B. IDENTITAS
NAMA : BAREP SETO PRAMONO
NIM : 151510501059
PROGRAM : AGROTEKNOLOGI
STUDI
FAKULTAS : PERTANIAN
C. PELAKSANAAN
HARI/ : RABU/20 FEBRUARI 2018
TANGGAL
PUKUL : 08.00 WIB
TEMPAT : RUANG 14
Menyetujui,
Dosen Pembimbing Utama
i
PATOGENISITAS JAMUR ENTOMOPATOGEN Aschersonia sp.
SEBAGAI PENGENDALI HAMA KUTU SISIK CITRICOLA
Coccus pseudomagnoliarium (Kuw.) (Homoptera: Coccidae)
PADA TANAMAN JERUK
ABSTRAK
Salah satu hama yang menyerang tanaman jeruk yaitu kutu sisik citricola
(Coccus pseudomagnoliarium) yang di alam dikendalikan oleh jamur
entomopatogen Aschersonia sp. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui
patogenisitas Aschersonia sp. yang paling efektif untuk mengendalikan hama kutu
sisik citricola Coccus pseudomagnoliarium (Kuw.) pada tanaman jeruk.
Penelitian ini dapat memberikan informasi baru mengenai pengendalian hama
kutu sisik citricola pada tanaman jeruk secara aman dan ramah lingkungan.
Penelitian ini akan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) non faktorial
dengan 5 perlakuan yang diulang sebanyak 4 kali ulangan yaitu P0 = Kontrol, P1
= Kerapatan 105 konidia Aschersonia sp., P2 = Kerapatan 106 konidia
Aschersonia sp., P3 = Kerapatan 107 konidia Aschersonia sp., P4 = Kerapatan 108
konidia Aschersonia sp. Pengamatan dilakukan setiap hari selama 14 hari. Data
yang di peroleh dari hasil pengamatan di analisis menggunakan ANOVA, jika
hasil anova menunjukkan F-Hitung yang berbeda nyata maka di lanjutkan dengan
uji Beda Nyata Jujur (BNJ) dengan taraf kepercayaan 5%.
ii
BAB 1. PENDAHULUAN
1
oleh petani mengakibatkan terjadinya resurjensi dan resistensi hama kutu
sehingga jumlah individu kutu meningkat (Syafitri dkk, 2017). Saat ini informasi
mengenai kutu sisik citricola beserta pengendaliannya masih sangat kurang
sehingga petani jeruk masih tidak banyak mengetahui dampak serangan dari
Coccus pseudomagnoliarium (Kuw.) beserta penanganannya. Salah satu tindakan
pengendalian terhadap Coccus pseudomagnoliarium (Kuw.) yang dapat dilakukan
yaitu dengan memanfaatkan agen pengendali hayati (APH). Penggunaan APH
lebih ramah lingkungan apabila dibandingkan dengan penggunakan pestisida
kimia sintetis karena lebih spesifik terhadap OPT sasaran. Terdapat beberapa jenis
APH yang dapat digunakan untuk mengendalikan kutu sisik citricola antara lain
predator, parasitoid, dan jamur entomopatogen. Jamur entomopatogen merupakan
mikroorganisme yang dapat menyebakan penyakit pada serangga hama dan
mengakibatkan kematian.
