit yang menyerang akar kubis ini disebabkan oleh jamur Plasmodiophora brassicae. Akar
akan mengalami reaksi pembelahan dan pembesaran sel serta membentuk bintil-bintil atau
kelenjar yang tidak teratur. Bintil-bintil tersebut bersatu membentuk bengkakan. Selain itu daun
akan berwarna hujau kelabu dan cepat layu. Hal ini disebabkan karena jaringan pengangkut yang
telah rusak.
Penggunaan fungisida dapat menjadi salah satu cara pengendalian penyakit akar gada. Selain itu,
dapat disediakan dan digunakan bibit bebas patogen dan pemberian abu atau kapur yang dapat
mengurangi infeksi pada tanaman yang diserang.
4. Nematoda
Nematoda pada umumnya berukuran kecil 300-1000 μm, kadang panjangnya mencapai 4 μm dan
lebar 15-35 μm, diameternya sangat kecil. Tubuhnya bersifat transparan dan ditutupi kutikula
yang tidak berwarna.
Bisul akar disebabkan oleh Meloidogyne sp. Inang utamanya yaitu jagung atau tomat dengan
inang alternatif tembakau, tebu, dan kentang. Bagian yang diserang yaitu akar dengan gejala
daun berguguran dan timbul bisul pada akar.
Pencegahan penyakit yang disebabkan nematoda ini adalah dengan
menggunakan benih bebas nematoda dari tanaman yang sehat. Bila biji yang akan ditanam
diragukan kesehatannya, biji tersebut dapat terlebih dahulu direndam di dalam air panas. Adapun
cara pengendaliannya yaitu dengan melakukan rotasi tanaman dan penggunaan nematisida.
Secara umum, patogen yang menyebabkan penyakit dapat dikendalikan
dengan beberapa cara seperti pengendalian dengan eksklusi (mencegah masuknya patogen dari
suatu daerah ke daerah lain), meniadakan patogen dari inang, eradikasi atau memusnahkan
patogen, imunisasi atau meningkatkan ketahanan inang, dan perlindungan langsung tumbuhan
dari patogen. Selain cara-cara tersebut juga dapat dilakukan pengendalian penyakit tumbuhan
secara terpadu. Pengendalian terpadu adalah upaya mengendalikan tingkat populasi atau tingkat
serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT) dengan menggunakan satu atau lebih teknik
pengendalian yang dikembangkan dalam satu kesatuan untuk mencegah dan mengurangi
timbulnya kerugian secara ekonomis dan kerusakan lingkungan hidup
Patogen menyerang tumbuhan inang dengan berbagai macam cara guna memperoleh zat
makanan yang dibutuhkan oleh patogen yang ada pada inang. Untuk dapat masuk kedalam inang
patogen mampu mematahkan reaksi pertahanan tumbuhan inang.
Dalam menyerang tumbuhan, patogen mengeluarkan sekresi zat kimia
yang akan berpengaruh terhadap komponen tertentu dari tumbuhan dan juga berpengaruh
terhadap aktivitas metabolisme tumbuhan inang. Beberapa cara patogen untuk dapat masuk
kedalam inang diantaranya dengan cara mekanis dan cara kimia.
Cara mekanis yang dilakukan oleh patogen yaitu dengan cara penetrasi langsung ke tumbuhan
inang. Dalam proses penetrasi ini seringkali dibantu oleh enzim yang dikeluarkan patogen untuk
melunakkan dinding sel.
Pada jamur dan tumbuhan tingkat tinggi parasit, dalam melakukan penetrasi sebelumnya
diameter sebagian hifa atau radikel yang kontak dengan inang tersebut membesar dan
membentuk semacam gelembung pipih yang biasa disebut dengan appresorium yang akhirnya
dapat masuk ke dalam lapisan kutikula dan dinding sel.
Skema penetrasi patogen terhadap dinding sel tanaman
Pengaruh patogen terhadap tumbuhan inang hampir seluruhnya karena proses biokimia akibat
dari senyawa kimia yang dikeluarkan patogen atau karena adanya senyawa kimia yang
diproduksi tumbuhan akibat adanya serangan patogen.
