Anda di halaman 1dari 20

NASKAH SEMINAR PROPOSAL

A. JUDUL : PATOGENISITAS JAMUR ENTOMOPATOGEN


Aschersonia sp. SEBAGAI PENGENDALI HAMA
KUTU SISIK CITRICOLA Coccus
pseudomagnoliarium (Kuw.) (Homoptera:
Coccidae) PADA TANAMAN JERUK

B. IDENTITAS
NAMA : BAREP SETO PRAMONO
NIM : 151510501059
PROGRAM : AGROTEKNOLOGI
STUDI
FAKULTAS : PERTANIAN

C. PELAKSANAAN
HARI/ : RABU/20 FEBRUARI 2018
TANGGAL
PUKUL : 08.00 WIB
TEMPAT : RUANG 14

Menyetujui,
Dosen Pembimbing Utama

(Ir. Hari Purnomo, M.Si, Ph.D, Dic)


NIP : 196606301990031002

i
PATOGENISITAS JAMUR ENTOMOPATOGEN Aschersonia sp.
SEBAGAI PENGENDALI HAMA KUTU SISIK CITRICOLA
Coccus pseudomagnoliarium (Kuw.) (Homoptera: Coccidae)
PADA TANAMAN JERUK

Barep Seto Pramono


Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Jember
Jalan Kalimantan 37, Kampus Tegal Boto, Jember 68121
Email: bareppramono7@gmail.com

ABSTRAK

Salah satu hama yang menyerang tanaman jeruk yaitu kutu sisik citricola
(Coccus pseudomagnoliarium) yang di alam dikendalikan oleh jamur
entomopatogen Aschersonia sp. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui
patogenisitas Aschersonia sp. yang paling efektif untuk mengendalikan hama kutu
sisik citricola Coccus pseudomagnoliarium (Kuw.) pada tanaman jeruk.
Penelitian ini dapat memberikan informasi baru mengenai pengendalian hama
kutu sisik citricola pada tanaman jeruk secara aman dan ramah lingkungan.
Penelitian ini akan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) non faktorial
dengan 5 perlakuan yang diulang sebanyak 4 kali ulangan yaitu P0 = Kontrol, P1
= Kerapatan 105 konidia Aschersonia sp., P2 = Kerapatan 106 konidia
Aschersonia sp., P3 = Kerapatan 107 konidia Aschersonia sp., P4 = Kerapatan 108
konidia Aschersonia sp. Pengamatan dilakukan setiap hari selama 14 hari. Data
yang di peroleh dari hasil pengamatan di analisis menggunakan ANOVA, jika
hasil anova menunjukkan F-Hitung yang berbeda nyata maka di lanjutkan dengan
uji Beda Nyata Jujur (BNJ) dengan taraf kepercayaan 5%.

Kata Kunci : Aschersonia sp., Kutu sisik citricola, Tanaman Jeruk.

ii
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Permasalahan


Tanaman Jeruk merupakan tanaman buah yang banyak dibudidayakan di
Indonesia karena memberikan penghasilan yang cukup besar bagi petani jeruk
khususnya di daerah sentra produksi. Tanaman Jeruk berasal dari asia dan
dipercaya bahwa Cina merupakan tempat awal tanaman jeruk ditemukan.
Budidaya jeruk di Indonesia sendiri sudah dimulai sejak ratusan tahun lalu yang
dibawa oleh Belanda ketika masih menjajah Indonesia (Tobing dkk., 2013). Jeruk
merupakan salah satu komoditi yang cukup penting di Indonesia. Hal ini
dibuktikan dengan tingginya konsumsi jeruk di Indonesia baik untuk rumah
tangga maupun industri. Menurut Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian
(2016) menyatakan bahwa konsumsi jeruk diproyeksikan akan mengalami
peningkatan selama 4 tahun (2016-2020) dengan rata-rata mencapai 3,73% tiap
tahunnya.
Konsumsi jeruk yang tinggi sehinga perlu adanya usaha peningkatan
produksi jeruk. Permasalahan yang muncul saat ini yaitu adanya serangan
organisme pengganggu tanaman yang menyebabkan penurunan produksi dan nilai
jual dari jeruk. Jenis OPT yang menyerang tanaman jeruk paling banyak yaitu
berasal dari jenis kutu-kutuan. Salah satu jenis kutu yang menyerang tanaman
jeruk yaitu dari jenis kutu sisik citricola Coccus pseudomagnoliarium (Kuw.).
Kutu sisik menyerang tanaman jeruk dan menghasilkan ekskresi yang
menyebabkan jelaga hitam pada ranting dan daun sehingga menghambat
fotosintesis (Mohamed et al., 2012).
Coccus pseudomagnoliarium (Kuw.) atau sering disebut dengan kutu
sisik citricola merupakan hama pada tanaman jeruk yang dapat menyebabkan
kerugian bagi tanaman. Kutu sisik citricola dapat menghisap nutrisi yang ada pada
bagian-bagian tanaman yang terdapat kutu tersebut. Pengendalian Coccus
pseudomagnoliarium (Kuw.) secara alami masih jarang dilakukan dan
kebanyakan petani masih menggunakan pestisida kimia sebagai penanganannya.
Penggunaan pestisida kimia berbahan aktif Profenefos yang diberikan secara rutin