Aschersonia sp. merupakan salah satu cendawan entomopatogen yang
dapat dimanfaatkan sebagai agen pengendali hayati (APH). Aschersonia sp di
alam merupakan pengendali alami dari kutu sisik. Tahun 2008 di Kabupaten Karo
Sumatera Utara pernah terjadi munculnya penyakit jamur merah yang menyerang
bagian ranting dan cabang tanaman jeruk, setelah dilakukan identifikasi ternyata
jamur merah tersebut bukanlah penyakit melainkan jamur entomopatogen
Aschersonia sp. yang tumbuh pada tubuh kutu sisik (Triwiratno, 2008). Menurut
Wei et al (2016), menyatakan bahwa Aschersonia merupakan jamur
entomopatogen, selain itu Aschersonia spesifik digunakan untuk mengendalikan
lalat putih (Aleyrodidae) dan kutu sisik (Coccidae). Oleh karena itu untuk
mengetahui efektifitas dari cendawan entomopatogen Aschersonia sp sebagai
pengendali hayati kutu sisik citricola Coccus pseudomagnoliarium maka perlu
adanya pengujian patogenisitas dari cendawan entomopatogen tersebut sebagai
agen pengendali hayati untuk mendukung terwujudnya pengendalian hama secara
terpadu dan menurunkan penggunaan bahan pengendali kimia ditingkat petani
tanaman jaruk.
2
1.2 Perumusan Masalah
Bagaimana patogenesitas jamur entomopatogen Aschersonia sp.
dalam mengendalikan hama kutu sisik citricola pada tanaman jeruk?
3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
4
dari kutu sisik citricola berwarna kuning dan berada pada bagian bawah tubuh
kutu sisik citricola betina. Selama hidupnya betina dapat menghasilkan hingga
1000 telur (Reuther et al., 1967).
5
Ordo : Hypocreales
Famili : Clavicipitaceae
Genus : Aschersonia
2.2.2 Morfologi
Jamur tersebut seringkali ditemukan dibagian bawah daun, ranting, dan
buah pada tanaman jeruk dimana terdapat kutu sisik citricola ditempat tersebut.
Asschersonia sp. memiliki konidia fusoid dengan bentuk oval atau seperti jarum
dengan ukuran yang bervariasi yaitu (9-15)x(1,5-2) μm dan koloni jamur
berwarna kuning, putih, dan oranye. Aschersonia sp. memiliki hifa yang menutupi
seluruh tubuh inangnya dengan membentuk stroma berwarna oranye berbentuk
bulat dan memiliki diameter sekitar 3 mm (Khastini dan Wahyuni., 2017). Ciri-
ciri jamur yang berwarna mencolok menjadikan mudah untuk mengidentifikasi
jamur tersebut ketika dilapangan. Jamur ini dapat tumbuh dengan baik pada
beberapa media buatan, antara lain PDA (Potato Dextrose Agar), beras, dan
jagung.
A b
Gambar 2.3 (a) Koloni cendawan pada media PDA (b) Fusoid konidia
(Liu et al., 2006).
6
2.2.3 Mekanisme Aschersonia sp. dalam menginfeksi serangga
Kutu sisik yang terinfeksi menjadi media tumbuh spora yang telah
berpenetrasi di kutikula kutu sisik tersebut. Menurut Meekes (2001), terdapat dua
cara terjadinya kontak antara serangga inang dengan konidia yaitu kontak
langsung dan kontak tidak langsung. Kontak langsung yaitu ketika nimfa dari
serangga inang berpindah ke bagian tanaman dimana bagian tanaman tersebut
terdapat konidia yang menempel sehingga dapat terjadi kontak. Sedangkan secara
kontak tidak langsung yaitu ketika konidia dibawa oleh air, udara atau serangga
lain sehingga terjadi kontak antara konidia dengan serangga inang. Konidia
terbawa oleh air, ketika terjadi hujan maka percikan air akan menyebarkan
konidia ke tempat yang lain (Chaverri et al, 2005). Kutu sisik yang dapat
terinfeksi umumnya merupakan nimfa. Hal ini dikarenakan nimfa kutu sisik
memiliki kutikula yang lebih lunak sehingga memudahkan terjadinya penetrasi
hifa dari Aschersonia sp..
Aschersonia sp. dapat menghasilkan senyawa toksin yang dapat merusak
sel pada tubuh serangga yang terinfeksi. Senyawa tersebut bernama destruxins A4
dan A5 yang merupakan senyawa dari jenis depsipeptida (Krashnoff and Gibson,
1996) dan Ascherxanthone A (Isaka et al, 2005). Senyawa tersebut dapat
menyebabkan kerusakan sel pada tubuh serangga. Serangga yang terinfeksi
tubuhnya akan mengering dan tumbuh miselium berwarna putih. Miselium
tersebut akan tumbuh memenuhi tubuh serangga dan terjadi mumifikasi. Masa
konidia yang telah matang akan berwarna coklat kemerahan hingga oranye.
7
Menurut Hodge dan Liu (2005), semua spesies dari genus Aschersonia
memiliki sifat patogen terhadap lalat putih (Aleyrodidae) dan kutu sisik
(Coccidae). Berdasarkan hal tersebut maka Aschersonia sp. dapat dimanfaatkan
s e b a ga i a ge n p e n gen d al i h a ya t i u nt u k m e n ge nd a l i k a n h am a k ut u
sisik citricola (Coccidae) pada tanaman jeruk (Meekes et al., 2002).
2.3 Hipotesis
H0 = Kerapatan konidia jamur entomopatogen Aschersonia sp. tidak berpengaruh
terhadap mortalitas, mikosis dan mumifikasi hama kutu sisik citricola pada
tanaman jeruk.
H1 = Kerapatan konidia jamur entomopatogen Aschersonia sp. berpengaruh
terhadap mortalitas, mikosis dan mumifikasi hama kutu sisik citricola pada
tanaman jeruk.
8
BAB 3. METODE PENELITIAN
9
sisik citricola yang terinfeksi oleh Aschersonia kemudian diambil dengan cara
memotong ranting atau daun tempat tumbuh Aschersonia tersebut. Kutu sisik
citricola yang terinfeksi oleh jamur entomopatogen kemudian dibawa ke
laboratorium untuk dilakukan isolasi.
3.2.3.2 Isolasi
Jamur entomopatogen yang tumbuh pada kutu sisik kemudian diisolasi
dengan menumbuhkan jamur pada media PDA. Kutu sisik citricola yang
terinfeksi jamur entomopatogen dilakukan sterilisasi bertingkat terlebih dahulu
dengan cara mencelupkan pada alkohol 70% selama 15 detik, kemudian
dicelupkan pada aquadest steril selama 1 menit dan diulang 2 kali. Setelah
dilakukan sterilisasi bertingkat kemudian kutu sisik yang terinfeksi di letakkan
kedalam petridish yang didalamnya terdapat media PDA dengan tujuan untuk
menumbuhkan jamur entomopatogen yang menginfeksi kutu sisik tersebut.
Setelah tumbuh kemudian dilakukan reisolasi hingga memperolah biakan murni
jamur entomopatogen Aschersonia sp.. Petridish tersebut kemudian diletakkan
pada kondisi suhu ruangan. Kegiatan isolasi dilakukan pada kondisi steril didalam
LAF (Laminar Air Flow).
3.2.3.3 Identifikasi
Setelah diperoleh biakan murni kemudian dilakukan identifikasi.
Identifikasi bertujuan untuk menentukan apakah jamur yang telah diperoleh dari
hasil isolasi merupakan jamur entomopatogen Aschersonia sp. atau bukan.
Identifikasi dilakukan dengan mengamati bentuk dan warna stroma, bentuk
konidia, dan karakteristik biakannya. Pengamatan bentuk konidia dilakukan
dengan menggunakan mikroskop. Jamur yang akan diidentifikasi diambil sedikit
dengan menggunakan jarum ose dan diletakkan pada kaca preparat kemudian
diamati bentuk dan ukuran konidianya.
