Anda di halaman 1dari 18

Laporan Aklimatisasi Anggrek (Orchidaceae)

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perkembangan ilmu teknologi pada saat ini semakin pesat salah satunya dalam bidang
bioteknologi. Kultur jaringan merupakan salah satu teknik yang berkembang cukup pesat dalam
dunia bioteknologi. Teknik kultur jaringan adalah teknik budidaya berbagai bagian tanaman,
seperti organ, jaringan, sel, kelompok sel dan protoplas, yang dilakukan secara in vitro,seperti
kulture meristem, kultur pucuk, kultur tunas adventip, kultur kalus, kultur sel atau suspensi,
kultur protoplast. Bagian-bagian tanaman tersebut, yang diistilahkan sebagai eksplan, dipisahkan
dari lingkungan alamiahnya dan dibudidayakan pada medium buatan yang steril agar dapat
beregenerasi dan berdiferensiasi menjadi tanaman lengkap kembali. Adanya teknik kultur
jaringan ini memiliki banyak manfaat diantaranya dapat membudidayakan tanaman dengan cepat
dan dalam jumlah yang banyak serta hasil yang baik.
Kultur jaringan secara in vitro akan dihasilkan tanaman-tanaman kecil yang disebut dengan
planlet. Tanaman-tanaman kecil atau planlet ini merupakan calon tanaman baru yang nantinya
akan dibudidayakan di lingkungan sesungguhmya. Namun kendala yang biasa dihadapi dalam
teknik kultur jaringan ini adalah tingginya tingkat kematian dan kerusakan tanaman ketika
dilakukan pemindahan ke kondisi sesungguhnya. Hal tersebut dikarenakan tanaman hasil invitro
bersifat peka dan rentan terhadap kondisi lingkungan. Selain itu palnlet ini merupakan tanaman
yang masih bersifat heterotof karena masih berada didalam media tumbuhnya untuk itu tanaman
kecil atau planlet ini haruslah diubah menjadi tanaman yang bersifat autotrof. Aklimatisasi yakni
proses pembiasaan tanaman dari lingkungan buatan ke lingkungan sesungguhnya. Aklimatisasi
ini penting untuk dilakukan karena planlet hasil kultur in vitro biasanya masih bersifat rentan,
mulai dari lapisan lilin (kutikula) tidak berkembang dengan baik, kurangnya lignifikasi batang,
jaringan pembuluh dari akar ke pucuk kurang berkembang dan stomata sering sekali tidak
berfungsi (tidak menutup ketika penguapan tinggi) bila hal ini dibiarkan maka tanaman hasil
kultur tidak akan mampu bertahan dilingkungan hidup sesungguhnya oleh sebab itu aklimatisasi
penting untuk dilakukan. Sebelum tanaman kultur diletakkan pada lokasi sesungguhnya terlebih
dahulu tanaman ini diaklimatisasi agar dapat beradaptasi dengan perubahan lingkungan hidup.
Aklimatisasi ini merubah tanaman yang sebelumnya masih bersifat heterotrof menjadi bersifat
autotrof sehingga ketika ia tidak lagi memperoleh nutrisi dari mediumnya ia mampu membuat
nutrisinya sendiri, dengan demikian tanaman ini akan dapat bertahan hidup dan tumbuh menjadi
tanaman yang sebenarnya.
Pada kultur jaringan tumbuhan, aklimatisasi ini merupakan tahap yang paling dibutuhkan
oleh planlet karena terdapat perbedaan kritis antara kedua tempat tumbuh tersebut. Oleh karena
itu untuk mengetahui bagaimana proses aklimatisasi ini, apa saja yang dibutuhkan dan harus
diperhatikan dalam proses aklimatisasi maka dilakukan praaktikum aklimatisasi ini.