Cara Kimia: Substansi kimia yang dikeluarkan patogen diantaranya enzim, toksin dan zat
tumbuh dan polisakarida. Dari keempat substansi kimia tersebut memiliki peranan yang berbeda-
beda terhadap kerusakan inang. Misalnya saja, enzim sangat berperan terhadap timbulnya gejala
busuk basah, sedang zat tumbuh sangat berperan pada terjadinya bengkak akar atau batang.
Selain itu toksin berpengaruh terhadap terjadinya hawar.
1. Enzim
Secara umum enzim dari patogen berperan dalam memecah struktur komponen sel inang,
merusak substansi makanan dalam sel dan merusak fungsi protoplas. Toksin berpengaruh
terhadap fungsi protoplas, merubah permeabilitas dan fungsi membran sel. Zat tumbuh
mempengaruhi fungsi hormonal sel dalam meningkatkan atau mengurangi kemampuan
membelah dan membesarnya sel. Sedang polisakarida hanya berperan pasif dalam penyakit
vaskuler yang berkaitan dengan translokasi air dalam inang dan ada kemungkinan polisakarida
bersifat toksik terhadap sel tumbuhan.
Enzim oleh sebagian besar jenis patogen dikeluarkan setelah kontak dengan tumbuhan inang.
Tempat terjadinya kontak antara patogen dengan permukaan tumbuhan adalah dinding sel
epidermis yang terdiri dari beberapa lapisan substansi kimia. Degradasi setiap lapisan tersebut
melibatkan satu atau beberapa enzim yang dikeluarkan patogen.
Contoh bagian tanaman yang telah rusak akibat adanya enzim dari patogen tanaman.
2. Toksin
Toksin merupakan substansi yang sangat beracun dan efektif pada konsentrasi yang sangat
rendah. Toksin dapat menyebabkan kerusakan pada sel inang dengan merubah permeabilitas
membran sel, inaktivasi atau menghambat kerja enzim sehingga dapat menghentikan reaksi-
reaksi enzimatis. Toksin tertentu juga bertindak sebagai antimetabolit yang mengakibatkan
defisiensi faktor pertumbuhan esensial.
Toksin yang dikeluarkan oleh patogen dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu patotoksin,
vivotoksin dan fitotoksin.
a. Patotoksin
Patotoksin ialah toksin yang sangat berperan dalam menentukan tingkat keparahan penyakit.
Berdasarkan luas kisaran inangnya patotoksin digolongkan menjadi dua, yaitu spesifik dan non-
spesifik. Vivotoksin dan fitotoksin umumnya bersifat non-spesifik.
b. Vivotoksin
Vivotoksin ialah substansi kimia yang diproduksi oleh patogen dalam tumbuhan inang dan atau
oleh inang itu sendiri yang ada kaitanya dengan terjadinya penyakit, tetapi toksin ini bukan agen
yang memulai terjadinya penyakit. Beberapa kriteria yang ditunjukkan oleh vivotoksin
diantaranya: dapat dipisahkan dari tumbuhan inang sakit, dapat dipurifikasi dan karakterisasi
kimia, menyebabkan dari sebagian gejala kerusakan pada tumbuhan sehat, dan dapat diproduksi
oleh organisme penyebab penyakit.
c. Fitotoksin
Fitotoksin adalah toksin yang diproduksi oleh parasit yang dapat menyebabkan sebagian kecil
atau tidak sama sekali gejala kerusakan pada tumbuhan inang oleh pathogen. Tidak ada
hubungan antara produksi toksin oleh patogen dengan patogenesitas penyebab penyakit.
Contoh gejala pada tanaman inang akibat toksin nonspesifik
III. PENUTUP
a. Kesimpulan
1. Patogen adalah agen biologis yang menyebabkan penyakit pada inangnya (tumbuhan).
2. Patogen dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa jenis, yaitu virus, bakteri, fungi/jamur,
dan nematoda.