10
3.2.3.4 Perbanyakan pada Media Beras Jagung
Isolat kemudian diinokulasikan pada media jagung. Proses pembuatan
media jagung dilakukan dengan mencuci bersih beras jagung, selanjutnya
direndam dengan air selama 2 jam, kemudian tiriskan. Kemudian tambahkan
dengan minyak goreng sebanyak 0.1 ml, aduk rata dan masukkan jagung ke dalam
plastik tahan panas, timbang sebanyak 100 gram. Tahap selanjutnya yaitu
sterilisasi menggunakan autoklaf pada suhu 121ºC dengan tekanan 2 atm selama
30 menit. Kemudian dinginkan pada suhu ruangan sebelum proses inokulasi
dilakukan (Purnama dkk, 2015).
12
P4 = Kerapatan 108 konidia/ml
Penggunaan kerapatan tersebut didasarkan pada penelitian patogenisitas
Aschersonia pada Bemisia tabaci oleh Zhang et al (2017) yang menggunakan
kerapatan konidia 106 dan 107, dimana perlakuan kerapatan tersebut efektif dalam
mengendalikan Bemisia tabaci. Penelitian disusun berdasarkan Rancangan Acak
Lengkap non faktorial sehingga petak percobaan yang digunakan sebagai berikut,
P22 P33 P14 P44
P52 P43 P52 P31
P12 P42 P11 P41
P21 P34 P23 P51
P24 P32 P13 P53
Gambar 3.1 Skema Perlakuan
3.3.2.2 Aplikasi Jamur Entomopatogen Aschersonia sp. pada Kutu Sisik Citricola
Aplikasi akan dilakukan dengan menggunakan 5 perlakuan kerapatan
spora jamur entomopatogen Aschersonia sp. yang berbeda yaitu 105, 106, 107 dan
108 konidia/ml. Perlakuan tersebut diaplikasikan pada kutu sisik citricola dewasa
yang telah diinokulasikan pada tanaman jeruk. Aplikasi jamur entomopatogen
Aschersonia sp. dilakukan dengan metode semprot pada setiap ulangan. Tiap
perlakuan kemudian dilakukan pengulangan sebanyak 4 kali. Pengamatan
dilakukan setiap hari hingga 14 hari setelah aplikasi
13
3.3.3 Variabel Pengamatan
3.3.3.1 Mortalitas Kutu Sisik citricola
Mortalitas kutu sisik atau kematian kutu sisik citricola ditandai dengan
tumbuhnya jamur entomopatogen berwarna oranye pada tubuh kutu sisik citricola.
Pengamatan mortalitas kutu sisik citricola dilakukan mulai 2 HSA setiap 2 hari
selama 14 hari. Menurut Sihombing dkk (2014), perhitungan mortalitas kutu sisik
citricola dapat menggunakan rumus :
Keterangan:
P : Presentase mortalitas
a : Jumlah kutu sisik yang mati
b : Jumlah kutu sisik yang diamati
3.3.3.2 Mikosis
Mikosis adalah terjadinya infeksi setelah kutu sisik citricola mati yang
ditandai dengan tumbuhnya miselia jamur pada permukaan tubuh kutu sisik
citricola. Pengamatan mikosis dilakukan dengan mengamati waktu yang
dibutuhkan oleh jamur entomopatogen Aschersonia sp. menginfeksi kutu sisik
citricola mulai mati hingga tumbuhnya miselia di tubuh kutu sisik tersebut.
Pengamatan dilakukan setiap hari hingga miselia tumbuh dan kemudian dihitung
persentasenya dengan rumus :
Jumlah serangga yang termikosis
× 100%
Jumlah serangga yang mati
3.3.3.3 Mumifikasi
Mumifikasi merupakan terjadinya infeksi jamur entomopatogen hingga
miselia dari jamur tersebut memenuhi permukaan tubuh kutu sisik citricola yang
telah mati (Widariyanto dkk., 2017). Terjadinya mumifikasi menunjukkan bahwa
jamur telah tumbuh secara optimal. Pengamatan dilakukan dengan mengamati
waktu (hari) yang dibutuhkan oleh Aschersonia sp. mulai dari mikosis hingga
miselia cendawan menutupi tubuh serangga.