1.2 Tujuan
Mengetahui proses perubahan kondisi tanaman dan keadaan in vitro menjadi in vivo.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman anggrek dengan segala keunikannya yang memukau, telah menarik perhatian
para penggemar tanaman hias sejak dua abad yang lalu. Anggrek merupakan satu satu jenis
tanaman hias yang mempunyai keindahan bunga yang unik dan daya tahan bunga yang cukup
lama jika dibandingkan dengan tanaman lainnya. Keindahan dan daya tarik anggrek terletak pada
bentuk dan warna bunganya yang beraneka ragam. Sifat-sifat bunga yang demikian ini
menyebabkan anggrek banyak disenangi dan ditanam baik oleh para pengusaha tanaman hias
maupun para penggemar anggrek. Salah satu alternatif untuk melestarikan keanekaragaman
anggrek secara ex situ yaitu melakukan perbanyakan melalui kultur in vitro. Dengan kultur in
vitro, selain dapat dilakukan perbanyakan anggrek yang sulit maupun yang mudah di-
kembangkan secara konvensional, juga dapat memperoleh anakan dalam jumlah banyak dan
dalam waktu yang relatif singkat.
Bibit anggrek yang dikembangkan menggunakan metode kultur jaringan telah banyak
diproduksi dan dipasarkan dalam kemasan botol. Pemeliharaan bibit ini menjadi tanaman dewasa
masih menemukan banyak permasalahan terutama pada fase aklimatisasi, yaitu pemindahan bibit
dari lingkungan aseptik dalam botol ke lingkungan non aseptik. Disamping kemungkinan
tanaman sangat sensitif terhadap serangan hama dan penyakit, tanaman ini masih memiliki
aktifitas autotrofik yang masih rendah, sulit mensintesa senyawa organik dari unsur hara
anorganik. Beberapa masalah fisiologis yang perlu mendapat perhatian dalam usaha
meningkatkan baik aktivitas autotrofik maupun viabilitas bibit anggrek botol (Wijayani, 1994).
Kultur Jaringan (TC) merupakan teknologi yang dapat digunakan untuk menghasilkan
bibit berkualitas tinggi bukan menggunakan stek tradisional.Memiliki fekunditas tinggi,
memproduksi ribuan propagul seperti teknik konvensional (Ogero, 2012). Kultur jaringan
merupakan suatu teknik untuk membudidayakan tanaman dengan mengambil bagian dari suatu
tanaman seperti jaringan tanaman tersebut untuk dijadikan tanaman baru yang mempunyai sifat
seperti induknya. Dalam pelaksanaan kultur jaringan, untuk membentuk suatu tanaman baru
bagian dari tanaman yang baik untuk digunakan adalah bagian jaringan meristem karena
persentase keberhasilannya lebih tinggi jika dibandingkan dengan menggunakan jaringan
lainnya. Selain itu jaringan meristem juga mempunyai sifat selalu membelah, mempunyai
dinding sel tipis, belum mengalami penebalan dan tidak mempunyai zat pektin, selain itu
plasmanya juga mempunyai banyak vakuola dengan ukuran yang kecil-kecil. Umumnya orang
menggunakan jaringan meristem untuk kultur jaringan karena selnya selalu membelah dan
kemungkinan mempunyai hormon yang mengatur pembelahan (Wijayani, 1994).
Tanaman yang dibudidayakan secara in vitro mempunyai kebutuhan nutrisi, vitamin dan
mineral yang sama dengan kebutuhan tanaman yang ditumbuhkan di tanah. Unsur-unsur hara
tersebut merupakan kebutuhan pokok yang dibutuhkan tanaman untuk tumbuh dan berkembang
dan harus tersedia dalam media kultur jaringan. Kebutuhan pokok tersebut adalah unsur hara
makro dan unsur hara mikro yang dibutuhkan oleh tanaman dalam bentuk garam-garam mineral
(Sandra, 2000).Di lingkungan vitro menawarkan kepadatan cahaya rendah, kelembaban tinggi,
kehadiran gula dan zat pengatur tumbuh di substrat, dan pertukaran gas rendah, dengan
kurangnya CO2 dan kelebihan etilena (Werner, 2016).
Regenerasi tanaman in vitro dapat dicapai dengan menggunakan kultur kalus, organ, sel
dan protoplas. Meskipun eksplan jaringan dari jenis pohon umumnya sulit untuk tumbuh di in
vitro, kalus dan organ budidaya telah digunakan dengan berbagai tingkat keberhasilan untuk
budidaya sejumlah tanaman berkayu. Pada awalnya kultur kalus digunakan untuk planlet
regenerasi, budaya organ (embrio, kotiledon, meristem tunas) dan sekarang kebanyakan rutin
digunakan untuk budidaya tanaman (Mbosowo, 2015). Cara yang banyak digunakan dalam
perbanyakan tanaman pada saat ini adalah dengan metode kultur in vitro yang dilakukan untuk
perbanyakan tanaman. Bibit yang dihasilkan dari teknik in vitro umumnya masih bersifat
heterotrof yaitu belum mampu menyediakan makanan sendiri. Sehingga bibit yang dihasilkan
masih rentan terhadap perubahan kondisi lingkungan, hama penyakit sehingga diperlukan adanya
tahap aklimatisasi (Purnami, 2014).
Aplikasi kultur jaringan tanaman semakin meluas penggunaannya terutama dalam
menyediakan bibit tanaman secara massal, cepat, murah, dan bebas patogen pada tanaman
holtikultura, tanaman pangan, dan tanaman industri. Faktor yang menentukan keefektifitasan
aplikasi bidang bioteknologi adalah efisiensi sistem dan kemampuan regenerasi suatu tanaman.
Dalam kultur jaringan tanaman, materi tanaman yang diisolasi (protoplas, sel, jaringan, dan
organ) diupayakan untuk tumbuh dan membentuk tanaman baru (Sukmadjaja, 2011). Faktor lain
yang menentukan keberhasilan perbanyakan tanaman secara in vitro adalah pemilihan bahan
eksplan. Bahan eksplan yang masih muda adalah bahan yang baik untuk digunakan sebagai
perbanyakan tanaman secara in vitro. Semakin tua organ tanaman eksplan, maka proses
pembelahan dan regenerasi sel cenderung menurun, oleh karena itu jaringan yang masih muda
lebih baik digunakan karena pada umumnya jaringan tersebut masih berproliferasi daripada
jaringan yang berkayu atau yang sudah tua.
