Anda di halaman 1dari 23

Pengendalian Hayati dan Pengelolaan Habitat

PENGENDALIAN HAYATI DENGAN TEKNIK AUGMENTASI

OLEH :

RISKI APRIYANI

G022181001

PRODI ILMU HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN


FAKULTAS PERTANIAN
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Pengendalian hayati sebagai suatu teknik pengendalian cukup menjanjikan


karena dapat menekan pengeluaran untuk pestisida, tenaga kerja, peralatan pertanian
dan juga diharapkan dapat mengembalikan kondisi ekologis habitat seperti sediakala,
sebelum hama menyerang. Prinsip pengendalian hayati memiliki dasar pemikiran
yang sama dengan prinsip konservasi yang umum, seperti pentingnya meningkatkan
kekayaan spesies, terutama dari tingkat trofik yang lebih tinggi (predator dan
parasitoid) agar dapat tercipta keseimbangan alami dalam ekosistem. Dalam
pengendalian hayati, semua proses yang dilakukan adalah melalui mekanisme
pelepasan dan konservasi musuh alami. Pengelolaan habitat menjadi kunci karena
untuk konservasi musuh alami diperlukan pengelolaan yang ramah lingkungan dan
menyediakan tempat hidup yang baik bagi musuh alami (Buchori, 2001, Buchori et
al., 2008).
Apabila musuh alami dapat hidup dengan baik dan beradaptasi dengan
lingkungan dimana dia berada, maka peningkatan populasi hama tidak akan pernah
terjadi karena faktor mortalitas di alam akan bekerja dengan baik. Oleh karena itu,
pengendalian hayati menjadi komponen penting dalam pertanian berkelanjutan
karena sifatnya yang ramah lingkungan, berjangka panjang, tidak membahayakan
bagi kesehatan manusia dan tanaman serta mampu bereplikasi sendiri. Pengendalian
hayati umum diterapkan untuk mengatasi hama-hama lokal maupun hama eksotik.
Pengendalian hayati yang secara spesifik melepas musuh alami eksotik ke dalam
lingkungan baru untuk mengatasi hama eksotik (yang umumnya juga bersifat invasif)
disebut sebagai Pengendaliah Hayati.
Pengendalian hayati inilah yang telah umum dilakukan di berbagai belahan
bumi, termasuk Indonesia. Jika hama yang menyerang tanaman adalah hama eksotik,
yaitu hama baru yang masuk ke dalam suatu negara, maka umumnya musuh alami
yang digunakan harus dicari dari negara asal hama tersebut. Inilah yang dikenal
dengan Pengendalian hayati (Waage,1986, Hirose et al.,1990, Price et al.,2011).
Adapun dasar teori yang digunakan adalah asosiasi yang telah terbentuk
melalui proses evolusi yang panjang telah menciptakan interaksi antara hama dan
musuh alaminya seperti yang ada saat ini, sehingga parasitoid dapat efektif menekan
serangga hama/inangnya (Godfray, 1994). Dalam implementasi pengendalian hayati,
musuh alami dari daerah asal hama eksotik dikoleksi, diintroduksi dan dilepaskan ke
lingkungan baru yang telah diinvasi oleh hama eksotik tersebut.
Teknik Augmentasi adalah upaya peningkatan jumlah dan pengaruh musuh
alami yang sebelunya telah berfungsi di ekosistem tersebut, baik dengan cara
pelepasan sejumlah tambahan baru maupun dengan cara memodifikasi ekosistem
sedemikian rupa sehingga jumlah dan kemampuan musuh alami dapat ditingkatkan.
Pelepasan secara augmentasi ini akan berhasil bila dilakukan secara periodik. Ada 3
cara pelepasan periodik ádalah sebagai berikut, antara lain 1) Pelepasan Inokulatif
merupakan pelepasan musuh alami dilakukan satu kali dalam satu musim atau dalam
satu tahun dengan tujuan musuh alami dapat mengadakan kolonisasi dan
menyebarluas secara alami sehingga dapat menjaga keseimbangan, 2) Pelepasan
Suplemen adalah pelepasan dilakukan setelah kegiatan sampling diketahui populasi
hama mulai meninggalkan populasi musuh alaminya. Tujuannya adalah untuk
membantu musuh alami yang sudah ada agar kembali berfungsi dan dapat
mengendalikan populasi hama, 3) Pelepasan Inundatif atau Pelepasan Massal, dimana
pelepasan ini diharapkan agar individu-individu musuh alami yang dilepas secara
sekaligus dapat menurunkan populasi hama secara cepat terutama setelah ratusan ribu
atau jutaan individu parasitoid atau predator dilepaskan. Adapun 2 cara melakukan
augmentasi, yakni Pelepasan inundatif parasitoid sering disebut penggunaan
Insektisida biologi karena musuh alami diharapkan dapat bekerja secepat insektisida
kimia dalam penurunan populasi hama, memanipulasi atau memodifikasi ekosistem
sehingga ekosistem tersebut lebih mendorong peningkatan populasi dan efektifitas
serta efisiensi musuh alami.
Dalam pengendalian hayati, musuh alami yang efektif memiliki ciri-ciri
sebagai berikut: mampu mendeteksi populasi hama pada kepadatan yang rendah,
memiliki pertumbuhan populasi lebih cepat dibanding hama, menunjukkan laju
penekanan populasi hama per kapita cukup tinggi, memiliki fenologi yang sinkron
dengan hama target, persisten pada kepadatan populasi hama yang rendah, musim
tanam maupun rotasi tanaman, toleran terhadap berbagai aktivitas pengelolaan
tanaman, serta mudah diadopsi petani dan diperbanyak secara massal (Manley et al.,
2001). Augmentasi musuh alami haruslah melewati proses-proses penelitian yang
panjang, antara lain meliputi studi bioekologi dan dilakukan proses adaptasi dan
seleksi, serta dipelajari dahulu apakah ada dampak negatifnya sebelum dilepas ke
alam.