14
3.4 Analisa Data
Data yang di peroleh dari hasil pengamatan di analisis menggunakan
ANOVA, jika hasil anova menunjukkan F-Hitung yang berbeda nyata maka di
lanjutkan dengan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) dengan taraf kepercayaan 5%.
15
DAFTAR PUSTAKA
16
Mohamed, E. M., Basheer, A. M., and Abukaf, N. 2012. Survey of parasitoid
Species of Citricola Scale Insect, Coccus pseudomagnoliarium
(Kuwana) (Homoptera: Coccidae) and their Effect in Citrus Orchards at
Lattakia, Sirya. Egyptian Journal of Biology Pest Control, 22(1): 61-65.
Nechols, J. R. Andres, L. A. Beardsley, J. W. Goeden, R. D. and Jackson, C. G
(eds). 1995. Biological Control in the Western United States. California:
UCANR Publications.
Purnama, H., N. Hidayati, dan E. Setyowati. 2015. Pengembangan Produksi
Pestisida AlamiDari Beauveria Bassiana Dan Trichoderma Sp.Menuju
Pertanian OrganikWARTA, 18(1) : 01 – 9.
Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Kementerian Pertanian. 2016. Outlook
Komoditas Pertanian Sub Sektor Hortikultura Jeruk.
http://epublikasi.setjen.pertanian.go.id/.
Reuther, W. Calavan E. C. and Carman, G. E (eds). 1967. The Citrus Industry
Volume 5. California: UCANR Publications.
Sihombing, R. H., S. Oemry., dan L. Lubis. 2014. Uji Efektifitas Beberapa
Entomopat ogen P ada Larva O. rhi noceros L. (C ol eopte ra:
Scarabaeidae). di Laboratorium. Agroteknologi, 2(4): 1300-1309.
Syafitri, D. D., F. Fauzana, dan D. Salbiah. 2017. Kelimpahan Hama Kutu pada
Tanaman Jeruk Siam (Citrus nobilis Lour.) di Desa Kuok Kecamatan
Kuok Kabupaten Kampar Provinsi Riau. JOM Faperta, 4(1): 1-11.
Tobing, D. M. A. L., Bayu, E. S., dan Siregar, L. A. M. 2013. Identifikasi
Karakter Morfologi dalam Penyusunan Deskripsi Jeruk Siam (Citrus
nobilis) di Beberapa Daerah Kabupaten Karo. Jurnal Online
Agroteknologi, 2(1): 72-85.
Triwiratno, A. 2008. Jamur Merah untuk Melawan Kutu Sisik pada Tanaman
Jeruk. SINAR TANI Edisi 28 Mei-3 Juni 2008.
UCANR. 2010. https://ucanr.edu/sites/KACCitrusEntomology/Home/Citricola_
scale (diakses 9 Februari 2019).
Wei, X., Song, X., Dong, D., Keyhani, N. O., Yao, L., Zang, X., Dong, L., gu, Z.,
Fu, D., Liu, X., Qiu, J., and Guan, X. 2016. Efficient Production of
Aschersonia placenta Protoplasts for Transformation using Optimization
Algorithms. Can. J. Microbiol, 62: 579-587.
Widariyanto, R., M. I. Pinem dan F. Zahara. 2017. Patogenitas Cendawan
Entomopatogen (Lecanicillium lecanii, Metarhizium anisopliae, dan
Beauveria bassiana) terhadap Aphis glycines pada Tanaman Kedelai.
Agroteknologi, 5(1): 8-16.
17
Zhang, C., S. Ali, P. D. Musa, X. M. Wang, and B. L. Qiu. 2017. Evaluation of
the Pathogenicity of Aschersonia aleyrodis on Bemisia tabaci in the
Laboratory and Greenhouse. Biocontrol Science and Technology, 27(2):
210-221.
18