Monitoring terhadap kultur yang dikonservasi secara in vitro sangat diperlukan untuk
mengetahui stabilitas genetik tanaman yang dikonservasi. Penyimpangan hasil mutasi genetik
yang muncul pada tanaman bervariasi dan mutasi tidak terlihat pada kultur di dalam botol,
kecuali kerdil dan albino. Mutasi genetik akan terlihat setelah tanaman diaklimatisasi di rumah
kaca (Syahid, 2008). Aklimatisasi adalah suatu proses penyesuaian dengan kondisi lingkungan
aslinya (Wahyudi, 2006). Aklimatisasi merupakan proses pengadaptasian tanaman hasil kultur
jaringan terhadap lingkungan luar yang lebih ekstrim. Ada beberapa perbedaan faktor-faktor
lingkungan yang utama dari kondisi kultur jaringan dan greenhouse dengan lingkungan antara
lain cahaya, suhu dan kelembaban relatif, selain unsur hara dan media tanam. Komponen cahaya
dan suhu dapat disesuaikan dengan pemberian naungan. Variasi tingkat naungan yang dicobakan
pada berbagai tanaman pada tahap aklimatisasi yaitu antara 20-90%. Faktor yang mempengaruhi
keberhasilan aklimatisasi tanaman dari hasil kultur in vitro dipengaruhi oleh ukuran bibit,
perakaran, media, kelembapan udara dan serangan hama penyakit. Keberhasilan aklimatisasi
tanaman hasil kultur in vitro juga dipengaruhi oleh ukuran bibit, perakaran, media, kelembapan
udara, dan serangan hama penyakit (Basri, 2013). Selain itu faktor yang perlu mendapat
perhatian pada saat aklimatisasi adalah pemupukan. Pemberian pupuk yang tepat untuk tanaman
yang akan di aklimatisasi membantu tanaman untuk bisa beradaptasi dengan baik. Untuk tujuan
efisiensi penggunaan bahan kimia serta biaya maka frekuensi pemberian pupuk harus di
perhatian. Frekuensi pemberian yang tepat diperlukan untuk mendapatkan pertumbuhan bibit
yang paling optimal (Dwiyanti, 2012).
Aklimatisasi dilakukan secara hati-hati dan bertahap, yaitu dengan memberikan sungkup.
Sungkup digunakan untuk melindungi bibit dari udara luar dan serangan hama penyakit karena
bibit hasil kultur jaringan sangat rentan terhadap serangan hama penyakit dan udara luar. Setelah
bibit mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya maka secara bertahap sungkup dilepaskan
dan pemeliharaan bibit dilakukan dengan cara yang sama dengan pemeliharaan bibit generatif.
Media yang digunakan dalam tahap aklimatisasi dapat berupa campuran dari berbagai jenis,
seperti kompos, pasir, blotong dan lain-lain. Sebelum digunakan media harus disterilkan terlebih
dahulu.
Dalam proses aklimatisasi juga dilakukan penaungan. Naungan dua lapis waring
umumnya memberikan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan naungan satu dan tiga
lapis waring. Pada naungan dua lapis waring merupakan kondisi lingkungan yang optimal
sehingga pertumbuhan tanaman maksimal, pada naungan dua lapis waring merupakan titik
keseimbangan antara kebutuhan cahaya dan besarnya transpirasi sehingga unsur hara, air, suhu
udara dan cahaya tercukupi untuk pertumbuhan tanaman. Pada tingkat naungan hanya satu lapis
waring intensitas cahaya yang diterima tanaman terlalu tinggi, sehingga tanaman berusahan
untuk mengimbangi antara kebutuhan intensitas cahaya dengan transpirasi yang menyebabkan
terhambatnya pertumbuhan tinggi tanaman. Sebaliknya pada tingkat naungan tiga lapis waring,
tanaman kekurangan cahaya. Sehingga menyebabkan suhu terlalu rendah dan pertumbuhan
tanaman terhambat. Sebaliknya tanpa naungan cahaya terlalu tinggi, suhu juga tinggi sehingga
dapat menekan daya kerja auksin (zat pemacu pertumbuhan). Pada siang hari naungan berperan
untuk mengurangi tingginya suhu maksimum dengan cara menahan cahaya matahari yang
diterima tanaman dan pada malam hari naungan mengurangi turunnya suhu minimum dengan
cara menghambat radiasi panas dari bumi ke atmosfer (Basri, 2013).
Proses aklimatisasi sangat penting dilakukan karena sebagai penentu tingkat keberhasilan
tanaman yang berasal dari in vitro untuk beradaptasi pada kondisi in vivo. Pada proses ini,
lingkungan tumbuh berangsur-angsur disesuaikan dengan kondisi lapangan. Planlet hasil kultur
in vitro biasanya memiliki perakaran yang sedikit dan lemah. Sistem perakaran yang demikian
sangat rentan dan tidak berfungsi dalam keadaan in vivo. Akar tersebut akan segera mati dan
harus segera diganti dengan akar yang baru. Penunjang keberhasilan pertumbuhan bibit pada
masa aklimatisasi diberikan zat pengatur tumbuh yang dapat merangsang pembentukan akar.
Diantaranya adalah jenis auksin, seperti: Naphtha-lena Acetic Acid dan Indole Buteric Acid
adalah bentuk terbaik untuk pertumbuhan akar. Pemberian NAA pada konsentrasi yang terlalu
tinggi dapat menghambat pertumbuhan dan sebaliknya pada konsentrasi dibawah optimum tidak
efektif.
Beberapa sifat yang kurang menguntungkan dari tanaman hasil regenerasi melalui kultur
jaringan adalah lapisan kutikula yang kurang berkembang, jaringan pembuluh akar dan batang
kurang sempurna, stomata tidak berfungsi, berkurangnya sel-sel palisade daun, dan lignifikasi
batang. Keadaan tersebut menyebabkan bibit kultur rentan terhadap hama, penyakit, dan udara
luar sehingga menyulitkan dalam proses aklimatisasinya. Keberhasilan aklimatisasi ditentukan
oleh berbagai faktor. Secara umum, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan
aklimatisasi tanaman adalah kondisi planlet (ukuran bibit, perakaran), kondisi lingkungan
(ketepatan media tumbuh yang digunakan dan kelembapan udara), ketepatan perlakuan sebelum
dan sesudah transplantasi dari media in vitro ke media tanah, dan sanitasi lingkungan dari infeksi
penyakit.
BAB III
METODE PELAKSANAAN