3. Pencegahan dan pengendalian patogen berbeda-beda menurut jenis patogennya. Meskipun
demikian, secara umum pengendaliannya dapat dilakukan dengan eksklusi, eradikasi, imunisasi,
perlindungan langsung tumbuhan dari patogen, dan pengendalian terpadu.
b. Saran
Kerugian karena patogen dapat diminimalisir dengan pencegahan dari awal tanam. Dengan
monitoring pada lahan, petani dapat mengetahui lebih awal gejala tanaman terkena patogen dan
adanya vector yang membawa patogen. Jika tanaman sudah terkena patogen, agar tidak menulari
tanaman lain sebaiknya tanaman tersebut segera dicabut dan dimusnahkan. Selain itu vector yang
ada harus ikut dimusnahkan, walaupun hanya ada satu. Karena penyebaran patogen dengan
vector, contohnya serangga vector sangat cepat.
DAFTAR PUSTAKA
Agrios, G. N. 1996. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.s
Anonim. 2008. Ralstonia solanacearum. <http://www.eppo.org/QUARANTINE/
bacteria/Ralstonia_solanacearum/PSDMSO_images.htm>. Diakses pada tanggal 18 Desember
2010.
Muhidin. 1993. Dasar Hama dan Penyakit Tumbuhan. Universitas Muhammadiyah. Malang.
Warren, Levinson. 2008. Review of Medical Microbiology & Immunology Tenth Edition. The
McGraw-Hill Companies, Inc. New York.
http://treavanda.blogspot.co.id/2010/12/patogen.html
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bakteri
Bakteri merupakan tumbuhan bersel satu dan berdinding sel, tetapi bersifat prokariotik (tidak
mempunyai membran inti). Bakteri mempunyai kemampuan mereproduksi individu sel dalam
jumlah sangat banyak dengan waktu singkat sehingga menjadi penyebab penyakit yang
mempunyai sifat merusak pada inang. Penyebaran bakteri tidak melalui spora, sehingga secara
adaptif tidak dapat disebarkan melalui angin. Akan tetapi, bakteri patogenik mampu berpindah
dengan perantara air, percikan air hujan, binatang, dan manusia.
Bacillus thuringiensis (BT) Bt telah dikenal sebagai biokontrol agen sejak tahun 1950-an.Bakteri
ini tersebar di berbagai tempat pada hampir semua penjuru dunia. Pertama kali dijumpai di
Jepang pada tahun 1901yang membunuh ulat sutera di tempat pemeliharaan. B. thuringiensis
merupakan bakteri grampositif berbentuk batang. aerobik dan membentuk spora.
B. thuringiensis adalah bakteri yang menghasilkan kristal protein yang bersifat membunuh
serangga (insektisidal) sewaktu mengalami proses sporulasinya (Hofte dan Whiteley, 1989).
Kristal protein yang bersifat insektisidal ini sering dise-but dengan δ endotoksin. Kristal ini
sebenarnya hanya merupakan pro-toksin yang jika larut dalam usus se-rangga akan berubah
menjadi poli-peptida yang lebih pendek (27-149 kd) serta mempunyai sifat insektisi-dal. Pada
umumnya kristal Bt di alam bersifat protoksin, karena ada-nya aktivitas proteolisis dalam sistem
2.2 Virus
Salah satu agen hayati yang berperan penting sebagai pengendali hama secara alamiah adalah
Nuclear Polyhedrosis Virus (NPV) yang berstatus sebagai musuh alami bagi ulat grayak. Virus
ini memiliki sifat menguntungkan antara lain:1. Memiliki inang spesifik, 2. Tidak mempengaruhi
parasitoid dan predator, 3. Dapat mengatasi masalah resistensi akibat penggunaan insektisida
serta ramah lingkungan. Bahan aktif VIREXI/VIR-X adalah patogen serangga Spodoptera
exigua Nuclear Polyhedrosis Virus (Se-NPV) sedangkan VITURA/VIR-L berasal dari patogen
serangga Spodoptera litura Nuclear Polyhedrosis Virus (Sl-NPV). Pestisida ini tidak
mengandung bahan kimia beracun dan merupakan pengendali alternatif yang efektif membunuh
hama sasaran dan tidak berdampak negatif. Virus patogen serangga dari ulat bawang S. exigua
dan S. litura termasuk ke dalam famili Baculoviridae (Baculovirus). NPV adalah virus yang
berbentuk segi banyak dan terdapat di dalam inclusion bodies yang disebut polihedra dan
melakukan replikasi atau memperbanyak diri di dalam inti sel (nukleus) inangnya.