I.2. Tujuan

Untuk mengkaji kesuksesan pengendalian hama dalam melakukan augmentasi


parasitoid Anagyrus lopezi (De Santis) (Hymenoptera: Encyrtidae) terhadap hama
Kutu Putih Singkong, Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera:
Psedococcidae) pada Tanaman Ubi Kayu.
BAB II
PEMBAHASAN

II.1. Tanaman Ubi Kayu (Manihot Esculenta Crantz)


Ubi kayu atau yang lebih dikenal dengan nama singkong dan ketela pohon
termasuk ke dalam Famili Euphorbiaceae, Subfamili Crotonodeae, Suku Manihotae
dan Genus Manihot. Pertama kali tanaman ini dikenal di Amerika Selatan namun
lebih berkembang di Brazil dan Paraguay. Di Indonesia tanaman ubi kayu mulai
dibudidayakan sejak tahun 1852 dan mulai menyebar hingga ke seluruh wilayah
Nusantara tahun 1914-1918 pada saat Indonesia kekurangan bahan pangan beras.
Pada tahun 1968 Indonesia menjadi negara penghasil ubi kayu nomor lima di dunia
(Rukmana, 1997).
Sama halnya dengan tanaman lainnya, tanaman ubi kayu termasuk rentan
terhadap serangan hama dan penyakit tumbuhan, terutama apabila menggunakan bibit
yang tidak sehat dan dengan praktek pengelolaan budidaya yang kurang tepat.
Kehilangan hasil yang berat dapat terjadi akibat meningkatnya intensitas serangan
organisme pengganggu tumbuhan pada area pertanaman ubi kayu yang luas, terutama
pada areal penanaman ubi kayu yang secara terus menerus sepanjang tahun.
Hama tanaman ubi kayu yang utama dan menjadi masalah di Asia hingga saat
ini adalah kutu kebul (whiteflies), kutu putih (mealybug) dan tungau merah (red
spider mite) (FAO,2013). Kutu kebul hampir menjadi hama yang paling merusak di
seluruh wilayah kebun produksi ubi kayu. Selain menjadi hama, perannya sebagai
vektor penyakit virus lebih penting dalam menimbulkan kerusakan pada tanaman ubi
kayu. Spesies kutu kebul ini adalah Bemisia tabaci (Gennadius) dan B. tuberculata
Bondar (Hemiptera: Aleyrodidae) (CABI 2008a).
Selain kutu kebul, kutu putih juga menjadi hama utama yang pernah
menyerang di sub-Sahara Afrika. Spesies kutu putih tersebut adalah P. manihoti dan
Phenacoccus herreni Cox & Williams. Hama lainnya yang selalu menjadi masalah
adalah tungau. Tungau masih selalu menjadi masalah utama di saat musim kemarau,
umumnya adalah spesies Tetranychus urticae Koch dan T. kanzawai Kishida (Acari:
Tetranychidae). Kehilangan hasil akibat serangan dapat berkisar antara 18 sampai
50% (FAO, 2013).

II.2. Kutu Putih Phenacoccus manihoti


P. manihoti merupakan salah satu hama eksotik yang tergolong invasif bagi
Indonesia sejak tahun 2010 (Muniappan et al., 2011). Kutu putih ini menjadi hama
penting utama di seluruh dunia pada pertanaman ubi kayu. Kutu putih P. manihoti
berasal dari Amerika Serikat, dan serangan pertama kali dilaporkan terjadi di
Kinshasa, Kongo, Negara Afrika pada tahun 1973. Selanjutnya kutu putih ini
menyebar ke Asia pada tahun 2008 dan mulai pertama kali ditemukan di Negara
Thailand, kemudian Kamboja, Laos, Vietnam, dan terbaru di Indonesia (Muniappan
et al., 2011; Parsa et al., 2012; CABI, 2013a).

II.2.1. Morfologi Kutu Putih Phenacoccus manihoti


Imago kutu putih singkong P. manihoti memiliki ciri tubuh berbentuk oval,
berwarna merah jambu, memiliki peruasan tubuh jelas (Karyani, 2015), memiliki
panjang dan lebar tubuh yang dapat mencapai 2.60 mm dan 1.40 mm dengan lapisan
lilin di bagian luar tubuhnya (Wardani, 2015). P. manihoti memiliki 3 segmen tubuh
dengan bagian terlebar pada mesothoraks. Bagian kepala memiliki sepasang antena
dengan 9 ruas pada imago dan 6 ruas pada nimfa instar awal. Pori quinquelokular
banyak di sekitar kepala pada permukaan ventral (Parsa et al., 2012) mulai bagian
anterior hingga ke bagian clypheolabral shield yang mencapai 32-68 (Karyani,2015).
Bagian tubuh memiliki 18 pasang serari, masing masing dengan dua seta lankeolat
yang membesar tanpa seta auksilari kecuali pada lobus anal (Karyani, 2015).
Sirkulus, dan ostiol berkembang baik. Tungkai 3 pasang berkembang dengan baik
dan memiliki panjang yang sama (Williams dan Grenara, 1992).
Telur kutu putih singkong berbentuk oval memanjang dengan warna kuning
bening keemasan dan transparan. Ukuran panjang telur berkisar antara 0.30-0.75 mm
dan lebar 0.15-0.30 mm (Nwanze, 1977). Kelompok telur dibungkus dalam kantung
telur (ovisak) yang mudah melekat pada bidang permukaan benda apapun dan ini
secara tidak langung membantu proses persebaran telur kutu putih. Masa praoviposisi
dan oviposisi sekitar 9 hari dengan tingkat keperidian 386 telur (Wardani, 2015).
Imago betina kutu putih ini berwarna merah jambu dengan panjang tubuh 1.25 mm
dan lebar 0.63 mm. Perkembangbiakannya bersifat paurometabola dengan tahapan
telur, nimfa mencapai III instar lalu imago. Bentuk antara nimfa instar II, III, dan
imago, tidak jauh berbeda, hanya imago berukuran lebih besar. Nimfa instar I
berukuran panjang 0.41 mm dan lebar 0.17 mm, instar II panjang 0.60 mm dan lebar
0.26 mm, serta instar III panjang 0.86 mm dan lebar 0.39 mm. Baik nimfa maupun
imago tubuhnya diselimuti dengan serabut lilin berwarna putih.