3.1 Waktu dan Tempat


Praktikum Kultur Jaringan dengan Judul “Aklimatisasi” di lakukan pada Minggu 29 Mei
2016 pukul 07.30 WIB sampai selesai bertempat di Laboratorium Kultur Jaringan, Jurusan
Agronomi, Fakultas Pertanian Universitas Jember.

3.2 Alat dan Bahan


3.2.1 Alat
1. Gelas plastik
2. Pinset
3. Baskom
4. Petridish
3.2.2 Bahan
1. Media tanam (pasir dan akar pakis)
2. Air
3. Planlet (kentang dan anggrek)
4. Fungisida

3.3 Prosedur Kerja


1. Mencuci bersih sisa media agar di planlet.
2. Mencuci planlet di air mengalir kemudian ditiriskan.
3. Menyiapkan media aklimatisasi yang berupa gelas plastik.
4. Merendam planlet di larutan fungisida ± 1 menit.
5. Membilas planlet dengan air mengalir dan dikering anginkan.
6. Menanam planlet pada media tanam dengan hati-hati supaya akar tidak putus.
7. Menyungkup planlet dengan gelas plastik supaya tidak terjadi penguapan berlebihan
( khusus pada planlet kentang sedangkan anggrek tidak diberi sungkup ).
8. Mengamati pertumbuhan planlet.

3.4 Parameter Pengamatan


Mengamati planlet yang hidup segar, layu dan kering (mati), jumlah daun, dan panjang
tunas. Mencatat kondisi tanaman setiap pengamatan.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengamatan


Anggrek
Hari ke-4 Hari ke-5
∑ daun Р tunas Kondisi tanaman ∑ daun Р tunas Kondisi tanaman
2 2 Layu 2 2 Kering, mati
2 0,4 Segar 2 0,4 Sedikit layu
3 1,8 Segar 3 1,8 Layu
6 2,5 Segar 8 2,6 Segar
5 3,5 Segar 5 3,7 Segar
9 2,8 Segar 8 2,8 Segar