Bio insektisida VIREXI/VIR-X dan VITURA/VIR-L secara spesifik hanya digunakan sebagai
pengendali ulat grayak Spodoptera exigua dan Spodoptera litura yang menyerang tanaman
bawang merah, bawang putih, bawang daun, kacang-kacangan, tembakau, tomat dan cabe.
Proses infeksi SeNPV dan SlNPV di mulai dari tertelannya polihedral (berisi virus) bersama
makanan ulat. Di dalam saluran pencernaan yang bersuasana alkalis, polihedra larut sehingga
membebaskan virus (virion). Selanjutnya virus menginfeksi sel-sel yang rentan. Dalam waktu 1
– 2 hari setelah polihedra tertelan, ulat yang terinfeksi akan mengalami gejala abnormal secara
morfologis, fisiologis dan perilakunya. Masa infeksi NPV sampai larva yang terserang mati
dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya umur larva, suhu dan banyaknya PIB yang tertelan.
Isolat virus yang lebih virulen (ganas) dapat mematikan larva dalam 2 - 5 hari, tetapi isolat yang
kurang virulen membutuhkan 2 – 3 minggu untuk mematikan inangnya. Infeksi juga dapat terjadi
pada larva yang baru menetas akibat telur yang terinfeksi. Hal ini karena larva yang baru
menetas harus makan korion waktu membuat lubang untuk keluar. Apabila korion yang
mengandung NPV masuk ke dalam tubuh larva dan menginfeksi organ-organ tubuhnya maka
kematian akan terjadi 1 – 2 hari kemudian. Gejala ulat terinfeksi NPV secara morfologis terlihat,
hemolimfa ulat yang semula jernih berubah keruh dan secara fisiologis ulat tampak berminyak
dan perubahan warna tubuh menjadi pucat kemerahan, terutama bagian perut. Sedangkan secara
perilaku, ulat cenderung merayap ke pucuk tanaman, yang kemudian mati dalam keadaan
menggantung dengan kaki semunya pada bagian tanaman.
Permukaan kulit ulat akan mengalami perubahan warna dari pucat mengkilap pada awal
terinfeksi kemudian akan menghitam dan hancur. Apabila tersentuh, tubuh ulat akan
mengeluarkan cairan kental berbau seperti nanah yang berisi partikel virus. Ulat mati dalam
waktu 3 – 7 hari setelah polihedra tertelan. Sebelum mati ulat masih dapat merusak tanaman,
namun kerusakan yang diakibatkan ulat yang sudah terinfeksi sangat rendah, karena terjadi
penurunan kemampuan makan dari ulat grayak sampai 84%. SeNPV diaplikasikan menggunakan
alat penyemprot, sama halnya seperti yang digunakan untuk menyemprot pestisida kimia
(knapsack sprayer). Sebelumnya alat semprot dibersihkan/dicuci terlebih dahulu bila sehabis
dipakai untuk menyemprot pestisida kimia. Dapat pula dicampur dengan pupuk cair organik
(POC). Jangan dicampur dengan pestisida kimia. Aplikasi sebaiknya ditujukan untuk
mengendalikan ulat instar 1 – 3. Penyemprotan sebaiknya diarahkan ke permukaan daun bagian
bawah dan dilakukan pada sore atau malam hari agar tidak langsung terkena pengaruh sinar
matahari, disamping itu ulat grayak Spodoptera exigua dan Spodoptera litura memiliki sifat
nocturnal yaitu mencari makan pada malam hari.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Bakteri Sebagai Musuh Alami
3.1.1 Sejarah Bacillus thuringiensis (bt)
Bt telah dikenal sebagai biokontrol agen sejak tahun 1950-an.Bakteri ini tersebar di berbagai
tempat pada hampir semua penjuru dunia. Pertama kali dijumpai di Jepang pada tahun 1901yang
membunuh ulat sutera di tempat pemeliharaan. Sepuluh tahun kemudian, di Jerman ditemukan
strain baru dari Bt pada larva yang menyerang biji-bijian (serealia) di gudang penyimpanan.