II.2.2. Biologi dan Ekologi Kutu Putih Phenacoccus manihoti


Kutu putih singkong P. manihoti merupakan serangga yang termasuk Ordo
Hemiptera, Subordo Stenorrhyncha, Superfamili Coccidea dan Famili
Pseudococcidae. Kutu putih singkong ini memiliki pola reproduksi parthenogenetik
telitoki. Tipe reproduksi seperti ini dalam berkembang biaknya menghasilkan seluruh
keturunannya betina. Siklus hidup kutu putih singkong terdiri atas stadia telur 7.55
hari, nimfa instar pertama 4.58 hari, instar kedua 4.2 hari, dan instar ketiga 4.58 hari
dengan rentang masa satu siklus 20.9 hari (Saputro, 2013).
Wardani (2015) menjelaskan bahwa P. manihoti memiliki laju pertumbuhan
intrinsik (rm) 0.258 keturunan betina perhari dengan rata-rata masa generasi (T)
25.532 serta rata-rata laju reproduksi (Ro) mencapai 386.37. Sedangkan laju
pertumbuhan terbatas (ʎ) dan masa ganda (Dt) adalah 1.24 kali perhari selama 3.22
hari. Kemampuan reproduksi kutu putih singkong betina dewasa mencapai 570 telur
yang umumnya diletakkan pada permukaan bawah daun dan pucuk tanaman.
Perkembangan populasi pradewasa sejak telur diletakkan hingga dewasa dipengaruhi
oleh varietas singkong. Populasi kutu putih singkong lebih tinggi pada tanaman
singkong yang mengandung sianida tinggi. Parsa et al. (2012) melaporkan bahwa
populasi kutu putih singkong yang tinggi mampu menjadi penyebab outbreak di suatu
tempat.
Kutu putih singkong P. manihoti mudah ditemukan pada bagian bawah daun
dan pucuk tanaman membentuk koloni (CABI, 2008) pada koloni yang sama ataupun
tercampur dengan koloni lainnya, Sartiami (komunikasi pribadi) melaporkan bahwa
spesies-spesies koloni kutu putih yang diduga dominan menyerang pada tanaman
singkong selain kutu putih P. manihoti yaitu Paracoccus marginatus, Ferrisia virgata
dan Pseudococcus jackbeardsleyi. Kutu P. marginatus sangat umum dijumpai dan
biasanya terdapat pada permukaan bawah daun, sedangkan F. virgata dan P.
jackbeardsley biasanya menyerang tanaman yang tumbuh merana karena terserang P.
manihoti. Selain itu kutu putih pada singkong biasanya memiliki hubungan
mutualisme dengan semut yang menyebabkan kutu putih memiliki tingkat survival
yang baik dengan kegiatan semut termasuk perlindungan dari musuh alami.
Mobilitas nimfa tampak pada nimfa instar-1 (crawler), sedangkan nimfa instar
dua dan selanjutnya cenderung pasif dan diam dengan menghisap cairan tanaman.
Kutu putih singkong tidak mampu terbang untuk berpindah tempat dan akan berada
di lahan dengan bertahan pada sisa-sisa bagian tanaman singkong (daun dan batang).
Kutu putih singkong yang bertahan di lahan tersebut akan menjadi sumber infeksi
pada pertanaman singkong di musim berikutnya. Keberadaan dan kehidupan populasi
kutu putih singkong sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan abiotik seperti cuaca
dan suhu di lokasi tempat hidup serangga tersebut. Pengaruh cuaca terhadap
keberadaan dan perkembangan kutu putih tampak pada penurunan populasi pada
musim penghujan. Nurhayati dan Anwar (2012) melaporkan bahwa pada kondisi
lapangan dengan curah hujan ringan yang berkisar 140 mm – 278.4 mm sudah dapat
menyebabkan berkurangnya populasi kutu putih. Pengaruh faktor suhu, kutu putih
singkong mampu hidup pada temperatur udara yang rendah 14.70 C dan dapat
berkembang optimal pada suhu 280 C. Kondisi suhu yang ideal dan curah hujan yang
rendah menyebabkan populasi kutu putih singkong berkembang lebih cepat (Walton
et al., 2004).

II.3. Tanaman Inang dan Gejala Kerusakan


Kutu putih singkong diketahui sebagai hama spesifik inang yang hanya
menyerang tanaman singkong Manihot esculent (Calatayud dan Le RU, 2006).
Perkembangan P. manihoti akan lebih baik pada tanaman singkong pada varietas
dengan kandungan asam sianida (HCN) tinggi seperti Adira 2, Malang 4 dan 6, serta
UJ 3 dan 5 (Wardani, 2015). Essien et al. (2013) melaporkan bahwa P. manihoti
mudah dipelihara pada tanaman Talinum triangulare dan tanaman Ageratum
conyzodies.
Hampir sebagian besar pertanaman singkong di negara yang telah terserang
kutu putih singkong menunjukkan sifat yang invasif. Sifat hama ini menunjukan
kemampuan mengkolonisasi suatu habitat secara massif sulit untuk dikendalikan,
mampu menimbulkan kerusakan secara ekologi dan menimbulkan permasalahan
ekonomi. Oleh karenanya hama ini merupakan salah satu hama singkong yang paling
merusak (Parsa et al., 2012). Serangan kutu putih pada tanaman singkong
menyebabkan pucuk tanaman berkerut dan mengumpul kerdil (bunchy top), daun
menguning, berguguran, ruas batang memendek dan terdistorsi, serta batang singkong
yang dijadikan propagasi menjadi lembek dan menghasilkan bibit yang buruk
(Neuenshwander dan Hammond, 1988). Gejala bunchy top mulai muncul pada
tanaman berumur 8 minggu setelah tanam (MST) dan akan terus berkembang seiring
umur tanaman singkong (Wardani, 2015). Serangan yang berat dapat mengakibatkan
daun berguguran mengering dan tanaman mati.
Kerusakan pada tanaman akibat serangan kutu putih lebih parah jika terjadi
pada musim kemarau. Wardani (2015) melaporkan bahwa serangan kutu putih P.
manihoti dominan muncul pada musim kemarau/kering dimulai pada saat tanaman
berumur 6 MST sampai panen. Laporan adanya outbreak pada tanaman singkong
menyebabkan kehilangan hasil 40-50% di Asia (Wyckhuys et al. 2014; Wardani
2015).

II.4. Pengendalian Hayati


Pemanfaatan musuh alami (agens pengendali hayati) sebagai salah satu
komponen ekosistem berperan penting dalam pengendalian kutu putih singkong dan
pengelolaan hama lainnya, karena terlibat dalam proses interaksi intra dan
interspesies. Pengendalian kutu putih singkong perlu dilakukan dengan tepat dan
benar agar tidak berdampak pada lingkungan. Pemanfaatan organisme ataupun
mikroorganisme seperti parasitoid, predator dan patogen serangga sangat relevan bagi
keberlangsungan ekosistem di lingkungan.
Pengendalian yang telah berhasil dilakukan untuk mengatasi kutu putih
singkong di 25 negara Afrika dan Thailand adalah dengan menggunakan agens
pengendali hayati yakni Anagyrus lopezi sebagai parasitoid (James et al., 2000). A.
lopezi ini banyak dimanfaatkan semenjak awal dekade 1980-an di Nigeria, dan salah
satu genus Anagyrus dari famili Encyrtidae yang paling berhasil digunakan sebagai
pengendali hayati hama (Noyes dan Hayat, 1994).