Keterangan:
∑ = jumlah
P = panjang

4.2 Pembahasan
Menurut Basri (2004) dalam Basri dkk (2013), aklimatisasi merupakan proses
pengadaptasian hasil kultur jaringan terhadap lingkungan luar yang lebih ekstrim. Perbedaan
faktor-faktor lingkungan yang utama dari kondisi kultur jaringan dan greenhouse antara lain
cahaya, suhu, kelembaban relatif, di samping hara dan media tanam. Komponen cahaya dan suhu
dapat disesuaikan dengan pemberian naungan. Menurut Slamet (2011) dalam Basri dkk (2013),
bahwa keberhasilan aklimatisasi tanaman hasil kultur in vitro dipengaruhi oleh ukuran bibit,
perakaran, media, kelembapan udara, dan serangan hama penyakit. Dari hasil pengamatan juga
diketahui bahwa tanaman anggrek lebih tahan dan lebih kuat terhadap kelayuan. Perawatan
terhadap tanaman yang baru di aklimatisasi juga sangat berpengaruh terhadap keberhasilan
aklimatisasi terutama dalam menjaga kelembapan media.
Tanaman yang di aklimatisasi berada dalam masa kritis, karena merupakan
pengkondisian awal dari kondisi in vitro ke kondisi in vivo atau penyesuaian diri dari kondisi
heterotrof ke kondisi autotrof. Menurut Pardal et al. (2005) dalam Slamet (2011). klimatisasi
merupakan tahapan paling kritis dan sulit pada proses regenerasi tanaman secara in vitro.
Kegagalan aklimatisasi tanaman merupakan kendala yang banyak dijumpai di Indonesia. Oleh
karena itu, tahapan ini memerlukan pengalaman dan penanganan yang sarat kehati-hatian karena
50 aklimatisasi adalah mengadaptasikan planlet dari media kultur in vitro ke media tanah pada
ruangan terbuka. Penyesuaian bibit kultur terhadap lingkungan luar merupakan salah satu
tahapan yang harus dilalui dalam kegiatan yang melibatkan kultur in vitro. Menurut Ziv (1986)
dalam Pierik 1987) dalam Slamet (2011), aklimatisasi adalah masa adaptasi planlet dari kultur
heterotrofik menjadi autotrofik, yang merupakan tahap akhir dari kegiatan kultur in vitro.
Aklimatisasi merupakan adaptasi planlet dari lingkungan yang terkendali (in vitro) ke
lingkungan in vivo sebelum ditanam di lapangan (Husni et al. 2004a) dalam Slamet (2011).
Pada praktikum aklimatisasi yang telah dilakukan, pertama menyiapkan media tanam
anggrek. Menurut Iswanto, (2002) dalam Andalasari (2014) media tanam yang baik harus
memenuhi kreteria antara lain; tidak mudah lapuk, tidak mudah menjadi sumber penyakit, aerasi
baik, mampu mengikat air dan unsur hara dengan baik, mudah didapat dan harga relative murah.
Media tumbuh yang baik bagi anggrek (famili Orchidaceae) harus memenuhi beberapa
persyaratan, antara lain tidak lekas melapuk dan terdekomposisi, tidak menjadi sumber penyakit,
mempunyai aerasi dan draenase yang baik, mampu mengikat air dan zat-zat hara secara optimal,
dapat mempertahankan kelembaban di sekitar akar, dibutuhkan ph media 5-6, ramah lingkungan
serta mudah didapat dan relatif murah harganya. Media tumbuh tanaman anggrek yang umum
digunakan adalah arang, pakis, moss, potongan kayu, potongan bata atau genting, serutan kayu,
kulit pinus dan serabut kelapa. Pada praktikum aklimatisasi media tanam anggrek adalah akar
pakis. Keunggulan media pakis dibandingkan dengan media tanam yang lain diduga media pakis
memiliki kreteria yang baik bagi pertumbuhan tanaman anggrek diantaranya pakis mampu
mengikat dan menyimpan air dengan baik, memiliki aerasi dan draenasi baik, melapuk secara
perlahan dan mengandung unsur hara yang diperlukan bagi tanaman anggrek (Widiastoety,
2004) dalam Andalasari dkk (2014). Kemampuan pakis dalam mengikat dan menyerap air
mengakibatkan pakis mudah menyerap cairan pupuk yang disemprotkan dan dapat menambah
kandungan unsur hara yang ada pada media dan dapat membantu mempercepat pertumbuhan
anggrek. Selain itu menurut Don, Emir, dan Hadibroto (2001) dalam Andalasari dkk (2014).,
pakis memiliki kandungan gula, asam amino, asam alifatik dan konsituen ester yang dibutuhkan
anggrek. Media tanam pakis juga memiliki kelebihan yaitu tidak mudah lapuk sehingga tanaman
dapat menyerap unsure hara yang dikandungnya dalam kurun waktu yang lama.
Setelah pembuatan media selesai, langkah selanjutnya yaitu menanam eksplan pada
media. Setiap botol diisi dengan 1 tanaman. Untuk tanaman anggrek tidak perlu di sungkup.