Karena strain berikutnya ditemukan di Propinsi Thuringen, maka bakteri ini disebut Bacillus
thuringiensis, yaitu nama yang di berikan pada famili bakteri yang memproduksi kristal
paraspora yang bersifat insektisidal. Semula bakteri ini hanya diketahui menyerang larva dari
serangga kelas Lepidoptera sampai kemudian ditemu-kan bahwa bakteri ini juga menyerang
Diptera dan Coleoptera.
B. thuringiensis merupakan bakteri grampositif berbentuk batang. aerobik dan membentuk spora.
Banyak strain dari bakteri ini yang menghasilkan protein yang beracun bagi serangga. Sejak
diketahuinya potensi dari protein kristal Bt sebagai agen pengendali serangga, berbagai
isolat Bt dengan berbagai jenis protein kristal yang dikandungnya telah teridentifikasi. Sampai
saat ini telah diidentifikasi protein kristal yang beracun terhadap larva dari berbagai ordo
serangga yang menjadi hama pada tanaman pangan dan hortikultura. Kebanyakan dari protein
kristal tersebut lebih ramah lingkungan karena mempunyai target yang spesifik sehingga tidak
mematikan serangga bukan sasaran dan mudah terurai sehingga tidak menumpuk dan mencemari
lingkungan.
Jika nutrien di mana dia hidup sangat kaya, maka bakteri ini hanya tumbuh pada fase vegetatif,
namun bila suplai makanannya menurun maka akan membentuk spora dorman yang
mengandung satu atau lebih jenis kristal protein. Kristal ini mengandung protein yang disebut δ-
endotoksin, yang bersifat letal jika dimakan oleh serangga yang peka. Produksi bioinsektisida Bt
berkembang dengan pesat dari 24 juta dolar Amerika Serikat pada 1980 menjadi 107 juta dolar
Amerika Serikat pada tahun 1989. Kenaikan permodalan diperkirakan mencapai 11% per tahun,
di mana pada tahun 1999 mencapai 300 juta dolar Amerika Serikat.
Bt yang dikomersialkan dalam bentuk spora yang membentuk inklusi bodi. Inklusi bodi ini
mengandung kristal protein yang dikeluarkan pada saat bakteri lisis pada masa phase stationary.
Produk ini digunakan sebanyak 10-50 g per acre atau 1020 molekul per acre. Potensi
toksisitasnya berlipat kali dibandingkan dengan pestisida, misalnya 300 kali dibandingkan
dengan sintetik pyrethroid.
Penggunaan Bt tidak hanya dalam bentuk microbial spray yang berkembang di lapang, tetapi
juga dalam bentuk tanaman transgenik Bt. Sebagai contoh luas penanaman transgenik Bt di USA
meningkat hampir 3 kali lipat, yaitu dari 4 juta ha pada tahun 1997 menjadi 11,5 ha pada tahun
2000 .
3.1.2 Mekanisme Patogenisitas Bacillus thuringiensis (bt)
Kristal protein yang termakan oleh serangga akan larut dalam lingkungan basa pada usus
serangga. Pada serangga target, protein tersebut akan teraktifkan oleh enzim pencerna protein
serangga. Protein yang teraktifkan akan menempel pada protein receptor yang berada pada
permukaan sel epitel usus. Penempelan tersebut mengakibatkan terbentuknya pori atau lubang
pada sel sehingga sel mengalami lysis. Pada akhirnya serangga akan mengalami gangguan
pencernaan dan mati.
http://widyariska.blogspot.co.id/2010/01/musuh-alami-bakteri-dan-virus_02.html