II.5. Parasitoid Anagyrus lopezi


Setelah eksplorasi asing yang panjang parasitoid Anagyrus lopezi De Santis
(Hymenoptera: Encyrtidae) ditemukan di Paraguay, Brasil dan Bolivia. Parasitoid ini
kemudian diimpor ke International Institute of Tropical Agriculture (IITA) di Benin
dan mulai tahun 1981 pelepasan dilakukan di seluruh benua Afrika. Butuh waktu
sekitar dua tahun untuk mengurangi populasi mealybug sejak pelepasan parasitoid di
setiap lokasi (Neuenschwander, 2010).
II.5.1. Morfologi Anagyrus lopezi
Taksonomi dari A. lopezi memiliki nama sinonim Epidinocarsis lopezi atau
sebelumnya dikenal juga dengan Apoanagyrus lopezi. Parasitoid ini tergolong ke
dalam Ordo Hymenoptera, Subordo Apocrita, Superfamili Chalcidoidea, Famili
Encrytidae dan genus dari Anagyrus. Parasitoid yang tergolong ke dalam Famili
Encyrtidae umum juga disebut sebagai suku Anagyrini. Perilaku spesies parasitoid
anggota Anagyrini sebagian besar memarasit secara endoparasitoid soliter, namun
beberapa spesies lainnya diketahui dapat memarasit secara gregarius (Noyes dan
Hayat, 1994). A. lopezi memarasit secara endoparasitoid soliter yang secara alami
dapat mengendalikan nimfa dan imago kutu putih singkong P. manihoti.
Parasitoid berasal dari Amerika Selatan, pertama kali diintroduksi ke Nigeria
melalui International Institute Tropical Agriculture (IITA) untuk mengendalikan
cassava mealybug (CMB) (Neuenschwander, 2001).
A. lopezi memiliki ciri-ciri tubuh yang kuat dan kokoh, antena memiliki
funikel 6 ruas, palpus maksila 3 ruas, palpus labium 3 ruas. Pada bagian kepala,
frontvertex antara anterior occelli dan bagian atas scrobes sangat khas, frontvertex
kurang dari setengah lebar kepala. Mesoscutum tanpa garis notauli, sedikit mengkilat.
Sayap depan dengan marginal vein sepanjang stigma atau mendekati, postmarginal
sangat kurang dari panjang stigma. Sayap belakang bervariasi dari 4-5 kali dari lebar
sayap. Memiliki tungkai yang ramping (Noyes dan Hayat, 1994).

Gambar 2. Imago betina Anagyrus lopezi


(Sumber : Georgen,2010)
II.5.2. Biologi dan Ekologi Anagyrus lopezi
A. lopezi merupakan serangga yang termasuk Ordo Hymenoptera, Superfamili
Chalcidoidea dan Famili Encyrtidae. Parasitoid ini memiliki pola reproduksi
partenogenetik arenotoki. Tipe reproduksi seperti ini dalam berkembang biaknya
akan menghasilkan keturunan jantan dan betina. Siklus hidup A. lopezi terdiri atas 4
stadia, yaitu telur, larva, pupa, dan imago dengan rentang masa satu siklus 17 - 21
hari (Jaipet, 2014), 11 - 25 hari pada perlakuan di laboratorium (Adriani, 2015).
Iziquel dan Le RU (1992) lebih lanjut melaporkan bahwa A. lopezi betina
dapat hidup 41.4 hari pada suhu 26o C dengan keperidian 558.5 butir telur dan
memiliki laju pertumbuhan intrinsik (rm) 0.258 keturunan betina perhari. Lama hidup
stadia telur berkisar 18-24 jam pada suhu ruang, larva berkisar 9-10 hari dengan
kisaran 1 hari instar -1, 1 hari instar -2, 2 hari instar -3 dan 4 hari instar -4, masa pupa
dilalui selama 6 hari (Odebiyi dan Bokonon-Ganta, 1986).
Setelah sempurna perkembangan pradewasanya, imago A. lopezi muncul
dengan membuat lubang kecil pada mumi nimfa inang untuk jalan keluarnya. Imago
A. lopezi mampu meletakan telur 5-6 butir/hari dengan jumlah total mencapai 68 butir
selama hidupnya (Rivnay dan Perzelan, 1943). Jaipet (2014) melaporkan bahwa
dalam kondisi yang baik di lokasi perbanyakan parasitoid yang terdapat banyak
inang, imago betina A. lopezi mampu meletakan telur pada nimfa kutu putih antara 15
hingga 20 per hari. Imago jantan muncul lebih dahulu dan tetap berada di sekitar
inang menunggu betina yang akan muncul satu hari kemudian dan mengawininya.
Nisbah kelamin jantan terhadap betina yang keluar pada A. lopezi yaitu 1 : 2,3
(Neuenschwender dan Hammond, 1988).
Betina A. lopezi lebih dominan memarasit dan meletakkan telur pada nimfa P.
manihoti instar -2, -3 dan imago (Adriani, 2015). Imago A. lopezi membutuhkan
pakan tambahan seperti madu dan nektar, serta inang. Parasitoid yang lapar lebih
memilih mencari pakan ketimbang inangnya (Takasu dan Lewis, 1993; Lewis et al.,
1998).
Oleh karena itu, ketersediaan sumber pakan tambahan di sekitar tanaman
budidaya diperlukan agar waktu pencarian pakan tidak lebih banyak ketimbang waktu
pencarian inang sehingga parasitisasi lebih efektif. Parasitoid A. lopezi merupakan
parasitoid dari famili encyrtidae soliter yang mampu hidup dan berkembang pada
suhu kamar 25-30o C. Selain itu A. lopezi merupakan parasitoid spesifik nimfa yang
berpotensi menekan populasi P. manihoti. Kemampuan A. lopezi untuk berkembang
dan memarasit inang di lapangan tinggi. A. lopezi merupakan musuh alami yang
efektif karena selain aktifitas parasitisasi terhadap inang, juga adanya kemampuan
host-feeding dengan menghisap cairan tubuh inang. Mekanisme A. lopezi dalam
mengendalikan populasi hama akibat perkembangan fase pradewasanya dalam tubuh
nimfa inang dan kemudian mematikannya. Perkembangan fase pradewasa ini pula
yang mempengaruhi keberhasilan munculnya generasi A. lopezi berikutnya.