1
oleh petani mengakibatkan terjadinya resurjensi dan resistensi hama kutu
sehingga jumlah individu kutu meningkat (Syafitri dkk, 2017). Saat ini informasi
mengenai kutu sisik citricola beserta pengendaliannya masih sangat kurang
sehingga petani jeruk masih tidak banyak mengetahui dampak serangan dari
Coccus pseudomagnoliarium (Kuw.) beserta penanganannya. Salah satu tindakan
pengendalian terhadap Coccus pseudomagnoliarium (Kuw.) yang dapat dilakukan
yaitu dengan memanfaatkan agen pengendali hayati (APH). Penggunaan APH
lebih ramah lingkungan apabila dibandingkan dengan penggunakan pestisida
kimia sintetis karena lebih spesifik terhadap OPT sasaran. Terdapat beberapa jenis
APH yang dapat digunakan untuk mengendalikan kutu sisik citricola antara lain
predator, parasitoid, dan jamur entomopatogen. Jamur entomopatogen merupakan
mikroorganisme yang dapat menyebakan penyakit pada serangga hama dan
mengakibatkan kematian.
Aschersonia sp. merupakan salah satu cendawan entomopatogen yang
dapat dimanfaatkan sebagai agen pengendali hayati (APH). Aschersonia sp di
alam merupakan pengendali alami dari kutu sisik. Tahun 2008 di Kabupaten Karo
Sumatera Utara pernah terjadi munculnya penyakit jamur merah yang menyerang
bagian ranting dan cabang tanaman jeruk, setelah dilakukan identifikasi ternyata
jamur merah tersebut bukanlah penyakit melainkan jamur entomopatogen
Aschersonia sp. yang tumbuh pada tubuh kutu sisik (Triwiratno, 2008). Menurut
Wei et al (2016), menyatakan bahwa Aschersonia merupakan jamur
entomopatogen, selain itu Aschersonia spesifik digunakan untuk mengendalikan
lalat putih (Aleyrodidae) dan kutu sisik (Coccidae). Oleh karena itu untuk
mengetahui efektifitas dari cendawan entomopatogen Aschersonia sp sebagai
pengendali hayati kutu sisik citricola Coccus pseudomagnoliarium maka perlu
adanya pengujian patogenisitas dari cendawan entomopatogen tersebut sebagai
agen pengendali hayati untuk mendukung terwujudnya pengendalian hama secara
terpadu dan menurunkan penggunaan bahan pengendali kimia ditingkat petani
tanaman jaruk.

2
1.2 Perumusan Masalah
Bagaimana patogenesitas jamur entomopatogen Aschersonia sp.
dalam mengendalikan hama kutu sisik citricola pada tanaman jeruk?

1.3 Tujuan Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk menguji tingkat patogenisitas jamur
entomopatogen Aschersonia sp. dalam mengendalikan hama kutu sisik citricola
pada tanaman jeruk.

1.4 Manfaat Penelitian


Penelitian ini bermanfaat sebagai upaya untuk mengendalikan hama kutu
sisik citricola pada tanaman jeruk secara aman dan ramah lingkungan dan
mengetahui potensi jamur entomopatogen Aschersonia sp. sebagai pengendali
hama kutu sisik citricola pada tanaman jeruk. Hasil penelitian ini dapat dijadikan
sebagai rekomendasi bagi petani untuk menggunakan jamur entomopatogen
Aschersonia sp. sebagai pengendali hama kutu sisik pada tanaman jeruk.