Selanjutnya tanaman diletakkan di tempat yang sudah disesuaikan keadaan lingkungannya untuk
pertumbuhan tanaman aklimatisasi.
Tahapan dari aklimatisasi ini harus lah benar baik dalam hal teknik aseptik dan tentunya
kondisi lingkungan supaya tanaman berhasil hidup dalam kondisi yang terbaik. Terdapat
beberapa faktor yang mendukung supaya tanaman tetap hidup hingga nantinya dapat di tanam di
lingkungan luar. Faktor-faktornya diantaranya yaitu kelembaban, cahaya, temperature, teknik
aseptik , dan teknik penyungkupan.
Pertama adalah kelembaban dimana planlet sudah di pindahkan tersebut dari awal
pemindahan sudah di kondisikan agar tanaman berada dalam kelembaban yang relatif tinggi
untuk beberapa hari awal. Penambahan kelembaban dan pengurangan intensitas cahaya haruslah
secara bertahap atau perlahan agar tanaman dapat hidup dengan baik dan tanaman tidak
mengalami stress.
Kemudian faktor selanjutnya yang mempengaruhi tahapan aklimatisasi agar berhasil
adalah intensitas cahaya. Dimana pada saat tanaman di tanam dalam kondisi in vitro, tanaman
haruslah di sinari dengan intensitas cahaya yang rendah. Dikarenakan jika tanaman yang di
tanam dalam kondisi in vitro ini di taman dengan paparan intensitas cahaya yang langsung tinggi
akan mengakibatkan tanaman menjadi dehidrasi akibat terlalu banyak mengeluarkan air
(transpirasi) dan lama kelamaan akan menjadi kering dan mati. Maka dari itulah dalam tahapan
aklimatisasi ini tanaman harus di naungi terlebih dahulu agar tidak terpapar matahari secara
langsung, setelah beberapa lama mulai di pindahkan ke tempat dimana mendapatkan matahari
secara langsung.
Faktor selanjutnya yang mempengaruhi tahapan aklimatisasi adalah temperatur dimana
lokasi yang di gunakan sebagai lokasi awal di tanamkan tanaman haruslah memiliki suhu sekitar
25oC-30oC. Cara mengatur suhu di dalam lokasi tersebut adalah dengan pengaturan fentilasi dan
juga mungkin dengan pemberian Air Condition yang bisa di atur suhunya.
Lalu faktor selanjutnya yang mempengaruhi tahapan aklimatisasi adalah teknik
penyungkupan dimana teknik penyungkupan ini bertujuan untuk melindungi kontaminasi
mikroorganisme yang ada di udara, kemudian juga untuk mempertahankan kelembaban yang
tinggi di dalam tanaman tersebut, menjaga kestabilan suhu serta meningkatkan daya tahan
terhadap cahaya matahari. Jika penyungkupan di lakukan dengan benar maka kemungkinan
tanaman tersebut dapat hidup adalah besar, jika tidak benar maka tanaman akan terkontaminasi
dengan mikroorganisme yang ada di udara dan lama-lama akan mati. Teknik penyungkupan
yang benar adalah tidak ada ruang untuk di masukin oleh mikroorganisme sehingga ruangan di
dalam selungkup benar-benar lembab dan steril.
Kemudian selanjutnya adalah teknik aseptik dimana dalam hal ini teknik aseptik
sangatlah penting agar tidak terjadi kontaminasi dalam planlet yang mengakibatkan planlet tidak
dapat berkembang biak atau tumbuh. Sehingga pasir yang mengandung banyak sekali
mikroorganisme pathogen di dalamnya harus lah di sterilisasi terlebih dahulu dengan cara di
autoclaf untuk mengurangi kontaminasi yang berlebihan pada tanaman ketika baru di pindahkan
serta supaya tidak terjadi pembusukan pada akar yang di akibatkan oleh bakteri atau jamur.
Hal tersebut sesuai dengan teori menurut Hendaryono (1994) terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi keberhasilan aklimatisasi, yaitu kelembaban, intensitas cahaya dan temperature.
Yang pertama adalah kelembaban. Mempertahankan kelembaban relatif yang tinggi untuk
beberapa hari pertama setelah aklimatisasi merupakan hal yang penting untuk meningkatkan
daya hidup planlet. Penurunan kelembaban dan penurunan intensitas cahaya harus selambat
mungkin dilakukan untuk membentuk tanaman yang makin kuat sehingga tanaman tidak
stres. Beberapa teknik mendapatkan kelembaban yang sesuai adalah dengan menggunakan
sistem penutupan dengan kantong plastik bening (sungkup), sistem ini terbukti lebih baik dan
relatif murah dan mudah dalam pengerjaannya.
Kemudian yang kedua intensitas cahaya. Dimana pada kondisi in vitro, tanaman
disinari pada tingkat cahaya yang rendah. Bila tanaman langsung dipindahkan pada