II.6. Prosedur Karantina Dan Skrening Bagi Introduksi Musuh Alami Sebelum
Melakukan Augmentasi
Di Indonesia dalam melakukan introduksi musuh alami diatur berdasarkan
Surat Keputusan Menteri pertanian No. 411 Tahun 1995 tentang Pemasukan Agens
Hayati ke dalam Wilayah Negara Republik Indonesia. Ijin pemasukan dan pelepasan
musuh alami hanya dapat dikeluarkan berdasarkan SK Menteri Pertanian atas
rekomendasi Komisi Agens Hayati yang mengacu kepada “Pedoman Umum
Pemasukan Agens Hayati ke dalam Wilayah Indonesia”, sebagaimana telah
ditetapkan oleh Ketua Komisi Agens Hayati Nomor 226/Kpts/OT.160/L/9/06.
Informasi keseluruhan tentang musuh alami sebelum ditetapkannya keputusan
introduksi maupun pelepasan sangatlah diperlukan dan penting diketahui terutama
sebagai dasar keputusan program pengendalian hayati. Terdapat syarat karantina bagi
musuh alami yang harus dipenuhi, yaitu (1) Musuh alami harus tidak mempunyai
potensi untuk merusak, mengganggu, atau mendatangkan resiko bagi pertanian
lingkungan lain setelah pemasukannya, dan (2) Musuh alami harus tidak membawa
organisme lain yang membahayakan (Purnomo, 2010).
Syarat pertama berhubungan dengan proses uji sebaran inang, yang menjamin
bahwa musuh alami yang diintroduksi bersifat spesifik terhadap hama eksotik dan
tidak menyerang spesies lain terutama spesies asli yang bukan sasaran sehingga aman
untuk dilepaskan (Sands & Van Driesche,2003), dan syarat kedua dilakukan untuk
menjamin bahwa musuh alami yang diimpor tidak membawa bahan material lain
seperti hama, patogen, dan musuh alami dari musuh alami yang diintroduksi
(Purnomo,2010).
Selama proses uji bagi kedua syarat tersebut, potensi musuh alami perlu diuji
sebaik-baiknya terutama dalam hal kecenderungannya menyerang sejumlah spesies
inang yang bukan sasaran. Seleksi terhadap inang bukan sasaran memerlukan
pertimbangan yang cermat serta dikonsultasikan dengan ahli-ahli taksonomi dan
biologi. Rekomendasi kriteria dalam memilih daftar spesies inang bukan sasaran
menurut Khulmann et al. (2006) adalah berdasarkan tiga kategori yang semuanya
perlu menjadi pertimbangan dalam menentukan inang bukan sasaran. Kategori
tersebut adalah: (1) kesamaan ekologi, artinya spesies hidup di habitat yang sama atau
menggunakan tanaman inang yang sama dengan spesies sasaran; (2) kemiripan
taksonomi atau filogenetik, artinya spesies berkerabat erat dengan spesies sasaran,
dapat memiliki nama genus yang sama, famili, atau subfamily yang sama yang
sebelumnya tidak dijumpai musuh alami; dan (3) pertimbangan perlindungan, yaitu
spesies yang bermanfaat dan keberadaannya langka/hamper punah. Ketiga kategori
tersebut membantu memberikan rekomendasi spesies asli mana yang memungkinkan
menjadi kisaran inang parasitoid.
Dari ketiga kategori tersebut, prioritas harus ditujukan pada spesies yang
cocok lebih dari satu kriteria. Umumnya akan diperoleh daftar yang begitu banyak
dan menjadi tidak efektif dan tidak mudah untuk dilakukan pengujian, sehingga
daftar yang diperoleh perlu disaring kembali dengan dua filter. Filter pertama yaitu
dengan menghilangkan spesies yang memiliki sifat tumpang tindih dengan spesies
target ataupun dengan agens pengendali hayati, dalam hal ini kriteria spesies yang
dikesampingkan adalah yang kebutuhan iklimnya berbeda, fenologi berbeda, dan
ukuran inang yang berbeda. Filter selanjutnya adalah memilih spesies yang tersedia
dan mudah diperoleh dalam jumlah yang cukup banyak dalam waktu yang wajar serta
memungkinkan untuk digunakan dalam pengujian kekhususan inang (Khulmann et
al., 2006).
Persyaratan tersebut di atas tentunya berlaku bagi introduksi dan pelepasan
parasitoid A. lopezi yang baru-baru ini dilakukan sebagai upaya pengandalian hayati
bagi kutu putih P. manihoti di Indonesia. Walaupun informasi tingkat keefektifan dan
keamanan parasitoid sudah dilaporkan di beberapa negara lain yang juga melakukan
introduksi, namun pengujian kekhususan inang dan keamanan terhadap spesies inang
bukan sasaran perlu dilakukan demi memastikan bahwa agens hayati yang diuji tidak
memakan, memangsa, atau memarasit organisme lokal bukan sasaran, dan hama kutu
putih spesies lainnya. Inang bukan sasaran yang menjadi target kemungkinan bagi
parasitoid, A. lopezi selain terhadap P. manihoti di Indonesia, berdasarkan kategori
yang disebutkan oleh Sands dan Van Driesche (2003) dan Khulmann et al. (2006)
yang disesuaikan dengan kondisi yang ada di Indonesia, terdapat tiga spesies hama
kutu putih bukan sasaran yang sama-sama berasosiasi dengan tanaman ubi kayu yaitu
P. marginatus, P. jackbeardsleyi, dan F. virgata. Ketiganya bukan termasuk hama
lokal, namun keberadaannya merupakan hama penting di Indonesia yang
mempengaruhi nilai ekonomi dan memiliki kisaran inang yang luas.

II.7. Pengujian Kesesuaian Inang Parasitoid Anagyrus Lopezi Terhadap Kutu


Putih Yang Berasosiasi Dengan Ubi Kayu skala Laboratorium
Pemahaman kekhususan inang dari suatu agens pengendalian hayati merupakan
salah satu kriteria yang penting diperlukan untuk mengevaluasi potensi
penggunaannya dan bentuk kewaspadaan dari resiko kehadirannya menyerang inang
bukan sasaran (Van Lenteren et al., 2003). Pengetahuan ini sangat penting terutama
bila agens hayati yang digunakan didatangkan dari negeri lain. Salah satu bentuk
kewaspadaan yang perlu dilakukan terhadap dampak negatif kehadiran musuh alami
baru di suatu lingkungan adalah perlu pengujian terhadap potensi musuh alami dalam
hal kecenderunganya menyerang sejumlah spesies inang yang bukan sasaran. Selain
itu, keberhasilan parasitisasi suatu parasitoid adalah mengharuskan parasitoid mampu
beradapatasi dan melakukan seleksi inang dalam pencarian dan pertahananya pada
suatu lokasi habitat, lokasi inang, penerimaan inang, dan kesesuaian inang (Heidari &
Jahan, 2000).
Parasitoid perilaku A. lopezi memiliki kekhususan inang yaitu hanya memarasit
kutu putih P. manihoti, baik pada uji tanpa pilihan maupun uji pilihan berpasangan.
A. lopezi hanya berkembang baik mencapai imago pada uji kesesuaian menggunakan
inang dari spesies P. manihoti. A. lopezi banyak dilaporkan sebagai endoparasit
soliter yang secara alami dapat mengendalikan nimfa dan imago P. manihoti (Odebiyi
& Bokonon Ganta, 1986; Neuenschwander, 1994, Neuenschwander, 2001). Tiga
spesies kutu putih lainnya yang diuji (P. marginatus, P. jackbeardsleyi, dan F.
virgata) sama sekali tidak diparasit.

II.8. Teknik Pelepasan dan Evaluasi Parasitoid di Lapangan


Tahapan berikutnya setelah evaluasi dari introduksi musuh alami adalah
proses augmentasi atau pelepasan di lapangan. Secara umum, metode pelepasan
parasitoid di lapangan adalah secara inundatif dan inokulatif. Pelepasan musuh alami
secara inundatif adalah dengan cara melepas musuh alami dalam jumlah besar untuk
mengendalikan hama secara langsung, sedangkan pelepasan secara inokulatif adalah
dengan cara melepas musuh alami dalam jumlah terbatas agar dapat berkembang biak
di lapangan dan keturunannya yang akan mengendalikan hama sasaran.
Parasitoid A. lopezi adalah contoh penerapan pelepasan secara inokulatif di
lapangan dalam mengendalikan kutu putih singkong P. manihoti. Secara umum,
parasitoid yang dilepas di lapangan harus mempunyai kemampuan menyebar dari
titik pelepasan pada lokasi baru sebagai sasaran pengendalian dan ini berpengaruh
terhadap keberhasilan dalam menekan populasi hama sasaran. Penerapan prinsip
konservasi yang diintegrasikan dalam kegiatan budidaya terbukti mampu
meningkatkan kemapanan parasitoid yang dilepas pada lingkungan baru. Penyediaan
sumber daya pendukung (pakan, inang, shelter, refugia area, lingkungan mikro)
berpengaruh positif terhadap lama hidup dan keperidian parasitoid yang dilepaskan di
lapangan (Nicholls dan Alfieri, 2003).
Proses Pelepasan Parasitoid
Persiapan Tahap persiapan penyediaan tanaman inang, tanaman singkong
dipilih dan digunakan sebagai tanaman inang untuk pembiakan kutu putih singkong
P. manihoti. Varietas singkong yang digunakan adalah Jimbul yang dipotong dengan
ukuran 15 cm yang ditempatkan pada wadah ember plastik. Setiap ember berisi 5
batang singkong yang ditambahkan dengan air dan hara cair dengan perbandingan
10:1 sebagai media tanam dan diletakan ditempat terbuka. Tanaman singkong yang
digunakan adalah tanaman singkong berumur 15-20 hari dan telah mencapai
ketinggian seragam.

Perbanyakan kutu P. manihoti, Pembiakan massal parasitoid A. lopezi,


Parasitisasi dalam Kurungan di Pertanaman.

Nimfa kutu putih singkong instar -2, instar -3, dan imago dikoleksi dari
lapangan dan dipelihara di laboratorium dengan cara menularkan pada tanaman
singkong hasil perbanyakan. Sebanyak 40-50 wadah ember plastik berisi tanaman
singkong dimasukkan dan ditata berjajar ke dalam rak-rak besi di dalam ruangan
perbanyakan. Penularan kutu putih singkong dilakukan dengan cara meletakkan
potongan bagian tanaman yang terinfestasi P. manihoti dari lapangan. Setelah satu
minggu, tanaman dalam wadah yang ada sejumlah nimfa, dipisahkan dan
dipindahkan ke dalam wadah plastik kecil seperti gelas plastik yang telah diisi air
sebagai media tumbuh. Pada bagian atas wadah ditutup dengan menggunakan
sterofom untuk mengurangi proses penguapan dan menghindari tumpahnya media
tumbuh tanaman. Sebagaian hasil perbanyakan digunakan untuk pembiakkan dan
perbanyakan parasitoid A. lopezi.
Parasitoid diperoleh dari hasil pembiakan massal di laboratorium, yang
indukannya dulu didatangkan dari Thailand. Parasitoid dipelihara dan
dikembangbiakkan di dalam kurungan pembiakan dan diberi larutan madu 10%
sebagai nutrisi tambahan. Kurungan berkerangka dengan bagian atas dan sisi kanan,
kiri dan belakang ditutupi kain kasa atau plastik bening dilengkapi dengan pintu
bagian depan sebagai akses memasukan dan mengeluarkan bibit singkong dan
parasitoid. Sebanyak sepuluh tanaman singkong yang telah terinfestasi kutu putih
hasil perbanyakan yang telah dipisahkan dalam wadah plastik ke dalam kurungan .
Setelah dua minggu tanaman dipindahkan ke dalam wadah plastik dan dilakukan
pemanenan parasitoid dilakukan setiap hari yang dipersiapkan untuk proses pelepasan
di lapangan. Suhu di tempat pemeliharaan berkisar 22-25oC dan kelembaban udara
55-70%.
a) Parasitisasi dalam Kurungan di Pertanaman.
Pengujian tentang parasitisasi A. lopezi terhadap kutu putih singkong P.
manihoti dalam kurungan dengan menggunakan kurungan berkerangka kayu
yang bagian atas dan sisinya ditutupi kain kasa. Kedalam kurungan dimasukkan
satu tanaman singkong varietas Jimbul hasil perbanyakan berumur 3 minggu dan
diletakkan dipertanaman singkong. Tanaman singkong kemudian diinokulasi
dengan kutu putih instar-2 sebanyak 50 ekor, dan setelah itu dimasukkan
parasitoid A. lopezi.
Perlakuan pelepasan parasitoid A. lopezi memiliki pengaruh yang besar
terhadap tingkat parasitisasi. Pada saat pelepasan 3 pasang A. lopezi rataan
tingkat parasitisasi lebih tinggi dibandingkan pada pelepasan 1 pasang parasitoid.

b) Pelepasan Inokulasi Parasitoid.