3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kutu Sisik Citricola


2.1.1 Klasifikasi Kutu Sisik citricola Coccus pseudomagnoliarium (Kuw.)
Kutu sisik citricola merupakan salah satu hama utama pada tanaman jeruk
yang populasinya cukup banyak ditemukan di Indonesia. Menurut Nechols et al.,
(1995) kutu sisik citricola diklasifikasikan kedalam:
Ordo : Homoptera
Famili : Coccidae,
Genus : Coccus
Spesies : Coccus pseudomagnoliarium.

Gambar 2.1 Kutu Sisik Citricola (Broughton, 2007).

2.1.2 Siklus Hidup Kutu Sisik Citricola


Kutu sisik citricola merupakan hama yang dapat memberikan kerugian
yang cukup besar pada tanaman jeruk. Hal ini menunjukkan bahwa kutu sisik
citricola cukup berbahaya. Kutu sisik citricola berkembang biak pada suhu yang
cukup tinggi yaitu 35oC. Siklus hidup kutu sisik citricola mulai dari telur hingga
dewasa selama 30-60 hari. Telur menetas dan menjadi nimfa instar pertama
sekitar 1 bulan setelah menetas. Kemudian perubahan dari instar kedua hingga
dewasa terjadi sekitar 1 bulan setelah pergantian kulit pada instar pertama.
Perbedaan dari setiap ukuran atau instar yaitu pada bentuk dan warna. Kutu sisik
citricola nimfa cenderung berbentuk datar dan lebih transparan, nimfa tersebut
lebih aktif bergerak dibandingkan dengan kutu sisik dewasa. Kutu sisik citricola
remaja berukuran sedang berwarna lebih abu-abu dan mulai agak cembung,
sedangkan kutu sisik citricola dewasa berwana coklat dan lebih cembung. Telur

4
dari kutu sisik citricola berwarna kuning dan berada pada bagian bawah tubuh
kutu sisik citricola betina. Selama hidupnya betina dapat menghasilkan hingga
1000 telur (Reuther et al., 1967).

Gambar 2.2 Siklus Hidup Kutu Sisik Citricola (UCANR, 2010)

2.1.3 Gejala Serangan


Kutu sisik menyerang tanaman jeruk dan menghasilkan ekskresi yang
menyebabkan jelaga hitam pada ranting dan daun (Mohamed et al., 2012).
Ekskresi tersebut menyebabkan tampilan buah menjadi jelek dan mengganggu
proses fotosintesis dan metabolisme tanaman karena tanaman sangat
membutuhkan proses fotosintesis untuk memproduksi karbohidrat sebagai proses
metabolismenya (Nechols et al., 1995). Embun madu dan jelaga hitam tersebut
menyebabkan kondisi yang lembab dan dapat menyebabkan datangnya patogen
tanaman yang menyukai kondisi yang lembab.

2.2 Aschersonia sp.


2.2.1 Klasifikasi Aschersonia sp.
Aschersonia sp. merupakan jamur entomopatogen yang di alam memiliki
peran sebagai pengendali alami hama kutu sisik citricola pada tanaman jeruk.
Aschersonia sp. dapat diklasifikasikan sebagai berikut (ITIS, 2011):
Kingdom : Fungi
Filum : Ascomycota
Kelas : Sordariomycetes

5
Ordo : Hypocreales
Famili : Clavicipitaceae
Genus : Aschersonia

2.2.2 Morfologi
Jamur tersebut seringkali ditemukan dibagian bawah daun, ranting, dan
buah pada tanaman jeruk dimana terdapat kutu sisik citricola ditempat tersebut.
Asschersonia sp. memiliki konidia fusoid dengan bentuk oval atau seperti jarum
dengan ukuran yang bervariasi yaitu (9-15)x(1,5-2) μm dan koloni jamur
berwarna kuning, putih, dan oranye. Aschersonia sp. memiliki hifa yang menutupi
seluruh tubuh inangnya dengan membentuk stroma berwarna oranye berbentuk
bulat dan memiliki diameter sekitar 3 mm (Khastini dan Wahyuni., 2017). Ciri-
ciri jamur yang berwarna mencolok menjadikan mudah untuk mengidentifikasi
jamur tersebut ketika dilapangan. Jamur ini dapat tumbuh dengan baik pada
beberapa media buatan, antara lain PDA (Potato Dextrose Agar), beras, dan
jagung.

A b
Gambar 2.3 (a) Koloni cendawan pada media PDA (b) Fusoid konidia
(Liu et al., 2006).

6
2.2.3 Mekanisme Aschersonia sp. dalam menginfeksi serangga
Kutu sisik yang terinfeksi menjadi media tumbuh spora yang telah
berpenetrasi di kutikula kutu sisik tersebut. Menurut Meekes (2001), terdapat dua
cara terjadinya kontak antara serangga inang dengan konidia yaitu kontak
langsung dan kontak tidak langsung. Kontak langsung yaitu ketika nimfa dari
serangga inang berpindah ke bagian tanaman dimana bagian tanaman tersebut
terdapat konidia yang menempel sehingga dapat terjadi kontak. Sedangkan secara
kontak tidak langsung yaitu ketika konidia dibawa oleh air, udara atau serangga
lain sehingga terjadi kontak antara konidia dengan serangga inang. Konidia
terbawa oleh air, ketika terjadi hujan maka percikan air akan menyebarkan
konidia ke tempat yang lain (Chaverri et al, 2005). Kutu sisik yang dapat
terinfeksi umumnya merupakan nimfa. Hal ini dikarenakan nimfa kutu sisik
memiliki kutikula yang lebih lunak sehingga memudahkan terjadinya penetrasi
hifa dari Aschersonia sp..
Aschersonia sp. dapat menghasilkan senyawa toksin yang dapat merusak
sel pada tubuh serangga yang terinfeksi. Senyawa tersebut bernama destruxins A4
dan A5 yang merupakan senyawa dari jenis depsipeptida (Krashnoff and Gibson,
1996) dan Ascherxanthone A (Isaka et al, 2005). Senyawa tersebut dapat
menyebabkan kerusakan sel pada tubuh serangga. Serangga yang terinfeksi
tubuhnya akan mengering dan tumbuh miselium berwarna putih. Miselium
tersebut akan tumbuh memenuhi tubuh serangga dan terjadi mumifikasi. Masa
konidia yang telah matang akan berwarna coklat kemerahan hingga oranye.

2.2.4 Potensi Jamur Entomopatogen Aschersonia sp.


Suhu lingkungan yang ideal akan dapat memaksimalkan perkecambahan
dari konidia sehingga lebih mudah menginfeksi serangga inang. Suhu yang ideal
yaitu tidak kurang dari 20 °C dan tidak lebih dari 30 °C. Suhu yang tidak sesuai
akan menyebabkan perkecambahan konidia kurang maksimal sehingga sulit untuk
terjadinya penetrasi melalui kutikula serangga (Ibrahim et al., 1993). Serangga
yang terinfeksi akan tertutupi oleh stroma sehingga yang tampak hanyalah
stromanya saja karena pertumbuhannya yang cepat.

7
Menurut Hodge dan Liu (2005), semua spesies dari genus Aschersonia
memiliki sifat patogen terhadap lalat putih (Aleyrodidae) dan kutu sisik
(Coccidae). Berdasarkan hal tersebut maka Aschersonia sp. dapat dimanfaatkan
s e b a ga i a ge n p e n gen d al i h a ya t i u nt u k m e n ge nd a l i k a n h am a k ut u
sisik citricola (Coccidae) pada tanaman jeruk (Meekes et al., 2002).

2.3 Hipotesis
H0 = Kerapatan konidia jamur entomopatogen Aschersonia sp. tidak berpengaruh
terhadap mortalitas, mikosis dan mumifikasi hama kutu sisik citricola pada
tanaman jeruk.
H1 = Kerapatan konidia jamur entomopatogen Aschersonia sp. berpengaruh
terhadap mortalitas, mikosis dan mumifikasi hama kutu sisik citricola pada
tanaman jeruk.

8
BAB 3. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian Patogenisitas Jamur Entomopatogen Aschersonia sp. sebagai
Pengendali Hama Kutu Sisik Citricola Coccus pseudomagnoliarium (Kuw.)
(Homoptera: Coccidae) pada Tanaman Jeruk akan dilaksanakan pada bulan
Februari 2019 sampai dengan selesai di Laboratorium Agroteknologi, Program
Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Jember

3.2 Persiapan Penelitian


3.2.1 Alat dan Bahan
Alat yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu Laminar Air Flow
(LAF), bunsen, cawan petri, jarum ose, gunting, sprayer, mikroskop, pipet,
kantong plastik, tisu, kapas, jaring. Bahan yang akan digunakan dalam penelitian
ini yaitu kutu sisik citricola Coccus Pseudomagnoliarium (Kuw.), aquadest steril,
isolat jamur entomopatogen Aschersonia sp., alkohol 70%, media PDA, bibit
tanaman jeruk, dan beras jagung.

3.2.2 Persiapan Tanaman Jeruk


Tanaman jeruk yang digunakan yaitu bibit tanaman jeruk yang ditanam
pada polybag ukuran 5 kg dan kemudian dilakukan perawatan dengan dilakukan
penyiraman rutin setiap sore. Pemupukan dilakukan dengan mencampurkan
pupuk organik kedalam media tanam yang akan digunakan. Tanaman kemudian
diberi penutup dengan menggunakan jaring yang telah diberi rangka pada tiap
tanaman. Pemberian jaring bertujuan agar serangga musuh alami kutu sisik
citricola tidak dapat masuk.

3.2.3 Persiapan Jamur Entomopatogen Aschersonia sp.


3.2.3.1 Eksplorasi
Eksplorasi jamur entomopatogen Aschersonia dilakukan pada
pertanaman jeruk yang terletak di Desa Teyeng Kecamatan Sumberbaru. Kutu

9
sisik citricola yang terinfeksi oleh Aschersonia kemudian diambil dengan cara
memotong ranting atau daun tempat tumbuh Aschersonia tersebut. Kutu sisik
citricola yang terinfeksi oleh jamur entomopatogen kemudian dibawa ke
laboratorium untuk dilakukan isolasi.

3.2.3.2 Isolasi
Jamur entomopatogen yang tumbuh pada kutu sisik kemudian diisolasi
dengan menumbuhkan jamur pada media PDA. Kutu sisik citricola yang
terinfeksi jamur entomopatogen dilakukan sterilisasi bertingkat terlebih dahulu
dengan cara mencelupkan pada alkohol 70% selama 15 detik, kemudian
dicelupkan pada aquadest steril selama 1 menit dan diulang 2 kali. Setelah
dilakukan sterilisasi bertingkat kemudian kutu sisik yang terinfeksi di letakkan
kedalam petridish yang didalamnya terdapat media PDA dengan tujuan untuk
menumbuhkan jamur entomopatogen yang menginfeksi kutu sisik tersebut.
Setelah tumbuh kemudian dilakukan reisolasi hingga memperolah biakan murni
jamur entomopatogen Aschersonia sp.. Petridish tersebut kemudian diletakkan
pada kondisi suhu ruangan. Kegiatan isolasi dilakukan pada kondisi steril didalam
LAF (Laminar Air Flow).

3.2.3.3 Identifikasi
Setelah diperoleh biakan murni kemudian dilakukan identifikasi.
Identifikasi bertujuan untuk menentukan apakah jamur yang telah diperoleh dari
hasil isolasi merupakan jamur entomopatogen Aschersonia sp. atau bukan.
Identifikasi dilakukan dengan mengamati bentuk dan warna stroma, bentuk
konidia, dan karakteristik biakannya. Pengamatan bentuk konidia dilakukan
dengan menggunakan mikroskop. Jamur yang akan diidentifikasi diambil sedikit
dengan menggunakan jarum ose dan diletakkan pada kaca preparat kemudian
diamati bentuk dan ukuran konidianya.

10
3.2.3.4 Perbanyakan pada Media Beras Jagung
Isolat kemudian diinokulasikan pada media jagung. Proses pembuatan
media jagung dilakukan dengan mencuci bersih beras jagung, selanjutnya
direndam dengan air selama 2 jam, kemudian tiriskan. Kemudian tambahkan
dengan minyak goreng sebanyak 0.1 ml, aduk rata dan masukkan jagung ke dalam
plastik tahan panas, timbang sebanyak 100 gram. Tahap selanjutnya yaitu
sterilisasi menggunakan autoklaf pada suhu 121ºC dengan tekanan 2 atm selama
30 menit. Kemudian dinginkan pada suhu ruangan sebelum proses inokulasi
dilakukan (Purnama dkk, 2015).

3.2.3.5 Perhitungan Kerapatan konidia Aschersonia sp.


Suspensi disiapkan dengan menghitung kerapatan konidia biakan jamur
pada media jagung, yaitu dengan mengambil 1 gram biakan dan dicampurkan
dengan 9 ml air steril, kemudian di beri tween 80 dan digojok. Penghitungan
kerapatan konidia dilakukan dengan menggunakan Haemocytometer dibawah
mikroskop dengan perbesaran 400×. Perhitungan kerapatan konidia dilakukan
dengan menggunakan rumus (Hadioetomo, 1993) :
t×d
K= × 106
n × 0,25
Keterangan :
K : kerapatan konidia/ml
t : jumlah total konidia dalam kotak sampel yang diamati
d : faktor pengenceran (nilai d=1 bila tanpa pengenceran, nilai d= 10 bila
dilakukan pengenceran 1 kali)
n : jumlah kotak sampel (5 kotak besar × 16 kotak kecil)
0,25 : faktor koreksi penggunaan kotak sampel skala kecil pada haemositometer
Hasil perhitungan awal kemudian dimasukkan kedalam persamaan
rumus M1×V1= M2×V2, dimana M1 : hasil perhitungan awal, V1 : volume
suspensi yang dicari, M2 : Volume larutan spora yang diinginkan, dan V2 :
kerapatan spora yang diinginkan. Tujuan dari perhitungan menggunakan
persamaan rumus tersebut yaitu untuk memperoleh jumlah suspensi konidia dan
11
larutan akuades yang perlu ditambahkan untuk memperoleh kerapatan konidia
yang diinginkan sesuai dengan perlakuan yang akan digunakan.Setelah diperoleh
kerapatan konidia 10 8 kemudian dilakukan pengenceran dari kerapatan 10 8
menjadi 107 dengan cara mengambil 1 ml dari larutan dengan kerapatan 108 dan
kemudian ditambahkan dengan akuades sebanyak 9 ml. Setelah itu larutan kocok
menggunakan vortek dengan tujuan agar homogen sehingga diperoleh konsentrasi
kerapatan konidia 107. Pengenceran untuk perlakuan kerapatan 106 dan 105
dilakukan dengan cara yang sama.

3.2.4 Koleksi Kutu Sisik Citricola


Persiapan kutu sisik citricola dilakukan dengan mengumpulkan kutu sisik
citricola dari tanaman jeruk dengan cara memotong ranting tanaman jeruk yang
terserang oleh kutu sisik citricola. Kutu sisik citricola nimfa instar pertama yang
masih aktif bergerak kemudian dipindahkan pada bibit tanaman jeruk pada bagian
pangkal daun muda dengan menggunakan kuas. Apabila tidak ada kutu sisik yang
aktif bergerak kutu sisik dipindahkan dengan cara menempelkan ranting ke
tanaman jeruk yang digunakan untuk pembiakan. Bibit tanaman jeruk ditanam
pada polibag kemudian diberi sangkar dengan menggunakan jaring, bertujuan
untuk mencegah predator atau parasitoid menyerang kutu sisik citricola. Kutu
sisik dipelihara hingga berkembang biak dan menghasilkan nimfa instar pertama
untuk digunakan dalam penelitian. (Triwiratni et al., 2017).

3.3 Pelaksanaan Penelitian


3.3.1 Rancangan Percobaan
Penelitian ini akan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) non
faktorial dengan 5 perlakuan yang diulang sebanyak 4 kali ulangan. Susunan
masing-masing perlakuan sebagai berikut:
P0 = Kontrol
P1 = Kerapatan 105 konidia/ml
P2 = Kerapatan 106 konidia/ml
P3 = Kerapatan 107 konidia/ml

12
P4 = Kerapatan 108 konidia/ml
Penggunaan kerapatan tersebut didasarkan pada penelitian patogenisitas
Aschersonia pada Bemisia tabaci oleh Zhang et al (2017) yang menggunakan
kerapatan konidia 106 dan 107, dimana perlakuan kerapatan tersebut efektif dalam
mengendalikan Bemisia tabaci. Penelitian disusun berdasarkan Rancangan Acak
Lengkap non faktorial sehingga petak percobaan yang digunakan sebagai berikut,
P22 P33 P14 P44
P52 P43 P52 P31
P12 P42 P11 P41
P21 P34 P23 P51
P24 P32 P13 P53
Gambar 3.1 Skema Perlakuan

3.3.2 Prosedur Penelitian


3.3.2.1 Inokulasi Kutu Sisik Citricola pada Tanaman Jeruk
Kutu sisik hasil koleksi kemudian diletakkan pada tanaman jeruk yang
telah diberi jaring dengan menempelkan ranting yang terdapat kutu sisik citricola
hingga kutu berpindah pada tanaman yang akan digunakan sebanyak 10 ekor tiap
tanaman.Serangga kutu sisik citricola yang digunakan yaitu serangga nimfa.
Penggunaan jaring bertujuan untuk menghindari adanya serangan parasitoid dan
predator pada kutu sisik citricola.

3.3.2.2 Aplikasi Jamur Entomopatogen Aschersonia sp. pada Kutu Sisik Citricola
Aplikasi akan dilakukan dengan menggunakan 5 perlakuan kerapatan
spora jamur entomopatogen Aschersonia sp. yang berbeda yaitu 105, 106, 107 dan
108 konidia/ml. Perlakuan tersebut diaplikasikan pada kutu sisik citricola dewasa
yang telah diinokulasikan pada tanaman jeruk. Aplikasi jamur entomopatogen
Aschersonia sp. dilakukan dengan metode semprot pada setiap ulangan. Tiap
perlakuan kemudian dilakukan pengulangan sebanyak 4 kali. Pengamatan
dilakukan setiap hari hingga 14 hari setelah aplikasi

13
3.3.3 Variabel Pengamatan
3.3.3.1 Mortalitas Kutu Sisik citricola
Mortalitas kutu sisik atau kematian kutu sisik citricola ditandai dengan
tumbuhnya jamur entomopatogen berwarna oranye pada tubuh kutu sisik citricola.
Pengamatan mortalitas kutu sisik citricola dilakukan mulai 2 HSA setiap 2 hari
selama 14 hari. Menurut Sihombing dkk (2014), perhitungan mortalitas kutu sisik
citricola dapat menggunakan rumus :

Keterangan:
P : Presentase mortalitas
a : Jumlah kutu sisik yang mati
b : Jumlah kutu sisik yang diamati

3.3.3.2 Mikosis
Mikosis adalah terjadinya infeksi setelah kutu sisik citricola mati yang
ditandai dengan tumbuhnya miselia jamur pada permukaan tubuh kutu sisik
citricola. Pengamatan mikosis dilakukan dengan mengamati waktu yang
dibutuhkan oleh jamur entomopatogen Aschersonia sp. menginfeksi kutu sisik
citricola mulai mati hingga tumbuhnya miselia di tubuh kutu sisik tersebut.
Pengamatan dilakukan setiap hari hingga miselia tumbuh dan kemudian dihitung
persentasenya dengan rumus :
Jumlah serangga yang termikosis
× 100%
Jumlah serangga yang mati
3.3.3.3 Mumifikasi
Mumifikasi merupakan terjadinya infeksi jamur entomopatogen hingga
miselia dari jamur tersebut memenuhi permukaan tubuh kutu sisik citricola yang
telah mati (Widariyanto dkk., 2017). Terjadinya mumifikasi menunjukkan bahwa
jamur telah tumbuh secara optimal. Pengamatan dilakukan dengan mengamati
waktu (hari) yang dibutuhkan oleh Aschersonia sp. mulai dari mikosis hingga
miselia cendawan menutupi tubuh serangga.

14
3.4 Analisa Data
Data yang di peroleh dari hasil pengamatan di analisis menggunakan
ANOVA, jika hasil anova menunjukkan F-Hitung yang berbeda nyata maka di
lanjutkan dengan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) dengan taraf kepercayaan 5%.

15
DAFTAR PUSTAKA

Broughton, Sonya. 2007. Scale in Citrus. Farmnote. Department of Agriculture


and Food. Note 243.
Chaverri, P. Bischoff, J. F. Evans, H. C. and Hodge, K. T. 2005. Regiocrella, A
New Entomophatogenic Genus with A Pycnidial Anamorph and its
Pylogenetic Placement in the Clavicipitaceae. Mycologia, 97: 1225-
1237.
Hadioetomo, R. S. 1993. Mikrobiologi Dasar dalam Praktek Teknik dan Prosedur
Dasar Laboratorium. Jakarta: PT. Gramedia
Hodge, K. T. dan Liu, M. 2005. Hycrella zhongdongii sp. nov., the Telemorph of
Aschersonia Incrassata. Mycol res, 109:818-824.
Ibrahim, Y. B. Lim, T. K. and Tang, H. M. 1993. Influence of Temperature, pH
and Selected Growth Media on Germination, Growth and Sporulation of
Aschersonia placenta and Hyprocella raciborskii. Biocontrol Science
and Technology, 3: 55-61.
Isaka, m., S. Palasarn, K. Kocharin, and J. Saenboonrueng. 2005. A Cytotoxic
Xanthone Dimer from the Entomopathogenic Fungus Aschersonia sp.
BCC 8401. Journal of Natural Production, 68(6): 945-946.
ITIS. 2011. http://www.catalogueoflife.org/annual-checklist/2011/details/species
/id/8444169/source/tree (diakses 11 Januari 2019).
Khastini, R. O. dan Wahyuni, I. 2 017. Eksplorasi Keragaman Fungi
Entomopatogen di Desa Cikeusik-Baduy Dalam, Banten. Scientium,
6(1): 1-10.
Krasnoff, S. B. and D. M. Gibson. 1996. New Destruxins from the
Entomopathogenic Fungus Aschersonia sp. Journal of Natural
Production, 59(5): 485-489.
Liu, M. Chaverri, P. dan Hodge, K. T. 2006. A Taxonomic Revision of the Insect
Biocontrol Fungus Aschersonia aleyrodis, its Allies with White Stromata
and Their Hypocrella Sexual States. Mycological Research, 110: 537-
554.
Meekes, E. T. M., Fransen, J. J., dan Lenteren, J. C. V. 2002. Pathogenicity of
Aschersonia spp. Against Whiteflies Bemisia argentfolli and
trialeurodes vaporariorum. J Invert Pathol, 81:1-11.
Meekes, E. T. M. 2001. Entomopathogenic Fungi Against Whiteflies: tritophic
Interactions Between Aschersonia Species, Trialeurodes vaporariorum
and Bemisia argentifolii, and Glasshouse crops. Ph.D.Thesis.
Wageningen Univerity.

16
Mohamed, E. M., Basheer, A. M., and Abukaf, N. 2012. Survey of parasitoid
Species of Citricola Scale Insect, Coccus pseudomagnoliarium
(Kuwana) (Homoptera: Coccidae) and their Effect in Citrus Orchards at
Lattakia, Sirya. Egyptian Journal of Biology Pest Control, 22(1): 61-65.
Nechols, J. R. Andres, L. A. Beardsley, J. W. Goeden, R. D. and Jackson, C. G
(eds). 1995. Biological Control in the Western United States. California:
UCANR Publications.
Purnama, H., N. Hidayati, dan E. Setyowati. 2015. Pengembangan Produksi
Pestisida AlamiDari Beauveria Bassiana Dan Trichoderma Sp.Menuju
Pertanian OrganikWARTA, 18(1) : 01 – 9.

Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Kementerian Pertanian. 2016. Outlook
Komoditas Pertanian Sub Sektor Hortikultura Jeruk.
http://epublikasi.setjen.pertanian.go.id/.
Reuther, W. Calavan E. C. and Carman, G. E (eds). 1967. The Citrus Industry
Volume 5. California: UCANR Publications.
Sihombing, R. H., S. Oemry., dan L. Lubis. 2014. Uji Efektifitas Beberapa
Entomopat ogen P ada Larva O. rhi noceros L. (C ol eopte ra:
Scarabaeidae). di Laboratorium. Agroteknologi, 2(4): 1300-1309.
Syafitri, D. D., F. Fauzana, dan D. Salbiah. 2017. Kelimpahan Hama Kutu pada
Tanaman Jeruk Siam (Citrus nobilis Lour.) di Desa Kuok Kecamatan
Kuok Kabupaten Kampar Provinsi Riau. JOM Faperta, 4(1): 1-11.
Tobing, D. M. A. L., Bayu, E. S., dan Siregar, L. A. M. 2013. Identifikasi
Karakter Morfologi dalam Penyusunan Deskripsi Jeruk Siam (Citrus
nobilis) di Beberapa Daerah Kabupaten Karo. Jurnal Online
Agroteknologi, 2(1): 72-85.
Triwiratno, A. 2008. Jamur Merah untuk Melawan Kutu Sisik pada Tanaman
Jeruk. SINAR TANI Edisi 28 Mei-3 Juni 2008.
UCANR. 2010. https://ucanr.edu/sites/KACCitrusEntomology/Home/Citricola_
scale (diakses 9 Februari 2019).
Wei, X., Song, X., Dong, D., Keyhani, N. O., Yao, L., Zang, X., Dong, L., gu, Z.,
Fu, D., Liu, X., Qiu, J., and Guan, X. 2016. Efficient Production of
Aschersonia placenta Protoplasts for Transformation using Optimization
Algorithms. Can. J. Microbiol, 62: 579-587.
Widariyanto, R., M. I. Pinem dan F. Zahara. 2017. Patogenitas Cendawan
Entomopatogen (Lecanicillium lecanii, Metarhizium anisopliae, dan
Beauveria bassiana) terhadap Aphis glycines pada Tanaman Kedelai.
Agroteknologi, 5(1): 8-16.

17
Zhang, C., S. Ali, P. D. Musa, X. M. Wang, and B. L. Qiu. 2017. Evaluation of
the Pathogenicity of Aschersonia aleyrodis on Bemisia tabaci in the
Laboratory and Greenhouse. Biocontrol Science and Technology, 27(2):
210-221.

18

Anda mungkin juga menyukai