kondisi dengan tingkat cahaya yang tinggi maka daun akan menjadi kering seperti terbakar.
Untuk itu pada saat tanaman diaklimatisasi perlu diberikan naungan. Naungan akan
mengurangi transpirasi dan kelebihan cahaya yang dapat merusak molekul klorofil. Setelah
beberapa waktu dibawah naungan, tanaman secara perlahan-lahan dipindahkan ke kondisi
pencahayaan sebenarnya dimana tanaman akan ditanam.
Kemudian temperature, dimana kondisi di ruang aklimatisasi (rumah kaca) diusahakan
mempunyai suhu berkisar antara 25oC– 30oC. Pengaturan suhu dapat juga dilakukan dengan
melakukan penyiraman, fentilasi terkontrol dan sistem pengkabutan.
Perlu ditekankan bahwa pada saat aklimatisasi, segala hal harus dilakukan sesuai dengan
prosedur untuk mendapatkan hasil aklimatisasi yang bagus. Umumnya biakan hasil kultur
jaringan yang akan di aklimatisasi harus berupa planlet artinya biakan harus mempunyai
perakaran dan pertunasan yang proporsional. Aklimatisasi pada tanaman vitro adalah fase
terakhir dari budidaya dan sangat penting untuk kelangsungan hidup dan keberhasilan
pembentukan plantlet. Dengan kata lain, persentase hidup ditentukan oleh pengerasan planlet.
Lima faktor yang sangat penting dan harus disediakan dan dikontrol pada proses aklimatisasi
selain kelembaban adalah substrat, suhu, cahaya dan sirkulasi udara. Hal yang paling penting
untuk menjaga kondisi permanen yaitu, untuk menghindari stres (Lesar, dkk, 2012).
Menjaga medium dan lingkungan sangat penting bagi keberhasilan aklimatisasi. Planlet
masih sangat rentan dengan kondisi luar. Untuk mendapatkan hasil tanaman kultur jaringan yang
bagus, maka harus diperhatikan faktor-faktor yang dapat merusak planlet. Kelembapan harus
dijaga, jangan terlalu banyak menyiramkan air pada medium karena dapat merusak dan
membusukkan akar planlet yang masih rentan. Jangan sampai tidak menyiramkan air sama sekali
pada medium karena planlet akan kehilangan nutrisi mineral hingga planlet akan mengalami
kekeringan, menguning, layu kemudian mati. Selain itu suhu juga diatur sedemikian rupa, tidak
terlalu panas, dan cukup sejuk. Setelah itu yang harus diperhatikan yakni pencahayaan dan
sirkulasi udara.
Pada praktikum aklimatisasi ini digunakan satu perlakuan dalam penggunaan media,
media akar pakis untuk planlet anggrek. Untuk akar pakis, sebelum digunakan maka haris
dihaluskan terlebih dahulu, misalnya dengan dipukul-pukul. Hal ini sangat sesuai dengan
pernyataan (Ahmed, dkk, 2012) yang menyatakan bahwa sebelum dilakukannya pemindahan
tanaman ke pot dengan media tanam yang berbeda-beda misalkan tanah atau gambut, maka
media tersebut harus disterilisasi terlebih dahulu. Perlakuan ini sangat membantu tanaman dalam
pertumbuhan dan perkembangan pada kondisi yang minim. Sedangkan akar pakis merupakan
media yang sangat cocok untuk pertumbuhan anggrek.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
1 Tanaman yang di aklimatisasi berada dalam masa kritis, karena merupakan pengkondisian
awal dari kondisi in vitro ke kondisi in vivo atau penyesuaian diri dari kondisi heterotrof ke
kondisi autotrof.
2 Faktor-faktornya diantaranya yaitu kelembaban, cahaya, temperature, teknik aseptik , dan
teknik penyungkupan.
3 Beberapa hal yang harus dihindari ketika melakukan aklimatisasi, yaitu Kelembapan harus
dijaga, jangan terlalu banyak menyiramkan air pada medium karena dapat merusak dan
membusukkan akar planlet yang masih rentan. Jangan sampai tidak menyiramkan air sama
sekali pada medium karena planlet akan kehilangan nutrisi mineral hingga planlet akan
mengalami kekeringan, menguning, layu kemudian mati. Selain itu suhu juga diatur
sedemikian rupa, tidak terlalu panas, dan cukup sejuk serta pencahayaan dan sirkulasi udara.
4 Media yang digunakan tidaklah sama, sebab tergantung tanamannya dapat eksis pada media
apa dan perbedaan media ini supaya mengetahui media yang baik dan sesuai dengan
tanaman tersebut. Ada juga suatu perlakuan yang dilakukan yaitu penyungkupan, botol dan
tanaman ditutup dengan potongan botol gelas mineral. Hal ini dimaksudkan untuk
mengurangi adanya penguapan yang berlebih pada tanaman.
5 Aklimatisasi tanaman Anggrek tidak dilakukan penyungkupan