Pengujian pelepasan inokulasi A. lopezi dilaksanakan di tiga pertanaman
singkong milik petani di daerah Cimahpar, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa
Barat. Pertanaman singkong yang dipilih adalah yang memiliki jarak tanam 1 m
x 1 m, jumlah tanaman minimum 2000 batang, serta berumur 4-5 bulan setelah
tanam. Populasi kutu putih di lapangan sangat rendah, karena itu untuk
mengevaluasi tingkat parasitisasi digunakan kutu putih hasil pembiakan
dilaboratorium sebagai sentinel atau perangkap. Kutu putih sentinel ini dipelihara
pada bibit singkong yang ditumbuhkan pada wadah plastik yang setengahnya
berisi air. Pada setiap pertanaman dilepas sebanyak 150 pasang parasitoid A.
lopezi. Untuk menentukan tingkat parasitisasi, dua hari setelah pelepasan
dikumpulkan kutu putih sentinel masing-masing 10 ekor dari setiap bibit. Kutu
diambil dari bagian bibit singkong seperti daun dan pucuk dan dibawa ke
laboratorium dan ditunggu hingga imago parasitoid muncul. Tingkat parasitisasi
ditentukan berdasarkan banyaknya imago parasitoid yang muncul dari 10 kutu
putih sentinel. Penentuan tingkat parasitisasi juga dilakukan 2-3 bulan setelah
pelepasan dengan cara sama yaitu mengkoleksi kembali imago parasitoid yang
muncul dari 10 kutu putih sentinel. Selain itu, kemampuan menetap dari
parasitoid di lapangan ditentukan berdasarkan keberadaan parasitoid pada awal
musim kemarau tahun berikutnya.
Pengujian parasitoid yang dilepas berhasil memarasit kutu putih singkong
di lapangan. Berdasarkan kutu putih yang dikumpulkan dua hari setelah
pelepasan parasitoid, tampak bahwa jarak inang terhadap titik pelepasan
memiliki pengaruh yang besar terhadap tingkat parasitisasi. Tingkat parasitisasi
tertinggi terjadi pada kutu putih yang berjarak 1 m dari titik pelepasan parasitoid.
Tingkat parasitisasi menurun dengan makin jauhnya inang dari titik pelepasan.
Parasitoid A. lopezi dapat memencar secara aktif, terbawa melalui angin,
atau terbawa melalui mumi yang menempel pada stek bibit. Kemampuan A.
lopezi untuk mengkolonisasi dan keberhasilan menetap di lapangan yang
dilakukan bulan kedua dan ketiga setelah pelepasan menunjukkan bahwa
parasitoid A. lopezi berhasil berkembang biak di lapangan. Parasitisasi pada
keturunan (generasi-1) dari induk parasitoid yang dilepaskan. Pada awal Juni
2016, atau 9 bulan setelah pelepasan, mendapatkan imago parasitoid A. lopezi di
sekitar koloni kutu putih P. manihoti.
Hal ini merupakan indikasi bahwa parasitoid A. lopezi mampu menetap di
lapangan dan mengkolonisasi serta keberhasilan menetap di pertanaman
mencapai 37.67% dan mampu melewati musim hujan, periode yang sangat tidak
menguntungkan bagi kehidupan parasitoid, karena inang yang tersedia di
lapangan sangat rendah.
BAB III
SIMPULAN

Setelah melakukan augmentasi atau pelepasan selama 9 bulan


menghasilkan imago parasitoid A. lopezi di sekitar koloni kutu putih P. manihoti. Hal
ini merupakan indikasi bahwa parasitoid A. lopezi mampu menetap di lapangan dan
mengkolonisasi serta keberhasilan menetap di pertanaman mencapai 37.67% dan
mampu melewati musim hujan, periode yang sangat tidak menguntungkan bagi
kehidupan parasitoid, karena inang yang tersedia di lapangan sangat rendah.
Perilaku spesifik inang A. lopezi menunjukkan bahwa upaya pada tahap
pelepasannya di area pertanaman ubi kayu di Indonesia, terutama pada area yang
terserang P. manihoti merupakan Pengendalian hayati yang berhasil. Keberadaannya
mampu berkembang secara menetap, bekerja efektif tanpa mengganggu inang bukan
sasaran dan menjadikan keanekaragaman hayati yang ada dalam ekosistem setempat
tetap seimbang.
DAFTAR PUSTAKA

Adriani E. 2016. Preferensi, kesesuaian dan parasitisme Anagyrus lopezi (De Santis)
(Hymenoptera: Encyrtidae) pada berbagai instar kutu putih singkong
Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera: Pseudococcidae)
[tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Buchori D, Sahari B, Nurindah. 2008. Conservation of agroecosystem through
utilization of parasitoid diversity: lesson for promoting sustainable
agriculture and ecosystem health. Hayati, Journal of Bioscience 15:165-
172.
Buchori D. 2001. Challenges for insect conservation in Indonesia. Antenna 25: 15-19.
Royal Entomological Society of London.
CABI. 2013a. Data sheet Invasive species compendium: Phenacoccus manihoti.
Tersedia pada: http://www.cabi.org/isc/ datasheet /40173.
CABI. 2013b. Data sheet Invasive species compendium: Ferrisia virgata. Tersedia
pada: http://www.cabi.org/isc/datasheet /23981.
Calatayud PA, Le RU B. 2006. Cassava-Mealybug interactions. Paris. 112p.
Essiens, Anitie R, Odebiiyi, Adebayo J, Ekanem, Sunday M. 2013. Alternate host
plant of Phenacoccus manihoti Matile Ferrero (Homoptera
:Pseudococcidae), the cassava mealybug. J Agricul and Enviromen
Managem. 2(12):457-466.
FAO Food and Agricultural Organisation of the United Nations. 2013. Cahpter 6.
Pest and disease. Di dalam: Save and Grow: Cassava A Guide to
Sustainable Production Intensification. Rome (IT): FAO Published. hlm
74- 86. pp 130.
Godfray HCJ. 1994. Parasitoid Behavioral and Evolutionary Ecology. New Jersey
(US): Princeton University Press.
Heidari M, Jahan. 2000. A study of ovipositional behaviour of Anagyrus pseudococci
a parasitoid of mealybugs. J Agr Sci Tech. 2: 49-53.
Iziquel Y, Le RU B. 1992. Fecundity, longevity, and instrinsic natural rate of increase
of Epidinocarsis lopezi (De Santis) (Hymenoptera: Encyrtidae) Canadian
Entomologist. 124:1115-1121.
Jaipet A. 2014. Thailand experiences in mass rearing parasitoid [ulasan]. Di dalam:
CIAT-IPB Seminar on invasive mealybugs. Bogor 24 September 2014.
James B, Yaninek J, Neuenschwander P, Cudjoe A, Modder W, Eschendu N, Toko
M. 2000. Pest Control in Cassava Farm. International Institute of Tropical
Agriculture. 36 p.
Karyani RD. 2015. Pengujian kesesuaian inang parasitoid Anagyrus lopezi De Santis
(Hymenoptera: Encyrtidae) terhadap kutu putih yang berasosiasi dengan
ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Kuhlmann U, Schaffner U, and Mason PG. 2006. Selection of non-target species for
host specificity testing. Di dalam: Bigler F, Babendreir D, Kuhlmann U,
editor: Environmental Impact of Invertebrates for Biological Control of
Arthropods: Methods and Risk Assessment. Oxon (UK): Cabi Publishing.
hlm 15-37.
Manley, D.G., E.C. Murdock, J. Thompson, W.R. James, D.R. King, and R.W.
Miller. 2001. Biological Control of Pest4-HIPM Project4- Hmanual 136
For Grade Levels 9 12 IPM Level F. Clemson extension.
Muniappan R, Shepard BM, Walson GW, Carner GR, Rauf A, Hammig MD,
Sartiami D. 2008. First report of the papaya mealybug, Paracoccus
marginatus (Hemiptera: Pseudococcidae), in Indonesia and India. J Urban
and Agric Entomol. 25(1): 37-40.
Muniappan R, Shepard BM, Watson GW, Carner GR, Rauf A, Sartiami D, Hidayat P,
Afun JVK, Goergen G, Rahman AKMZ. 2011. New records of invasive
insects (Hemiptera: Sternorrhyncha) in southern Asia and West Africa. J
Agric Urban Entomol. 26(4): 167-174.
Neuenschwander P, De Groote H, Douthwaite B. 2010. Impact assessement of
biological control in Africa-20 years experience of the International
Institute of Tropical Agriculture.
Neuenschwander P, Hammond WNO. 1988. Natural enemy activity following the
introductin of Epidinocarsis lopezi (Hymenoptera: Encyrtidae) against the
cassava mealybug, Phenacoccus manihoti (Homoptera: Pseudococcidae) in
southwestern Nigeria. Environ. Entomol. 17(5): 894-902.
Neuenschwander P. 2001. Biological control of the cassava mealybug in Africa: A
review. Biological Control 21: 14–229. Doi: 10.1006/bcon.2001.0937.
Tersedia pada: http://www.idealibrary.com.
Nicholls CI, Alfieri MA. 2003. Designing spesies-rich, pest-suppresive
agroecosystem through habitat management. Tersedia pada:
http://agroeco.org.thrasillmaterialldesigningspesies.htm.
Noyes JS, Hayat M. 1994. Oriental Mealybug Parasitoids of the Anagyrini
(Hym:Encyrtidae). Cambridge (GB): University Press.
Nwanze KF. 1977. Biology of the cassava mealybug Phenacoccus manihoti Mat-
Ferr in the Republic of Zaire. Di dalam: Proceeding of the International
Workshop on Cassava Mealybug Phenacoccus manihoti Mat-Ferr
(Pseudococcidae). INERA, M’Vuanzi-Zaire, June 26-29, IITA Press,
Ibadan, Nigeria, p. 20-28.
Odebiyi JA, Bokonon·Ganta AH. 1986. Biology of Epidinocarsis {=Apoanagyrus}
lopezi (Hymenpotera: Encyrtidae) an exotic parasite of cassava mealybug,
Phenacoccus manihoti (Homoptera: Pseudococcidae) in Nigeria.
Entomophaga 31(3): 251-260.
Parsa S, Kondo T, Winotai A. 2012. The cassava mealybug (Phenacoccus manihoti)
in Asia: first records, potential distribution, and an identification key. Plos
One. 7(10):e47675. DOI. 10.1371/journal. pone.0047675.
Purnomo H. 2010. Pengantar Pengendalian Hayati. Yogyakarta (ID): ANDI
OFFSET.
Rivnay E, Perzelan J. 1943. Insect associated with Pseudococcus spp. (Homoptera) in
Palestine, with notes on their biology and economic status. J Entomol Soc
of Southern Africa. 6(3):9-28.
Rukmana R. 1997. Ubi Kayu: Budidaya dan Pascapanen. Yogyakarta (ID): Kanisius.
Sands D, Van Driesche RG. 2003. Host range testing techniques for parasitoids and
predators. Di dalam: International Symposium on Biological Control of
Arthropods; 2003 Juni 03-05; Washington, USA. Washington (US):
USDA, Forest Sevice FHTET. hlm 41-53.
Saputro AR. 2013. Biologi dan potensi peningkatan populasi kutu putih singkong,
Phenacoccus manihoti, Matile-Ferrero (Hemiptera: Pseudococcidae):
Hama pendatang baru di Indonesia. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Takasu K, Lewis WJ. 1993. Host and food foraging of the parasitoid Microplitis
croceipes: learning and physiological state effects. Biol Cont. 3:70-74.
Waage JD, Greathead D. 1986. Insect Parasitoids. London (UK): Academic Press.
Walton VM, Daane KM, Pringle KL. 2004. Monitoring Planococcus ficus in South
African vineyards with sex pheromone-baited trap. Crop Protect 23:1089-
1096.
Wardani N. 2015 Kutu putih ubi kayu Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero
(Hemiptera: Pseudococcidae), hama invasif baru di Indonesia [disertasi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Wardani N. 2015. Kutu putih ubi kayu, Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero
(Hemiptera: Pseudococcidae), hama invasif baru di Indonesia. [disertasi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Williams DJ, Granara de Willink MC. 1992. Mealybug of Central and South
America. Wallingford Oxon: CAB International Publ. 635 hlm.
Wyckhuys KAG. 2014. Invasive pest of SE asian cassava crops: an immense threat
to food security and rural livelihoods [ulasan]. Di dalam: CIAT-IPB
Seminar on invasive mealybugs. Bogor 24 September 2014.

Anda mungkin juga menyukai