5.2 Saran
Diharapkan informasi dari setiap asisten sama sehingga tidak terjadi miskomunikasi
dalam menjalankan teknis prosedur dalam pengamatan, laporan, dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
https://roselolitaaa.blogspot.com/2016/06/laporan-praktikum-kultur-jaringan_19.html
Ahmed, A. Bakrudeen Ali, dkk. 2012. In Vitro regeneration, Acclimatization and Antimicrobial
Studies of Selected Ornamental Plants. Intech Journal.

Andalasari dkk. 2014. Respon Pertumbuhan Anggrek Dendrobium Terhadap Jenis Media Tanam dan
Pupuk Daun. Jurnal Penelitian Pertanian Terapan 80 Volume 14, Nomor 1.

Ardisela, D. 2010. Pengaruh Dosis Rootone Terhadap Pertumbuhan Crown Tanaman Nenas (Ananas
comosus). Jurnal Agribisnis dan Pengembangan Wilayah. 1(2):48-62.
Basri, Hasan, Zainuddin Basri dan Abd. Syakur. 2013. Aklimatisasi Bibit Tanaman Buah Naga
(Hylocereus undatus) Pada Tingkat Naungan Berbeda. e-J. Agrotekbis 1 (4) : 339-345.
ISSN: 2338-3011.
Djajadi, Heliyanto B, Hidayah N,. 2010. Pengaruh Media Tanam dan Frekuensi Pemberian
AirTerhadap Sifat Fisik, Kimia dan Biologi Tanah Serta Pertumbuhan Jarak Pagar. JurnalLittri.
2 (16): 64-69
Dwiyanti, Rindang. 2012. Respon Pertumbuhan Bibit Anggrek Dendrobium sp. pada Saat
Aklimatisasi terhadap Beragam FrekuensiPemberian Pupuk Daun. Agrotrop, 2(2): 171-
175. ISSN: 2088-155X.

Lesar, Helena, dkk. 2012. Acclimatization of Terrestial Orchid Blettilla striata Rchb.f. (Orchidaceae)
Propagated Under In Vitro Condition. Acta Agriculture Slovenica Journal, Code 1.01.

Mbosowo, E. 2015. Growth And Development Response Of Callus Segments Of Irvingia GabonensisS
Aubrey-Lecomte, Ex O’ Rorke Using Tissue Culture Technique. Asian Journal of Science and
Technology Vol.06, Issue, 10, pp. 1860-1864, ISSN: 0976-3376.

Ogero, K.O. 2012. In vitro Micropropagation of Cassava Through Low Cost Tissue Culture.
Asian Journal of Agricultural Sciences 4(3): 205-209, ISSN: 2041- 3890.

Purnami N.L., Yuswanti H. dan Astiningsih. 2014. Pengaruh Jenis dan Frekuensi Penyemprotan Leri
Terhadap Pertumbuhan Bibit Anggrek Phalaeonopsis sp. Pasca Aklimatisasi. Agroekoteknologi
Tropika ISSN: 2301-6515 Vol. 3, No. 1, Januari 2014.

Slamet. 2011. Perkembangan Teknik Aklimatisasi Tanaman Kedelai Hasil Regenerasi Kultur In Vitro.
Jurnal Litbang Pertanian, 30(2).

Sukmadjaja, Deden dan Ade Mulyana. 2011. Regenerasi dan Pertumbuhan Beberapa
Varietas Tebu(Saccharum officinarum L.) secara In Vitro. Jurnal AgroBiogen 7(2):106-118.
Syahid, Sitti Fatimah dan Natalini Nova Kristina. 2008. Multiplikasi Tunas, Aklimatisasi
dan Analisis Mutu Simplisia Daun Encok (Plumbago zeylanica L.) Asal Kultur In Vitro Periode
Panjang. Bul. Littro. vol. XIX no. 2: 117 – 128.

Wahyudi, T. 2006. Panduan Lengkap KAKAO Manajemen Agribisnis dari Hulu hingga Hilir.
Depok : Penebar Swadaya.

Werner, E.T. 2016. Leaf Anatomy of Crambe Abyssinica Hochst. During In Vitro Shoot Induction.
African Journal of Biotechnology. Vol. 15(18), pp. 722- 730, ISSN 1684-5315.

Wijayani, Ari., Hendaryono, Sriyanti. 1994. Teknik Kultur Jaringan. Yogyakarta:


Kanisius.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai